PENDIDIKAN SENI DI SD
DI SUSUN OLEH:
ZAIMA ZAHRAH
200407561027
30 C
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan
pengatur kehidupan di dunia, karena hanya dengan berkat, rahmat, dan karunia-Nyalah kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini merupakan sebuah tugas dalam mata kuliah Pendidikan Pncasila.
Konstitusi yang dibuat oleh penulis guna menunjang proses belajar di perguruan tinggi yang kini
tengah dijalani oleh penulis. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai pendidikan seni di SD. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 10
B. Saran ...................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 11
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan berwujud pengalaman hidup dari berbagai
lingkungan budaya . Pendidikan dan pembudayaan yang diperoleh disekolah di samping di rumah
di masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan individu itu selanjutnya. Pendidikan ini tidak
bebas nilai, tetapi sarat dengan nilai, termasuk nilai budaya pendidikan yang bernuansa budaya
itu berlangsung sejak anak usia dini berlanjut sampai pada jenjang pendidikan lebih lanjut bahkan
sampai akhir hayat. Hal ini berarti anak Sekolah Dasar perlu dikenalkan bahwa dirinya
merupakan bagian dari neka budaya yang ada di lingkungan terdekatnya yaitu budaya sekolah.
Untuk mengenalkan anak didik kita dengan budaya tersebut maka sekolah Dasar perlu
dimodelkan sebagai lembaga budaya dimana siswa bisa dapat beradaptasi secara ilmiah dan
berbudaya. Lingkungan sekolah secara keseluruhan merupakan sistem yang terdiri dari sejumlah
variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya sekolah, kebijakan dan poliik
sekolah, dan kurikulum formula dan bidang studi.
Salah satu dari faktor ini mungkin menjadi fokus dari reformasi sekolah pada awalnya,
namun perubahan itu harus tepat pada masing-masing variabel dalam membantu menciptakan dan
mendukung lingkungan sekolah multi budaya yang efektif.
Pendidikan multikultural juga merupakan proses di mana tujuan-tujuannya tidak akan
pernah terealisasikan secara penuh. Persamaan pendidikan seperti kebebasan dan keadilan
merupakan ideal terhadap mana umat manusia bekerja namun tidak pernah tercapai secara penuh.
Ras, jenis kelamin, dan diskriminasi akan tetap ada tidak peduli bagaimana kerja keras kita untuk
menghilangkan masalah ini. Jika prasangka dan diskriminasi direduksi dalam satu kelompok,
keduanya biasanya ditujukan pada kelompok lain atau keduanya mengambil bentuk yang baru.
B. Rumusan masalah
1. Bagimana Pengantar pendidikan seni?
2. Bagaimana Pendidikan kesenian Ki Hadjar?
3. Bagaimana Pengantar Kebudayaan?
4. Apa Landasan dan konsep dasar pendidikan seni di SD?
5. Bagaimana Perkembangan Artistik Anak di SD?
6. Bagaimana Seni sebagai media pembelajaran Analisis kurikulum SBDP di SD?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengantar pendidikan seni
2. Untuk mengetahui Bagaimana Pendidikan kesenian Ki Hadjar
3. Untuk mengetahui Bagaimana Pengantar Kebudayaan
4. Untuk mengetahui Apa Landasan dan konsep dasar pendidikan seni di SD
5. Untuk mengetahui Bagaimana Perkembangan Artistik Anak di SD
6. Untuk mengetahui Bagaimana Seni sebagai media pembelajaran Analisis kurikulum
SBDP di SD
7. Untuk memenuhi tugas ujian tengah semester mata kuliah pendidikan seni di SD
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
mulai merambah di dunia pendidikan seperti ketidakjujuran, ketidakmampuan mengendalikan
diri, kurangnya tanggung jawab sosial, hilangnya sikap ramah-tamah dan sopan santun (Sutiyono
dalam Jurnal Cakrawala Pendidikan, 2010: 42).
Pestalozzi, Frobel dan Maria Montessori adalah tokoh-tokoh pen- didikan yang
berpengaruh pada Ki Hadjar dalam menggunakan kebudayaan di dalam kurikulum pendidikan.
Mulai dari TK (Taman Kanak-kanak/Taman Indria) sampai sekolah menengah unsur-unsur
kebudayaan lokal dimasukkan dalam kurikulum untuk melatih panca indera jasmani, kecerdasan
dan utamanya adalah kehalusan budi pekerti. Pelajaran yang diberikan di Taman Indria
mulai dari dolanan anak, mendongeng, hingga sariswara yaitu menggabungkan antara lagu,
cerita dan sastra. Nilai-nilai budaya ini dimaksudkan untuk mendidik rasa, pikiran dan budi
pekerti. Anak-anak yang sudah agak besar, misalnya di Sekolah Menengah Pertama (Taman
Dewasa) dan Sekolah Menengah Atas (Sekolah Menengah Madya), diberikan pelajaran olah
gendhing.
Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa olah gendhing dan seni tari adalah untuk
memperkuat dan memperdalam rasa kebangsaan (Dewantara, 2011: 344). Tari Bedoyo dan Tari
Serimpi diberikan kepada anak didik karena merupakan kesenian yang amat indah yang
mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian, dan rasa keindahan.
Ki Hadjar Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan untuk mewujudkan
tercapainya tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2)
pendidikan dalam alam perguruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat. Ki
Hadjar Dewantara memasukkan kebudayaan dalam diri anak dan memasukkan diri anak ke dalam
kebudayaan mulai sejak dini, yaitu Taman Indria (balita). Konsep belajar ini adalah Tri No, yaitu
nonton, niteni dan nirokke. Nonton (cognitive), nonton di sini adalah secara pasif dengan segenap
panca indera. Niteni(affective) adalah menandai, mempelajari, mencermati apa yang ditangkap
panca indera, dan nirokke (psychomotoric) yaitu menirukan yang positif untuk bekal menghadapi
perkembangan anak (Dwiarso, 2010: 1). Ketika anak didik sudah menginjak pada pendidikan
Taman Muda (Sekolah Dasar), kemudian Taman Dewasa dan seterusnya maka konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah Ngerti, Ngroso lan Nglakoni. Model pendidikan ini
dimaksudkan supaya anak tidak hanya dididik intelektualnya saja (cognitive), istilah Ki Hadjar
Dewantara 'ngerti', melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective) serta nglakoni
(psychomotoric). Dengan demikian diharapkan setelah anak menjalani proses belajar mengajar
dapat mengerti dengan akalnya, memahami dengan perasaannya, dan dapat menjalankan atau
melaksanakan pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan masyarakat. Sebagai bagian
akhir dari hasil pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara, adalah menghasilkan manusia yang
tangguh dalam kehidupan masyarakat. Manusia yang dimaksud adalah manusia yang bermoral
Taman Siswa, yaitu mampu melaksanakan Tri Pantangan yang meliputi tidak menyalahgunakan
kewenangan atau kekuasaan, tidak melakukan manipulasi keuangan dan tidak melanggar
kesusilaan (Ki Suratman, 1987 : 13).
C. Pengantar Kebudayaan
Seni atau kesenian sangat dekat dengan kebudayaan. Memahami berbagai bentuk seni
yang ada disekitar kita tidak lepas dari pemahaman terhadap budaya yang ada disekitar kita pula.
Dalam sub unit ini saudara akan mempelajari hubungan antara seni dan kebudayaan. Pemahaman
terhadap huibungan ini sangat penting bagi saudara sebagai individu maupun sebagai seorang
3
guru. Sebagai individu pemahaman ini akan membuat kita semakin arif dan bijaksana ketika
mencoba untuk memberi tanggapan dalam apresiasi maupun kritik terhadap berbagai bentuk seni
dan fenomena kesenian yang kita jumpai. Sebagai seorang guru, pemahaman terhadap latar
belakang budaya dimana murid atau siswa kita dibesarkan dapat membantu dalam
mengembangkan materi kurikulum, model pembelajaran maupun evaluasi hasil belajar.
a) Kebudayaan
Menurut Raymond Williams, kebudayaan atau kultur adalah salah satu dari dua atau tiga
istilah paling rumit dalam bahasa Inggris. Kebudayaan atau kultur merupakan konsep yang
telah sangat tua. Kata ini berasal dari bahasa Latin “cultura”, yang menunjuk pada kegiatan
pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman atau ternak. Istilah ini kemudian
berubah menjadi gagasan tentang keunikan adat kebiasaan suatu masyarakat. Berkembang
lebih lanjut, pengertian kebudayaan menjadi multidimensi bersama dengan munculnya
berbagai pendapat tentang apa makna perbedaan dan keunikan-keunikan itu dalam
memahami manusia umumnya sejak abad 17 hingga 19. (Bambang Sugiharto, 2003)
‘Kebudayaan’ adalah sebuah konsep yang definisinya sangat beragam. Pada abad ke-19
istilah ‘kebudayaan’ umumnya digunakan untuk seni rupa, sastra, filsafat, ilmu alam, dan
musik. Penggunaan yang menunjukkan semakin besarnya kesadaran bahwa seni dan ilmu
pengetahuan dibentuk oleh lingkungan sosialnya (Kroeber dan Kluckhohn, 1952; Wiliams,
1958). Peningkatan kesadaran inilah yang membuat maraknya sosiologi kebudayaan atau
sejarah sosial kebudayaan. Tendensi ini pada dasarnya dipengaruhi ideologi Marxis atau
Marxian dalam arti bahwa seni, sastra, musik, dan lain sebagainya dipandang sebagai
semacam suprastruktur, yang merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi di bidang
ekonomi dan sosial yang menjadi dasar atau fondasinya. Satu contoh dari genre ini adalah
buku Social History Of Art karya terkenal Arnold Hauser, (Peter Burke, 2001). Dalam
buku tersebut Arnold Hauser menguraikan hubungan perkembangan konsep dan bentuk-
bentuk kesenian yang dipengaruhi sistem gagasan dan lingkungan sosial masyarakatnya.
Selanjutnya konsep kebudayaan yang akan digunakan dalam tulisan ini, bukan dipandang
sebagai gejala yang bersifat fisik, material atau kebendaan.
Dengan demikian, kebudayaan yang dimaksud bukan berupa artefak (benda) maupun
tindakan atau emosi, melainkan sesuatu yang bersifat abstrak yang terdapat dalam pikiran
manusia. Menurut Goodenaugh, kebudayaan yang dimaksud ini adalah model-model
pengetahuan manusia yang digunakan oleh pendukung kebudayaan tersebut untuk
menafsirkan benda, orang, tindakan dan emosi (A. Suryatna dkk, 1998). Dengan kalimat
yang lain pendapat tersebut tersebut didukung oleh Spradley yang menyatakan kebudayaan
sebagaimana yang digunakan dalam tulisan ini, merujuk pada pengetahuan yang diperoleh
dan digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman serta melahirkan tingkah laku
sosial (J. P. Spradley, 1997). Kebudayaan dalam hal ini dipandang sebagai suatu sistem
pemikiran. Dengan demikian pengertian kebudayaan mencakup sistem gagasan yang
dimiliki bersama, sistem konsep, aturan serta makna yang mendasari dan diungkapkan
dalam tata cara kehidupan manusia. Kebudayaan yang didefinisikan seperti itu mengacu
pada hal-hal yang dipelajari manusia, bukan hal-hal yang mereka kerjakan dan perbuat
(R.M. Kessing, 1989). Dengan kata lain, kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan
menginterpretasikan pengalaman dan lingkungannya serta menjadi kerangka dasar yang
4
menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan (P. Suparlan, 1980). Kebudayaan yang
dimaksud dalam tulisan ini berbeda dari tindakan dan hasil tindakan, karena sesungguhnya
tindakan itu terwujud dengan mengacu atau berpedoman pada kebudayaan yang dipunyai
oleh individu atau masyarakat yang bersangkutan
b) Kebudayaan dan seni
Adapun seni atau kesenian dalam hal ini dipandang sebagai unsur dalam kebudayaan atau
subsistem dari kebudayaan. Melihat kesejajaran konsepnya, maka kesenian sebagaimana halnya
kebudayaan, dapat dikatakan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat pendukungnya (seniman)
dalam melakukan kegiatannya (berkarya seni) sehari-hari. Pedoman ini berisikan model kognisi
(pengetahuan), sistem simbolik, atau pemberian makna yang terjalin secara menyeluruh dalam
simbolsimbol yang ditransmisikan—melalui pendidikan formal maupun non formal dalam
komunitas atau kelompoknya—secara historis. Model kognisi ini kemudian digunakan secara
selektif oleh masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan, menghubungkan
pengetahuan, dan bersikap serta bertindak untuk memenuhi kebutuhan integratifnya yang
bertalian dengan pengungkapan atau penghayatan estetiknya (T. Rohendi, 2000). Melalui
pendekatan kebudayaan, perilaku berkesenian dapat dipandang sebagai salah satu cara untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu untuk memenuhi kebutuhan integratif. Kebutuhan ini
mencerminkan manusia sebagai mahluk pemikir, bermoral dan bercita rasa yang berfungsi untuk
mengintegrasikan berbagai kebutuhan menjadi suatu sistem yang dibenarkan secara moral,
dipahami akal pikiran, dan diterima oleh cita rasa (Haviland, 1999). Dengan demikian berekspresi
estetik merupakan salah satu kebutuhan integratif. Kebutuhan ini muncul karena adanya dorongan
dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai
mahluk yang bermoral, berakal dan berperasaan. Kebutuhan estetik, secara langsung maupun
tidak langsung, terserap dalam kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan lainnya, baik dalam
pemenuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan integratif lainnya, yang berkaitan
dengan perasaan baik dan benar, adil dan tidak adil, serta masuk akal dan tidak masuk akal (T.
Rohendi, 2000).
5
ini sesuai dan cocok digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang mendidik
siswanya untuk menjadi seorang ahli dalam salah satu jenis kesenian tertentu. Konsep yang kedua
adalah konsep pendidikan melalui seni. Konsep ini dipopulerkan oleh Herbert Read dalam
bukunya Education Through Art. Dalam konsep ini, seni dipandang sebagai sarana atau alat
untuk mencapai tujuan pendidikan dan bukan untuk tujuan seni itu sendiri. Konsep pendidikan
melalui seni inilah yang kemuidian dianggap paling sesuai untuk diajarkan atau diselenggarakan
di sekolah umum, khususnya pada tingkat dasar dan prasekolah. Pembelajaran seni menggunakan
pendekatan ini lebih menekankan pada “proses” dari pada “hasil”. Seni digunakan dalam
pembelajaran disekolah untuk mendorong perkembangan peserta didiknya secara optimal,
menciptakan keseimbangan rasional dan emosional. Pendidikan (melalui) seni pada hakekatnya
merupakan proses pembentukan manusia melalui seni. Pendidikan seni secara umum berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan setiap anak (peserta didik) menemukan pemenuhan dirinya
(personal fulfillment) dalam hidup, untuk mentransmisikan warisan budaya, memperluas
kesadaran sosial dan sebagai jalan untuk menambah pengetahuan. Tujuan pendidikan seni sejalan
dengan tanggung jawab yang luas dari pendidikan secara umum (lihat: Read, 1958). Program seni
di sekolah memfasilitasi anak-anak menyediakan peluang untuk pemenuhan dirinya melalui
pengalaman seni berdasarkan sesuatu yang dekat dengan kehidupan dan dunianya (dunia anak-
anak dan lingkungan hidupnya sehari-hari). Melalui pendidikan seni anak-anak melakukan studi
tentang warisan artistik sebagai salah satu bentuk yang signifikan dari pencapaian prestasi
manusia. Demikian pula dengan kesadaran terhadap peran sosial seni di masyarakat. Hal ini
sangat esensial ketika anak-anak mencoba memahami norma estetik yang berlaku di
lingkungannya. Dengan demikian, anak akan menemukan seni sebagai sesuatu yang penuh arti,
otentik dan relevan dalam kehidupannya. Idealnya, pendidikan mengajarkan anak-anak
bagaimana menjadi merdeka ketika mereka berada dalam lingkungan yang terproteksi seperti di
rumah dan sekolah (lihat: Dorn, 1993; Wright, 1997). Pengalaman anak di sekolah diharapkan
dapat memberi inspirasi yang berguna bagi mereka untuk melanjutkan pendidikannnya hingga
menjadi mahluk dewasa. Tujuan pendidikan melalui program seni akan memelihara perilaku
tersebut sehingga menjadi lebih esensial membentuk kemandirian anak sebagai pebelajar seumur
hidup, walaupun tujuan jangka pendek (di lingkungan sekolah) mungkin nampak terfokus pada
kegiatan belajar untuk mempelajari tentang seni dan atau melalui seni.
E. Artistik Anak di SD
Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori
tentang dunia kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para ahli, agar ia dapat memilih
strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar
6 - 12 tahun. Berdasarkan teori tahap-tahap perkembangan menggambar/seni rupa secara garis
besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu kelas I sampai dengan kelas III ditandai
dengan kuatnya daya fantasiimajinasi, sedangkan kelas IV sampai dengan kelas VI ditandai
dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua karakteristik ini tampak pada
gambar-gambar (karya dua dimensi) atau model, patung dan perwujudan karya tiga dimensi
lainnya. Ada dua cara untuk memahami perkembangan seni rupa anak-anak. Pertama, mengkaji
teoriteori yang berkaitan dengan perkembangan senirupa anak menurut para ahli. Kedua,
mengamati dan mengkaji karya anak secara langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengumpulkan karya anak berdasarkan rentang usia yang relevan dengan teori yang telah kita
6
pelajari. Melalui kegiatan ini, diharapkan kita bisa memahami perkembangan seni rupa anak
secara komprehensif. Dalam psikologi perkembangan dinyatakan baha pada rentang kehidupan
manusia khususnya anak ada yang disebut masa keemasan yang dikenal dengan masa peka. Hal
ini dipertegas oleh Piere Duquet (1953) bahwa: “ A children who does not draw is an anomaly,
and particulary so in the years between 6 an 10, which is outstandingly the golden age of creative
expression”. Pada masa peka atau keemasan ini anak harus diberi kesempatan agar potensi yang
dimilikinya berfungsi secara maksimal. Masa peka tiap orang berbeda-beda. Secara umum, masa
peka menggambar ada pada masa lima tahun, sedangkan masa peka perkembangan ingatan logis
pada umur 12 dan 13 tahun (Muharam dan Sundaryati, 1991). Selanjutnya, untuk terciptanya
kesempatan bagi siswa agar dapat melakukan ekspresi kreatif, maka guru perlu melakukan
kegiatan berupa: 1) memberi perangsang (stimulasi) kepada siswa, 2) guru dapat mempertajam
imajinasi dan memperkuat emosi siswa dengan menggunakan metode pertanyaan yang
dikembangkan Sokrates.
Kemampuan siswa kelas rendah dalam membuat gambar tampak lebih spontan dan
kreatif dibandingkan dengan siswa kelas tinggi. Hal ini terjadi karena semakin tinggi usia anak,
maka kemampuan rasionya semakin berkembang sehingga dapat berpikir kritis. Kondisi ini akan
mempengaruhi anak dalam hal spontanitas dan kreatifitas karya. Bila rasionya sudah berfungsi
dengan baik, maka dalam membuat karya seni, misalnya menggambar, mereka selalu
mempertimbangkan objek gambar secara rasional; bentuk yang baik, proporsi yang tepat,
penggunaan warna yang cocok sesuai dengan benda yang dilihatnya. Sejalan dengan pendapat di
atas, sebagai guru pendidikan seni rupa perlu memahami perkembangan artistik (artistic
development) peserta didik. Sehubungan dengan itu, Dennie Wolf dan Howard Gardner
(Hausman, 1980: 56) mendeskripsikan perkembangan artistik anak sebagai berikut: anak usia
sekolah dasar (7-13 tahun) memiliki kompetensi untuk memadukan karya kerajinan (craft)
dengan kemampuan ekpresi diri. Selain itu pula kemampuan kritik juga dimiliki sejalan dengan
perkembangan intelektualnya. Secara khusus, karakteristik anak pada usian 11- 13 tahun ini
adalah memiliki kemampuan berpikir kritis dan ikut terlibat dalam proses artistik. Secara umum
dapat dikatakan bahwa karya seni rupa anak bersifat ekspresif dan dinamis (Camaril, dkk. 1999).
Apa yang digambarkan anak mencerminkan pribadinya, mengungkapkan apa yang diketahuinya
dan tidak menggambar sesuai dengan kenyataan. Kesukaan akan gerak digambarkan dengan
warna tajam mencolok serta objek-objek penuh gerak seperti binatang, orang, kendaraan. Tetapi,
jika dikaji ternyata bahwa secara umum terjadi pentahapan (periodisasi) dalam perkembangan
dunia kesenirupaan anak.
7
Wurianto, merupakan suatu istilah yang salah akan tetapi sudah menjadi istilah umum bahkan
menjadi nama mata pelajaran. Seni merupakan segala suatu macam keindahan dari ungkapan atau
ekspresi hati yang disalurkan dalam bentuk karya yang dapat membangkitkan perasaan orang
lain, sedangkan budaya merupakan hasil karya, cipta, dan 11 rasa manusia yang tidak akan
terpisahkan dari kehidupan karena meliputi banyak aspek pada diri individu yang berupa
kemampuan berpikir, bertindak, dan berperilaku yang kemudian diwariskan secara turun
temurun. Secara konten dan isi, seni merupakan bagian dari budaya, jadi ruang lingkuo budaya
lebih besar daripada seni, dengan kata lain seni merupakan bagian dari aktivitas yang bernama
budaya. Seni, dapat dikatakan seni jikalau mengandung suatu filsafat estetika, dan disebut seni
jika bisa dikaji filsafat estetika.
Budaya memiliki tiga filsafat antara lain : (1) filsafat logika (2) filsafat etika (3) filsafat
estetika. Pembelajaran seni budaya dan prakarya merupakan interaksi dari proses pendidikan
yang didalamnya terdapat hubungan timbal balik antara pendidik dengan peserta didik dan
hubungan timbal balik tersebut memiliki tujuan edukatif tertentu yang menggunakan seni sebagai
media pendidikan dengan mengakomodasikan kebutuhan peserta didik untuk kegiatan yang
kreatif sesuai dengan kemampuannya masing-masing (Eny,2014:8). Pembelajaran seni di Sekolah
Dasar dapat menjadi salah satu upaya dalam melestarikan kebudayaan, karena pendidikan
berfungsi sebagai pemelihara dan penerus kebudayaan, alat transformasi kebudayaan, dan alat
pengembang individu peserta didik. Kompetensi yang diharapkan dari pembelajaran seni budaya
dan prakarya kepada peserta didik yang pertama mampu memadukan unsur etika, logika dan
estetika, yang kedua memiliki kepekaan inderawi dalam mendukung kecerdasan emosional,
intelektual, moral dan spiritual sesuai kebutuhan dan perkembangan siswa, dan yang ketiga
mampu menghargai karya 12 sendiri dan karya orang lain serta keragaman seni budaya setempat
dan nusantara. Tujuan dari pembelajaran seni yaitu : (1) memperoleh pengalaman seni berupa
pengalaman apresiasi seni dan pengalaman ekspresi seni, (2) memperoleh pengetahuan seni,
misalnya teori tentang seni, sejarah seni, kritik seni dan lain- lain (Eny,2014:9).
Bentuk pembelajaran seni tari, harus disesuaikan dengan pengorganisasian materinya,
yakni didasarkan pada aktivitas siswa. Selain itu juga diselaraskan dengan tujuan utama
pendidikan seni, untuk peningkatan sensitivitas dan kreativitas siswa serta untuk pembaharuan
masyarakat. Oleh karena itu, dalam kegiatan pembelajaran, diharapkan guru mampu menciptakan
situasi dan kondisi yang kondusif bagi pengembangan individu siswa sekaligus perbaikan
masyarakatnya (Eny,2014:10). Bentuk pembelajaran seni di Sekolah Dasar berdasarkan pada sifat
pendidikan seni itu sendiri, yaitu: multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual
berarti seni bertujuan mengembangkan kemampuan mengekspresikan diri dengan berbagai cara
seperti melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan paduannya. Multidimensional berarti seni
mengembangkan kompetensi kemampuan dasar siswa yang mencakup persepsi, pengetahuan,
pemahaman, analisis, evaluasi, apresiasi dan produktivitas dalam menyeimbangkan fungsi otak
kanan dan kiri, dengan memadukan unsur logika, etika dan estetika, dan multikultural berarti seni
bertujuan menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan berapresiasi terhadap keragaman
budaya lokal dan global sebagai pembentukan sikap menghargai, toleran, demokratis, beradab
dan 13 hidup rukun dalam masyarakat dan budaya yang majemuk (Depdiknas, 2001: 7). Bentuk
model pembelajaran yang diperlukan adalah model yang memberikan peranan pada guru untuk
mengelola lingkungan alam dan fisik, sosial, budaya, dan individual, serta sekaligus hidup atau
bertindak di dalamnya dengan sikap-sikap yang memberi peluang berkembangnya potensi pribadi
8
ke arah kreatif dan apresiatif terhadap seni tari. Model pendidikan tersebut dapat digambarkan
sebagai sebuah sistem dengan tujuan akhir adalah kreatif dan apresiatif (Eny,2014:10).
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
B. Saran
Sebagai calon guru SD, kita di harapkan mampu menyusun dan mengembangkan RPP Seni Rupa
agar pembelajaran Seni Rupa sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan perkembangan zaman.
Disamping itu dalam penyusunan RPP harus memperhatikan materi, media, metode, pendekatan dan
evaluasi pembelajaran agar dapat meleharikan generasi yang berintelektual dan berkarakter baik.
9
DAFTAR PUSTAKA
Tirtarahardja, Umar dan. S.L. La Sulo, 2005. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20. Tahun 2005. Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Ardipal, “Kurikulum Pendidikan Seni Budaya yang Ideal Bagi Peserta Didik di Masa Depan”, Jurnal
10