Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN ANTARA KELARUTAN, KECEPATAN DISOLUSI, STABILITAS OBAT

DENGA MUTU SUATU PRODUK OBAT


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kelarutan, disolusi, dan permeabilitas obat (zat aktif farmasi) pada saluran
gastrointestinal merupakan parameter penting yang mengendalikan absorpsi dan
bioavaibilitas obat. Kelarutan obat dalam air merupakan hal penting untuk penghantaran oral
dan juga parenteral. Hal ini terkait dengan desain dan proses pengembangan sediaan obat.
Kelarutan obat selaras dengan laju disolusi dimana sediaan obat padat perlu mengalami
pelepasan dari sediaannya dan larut dalam larutan gastrointestinal. Oleh karena itu, laju
disolusi pun menjadi suatu hal kritis. Obat yang sukar larut air merupakan sebuah tantangan
dalam studi mengenai strukutur kimia obat dalam pengembangan desain formulasi. Hanya
obat yang larut air yang dapat diabsorpsi oleh membran sel untuk mencapai target aksi obat.
Obat yang akan diabsorpsi harus berada dalam bentuk larutan air pada sisi absorpsi. Obat
yang sukar larut air dan disolusi rendah dalam larutan gastrointestinal akan menghasilkan
bioavaibilitas oral yang rendah sehingga peningkatan kelarutan dan laju disolusi menjadi
suatu tantangan dalam pengembangan sediaan farmasi (Stegemann, et al, 2007; Shargel dan
Yu, 2012; Khadka, et al., 2014).
Penurunan ukuran partikel obat dapat meningkatkan luas permukaan kontak obat dan
media disolusi sehingga laju absorpsi obat meningkat. Namun demikian, semakin kecil
ukuran partikel dikhawatirkan terjadi aglomerasi dan agregasi karena efek elektrostatik
sehingga penurunan ukuran partikel pun dapat menjadi masalah baru dalam peningkatan
kelarutan dan laju disolusi (Liu, P. 2013.)
Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu produk sesuai
dengan batas-batas tertentu selama penyimpanan dan penggunaanya atau umur simpan suatu
produk dimana produk tersebut masih mempunyai sifat dan karakteristik yang sama seperti
pada waktu antara pembuatan dan penggunaan. Faktor lingkungan seperti temperatur, radiasi
cahaya dan udara (khususnya oksigen, karbon dioksida dan uap air) juga mempengaruhi
stabilitas. Demikian pula faktor formulasi seperti ukuran partikel, pH, sifat dari air dan sifat
pelarutnya dapat mempengaruhi stabilitas (Osol et al, 1980).
Badan pengawas obat dan makanan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap
produk obat yang telah dipasarkan untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa
produk obat telah memenuhi standar efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan. Untuk
menjamin mutu obat copy yang beredar di Indonesia, perlu dilakukan uji bioekivalensi untuk
membuktikan kesetaraannya terhadap produk inovatornya (BPOM, 2015). Dua produk obat
dikatakan sama atau dua obat dapat diklaim bioekivalen, diasumsikan bahwa kedua obat
akan memberikan efek terapi yang sama atau memiliki kesetaraan terapi (Chow, 2014).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas disampaikan pada paparan diatas, ada beberapa
permasalah yang bisa diangkat :
1. Bagaimana hubungan antara kecepatan kelarutan dan kecepatan disolusi dengan suatu
produk obat ?
2. Bagaimana hubungan antara stabilitas, dan mutu dengan suatu produk obat ?

C. Tujuan Penulis
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang disampaikan diatas, ada
beberapa tujuan yang ingin dicapai :
1. Mengetahui hubungan antara kecepatan kelarutan dan kecepatan disolusi dengan
suatu produk obat.
2. Mengetahui hubungan antara stabilitas, dan mutu dengan suatu produk obat.
BAB II
ISI

A. Kelarutan dan Laju Disolusi Obat


Kelarutan merupakan keadaan suatu senyawa baik padat, cair, ataupun gas yang
terlarut dalam padatan, cairan, atau gas yang akan membentuk larutan homogen. Kelarutan
tersebut bergantung pada pelarut yang digunakan serta suhu dan tekanan (Lachman, 1986).
Di bidang farmasi, kelarutan memiliki peran penting dalam menentukan bentuk sediaan dan
untuk menentukan konsentrasi yang dicapai pada sirkulasi sistemik untuk menghasilkan
respon farmakologi (Edward dan Li, 2008; Vemula et al., 2010).
Secara kuantitatif kelarutan didefinisikan sebagai konsentrasi suatu zat terlarut dalam
larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Sedangkan disolusi adalah suatu proses
melarutnya zat padat dalam suatu pelarut persatuan waktu (Sinko, 2006). Kelarutan
merupakan salah satu sifat fisiko-kimia senyawa obat yang penting yang dapat digunakan
untuk meramalkan derajat absorbsi obat yang terjadi dalam saluran cerna dan ketersediaan
hayatinya. Obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah dalam air seringkali menunjukkan
ketersediaan hayati yang rendah pula. Sedangkan kecepatan disolusi suatu zat yang sukar
larut merupakan tahap penentu yang mengatur proses absorbsi obat di saluran cerna. Apabila
jumlah obat yang diabsorpsi tidak dapat mencapai jendela terapeutiknya maka obat tidak
akan mempunyai khasiat. Pada sisi lain, apabila jumlah yang diabsorpsi melampaui batas
konsentrasi toksiknya maka akan membahayakan nyawa pasien.
Oleh karena itu pengujian terhadap kedua parameter ini dan usaha untuk
meningkatkan laju disolusi sangat penting dilakukan dalam pembuatan suatu sediaan farmasi.
Data kelarutan dan laju disolusi dapat digunakan untuk memprediksi ketersediaan hayati atau
sebagai faktor pembeda formulasi yang berpengaruh pada ketersediaan hayati obat (Shargel
dan Yu, 2016).
Penelitian tentang disolusi telah dilakukan oleh Noyes Whitney dan dalam
penelitiannya diperoleh persamaan yang mirip hokum difusi dari Fick :

DAK (Cs−C)
dc /dt=
h

Ket:
dc/ct : laju pelarutan obat
D : tetapan laju difusi
A : luas permukaan partikel
Cs : kadar obat dalam “stagnant layer”
C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut
K : koefisien partisi munyak/air
h : tebal “stagnant layer”

Uji disolusi merupakan salah satu parameter mutu yang harus dipenuhi oleh sediaan
padat seperti tablet dan kapsul ataupun suspensi menurut Farmakope Indonesia Edisi V.
Sediaan-sediaan tersebut harus memenuhi persyaratan disolusi yang tercantum dalam
monografi masing-masing dengan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu sesuai
dengan tabel penerimaan.

TINGKAT JUMLAH KRITERIA PENERIMAAN


PENGUJIAN YANG DIUJI
B.
S1 6 Tiap unit ≥ Q +5%
B.
S2 6 Rata-rata dari ke 12 unit sediaan (S1+S2) ≥ Q dan tidak satu unit
B.
pun < Q-15%
B.
S3 12 Rata-rata dari 24 unit sediaan (S1+S2+S3)≥ Q tidak lebih dari 2
unit sediaan < Q-15% dan tidak satu unit pun <Q-25% B.
B.
Stabilitas dan Mutu Obat
Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu produk sesuai
dengan batas-batas tertentu selama penyimpanan dan penggunaanya atau umur simpan suatu
produk dimana produk tersebut masih mempunyai sifat dan karakteristik yang sama seperti
pada waktu pembuatan. Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas dari sediaan farmasi,
antara lain stabilitas bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dengan bahan tambahan, proses
pembuatan bentuk sediaan, kemasan, cara pengemasan dan kondisi lingkungan yang dialami
selama pengiriman, penyimpanan, penanganan dan jarak waktu antara pembuatan dan
penggunaan. Faktor lingkungan seperti temperatur, radiasi cahaya dan udara (khususnya
oksigen, karbon dioksida dan uap air) juga mempengaruhi stabilitas. Demikian pula faktor
formulasi seperti ukuran partikel, pH, sifat dari air dan sifat pelarutnya dapat mempengaruhi
stabilitas (Osol et al, 1980). Stabilitas sediaan farmasi merupakan salah satu kriteria yang
amat penting untuk suatu hasil produksi yang baik.
Ketidakstabilan produk obat dapat mengakibatkan terjadinya penurunan sampai
dengan hilangnya khasiat obat, obat dapat berubah menjadi toksik atau terjadinya perubahan
penampilan sediaan (warna, bau, rasa, konsistensi dan lain-lain) yang akibatnya merugikan
bagi si pemakai. Ketidakstabilan suatu sediaan farmasi dapat dideteksi melalui perubahan
sifat fisika, kimia serta penampilan dari suatu sediaan farmasi. Besarnya perubahan kimia
sediaan farmasi ditentukan dari laju penguraian obat melalui hubungan antara kadar obat
dengan waktu, atau berdasarkan derajat degradasi dari suatu obat yang jika dipandang dari
segi kimia, stabilitas obat dapat diketahui dari ada atau tidaknya penurunan kadar selama
penyimpanan. Secara fisiologis, larutan obat harus diformulasikan sedekat mungkin ke pH
stabilitas optimumnya karena besarnya laju reaksi hidrolitik dipengaruhi/dikatalisis oleh
gugus hidroksi (Ansel, 1989; Lachman et al, 1994). Umumnya obat-obat yang kelarutannya
kecil dalam air merupakan suatu problem dalam industri farmasi. Berbagai pendekatan telah
dilakukan untuk meningkatkan kelarutan, kecepatan disolusi dan Ketersediaan hayati suatu
obat. Salah satunya dengan teknologi dispersi padat yang pernah dilaporkan memberikan
hasil yang baik. Dengan dispersi padat bahan obat yang sukar larut dalam air akan di
dispersikan kedalam suatu matrik yang mudah larut sehingga akan mengurangi ukuran
partikel, memungkinkan terjadi nya kompleksasi dan terbentuknya polimorfi yang lebih
mudah larut. Peristiwa ini akan dapat meningkatkan kelarutan, mempercepat proses disolusi
dan meningkatkan ketersediaan hayati suatu obat (Chiou & Riegelman, 1971).
Stabilitas suatu zat aktif atau sediaan farmasi didefinisikan sebagai kemampuan suatu
zat aktif untuk tetap berada pada batas spesifikasi yang telah ditentukan untuk menjamin
produk obat yang dihasilkan mempunyai bermutu, aman dan berkhasiat. Penelitian tentang
stabilitas bahan baku obat merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Dari data
stabilitas tersebut dapat digunakan untuk menentukan bentuk sediaan yang akan dibuat,
formulasi sediaan, teknik pembuatan sediaan, cara penyimpanan, jenis kemasan dan waktu
kadaluarsa bahan baku tersebut.
Sedangkan penelitian tentang stabilitas sediaan perlu dilakukan untuk menentukan
cara penyimpanan, interval test sediaan dan waktu kadaluarsa sediaan tersebut (Cartensen,
2000). Suatu sediaan farmasi biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar yang
membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkannya. Bila
suatu zat aktif dalam sediaan tersebut tidak stabil maka dapat menyebabkan khasiat obat
tersebut berkurang dan bahkan bisa membahayakan pasien yang menggunakannya bila hasil
urai yang terjadi bersifat toksik. Uji stabilitas sediaan ini merupakan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh suatu sediaan pada saat pendaftaran untuk mendapatkan ijin edar dari Badan
POM.
Penelitian tentang stabilitas suatu sediaan obat harus ditinjau dari segala aspek yang
mungkin berubah selama proses penyimpanan. Beberapa perubahan yang mungkin terjadi
selama penyimpanan menurut Cartensen antara lain adalah :
a. Berkurang atau bertambahnya potensi/kadar zat aktif atau eksipien
b. Perubahan bioavailabilitas
c. Sediaan menjadi tidak homogen
d. Menurunnya status mikrobiologi sediaan
e. Berkurangnya penerimaan pasien
f. Terbentuknya hasil urai yang toksis
g. Berkurangnya integritas kemasan dan kualitas label
h. Modifikasi beberapa fungsional yang relevan
Dalam bidang stabilitas obat penulis lebih banyak meneliti tentang usaha
meningkatkan stabilitas suatu zat aktif dalam sediaan farmasi.

Anda mungkin juga menyukai