Anda di halaman 1dari 37

PENDEKATAN DAN MODEL EVALUASI PROGRAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Evaluasi Program

Dosen Pengampu: Dr. H. Zainal Arifin, M.Pd. dan Dadi Mulyadi, S.Pd. M.T.

Disusun Oleh : Kelompok 4

Afni Zahrotulmuna Sya’ro (2008429)

Celline Putiana Oktaviandi Syeira (2001127)

Erika Erviana Efendi (2000641)

Faizah Zakiyyah Saliha (2005663)

Ikma Nugiarti (2004030)

Muhammad Azhar Fachrezi (2005371)

Raihan Ramzi (2002973)

Wafa Nabilah Sopyan (2000647)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat yang diberikan-
Nya sehingga tugas makalah yang berjudul “Pendekatan dan Model Evaluasi
Program” ini dapat terselesaikan.Makalah ini dibuat sebagai kewajiban untuk
memenuhi tugas mata kuliah Evaluasi Program. Tak lupa penulis ucapkan terima
kasih kepada:

1. Dr. H. Zainal Arifin, M.Pd. dan Dadi Mulyadi, S.Pd. M.T. selaku dosen
mata kuliah Evaluasi Program.
2. Semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini, sehingga
menambah pengetahuan dan keterampilan penulis dalam membuat
makalah ini.

Penulis berharap dengan dibuatnya makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, baik untuk penulis dan umumnya untuk teman-teman semua.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini,


maka dari itu tentunya penulis mengharapkan banyak masukan dan saran yang
membangun. Supaya kedepannya penulis dapat membuat makalah dengan lebih
baik hingga mendapatkan hasil yang bermanfaat.

Akhirnya penulis berharap dengan selesainya makalah ini, dapat menjadi


sumber bahan materi dalam proses pembelajaran. Semoga apa yang disusun oleh
penulis dapat berguna bagi semua pihak.

Bandung, 27 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I – PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan Makalah........................................................................2

1.4 Manfaat Penulisan Makalah......................................................................2

BAB II – KAJIAN PUSTAKA..............................................................................3

2.1 Pendekatan Evaluasi Program...................................................................3

2.2 Model-Model Evaluasi Program...............................................................7

2.3 Model Evaluasi Kirkpatrick Untuk Program Pelatihan...........................22

2.4 Penilaian Kinerja.....................................................................................27

BAB III – PENUTUP...........................................................................................32

3.1 Kesimpulan.............................................................................................32

3.2 Saran........................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Evaluasi program merupakan suatu proses atau kegiatan ilmiah yang
dilakukan secara berkelanjutan dan menyeluruh sebagai upaya pengendalian,
penjaminan, dan penerapan suatu program berdasarkan kriteria tertentu untuk
membuat suatu keputusan dan pertanggungjawaban dalam melaksanakan
program. Adapun aspek penting dalam evaluasi program, salah satunya adalah
menentukan pendekatan dan model evaluasi program.
Pendekatan dalam evaluasi program harus ditegaskan dan dijelaskan sejak
awal menyusun desain evaluasi program. Hal ini dianggap penting karena
pendekatan evaluasi program akan mempengaruhi langkah-langkah
selanjutnya, seperti menentukan metode evaluasi, sumber data atau populasi
dan sampel, intrumen evaluasi, dan analisis data. Adapun model evaluasi
program yang harus diperhatikan sesuai dengan karakteristik programnya.
Setiap program memiliki karakteristik yang berbeda dan setiap model evaluasi
memiliki asumsi, pendekatan, terminology, dan logika berpikir berbeda. Maka
dari itu, pemilihan pendekatan dan model evaluasi program dianggap sangat
penting dalam proses awal evalasi program.
Said Hamid Hasan dalam Arifin (2019), mengelompokan model evaluasi
menjadi model evaluaso kuantitatif, model evaluasi kualitatif yang meliputi
model Tyler, model teoritik Taylor dan Maguire, model pendekatan Alkin,
model Countenance Stake, model CIPP, model ekonomi mikro; serta model
evaluasi kuantitatif, yang meliputi model studi kasus, model iluminatif, dan
model responsive. Meskipun setiap model berbeda dan memiliki keterbatasan,
namun pemilihan model yang tepat sesuai dengan suatu program akan
memberikan implikasi langsung terhadap mutu informasi yang dihasilkan
dalam proses evaluasinya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dasar mengenai pendekatan evaluasi program?

1
2

2. Bagaimana jenis kelompok model-model evaluasi program?

3. Bagaimana model evaluasi Kirkpatrick untuk program pelatihan?

4. Bagaimana penilaian kerja dalam pemilihan pendekatan dan model


evaluasi program?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui pendekatan evaluasi program.

2. Untuk mengetahui model-model evaluasi program.

3. Untuk mengetahui model evaluasi Kirkpatrick dalam program


pelatihan.

4. Untuk mengetahui penilaian kerja.

1.4 Manfaat Penulisan Makalah


1. Menambah ilmu dan memperluas wawasan berfikir dalam ilmu
pengetahuan terutama mengenai pemilihan pendekatan dan model
evaluasi program.

2. Sebagai referensi bagi seluruh evaluator untuk memilih pendekatan


dan model evaluasi program yang tepat dan sesuai dengan program
yang akan atau sedang dievaluasi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 PENDEKATAN EVALUASI PROGRAM


Pendekatan merupakan salah satu aspek penting dalam suatu kegiatan
evaluasi. Pendekatan harus ditegaskan sejak awal, yaitu ketika menyusun
desain evaluasi program, tepatnya pada bagian metode evaluasi karena akan
mempengaruhi langkah-langkah selanjutnya, seperti menentukan metode
evaluasi, sumber data atau populasi dan sampel, instrument evaluasi, dan
analisis data. Berdasarkan fokus evaluasi program, pendekatan evaluasi dibagi
menjadi dua, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan sistem.
1) Pendekatan Tradisional
Pendekatan ini ditujukan pada perkembangan aspek intelektual
peserta didik yang dituntut untuk menguasai mata pelajaran. Aspek-
aspek keterampilan dan pengembangan sikap kurang mendapat
perhatian yang serius. Peserta didik hanya dituntut untuk menguasai
mata pelajaran. Kegiatan-kegiatan juga lebih difokuskan pada
komponen produk sedangkan komponen proses cenderung diabaikan.
Jadi dapat dikatakan bahwa pendekatan ini berorientasi pada dimensi
hasil dari suatu program, sementara dimensi-dimensi lain cenderung
diabaikan. Dikatakan tradisional karena pendekatan ini tergolong
sudah sangat lama, bahkan konsep evaluasi pertama identik dengan
mencari nilai dan makna tentang hasil. Hal tersebut dikatakan wajar,
karena kebanyakan masyarakat ketika itu hanya ingin tahu atau
berkepentingan dengan dimensi lain. Umumnya masyarakat, orangtua,
dan peserta didik hanya ingin tahu hasil yang diperoleh dari suatu
program. Akibatnya, guru lebih banyak menggunakan evaluasi hasil
(prestasi) untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap
suatu mata pelajaran. Sementara, dimensi proses cenderung diabaikan.
Dalam program pendidikan, Spencer dalam Arifin (2014)
mengemukakan sejumlah isi pendidikan yang dapat dijadikan dasar

3
4

pertimbangan untuk merumuskan tujuan pendidikan secara


komprehensif sehingga pada gilirannya dapat dijadikan acuan dalam
membuat perencanaan evaluasi. Namun demikian, tidak sedikit
evaluator mengalami kesulitan untuk mengembangkan sistem evaluasi
karena bertentangan dengan tradisi yang selama ini sudah berjalan.
Misalnya, adanya target kelulusan untuk suatu sekolah harus di atas
95%.Adapun tradisi nilai peserta didik dalam buku raport harus
minimal enam. Seharusnya, kebijakan evaluasi lebih menekankan
kepada target mutu, yaitu kepentingan dan kebermaknaan program
pendidikan bagi anak secara keseluruhan.
2) Pendekatan Sistem
Sistem adalah totalitas dari berbagai komponen yang saling
berhubungan dan ketergantungan. Jika pendekatan sistem dikaitkan
dengan program, maka objek evaluasi lebih difokuskan kepada seluruh
dimensi program, yang meliputi dimensi kebutuhan dan feasibility,
dimensi input, dimensi proses, dan dimensi produk. Dalam bahasa
Stufflebeam (1973) disingkat menjadi CIPP, yaitu content, input,
process, dan produk. Dimensi-dimensi ini harus menjadi landasan
pertimbangan dalam evaluasi program secara sistemik dan sistematis.
Berbeda dengan pendekatan tradisional yang hanya menyentuh
dimensi hasil saja, pendekatan ini tidak salah, hanya saja tidak
komprehensif. Hasil atau dampak program tidak akan ada bila tidak
melalui proses, dan proses tidak bila berjalan bila tidak komponen
masukan.
Dilihat dari jenis data yang akan dikumpulkan, terdapat dua jenis
pendekatan evaluasi, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan
kualitatif yang memiliki asumsi, paradigma, tujuan, karakteristik,
prinsip, prosedur dan metode yang berbeda. Oleh sebab itu, kedua
pendekatan tersebut tidak dapat digabungkan ke dalam satu kegiatan
evaluasi kecuali hanya saling melengkapi. Kedua pendekatan tersebut
sangat berbeda, baik secara teoritis-filosofis maupun praktis-
metodologis.
1) Pendekatan Kuantitatif
5

Pendekatan ini bersumber dari filsafat positivistik yang dimulai


dengan proses berpikir deduktif, kemudian melakukan verifikasi data
empiris, melakukan analisis berdasarkan data empiris, serta menarik
simpulan atas dasar hasil analisis. Maka dari itu, statistika sangat
diperlukan dalam proses analisis data. Pendekatan kuantitatif
memerlukan pengukuran terhadap suatu objek evaluasi, sehingga
menghasilkan simpulan yang dapat digeneralisasikan, lepas dari
konteks waktu dan situasi.
Pendekatan ini digunakan dalam penerapan model evaluasi
kuantitatif, dimana prosesnya berlangsung secara ringkas, terbatas, dan
memilah objek evaluasi yang akan diukur. Pendekatan ini digunakan
untuk menjelaskan, menguji, dan/atau mengetahui dampak suatu
program, mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif.
Pendekatan kuantitatif lebih mementingkan adanya objek evaluasi
yang harus didefinisikan secara operasional. Instrumen penelitian yang
digunakan cenderung baku karena diuji secara empirik yang memiliki
validitas dan reliabilitas.

Pendekatan kuantitatif mempunyai karakteristik, antara lain:

a. Memandang realitas sebagai suatu yang berdimensi tunggal,


fragmental, dan tetap
b. Desain evaluasi dapat disusun secara spesifik, terperinci, dan
tidak berubah-ubah selama kegiatan evaluasi berlangsung
c. Evaluator dan objek evaluasi terpisah satu sama lain
d. Proses evaluasi dilakukan dari luar melalui pengukuran
instrument yang objektif dan baku
e. Menggunakan analisis deduktif dan statistik.

Pendekatan kuantitatif dapat digunakan jika:

1. Objek evaluasi sudah jelas, dapat ditunjukkan dengan data,


baik hasil pengamatan sendiri maupun pencermatan dokumen
2. Evaluator ingin mendapatkan informasi yang luas tetapi tidak
mendalam
6

3. Evaluator ingin mengetahui dampak dari suatu program


terhadap objek tertentu
4. Evaluator ingin mendapatkan data yang akurat berdasarkan
bukti empirik dan dapat diukur.
2) Pendekatan Kualitatif
Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang sangat relevan
untuk meneliti fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat, karena
pengamatan diarahkan pada latar belakang dan individu secara holistik
dan memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan, bukan
berdasarkan pada variable atau hipotesis sehingga melalui pendekatan
kualitatif penelitian yang dilakukan dapat memperoleh informasi yang
lebih detail mengenai kondisi, situasi dan peristiwa yang terjadi
Pendekatan ini banyak digunakan untuk menjawab pertanyaan
evaluasi program yang memerlukan pemahaman secara mendalam
mengenai objek evaluasi, sehingga menghasilkan simpulan tentang
pertanyaan evaluasi tersebut dalam konteks waktu dan situasi yang
bersangkutan. Pendekatan kualitatif memiliki ciri:
a. Memandang kenyataan (Realitas) sebagai suatu yang berdimensi
jamak, utuh/satu kesatuan, dan berubah/open-ended
b. Desain evaluasi akan berubah dan berkembang selama proses
survei berlangsung
c. Evaluator dan objek evaluasi saling berinteraksi dalam proses
evaluasi
d. Evaluasi dapat dilakukan secara eksternal maupun internal dengan
melibatkan banyak judgement
e. Evaluator sekaligus berfungsi sebagai alat evaluasi yang tidak
bisa lepas dari unsur subjektivitas

Objek evaluasi tidak lepas dari konteks waktu/situasi,


sehingga kegiatan evaluasi cenderung berlangsung dalam lingkungan
nyata dan alamiah (natural).Hasil evaluasi lebih merupakan deskripsi
dan interpretasi yang bersifat tentative dalam konteks waktu/situasi
7

tertentu. Kebenaran hasil evaluasi lebih banyak didukung melalui


keabsahan berdasarkan konfirmasi hasil pihak yang diteliti.

2.2 MODEL-MODEL EVALUASI PROGRAM


Langkah pemilihan model ketika akan melakukan kegiatan evaluasi
dianggap penting dikarenakan setiap program memiliki karakteristik yang
berbeda dan setiap model evaluasi memiliki asumsi, pendekatan, terminologi,
dan logika berpikir yang berbeda pula. Oleh karena itu jangan menggunakan
lebih dari satu model dalam suatu kegiatan evaluasi karena akan
memunculkan kerancuan dan benturan logika antar model. Pemilihan model
yang tepat akan berimplikasi langsung terhadap mutu informasi yang
dihasilkan. Isaac dan Michael (1982) membedakan ada empat hal yang
digunakan untuk membedakan ragam model evaluasi yaitu :
a. Berorientasi pada tujuan program
b. Berorientasi pada keputusan
c. Berorientasi pada kegiatan dan orang-orang yang menanganinya
d. Berorientasi pada pengaruh dan dampak program

Menurut Zainal Arifin (2017), model-model evaluasi yaitu :

1) Model Evaluasi Berorientasi Tujuan (Tyler)


Dasar pemikiran dalam model evaluasi ini adalah : (a) Evaluasi
ditujukan kepada tingkah laku peserta program, (b) Evaluasi harus
dilakukan sebelum melaksanakan program dan sesudah
melaksanakan program. Dasar pemikiran yang kedua ini
menunjukkan perubahan tingkah laku apa yang terjadi setelah
peserta program mengikuti program tertentu dan menegaskan
bahwa perubahan yang terjadi merupakan perubahan yang
disebabkan oleh adanya suatu program.
Model ini memerlukan informasi perubahan tingkah laku
sebelum dan sesudah terjadinya program. Instrumen pokok yang
digunakan adalah tes karena itu model ini mensyaratkan validitas
informasi pada tes akhir. Untuk menjamin validitas ini maka perlu
adanya kontrol dengan menggunakan desain eksperimen. Model ini
8

disebut juga dengan model black box, karena model ini sangat
menekankan adanya tes awal dan tes akhir. Apa yang terjadi dalam
proses tidak perlu diperhatikan karena proses ini dianggap sebagai
black box yang menyimpan segala macam teka-teki.
Model ini banyak Digunakan karena dianggap lebih praktis
untuk menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang
dapat diukur. Tujuan model ini adalah membantu evaluator
merumuskan tujuan dan menjelaskan hubungan antara tujuan dan
kegiatan. Model ini juga dapat membantu evaluator menjelaskan
rencana Program dengan proses pencapaian tujuan. Langkah-
langkah untuk melaksanakan model ini yaitu :
a. Menentukan tujuan umum program
b. Mengklarifikasi tujuan
c. Merumuskan tujuan dalam bentuk tingkah laku
d. Menentukan situasi agar tujuan dapat tercapai
e. Mengembangkan instrumen evaluasi
f. Mengumpulkan data yang diperlukan
g. Membandingkan data dengan tujuan operasional atau tingkah
laku yang telah ditetapkan.

Keunggulan model ini yaitu terletak pada keterkaitan antara


tujuan dengan kegiatan dan menekankan pada peserta program
sebagai aspek penting dalam suatu program. Kelemahannya yaitu
memungkinkan terjadinya proses evaluasi melebihi konsekuensi
yang tidak diharapkan.
2) Model Pengukuran (Measurement Model)
Model ini banyak dipengaruhi oleh konsep dan pemikiran dari R.
Thorndike. Model ini sangat menitikberatkan pada kegiatan
pengukuran yang digunakan untuk menentukan kuantitas suatu sifat
tertentu yang dimiliki Objek, Orang maupun peristiwa dalam bentuk
unit ukuran tertentu. Dalam bidang pendidikan model ini telah
diterapkan untuk mengungkap perbedaan-perbedaan individual
maupun kelompok dalam hal kemampuan minat dan sikap. Hasil
evaluasi ini digunakan untuk
9

keperluan seleksi peserta program bimbingan dan perencanaan


pendidikan. Objek evaluasi model ini yaitu tingkah laku peserta
program mencakup hasil belajar kognitif, pembawaan, sikap, minat,
bakat, dan juga aspek-aspek kepribadian peserta. Instrumen yang
digunakan yaitu tes tertulis dalam bentuk tes objektif. Model ini
menggunakan pendekatan penilaian acuan norma.
3) Model Kesesuaian

Model Kesesuaian ini merupakan suatu kegiatan yang melihat


kesesuaian antara tujuan dengan hasil belajar yang telah dicapai.
Hasil evaluasi ini digunakan untuk menyempurnakan sistem
bimbingan dan untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak
yang memerlukan. Objek evaluasinya adalah tingkah laku peserta
program yaitu perubahan tingkah laku yang diinginkan pada akhir
kegiatan pendidikan baik yang menyangkut aspek kognitif afektif
maupun psikomotor. Teknik evaluasi digunakan tidak hanya tes
tetapi juga Non tes seperti observasi wawancara sikap. Model
evaluasi ini memerlukan informasi perubahan tingkah laku pada
dua tahap yaitu sebelum dan sesudah kegiatan melalui tes awal dan
akhir. Model evaluasi ini menekankan pada pendekatan penilaian
acuan patokan. Prosedur evaluasinya adalah sebagai berikut:

a. Merumuskan tujuan tingkah laku


b. Menentukan situasi di mana peserta didik dapat memperlihatkan
tingkah laku yang akan dievaluasi
c. Menyusun alat evaluasi
d. Menggunakan hasil evaluasi
4) Educational System Evaluation Model (Daniel L. Stufflebeam,
Michael Scriven, Robert E.Stake dan Malcolm M. Provus)
Arifin (2019) menyebutkan konsep evaluasi model Educational
System Evaluation membandingkan kinerja dari berbagai dimensi
dengan kriteria tertentu baik secara mutlak/intern maupun
relatif/ekstern. Landasan model ini adalah sistem dimana sistem adalah
10

suatu keseluruhan yang menggabungkan beberapa model. Objek


evaluasi diambil dari beberapa model berupa:
a. Model Countenance dari Stake
Model ini meliputi kegiatan berlangsung(antecendents), kegiatan
yang terjadi dan saling memengaruhi (transaction) dan hasil yang
didapatkan (outcomes).
b. Model CIPP(Context, Input, Process & Product) dan CDPP
(Context, Design, Process, dan Product) dari Stufflebean
c. Model Scriven
Model ini meliputi instrumental evaluation dan consequential
evaluation.
d. Model Provus
Model provus meliputi design, operation program, interin
products dan terminal products.
e. Model EPIC (Evaluative, Inoovative, curriculum)
Model EPIC mengevaluasi aspek perilaku, pembelajaran
maupun institusi. Aspek perilaku meliputi kognitif, psikomotorik
dan afektif. Pembelajaran meliputi organisasi, metode, isi, biaya
dan fasilitas. Terakhir ada institusi yang meliputi guru,
administrator, keluarga, masyarakat dan peserta didik.
f. Model CEMREL (Cnetral Midwestern Regional Educational
Laboratory)
Model ini ditekankan pada tiga segi meliputi:
1. Penekanan pada peserta didik, mediator dan material
2. Evaluasi dilakukan pada kegiatan berjalan dan akhir kegiatan
3. Bersumber dari observasi, angket dan skala jawaban
g. Model Antkinson
Model ini menekankan pada tiga domain tujuan meliputi
struktur, proses dan produk. Domain struktur meliputi organisasi
dan perencanaan sekolah. Sedangkan domain proses meliputi
proses pembelajaran dan domain produk merupakan hasil belajar
berupa perilaku yang didapatkan.
11

5) Model Evaluasi Countenance (Robert Stake)


Arifin (2019) menyebutkan bahwa “evaluasi dilakukan dengan cara
membandingkan satu program dengan program lain yang dianggap
standar”. Model ini terdiri atas dua fokus. Fokus pertama adalah
deskripsi yang terdiri atas dua aspek meliputi intent (goals) dan
observation (effects). Fokus kedua adalah judgement yang terdiri atas
dua aspek meliputi standart dan judgement. Setiap hal tersebut
memiliki tiga dimesi meliputi antecedents (context), transaction
(process) dan outcomes (output).
Data digunakan untuk menilai manfaat program dengan
dibandingkan pada standar nilai absolut dan menentukan perbedaan
keadaan sebenarnya dengan tujuan yang ditetapkan. Dalam
pelaksanaannya diperlukan prosedur yang dilakukan oleh evaluator.
Prosedur penggunaan model evaluasi contenance meliputi:
a. Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data, evaluator mengumpulkan data baik
melalui studi dokumen maupun wawancara. Data yang
dikumpulkan merupakan data yang diinginkan oleh pengembang
program.
b. Analisis Data (Logis dan Empiris)
Pada tahap ini evaluator perlu memberi pertimbangan. Evaluator
perlu menentukan pencapaian rencana transaksi sesuai dengan
prasyarat awal yang ditentukan serta hubungan transasksi dengan
hasil yang didapatkan.
c. Analis Congruence (Kesesuaian)
Pada tahapan ini evaluator membandingkan tujuan (intend)
dengan yang terjadi dalam kegiatan (observasi) dan memeriksa
kesesuaiannya antar satu sama lain. Hasil analis congruence akan
diserahkan pada tim ahli yang memeriksa kesahihan dan
memberikan presepsi terhadap hasil yang di dapatkan.
d. Pertimbangan hasil
Pada tahap ini evaluator memberikan pertimbangan pada
program yang dikaji. Hal ini dilakukan untuk melihat konsistensi
12

model evaluasi terhadap transaction dengan antecendent dan


outcome serta memperjelas tujuan evaluasi. Evaluator biasanya
melakukan pertemuan terlebih dahulu untuk membahas kerangka
acuan.
Arifin (2019) menyebutkan model ini memiliki kelebihan dan
kekurangan meliputi:
a. Kelebihan
1. Memasukkan latar belakang, program, proses, hasil.
2. Evaluator yang memberi keputusan.
3. Potensi wawasan baru dan teori lapangan.
b. Kekurangan
1. Subjektif
2. Meminimalkan kepentingan evaluasi kuantitaif dan instrumen
pengumpulan data
3. Biaya yang besar
6) Model Evaluasi CIPP
Model ini berorientasi pada suatu keputusan tertentu dan
dikembangkan oleh Guba dan Stufflebean (1968). Model evaluasi
CIPP mengarahkan objek sasaran evaluasi dari masukan, proses hingga
hasil. Hasil evaluasi menjadi input untuk pembuatan keputusan dalam
penyempurnaan sistem. Model ini meliputi empat jenis kegiatan
meliputi
a. Context Evaluation To Serve Planning Decision
Evaluasi program harus dipahami dalam berbagai konteks (sosial
politik, budaya lingkungan dan konstrain kebijakan) agar tidak
salah arah. Konteks ini membantu administrator merencanakan
keputusan, menentukan kebutuhan program dan merumuskan
tujuan program.
b. Input Evaluation, Structuring Decision
Input merupakan dimensi penting untuk kelancaran proses mutu
hasil program. Masukkan dapat berupa metode, media, sumber
belajar, kurikulum dan peserta didik, instruktur dan sarana
prasarana.
13

c. Process Evaluation To Serve Implementing Decision


Kegiatan ini membantu untuk melaksanakan keputusan. Proses ini
mencakup penyelenggaraan, implementasi pembelajaran,
penggunaan sarana, media maupun aktivitas peserta didik.
Pertanyaannya terkait ketercapaian rencana, kesesuaian dengan
rencana dan perbaikan yang diperlukan.
d. Product Evaluation, To Serve Recycling Decision
Kegiatan ini membantu penentuan keputusan selanjutnya. Produk
dapat berupa kinerja lulusan pada suatu tempat. Dalam
pelaksanaannya perlu perhatian terhadap ketercapaian sikap, nilai,
pengetahuan dan keterampilan pada tujuan yang ditetapkan dan
kinerja lulusan. Kegiatan ini erat dengan pencapaian dan yang
dilakukan setelah program berjalan.
Model ini juga dapat digambarkan dengan beberapa pertanyaan meliputi
a. What should we do
Pertanyaan what should we do ini berkaitan dengan aspek evaluasi
context evaluation dan tipe pengambilan keputusan yang dilakukan
adalah planning decision. Dimana hal yang harus dilakukan evaluator
adalah mengumpulkan dan melakukan need assesment. Kegiatan need
assesment ini digunakan untuk menentukan tujuan, prioritas dan
sasaran.
b. How should we do it
Pertanyaan how should we do it ini berkaitan dengan aspek evaluasi
input evaluation dan tipe pengambilan keputusan yang dilakukan
adalah structuring decision. Tahap ini terdiri atas langkah yang perlu
dilakukan meliputi identifikais program eksternal dan material
mengumpulkan informasi untuk mencapai sasaran.
c. Are we doing it as planned
Pertanyaan are we doing it as planned ini berkaitan dengan aspek
evaluasi process evaluation dan tipe pengambilan keputusan yang
dilakukan adalah implementing decision. Tahap ini terkat pengembilan
keputusan terkait seberapa baik program yang dapat dialkukan dengan
14

monitoring program dan memperlajari kesesuaian keputusan dengan


petunjuk dan rencana, konflik, dukungan staff maupun aspek lainnya.
d. Did it works
Pertanyaan did it works ini berkaitan dengan aspek evaluasi product
evaluation dan tipe pengambilan keputusan yang dilakukan adalah
recycling decision. Tahap ini membandingkan hasil dengan harapan
lalu membuat keputusan yang diperlukan apakah program dilanjutkan,
dimodifikasi atau dihentikan.
Stufflebeam dalam (dalam Arifin,2019) menyebutkan manfaat model
ini meliputi
1. Sebagai informasi dalam penentuan keputusan alternatif
2. Membantu pengembangan dan penilaian program pendidikan atau
objek
3. Membantu pengembangangan objek program
7) Model Alkin (Alkin Model)
Model yang dikembangkan oleh Marvin Alkin, 1969 (dalam
Arifin, 2019) menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk
menyakinkan keputusan, mengumpulkan, memilih dan menganalisis
infomasi yang tepat, sehingga menjadi susunan laporan bagi pembuat
keputusan dalam memilih beberapa alternatif. Menurut Alkin ada lima
jenis evaluasi, yaitu:
1) Sistem Assesment
Jenis evaluasi yang bertujuan untuk memberikan informasi
tentang keadaan atau posisi dari suatu sistem.
2) Program Planing
Jenis evaluasi yang bertujuan untuk membantu pemilihan
program tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi
kebutuhan program.
3) Program Implementation
Jenis evaluasi yang bertujuan untuk menyampaikan informasi
apakah suatu program sudah diperkenalkan kepada kelompok
tertentu yang tepat sebagimana yang direncanakan.
15

4) Prorgram Improvement
Jenis evaluasi yang memberikan informasi mengenai
bagaimana suatu program dapat berfungsi bekerja, atau
berjalan sesuai tujuannya. Termasuk juga infromasi mengenai
masalah program tersebut.
5) Program Certification
Jenis evaluasi yang memberikan infromasi mengenai nilai atau
manfaat suatu program.

Model Alkin menggunakan pendekatan sistem karena model ini


mengutamakan sistem yang berjalan seperti halnya pendidikan
(sistem). Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh evaluator dalam
model ini, yaitu pengukuran dan variabel control. Adapun komponen-
komponen model Alkin adalah masukan, proses yang dinamakan
dengan istilah perantara, dan keluaran (hasil). Model ini mengenal
sistem internal yang merupakan interaksi antar komponen yang
langsung berhubungan dengan pendidikan dan sistem eksternal yang
mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan.
Asumsi yang melandasi model Alkin adalah:

a. Variabel perantara adalah satu-satunya variabel yang


dimanipulasi

b. Sistem eksternal tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran


sistem

c. Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki control


mengenai pengaruh yang diberikan sistem eksternal terhadap
sekolah

d. Faktor masukan mempengaruhi aktivitas faktor perantara dan


pada hilirannya faktor pelantara berpengaruh terhadap hasil

8) Model Brinkerhof
16

Robert O. Brinkerhoff dalam bukunya Program Evaluation


mengemukakan ada tiga jenis evaluasi yang disusun berdasarkan
penghubungan elemen-elemen yang sama, yaitu:
1) Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi fixed (tetap) direncanakan dan disusun secara
sistematik dan terstruktur. Namun juga dapat disesuaikan dengan
kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desain evaluasi ini
dikembangkan berdasarkan tujuan program, kemudian disusun
pertanyaan-pertanyaan evaluasi untuk mengumpulkan berbagai
infromasi yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Pada
umumnya desain fixed digunakan dalam evaluasi formal yang dibut
secara individual.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam desain fixed
antara lain:

(1) Menyusun pertanyaan-pertanyaan


Dalam menyusun pertanyaan-pertanyaan atau
merumuskan masalah, seorang evaluator harus mengacu
pada tujuan program dan dapat merangsang audience untuk
memperbaiki pertanyaan-pertanyaan yang dianggap kurang
relevan. Dalam proses komunikasinya harus dibangun
secara teratur dan kontinu, baik secara langsung maupun
tidak langsung antara evaluator dengan audience atau klien.
Maka dari itu, wajar jika desain ini memerlukan banyak
biaya dan waktu karena harus sesuai dengan evaluasi.
(2) Menyusun dan menyiapkan instrument
Untuk mengumpulkan data dalam desain ini
menggunakan berbagai teknik, seperti tes, observasi,
wawancara, kuesioner, dan skala penilaian. Data yang
dikumpulkan biasanya bersifat kuantitatif, sehingga syarat-
syarat penyelusuran isntrumen harus dikemas dengan baik
sesuai dengan validitas dan realibilitasnya. Dalam
penyusunan desain perlu didiskusikan terlebih dahulu
17

dengan pihak pemakai agar memperbaiki kekurangan yang


ada.
(3) Menganalisis hasil evaluasi

(4) Melaporkan hasil evaluasi secara formal kepada pihak-


pihak yang berkepentingan

Desain evaluasi emergent, tujuan evaluasi adalah


untuk beradaptasi dengan situasi yang sedang berlangsung
dan berkembang, seperti menampung pendapat audiensi,
masalah-masalah, dan kegiatan program. Di sini, evaluator
tidak perlu merangsang audiensi karena audiensi akan
menentukan sendiri isu-isu dan informasi penting lainnya
yang diperlukan dalam desain emergent. Selama proses
evaluasi, evaluator harus menjalin komunikasi yang kontinu
dengan audinensi, sehingga data dan informasi yang
dikumpulkan tidak terputus dan tetap utuh. Maka dari itu,
proses desain evaluasi ini memerlukan waktu yang lama.
Teknik pengumpulan data pada desain evaluasi ini
dapat menggunakan observasi, studi kasus, dan laporan tim
pedukung. Pengukuran tidak selalu mengacu pada tujuan
program karena infromasi yang dibutuhkan lebih bersifat
kuantitatif-naturalistik. Hal ini dimaksud agar informasi
yang dikumpulkan lebih banyak, mendalam, dan
bermanfaat. Dengan demikian, desain akan terus
berkembang dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi
lapangan.
2) Formative vs Sumative Evaluation
Evaluasi formative berfungsi untuk memperbaiki program,
sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat keberhasilan
dan kemanfaatan program secara menyeluruh. Adapun fokus pada
evalsuasi sumatif adalah variabel-variabel yang dianggap penting
dalam program. Evaluasi sumatif dapat menentukan apakah suatu
program dapat dihentikan atau diteruskan.
18

Scriven (dalam Arifin, 2019) menggambarkan perbedaan antara


evaluasi formatif dan sumatif sebagai berikut, “the role of
formative evaluation as conserned with identifying and
remendying problems during the developmental stages of a
programe. Summative evaluation, on the other hand, is concerned
with assessing the worth of a programme in its final form.”

3) Desain Eksperimental dan Desian Eksperimental Kuasi vs Natural


Inquiry
Desain eksperimental menggunakan pendekatan kuantitatif,
random sampling, menmberikan perlakuan, dan mengukur dampak.
Tujuannya untuk menilai manfaat hasil percobaan program. Dalam
proses pengamatan evaluator harus selalu merendah agar program
yang dievaluasi tidak terancam dan berubah karena kehadiran
evaluator. Desain evaluasi ini disusun bersama karena memerlukan
banyak waktu dan biaya yang cukup banyak, dalam Menyusun
instrument untuk menilai perlakuan, mengumpulkan data
kuantitatif, dan mengelola data statistic.
Desain evaluasinatural-inkuiri, dalam kegiatannya
dilakukan secara berkesinambungan dengan pendekatan infromal.
Evaluator memerlukan waktu yang banyak untuk melakukan
pengamatan dan wawancara dengan orang-orang yang terlibat dan
juga dapat menggunakan teknik studi dokumentasi.
9) Illuminative Model (Malcom Parlett dan Hamilton)
Model yang menekankan pada evaluasi kualitatif terbuka (open-
ended), di mana kegiatan evaluasi dihubungkan dengan lingkungan
pelaksanaan program sebagai lingkungan material dan psiko-sosial yang di
dalamnya evaluator dan peserta program dapat berinteraksi.Tujuan
evaluasi adalah untuk mempelajari secara cermat dan mendalam terhadap
pelaksanaan suatu program, faktor-faktor yang mempengaruhinya,
kelebihan dan kekurangan program, serta dampak program terhadap
kompetensi peserta. Fungsi evaluasi dalam model ini adalah sebagai input
19

kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka penyesuaian dan


penyempurnaan program yang sedang dikembangkan.
Hasil evaluasi bersifat deskriptif dan interpretasi, bukan
pengukuran dan prediksi. Model evaluasi program ini lebih menggunakan
judgement. Pendekatan yang digunakan pun lebih menyerupai pendekatan
yang diterapkan dalam bidang antropologi sosial, psikiarti, dan sosiologi.
Cara yang digunakan dalam model evaluasi ini bersifat fleksibel
dan selektif. Berdasarkan tujuan dan pendekatan evaluasi dalam model ini,
maka ada tiga fase evaluasi yang harus ditempuh, yaitu observe, inquiry
further, dan seek to explain.
10) Model Responsif
Sebagaimana model iluminatif, model ini juga bertitik tolak pada
pendekatan kualitatif-naturalistik. Evaluasi tidak sama dengan pengukuran
melainkan pemberian makna atau melukiskan sebuah realitas dari berbagai
perspektif orang-orang yang terlibat, berminat dan berkepentingan dengan
suatu program. Dengan kata lain, model evaluasi responsive merupakan
model evaluasi yang lebih difokuskan untuk merespon para stakeholders
program. Tujuan evaluasi adalah untuk memahami semua komponen
program melalui berbagai sudut pandangan yang berbeda. Sesuai dengan
pendekatan yang digunakan maka model ini kurang percaya terhadap hal-
hal yang bersifat kuantitatif. Instrumen yang digunakan pada umumnya
mengandalkan observasi langsung maupun tak langsung dengan
interpretasi data yang impresionistik.
Proses evaluasi responsif dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
- Menyusun perencanaan dan mengorganisir evaluasi dalam bentuk
desain atau model evaluasi yang diawali dengan negoisasi dan
Menyusun draft kontrak antara evaluator dengan klien (yang meminta
dilaksanakannya evaluasi). Isi kontrak antara lain: objek evaluasi,
tujuan evaluasi, kriteria evaluasi, hak untuk mengakses dokumen dan
informasi, jaminan kerahasiaan, anonimitas responden dan informasi,
dan identifikasi jenis dan jumlah stakeholders serta hak-haknya.
20

- Mengidentifikasi para stakeholders, yang meliputi: jenis dan jumlah


stakeholders, menarik sampel dari stakeholders, dan mengecek
pengetahuan awal (preliminary understanding) peserta program.
- Mengumpulkan data dan informasi sesuai dengan objek evaluasi,
seperti pendapat, isu dan nilai-nilai stakeholders. Teknik pengumpulan
data meliputi observasi, wawancara mendalam (depth interview), studi
dokumentasi, dan lain-lain.
- Menganalisis hasil pengumpulan data sesuai dengan pendekatan,
kriteria dan Langkah-langkah yang telah ditetapkan dalam desain
evaluasi.
- Menyusun laporan dan rekomendasi. Laporan dibahas dengan
stakeholders dan berupaya mencapai kesepakatan dengan stakeholders.
Berdasarkan Langkah-langkah ini, evaluator mencoba responsive terhadap
orang-orang yang berkepentingan pada hasil evaluasi. Hal yang penting dalam
model responsive adalah pengumpulan dan sintesis data.
Kelebihan model responsive antara lain peka terhadap berbagai pandangan
dan kemampuannya mengakomodasi pendapat yang ambigu serta tidak focus.
Sedangkan kekurangannya antara lain pembuat keputusan sulit menentukan
prioritas atau penyederhanaan informasi, tidak mungkin menampung semua
sudut pandangan dari berbagai kelompok, membutuhkan waktu dan tenaga.
Evaluator harus dapat beradaptasi dengan lingkungan yang diamati.
11) Model evaluasi wheel (Roda) dari Beebe
Model evaluasi ini berbentuk roda karena menggambarkan usaha evaluasi
yang berkaitan dan berkelanjutan dari satu proses ke proses selanjutnya.
Model ini digunakan untuk mengetahui apakah program pelatihan yang
dilakukan suatu instansi telah berhasil, untuk itu diperlukan sebuah model
untuk mengevaluasinya. Secara singkat, model wheel ini mempunyai tiga
tahap utama, yaitu pembentukan tujuan pembelajaran, pengukuran outcomes
pembelajaran, dan interpretasi hasil pengukuran dan penilaian.
12) Model evaluasi provus
Kesenjangan program adalah sebagai suatu keadaan antara program yang
diharapkan dalam rencana dengan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan
program. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
21

kesesuaian antara standar yang sudah ditentukan dalam program dengan


penampilan aktual dari program tersebut. Tujuan dari model ini adalah untuk
menganalisis suatu program sehingga dapat ditentukan apakah suatu program
layak diteruskan, ditingkatkan dan sebaliknya yang disesuaikan dengan
standar, performance, dan discrepancy.
Model mana yang akan digunakan dalam kegiatan evaluasi program sangat
bergantung kepada tujuan evaluasi yang telah ditetapkan. Namun demikian,
perlu juga diketahui bahwa keberhasilan suatu evaluasi program secara
keseluruhan bukan hanya dipengaruhi penggunaan yang tepat pada sebuah
model evaluasi, melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1) Tujuan program, baik tujuan umum maupun tujuan khusus. Sering kali
kedua tujuan program ini saling bertentangan satu sama lain dilihat
dari kepentingan setiap komponen program. Bahkan, kadang-kadang
evaluator sendiri mempunyai tujuan sendiri-sendiri. Semuanya harus
dipertimbangkan agar terdapat keseimbangan dan keserasian.
2) Program sebagai suatu sistem. Faktor ini perlu dipertimbangkan
dengan matang dan hati-hati karena melibatkan berbagai komponen
yang saling berinteraksi dan ketergantungan. Mengingat kompleksnya
sistem program, maka fungsi program kadang-kadang juga menjadi
ganda. Oleh sebab itu, peranan evaluasi menjadi sangat penting.
Tujuannya adalah untuk melihat dan mempertimbangkan hal-hal apa
yang perlu diberikan dalam suatu program. Begitu juga bentuk
program dan garis besar program sangat bergantung pada evaluasi
yang dilaksanakan, sehingga timbul masalah lainnya yaitu teknik
evaluasi apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan itu.
3) Pengembangan program. Banyak program yang dikembangkan belum
atau bahkan tidak menyentuh sama sekali tentang evaluasi. Program
yang dikembangkan, baik program umum maupun program pendidikan
lebih banyak difokuskan kepada perencanaan dan pelaksanaan suatu
program. Hal ini pula yang menyebabkan perbaikan sistem evaluasi
program menjadi kurang efektif. Disamping itu evaluator program
mempunyai agenda kegiatan yang cukup padat. Artinya, bagaimana
22

mungkin mutu sistem evaluasi program dapat ditingkatkan, bila focus


evaluasi program hanya menyentuh aspek-aspek tertentu saja.
2.3 MODEL EVALUASI KIRKPATRICK UNTUK PROGRAM
PELATIHAN
Model ini dikembangkan pada tahun 1959 oleh Donald L
Kirkpatrick khusus untuk program-program jangka pendek (short
term) dengan bidang garapan dan tujuan yang spesifik. Model ini bisa
digunakan untuk mengevaluasi berbagai macam jenis pelatihan dengan
berbagai macam situasi, karena keunggulan dari model evaluasi ini adalah
memiliki sifat yang :
- Menyeluruh, karena mampu menjangkau semua dimensi pada suatu
program pelatihan
- Sederhana, karena memiliki alur logika yang sederhana dan mudah
dipahami, serta kategorisasi yang jelas dan tidak berbelit-belit.
Tahapan model evaluasi Kirkpatrick, sebagai berikut:
1. Tahap satu: Reaksi (Reaction Level)
2. Tahap dua: Belajar (Learning Level)
3. Tahap tiga: Perilaku (Behavior Level)
4. Tahap keempat: Hasil (Result Level)
1) Tahap Satu: Reaksi (Reaction Level)
Tujuan evaluasi terhadap reaksi adalah untuk mengetahui tingkat
kepuasan peserta pelatihan (Customer Satisfaction) terhadap
penyelenggara pelatihan. Pelatihan dianggap efektif dan berkualitas
apabila pelatihan dapat memuaskan dan memenuhi harapan peserta
sehingga mereka tertarik, dan mempuanyai motivasi serta merasa
nyaman untuk belajar.
Untuk mengetahui tingkat kepuasan peserta, dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa aspek dalam pelatihan, seperti :

 Pelayanan panitia penyelenggara


 Mutu instruktur
 Kurikulum pelatihan (teori dan praktik)
 Proses pembelajaran
23

 Materi pelatihan
 Metode pembelajaran
 Suasana kelas
 Fasilitas pembelajaran
 Materi pelatihan
 Metode pembelajaran
 Suasana kelas
 Fasilitas utama dan pendukung
 Penggunaan media
 Sumber belajar
 Kebernilaian isi pelatihan
 Sistem penilaian
 Kekurangan dan keterbatasan pelatihan
 Menu dan penyajian konsumsi peserta
Langkah - langkah yang dapat ditempuh untuk melakukan evaluasi level - 1
ini, adalah:
1. Menentukan hal - hal yang dapat menginformasikan kepuasan
peserta dalam mengikuti kegiatan pelatihan.
2. Dari berbagai informasi tersebut di atas kemudian dikemas dalam
suatu format penilaian yang mudah dimengerti oleh subjek evaluasi
dan dapat dikuantifikasi, seperti membuat angket dalam bentuk
skala. (Saran: tambahkan kolom komentar dan saran dari peserta
pada setiap aspek yang dinilai).
3. Sebaiknya evaluasi level -1 ini dilakukan ketika kegiatan pelatihan
sedang berlangsung dan setelah kegiatan berakhir.
4. Hasil evaluasi harus segera diolah dan dianalisis untuk dapat
diambil tindakan lebih lanjut.

2) Tahap dua: Belajar (Learning Level)


Tujuan dari tahap-2 ini ialah untuk mengevaluasi hasil belajar
peserta. Tingkat keberhasilan belajar peserta dapat diukur dari adanya
peningkatan dan perbaikan dari aspek-aspek yang ada dalam belajar
(peningkatan pengetahuan, penambahan keterampilan, dan perubahan
24

sikap mental). Untuk mengetahui tingkat perbaikan aspek-aspek


tersebut, dapat digunakan perbandingan tes antara sebelum dan sesudah
pelatihan. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam evaluasi level-
2 ini adalah: 1.Lakukan evaluasi terkait dengan
peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan
perubahan sikap peserta pelatihan sebelum dan
sesudah pelatihan.
2. Gunakan berbagai instrumen evaluasi yang relevan untuk
mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta. (Contoh :
tes tertulis, tes tindakan, dan skala sikap).
3. Hasil evaluasi level-2 ini harus segera ditindak lanjuti dengan
tindakan-tindakan yang relevan, termasuk juga melakukan
konfirmasi dengan hasil evaluasi level1
3) Tahap ketiga: Perilaku (Behavior Level)
Evaluasi terhadap Perilaku ini difokuskan pada seberapa jauh
pengaruh dari perubahan perilaku kerja peserta pelatihan setelah mereka
kembali ke tempat lingkungan kerjanya. Perilaku yang dimaksud di sini
adalah perilaku kerja yang ada hubungan langsung dengan materi
pelatihan, dan bukan perilaku dalam konteks hubungan personal dengan
rekan-rekannya.
Kirkpatrick (1998) mencatat ada 4 kondisi yang harus dipenuhi
agar perubahan perilaku bisa terjadi:
1. Peserta harus mempunyai motivasi internal untuk berubah.
2. Peserta harus tahu apa yang harus dilakukannya dan bagaimana
melakukannya.
3. Peserta harus bekerja dalam iklim kerja yang mendukung.
4.Peserta harus diapresiasi atas perubahan yang dilakukannya.
Langkah-langkah evaluasi level-3 ini adalah sebagai berikut:
 Melakukan evaluasi pada level-1 dan level-2 terlebih dahulu.
 Memberikan waktu yang cukup kepada peserta unruk
berlangasungbya perubahan perilaku, yaitu antara 3 sampai
dengan 6 bulan.
25

 Melakukan evaluasi perilaku, baik sebelum maupun


sesudah program pelatihan.
 Memilih instrumen evaluasi yang tepat (kuesioner atau
wawancara) yang dapat digunakan oleh peserta pelatihan,
atasan langsung peserta, bawahan peserta, teman sejawat,
dan pihak lain untuk mengamati perilaku peserta.
 Evaluasi dapat dilakukan terhadap semua peserta (populasi)
atau sebagian dari peserta yang representatif (sampel).
 Mengulang evaluasi pada waktu yang sesuai untuk
memastikan peserta tetap pada Perilaku yang sesuai dengan
tujuan pelatihan.
 Mempertimbangkan dan membandingkan faktor biaya
pelaksanaan evaluasi perilaku dengan keuntungan yang
dihasilkan dari evaluasi.

4) Tahap keempat: Hasil (Result Level)

Evaluasi terhadap hasil bertujuan untuk mengetahui dampak


(impact) perubahan perilaku kerja peserta pelatihan terhadap tingkat
produktivitas atau kinerjannya dalam organisasi. Aspek-aspek evaluasi
hasil ini tidak hanya berhubungan dengan produktivitas saja, namun
bisa lebih luas dari itu. Terbangunnya teamwork yang semakin solid
juga merupakan aspek yang bisa dijadikan pertimbangan dalam evaluasi
di tahap ini.
Langkah-langkah yang dapat tempuh dalam evaluasi Hasil ini, yaitu:
 Melakukan evaluasi pada level-1 sampai dengan level-3.
 Sediakan waktu yang cukup untuk melihat dampak
pelatihan. Memang tidak ada batasan waktu yang spesifik
dalam melakukan evaluasi hasil ini, namun perlu
dipertimbangkan berbagai faktor yang terlibat, seperti
waktu, biaya, dan suasan lingkungan kerja.
 Dapat menggunakan metode survey dengan menggunakan
kuesioner atau wawancara terhadap peserta pelatihan dan
26

pihak lain yang terkait dengan peserta pelatihan, baik


sebelum maupun sesudah program pelatihan. Disarankan
untuk melakukan evaluasi ulang pada waktu yang tepat.
Dapat menggunakan data sekunder untuk mendukung hasil
survey dalam menganalisis hasil.

Evaluasi Model Kirkpatrick Plus


Pada saat ini, telah dikembangkan Model Evaluasi Kirkpatrick Plus
yang dikembangkan oleh Jack Phillips pada tahun 2002. Pada model ini,
terdapat penambahan tahap atau level yang dikenal sebagai tahap evaluasi
Return on Investment (ROI) atau Return on Training Investment (ROTI).
Model Kirkpatrick Plus ini merupakan penyempurnaan dari model
Kirkpatrick sebelumnya, hingga dapat disebutkan bahwa tahap ROI atau
ROTI ini merupakan tahapan level-5. Model ROTI yang dikembangkan
oleh Jack Phillips adalah level evaluasi terakhir dalam melihat cost-benefit
setelah pelatihan dilaksanakan. ROTI atau ROI ini singkatnya merupakan
tahapan yang melihat keberhasilan suatu program pelatihan dari melihat
cost-benefitnya atau biaya serta manfaatnya, maka sebagai kita sebagai
evaluator juga memerlukan data yang tidak sedikit dan harus akurat dalam
menunjang hasil dari evaluasi pelatihan yang valid.
Tahap ini biasanya dilaksanakan pada saat kita melakukan evaluasi
terhadap peserta pelatihan yang berasal dari organisasi profit atau
perusahaan. Asumsi yang melatarbelakangi dilaksanakannya evaluasi ini
adalah setiap uang yang keluar dari kantor perusahaan selalu dianggap
sebagai investasi yang pada gilirannya harus mendatangkan profit atau
keuntungan bagi perusahaan yang bersangkutan. Maka dari itu, seorang
evaluator pada tahap evaluasi ROI ini harus mampu membuat
perbandingan antara biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
mengirim pegawainya mengikuti suatu pelatihan dengan keuntungan yang
akan diperoleh atau perusahaan dari keikutsertaan pekerjanya dalam
pelatihan tersebut.
Model Kirkpatrick plus memiliki beberapa kekurangan, yaitu:
Evaluasi model ini mengasumsikan bahwa input dalam suatu program
pelatihan dianggap sudah terstandar. Kesulitan dalam mengukur dampak
27

program pelatihan terhadap kenaikan produktivitas. Karena banyaknya


faktor. Fungsi dari model ini agar pihak manajemen organisasi/perusahaan
melihat pelatihan bukanlah sesuatu hal yang mahal dan hanya merugikan
pihak keuangan. Namun pelatihan dapat disebut sebagai suatu investasi.
2.4 PENILAIAN KINERJA
Kinerja (performance) dapat diartikan sebagai prestasi kerja, hasil
kerja, unjuk kerja, penampilan kerja, atau pencapaian kerja. Secara luas,
kinerja mengandung arti kemampuan manusia dalam bekerja yang akan
menghasilkan output kerja. Ada beberapa hal mengenai pentingnya
penilaian kerja. Hal itu adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan atau manajer memerlukan penilaian yang objektif
terhadap kinerja pegawai pada masa lalu untuk digunakan
membuat keputusan di bidang sumber daya manusia (SDM) pada
masa yang akan datang.
b. Pimpinan atau manajer memerlukan alat yang memungkinkan
dapat membantu pegawainya untuk memperbaiki kinerja, seperti
merencanakan pekerjaan, mengembangkan kemampuan dan
keterampilan dalam karier, serta memperkuat kualitas hubungan
antara manajer dengan pegawainya.
1. Tujuan dan Fungsi Penilaian Kinerja
Berdasarkan konsep-konsep penilaian kinerja, terdapat beberapa
tujuan penilaian kinerja (performance appraisal), yaitu:
b. Untuk mengetahui pengembangan, seperti identifikasi
kebutuhan pelatihan, feedback kinerja, menentukan transfer
dan penugasan, identifikasi kekuatan dan kelemahan
pegawai.
c. Untuk membuat keputusan yang bersifat administratif,
seperti keputusan untuk menentukan gaji, promosi,
mempertahankan atau memberhentikan pegawai,
pengakuan kinerja pegawai, pemutusan hubungan kerja,
dan sebagainya.
28

d. Untuk keperluan lembaga atau unit organisasi (UNOR),


seperti perencanaan SDM, menentukan kebutuhan
pelatihan, penilaian pencapaian tujuan organisasi, penilaian
terhadap sistem SDM, penguatan terhadap kebutuhan
pengembangan organisasi, dan sebagainya.
e. Untuk bahan dokumentasi, seperti kriteria untuk validasi
penelitian, dokumentasi keputusan-keputusan tentang
SDM, dan membantu untuk memenuhi persyaratan hukum.

Sementara itu, Schuller (2001) menjelaskan bahwa penilaian kinerja


berfungsi sebagai kontrak antara organisasi dengan pegawainya.
Kontrak ini bertindak sebagai kontrol dan sistem penilaian. Adapun
tujuan penilaian kinerja adalah “management development,
performance measurement, performance improvement, compensation,
identification of potential, feedback, human resources planning,
research on legal compliance, and communication”.
2. Komponen Penilaian Kinerja
Berdasarkan pendekatan sistem, ada empat komponen penilaian
kinerja, yaitu:
a. Penilaian konteks
Penilaian ini menggambarkan penilaian kinerja dalam
konteks kelembagaan, mengidentifikasi target populasi dan
menilai kebutuhannya.
b. Penilaian input
Penilaian ini menunjukkan kemampuan atau kompetensi
yang dimiliki seseorang dalam melakukan pekerjaan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.
c. Penilaian proses
Penilaian ini merupakan penilaian terhadap prosedur
pelaksanaan pekerjaan.
d. Penilaian produk
Penilaian ini menunjukkan penilaian terhadap hasil kerja
yang dicapai.
29

3. Pendekatan dan Metode Penilaian Kinerja


Randall S. Schuller (2001) mengemukakan 4 (empat) pendekatan
penilaian kinerja, yaitu:
i. Comparative standards, yaitu membandingkan seorang
pegawai dengan pegawai lainnya, dan diberikan peringkat
dari yang terbaik sampai yang terburuk. Biasanya
pendekatan ini membandingkan dengan standar kinerja
secara keseluruhan.
ii. Absolute standards (standar mutlak), memungkinkan atasan
menilai setiap pegawai secara independen untuk beberapa
dimensi kinerja.
iii. Objectives based approach, merupakan pendekatan
berbasis tujuan dengan menggunakan standar kerja.
iv. Direct or objective indexes (pendekatan indeks langsung),
menilai kinerja bawahan berdasarkan tujuan, kriteria
impersonal, seperti produktivitas, absensi, dan pergantian.

Menurut Kreitner dan Kinicki (1998), pendekatan kinerja terbagi


menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Pendekatan trait, lebih difokuskan pada orang dengan


melakukan peringkat ranking) terhadap karakteristik individu,
seperti inisiatif, loyalitas, dan kemampuan pengambilan
keputusan.
b. Pendekatan perilaku, lebih fokus pada proses dengan
melakukan penilaian berdasarkan perilaku yang nampak dan
mendukung kinerja seseorang.
c. Pendekatan hasil, lebih menekankan pada capaian atau produk
dengan menggunakan metode management by objective
(MBO).

Setelah ditetapkan pendekatan mana yang akan digunakan, selanjutnya


memilih metode apa yang akan digunakan. Wirawan (2015)
mengemukakan jenis-jenis metode penilaian kinerja sebagai berikut.
30

a. Metode Esai, yaitu penilai harus menyusun esai berupa pernyataan


yang melukiskan kinerja yang dinilai, termasuk keunggulan dan
kelemahannya secara perinci.
b. Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Technique), yaitu satu
set prosedur yang secara sistematis mengidentifikasi perilaku-
perilaku pegawai ternilai yang memberikan kontribusi kepada
kesuksesan atau kegagalan individu pegawai dalam melaksanakan
tugasnya pada situasi tertentu.
c. Metode Behaviorally Anchored Rating Scale (BARS), yaitu skala
penilaian di mana setiap titik skala didefinisikan lebih perinci
dengan pernyataan perilaku, dari yang paling efektif sampai dengan
yang tidak efektif.
d. Metode Behavioral Expectation Scales (BES), yaitu menilai
kinerja pegawai dengan skala perilaku yang diharapkan.
e. Metode Behavioral Observation Scales (BOS). Dalam metode
BARS dan BES, penilai tidak dapat menilai perilaku ternilai dalam
satu jangkar yang sering melakukan perilaku bervariasi. Untuk
menanggulangi hal tersebut dapat menggunakan metode penilaian
kinerja skala perilaku observasi (BOS).
f. Metode Perbandingan Pasangan, yaitu suatu metode yang
memaksa penilai untuk membandingkan kinerja setiap pegawai
dengan pegawai lainnya dalam kelompok kerjanya.
g. Metode Distribusi Paksaan, yaitu metode penilaian kinerja dengan
menggunakan kurva berbentuk bell (kurva normal), di mana
penilaian pegawai bisa menggunakan lima klasifikasi sebagai
berikut.
1. Pegawai berkinerja sangat baik : 10%
2. Pegawai berkinerja baik : 20%
3. Pegawai berkinerja sedang : 40%
4. Pegawai berkinerja rendah : 20%
5. Pegawai berkinerja sangat rendah : 10%
31

h. Metode Graphic Rating Scale, yaitu suatu metode yang terdiri atas
sejumlah dimensi pekerjaan sebagai hasil analisis pekerjaan dan
merupakan generalisasi dari pekerjaan-pekerjaan yang ada,
sehingga dapat dipergunakan untuk berbagai jenis pekerjaan.
i. Metode Checklist Evaluation Model
j. 360 Degree Performance Appraisal

Selain metode-metode di atas, ada satu metode lagi yang disebut


metode penilaian 360 derajat (360 degree feedback). Metode ini
merupakan suatu metode penilaian kinerja yang dilakukan oleh banyak
pihak (dari berbagai arah) sehingga hasil yang diperoleh diharapkan
lebih objektif, jujur, adil, dan tepat sasaran. Metode ini muncul akibat
adanya isu yang muncul bahwa dalam penilaian kinerja yang hanya
dilakukan oleh atasan saja akan beresiko untuk masa depan karier
bawahannya. Tujuan utama metode penilaian ini adalah untuk menilai
kebutuhan pelatihan dan pengembangan serta mempersiapkan
informasi yang berkaitan dengan kompetensi untuk perencanaan
suksesi dan bukan promosi ataupun peningkatan gaji. Metode ini
disebut juga multi-rater assesment, multi-source assesment, multi-
source feedback.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Modal dan pendekatan dalam evaluasi program ini dianggap
penting karena menjadi bagian untuk mencapai tujuan yg diinginkan.
Pendekatan dalam evaluasi program menjadi suatu titik tolak atau sudut
pandang suatu proses evaluasi yg dilaksanakan. Begitu pun juga dengan
model-model evaluasi yang sangat penting karena di dalamnya terdapat
suatu terminologi, pendekatan, dan logika berpikir untuk menentukan
model evaluasi apa yg tepat untuk dipilih dalam suatu program. Tidak lupa
juga dengan penilaian kinerja, yaitu penilaian terhadap pencapaian kerja
untuk mengetahui suatu perkembangan, dan membuat keputusan baik
untuk keperluan lembaga maupun unit organisasi.

3.2 Saran
Penulis berharap makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan
rujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan
implementasi pendekatan dan model evaluasi dalam pembelajaran yang
dilaksanakan dengan baik dan efektif dan dapat mengintegrasikannya
dalam kehidupan di dunia pendidikan.

32
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. (2019). Evaluasi Program Teori dan Praktek dalam Konteks


Pendidikan dan Nonpendidikan. Cetakan Pertama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Arifin,Z. (2014). Penelitian Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru. Cetakan
Ke-3. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Arifin, Z. (2017). Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Cetakan Ke-5.
Bandung: PT Rosdakarya.
Guba, E.G., & Stufflebeam, D.L. (1968). Evaluatioj: The prosess of stimulating,
aiding, and abetting insightful action. In R. Ingle & W. Gephart (Eds.),
Problems in the training of educational researchers. Bloomington, IN: Phi
Dleta Kappa.
Isac, Stephen, dan Michael, William B. (1982). Handbook in Research and
Evaluation, San’s Diego. California: Edit Publ.
Kirkpatrick, D. (1998). Evaluation Training Programs: The Four Level. Second
Edition. San Frasisco: Berrett-Koehler Publisher.
Kreitner, D, & Kinicki, A. (1998). Organization Behavior. Boston: McGraw Hill.
Schuller, R.S. (2001). Personnel and Human Resource Management. Third
Edition.
New York: West Publishing Company.

Stufflebeam, D.L. (1973). Meta Evaluation, Occasional Paper Series, The


Evaluation Center. Western Michigan University.
Wirawan. (2015). Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia: Teori, Psikologi,
Hukum Ketenagakerjaan, Aplikasi dan Penelitian: Aplikasi dalam
Organisasi Bisnis, Pemerintah, dan Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
33

Anda mungkin juga menyukai