Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kebutuhan dan fungsi dari pemahaman terhadap kondisi seseorang,atau ekspresi
manusia, bagi eksistensi, telah berhasil disusun oleh Dilthey dalam uraiannya mengenai
“munculnya Hermeneutik”. Wacana terkait hermeneutika bukan menjadi kajian tabu lagi
untuk diperbincangkan. Terlebih bagi yang berkiprah dalam bidang tafsir. Di era modernitas
saat ini, pola pikir manusia yang awalnya dikenal dengan pola pikir kosmosentris (pemikiran
berpusat pada alam), kemudia disusul era skolastik yang masyhur dengan nalar teosentris
(pemikiran berpusat pada Tuhan), kini menjadi pola pikir antroposentris (berpusat pada
manusia). Peralihancorak fikir era modern ini berimplikasi pada dominasi pemaknaan dan
kebenaran oleh ide-ide yang sejajar dengan sentris yang berlaku. Ada dua hal yang menjadi
isu kontemporer munculnya paradigma baru ini. Pertama, kesadaran atas kontekstualitas,
yaitu kesadaran setiap individu, kelompok atau komunitas sosial tertentu yang berperilaku
dan bernalar sesuai dengan konteks kehidupannya; baik historis, sosial budaya-politik, sikap
keagamaan sampai pada konteks psikologis. Kedua, kesadaran progresifitas terhadap
dinamika perkembangan dalam kehidupan manusia, bahwa kehidupan manusia ini tidak statis
atau mandeg, namun senantiasa terjadi proses dialogis dan dialektis antar variabelnya.
Berdasarkan asumsi inilah hermeneutika menemukan jati dirinya yang strategis sebagai satu
disiplin ilmu yang menggarap wilayah pemahaman dan penafsiran manusia terhadap realitas
kehidupannya.

1
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, rumusan masalah dari
makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud hermeneutika ?
2. Bagaimana pandangan Friederich Schleiemacher mengenai hermeneutika?
3. Bagaimana pandangan Martin Heidegger mengenai hermeneutika?
1.3. Tujuan
Berdasarkan pembahasan di atas, tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud hermeneutika
2. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan Friederich Schleiemacher mengenai
hermeneutika
3. Bagaimana pandangan Martin Heidegger mengenai hermeneutika

2
BAB II
ISI
2.1. Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika merupakan salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi
makna. Namun hermeneutika diambi dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang
berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut
kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa pengetahuan dalam metologi Yunani
yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan
oleh para dewa-dewa di Olympus. Fungsi Hermes sangatlah penting sebab bila terjadi
kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia.
Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa
yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta
yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil-tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung
pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya
diartikan sebagai „proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku
dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan
penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis. Konsep ini
terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan).1 Hermeneutika
diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya
secara rasional. Dalam tradisi filsafat Islam, ulama kalam menggunakan istilah Takwil
sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.2

2.1. Pandangan Friederich Schleiermacher


Schleiermacher membedakan hermeneutik kedalam pengertian sebagai ilmu atau seni
memahami dengan hermeneutik yang didefinisikan sebagai studi tentang memahami itu
sendiri ( Richard E. Palmer, 1969 :40). Nashruddin Baidan dalam bukunya Wawasan Baru
Ilmu tafsir mengutip pendapat Schleiermacher, ia mengatakan: “Betapapun yang penting
dalam penafsiran kitab suci bukanlah prosedurnya, melainkan pengembangan gramatika dasar
dan kondisi psikologis”
Penerapan hermeneutik sangatlah luas, yakni dalam bidang teologis, filosofis, linguistik
maupun hukum. Pada dasarnya hermeneutik adalah filosofis, sebab merupakan “bagian dari

1
Palmquist, Stephen (2000). Tree of Philosophy. Hongkong. Parameter
2
Corbyn,Henry (1962). London and New York : Kean Paul Internationa
3
seni berpikir”. Pertama-tama buah pikiran kita mengerti, baru kemudian kita ucapkan. Oleh
sebab itu, inilah alasan Schleiermacher menyatakan bahwa bicara kita berkembang dengan
buah pikiran kita. Namun, bila pada saat berpikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan
dalam mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah terdapat apa yang disebutnya
sebagai transformasi berbicara yang internal dan orisinal, karenanya interpretasi menjadi
penting.
Dari situ, terlihat bahwa Schleiermacher memberikan jurang pemisah antara berbicara
atau berpikir yang sifatnya intrenal dengan ucapan yang aktual. Dalam setiap kalimat yang
diucapkan, terdapat dua momen pemahaman, yaitu apa yang diaktakan dalam konteks bahasa
dan apa yang dipikirkan oleh pembicara. Menurut Schleiermacher, pemahaman hanya
terdapat di dalam kedua momen yang saling berpautan sama lain itu. Baik bahasa maupun
pembicaranya harus dipahami sebagaimana seharusnya.
Tugas Hermeneutik menurut Schleiermacher adalah memahami teks sebaik atau lebih
baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami penagarang teks lebih baik dari pada
memahami diri sendiri. Penjelasan terkait hermeneutik gramatikal dan psikologis adalah
sebagai berikut :
a. Hermeneutika gramatikal adalah penafsiran yang didasarkan pada analisa bahasa.
Karena itu, seorang penafsir teks harus menguasai aspek-aspek bahasa. Semakin dia
menguasai bahasa, semakin baik penafsirannya. Bagi Schleiermacher, hermeneutik gramatikal
ini merupakan sisi obyektif penafsiran. Menurut Schleiermacher, ada beberapa prinsip dan
kaedah linguistik yang harus dipegangi. Antaranya adalah sebagai berikut :
 “Everything in given utteran which requires a more precise determination may only
be determined from the language area which is common to the author and his original
audiences” (segala hal yang ada dalam ungkapan tertentu yang menuntut penentuan
[makna] yang lebih tepat hanya dapat ditetapkan melalui bidang bahasa yang telah
diketahui oleh pengarang dan audiens orisinal/orisinal.
 “The sense of every word in a given location must be determined according to its
being together with those that surround it” (makna setiap kata pada tempat tertentu
harus ditentukan sesuai dengan kebersamaannya dengan kata-kata lain yang berada
disekitarnya.)
 Ketiga, the vocabulary and the history of the area of an author relates as the whole
from which his writings must be understood as the part, and the whole must, in turn,
be understood from the part. ( kosakata[ bahasa] dan sejarah era pengarang dipandang
sebagai keseluruhan [whole] yang darinya tulisan-tulisannya harus dipahami) sebagai

4
bagian [part], dan keseluruhan [whole] pada gilirannya harus dipahami dari bagian-
bagiannya [part]. 3
b. Hermeneutika Psikologis
Schleiermacher berpendapat bahwa seseorang tidak bisa memahami sebuah teks hanya
dengan semata-mata memperhatikan aspek bahasa saja, melainkan juga dengan
memperhatikan aspek kejiwaan pengarangnya. Seorang penafsir teks harus memahami seluk-
beluk pengarangnya.
Ada dua tawaran metode dari Schleiermacher menanggapi pernyataan di atas terkait
cara untuk memahami kejiwaan dari seorang. Antara lain adalah divinatory method dan
comparative method. Adapaun maksud dari metode divinatori adalah metode dimana
seseorang mentransformasikan dirinya atau memasukkan dirinya ke dalam (kejiwaan) orang
lain dan mencoba memahami orang itu secara langsung. Sedangkan metode kedua adalah
sesorang mufassir berusaha memahami seseorang dengan cara membandingkannya dengan
orang-oarng lain, dengan asumsi bahwa mereka sama-sama memiliki sesuatu yang universal
atau dengan kata lain : „kesamaan-kesamaan‟. Schleiermacher menegaskan bahwa kedau
metode tersebut tidak bisa dipisahkan. Hal ini didasarkan pada hal berikut : “divination
[memasuki psikologi orang secara langsung] bisa mencapai kepastiaannya melalui
perbandingan konfirmatif, karena tanpa hal itu, ia selalu tidak bisa dipercaya.
Nashruddin Baidan dalam bukunya Wawasan Baru Ilmu tafsir mengutip pendapat
Schleiermacher, ia mengatakan: “Betapapun yang penting dalam penafsiran kitab suci
bukanlah prosedurnya, melainkan pengembangan gramatika dasar dan kondisi psikologis”.

2.3. Pandangan Heideggeer


Pemikiran awal Heidegeer sangat dipengaruhi oleh Husserl meski di sisi lain tampak
usaha Heidegger untuk keluar dari bayang-bayang gurunya. Di dalam Ontology─The
hermeneutics of Facticity, Heidegger mengembangkan beberapa kemungkinan melalui
evaluasi ulang fenomenologi Huserlian, yang terdapat dalam bukunya Logical Investigation,
untuk membangun sebuah proyek hermeneutika baru. Heidegger mulai dengan mengevaluasi
akar kata fenomena dalam bahasa Yunani. Akar kata Yunani untuk fenomena berarti “show it
self from it self” dalam sebuah “distinctive mode of being-an-object”. Secara lebih mendalam
Heidegger mengulangi penggalian ke akar kata Yunani untuk istilah fenomenologi di dalam
Being and Time. Bagi Heidegger fenomenologi berakar pada kata phainomenon atau

3
Bleicher, Josep, Hermeneutika Kontemporer (Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik). Cetakan ke
3. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007.
5
phainesthai, dan logos. Phainomenon berarti “yang menampakkan dirinya”. Jadi fenomena
berarti membuat sesuatu tampak sebagaimana adanya. Suffix-ology dari istilah
phenomenology berasal dari istilah Yunani logos. Logos berarti pembicaraan untuk membuat
sesuatu menampak. Dengan gabungan phainesthai (phainomenon) dan logos, fenomenologi
berarti membiarkan benda-benda menampakkan dirinya sebagaimana adanya dengan tanpa
memaksakan kategori-kategori kita kepadanya. Pikiran tidak memberikan makna pada
fenomena tetapi apa yang nampak merupakan manifestasi ontologis dari benda itu sendiri.
Bagi Heidegger, Husserl dalam bukunya Logical Investigation, membatasi
penyelidikannya pada objek logis, seperti konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan
sebagainya. Pusat kajiannya adalah di mana letaknya objek kajian logika dan bagaimana
objek tersebut menjadi objek bagi logika. Dengannya, objek fenomenologi dalam kajian
Husserl direduksi sebagai semata-mata apa yang ditemukan dalam pengalaman sadar.
Konsekuensinya, bagi Heidegger, praksis fenomenologis dipersempit menjadi kesadaran
sebagai objeknya dan bahasa yang digunakan adalah bahasa matematis. Bagi Husserl bahasa
tersebut dapat menjamin objektivitas penyelidikan fenomenologisnya.
Di satu sisi, Heidegger memuji Husserl yang membuka kemungkinan baru dalam
melihat objek sebagai ia yang memberikan dirinya yang tidak terdapat dalam pemikiran
sebelum Husserl. Tetapi di sisi lain, Heidegger tidak setuju dengan Husserl yang mereduksi
fenomena menjadi sekedar objek kesadaran dan mengangkat fenomenologi ke dalam
keketatan bahasa matematis. Untuk dapat menggunakan metode fenomenologi tetapi tidak
terjatuh pada sifat reduktif , Heidegger memutuskan untuk mengkaji ulang makna etimologis
kata “fenomena” dan menjauhkan metode fenomenologi dari metode ilmu-ilmu alam dan
keinginan untuk mencapai status universalitas seperti yang ingin diraih oleh Husserl.
Menurut Heidegger sebagaimana yang terdapat dalam Ontology─The hermeneutics of
Facticity, fenomena sebagai “something that shows itself from itself as an object in a
distinctive mode” hanya bisa sebagai sebuah materi dalam ruang. Dengan pemahaman
fenomena tersebut, investigasi fenomenologis seharusnya tidak dimulai dari pengalaman
sadar atas objek, tetapi merujuk pada pengalaman keseharian manusia dengan objek material
dalam ruang. Heidegger memberikan contoh sebuah meja keluarga (di kemudian Heidegger
cenderung menggunakan palu sebagai contoh) untuk investigasi fenomenologisnya. Sebuah
meja keluarga yang menampakkan dirinya tidak semata merupakan sebuah gambaran mental
atau sebagai sebuah konsep sebagai objek kesadaran, tetapi hadir sebagai benda material yang
mempunyai karakteristik dan fungsi tertentu bagi sebuah keluarga yang memilikinya. Jadi,
pertama-tama sebuah benda (misalnya sebuah meja keluarga) tertentu nampak tidak sebagai
objek kesadaran dan intensionalitas, tetapi sebagai mengada-di-dalam-dunia yang bersifat
6
temporal dan memiliki fungsi dan sifat tertentu sebagaimana sebuah keluarga (yang
memilikinya) melihatnya di waktu tertentu. Dengan demikian, sifat esensial dari sebuah meja
keluarga terletak pada temporalitas kesehariannya yang dengannya seseorang dapat berbuat
sesuatu.[8][8] Istilah keseharian menjadi kata kunci pada pemikiran Heidegger. Hal tersebut
membawa konsekuensi pada sifat menyejarahnya pemahaman manusia. Pemahaman selalu
muncul dari kerangka ruang dan waktu. Adanya kesejarahan dalam pemahaman ini menuntut
fenomenologi untuk bersifat hermenutis.
Dalam hal ini, Heidegger mengambil tujuan yang berbeda dari proyek Husserl
sebagaimana dalam Logical Investigation. Sementara Husserl bertujuan untuk
mengidentifikasi objek pengalaman sadar dan berusaha untuk mendapatkan sebuah dasar
yang valid secara universal bagi sains, Heidegger berusaha untuk membebaskan objek dari
kungkungan mental dan kesadaran dengan menempatkannya dalam cara mengada yang
temporal dan kongkret dan dengan demikian menghilangkan tujuan Husserl untuk meraih
universalitas. Bagi Heidegger, objek kajian fenomenologi hanya berkaitan dengan objek yang
berada dalam ruang dan waktu yang tertentu seperti saat ia menampakkan diri saat investigasi
berlangsung.4

4
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala
Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153
7
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hermeneutika merupakan salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi
makna. Namun hermeneutika diambi dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang
berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut
kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa pengetahuan dalam metologi Yunani
yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan
oleh para dewa-dewa di Olympus. Fungsi Hermes sangatlah penting sebab bila terjadi
kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia.
Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa
yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta
yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil-tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung
pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya
diartikan sebagai „proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.

8
DAFTAR PUSTAKA

Palmquist, Stephen (2000). Tree of Philosophy. Hongkong. Parameter Corbyn,Henry (1962).


London and New York : Kean Paul Internationa
Bleicher, Josep, Hermeneutika Kontemporer (Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan
Kritik). Cetakan ke 3. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007.
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga
Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153

Anda mungkin juga menyukai