Anda di halaman 1dari 18

PORTOPOLIO

Kasus 2
Topik : Sindroma Nefrotik Relaps
Tanggal (kasus) : 07 Juni 2021 Presenter: dr. Septi Rosalina
TanggalPresentasi : Pendamping: dr. Huratio Nelson, Sp.PA
TempatPresentasi :
ObjektifPresentasi :
□Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi : Seorang laki-laki, umur 5 tahun, wajah sembab sejak 12jam smrs
□ Tujuan : Menegakkan diagnosis
BahanBahasa
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □Kasus □ Audit
n:
Cara □ Presentasi dan □ Pos
□Diskusi □ E-mail
Membahas : Diskusi
Data Pasien :An. RA No. Registrasi: 348305
Nama RS: RSUD Sekayu Telp : Terdaftarsejak :07 Juni 2021
Data Utama untukBahanDiskusi :
Gambaran Klinis: Anak. R 5 tahun datang dengan keluhan wajah sembab sejak 12jam smrs.
Disertai perut dan kaki bengkak, BAK keruh disangkal. BAK merah disangkal. Riwayat keluhan
serupa 3 bulan yang lalu, putus minum obat 2 pekan terakhir.
1. Riwayat Pengobatan: Putus minum obat 2 pekan terakhir
2. Riwayat kesehatan/Penyakit: 3 bulan yang lalu didiagnosis ginjal bocor
3. Riwayat Keluarga : tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa
4. Riwayat Pekerjaan(orangtua) :Ayah pasien sebagai pegawai swasta, ibu pasien sebagai
ibu rumah tangga.
Kesan: Sosio ekonomi menengah kebawah
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran : Pasien lahir secara normal di bantu bidan, usia
gestasi dikatakan cukup bulan. Saat lahir langsung menangis, tidak dilakukan resusitasi,
tidak kuning atau tampak kebiruan. Setelah lahir pasien diperbolehkan pulang. Berat badan
lahir 3000 gram, panjang badan lahir tidak ingat

5. Riwayat Imunisasi: lengkap


Hasil Pembelajaran :

1. Mampu mendiagnosis Sindrom Nefrotik


2. Mampu mengetahui gejala klinis Sindrom Nefrotik
3. Mampu mengetahui penatalaksanaan Sindrom Nefrotik

Rangkuman Hasil PembelajaranPortofolio

1. Subjektif :

Data diperoleh dari autoanamnesis dan aloanamnesis pada tanggal 07 Juni 2021 di Instalasi
Gawat Darurat RSUD Sekayu.

Keluhan Utama

Pasien dating ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Sekayu dengan keluhan mata sembab sejak
12 jam smrs

Riwayat Penyakit Sekarang

Anak. R 5 tahun datang dengan keluhan wajah sembab sejak 12jam smrs. Disertai perut dan
kaki bengkak, BAK keruh disangkal. BAK merah disangkal. Riwayat keluhan serupa 3 bulan
yang lalu, putus minum obat 2 pekan terakhir..

Riwayat PenyakitDahulu

Riwayat alergi makanan dan obat disangkal. Riwayat dirawat di rumah sakit disangkal.
Riwayat trauma disangkal. Riwayat trauma disangkal. Riwayat infeksi saluran napas, infeksi
di kulit, diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, liver dan penyakit lainnya disangkal.
Saat ini tidak sedang konsumsi obat-obatan rutin.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluhan serupa dalam keluarga. Riwayat keganasan dalam keluarga disangkal.
Riwayat sakit jantung disangkal. Riwayat batuk lama dan konsumsi obat antibiotik minimal
6 bulan disangkal.

Riwayat Penyakit dan Sosial

Pasien adala kedua dari dua bersaudara. Pasien tinggal bersama kedua orangtua dan satu
kakaknya. Bermain dirumah atau mengikuti kegiatan ibu pasien.

Riwayat Kehamilan

Selama hamil ibu pasien ANC dibidan puskesmas. Saat hamil tidak ada masalah atau
penyulit dan tidak konsumsi obat-obatan kecuali vitamin tambah besi.

Riwayat Persalinan

Pasien lahir secara normal di bantu bidan, usia gestasi dikatakan cukup bulan. Saat lahir
langsung menangis, tidak dilakukan resusitasi, tidak kuning atau tampak kebiruan. Setelah
lahir pasien diperbolehkan pulang. Berat badan lahir 3000 gram, panjang badan lahir tidak
ingat

Riwayat Imunisasi

BCG 1x, Hepatitis B 1x, DPT-Hb-Hib 4x, Polio 4x, Campak 2x dan Influenza 2x

Riwayat TumbuhKembang

Tumbuh kembang sesuai dengan anak sebayanya.

Riwayat Nutrisis

ASI ekslusif hingga usia 6 bulan. Makan makanan pendamping ASI seja kusia 6 bulan dan
mulai makan makanan keluarga sejak usia 1 tahun 2 bulan hingga sekarang.

2. Objektif :

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


a. Kesadaran : Compos mentis
b. Tanda Vital
 Tekanan darah : 90/60 mmHg
 Nadi : 118 x/menit, regular, isi cukup
 Napas : 28 x/menit, regular
 Suhu : 36,6 oC
c. Status Gizi
 Berat badan : 17 kg
 Tinggi badan : 110 cm
 LiLA : 14 cm
 Kesan : Gizi baik, perawakan baik, BB baik
d. Status Generalis

Kepala
Bentuk :Normocephali
Wajah : Simetris, dismorfik (-), edema (-)
Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut
Ubun-ubun : Ubun-ubun sudah menutup
Mata : Palpebra edema (+/+), konjungtiva anemis (-/-),sclera ikterik (-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-), hiperemis(-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-)
Telinga : Simetris, otorea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thoraks
Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal, torakoabdominal, retraksi supra sternal (-), retraksi
otot sela iga (-)
Palpasi : Massa tidak ada, pembesaran KGB tidak ada, ekspansi dada simetris,
fremitus normal
Perkusi : Sonor pada hemithorax bilateral, anterior dan posterior
Auskultasi : Vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung
Inspeksi : ictus kordis tidakterlihat
Palpasi : ictus kordis teraba pada ICS V 1 jari medial midklavikula sinistra
Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea parasternalis dextra
Batas kiriatas ICS II linea parasternalis sinistra Batas kanan bawah ICS
IV linea parastrenalis dextra
Batas kiri bawah ICS IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : S1-S2 Normal, murmur -, gallop -

Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), massa (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit
kembali cepat.
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, shifting dulness (-)
Auskultasi : BU (+) normal.

Genitalia
Edema scrotum (+), hiperemis (-), fimosis (-)
Anus
Ada (+) normal, atresia ani (-)
Ekstremitas Atas
Akralhangat (+/+),CRT <2detik, edema (-/-)
Ekstremitas Bawah
Akralhangat(+/+), CRT < 2 detik, edema pretibial bilateral (+/+)

1.1. Pemeriksaan Penunjang


PEMERIKSAAN HASIL NILAI INTERPRETASI
RUJUKAN

Hemoglobin 10.8 14.0 – 18.0 Menurun

Hematokrit 33,8 35 – 43 Menurun

Leukosit 6.9 4,5 – 13,5 DBN

Trombosit 578 217 – 479 Meningkat

Eritrosit 5.03 4.00 - 5.30 DBN

HITUNG JENIS

Basofil 0 0-1 DBN

Eosinofil 2 1-3 DBN

Neutrofil 27 32-52 Menurun

Limfosit 65 25-40 Meingkat

Monosit 5 2-8 DBN

KIMIA DARAH

Albumin 1,6 3,5-5,2 Menurun

Ureum darah 15 15-36 DBN


Creatinin darah 0,34 0,62-1,26 Menurun

Kolesterol total 515 <200 Meningkat


SEROLOGI

ASTO Neg neg DBN

URINALISA

Warna Kuning Kuning DBN

Kejernihan Jernih Jernih DBN

BJ 1.015 1.003-1.060 DBN

PH 7.0 4.5-8.0 DBN

Protein urin +2 neg Meningkat

Keton - - DBN

Urobilinogen 0.2 0.2-1.0 DBN

Nitrit Neg Neg DBN

Leukosit esterase Neg Neg Abnormal

Leukosit 1-2 0-5 DBN

Eritrosit 1-2 <3 DBN

Epitel 1-2 1-15 DBN

3. Assesment:

Pada anamnesis didapatkan anak laki-laki usia 5 tahun keluhan wajah sembab sejak 12jam smrs.
Disertai perut dan kaki bengkak, BAK keruh disangkal. BAK merah disangkal. Riwayat keluhan
serupa 3 bulan yang lalu, putus minum obat 2 pekan terakhir . Awalnya keluhan bengkak timbul
di kedua kelopak mata dan wajah yang muncul ketika bangun tidur dan tidak menghilang
seharian. Kemudian semakin lama muncul bengkak pada bagian tubuh lainnya seperti kedua
tangan, perut, alat kelamin, dan kedua tungkai kaki. Dari keluhan tersebut dapat dipikirkan
pasien mengalami edema anasarka yang dapat terjadi karena adanya masalah pada ginjal ataupun
non ginjal. Pada ginjal, kelainan dapat terjadi pada parenkim ginjal (seperti sindrom nefrotik,
akut ataupun kronik glomerulonephritis dan gagal ginjal) sedangkan non ginjal dapat terjadi
tanpa adanya penyakit ginjal structural (seperti masalah pada jantung, hepar, maupun kondisi
malnutrisi).
Adanya kelainan non ginjal seperti penyakit jantung dapat tersingkirkan karena pada pasien tidak
adanya keluhan sesak nafas, batuk, kebiruan, terbangun dimalam hari, cepat lelah maupun
berkeringat akibat edema yang dialaminya serta keluhan sakit jantung sebelumnya. Penyakit
hepar dapat disingkirkan karena pada pasien tidak ada keluhan BAB dempul, BAK seperti teh,
riwayat sakit kuning. Kemungkinan pasien mengalami malnutrisi disingkirkan karena dari hasil
skrining nutrisi ditemukan pasien memiliki kondisi gizi baik.
Kemungkinan pasien mengalami kelainan pada ginjal disingkirkan. Selain itu, pasien juga tidak
mengeluh BAK keruh dan frekuensi BAK yang berkurang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan keadaan
umum pasien tampak sakit sedang, composmentis, edema palperbra bilateral, pitting edema
bilateral namun pada pemeriksaan paru didapatkan vesikuler (+/+) whezing dan ronki (-/-) dan
pada pemeriksaan abdomen didapatkan datar, supel, BU (+) normal, nyeri tekan (-) hepar dan
lien tidak teraba, perkusi timpani diseluruh lapang perut dan shifting dullnes (-) serta edema
scrotum (-). Hal ini menunjukan adanya edema yang ringan. Maka pasien sudah memenuhi
kriteria diagnosis sindrom nefrotik IDAI berupa 1 dari 4 kriteria yaitu edema.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan protein total menurun, albumin menurun (1,6 g/dl),
kolesterol meningkat (515 g/dl) dan albumin urin +2.
Sesuai dengan teori pada buku ajar Nefrologi Anak, diagnosis SN dapatkan ditegakan bila
memenuhi kriteria yaitu, (1) proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/ jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), (2) Hipoalbuminemia ≤ 2,5
g/dL, (3) Edema, (4) Dapat disertai hiper kolesterolemia. Pada pasien ini keempat kriteria
tersebut terpenuhi. Pasien sudah mengalami keluhan seperti ini 3 bulan yang lalu, sesuai dengan
kategori SN pada buku ajar nefrilogi anak maka pasien tergolong sebagai relaps jarang yaitu SN
yang kambuh < 2x dalam 1 tahun. Oleh karena itu diagnosis kerja pada pasien ini adalah sindrom
nefrotik relaps jarang.
Untuk mengetahui etiologi SN yang tejadi, maka perlu dilakukan pemeriksaan tambahan untuk
menyingkirkan penyakit lainnya. Adanya kemungkinan pasien mengalami sindrom nefritik dapat
disingkirkan dari pemeriksaan urinalisa ditemukan darah/hb dan red blood cast negatif serta pada
pasien ini dapat disingkirkan pula kemungkinan glomerulonefritis akut pasca streptokokus yaitu
pada pemeriksaan ASTO didapatkan hasil negatif. Untuk menyingkirkan penyakit sistemik
seperti SLE dan HSP dapat di pemeriksaan komplemen C3 ditambah dengan komplemen C4,
ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
Tatalaksana pada pasien ini adalah mengatasi edema dengan pemberian diuretik dan albumin.
Terapi sindrom nefrotik inisial diberikan prednison selama 4 minggu kemudian dilakukan
evaluasi dengan melihat albumin dan protein urin untuk menilai respon klinis dan terapi
selanjutnya.

4. Plan :

Terapi medikamentosa

- IVFD D10% gtt X tpm mikro


- Lasix (Furosemid) 1x25 mg iv
- Albumin 20% 50 ml iv selama 4 jam
- Metilprednisolon 3x8mg
- Atorvastatin 1x10mg po
- Atorvastatin 1x20 mg po
- Non Medikamentosa
- Makan biasa per oral 1900 kkal/hari
- Diet protein normal sesuai RDA 1,5-2 G/kgBB/ hari
- Diet rendah garam 1-2 g/hari hanya jika edema masih ada

Edukasi

- Tanda-tanda sindrom nefrotik


- Penyebab, pengobatan, komplikasi, dan prognosisnya
- Kemungkinan relaps
- Efek samping penggunaan obat steroid jangka panjang pada sindrom nefrotik
- Menjelaskan Pengobatan selanjutnya jika resisten terhadap steroid
- Diet rendah garam jika edema
- Menjelaskan bahwa SN tidak dapat sembuh namun bias remisi
Saran Pemeriksaan
- Periksa kadar C3, C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA untuk
menyingkirkan kemungkinan SLE
- Periksa albumin dan protein urin ulang untuk menilai respon klinis dan evaluasi
pengobatan
Konsultasi :-
TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

Sindrom merupakan suatu kumpulan gejala-gejala. Sindrom nefrotik ditandai dengan


proteinuria, hipoproteinemia, edema dan hiperlipidemia. Kebanyakan (90 %) anak yang
menderita sindroma nefrotik mempunyai beberapa bentuk sindroma idiopatik; penyakit
lesi minimal ditemukan pada sekitar 85%, proliferasi mesangium pada 5%, dan sklerosis
setempat 10%.1

Sindrom nefrotik (SN) yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom
nefrotik primer atau idiopatik. Penyakit ini ditemukan 90 % pada kasus anak. Apabila
penyakit ini timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan
obat atau toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder. Insiden penyakit sindroma
nefrotik primer ini 2-4 kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun,
dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insiden di Indonesia
diperkirakan 6 kasus per tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-
laki dan perenpuan pada anak sekitar 2 : 1. Laporan dari luar negeri menunjukkan dua
pertiga kasus anak dengan sindom nefrotik dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.2,3

Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun. Jadi, merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Keberhasilan awal dalam
mengendalikan sindroma nefrotik dengan obat-obatan ”imunosupresif” memberi kesan
bahwa penyakitnya diperantarai oleh mekanisme imunologis, tetapi bukti adanya
mekanisme jelas imunologis yang klasik belum ada, dan sekarang agaknya jelas bahwa
obat-obatan ”imunosupresif” mempunyai banyak pengaruh selain dari penekanan
antibodi. Sebagian kecil penderita mempunyai bukti bahwa penyakit ini diperantarai
oleh IgE, tetapi bukti semakin banyak mengesankan bahwa sindrom ini mungkin
diakibatkan dari kelainan fungsi limfosit yang berasal dari timus (sel-T), mungkin melalui
produksi faktor yang meningkatkan permeabilitas vaskuler.1

1.1 Definisi
Sindroma nefrotik (SN) merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala proteinuria
masif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥2+),hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dl, edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia. 1,3
1.2Etiologi

Penyebab SN masih belum diketahui dengan pasti. Kelainan ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun, dimana timbul sebagai reaksi antigen-antibodi. Umumnya para
ahli membagi etiologinya menjadi :

1. Sindroma nefrotik bawaan


Bentuk bawaan ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Diturunkan secara
resesif autosomal atau karena reaksi fetomaternal dan resisten terhadap semua
pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal
telah dicoba tapi tidak berhasil. Prognosisnya buruk dan biasanya pasien
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupan.1,4
2. Sindroma nefrotik sekunder (apabila penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik
karena obat-obatan, alergen, toksin,dan lain-lain)2
3. Sindroma nefrotik primer/idiopatik

1.3 Klasifikasi Histopatologis


Klasifikasi kelainan histopatologi glomerulus pada SN digunakan sesuai
dengan rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian
besar ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi.2
Sebagian besar gambaran sindrom nefrotik idiopatik pada anak mempunyai
gambaran patologi anatomi berupa sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM).
Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental
(GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 1,9-3%, glomerulonefritis
membranoproliferatif (GNMP) 6,2% dan nefropati membranosa (GNM) 1,3%.3

1.4 Patofisiologis
Sindrom nefrotik ditandai dengan :

1. Proteinuria
Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan gejala
klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Eksresi protein sama atau
lebih besar dari 40mg/jam/m2 permukaan badan, dianggap proteinuria berat.1,2 Jenis
protein yang keluar pada SN bervariasi tergantung pada kelainan dasar glomerulus.
2. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin dalam tubuh ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam
keadaan seimbang, laju sintesis albumin dan degradasi serta hilangnya dari tubuh
adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju
eksresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia.Satu penelitian pada anak
ditemukan kenaikan laju sintesis dua kali pada SN menunjukkan bahwa kapasitas
meningkatkan sintesis hati terhadap albumin tidak cukup untuk mengkompensasi
laju kehilangan albumin yang abnormal.2
3. Kelainan metabolisme lipid
Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang
meningkat atau degradasi yang menurun. Meningkatnya produksi lipoprotein di
hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap
lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan.Namun meningkatnya kadar lipid dapat
pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini
rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktifitas lipase
lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya alfa
glikoprotein asam sebagi perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali
normal, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. 2
4. Edema
Teori klasik mengenai pembentukan edema (underfilled theory) adalah menurunnya
tekanan onkotik intravaskuler yang menyebabkan cairan merembes ke ruang
intersisial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar
menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan
menurunnya tekanan onkotik plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan
meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke
ruang interstisial yang menyebabkan terbentuknya edema. 1,2,4

1.5 Diagnosis
1.5.1 Gambaran Klinis
Manifestasi klinis SN biasanya muncul sebagai edema, yang pada mulanya ditemukan
pada kedua kelopak mata. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat
atau dapat menghilang dan timbul kembali. Lamban laut edema menjadi menyeluruh,
yaitu ke pinggang, perut dan tungkai. Orang tua pada saat ini sering mengeluhkan berat
badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah namun
tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat.1,2

Edemadapat berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata
dan muka saat bangun tidur sedangkan pada tungkai tampak dalam posisi berdiri. Edema
pada anak pada awal perjalanan penyakit SN dinyatakan sebagai lembek dan pitting.
kadang pada edema yang masif terjadi robekanpada kulit secara spontan dengan
keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan
menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. 2

Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini
rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema di
mukosa usus. Selain itu oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi
pleura maka pernafasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. 1,2

1.5.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain : 3

1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin


2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah :
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit,
LED)
b. Kadar albumin dan kolesterol plasma
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik
d. Kadar komplemen C3;bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4,ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA.
Analisis urin menunjukkan adanya proteinuria dengan intensitas bervariasi.

Hematuria mikroskopis mungkin ada, tapi jarang ada gross hematuria. Fungsi ginjal
mungkin normal atau menurun. Ekskresi protein melebih 2gr/24jam, kadar kolesterol
dan trigliserida serum kadang naik, kadar albumin serum biasanya kurang dari 2g/dl,
dan kadar kalsium serum total menurun, karena penurunan fraksi terikat albumin.
Pemeriksaan sedimen urin sering ditemukan sedikit eritrosit dan leukosit.4
1.6 Penatalaksanaan
 Dietetik
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontra indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metbolisme protein dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerulus. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA
yaitu 2 g/kgBB/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak mengalami edema. 3
 Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
duiretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah. 3Bila pemberian
diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya
disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( kadar albumin ≤1
g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25 % dengan dosis 1 g/kgBB selama
4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari
segi biaya,dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-
lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, albumin dan plasma dapat diberikan selang sehari
untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites semakin berat sehingga mengganggu pernafasan dapat dilakukan
pungsi asites berulang.3
 Antibiotik profilaks
Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites diberikan antibiotik
profilaksis dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema
berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis,
tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda infeksi segera
beri antibiotik. Biasanya diberikan jenis amoksisilin, eritromisin, atau
sefaleksin. 3
 Imunisasi
Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu
setelah steroid dihentikan, hanya boleh mendapatkan vaksin mati,. Setelah
lebih dari 6 minggu penghentian streroid dapat diberikan vaksin hidup.3
 Pengobatan dengan kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan pertama, kecuali
bila ada kontraindikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon. Untuk
menggambarkan respon terapi terhadap steroid pada anak dengan sindroma
nefrotik digunakan istilah-istilah sebagai berikut :3
 Remisi : proteinuria negatif atau proteinuria <4mg/m2/jam selama 3 hari
berturut- turut.
 Relaps : proteinuria ≥2+ atau proteinuria > 40mg /m 2/jam selama 3 hari
berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
 Relaps jarang : kambuh < 2x dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam
periode 12 bulan.
 Relaps sering : kambuh ≥2x dalam 6 bulan pertama setelah respon awal,
atau ≥4x kambuh pada setiap periode 12 bulan.
 Responsif steroid : remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
 Dependen steroid : terjadi 2x kambuh berturut-turut selama masa tappering
terapi steriod atau dalam 14 hari terapi steroid dihentikan.
 Resisten steroid : gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi
prednison 60mg/m2/hari selama 4 minggu.

Protokol pengobatan3

a. Pengobatan inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children)
pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh 60 mg/m 2
LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk
menginduksi remisi. Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka steroid dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/ m2 LPB/hari secara alternating (selang sehari), 1 kali
sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh,
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. 3
b. Pengobatan relaps
Pada pengobatan relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN
yang mengalami proteinuria ≥2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai
pemberian prednison terlebih dulu cari penyebabnya, biasanya infeksi saluran nafas
atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari . Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps dan diberikan
pengobatan relaps.3

c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


1. Steroid jangka panjang
Bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering / dependen steroid, setelah
mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid
alternating dengan dosis yang diturunkan bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBb alternating.
Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan,
kemudian dicoba dihentikan.
Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <
1 mg.kgBB alternating tanpa efek samping yang berat dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari, selama 4-12
bulan atau atau langsung diberikan CPA (siklofosfamid). 3
2. Levamisol
Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan.
Efek samping levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia reversibel.
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang sehari
selama 4-12 bulan.3
3. Sitostatik
Obat sitostatika yang sering dipakai pada pasien SN adalah siklofosfamid (CPA)
2-3 mg/kgBB atau klorambusil dosis 0,2-0,3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgBB, dan
dosis ini aman bagi anak.3
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 5 mg/kgBB/hari. Pada SN
relaps sering /dependen steroid,CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan
remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangin atau dihentikan. Tetapi bila
CyA dihentikan biasanya akan relaps kembali.3
d. Pengobatan SN resisten steroid
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi pada 20%
pasien. Bila terjadi relaps kembali setalah pemberian CPA, meskipun sebelumnya
merupakan SN resisten steroid,dapat dicoba lagi pengobatan relaps dengan
prednison, karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. 3
2. Siklosporin (CyA)
CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien
dan remisi parsial 13 %. 3
3. Metil-Prednisolon Puls
Mendoza dkk(1990) melaporkan bahwa pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu bersama dengan prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil selama 8-12 minggu pada pengamatan selama 6
tahun, 21 dari 32 penderita tetap menunjukkan remisi total dan gagal ginjal
terminal hanya ditemukan pada 5 % dibandingkan 40% kontrol.

1.7 Komplikasi
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau
sebagai akibat pengobatan :
1. Perubahan hormon dan mineral
Gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon hilang dalam urin.
Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada pasien SN dan laju
ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. Pada pasien
SN juga mengalami penurunan absorpsi kalsium gastrointestinal, dengan ekskresi
kalsium dalam feses sehari-harinya sama atau lebih besar dari pemasukan lewat
makanan. Meningkatnya reabsorpsi kalsium dalam tubulus ginjal mungkin
sebagai akibat sedikitnya reabsorpsi natrium.1,2
2. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien dengan SN tanpa diberikan
steroid adalah malnutrisi protein, kalori, kurang nafsu makan, hilangnya protein
dalam urin, dan malabsorpsi karena edema traktus
gastrointestinal.Namun,sekarang penyebab utama adalah karena pengobatan
dengan steroid. Pengobatan steroid dosis tinggi dan waktu lama memperlambat
maturasi tulang dan berhentinya pertumbuhan linier, terutama apabila dosis
melampaui 5 mg/m2/hari.2
3. Infeksi
Beberapa sebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah kadar
imunoglobulin yang rendah, defisiensi protein secara umum, gangguan opsonisasi
terhadap bakteri, hipofungsi limpa dan akibat penobatan imunosupresif.2
4. Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien SN. Anemianya
hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap
pengobatan besi. Pada pasien dengan volume vaskuler yang bertambah anemianya
terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang
sangat menurun, karena hilangnya protein ini di urin dalam jumlah besar.2

1.8 Prognosis
Umumnya baik,kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
 Menderita untuk pertama kalinya pada umur dibawah 2 tahun atau diatas 5
tahun.
 Disertai oleh hipertensi
 Disertai hematuria
 Termasuk jenis sindroma nefrotik sekunder
 Gambaran histopatologis yang bukan kelainan minimal.3,4
DAFTAR PUSTAKA

1. Bergstein JM. Sindrom Nefrotik. Dalam: Behrman, Kliegman, Arvin, penyunting, Nelson
Ilmu Kesehatan Anak Volume 3. Edisi 15.Jakarta : Saunders; 2000, halaman 1728-1832.

2. Wila Wirya IGN. Sindroma Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihartono PP, dkk,
penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2002, halaman 381-426.

3. Husein A, Tatalan T, Partini PT, Sudung OP. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik
Idiopatik Pada Anak. Jakarta: IDAI; 2005.

4. Noer MS. Sindrom Nefrotik resisten steroid dan permasalahannya. Dalam: IDAI.
Simposium Nasional Nefrologi Anak IX. Hemato-onkologi anak. Batu IDAI; 2003,
halaman 16-37.

Anda mungkin juga menyukai