Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

MYASTHENIA GRAVIS

Disusun oleh:
Namira Karimah, S.Ked
102120061

Pembimbing:
dr. Dyan Roshinta Laksmi Dewi, Sp.S
dr. Sabar Nababan, Sp.S
dr. Simon Djeno, Sp.S
dr. Dini Astriani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOEDARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
PONTIANAK
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:

MYASTHENIA GRAVIS

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Neurologi

Telah disetujui,
Pontianak, Mei 2021

Pembimbing, Penulis

dr. Dyan Roshinta Laksmi Dewi, Sp.S Namira Karimah


BAB I
PENYAJIAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir / Usia : 19 Februari 1969 / 52 tahun
Agama : Kristen
Pekerjaan : Pegawai PDAM
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Kubu Raya
Tanggal Periksa : 7 April 2021
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kelopak mata kanan dan kiri sering turun.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli saraf RS Umum Daerah dr. Soedarso Pontianak
untuk kontrol penyakit yang dideritanya. Pasien rutin kontrol di poli saraf
RSUD dr. Soedarso sejak 1 tahun yang lalu.
2 tahun yang lalu, pasien merasakan kelopak mata kanan dan kiri
terasa berat saat ingin membuka mata. Kelopak mata yang turun tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien lalu berobat ke spesialis mata dan
hasilnya menunjukkan bahwa mata pasien masih berfungsi dengan baik dan
dalam batas normal sehingga pasien diarahkan untuk berobat ke spesialis
saraf.
Pasien pun berobat ke poli saraf di Rumkit dengan keluhan yang
sama, kelopak mata masih terasa berat saat ingin membuka mata dan dalam
beberapa menit kelopak mata pernah terjatuh dengan sendirinya. Pasien juga
sudah meminum obat yang diberikan saat berobat ke rumkit namun keluhan
tidak membaik.
1,5 tahun yang lalu karena pasien merasa tidak ada perubahan setelah
berobat jalan selama 6 bulan di rumkit, sehingga pasien berobat ke poli saraf
di RS Untan. Pasien datang dengan keluhan yang sama, namun intensitas
kelopak mata kanan dan kiri terjatuh dengan sendirinya menjadi lebih sering
dari sebelumnya. Pasien melakukan rawat jalan di RS Untan selama 3 bulan
namun pasien mengatakan keluhan tak kunjung membaik, sehingga pasien
memutuskan untuk berobat ke RS Soedarso
1 tahun yang lalu, pasien datang ke RS Soedarso dengan keluhan
kelopak mata kanan dan kiri yang semakin terasa berat saat pasien mencoba
membuka mata. Pasien terkadang memerlukan bantuan tangan saat ingin
membuka mata. Pasien merasa agak sedikit mudah saat mencoba membuka
mata di pagi hari, namun tidak disertai dengan penglihatan ganda.
1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan kelopak
mata terkadang terpejam dengan sendirinya dan tidak bisa dibuka, namun
bila didiamkan dan pasien mencoba untuk beristirahat dengan duduk
ataupun berbaring beberapa saat kemudian mata bisa dibuka perlahan-lahan.
Pasien mengatakan setelah mengkonsumsi obat mestinon, keluhan sedikit
membaik namun kelopak mata masih terasa berat beberapa jam kemudian.
Keluhan sedikit mengganggu aktivitas sehingga pasien tidak bisa
mengendarai kendaraan dengan sendirinya.
Keluhan lain seperti sulit menelan, suara sengau, masalah saat
mengunyah, kekakuan/kesemutan/kebas angggota gerak, demam, batuk-
batuk lama dan suara serak saat berbicara terlalu banyak disangkal. Pusing,
mual dan muntah disangkal oleh pasien, pasien dapat tidur, makan dan
minum seperti biasa, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan serupa. Pasien
memiliki riwayat kolesterol tinggi dan tidak memiliki riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, kejang, vertigo, dan trauma kepala sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan maupun penyakit yang
serupa dengan pasien.
5. Riwayat Pengobatan
Pasien rutin mengonsumsi obat metilprednisolon tab 4mg/8 jam,
simvastatin tab 10 mg/24 jam, daneuron tab/8 jam, lansoprazole 30 mg/ 24
jam, mecobalamin 500 mcg cap/8 jam, mestinon tab/ 6 jam.
6. Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi terhadap obat ataupun
makanan.
7. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien adalah bekerja sebagai pegawai PDAM. Pasien tidak merokok
dan tidak mengonsumsi alkohol.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 84 kali/menit, regular
Frekuensi Napas : 22 kali/menit
Suhu : 36,6oC
2. Status Generalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), ptosis + / +,
pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Leher : JVP normal
KGB : Pembesaran KGB (-)
Paru
 Inspeksi : Pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis
 Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri sama
 Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/ -, wheezing - / -
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
 Perkusi : Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis
sinistra, batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dextra, batas
jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra.
 Auskultasi : SI/SII regular, murmur sistolik (-), gallop (-).

Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Palpasi : Supel, nyeri tekan , hepar dan lien tidak teraba membesar
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus ( + ) normal
Pemeriksaan Ekstremitas
 Superior : Akral hangat + / +, edema - / -
 Inferior : Akral hangat + / +, edema - / -
3. Status Neurologis
a. Pemeriksaan Nervus Cranialis
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I Olfaktorius Daya penciuman Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
N. II Optikus Daya penglihatan Baik Baik
Pengenalan warna Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Lapang pandang Sulit Sulit
dinilai dinilai
N. III Okulomotor Ptosis + +
Gerakan mata ke Baik Baik
medial
Gerakan mata ke atas Baik Baik
Gerakan mata ke Baik Baik
bawah
Ukuran pupil Isokor Isokor
3mm 3mm
Bentuk pupil bulat Bulat
Ref. cahaya langsung + +
Ref. cahaya + +
konsensual
N. IV Troklearis Strabismus divergen – –
Gerakan mata ke Baik Baik
lateral bawah
Strabismus konvergen – –
N. V Trigeminus Deviasi rahang Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Kekuatan otot rahang Baik Baik
Refleks Dagu Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Refleks Kornea Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
N. VI Abdusen Gerakan mata ke + +
lateral
Strabismus konvergen – -
N. VII Fasialis Kedipan mata + +
Lipatan nasolabial Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Sudut mulut + +
Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + +
Meringis Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Menggembungkan + +
pipi
Daya kecap lidah 2/3 Tidak Tidak
anterior dilakukan dilakukan
N. VIII Nistagmus - -
Vestibulotroklearis Daya Pendengaran + +
N. IX Daya kecap lidah 1/3 Tidak Tidak
Glossopharyngeus posterior dilakukan dilakukan
N. X Vagus Refleks muntah Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Suara serak/lemah - -
N. XI Accesorius Otot bahu, leher DBN DBN
N. XII Hipoglossus Sikap lidah DBN
Artikulasi Jelas
Tremor lidah -
Menjulurkan lidah DBN
Trofi otot lidah DBN
Fasikulasi lidah -
b. Motorik

Gerakan Tonus
+ +
N N
+ +
N N

Kekuatan otot Atrofi otot


5 5 - -

5 5 - -

Klonus
Kaki Kaki
Kanan Kiri

N N

c. Refleks Fisiologis : d. Refleks Patologis :

+ + - -
+ + - -

e. Pemeriksaan Rangsang Meningeal


Pemeriksaan Hasil
Kaku kuduk -
Kernig sign -
Lasegue sign -
Brudzinski I -
Brudzinski II -
Brudzinski III -
Brudzinski IV -
f. Tes Provokatif
Warternberg Test : Positif

g. Pemeriksaan Fungsi Luhur dan Vegetatif


Fungsi luhur : Baik
Fungsi vegetatif : BAK dan BAB normal
D. Diagnosis
Diagnosis Klinis : Ptosis dextra sinistra
Diagnosis Topis : Neuromuscular junction
Diagnosis Etiologis : Auto antibodi reseptor asetilkolin

E. Tatalaksana
a. Terapi Non Farmakologi
Nutrisi : Diet yang sehat berupa buah-buahan dan sayur-sayuran.
Aktifitas : Menyarankan pasien agar istirahat dengan teratur dan
hindari aktivitas berat dan menjaga kondisi untuk tidak kelelahan
dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stress.

b. Terapi Farmakologi
 Mestinon tab/ 6 jam po
 Metilprednisolon tab 4mg/8 jam po
 Simvastatin tab 10 mg/24 jam po
 Daneuron tab/8 jam po
 Lansoprazole 30 mg/ 24 jam po
 Mecobalamin 500 mcg cap/8 jam po

F. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Miastenia Gravis (MG) adalah gangguan neuromuskular kronis yang
ditandai dengan kelemahan dan kelelahan otot skeletal yang fluktuatif.
Miastenia Gravis merupakan kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction.
B. Etiologi
Miastenia Gravis disebabkan oleh adanya autoantibodi pada
membrane pascasinaps pada taut saraf otot (neuromuscular junction). Auto
antibody yang banyak ditemukan pada serum pasien MG adalah antibody
terhadap reseptor asetilkolin. Saat ini diketahui antibody lain yang terdapat
pada pasien MG, yakni muscle-specific kinase (MuSK) dan low-density
lipoprotein receptor-related protein (LRP4). Walaupun mekanisme
timbulnya autoimun pada MG masih belum diketahui secara pasti, diduga
beberapa faktor berperan dalam terjadinya reaksi autoimun tersebut, yaitu
jenis kelamin, hormon, dan kelenjar timus yang abnormal pada hampir 80%
penderita MG
C. Epidemiologi
MG termasuk penyakit yang jarang. Insidennya hanya sekitar 1,7 –
21,3 per 1.000.000, dapat terjadi di semua usia dan jenis kelamin. Dari
beberapa penelitian diketahui gambaran bimodal berdasarkan jenis kelamin
dan usia. Pada usia di bawah atau sampai usia 50 tahun, lebih banyak
perempuan dengan rasio 7:3, sedangkan pada usia di atas 50 tahun
ditemukan laki-laki dengan rasio 3:2. Prevalensi paling tinggi pada
perempuan usia 20 – 30 tahun, sedangkan laki – laki pada usia 60 tahun.
Dengan semakin meningkatnya kemampuan diagnosis, terapi, dan
umur harapan hidup, prevalensi miastenia gravis semakin meningkat, yaitu
15 – 179:1.000.000 dengan sekitar 10% -nya adalah usia anak – anak dan
remaja. Risiko ini akan meningkat sekitar 4,5% bila dalam keluarga, saudara
kandung atau orang tua memiliki riwayat menderita MG atau penyakit
autoimun lainnya.
D. Patofisiologi
Patofisiologi MG terbagi menjadi 4 jalur mekanisme, yaitu:
A. Defek transmisi neuromuskular
Kelemahan otot rangka timbul akibat menurunnya faktor keselamatan pada
proses transmisi neuromuskular. Faktor keselamatan adalah perbedaan
potensial pada motor endplate dan potential threshold yang dibutuhkan untuk
menimbulkan potensial aksi dan akhirnya merangsang kontraksi serabut otot.
Menurunnya potensial pada motor endplate timbul akibat menurunnya
reseptor asetilkolin.
B. Autoantibodi
Autoantibodi yang paling sering ditemukan pada MG adalah antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AChR) nikotinik pada otot rangka. Antibodi
AChR akan mengaktifkan rangkaian komplemen yang menyebabkan trauma
pada post-sinaps permukaan otot. Selanjutnya antibody AChR akan bereaksi
silang dengan AChR sehingga meningkatkan endositosis dan degradasi. Lalu
antibody AChR akan menghambat aktivasi AChR dengan cara memblokade
binding site-nya AChR atau menghambat pembukaan kanal ion
C. Patologi timus
Abnormalitas timus sering ditemukan pada pasien MG. Sekitar 10% pasien
MG terkait dengan timoma. Sebagian besar timoma memiliki kemampuan
untuk memilih sel T yang mengenali AChR dan antigen otot lainnya. Selain
timoma, ditemukan juga hyperplasia timus folikular pada pasien MG tipe
awitan dini dan atropi timus pada pasien MG dengan awitan lambat.
D. Defek pada sistem imun
MG adalah gangguan autoimun terkait sel T dan diperantarai sel B. Produksi
autoantibodi pada AChR MG membutuhkan bantuan dari sel T CD4+ (Sel T
helper). Mereka akan menyekresikan sitokin inflamasi yang menginduksi
reaksi autoimun terhadap self-antigen dan akhirnya mengaktifkan sel B.
E. Manifestasi Klinis
Pada Miastenia Gravis, kelemahan dan kelelahan terjadi berfluktuasi,
tergantung pada aktivitas pasien, sehingga dapat berbeda – beda setiap
waktu. Kelemahan memberat setelah aktivitas fisik yang berat, kenaikan
suhu tubuh, dan lingkungan berat; serta akan berkurang bahkan menghilang
setelah istirahat. Pada sekitar 70% penderita miastenia gravis, gejala awal
yang dialami adalah keluhan pada mata yang asimetris, yang mengenai otot
– otot ekstraoklar, berupa turunnya kelopak mata (ptosis) dan penglihatan
ganda (diplopia).
Dari seluruh tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi tipe
generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada otot – otot bulbar dan otot – otot
proksimal, sedangkan sekitar 15% tetap sebagai tipe ocular. Gejala klinis
yang berat sering ditemukan pada tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang
sekali ditemui perbaikan klinis yang sempurna dan permanen.

Gejala klinis miastenia gravis dapat berupa :


1. Gejala Okular
Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling
sering ditemukan. Gejala okular akan menetap pada 10 – 16% pasien
miastenia gravis dalam masa 3 tahun pertama dan menjadi sekitar 3-10%
setelah 3 tahun. Bila gejala okular menetap sampai lebih dari 3 tahun,
maka sekitar 84% tidak mengalami perubahan menjadi tipe general
ataupun bulbar.
2. Gejala Bulbar
a. Disfoni dan disartria yang muncul setelah berbicara beberapa lama,
sering terjadi pada onset pertama kali.
b. Disfagia (sulit menelan) muncul setelah penderita memakan
makanan padat. Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakkan
rahang bawah saat mengunyah makanan, sehingga harus dibantu
oleh tangan (tripod position).
c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita,
baru diketahui setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi
wajah atau senyumannya tampak datar (myasthenia snarf).
3. Leher dan Ekstremitas
a. Leher terasa kaku, nyeri, dan sulit untuk menegakkan keapala
(dropped head) akibat kelemahan pada otot-otot ekstensor leher.
b. Pada ekstremitas kelemahan lebih sering terjadi pada ekstremitas
atas dan mengenai otot-otot proksimal (deltoid dan triseps). Pada
keadaan yang berat, kelemahan dapat terjadi juga pada otot-otot
distal
4. Gangguan Pernapasan
Sering terjadi pada miastenia gravis tipe general. Penderita merasakan
kesulitan menarik napas akibat kelemahan otot-otot bulbar dan
pernapasan.
F. Klasifikasi Klinis Miastenia Gravis
G. Penegakan Diagnosis
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk
antibodi AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.

Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas
dan membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan
(terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot
yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dapat pula mengenai otot pernafasan
yang menyebabkan penderita bisa sesak.

Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis secara menyeluruh
untuk menilai kekuatan motorik dan derajat kelemahan otot-otot yang
terkena.
 Tes watenberg/simpson test: memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes
positif).
 Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).
 Ice pack eye test : celah antara kedua kelopak mata yang mengalami
ptosis akan diukur terlebih dahulu kemudian dengan es yang terbalut
kain akan di-tempelkan ke kelopak mata penderita. Celah antara kedua
kelopak mata yang bertambah lebar setelah penempelan es selama 2
menit dianggap positif.

Uji Tensilon
Bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis dan respons terhadap
pengobatan. Hasil positif bila ditemukan perbaikan gejala kelemahan
motorik secara cepat, tetapi dalam waktu singkat. Apabila pemeriksaan ini
tidak tersedia, pemberian obat penghambat AChE oral seperti piridostigmin
dapat diberikan, namun perbaikan gejala lebih lambat, baru terlihat setelah
1-2 jam.

Pemeriksaan Serologi
 Antibodi reseptor anti-asetilkolin, postitif pada 70-95% penderita MG
generalisata dan 50-75% penderita miastenia okular murni. Pada pasien
timoma tanpa MG sering kali terjadi false positive antibodi antiAChR.
 Anti-Muscle-specific Kinase (MuSK) antibodies, hampir 50% penderita
MG yang menunjukkan hasil antiAChR Ab negatif (MG seronegatif),
menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSKAb.

Pemeriksaan Elektrodiagnostik
 Repetitive nerve stimulation (RNS) : untuk mendeplesi vesikel ACh
sehingga terjadi penurunan compound motor action potential (CMAP)
progresif dan menilai adanya blok. Hasil yang diharapkan pada
penderita MG adalah penurunan minimal lebih dari 10%. Nilai
sensitivitas dan spesifisitas bervariasi bergantung dari teknik
pemeriksaan.
 Single fiber electromyography (SFEMG) : mencatat instabilitas sebelum
adanya blok neuromuskular. SFEMG memiliki nilai spesifisitas yang
sangat tinggi, tetapi sensitivitasnya tidak mencapai 100%.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan CT scan, atau MRI torak dilakukan untuk melihat ada atau
tidaknya timoma.
H. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk membantu menegakkan miastenia gravis
yaitu :
 Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus
III pada beberapa penyakit selain MG, antara lain: meningitis basalis
(tuberkulosis atau luetika), infiltrasi karsinoma anaplastik dari
nasofaring dan aneurisma di sirkulus arteriosus willisi.
 Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan
adanya suatu sklerosis multipleks
 Sindrom Lambert-Eaton (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan
pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan
kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS,
terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi
volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada
paru.
I. Penatalaksanaan
Tujuan tata laksana adalah untuk mengendalikan gejala (simtomatik),
mencegah progresifisitas, dan mencegah komplikasi. Terapi farmakologi
mencakup :
1. Acethylcholinesterase Inhibitor (Penghambat AChE)
Penghambat AChE memperlambat de-gradasi asetilkolin yang
memungkinkan berada pada taut saraf otot lebih lama. Dapat diberikan
pirgdostigmin bromida (Mestinon®) 30-120mg/ 3-4 jam/oral. Umumnya
regimen ini diberikan pada awal penyakit dan penatalaksanaan MG
ringan (MG klas IIA dan liB).
Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi
berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek
samping gastrointestinal ( efek samping muskarinik) berupa mual,
muntah, kram atau diare.

2. Kortikosteroid
Prednison dimulai dengan dosis awal 10-20mg, dinaikkan bertahap (5-
l0mg/ minggu) lx sehari selang sehari, maksimal 120mg/6 jam/oral,
kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif.

3. Azatioprin
Merupakan suatu obat imunosupresif, dosis 2-3mg/kgBB/hari/oral
selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan
darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium
dikerjakan setiap bulan sekali. Direkomendasikan pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azatioprin.

4. Plasma Exchange
Bertujuan untuk menghilangkan anti-bodi reseptor dari sirkulasi, sering
digunakan pada krisis miastenia dan sebelum dilakukan operasi
timektomi
5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis 400mg/KgBB/ hari selama 5 hari berturut-turut.

6. Timektomi
Pengangkatan kelenjar timus dapat mengurangi gejala pada 70%
penderita dengan timoma atau displasia kelenjar timus. Manfaat
pembedahan pada MG seronegatif, MG nontimoma yang terbatas
okular, MG seronegatif dengan antiboai MuSK positif sangat minimal
sehingga tidak direkomendasikan.

J. Prognosis
Pada miastenia gravis okular, dimana kelemahan pada mata menetap lebih
dari 2 tahun, hanya 10-20% yang berkembang menjadi Miastenia gravis
generalisata. Penanganan dengan steroid dan imusupresi masih
kontroversial. Pada Miastenia gravis generalisata, membaik dengan
pemberian imunosupresi, timektomi, dan pemberian obat yang dianjurkan.
Grob melaporkan angka kematian 7 %, membaik 50 % dan tidak ada
perubahan 30 %.
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki berusia 52 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan


kelopak mata kanan dan kiri sering turun sejak ± 2 tahun yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. 2 tahun yang lalu, pasien merasakan kelopak mata kanan
dan kiri terasa berat saat ingin membuka mata. Kelopak mata yang turun tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien lalu berobat ke spesialis mata dan
hasilnya menunjukkan bahwa mata pasien masih berfungsi dengan baik dan
dalam batas normal sehingga pasien diarahkan untuk berobat ke spesialis saraf.

Pasien pun berobat ke poli saraf di Rumkit dengan keluhan yang sama,
kelopak mata masih terasa berat saat ingin membuka mata dan dalam beberapa
menit kelopak mata pernah terjatuh dengan sendirinya. Pasien juga sudah
meminum obat yang diberikan saat berobat ke rumkit namun keluhan tidak
membaik.

1,5 tahun yang lalu karena pasien merasa tidak ada perubahan setelah
berobat jalan selama 6 bulan di rumkit, sehingga pasien berobat ke poli saraf di
RS Untan. Pasien datang dengan keluhan yang sama, namun intensitas kelopak
mata kanan dan kiri terjatuh dengan sendirinya menjadi lebih sering dari
sebelumnya. Pasien melakukan rawat jalan di RS Untan selama 3 bulan namun
pasien mengatakan keluhan tak kunjung membaik, sehingga pasien
memutuskan untuk berobat ke RS Soedarso

1 tahun yang lalu, pasien datang ke RS Soedarso dengan keluhan kelopak


mata kanan dan kiri yang semakin terasa berat saat pasien mencoba membuka
mata. Pasien terkadang memerlukan bantuan tangan saat ingin membuka mata.
Pasien merasa agak sedikit mudah saat mencoba membuka mata di pagi hari,
namun tidak disertai dengan penglihatan ganda.

1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan kelopak mata


terkadang terpejam dengan sendirinya dan tidak bisa dibuka, namun bila
didiamkan dan pasien mencoba untuk beristirahat dengan duduk ataupun
berbaring beberapa saat kemudian mata bisa dibuka perlahan-lahan. Pasien
mengatakan setelah mengkonsumsi obat mestinon, keluhan sedikit membaik
namun kelopak mata masih terasa berat beberapa jam kemudian. Keluhan
sedikit mengganggu aktivitas sehingga pasien tidak bisa mengendarai kendaraan
dengan sendirinya.

Keluhan lain seperti sulit menelan, suara sengau, masalah saat mengunyah,
kekakuan/kesemutan/kebas/lemah angggota gerak, demam, batuk-batuk lama
dan suara serak saat berbicara terlalu banyak disangkal. Pusing, mual dan
muntah disangkal oleh pasien. Pasien dapat tidur, makan dan minum seperti
biasa, BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pada miastenia gravis progresivitas relatif lambat, hal ini sesuai dengan
keluhan pasien yang sudah berlangsung selama beberapa tahun. Keluhan
pertama pasien adalah adanya keluhan pada mata yaitu kedua kelopak mata
yang sering turun, namun belum terdapat penglihatan ganda. Hal ini sesuai teori
Miastenia Gravis dimana pada 70% kasus, awal mulanya mengeluh kelemahan
otot levator palpebral (ptosis). Keluhan pada mata relatif lebih dirasakan
mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya.

Sifat kelemahan pada miastenia gravis bersifat fluktuatif, gejala bervariasi


dari hari ke hari dan dari jam ke jam, biasanya akan membaik pada pagi hari
dan memburuk pada saat aktivitas. Hal ini sesuai dengan keluhan yang dialami
pasien saat ini dimana semua keluhan yang dialami pasien saat ini seperti
kelopak mata yang sering turun akan pulih kembali setelah beristirahat. Selain
itu riwayat pengobatan dimana pasien mempunyai responsi yang baik terhadap
pemberian obat mestinon dapat memperkuat kecurigaan terhadap miastenia
gravis. Sehingga pada kasus ini kecurigaan bahwa pasien mengalami miastenia
gravis ditegakkan atas dasar gambaran klinis yang khas dan response yang baik
terhadap pemberian obat mestinon.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien


composmentis, GCS E4V5M6 dengan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Pada pemeriksaan nervus cranialis didapatkan adanya ptosis pada kedua
palpebral pasien. Hal ini sesuai dengan teori dimana pada miastenia gravis
keluhan yang paling sering terjadi adalah keluhan pada wajah yang mengenai
otot ekstra okular sehingga timbul manifestasi ptosis. Sehingga berdasarkan
derajat keparahannya pasien termasuk ke dalam kategori miastenia gravis kelas
1 yang ditandai dengan kelemahan motorik hanya terbatas pada okular.

Pada pemeriksaan warternberg test didapatkan hasil positif. Pemeriksaan


khusus pada miastenia gravis ini yang menunjukkan hasil positif dapat
memperkuat diagnosis miastenia gravis karena tes provokasi ini mencetuskan
terjadinya kelelahan otot pada pasien. Hal ini sesuai dengan teori miastenia
gravis dimana keluhan biasanya diperberat oleh aktivitas dan membaik setelah
pasien beristirahat.

Pada kasus disarankan melakukan pemeriksaan rontgen thoraks untuk


mencari tahu ada tidaknya hyperplasia timus ataupun timoma dikarenakan
miastenia gravis sering terjadi bersamaan dengan timoma dan hyperplasia
timus. Kelenjar timus terdiri atas sel myoid yang mengandung AChR. Sel
limfosit B dan T yang diproduksi kelenjar timus akan merusak AChR sehingga
menimbulkan manifestasi kelemahan otot.

Untuk dapat memperkuat diagnosis miastenia gravis sebaiknya dilakukan


pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan serologis antibodi anti
AChR, anti MuSK, elektrofisiologi Single-fiber Electromyography (SFEMG) &
Repetitive Nerve Stimulation (RNS).

Pasien diberikan Penghambat AChE sebagai tatalaksana medikamentosa


yaitu Pyridostigmine bromide (Mestinon) 60 mg/6 jam. Hal ini sesuai dengan
teori dimana Penghambat AChE masih merupakan pengobatan lini pertama
pada tahap awal miastenia gravis atau apabila dijumpai gejala yang masih
ringan. Pasien ini termasuk kedalam miastenia gravis kelas 1 sehingga
pemberian penghambat AChE akan sangat bermanfaat. Penghambat AChE
bekerja dengan cara memperlambat degradasi asetilkolin oleh enzim
asetilkolinesterase. Penghambat AChE akan meningkatkan kadar asetilkolin di
celah sinaps dan dengan demikian akan mengkompensasi jumlah AChR yang
sedikit.

Namun, penghambat AChE hanya merupakan pengobatan simtomatik dan


tidak mengobati penyebab utama miastenia gravis. Efek samping yang sering
muncul adalah gangguan gastrointestinal yang berhubungan dengan
peningkatan aktivitas muskarinik. Gangguan tersebut antara lain mual, muntah,
kram perut dan diare. Efek samping pada pasien ini dapat dikurangi dengan
pemberian lansoprazole 1 x 30 mg sebelum mengkonsumsi mestinon.

Pasien juga diberikan metilprednisolon 4 mg/ 8 jam karena kortikosteroid


memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun. Pasien yang berespon
terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.
Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan
pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang
teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid ditempat kelainan imun pada miastenia gravis
untuk menghambat sistem kekebalan tubuh dalam memproduksi antibody.

Mecobalamin diberikan pada pasien dengan dosis 500mcg/8 jam perhari.


Pemberian mecobalamin berguna untuk memelihara fungsi saraf dan berperan
pada neuron susunan saraf melalui aksinya yang bisa memulihkan perlambatan
transmisi sinaps dengan meningkatkan eksitabilitas saraf dan memperbaiki
berkurangnya neurotransmiter asetilkolin.
BAB IV
KESIMPULAN

Tn. A berusia 52 tahun mengalami ptosis yang diakibatkan oleh miastenia


gravis. Pasien mengeluh kedua kelopak mata sering turun dan terasa berat saat
ingin dibuka sejak ± 2 tahun yang lalu. Keluhan membaik ketika pasien
mencoba untuk beristirahat dengan duduk ataupun berbaring lalu beberapa saat
kemudian mata bisa dibuka perlahan-lahan. Dari hasil pemeriksaan neurologis
pada pasien ditemukan tes warternberg positif. Sehingga didapatkan diagnosis
klinis ptosis dextra sinistra. Diagnosis topis neuromuscular junction, dengan
diagnosis etiologi autoantibody asetilkolin reseptor.
DAFTAR PUSTAKA

Anindhita, Tiara et al. 2017. Buku Ajar Neurologi Departemen Neurologi FK UI.
Jakarta : Penerbit Kedokteran Indonesia

Howard JF. 2008. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider.
Myasthenia Gravis Foundation of America

Setiyohadi B. Miologi et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing
Wang S, Breskovska et al. 2018. Advances in autoimmune myasthenia gravis
management. Expert Review of Neurotherapeutics.

Anda mungkin juga menyukai