Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

SEORANG PEREMPUAN USIA 18 TAHUN


DENGAN EPILEPSY

Disusun oleh:
dr. Indah P

Pembimbing:
dr. Myrna Ika Purnama, Sp. S
dr. Yohana Kartika Sari

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RS TOELOENGREDJO

KABUPATEN KEDIRI
2024
BAB I
STATUS PASIEN

1. ANAMNESIS
1. Identitas
Nama : Nn. F
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Ringin Sari, Kediri
No. RM : 244xxx
Tanggal Masuk RS : 25 Februari 2024

Tanggal Keluar RS : 27 Februari 2024

2. Data Dasar
a. Keluhan Utama
Kejang

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS dengan keluhan setelah kejang 1x, lamanya 2-3 menit ketika
dirumah. Berdasarkan alloanamnesis dengan ibunya, pasien awalnya sedang duduk,
kemudian tiba tiba pasien diam dan bengong diikuti kejang meghentak-hentakkan tangan,
kaki, dan seluruh tubuh dengan mata mendelik keatas 15 menit smrs. Setelah kejang os
berlangsung sadar dan lemas. 1 Minggu sebelumnya pasien mengalami demam dan
mengeluh pusing sudah 2 hari ini Keluhan mulut berbusa pada saat kejang tidak ada.
Riwayat penurunan kesadaran saat dan setelah kejang tidak ada. Riwayat trauma
sebelumnya tidak ada. Sebelum kejang pasien tidak mengeluhkan melihat seperti kilatan
cahaya. Riwayat demam, mual dan muntah disangkal. Pasien memiliki riwayat Kejang
pertama kali 1 bulan yang lalu, dan yang kedua 3 hari setelahnya.

a. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat keluhan serupa : + , 1 bulan yang lalu
2. Riwayat trauma disangkal : disangkal
3. Riwayat hipertensi : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat asma : disangkal
7. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
8. Riwayat penyakit lain : Sinusitis +

c. Riwayat Penyakit Keluarga


1) Riwayat keluhan serupa : disangkal
2) Riwayat hipertensi : disangkal
3) Riwayat alergi : disangkal
4) Riwayat asma : disangkal
5) Riwayat diabetes mellitus : disangkal
6) Riwayat penyakit jantung : disangkal

d. Riwayat Kebiasaan
1) Nutrisi : Pasien makan nasi, lauk, dan sayur dengan porsi
cukup.
2) Merokok : disangkal
3) Alkohol : disangkal
4) Olahraga : jarang

e. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berobat dengan menggunakan BPJS Kesehatan. Pasien
merupakan seorang Pelajar.

2. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 94/65 mmHg
b. Frekuensi nadi : 80x/mnt
c. Frekuensi napas : 22x/menit
d. Suhu : 36.5°C
e. SpO2 : 98% room air
3. Berat badan : 50 kg
4. Kepala : mesocephal,
5. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor +/+
6. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)
7. Hidung : NCH (-/-), sekret (-/-)
8. Mulut : mukosa bibir basah (+), sianosis (-), lidah deviasi
(-)
9. Leher : pembesaran KGB (-), kekakuan otot daerah leher (+)
10. Thoraks : simetris, bentuk normochest, retraksi (-)
11. Pulmo
a. Inspeksi : pengembangan dinding dada simetris, retraksi (-)
b. Palpasi : pengembangan dinding dada simetris
c. Perkusi : sonor/sonor
d. Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (-/-), RBK (-/-), RBH (-/-)
12. Jantung
a. Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
b. Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat
c. Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
d. Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-)

13. Abdomen
a. Inspeksi : dinding perut datar
b. Auskultasi : bising usus (+) normal
c. Perkusi : timpani
d. Palpasi : teraba supel (+), nyeri tekan (-)
14. Ekstremitas
Akral
hangat
+ +
+ +

Pitting edema
- -
- -
15. Status neurologis
a. Pemeriksaan rangsang meningeal

Kaku kuduk -
Laseque sign -
Brudzinski 1 -
Brudzinski 2 -
Brudzinski 3 -
Brudzinski 4 -

b. Pemeriksaan saraf kranial


Nervi Cranialis Kanan Kiri
NI Daya Penghidu N N
N II Tajam N N
Penglihatan
Lapang Pandang N N
Tes warna Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Fundus oculi Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
N III Ptosis - -
Gerakan mata N N
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks Cahaya + +
Refleks + +
akomodasi
N IV Strabismus - -
divergen
Gerakan mata ke N N
lateral bawah
Strabismus - -
konvergen
NV Menggigit N N
Membuka mulut N N
Masesster N N
Sensibilitas wajah N N
Refleks kornea + +
N VI Gerakan mata ke N N
lateral
Strabismus - -
konvergen
Diplopia - -
N VII Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + +
Menggembungkan + +
pipi
Meringis + +
Pengecapan 2/3 Tidak Tidak
depan lidah dilakukan dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
N VIII Mendengar Suara N N
Berbisik
Mendengar Detik N N
Arloji
N IX Daya Kecap Lidah Tidak Tidak
1/3 Belakang dilakukan dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Refleks Muntah N N
Suara Sengau N N
Tersedak - -
NX Arkus Faring N N
Bersuara N N
Menelan N N
N XI Memalingkan N N
Kepala
Mengangkat Bahu N N
N XII Atrofi - -
Fasikulasi - -
Deviasi -
Artikulasi N

c. Pemeriksaan Motorik dan Sensibilitas

Ekstremitas Superior Inferior


Motorik
Gerak +/+ +/+
Kekuatan 555/555 555/555
Tonus Normotonus/normotonus Normotonus/normotonus
Trofi Eutrofi/eutrofi Eutrofi/eutrofi
Reflek fisiologis +2/+2 +2/+2
Reflek patologis -/- -/-
Klonus -/-
Sensibilitas
Taktil +/ + +/ +
Thermal Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Posisi +/ + +/ +
Diskriminasi 2 titik +/ + +/ +
Nyeri +/ + +/ +

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah 25 Februari 2024
Tabel 1.1 Hasil Laboratorium Darah 25 Februari 2024
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Darah Lengkap
Leukosit 9.9 (H) ribu/µl 4-9
Eritrosit 4.61 juta/µl 3.76 - 5.70
Hemoglobin 12.7 g/dl 12 - 18
Hematokrit 38.2 % 33.5 – 52.0
Index Darah
MCV 82.9 % 80-100
MCH 27.5 (L) pg 28-32
MCHC 33.2 % 31-35
Trombosit 315 ribu/µl 150-360
RDW 14.2 % 11.6-14.5
PCT 0.18 % 11.3 - 14.6
MPV 5.6 (L) fL 7-11
PDW 17.4 (H) % 15-17
Hitung Jenis Leukosit
Neutrofil 68.6 % 42.5 - 71.0
Limfosit 18.4 % 17- 57
Monosit 10.5 (H) % 3.6 - 9.9
Eosinofil 0.9 % 0.7 - 5.4
Basofil 1.6 % 0-2

Gula Darah Acak 70 mg/dl 70-115

Elektrolit
Natrium 140 Mmol/L 136-145
Kalium 4.1 Mmol/L 3.5-5.1
Chlorida 96(L) Mmol/L 98-106
Calsium Ion 1.40(H) Mmol/L 1.17-1.29

2. Rontgen thorax 25 Februari 2024

Gambar 1.1 Rontgen Thorax

Thoraks AP
Cor: besar dan bentuk normal
Pulmo : tak tampak infiltrat
Sinus frenicocostalis kanan kiri tajam
Trakea ditengah
Tulang dan Soft tissue tampak baik
Kesimpulan : cor dan pulmo tak tampak kelainan

4. DIAGNOSIS
- Diagnosis Klinis : Seizure, Paracervical muscle spasm, Cephalgia
- Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri
- Diagnosis Etiologis : Epilepsi (focal to bilateral onset seizure)

5. TATALAKSANA – PLANNING
1. Tatalaksana IGD
a. Inf.NaCl 0.9% 14 tpm
b. Inj Valisanbe 1 amp (I.V bolus lambat) jika kejang
c. Inj. Antrain 3x1 gr (I.V)
d. Inj. Ranitidn 2x50mg (I.V)
2. Tatalaksana
a. Inf.NaCl 0.9% 14 tpm
b. Inj Valisanbe 1 amp (I.V bolus lambat) jika kejang
c. Inj. Antrain 3x1 gr (I.V)
d. Inj. Ranitidn 2x50mg (I.V)
e. Tizanidin 2x 2mg (P.O)
f. Vit B6 1x1 tab (P.O)
g. Asam Folat 1x 400 mcg (P.O)
h. Phenytoin 2x100mg (P.O)
i. Diet TKTP 1800kkal/hr

3. Planning
a. Pemeriksaan EEG
6. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad
bonam Quo ad sanationam : dubia
ad bonam Quo ad fungsionam : dubia
ad bonam

7. EDUKASI
- Edukasi pasien dan keluarga tentang kondisi dan penyakit pasien
- Edukasi pasien dan keluarga tentang pemeriksaan penunjang yang akan
dilakukan, pengobatan yang diberikan, dan tujuan dari pengobatan
tersebut

- Edukasi pasien untuk istirahat, makan dan minum yang cukup, dan
mengelola stres
8. FOLLOW UP
S O A P
26 Februari 2024 (Masuk Bangsal)
Hari ini pasien mengeluhkan KU: cukup, CM Epilepsi (focal to
a. Inf.NaCl 0.9% 14 tpm
kepala pusing + leher kaku + TD: 95/65 mmHg bilateral onset
demam – mual – muntah - , HR: 80x/mnt seizure) b. Inj Valisanbe 1 amp
pasien kejang kembali setelah RR: 22 x/mnt Cephalgia (I.V bolus lambat) jika
dipindahkan ke bangsal. Nafsu Suhu: 36.5°C kejang
makan pasien baik. Pasien masih SpO2: 99% room air
dapat menahan keinginan BAK c. Inj. Antrain 3x1 gr
dan BAB seperti biasa. (I.V)
Kep: CA -/-, SI -/-, Otot
RPD : Kejang 2x 1 bulan yang sekitar Leher kencang (+) d. Inj. Ranitidn 2x50mg
lau Thx: SDV +/+, Rh -/-, Wh -/- (I.V)
Cor: S1-S2, m (-), g (-)
e. Tizanidin 2x 2mg
Abd: BU (+), timpani, supel, NT (-)
(P.O)
Eks: AH +/+/+/+, Edema -/-/-/-, CRT
<2", f. Vit B6 1x1 tab (P.O)
g. Asam Folat 1x 400
Status lokalis:
mcg (P.O)
motorik 5/5; 5/5 , refleks fisiologis
+2/+2, refleks babinsky (-/-), h. Phenytoin 2x100mg
normotonus/normotonus (P.O)
Kesan : i. Diet TKTP
Paracervical Muscle Spasm
1800kkal/hr
27 Februari 2024
Hari ini pasien mengeluhkan KU: cukup, CM Epilepsi (focal to
a. Analsik 3x1 (PO)
leher kaku, pusing berkurang TD: 95/65 mmHg bilateral onset
namun ngliyer jika diggunakan HR: 80x/mnt seizure) b. Vit B6 1x1 tab (P.O)
berjalan, demam –, mual –, RR: 22 Cephalgia
muntah - , pasien kejang kembali c. Asam Folat 1x 400 mcg
x/mnt
setelah dipindahkan ke bangsal. (P.O)
Suhu:
Nafsu makan pasien baik. Pasien 36.5°C d. Phenytoin 2x100mg
masih dapat menahan keinginan SpO2: 99% room air (P.O)
BAK dan BAB seperti biasa.
RPD : Kejang 2x 1 bulan yang e. Betahistin 3x6mg k/p
Kep: CA -/-, SI -/-, Otot
lau (P.O)
sekitar Leher kencang (+)
Thx: SDV +/+, Rh -/-, Wh f. Konsul Fisioterapi
-/- Cor: S1-S2, m (-), g (-)
g. Keluar Rumah Sakit
Abd: BU (+), timpani, supel, NT
(-) Eks: AH +/+/+/+, Edema -/-/-/-,
CRT
<2",

Status lokalis:
motorik 5/5; 5/5 , refleks fisiologis
+2/+2, refleks babinsky (-/-),
normotonus/normotonus
Kesan :
Paracervical Muscle Spasm
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai
akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik abnormal dan berlebihan dineuro-neuron secara paroksismal, didasari oleh
berbagai factor etiologi. Bangkitan epilepsy adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa
(stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi
secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, onset, jenis bangkitan, factor
pencetus, dan kronisitas. Setelah masa neonatus, penyebab epilepsi mencakup berbagai
keadaan yang didapat, kongenital atau bawaan, diantaranya ada yang khas pada anak-anak dan
beberapa dapat timbul pertama kali pada berbagai usia. Sindroma epileptik yang spesifik pada
anak-anak sangatlah ditentukan oleh umur. Epilepsi yang disebabkan kelainan metabolik
herediter atau kelainan genetik biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, epilepsi yang
disebabkan trauma lahir kadang-kadang timbul pertama kali pada masa dewasa walaupun hal
ini tidak biasa dan sebagian kecil kasus epilepsi umum primer dimulai pada usia dewasa.
Tumor otak tertentu biasanya terdapat pada anak-anak (misalnya meduloblastoma), lainnya
pada orang dewasa (meningioma) dan beberapa penyakit hanya terdapat pada usia lanjut
(misalnya demensia presenilis dan penyakit serebrovaskuler). Berbagai keadaan lain terjadi
pada anak-anak maupun orang dewasa misalnya trauma infeksi otak.
B. EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara
maju ditemukan sekitar 50/100.000, sementara di negara berkembang
mencapai 100/100.000.

Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan


pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibanding kan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia
dibawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut diatas 65 tahun
(81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada
anak cukup tinggi, yaitu pada usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar
40/100.000 kasus.
C. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Epilepsi idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya
mempunyai predisposis genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun.
2. Epilepsi simptomatik
Disebabkan oleh kelainan/ lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi
susunan saraf pusat, gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asfiksia
neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
kelainan neurodegeneratif.
3. Epilepsi kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom
West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

1. kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan

obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alcohol,

atau mengalami cidera.

2. kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak

(hipoksia), kerusakan karena tindakan.

3. cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

4. tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.

5. penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

6. radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

7. penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan

neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

8. kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang

rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi epilepsi menurut International Leage Against Epilepsy (ILAE) 1981 :

1. Kejang parsial (fokal)


a. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
 Dengan gejala motorik
 Dengan gejala sensorik
 Dengan gejala otonomik
 Dengan gejala psikis
b. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
 Awalnya parsial sederhana, kemudian dikuti dengan gangguan kesadaran
- Kejang parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Dengan automatisme
 Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
- Dengan gangguan kesadaran saja
- Dengan automatisme
c. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik), tonik atau
klonik)
 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
 Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang
menjadi kejang umum.
1. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
 Lena/ absens
 Mioklonik
 Tonik
 Klonik
 Tonik-klonik
 Atonik
2. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :

1. Berkaitan dengan letak fokus


a. Idiopatik
 Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
 Childhood epilepsy with occipital paroxysm
b. Simptomatik
 Lobus temporalis
 Lobus frontalis
 Lobus parietalis
 Lobus oksipitalis
2. Epilepsi umum
a. Idiopatik
 Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
 Benign myoclonic epilepsy in infancy
 Childhood absence epilepsy
 Juvenile absence epilepsy
 Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
 Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
 Other generalized idiopathic epilepsies
b. Epilepsi umum kriptogenik atau simptomatik
 West’s syndrome (infantile spasms)
 Lennox gastaut syndrome
 Epilepsy with myoclonic astatic seizures
 Epilepsy with myoclonic absences
c. Simptomatic
 Etiologi non spesifik
 Early myoclonic encephalopathy
 Specific disease states presenting with seizures.

E. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan tranmisi
pada sinaps. Ada 2 jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel nauron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepilefrin dan asetilkolin. Sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh
sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
menggangu fungsi membran neuron sehingga memran mudah dilampaui oleh ion Ca dan
Na dari ruangan ekstra ke intraseluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan
listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu
serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi adalah bahwa beberapa saat
serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh
neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan
pasca sinapik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus menerus berlepas muatan
memegang peranan. Keadan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi
terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.

F. DIAGNOSIS EPILEPSI

1. Tanda dan Gejala Epilepsi


1. Kejang parsial simpleks
Kejang dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan menglami gejala berupa :
 Deja vu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan.
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu.
 Halusinasi.
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi :
 Gerakan seperti mencucur atau mengunyah.
 Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang.
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti bingung.
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
3. Kejang tonik-klonik
Merupakan kejang yang paling sering. Dimana terdapat 2 tahap : tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelojotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
biasanya didahului dengan aura. Aura merupakan perasaan yang dialami
sebelum serangan, dapat berupa : merasa sakit perut, baal, kunang-kunag,
telinga berdengung. Pada tahap klonik pasien dapat : kehilangan kesadaran,
kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa
alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase
klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, pasien tampak
sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur
setelah serangan semacam ini.
Gejala Kejang Berdasarkan Sisi Otak Yang Terkena

1. Lobus frontalis Kedutan pada otot tertentu

2. Lobus oksipitalis Halusinasi kilauan cahaya

3. Lobus parietalis Mati rasa atau kesemutan di bagian tubuh tertentu

4. Lobus temporalis Halusinasi gambaran dan perilaku repetitif yang kompleks misalnya berjalan

berputar-putar

5. Lobus temporalis anterior Gerakan mengunyah, gerakan bibir mencium


6. Lobus temporalis anterior sebelah dalam Halusinasi bau, baik yg menyenangkan maupun yg

tidak menyenangkan

2. Alur Diagnosis Epilepsi


Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis encefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-
obatan tertentu.
Anamnesis meliputi ;
 Pola/bentuk serangan
 Lama serangan
 Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
 Frekuensi serangan
 Faktor pencetus
 Ada/tidak penyakit lain yang diderita sekarang
 Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembanga
 Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperi taruma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium tidak rutin dilakukan hanya atas indikasi berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditunjukkan untuk menyingkirkan adanya
penyebab kejang ekstrakranial. Pemeriksaan yang dilakukakan dapat meliputi
darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum, magnesium dan BUN.
Pemeriksaan kadar obat antikonvulsan mungkin diperlukan pada kecurigaan
ketidakpatuhan pasien terhadap regimen pengobatan.
 Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis.
Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural diotak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal :
- Asimetris irama dan voltae gelombang pada daerah yang sama pada kesua
hemisfer otak
- Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksismal.
 Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging. Bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk
membantu terapi pembedahan.

G. TATALAKSANA
Tujuan terapi epilepsi adalah :
 Obat Anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila diagnosis apilepsi sudah dipastikan,
terdapat minimal 2 kali bangkita dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui
tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
 Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis,
kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/ didapat hasil yang optimal dan
konsentrasi plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi,
secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.
 Konseling. Beritahukan kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka lama
tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen dan pencegahan kejang untuk 1-2
tahun dapat menurunkan kemungkinan bangkitan berulang..
 Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan
sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk memulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila : dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG,
terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan
kesadaran.

Jika sudah jelas diagnosis epilepsi obat anti epilepsi (OAE) dapat diberikan sesuai jenis
dan klasifikasi epilepsi. Sesuai kesepakatan dokter neurologi anak IDAI terapi dimulai jika
interval antara 2 episode kejang kurang dari 6 bulan. Prinsip pengobatan epilepsi adalah
monoterapi dengan dosis yang bisa memberantas kejang. Mulai dengan dosis kecil terlebih
dahulu, naikkan secara bertahap jika masih terdapat kejang. Obat anti epilepsi dapat dinaikkan
sampai dosis maksimal, jika dengan dosis 2 OAE kejang sudah terkontrol OAE pertama dapat
dicoba diturunkan secara bertahap. Jika dengan monoterapi kedua kejang kembali ada maka
tetap diberikan politerapi dengan 2 OAE. Lama pemberian OAE sampai 2 tahun bebas kejang,
EEG ulang dilakukan untuk evaluasi jika hasil EEG normal OAE dapat diturunkan bertahap
selama 3-4 bulan. Jika EEG abnormal, OAE dianjurkan sampai 3 tahun bebas kejang, setelah
itu dilakukan evaluasi EEG ulang.

Selama pengobatan jika masih ada kejang, sebelum menaikkan dosis OAE atau menambah
OAE dinilai dahulu kepatuhan minum obat, adakah faktor pencetus kejang.

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :


 Meningkatkan neurotransmitter inhibisi (GABA)
 Menurunkan eksitasi : melalui modifikasi konduksi ion Na, Ca, K dan Cl atau aktivitas
neurotransmitter.
Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dipahami dengan baik. Berbagai obat

antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak, terutama yang

mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai

antiepilepsi. Obat antiepilepsi terbagi dalam delapan golongan. Empat golongan antiepilepsi

mempunyai rumus dengan inti berbentuk cincin yang mirip satu sama lain yaitu golongan

hidantoin, barbiturate, oksazolidindion dan suksinimid. Akhir-akhir ini karbamazepin dan

asam valproat memegang peran penting dalam pengobatan epilepsi, karbamazepin untuk

bangkitan parsial sederhana maupun kompleks, sedangkan asam valproat terutama untuk

bangkitan lena maupun bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik klonik.

Golongan obat anti epilepsi

1. Hidantoin

obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang

pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga

pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi

fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na +) yang mengakibatkan influk

(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial

aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5

mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang sering

terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah,

kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk.

Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh

dan nystagmus.Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalahgingival

hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi

resiko gingival hyperplasia.

2. Barbiturat
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik.

Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang

penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya

menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai

obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan

konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung

terhadap reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi

pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu,

fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic

inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20

mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan

fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi,

dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas.

Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, danStevens-Johnson syndrome.

3. Deoksibarbiturat

Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Primidon

mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang primidon hampir sama

dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit

aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas

fenobarbotal. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi

antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku,

kemerahan dikulit, dan impotensi

4. Iminostilben

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin

digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin
menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na + kedalam membran

sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada

neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia

6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan

pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari. Efek samping yang

sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan

berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak)

dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan

peningkatan usia.

5. Suksimid

Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan target dari

beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca 2+ tipe T. Talamus

berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca 2+ tipe T pada

kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada

kejang absens. Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan

20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6

tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan

muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh,

mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.

6. Asam valpoat

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens,

kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan

menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi

terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta

mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek

samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual,

muntah,anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan
adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat

mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan

asam valproat adalah hepatotoksik.Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai

dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai

menyebabkan kerusakan hati.

Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait

penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan

dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan.

Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin.

Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3

pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan

penggunaan obat terkait efek samping tersebut.

7. Benzodiazepine

Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis

GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan

reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11

tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek

samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan

kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual.

8. Obat epilepsi lain

a. Gabapeptin

Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun

kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati. Uji double-blind dengan kontrol

plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan

gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median

seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo.

Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan


bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari). Gabapentin dapat

meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui.

Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca 2+ tipe L. Namun gabapentin

tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu

mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terus-menerus. Dosis gabapentin untuk anak

usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak

usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering

dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang

agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin

mengalami peningkatan berat badan.

b. Lamotrigin

Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang

memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau

menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah

blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca 2+ serta memblok pelepasan eksitasi

neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari.

Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada

pasien geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan

(penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin

dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4

minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.

c. Levitirasetam

Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifatpyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-


pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik. Mekanisme levetirasetam dalam mengobati
epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam
dapat menghambat kanal Ca2+ tipe N dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan
penurunan eksitatori atau meningkatkan inhibitori. Proses pengikatan levetiracetam dengan
protein sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari. Efek
samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP.
Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan
levetirasetam.
Penghentian pemberian OAE :

Pada anak-anak penghentian pemberian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan


setelah 2 tahun bebas serangan.

Syarat umum menghentikan OAE adalah :

 Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah 2 tahun
bebas serangan.
 Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan.
 Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama.
Pilihan OAE pertama

Nama obat Indikasi Kontraindikasi Dosis

Fenobarbital Epilepsi umum Absans 4-6 mg/kg/hari


Epilepsi fokal dibagi 2 dosis

Fenitoin Epilepsi fokal Mioklonik 5-7 mg/kg/hari


dibagi 2 dosis

Asam valproat Epilepsi umum 15-40 mg/kg/hari


Epilepsi fokal dibagi 2 dosis
Absans Target awal : 15-20
Mioklonik mg/kg/hari

Karbamazepin Epilepsi fokal Mioklonik 10-30 mg/kg/hari


Absans dibagi 2-3 dosis
Mulai dengan dosis
5-10 mg/kg/hari
Dinaikkan setiap 5-
7 hari, 5
mg/kg/hari
Target awal : 15-20
mg/kg/hari

Pilihan OAE lini kedua

Nama obat Indikasi Dosis

Topiramat Epilepsi umum 3-9 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis


Epilepsi fokal Mulai dari dosis 0.5-1 mg/kg/hari
Dinaikkan setiap 1-2 minggu hingga
dosis 5-9 mg/kg/hari

Levitiracetam Epilepsi fokal 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis


Epilepsi umum Mulai dari dosis 5-10 mg/kg/hari
Absans Dapat dinaikkan setiap 5-7 hari hingga
Mioklonik dosis 30 mg/kg/hari

Oxcarbazepine Epilepsi fokal 10-30 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis


Benign rolandic Mulai dengan dosis 5-10 mg/kg/hari
epilepsy Dapat dinaikkan setiap 5-7 hari hingga
dosis 30 mg/kg/hari

Lamotrigine Epilepsi umum 0.5-5 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis


Epilepsi fokal Mulai dengan dosis 5-10 mg/kg/hari
Absans Dapat dinaikkan setiap 2 minggu hingga
Mioklonik dosis 5 mg/kg/hari

Medikamentosa
Jika pasien datang dalam keadaan kejang, penghentian kejang harus segera dilakukan tanpa
menunggu anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-
konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah algoritma
tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Keterangan:

Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.

Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang
sama

Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang
diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada
buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;

• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)

• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)

• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)

• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)

Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan
0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.

Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan


dengan kondisi rumah sakit
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.

Bila diagnosis epilepsi telah ditegakkan, ditentukan regimen terapi antikonvulsan sesuai
jenis epilepsi. Terapi antikonvulsan diberikan sampai pasien bebas kejang selama 2 tahun.
Edukasi
Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya, termasuk kepatuhan minum obat dan efek
samping obat.
Edukasi mengenai fungsi dalam kehidupan sehari-hari :
 Pasien dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lain seusianya, termasuk
berolahraga
 Pada aktivitas fisik tertentu, seperti berenang sebaiknya pasien ditemani orang lain.
Aktivitas fisik yang ekstrem, kurang tidur, stress psikis sebaiknya dihindari.

Pemantauan

Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respon terhadap obat dan
timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan pemeriksaan darah tepi dan fungsi hati)
juga perlu dilakukan evaluasi neurologik ulang secara berkala.
F. PROGNOSIS

Terkadang pasien mengalami perjalanan penyakit yang memburuk sejak permulaan


penyakit dan mungkin meninggal dalam beberapa tahun sejak pertama kali timbul
gejala.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2 FK UI. Jakarta : Info Medika Jakarta
2. Coulam CB, Annegers JF. Do anticonvulsants reduce the efficacy of the
oralcontraceptive? Epilepsia. 1979;20:519-25.
3. GJ Tucker. Textbook Of Traumatic Brain Injury: Seizures. American Psychiatric
Publication. 2005. pp. 309–321
4. J Mani,E Barry. Posttraumatic epilepsy: The Treatment of Epilepsy: Principles and
Practice. Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. pp. 521–524
5. Kaneko S, Battino D, Andermann E, Wada K, Kan R, Takeda A, et al. Congenital
malformations due to antiepileptic drugs. Epilepsy Research. 1999;33:145-58.
6. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol 2. Jakarta: EGC
7. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta: EGC.
8. PERDOSSI. Pedoman Penatalaksanaan Kejang dan Epilepsi. Perhimpunan Dokter
Saraf 2007.
9. PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. Ed: 3. Jakarta. 2008
10. Price dan wilson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed: 6.
Jakarta: EGC
11. S. William, WM. Chelsea, SE Joseph. Adult onset epilepsies, DW Chadwick. From
Cell to Community-A practical guide to epilepsy. National Society for Epilepsy. 2007.
pp 127-132.
12. Samren EB, van Duijn CM, Koch S, Hiilesmaa VK, Klepel H, Bardy AH, et al.
Maternal use of antiepileptic drugs and the risk of major congenital malformations: a
joint european prospective study of human teratogenesis associated with maternal
epilepsy. Epilepsia. 1997;38:981-90.
13. Scottish Intercollegiates Guidelines Network. Diagnosis and Management of Epilepsies
in Adults. April 2003. Retrieved 18 April 2013.
14. Shorvon SD, Tallis RC, Wallace HK. Antiepileptic drugs: coprescription of
proconvulsant drugs and oral contraceptives: a national study of antiepileptic drug
prescribing practice. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry. 2002;72:114-
5.
15. Tjahjadi, dkk. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta Neurologi.
Yogyakarta; gadjah Mada University Press. 2005

Anda mungkin juga menyukai