Anda di halaman 1dari 70

TRADISI LISAN MOANGGO PADA MASYARAKAT

TOLAKI DI KEC. LEMBO, KONAWE UTARA

Hasil penelitian
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujiaan Seminar Hasil
Pada Jurusan Tradisi Lisan
FakullasIlmu Budaya

Oleh

BAHAR

N1 E1 15 078

JURUSAN TRADISI LISAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tradisi Lisan moanggo adalah salah satu dari sekian bentuk tradisi lisan

dalam kehidupan masyarakat tolaki. Tradisi moanggo tersebut berupa syair-syair

atau lagu-lagu yang berisi pujian dan sanjungan. Secara umum, syair anggo

dinyanikan dalam berbagai hal seperti pada saat pesta panen raya, saat

menidurkan anak, bahkan syair anggo juga digunakan untuk menceritakan silsilah

keturunan seseorang. Saat ini keberadaan anggo di kecamatan Lembo semakin

jarang dipertunjukkan karena dapat dilihat dari sedikitnya orang di kecamatan

lembo yang mengetahui tentang tradisi lisan anggo tersebut. Dari berbagai macam

tradisi moanggo yang masih digunakan dalam masyarakat khususnya di

Kecamatan Lembo, yaitu moanggo metei’a (menjaga anak) dan anggo ndula-tula

(silsila kerajaan). Oleh sebab itu, maongga metei’a ini dilakukan untuk

menidurkan anak bayi, sedangkan anggo ndulu-tula ini dilakukan agar mengingat

kembali silsila kerajaan-kerajaan pada saat itu.

Masyarakat tolaki di Kecematan Lembo, sangat menghargai nilai

kebudayan, moral, sikap dan perillaku seseorang yang membawakan anggo

tersebut, karena dalam pelantunan moanggo ini sangat mengispirasi bagi setiap

orang yang mendengarkannya. Tidak hanya itu, maonggo dalam pertanian pun ini

juga dilakukan olehnya itu moanggo dalam bidang pertanian ini sangatlah sakral,

anggo ini dilakukan pada saat membuka lahan agar apa yang diinginkan dapat

dicapainya. Hal ini karena di dalam masyarakat suku tolaki aktivitas atau tindakan

1
bercocok tanam dinilai sebagai tanda rasa sukur kepada yang maha kuasa atas

hasil dari bercocok tanam. Tetapi hal tersebut sudah tidak dipraktekkan lagi

karena jenis atau bentuk moanggo ini yang kian sudah tidak diwariskan karena

kurangnya orang-orang yang mengetahui keberadaan aggo ini, orang-orang yang

mengetahui oanggo tersebut sudah dimakan usia ataupun meninggal dunia.

Kabupaten Konawe Utara merupakan merupakan salah satu daerah yang

cukup banyak memeliki cerita rakyat, tradisi dan realitas sosial budaya yang

hingga saat ini tidak lagi terekam dengan baik atau tidak banyak yang diketahui

oleh masyarakat luas, karena adanya pengaruh erah globalisasi maka dengan

seiring berjalannya waktu pada akhir cerita, tradisi dan realitas itu menjadi punah,

jauh dan tenggelam secara perlahan-lahan, tanpa meninggalkan jejak. Salah satu

tradisi yang perlu dinyatakan yakni moanggo, tradisi moanggo pada etnis tolaki

merupakan salah satu sastra lisan tolaki yang biasa disampiakan dengan saling

berbalas-balasan pantun secara berkelompok misalnya dari pihak laki-laki dan

perempuan atau juga dalam bentuk monolog (perseorangan). Moanggo ini di

sampaikan atau dilaksanakan dengan tujuan untuk mengemukakan serta

menyampaikan maksud tertentu baik yang bersi nasihat, percintaan, puji-pujian,

sanjungan maupun sindiran. Tradisi moanggo dibawakan dengan cara dilantunkan

yang biasa dilaksanakan atau disajikan pada pesta kampung misalnya pernikahan,

aqiqah, syukuran dan jenis kegiatan lain yang ada pada masyarakat tolaki.

Pada hakikatnya, kebudayaan adalah warisan sosial. Dalam arti bahwa

kebudayaan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses

pembelajaran, baik secara formal maupun secara informal. Adapun proses

2
pembelajaran itu umumnya dilakukan lewat program-program pendidikan dalam

berbagai lembaga pendidikan, seperti sekolah, kursus, akademi, pergurun tinggi,

dan lain-lain tempat pusat pelatihan dan keterampilan. Di sini semua wujud

kebudayaan spiritual maupun material yang berupa sistem gagasan, ide-ide,

norma-norma, aktivitas-aktiviatas berpola, serta berbagai benda hasil karya

manusia dikemas dalam mata pelajaran dan kurkulum yang disusun serta

diberikan secara sistematik. Sementara itu, proses pembelajaran informal

diselanggaran melalui proses enkulturasi (enculturation) dan sosialisasi

(socialization).

Enkulturasi adalah proses penerusan kebudayaan kepada seseorang

individu yang dimulai segera setelah dilahirkan, yaitu pada saat kesadaran diri

yang bersangkutan mulai tumbuh dan berkembang. Agar kesadaran diri itu

berfungsi, seorang individu harus dilengkapi dengan lingkungan sosial. Mula-

mula mengetahui obyek-obyek diluar dirinya. Obyek ini selalu dipahami menurut

nilai kebudayaan di tempat dia dibesarkan.bersama dengan itu, individu tersebut

memperoleh orientasi yang bersifat ruang, waktu, dan normatif. Dengan kata lain,

dalam proses enkulturasi ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan

alam pikrian serta sikap perilakunya dengan dengan adat istiadat, sistem norma,

dan peraturan-peraturan yang ada di dalam kebudayaannya.

Moanggo adalah aktivitas menyayikan syair tradisional masyarakat Tolaki

yang berisis puji-pujian, dan sanyungan. sering dipertunjukkan dalam kehidupan

masyarakat Tolaki khususnya Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara,

yang banyak mengandung nilai kebudayaan, norma-norma sosial, dan

3
mengandung nilai moral yang berguna untuk memperkokoh nilai-nilai dan norma

yang berlaku dalam masyarakat yang di gunakan oleh orang-orang tua dalam

mendidik anak, mengungkapkan sindiran kepada yang bersalah, dan juga

digunakan oleh pemuda dan pemudi dalam halnya mengungkapkan isi hatinya,

seperti menyatakan cinta, suka duka, maupun kekecewaan.

Anggo adalah tradisi lisan yang berkaitan dengan berbagai aktivitas atau

ekspresi kehidupan masyarakat suku Tolaki. Pelantunan ekspersi syair tersebut

secara umum diperoleh dan dilestarikan secara lisan dari generasi ke generasi.

Sehingga syair anggo merupakan aspek kebudayaan terpenting masyarakat.

dipandang sebagai sebuah teks sastra lisan yang dilantunkan oleh masyarakat

tolaki. Ketika melantunkan, penutur akan melihat pada situasi apa ia bertutur dan

tema apa yang diangkat. Bagi seorang penutur, untuk menyayikan sebuah anggo

tidak mutlak harus menghafal dahulu syair-syair yang akan dilantunkan. Anggo

yang dilantunkannya mengalir sendiri disesuaikan dengan keadan atau situasi

yang sedang berlangsung.

Mengingat anggo adalah salah satu sastra lisan yang harus dijaga, maka

perlu dilestarikan oleh masyarakat pewarisnya dengan cara dijadikan: (a) sebagai

muatan lokal; (b) seb agai hiburan acara resmi pemerintah daerah; (c) membuat

kontes moanggo pada tingkat sekolah; (d) menggunakan moanggo sebagai

hiburan masyarakat; (e) membudayakan moanggo sebagai hiburan dilingkungan

rumah tangga; dan (f) pewarisan moanggo pada generasi mudah.

Bagi seorang pande anggo, adalah orang yang mempunyai keahlian untuk

menyanyikan sebuah anggo. Keahklian tersebut terlihat dari daya ingat mereka

4
terhadap syair-syair anggo. tidak mutlak harus menghafal terlebih dahulu syair-

syair yang ingin dinyanyikan atau syair anggo tersebut harus telah ditulis dalam

bentuk teks. Tapi bisa saja keadaan saat itu. Misalnya anggo yang bersifat

sindiran. Untuk anggo jenis ini, umumnya tercipta secara spontanitas karena

sasaran yang ingin disindir hadir di tempat itu, sehingga tidak perlu dikarang atau

ditulis terlebih dahulu. Entah itu sindiran yang ditujukan kepada pemerintah

setempat atau kepada seseorang yang dianggap tidak perduli.

Berdasarkan latar belakang tersebut, ditambah lagi dengan adanya

kesadarkan untuk melakukan proses pewarisan dan pelaksanaan moanggo pada

masyarakat suku tolaki maka peneliti akan melakukan penelitian dengan melihat

moanggo dari proses pewarisan dan pelaksanaan dalam hal ini berupa

pembelajaran dari generasi ke generasi .

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi lisan moanggo pada

masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo?

2. Bagaiaman sistem pewarisan tradisi lisan moanggo pada masyarakat

Tolaki di Kecamatan Lembo?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitan ini

adalah:

5
1. Untuk Mengetahui danmendeskripsikan bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi

moanggo padamasyarakat di Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe

Utara.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan sistem pewarisan tradisi moanggo

pada masyarakat di Kecamatan Lembo Kabupaten konawe utara

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitiaan ini adalah:

1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Memperkuat aspek-aspek keilmuan tradisi lisan dengan menelaah secara

khusus tradisi lisan moanggo. Disamping itu memberikan manfaat bagi

pengembangan tradisi lisan secara teoritis.

2. Memberikan gambaran bentuk-bentuk pelaksanaan dan pewarisan tradisi

moanggo bagi masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo Kabupaten

Konawe Utara.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Hasil praktis dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi

mengenai tadisi moanggo dalam masyarakat Suku Tolaki sehingga

masyarakat mampu melaksanakan tradisi oanggo dalam kehidupan

masyarakat SukuTolaki.

2. Membantu masyarakat Suku Tolaki untuk lebih memahami bagaimana

bentuk-bentuk pelaksanaan dari tradisi Moanggo dan berbagai hal yang

bekaitan dengan pelaksanaan tradisi lisan tersebut.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Penelitian Relevan

Penelitian relevan merupakan penelitian sebelumnya yang sudah pernah

dibuatdan dianggap mempunyai keterkaitan dengan judul dan topik yang diteliti,

serta berguna untuk menghindari terjadinya pengulangan penelitian dengan topik

permasalahan yang sama. berbagai hasil peneliti terdahulu yang mengkaji tentang

bentuk-bentuk pelaksaan tradisi Moanggo yang terkandung dalam sebuah tradisi

tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

Idaman dalam jurnal dengan judul Nilai dan Makna Moanggo pada orang

Tolaki di Sulawesi Tenggara, moanggo sebagai salah satu bagian prinsip

kebudayaan dan penanda identitas orang Tolaki tidak lagi secara massif

diperdengarkan pada setiap pesta perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe,

apalagi di ruang-ruang keluarga sebagai sarana hiburan keluarga. Padahal di masa

lalu, ketika berbagai jenis musik modern belum merajai belantara musik di negeri

ini, moanggo tentu punya posisi sentral di nadi kehidupan musik tradisional orang

Tolaki. Dalam banyak hal, moanggo yang dibawakan oleh pande anggo sarat

dengan pesan-pesan positif bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Atas

dasar ini, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terungkap dengan

sejumlah nilai dan makna yang terkandung di dalam teks anggo. Nilai-nilai yang

terkandung di dalam teks anggo adalah nilai pendidikan, nilai moral, nilai budaya

dan nilai filosofis. Nilai pendidikan yang terkandung di dalam moanggo berkaitan

7
dengan pesan kepada kedua mempelai untuk menghormati orang tua dan mertua.

Selain itu, pesan lain yang terkandung di dalam moanggo adalah agar kedua

mempelai memperbaik hubungan kekeluargaan, menerima apa adanya kondisi

kedua orang tua, serta di dalam menjalani kehidupan rumah tangga agar

senantiasa saling mengasihi dan mencintai. Sementara nilai moral yang

terkandung di dalam teks anggo berkaitan dengan larangan untuk tidak melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dan nilai-nilai luhur budaya

Tolaki. Penegasan moral di dalam teks anggo ini ditunjukan melalui beberapa kali

penyebutan ‘iyamo’ yang bermakna jangan melakukan sesuatu. Di samping itu,

terdapat pula kata merou sebagai bentuk penegasan moral mengenai pentingnya

bertutur sapa yang sopan dan santun, baik kepada pasangan hidup maupun kedua

orang tua dan mertua, serta kerabat handai tolan. Nilai budaya di dalam moanggo

berkaitan dengan kebisaan-kebiasaan positif yang dilakukan oleh para leluhur atau

nenek moyang orang Tolaki (Idaman dkk, 2017).

Penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian

yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Persamaannya yaitu sama-sama

meneliti tradisi moanggo, sedangkan perbedaannya yaitu Idaman meneliti tentang

Nilai dan Makna tradisi moanggo, sedangkan dalam penelitan ini adalah

memfokuskan bagaimana bentuk-bentuk pelaksanaan dan pola pewarisan tradisi

moanggo pada masyarakat Tolaki khusunya di Lembo.

Samsul (2012) dengan judul “Tradisi Kabhanti Modero Pada Masyarakat

Muna Di Sulawesi Tenggara” penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) pola

formula yang digunakan dalam tradisi lisan kabhanti modero adalah formula kata,

8
sebagian kata, frasa, dan satu larik atau baris. Pengulangan yang dominan dalam

kabhanti modero adalah pengulangan satu larik. Hal ini terjadi karena selain

memperindah irama kabhanti. Juga untuk memberikan kesempatan kepada kita

memikirkan apa yang menjadi balasan kabhanti yang dilakukan oleh lawan

kelompok kita. (2) pewarisan yang terdapat dalam kabhanti modero terdiri atas

tiga bagian, yang pewarisan secara langsung, pewarisan dalam hidup keluarga,

dan pewarisan dalm pertunjukan. (3) polapewarian ini merupakan pola pewarisan

secara non formal. Dari ketiga pola pewarisan tersebut di atas, pewarisan dalam

pertunjukan merupakan pola pewarisan yang paling efektif karena calon

penuturnya bisa menyaksikan secara langsung bagaimana bentuk modero ketika

dipertunjukan selain itu, dia juga bisa mencoba melantunkan kabhanti modero

dalam pertunjukan itu. Tuturan keberhasilan seorang calon penutur atau orang

yang berjalan kabhanti modero adalah jika dia sudah mencoba melantunkan

kabhanti modero dalam pertunjukan.

Penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian

yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Persamaan penelitian yang telah

dilakukan Samsul pada tahun 2012. Melalui penelitian dikaji mengenai tradisi

berbalas pantun dalam bentuk nyanyian rakyat. Perbedaannya adalah Samsul lebih

memfokuskan penelitianya tentang pola pewarisan tradisi. Sedangkan dalam

penelitian ini peneliti memfokuskan pada bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi lisan

moanggo pada Suku Tolaki.

Putrid Nadia pada tahun 2016 dengan judul AnalisisPantun Pada Tradisi

Makan Nasi Hadap-hadapan Adat Pesisir Di Kecamatan Tanjungbalai Selatan

9
Kota Tanjung Balai. Penelitian ini mencari ikon, indeks, dan simbol yang terdapat

pada padapantun tradisi makan nasi hadap-hadapan adat pernikahan melayu

pesisir yang meupakan kajian ilmu semiotic serta memaknai pantun-pantun yang

digunakan pada tradisi tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian ditemukan ditemukan

lima acara yang digunakan dalam tradisi makan nasi hadap-hadapan adat

pernikahan Melayu pesisir yaitu perkenalan, memtik bunga, istirahat minum,

makan bersama dan merebut ayam panggang serta memakai pantun dalam kelima

acara tersebut. Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan, perbedaannya

adalah baik penelitian yang dilakukan oleh Samsul dan Putri Nadia adalah

meyampaikan pantunnya secara khusus pada aspek berbalas pantun. Berbaalas

pantun dalam Tradisi Lisan merupakan sarana pelestarian tradisi. Sedangkan

perbadaannya yaitu terletak pada pendekatan yang digunakan. Dalam hal ini,

menggunakan pendekatan pola pewarisan Tradisi sedangkan Putri Nadia

menggunakan pendekatan semiotika untuk menganalisis tanda-tanda dalam

sebuah tradisi. Pola pewarisan masuk dalam pendekatan adaptasi budaya

sedangkan semiotika masuk dalam analisis strukturalisme.

Isra Fahriati (2019) dengan judul “Berbalas Pantun Dalam Adat

Perkawinan Di Desa Muka Sungai Kuruk Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh

Tamiang”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitaif

yang bertujuan untuk mengetahui makna fenomena sosial dalam hal ini tradisi

berbalaspantun. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pantun sering digunakan

sebagai media penyampaian pesan pada acara perkawinan yang berisi tentang

10
masalah perkawinan yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada pihak

perempuan seperti syarat harus menggunakan inai, membawa emas, sirih dan

elang 7 hari yang terdiri dari tebu, bale, kain dan harus memahami arti dari tujuan

pernikahan tersebut.

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan Isra Fahriati adalah sama-sama meneliti tentang makna yang

terkandung dalam tradisi berbalas pantun. Perbedaan Isra Fariati meneliti tentang

berbalas pantun yang dikhususkan pada adat pernikahan. Sedangkan dalam

penelitian ini adalah meneliti tentang tradisi lisan Moanggo pada masyarakat

Tolaki. Penelitian tersebut memperlihatkan perbedaan karena penelitian yang

dilakukakn oleh Isra Fahriati memfokuskan pada aspek makna pada tradisi

sedangkan penelitian ini mendekati feomena tradisi lisan dalam hal ini Moanggo

lebih kepada bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi lisan serta bagaimana pewarisan

tradisi Moanggo tersebut.

Beberapa penelitian di atas, terlihat bahwa penelitian pada tradisi moanggo

pada masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara

sepanjang penelusuran peneliti sebelumnya belum membahas moanngo di

Kabupatan Konawe Utara khususnya di Kecamatan Lembo. Oleh karena itu,

sangat terbuka peluang untuk melakukan penelitian tentang bentuk-bentuk

pelekasanaan tradisi lisan Moanggo, dan sistem pewarisan tradisi lisan Moanggo

pada masyarakat Tolaki Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara.

Adapun manfaat dari ketiga penelitian relevan yang telah tersebut diatas

terhadap penelitian yang sudah peneliti lakukan ialah sebagai bahan rujukan yang

11
memberi perlengkapan imformasi mengenai bentuk-bentuk pelaksanaan, dan

sistem pewarisan tradisi lisan Moanggo terhadap kepercayaan masyarakat

tradisional. Melalui ketiga penelitian ini, maka peneliti dapat mengetahui apa saja

yang sudah diungkapkan oleh parah peneliti sebelumnya. Hal tersebut dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rancangan penelitian agar

nantinya penelitian yang sudah peneliti lakukan tidak memeliki kesamaan yang

mutlak terhadap penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut

agar hasil dari penelitian yang peneliti lakukan tidak hanya sekedar menumpuk

imformasi yang mutlak sama dengan penelitian-penelitan yang sudah ada

sebelumnya, melainkan bertujuan agar dapat memberikan kontribusi, menambah

sertah melengkapi imformasi penelitian-penelitian sebelumnya.

2.1.2. Konsep Moanggo

Moanggo berasal dari kata mo artinya melantunkan/menyayikan dan

anggo merupakan lagu tradisional masyarakat Tolaki yang berisi puji-pujian,

sanjungan. Anggo berfungsi sebagai pembelajaran pembentuk watak/mental dan

semangat kepahlawanan. Orang yang menciptakan anggo mengandung unsur

adat kebudayaan sehingga lebih banyak ditemukan dalam upacara-upacara atau

pesta-pesta adat. Anggo juga sering dinyanyikan dalam suasana bebas diluar dari

acara-acara adat. Syair lagunya bermacam-macam bentuk sesuai dengan

fungsinya. Ada yang berbentuk pujian, atau sanjungan. Pada bentuk anggo yang

moral dan semangat kepahlawanan. Sedangkan bentuknya yang lain yaitu

berbentuk sindiran, keharuan, dan percintaan, fungsinya adalah sebagai

penyampaian isi hati kepada seseorang.

12
Dalam bidang pertanian pun, onggo sering digunakan oleh masyarakat

Tolaki seperti pada saat akan membuka lahan (mosalei), saat akan menanam

(motasu), mencabut bibit (morabu), menyabit (mosaira), atau pada puncak

kegiatan petani yaitu pesta panen (monahundau). Anggo semacam ini

kedudukannya hampir sama dengan mantra karena isinya berupa permohonan

kepada yang kuasa agar apa yang diperbuatnya mendapatkan berkahnya, sehingga

tidak akan dapat gangguan berarti dan akan diperoleh hasil sesuai dengan yang

diharapkan. (Evang Asnawati 2018).

Sebelum memulai anggo, ini dimaksudkan agar orang tersebut kehilangan

kesadarannya sehingga arwah nenek moyang akan mudah merasuki jiwanya.

Tidaklah mengherankan jika pada saat orang sudah melantunkan anggo, maka

akan anggo yang dinyayikannya setelah dia sadar. Jadi, dapat dikatakan bahwa

anggo itu sendiri mempunyai hubungan dengaan dunia magis.

Adapun pengaruh yang kuat terhadap anggo dengan dunia magis

dibenarkan oleh orang-orang yang memahami keberadaan anggo sebagai nyayian

masyarakat Tolaki, bahkan oleh para petua-petua adat. Hanya saja, sejalan dengan

perkembangan di berbagai aspek kehidupan, maka anggo pun kini sudah

mengalami sedikit perubahan. Telah banyak syair-syair onggo yang diciptakan

oleh para seniman-seniman daerah, Khususnya Sulawesi Tenggara. Untuk

menyampaikan anggo tersebut, tidak lagi harus menciptakan sarana penghubung

antara sipenyanyi dengan arwah nenek moyang. Anggo tersebut lebih

mengambarkan tentang jiwa dan perasaan seseorang sebagai penyampaian isi hati

atau bahkan anggo berisikan dorongan kepada seseorang agar bersifat kastria.

13
2.1.3. Konsep Tradisi Lisan

Tradisi lisan merupakan hasil pemikiran dan adat yang diturunkan dari

mulut ke mulut dan dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan masyarakat

pemiliknya. Tuloli (Amir, 2013:43) menyatakan bahwa tradisi lisan adalah salah

satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan yang belum

terpelajar. Tradisi lisan harus dibicarakan dalam hubungan dengan penceritaan,

dan pendengar atau penontonya.

Menurut Danandjaja (2002:21-22) tradisi lisan adalah yang memang

bentuknya lisan. Bentuk-bentuk tradisi lisan yang termauk ke dalam kelompok

besar ini, antara lain: (1) bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional,

dan title kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah,

dan pameo; (3) puisi rakyat seperti gurindam dan syair; (4) nyanyian rakyat.

Sebelum di jelaskan tradisi lisan terlebih dahulu akan dikemukakan

konsep tradisi, tradisi berasal dari kata traditium yang berarti segala seseuatu yang

diwariskan darimasa lalu (Murgianto, 2004 : 2 dalam Ardium Dini 2017). Selain

itu, menurut Fineggan (1992 : 7dalam Ardium Dini 2017) tradisi merupakan

istilah umum yang biasa digunakan dalam ujaran keseharian dan juga istilah yang

di gunakan oleh antropolog, peneliti folklore, dan sejarawanislam. Ada

perbedaan-perbedaan makna mengenai tradisi itu sendiri, misalkan dimaknai

sebagai kebudayaan, sebagai keseluruhan, berbagai cara melakukan sesuatu

berdasarkan cara yang telah ditentukan; proses pewarisan praktis, ide atau nilai;

produk yang diwariskan; dan sesuatu dengan konotasi lampau. Sesuatu yang

disebut tradisi pada umumnya menjadi kepemilikan keseluruhan komunitas

14
dibanding individu atau kelompok tertentu. Tradisi tidak ditulis dan merupakan

pemarkah identitas kelompok.

Lord (2000 : 1dalam Ardium Dini 2017) memberikan batasan tradisi lisan

sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa unsur

kelisanan bagi penutur dan unsur yang mendengarkan bagi penerima menjadi kata

kuncinya. Selanjutnya, Hoed (2008 : 184) mengatakan bahwa tradisi lisan adalah

berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan

secara lisan. Lebih lanjut, Hoed mengatakan bahwa tradisi lisan mencakup hal-hal

seperti yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (1995 ; 2dalam Ardium

Dini 2017) bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos,

legenda, dan dongeng, akan tetapi juga mengandung berbagai hal yang

menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemeliknya, misalnya keariafan

lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan

sistem kepercyaan dan religi, astrologi, dan berbagai hal seni.

Tradisi Berasal dari bahasa Latin traditio sebagai nomina, kata traditio

berarti kebiasaan yang disampaikan dari satu generai ke generasi berikutnya

dalam waktu yang cukup lama sehingga kebiasaan itu menjadi bagian dari

kehidupan sosial komunitas. Ada tiga karakteristik tradisi. Pertama, tradisi itu

merupakan kebiasaan (lore) dan sekaligus proses (process) kegiatan yang dimiliki

bersama suatu komunitas. Kedua tradisi itu merupakan sesuatu yang menciptakan

dan mengukuhkan identitas. Memilih tradisi memperkuat nilai dan keyakinan

pembentukan kelompok komunitas. Ketika terjadi proses kepemilikan tradisi,

pada saat itulah tradisi itu menciptakan dan mengukuhkan rasa identitas

15
kelompok. Ketiga, tradisi itu merupakan sesuatu yang dikenal dan diakui oleh

sekelompok itu sebagai tradisinya. Sisi lain menciptakan dan mengukuhkan

identitas dengan cara berpartisipasi dalam suatu tradisi adalah bahwa tradisi itu

sendiri harus dikenal dan diakui sebagai sesuatu yang bermakna oleh kelompok

itu. Sepanajang kelompok masyarakat mengkalim tradisi itu sebagai miliknya dan

berpartisipasi dalam tradisi itu, hal itu memperbolehkan mereka berbagi bersama

atas nilai dan keyakinan yang penting bagi mereka (Martha and Martine, 2005;

Sibarani, 2014)

2.1.4. Konsep Masyarakat Tolaki

Masyarakat adalah golongan masyarakat kecil terdiri dari beberapa

manusia, yang dengan atau karena sendirinya pertalian secara golongan dan

pengaruh mempengaruhi satu sama lain (Hasan Shadily 1984:47). Definisi

menekankan aspek pertalian yang dalam hal ini disebut dengan istilah hubungan.

Aspek hubungan tersebut dilihat dalam wilayah praktis yakni bagaimana manusia

dapat mempengaruhi satu sama lain yang berawal dari faktor hubungan

mempengaruhi itu sendiri.

Konsep masyarakat menurut Edi Suharto (2006:11) adalah area dimana

praktek pekerjaan sosial makro beroperasi. Berbagai definisi mengenai

masyarakat biasanya diterapkan berdasarkan konsep ruang, orang, interaksi dan

identitas. Dalam arti sempit istilah masyarakat merujuk pada sekelompok orang

yang tinggal dan berinteraksi yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu seperti

desa, kelurahan, kampung atau rukun tetangga. Dalam arti luas, masyarakat

menunjuk pada ineraksi kompleks sejumlah orang yang memiliki kepentingan dan

16
tujuan bersama meskipun tidak bertempat tinggal dalam satu wilayah geografis

tertentu. Masyarakat seperi ini bisa disebut sebagai societas atau society.

Misalnya, masyarakat ilmuwan, masyarakat bisnis, masyarakat global, dan

masyarakat dunia.

Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolahianga (orang dari

langit). Mungkinkah yang dimaksudkan di sini dengan istilah “langit” adalah

kerajaan langit, yakni cina seperti yang dimaksudkan oleh M. Granat (Abdurrauf

Tarimana 1993: 51). Kalau demikian maka mungkinkah kata hiu yang ada dalam

bahasa cina berarti “langit” dihubungkan dengan kata heo (Tolaki) yang berarti

“ikut pergi ke langit.” Mereka yang datang dari arah selatan mungkin berasal dari

pulau Jawa melalui Buton dan Muna dan memasuki muara sungai Konawe’eha,

dan terus memilih lokasi pemukiman di Toreo , di Landono, dan Besulutu.

Seperti apa yang telah disebutkan di atas menurut cerita mitologi, Kerajaan

Konawe dan Kerajaan Mekongga masing-masing didirikan oleh dua bersaudara

kakak-adik, ialah Wekoila dan Larumbalangi. Pusat Kerajaan Konawe mula-mula

berlokasi di Olo-Oloho di pinggir Sungai Konawe’eha di desa Uepai yang

sekarang, kemudian pinda ke Una’aha. Adapun Kerajaan Mekongga, mula-mula

berlokasi di Bende, dan kemudian pindah ke Wundulako. Mula-mula raja bergelar

Mokole, tetapi lama kemudian untuk Raja Mekongga, gelar itu berubah menjadi

Bokea. Kerajaan Konawe pernah tenggelam karena wabah penyakit yang

digambarkan sebagai sebagai keganasan biawak raksasa (utiowose) dan kerbau

berkepala dua (kiniku peuluruo), yang menghabiskan manusia di Konawe,

demikian juga kekalutan dalam Kerajaan Mekongga digambarkan sebagai

17
keganasan burung garuda. Dalam situasi demikian datanglah Latuanda, seorang

dukun, dan menyelamatkan penduduk dari wabah yang digambarkan sebagai

pembunuh biawak dan kerbau tersebut. Sementara itu tibalah Onggabo (raksasa)

yang mengawini gadis, sisa wabah, bernama Elu, gelar Kambuka sioropo

Korembutano, dan dari perkawinan itu lahirlah putra-putri Onggabo yang

keturunannya kemudian meneruskan babat tanah Konawe. Mereka dikenal oleh

penutur silsilah raja-raja sebagai nama-nama yang tersusun dengan tata urut

sebagai berikut, yaitu :Sangia Mbina’uti, Sangia Inato, dan Sangia Ngginoburu.

Situasai yang sama terjadi di Mekongga di mana penduduk negeri Mekongga

diselamatkan oleh Larumbalangi setelah ia memimpin usaha pemulihan kekuatan

yang digambarkan sebagai pembunuh burung kongga (garuda) itu. Jadilah ia raja

pertama Kerajaan Mekongga, dan diteruskan kemudian oleh cucu-cucunya, yang

berturut-turut bernama Mumualo, Lombo-Lombosa atau Sangia Nilulo, dan

Laduma atau Sangia Nibandera (Kruijt 1922: 692 dalam Abdurrauf Tarimana

1993:53)

Hal yang sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan dari tiap

raja tersebut. Suatu kecualian adalah Raja Sangia Ngginoburu dan Raja Sangia

Nibandera yang masa pemerintahannya dapat diperkirakan pada zaman Islam

berdasarkan cerita sejarah setempat, bahwa Raja Tolaki itu adalah raja-raja yang

pertama setelah meninggal dikubur secara Islam. Hingga kini kuburan dari kedua

raja tersebut masih ada dan dipelihara oleh turunannya.

Sebelum kedua kerajaan ini berdiri, telah ada beberapa kerajaan keci,

yaitu: Padangguni, Besulutu, Tambosupa, Wawolesea, Lembo, dan Konde’eha.

18
Menurut para penutursilsiah raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa

peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik sebagai peninggalan

arkeologi maupun etnografika, misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di

Toreo. Menurut cerita sejarah kerajaan-kerajaan ini bubar karena peperangan

antara satu sama lain karena serangan dari kerajaan lain di luar Sulawesi

Tenggara, misalnya peperangan antara Padangguni dengan Besulutu, yang

menyebabkan timbulnya kerajaan Konawe, antara Wawolesea dengan kerajaan

Banggai, dan antara Lembo dengan Konde’eha yang menyebabkan timbulnya

kerajaan Mekongga.

Pada dasarnya masyarakat Tolaki yang mendiami kecamatan Lembo

berawal dari keberadaan aktifitas pertahanan laut kerajaan Konawe.Hal ini dapat

kita temukan di dalam Anggo Ndula-tula yang berkisah tentang sosok Kapita

Mayoro i Ngapa. Di dalam Anggo tersebut, digambarkan posisi pertahanan laut

atau yang dalam bahasa Tolaki disebut Ngapa memainkan peranan yang sangat

strategis untuk menahan laju serangan dari beberapa kesulatan yaitu Ternate,

Buton dan Luwu. Kapita Mayoro yang bernama Mekuo menjadi sosok yang

memperkuat keberadaan masyarakat Tolaki yang mendiami wilayah yang disebut

Lembo.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Teori Pewarisan Budaya

Menurut C.H Colley (2005:43) pengertian pewarisan budaya adalah suatu

proses peralihan nilai-nilai dan norma yang dilakukan dan diberikan melalui

pembelajaran oleh generasi tua ke generasi muda. Pewarisan budaya menurut

19
Komanto Sunanto (1999:31) suatu kebudayaan didalam masyarakat yang terus

menerus dilestarikan atau diteruskan ke generasi selanjutnya agar kebudayaan

tersebut tidak hilang atau punah diterjang oleh kebudayaan yang baru. Oleh

karena itu kita sebagai penerus generasi selanjutnya harus bisa melestarikan

budaya yang sudah ada agar budaya ini tidak punah. Warisan budaya dapat berupa

bahasa, tari, lagu, alat musik, masakan, bangunan, atau candid dan peninggalan

lainnya.

Cara pewarisan budaya pada masyarakat tradisional terjadi secara

sederhana, yaitu melalui tatap muka langsung dari mulut ke mulut dan praktek

langsung. Masyarakat dengan tipe seniman mewariskan keterampilan seni dengan

cara membawa langsung anaknya untuk turut serta dalam berkesenian. Pewarisan

budaya dilakukan dengan tatap muka langsung, ketika mitos, legenda, dan

donggeng diceritakan oleh orang tau bertatap muka langsung dengan anak-

anaknya. Koentjaraningrat (1999:23). Pewarisan budaya sering dilakukan secara

berantai, seseorang bercerita kepada temannya, yang kemudian bercerita kepada

orang lain, dan seterusnya.

Pewarisan budaya sangat penting bagi manusia karena dengan budaya

manusia dapat menjukkan jati diri kita sebagai satu mahluk yang berbudaya dan

sebagai ciri khasnya, contoh kita sebagai orang orang Indonesia harus

melestarikan budaya indonesia agar jati diri dan martabat bangsa Indonesia tidak

hilang terbawa arus globalisasi oleh karena itu kita hurus bangga dengan budaya

Indonesia. Kamanto Sunanto (1999:41).

20
2.2.1.1. Proses Pewarisan Budaya

Proses pewarisan budaya terjadi dari dahulu hingga sekarang. Manusia

saat ini dapat mengetahui budaya manusia beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun

yang lalu karena adanya pewarisan budaya dengan menggunakan berbagai media

budaya. Paada umumnya orang membedakan pewarisan budaya pada masyarakat

tradisional dan modern. Menurut Koentjaraningrat (1999:55) “masyarakat

tradisional merujuk pada masyarakat yang ada pada abad ke 19 dan sebelumnya”.

Atas dasar itu, masyarakat modern adalah masyarakat yang hidup pada awal abad

ke 20 sampai dengan sekarang.

Pewarisan budaya pada masyarakat tradisional merujuk pada pewarisan

budaya yang terjadi pada masyarakat yang hidup pada abad ke 19 dan

sebelumnya. Sedangkan pewarisan budaya pada masyarakat modern merujuk

kepada proses pewarisan budaya yang terjadi pada masyarakat yang hidup pada

awal abad ke 20 sampai dengan sekarang. Perbedaan pewarisan budaya pada

kedua jenis masyarakat itu diantaranya dapat ditinjau menerut peranan lembaga

kebudayaan, cara pewarisan budaya, sarana pewarisan budaya dan kecepatan

pewarisan budaya, Kamanto Sunanto, (1999:50).

2.2.1.2. Sistem pewarisan budaya

Sistem pewarisan yang dimaksud disini tentu saja adalah sistem

pewarisan kesenian tradisional, sedangkan kesenian tradisional telah deketahui

adalah kesenian yang sudah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke

generasi sesudahnya. Lindsay dalam Kasim (1981:112-113) menyatakan bahwa

21
hasil kesenian tradisinal biasanya diterimah sebagai tradisi, pewarisan yang

dilimpahkan dari angkatan muda kepada angkatan lebih muda. Proses pewarisan

tersebut dilakukan melalui pembelajaran alih, ide, nilai, serta keterampilan.

Cavalla-Sproza dan Fieldman dalam Berry (2002:20) menyatakan bahwa:

Cultural transmission can perpetuate its behavioral features among

subsequentgenerations employing teaching and learning mechanisms.

Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem pewarisan atau

pewarisan budaya merupakan cara untuk mempertahankan ide, gagasan, atau

keterampilan dalam sebuah kebudayaan umumnya, kesenian pada khususnya

melalui proses belajar. Sistem pewsrisan disini akan membahas bagaimana

motivasi, dan model dalam proses pewarisan kesenian tarawangsa. Setiap

kesenian tradisional mempunyai pola pewarisan tersendiri, pola ini akan

berpengaruh pada eksistensi kesenian tersebut. Berkaitan dengan sistem

pewarisan. Cavalli-Sfroza dalam Adhipura (2013:43) menyatakan: terdapat dua

jenis sistem pewarisan yakni “Vertical Transmission” dan “Horizontal

Transmission”.Vertical Transmission (pewaris tegak) ialah sistem pewarisan yang

berlangsung melalui mekanisme genetic yang diturunkan dari waktu ke waktu

secara lintas generasi yakni melibatkan penurunan ciri-ciri budaya dari orang tua

kepada ank cucu. Dalam pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai,

keterampilan, keyakinan, motif budaya, dan sebagainya kepada anak cucu mereka.

Oleh karena itu pewarisan tegak disebut juga “Biological transmission” yakni

sistem pewarisan yang bersifat biologis. Horizontal Transmission” (pewarisan

miring) ialah sistem pewarisan yang berlangsung melalui lembaga-lembaga

22
pendidikan seperti sekolah-sekolah atau sanggar-sanggar. “Horizontal

Transmission”terjadi ketika seseorang belajar dari orang dewasa atau lembaga-

lembaga (misalnya dalam pendidikan formal) tanpa memandang apakah hal itu

terjadi dalam budaya sendiri atau dari budaya lain.

Sistem pewarisan vertikal hanya mengandalkan mekanissme genetic

(keluarga atau saudara) dalam proses pewarisannya. Generasi itu berperan sebagai

guru yang meweariskan aturan-aturan, kerampilan, ide-ide, dan sebagainya.

Sistem pewarisan vertikal ini hanyadikakukan pada orang-orang yang masih

mempunyai hubungan darah atau sering disebut dengan biological transmission.

Sistem pewarisan kesenian didalamnya terdapat sebuah proses pendidikan dan

pelatihan.

23
2.3 Kerangka Berpikir

Moanggo Pada Masyarakat Tolaki

Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara

Bentuk-Bentuk Moanggo Bagaimana Sisteam Pewarisan


Pada Masyarakat Tolaki Tradisi Lisan

Konsep dan Teori:


1. Tradisi Lisan
2.Teori Pewarisan Budaya

Hasil Penelitian

Gambar 1.baganKerangka pikir

24
Fokus utama dalam penelitianini adalah menemukan bentuk-bentuk

pelaksanaan dan bagaimana sistem pewarisan tradisi lisan Moanggo yang berupa

lagu trsdisional yang berisi puji-pujian dan sanjungan. Hal yang pertama kali

ditelitih adalah konsep umum Moanggo dalam masyarakat Tolaki. Pada bagian ini

akan dijelaskan secara lengkap bagaimana masyarakat Suku Tolaki memahami

keberadaan tradisi tersebut. Pemahaman masyarakat suku Tolaki bersifat sangat

penting untuk menjawab rumusan penelitian yang diangkat oleh peneliti dalam

kerangka pikir.Pada bagian berikutnya dengan dibantu teori yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu teori umum atau basic teori yang telah menjadi rujukan

utama didalam penelitian mengenai tradisi lisan khususnya yang berkaitan

dengant terori perubahan sekaligus memakai konsep-konsep yang relevan seperti

masyarakat, perubahan, dan tradisi secara umum.

Teori perubahan budaya bertujuan untuk menganalisis secara mendalam

keberadaan sebuah tradisi ditengah-tengah masyarakat.Selain itu, terori perubahan

budaya sekaligus mampu mengetahui keberadaan sebuah budaya atau tradisi

disuatu masyarakat apakah tradisi tersebut masih eksis ataukah telah punah. Bila

hal ini diteruskan maka tujuan penelitian ini akan serta merta terjawab secara

komprehensif. Ditambah lagi banyak peneliti yang mengangkat persoalan ini

masih bersifat deskriptf normati tanpa mampu menjawab pertanyaan yang lebih

penting yaitu persoalan eksistensi suatu tradisi.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode desktiptif

kualitatif. Penelitian kulatatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian (Maleong, 2013:6).

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe

Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Adapun alasan pemilihan lokasi peneitian:

(1) daerah ini masih sering di laksanakan kegiatan moanggo. (2) secara tekn is

operasional peneliti berasal di lokasi penelitan yang secara insentif memberi

kemudahan menjangkau subjek penelitian. Hal yang berarti akan lebih mudah

bagi peneliti melakukan pengamatan, observasi langsung, melakukan wawancara,

merekam dengan video-film, gambar/foto.

3.3. Sumber Data Penelitan

Data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang diperoleh dari

keterangan informan yang berkaitan dengan permasalahan yang telah diteliti.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai untuk memperoleh data dengan

bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh sebagai data yang dibutuhkan dalam

penelitian. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

dilakukan antara lain:

26
3.4.1 Observasi/Pengamatan

Melalui observasi ini, penelitan belajar tentang perilaku, dan fungsi dari

perilaku tersebut (Sugiono:2017:310). Dalam penelitian ini, peneliti terjun

langsung kelapangan untuk meperoleh data dan mengumpulkan data serta ikut

terliibat langsung dan ikut menyaksikan secara langsung tradisi tersebut. Dalam

observasi ini melakukann pengamatan dari beberapa objek yaitu lokasi penelitan,

tempat pelaksanaan, kehidupan bermasyarakat, pandangan dan respon masyarakat

terhadap tradisi lisan Moanggo serta bentuk-bentuk pelaksanaan dan sistem pola

pewarisan Moanggo.

3.4.2 Wawancara

Wawancara merupakan dua orang untuk bertukar informasi atau ide

melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan dalam suatu topik tertentu

(Sugiono, 2017:317). Peneliti melakukan wawancara secara mendalam pada

informan yang mengetahui tentang tradisi Moanggo. Wawancara dilakukan juga

untuk menggali informasi seperti bentuk-bentuk pelaksaan, proses pewarisan

tradisi Moanggo di Kecamatan Lembo, Kabupaten konawe utara.

3.4.3 Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan agar memperkuat data dari hasil wawancara yang

dilakukan dalam pengamatan. Adapun pengamatan data dengan menggunakan

dokumentasi dalam penelitian dapat berbentuk dokumentasi tertulis gambar (foto)

yang berkaitan dengan objek penelitian.

27
3.5 Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposif

yaitu berdasarkan tujuan yang ingi dicapai oleh peneliti (Endraswara, 2006:115).

Selanjutnya untuk menjaring data, diawali dengan informan awal yang oleh

Bungin (2008:77 dalam Abdul Alim) disebutnya sebagai gatekeeper. Apabila

informan awal ini memahami benar sacara mendalam masalah yang dikaji, dan

dapat memberikan imformasi data yang dibutuhkan, maka dapat saja peneliti

menetapakan sebagai keinforman atau mnurut Morse (Denzim& Lincoln,

2009:289 dalam Abdul Alim), disebut sebagai sampel informan dari sekian

banyak informan yang ditemui.

Sejalan dengan pertimbangan yang dikemukakan di atas dalam memilih

informan, juga dijelaskan oleh Sudikun (2000:91) dan Endraswara (2006;119

dalam Abdul Alim) sebagai berikut:

1. Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan

permasalahan yang diteliti.

2. Usia orang yang bersangkutan telah dewasa.

3. Orang yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani.

4. Orang yang bersangkutan bersikap netral, tidak mempunyai kepentingan

pibadi untuk menjelekkan orang lain.

5. Orang bersangkutan tokoh masyarakat, dan

6. Orang yang bersangkutan memiliki pengtahuan yang luas mengenai

permasalahan yang diteliti, dan lain-lain.

28
3.6 Teknik Analisis Data

Analsis data menjelaskan mengenai bentuk-bentuk pelaksanaan dan

pewarisan tradisi lisan Moanggo. Teknik analis data dalam penelitian ini

menggunakan metode analisis deskriftif kualitatif. Metode ini dilakukan melalui

interpretasi data hasil dari wawancara para informan dan ditafsirkan dengan

membahas tema-tema yang telah diteliti.

Miles dan Huberman (1992) mengemukakan bahwa aktivitas dalam

analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus

menerus sampai tuntas. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data

display; counclusion drawing/verifying. (Sugiono, 2017:337).

3.6.1 Redukasi Data

Meredukasi data merupakan kegiatan merangkum, memilih hal-hal

pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya

(Sugiono,2017: 338). Data yang telah diredukasi memberikan gambaran lebih

jelas dan memudahkan untuk pengumpulan data dan penyederhanaan data-data

yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan.

3.6.2 Paparan Data/data display

Setelah data diredukasi langkah selanjutnya adalah pemaparan data atau

mendisplaykan data. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk

memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa

yang telah dipahami tersebut (Miles dan Huberman 1998) dalam Sugiono,

2017:341). Penyajian data dilakukan untuk melihat secara keseluruhan atau

bagian-bagian tertentu dalam penelitian, sehingga data dalam penelitian in telah

29
disajikan dalam bentuk urain yang didukung dengan data-data yang telah

diperoleh.

3.6.3 Penarikan Kesimpulan/verifikasi

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan

Huberman adalah penarikan kesimpulan data verifikasi. Kesimpulan awal yang

dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan

bukti-bukti yang kuat yang mengandung pada tahap pengumpulan data

berikutnya. Tetapi apa bila kesimpilan yang dikemukan pada tahap awal,

didukung oleh bukti-bukti yang kuat valid dan konsisten saat peneliti kembali

kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan

kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang

diharapkan adalah temuan baru yang belum pernah ada ( Sugiono, 2017:345).

Pada tahap ini data yang telah dihubungkan antara satu dengan lainnya

sesuai dengan konfigurasi yang ada lalu disimpulkan. Setiap data yang menunjang

komponen uraian diklarifikasi kembali dengan informan. Apa bila hasil klarifikasi

memperkuat simpulan atas data yang tidak valid, maka pengumpulan data siap

dihentikan.

30
BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis

Kecamatan lembo merupakan bagian kabupaten konawe utara yang telah

terbentuk berdasarkan UU nomor 3 tahun 2010 provinsi Sulawesi tenggara.

Secara geografis kecamatan lembo terletak di selatan kabupaten konawe utara,

melintang dari utara ke selatan anatara 122`39062` dan 03`7593` lintang selatan,

membujur dari barat ke timur antara 122`32227` dan 03`74206` buju timur.

Kecamatan Lembo ini tempat yang cocok untuk berkebun dan bercocok tanam

pada musim penghujan atau musim timur. Pada musim barat atau musim

kemarau, masyarakat Kecamatan Lembo kembali membersihkan lahan

perkebunannya untuk persiapan panen seperti cengke, merica, durian, jambu mete,

kelapa, serta masih banyak lagi tanaman-tanaman lain seperti, umbi-umbin,

jagung.

4.2 Luas Wilayah

Luas wilayah kecamatan lembo yaitu 7.912 Ha atau 1,57 persen dari

luas wilayah kabupaten konawe utara. Kecamatan lembo terdiri dari 11 (sebelas)

dan 1 (satu) kelurahan yaitu desa tongalino, taipa, buusiambu, bungguosu, lembo,

pasir putih, padeleu, puulemo, alo-alo, lapulu, laramo, dan desa watuwula. Luas

wilayah menurut desa dan kecamatan sangat beragam. Desa/kelurahan lembo

merupakan wilayah desa yang terluas yaitu seluas 1456,0 Ha (18,40) sedangkan

wilayah desa terkecil adalah desa pasir putih.

31
Tabel 4.2 Luas Wilayah dan Presentase Terhadap Jumlah Menurut
Desa/Kelurahan, Kecamatan Lembo Tahun 2007
Desa/Kelurahan Luas (KM) Presentase%
1. Tongalino 5.94 7.51
2. Tiapa 4.57 5.78
3. Puusiambu 4.26 5.38
4. Bungguosu 8.03 10.15
5. Lembo 13.56 18.40
6. Pasir Putih 3.75 4.74
7. Padaleu 5.01 6.33
8. Puulemo 11.71 14.80
9. Alo-Alo 7.47 9.15
10. Lapulu 4.62 5.84
11. Laramo 5.24 6.62
12. Watu Wula 3.96 5.17
Kelurahan Lembo 78.12 100

4.3. Batas Wilayah

Batas wilayah kecamatan lembo sebagai berikut:

a. sebalah utara berbatasan dengan kecamatan lasolo

b. sebelah timur berbatasan dengan laut banda

c. sebalah selatan berbatasan dengan beberapa kecamatan di kapubaten konawe

utara

d. sebelah barat berbatasan dengan kabupaten konawe

4.4. Jumlah Penduduk

Sumber utama data kependudukan adalah sensius penduduk yang

dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali, sensius yang terakhir dilaksanakan pada

tahun 2010. Jumlah penduduk tahun 2017 menggunakan angka proyeksi jumlah

penduduk, penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah teritorial

republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih, dan atau mereka yang berdomisili

kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap, rata-rata pertumbuhan penduduk

32
adalah angkah yang menunjukan tingkat pertambahan penduduk pertahun dalam

jangka waktu tertentu, kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk per km

persegi. Rasio jenis kelamin adalah perbandingan antara banyaknya penduduk

laki-laki dengan banyaknya penduduk perempuan, pada suatu daerah dan waktu

tertentu, biasanya dinyatakan dengan banyaknya penduduk laki-laki untuk 100

penduduk perempuan.

Struktur umum, jenis kelamin dan rumah tangga. Struktur umur penduduk

pada suatu daerah sangat ditentukan oleh perkembangan tingkat kelahiran,

kematian, dan migrasi. Rumah tangga adalah seseorang utau kelompok orang

yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal

bersama serta pengolahan makan dari satu dapur. Anggota rumah tangga adalah

semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang

berada dirumah pada waktu pencacahan maupun yang sementara ridak ada. Rata-

rata anggota rumah tangga adalah angka yang menunjukan rata-rata jumlah

anggota rumah tangga per anggota rumah tangga.

Angka beban tanggungan adalah berbandingan antara jumlah penduduk

yang termasuk dalam usia tidak produktif (0-14 tahun/penduduk usia muda dan 65

tahun ke atas/penduduk usia tua), dengan penduduk usia produktif (15-64).

Tabel 4.4. jumlah Penduduk Menurut Desa/Kelurahan


Dan Jenis Kelamin, Kecanatan Lembo
Desa/Kelurahan Laki-Laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis Kelamin
1 2 3 4 5
1. Toanggalino 153 140 293 109
2. Taipa 284 275 559 103
3. Puusiambu 192 179 731 107
4. Bungguosu 215 205 420 104
5. Lembo 458 425 883 107

33
6.Pasir Putih 267 259 526 103
7. Padaleu 211 207 418 101
8. Puulemo 342 318 660 108
9. Alo-Alo 131 125 256 104
10. Lapulu 106 84 190 126
11. Laramo 140 119 259 117
Watu Wula 105 100 205 105
Jumlah 2,644 2,396 5,040 11o

4.5. Sistem Pendidikan

sarana pembangunan pendidikan dititikberatkan pada peningkatan mutu

dan perluasan kesempatan belajar disemua jenjang pendidikan dimulai dari

kegiatan prasekolah (taman kanak-kanak) samapi dengan perguruan tinggi. Upaya

peningkatan mutu pendidikan yang yang ingin dicapai tersebut dimaksudkan

untuk menghasilkan manusia berkualitas. Pelaksanaan pembangunan di

kecamatan lembo mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Indakator yang

dapat mengukur tingkat perkembangan pembangunan pendidikan dikecamatan

lembo seperti banyaknya sekolah dan guru, perkembangan berbagai rasio dan

sebagainya. Tidak/belum pernah sekolah adalah mereka yang tidak pernah atau

belum pernah terdaftar dan tidak pernah atau belum pernah aktif mengikuti

pendidikan disuatu jenjang pendidikan formal maupun nonformal (paket A/B/C)

termasuk juga yang tamat/belum tamat taman kanak-kanak tetapi tidak

melanjutkan kesekolah dasar.

Masih bersekolah adalah mereka yang terdaftar dan aktif mengikuti

pendidikan disuatu jenjang pendidikan formal maupun noformal (paket A/B/C)

yang berada di bawah pengawasan kemendiknes, kementrian agama(kemenag),

instansi negeri lain maupun instansi swasta, baik pendidikan dasar, menengah

maupun pendidikan tinggi. Bagi mahasiswa yag sedang cuti dianggap masih

34
bersekolah. Tidak bersekolah lagi adalah mereka yang pernah terdaftar mengikuti

pendidikan disuatu jenjang pendidikan formal maupun nonformal, tetapi pada saat

pencacahan tidak lagi terdaftar dan tidak aktif mengikuti pendidikan. Tamat

sekolah adalah menyelesaikan pelajaran yang ditandai dengan lulus ujian akhir

pada kelas atau tingkat terakhir suatu jenjang pendidikan formal maupun

nonformal (paket A/B/C) disekolah negeri maupun swasta dengan mendapatkan

tanda tamat belajar/ijazah. Seseorang yang belum mengikuti pelajaran pada kelas

tertinggi tetapi telah mengikuti ujian akhir dan lulus dianggap tamat sekolah.

Dapat membaca dan menulis artinya, dapat menulis kata-kata/kalimat sederhana

dengan suatu aksara tertentu. Sekolah adalah lembaga pendidkan formal dimulai

dari pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan yang dicatat adalah

pendidikan formal berdasarkan kurikulum kementrian pendidikan nasional,

termasuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren dengan

memakai kurikulum kementrian pendidikan nasional, seperti Madrasah Ibtidaiyah

(MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), dan Madrasah Aliyah (MA). Pondok

pesantren/madrasah diniyah adalah sekolah yang tidak memeliki kurikulum dari

kementrian pendidikan nasional.

Madrasah Ibtidaiyah adalah lembaga pendidikan berciri khas Islam pada

jenjang Sekolah Dasar. Madrasah Tsanawiyah adalah lembaga pendidikan berciri

khas Islam pada jenjang Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah pada

jenjang Sekolah Menengah Atas.

35
4.6. Angkatan Kerja

Sumber utama data ketenaga kerjaan adalah data desa dan data sekunder

yang berasal dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten konawe utara.

Tenaga kerja adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang dapat dibedakan

atas dua kelompok yaitu: 13.1 angktan kerja, adalah penduduk usai 15 tahun ke

atas (penduduk usia kerja) dan mempunyai pekerjaan (bekerja) atau sedang

mencari pekejaan (pengangguran terbuka). Penduduk yang bekerja tidak hanya

meliputi penduduk yang sedang bekerja, tetapi juga sementara tidak bekerja

karena suatu sebab, misalnya pegawai yang sedang cuti, petani yang sedang

menunggu panen dan sebagainya. Sedangkan pencari kerja adalah penduduk yang

tidak memiliki pekerjaan tetapi sedang mencari pekerjaan angkatan kerja seperti

diketahui sangat tergantung pada struktur penduduk, sifat demografis, serta

keadaan sosial ekonomi daerah.

Bukan angjatan kerja, adalah mereka yang berumur 15 tahun ke atas yang

kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya (tidak aktif

secara ekinomis). Penduduk usia kerja adalah yang berumur 15 tahun ke atas,

bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau

membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dalam jangka waktu paling

sedikit 1 secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja

keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi).

Jumlah jam kerja seluruhnya adalah jumlah jam kerja yang digunakan untuk

bekerja (tidak termasuk jam kerja istirahat, resmi dan jam kerja yang digunakan

untuk hal-hal diluar pekerjaan).

36
Lapangan Usaha adalah bidang kegiatan dari pekerjaan/tempat, bekerja

dimana sekorang itu bekerja. Klasifikasi lapangan usaha mengikuti klasifikasi

baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) dalam 1 digit. Status pekerjaan adalah

kedudukan seseorang dalam unit usaha/kegiatan dalam melakukan pekerjaan.

Pekerja tak dibayar adalah seseorang yang bekerja, membantu, usaha, untuk

memperoleh penghasilan/keuntungan yang dilakukan salah seorang anggota

rumah tangga, atau bukan anggota rumah tangga tanpa mendapat upah/gaji.

Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah perbandingan antara

jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja (umur 15 tahun ke atas),

tingkat kesempatan kerja (TKK) adalah perbandingan antara penduduk usia kerja

yang mempunyai pekerjaan (sedang bekerja atau sementara tidak bekerja),

terhadap total penduduk usia kerja yang masuk dalam angkatan kerja.

4.7. mata pencaharian

Sistem ekonomi atau mata pencaharian hidup yang berlaku pada

masyarakat kecamatan lembo pada umumya masih mengharapkan potensi alam

yang ada pada masyarakat kecamatan lembo, dengan kata lain bahwa mata

pencaharian yang utama dikelola dalam masyarakat kecamatan lembo belum

dapat fasilitas yang memadai untuk mengembangkan potensinya. Dengan kondisi

inilah, sebagai masyarakat hanya mengadalkan dan mengharapkan potensi alam

yang akan dikelol secara tradisional oleh para petani.

Kecamatan lembo merupakan wilayah yang cukup banyak memiliki

kekayaan alam dan beragam, sebagian besaar penduduknya bermata pencaharian

sebagai petani, pedagang, dan buruh. Komoditas petani pada umumnya ditanam

37
oleh masyarakat keamatan lembo adalah kacang tanah, ubi, jagung, kelapa,

cengke, durian, merica, jambu mete, berbagai macam sayur-sayuran, dan masih

banyak lagi jenis tanaman lain. Hasil bumi yang dihasilkan oleh para petani tiada

lain hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Seiring perkembangannya zaman, masyarakat kecamatan lembo tidak

dapat lagi bergantung pada sistem ekonomi subsistem semacam itu. Karena

mereka juga membutuhkan uang untuk membiayai pendidikan, kesehatan, pakain,

dan berbagai kebutuhan lainnya yang membutuhkan uang. Oleh karena itu, untuk

memperoleh uang tersebut maka masyarakat menjual hasil panennya kepada

siapapun, baik anggota komoditas maupun dijual keluar daerah.

Disamping itu, masyarakat yang berpotensi sebagai petani, ada juga yang

berpotensi ganda yaitu sebagai petani dan buruh tani, petani yang merangkap

sebagai buruh tani ini dilakukan untuk menambah pendapatan mereka, disamping

mata pencaharian yang disebut diatas masih ada masyarakat yang bekerja sebagai

pedagang, wirausaha, beternak, pegawai negri, dan pekerjaan lain, walaupun

jumlah yang paling sedikit dari jumlah yang ada di kecamatan lembo. Dengan

adanya perkembangan zaman maka kebutuhan masyarakat semakin meningkat,

oleh karena itu, ada sebagian masyarakat kecamatan lembo yang merantau ke

berbagai wilayah yang di Indonesia, bahkan hingga menjadivTKI di Malaysia.

Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa,

masyarakat kecamatan lembo yang berpotensi pada satu bidang, tidak hanya

mengadalkan bidang tersebut. Masyarakat yang berpotensi sebagai petani

merupakan profesi yang dominan di kecamatan lembo. Namun yang berpotensi

38
sebagai pedagang, pegawai negeri sipil, maupun buruh tani merupakan profesi

yang minoritas dan tidak hanya mengadalkan satu pekrjaan yang di tekuninya.

4.8. keadaan sosial budaya

Kecamatan lembo merupakan salah satu daerah yang diperuntukan sebagai

daerah transigrasi. Oleh karena itu, kecamatan lembo tidak hanya ditinggali oleh

satu etsi saja. Namun ada berapa etnis yang juga tinggal di daerah ini yaitu etnis

tolaki, etnis bugis. Meskipun kecamatan lembo merupakan daerah trasmigrasi

namun masyarakat yang tinggal di daerah ini sangat menjujung tinggi rasa

rolidaritas dan saling menghargai satu sama lain. Toleransi yang terjadi antara

masyarakat tidak hanya dapat di lihat dari bagaimana kompaknya mereka akan

tetapi juga dapat dilihat dari bagaimana masyarakat saling menghormati

perbedaan etnis.

Di kecamatan lembo itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari menggunakan

bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bahasa daerah digunakan saat masyarakat

berinteraksi dengan sesame etnis. Sedangkan bahasa Indonesia itu diuntukkan

pada waktu tertentu seperti berkomunikasi dengan masyarakat yang berasal dari

etnis lain. Seiring perkembangan zaman, masyarakat sudah mulai mengerti

bahasa-bahasa daerah yang ada di kecamatan lembo. Hal ini terjadi karena

masyarakat sudah terbiasa mendengarkan percakapan saat mereka berinteraksi

satu sama lain. Selain itu, daerah ini tidak dipisahkan berdasarkan etnis menjadi

salah satu faktor pendukung yang kuat, karena semua etnis bergabung dan

bertetangga. Sehingga dapat menjalin silaturahmi yang baik dan dapat saling

menghargai.

39
Sistem pengetahuan masyarakat kecamatan lembo itu mengunakan dua

pola sistem pengetahuan yaitu pola tradisonal (non formal) dan sistem

pengetahuan modern (formal). Sistem pengetahuan dalam pola tradisional (non

formal) yang berlaku adalah sistem tertutup. Sistem tertutup yaitu terlihat pada

saat pewarisan pengetahuan, khususnya dibidang ilmu pengetahuan lokal

misalnya doa-doa kesukuan yang dilakukan secara tertutup karena mengingat

banyaknya larangan yang tidak bisa dilanggar. Sedangkan sistem pengetahuan

modern (formal) yang dilakukan secara terbuka dan dilengkapi dengan fasilitas

yang lengkap dalam proses belajar mengajarnya dan melibatkan peran pemerintah

sebagai fasilitatir dan pemegang kebijakan. Di kecamatan lembo itu sendiri masih

banyak tradisi dan budaya yang masih di lestarikan. Salah satunya adalah tradisi

lisan moanggo yang masih banyak dilakukan oleh etnis Tolaki.

40
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PENELITIAN

5.1. Bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi lisan moanggo

Setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi atau budaya yang berbeda-

beda dengan berbagai bentuk keanekaragamannya. Seperti halnya masyarakat

suku Tolaki yang pesebarannya meliputi wilayah Kabupaten Konawe, Konawe

Utara, Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka Timur, Kolaka Utara, dan Kota Kendari

yang mempunyai salah satu bentuk tradisi yang dinamakan Moanggo. Pada

konteks Peneltian ini, peniliti terfokus pada tradisi Moanggo yang dilaksanakan

oleh masyarakat Suku Tolaki yang berada di Kecamatan Lembo Kabupaten

Konawe utara yang masih mepertahankan budaya dan tradisi Moanggo yang

dilakukan dalam keadaan tertentu. Dalam proses pelaksanaan tradisi Moanggo

terdapat bahasa yang umumnya memilki pesan/kesan khusus yang

menggambarkan dan menjelaskan keadaan tertentu dalam lingkup masyarakat

suku Tolaki.

Tradisi moanggo ini terus hidup dan berkembang ditengah-tengah

masyarakat suku Tolaki di wilayah kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara

hingga saat ini dan terus diwariskan secara turun-temurun melalui sistem dalam

tradisi lisan.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap salah satu

tokoh adat Tolaki bernama Ajemain Suruambo sebagai informan pertama dalam

penelitian ini, menyebutkan bahwa tradisi moanggo terbagi atas dua istilah

penyebutan sebagai bagian dari proses tradisi moanggo yaitu moanggo dan anggo,

41
moanggo yang artinya orang yang melantunkan anggo tersebut, dan anggo yang

artinya bentuk asli nyayian rakyat tolaki, moanggo ini termasuk dalam tradisi

lisan/sastra lisan. Anggo terdiri dari berbagai bentuk atau jenis. Setiap jenis

Moanggo ini disesuaikan dengan suasana, tempat, dan hanya dinyayikan pada

waktu-waktu tertentu. Jenis anggo yang umumnya lebih dikenal dalam

masyarakat Tolaki adalah sebagai berikut:

a. Anggo Mombeperiri, jenis yang mempunyai pengertian sebagai lagu keharuan.

Anggo yang demikian ini dilagukan dalam seatu pertemuan dengan seseorang

yang lama dirindukan baik itu pertemuan dengan kekasih, keluarga yang lama

pergi, atau unsur pimpinan Negara yang berkunjung di daerah, yang akan

terbaca dalam susunan syairnya dan tidak terbatas pada waktu pelaksaan serta

dapat dilaksanakan dalam waktu dan keadaan apapun sesuai dengan

kesepakatan. Adapun isi dan arti dari pada teks Anggo Mombeperiri sebagai

berikut:

Hoooooooo,,eeeee kiedunggu wowahe’a ia mbule mendua wowahe’a lipu miu

mbule mendua i wonua miu ee, wowahe’a lahamiu oo mbule ilaka miu i,, yamo

o sakari ia kolupe kami i,, pehawai kami ,,,, ia meeri kami,, hooooooo,, mano

losesee,, poo,, keno tehi-tehiki mano lipa wulako keno tudu wulaki mano tali-

talipo keno tudu tauki oo, mano lai-laipo ano nunulaiki laiki pehawa kami ia

meeri kami i orunggi leu ia mbesaba mendua leu timbahi kami saba kumikiko

mami kaasito toro mami ola mboia mami. (Wawancara tanggal 18 Oktober

2021 oleh Informan pertama, Ajemain Suruambo)

42
Artinya: kita ingin supaya dikenangan dalam suasana bagus jika engkau

kembali pulang didaerah mu atau dinegrimu dirumah mu atau dikediaman mu

janganlah engkau lupakan kami ingatlah kami kalaupun tidak sekalipun sehelai

benang berbulan-bulan sekalian pun mengelauarkan bunyi jika bunyi itu uang

rece kalau dia tiap tahun engkau kenang kami sekalipun selembar kain

bergaris-garis kalau sepanjang tahun.

b. Anggo Ndula-tula artinya Anggo yang berisikan tentang peristiwa-peristiwa

yang benar-benar terjadi seperti anggo tula-tula no konawe, amggo tula-tula no

okambo, bentuk pelaksanannya dapat dilakukan pada waktu setelah prosesi

adat atau diluar prosesi adat atas dasar permintaan masyarakat. Berikut ini,

uraian tentang Anggo Ndula-Tula:

pelaksanaan tradisi lisan anggo ndula-tula iye’ito mosaritake


kadadia-kadadia hende tula-tula no konawe batuano sarita-sarita mbele’esu,
tula-tula no I’oheo syair-syar to’no iye’ito metamo’ako oheo. Tradisi anggo
ndula-tula ino niawo’ako la’aro to’ono mbendeporombu ikirito la’ano
nisusua’ako anggo ndula-tula, iuneno anggo ndula-tula ino dadio nidapa
hende kesen/pesan lala pei’hi ako hende puji-pujian ronga sanjungan.
(wawancara 30 april 2021)
Artinya:

Adapun pelaksanaan tradisi lisan anggo ndula-tula yaitu adalah

menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi seperti anggo

ndula-tula no konawe artinya menceritakan daerah konawe, tula-tula I’oheo

syair-syair seorang tokoh yang bernama oheo. Tradisi lisan anggo ndula-tula

ini dilaksnakn pada saat kunjungan tamu disitulah seorang pande anggo (orang

yang pandai melantunkan anggo) melantunkan syair-syair anggo. yang

43
dimana, didalam anggo tersebut terdapat kesan/pesan yang berisi puji-pujian,

sanjungan, nasehat.

Dalam proses pelaksanaan tradisi lisan anggo ndula-tula, seseorang

yang mendengarkan anggo pada saat di nyayikan atau dilantunkan akan

merasa terhibur dan senang dikarena kan, lantunan syair-syair nggo ini yang

bigitu indah terdengar pada masyarakat, sehingga tradisi ini banyak yang

dimanati oleh masyarakat di Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara

khususnya generasi muda. Olehnya itu, masyarakat Kecamatan Lembo,

Kabupaten Konawe Utara sangat menjujung tinggi tradisi tersebut karena

dalam setiap bait yang dilantunkan oleh pande anggo(orang yang pandai

melantunkan anggo) itu menimbulkan nilai-nilai budaya, seni, dan kesenian

dalam penururannya. Didalam anggo ndula-tula itu sendiri terdapat dua sub

kata yaitu ndula dan tula, ndula artinya penuturan kisah dan tula artinya

tuturan. Adapun waktu untuk melaksanakan tradisi anggo ndula tula

tergantung kesepakatan antara pande anggo (orang yang pandai melantunkan

anggo) dan orang yang mau di anggokan karna tugas dari seorang pande anggo

hanya membawakan atau melantunkan sebuah anggo yang akan dianggokan

kepada setiap orang. Sebelunya anggo ndula-tula ini dilakukan, terlibih dahulu

seorang pande anggo (orang yang pandai dalam melantunkan anggo) harus

menyiapkakan naskah, suara dan nafas. Tradisi lisan anggo ndula-tula yang

samapai saat ini masih tetap eksis dan terlestarikan dikalangan masyarakat

tolaki terkhusus di Kecamatan Lembo.

44
Moanggo adalah menyanyikan salah satu anggo yang mempunyai ciri

khas dengan nada tertentu dalam rangka menyampaikan pesan kepada

khalayak ramai dalam masyarakat Tolaki dan dilantunkan oleh pande anggo

(orang yang pandai melantunkan anggo). Dalam pelaksanaan moanggo ndula-

tula konawe yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini, pande anggo

dituntut harus sangat mengetahui tentang sejarah atau tula-tula dan peristiwa

yang akan dia anggo-kan, sehingga pelaksanaan dan pelantunannya dapat

dimaksimalkan karena disertai dengan suara dan nada khas.

Pelaksanaan tradisi lisan moanggo ndula-tula ini tidak hanya dalam

berkumpulnya masyarakat, pertemuan keluarga, akan tetapi disekolah-sekolah

dasar juga masih diajarkan, dan anggo ndula-tula jg bisa dilantunkan pada saat

suasana sepi atau dalam keadan sendiri, adapun lantunan tradisi lisan moanggo

ndula-tula adalah sebagai berikut:

Hooooooooooooooo,, kusaru’I ko’o tula-tula hooo,, I’ino I’konawe


owuta I’una’aha,,, eee,, la la mbembe’le’esu no,,, iye’to tepasa I’wonua
no mokoleee,,,, tinomba anaki e mberaha’ano to pererehu ano,, i
mokole ronga sangia heee,,,, metamrambu nesangia ndudu tinamoako
e mokole more i wekoila,, e ano amba sumori’i o wepitiri dori yepo
nosori’i i wabaso-baso iyepo noleu mokole i lausapa hoooo,, lakonoto
leu kiniku petanu mbopole iyepo o uti owose leu umopui ro to’ono,, e
tewiso une mokole iyeto ka lani nina no ino elu isi kambuka sioropo
korembutano hooo,, mesorono to iro’o e no oana ito i latuianda la
mo’ia i olo-oloho e laeto ikiro ono leu o nggoba tinamoako I lolamoa
iyeika wundulamoa e lalako rumuruhi ngonawe,, metaramu’u uk’ai
wowa sabara ano pe’eka ndamahi dunnguno ikua i sanua wuta leu ito
terembi o manasa no tewewe ne wuu asa lawa e lakonoto umalei ano
alei lolei o manasa palului hende
Munde inahu ona owose no owuu teeni ito uneno mondulura penao no
imbone I ulu ala ke la to’ono manasa peotoro’aha e lakonoto rumuru
mbone noleu tumakau a no ki’i keto ona ikano i latuanda o ikoro I olo-
oloho lakonoto mesaikako. (wawancara 1 april 2021)
Artinya:

45
Menceritakan tula-tula, ini tentang tanah di Unaaha yang memang

dulunya terpasang tanah mokole yang dinamakan anakia. Wefitiri dori juga

digantikan oleh mereka beberapa orang sampai pada o’ nggabo, o nggabo ini

adalah manusia sakti yang menyusuri suangi konawe aha ssketika tiba disanua

wuta lalu datanglah tersangkut sehelai rambut dikakinya lalu dia ambil dia

gulung sebesar jeruk nipis lalu berkata lagi dalam hatinya bahwa di atas sungai,

di hulu sungai pasti ada kehidupan lalu dia menyusuri disitulah dia liat

rumahnya lantuanda sipemilik gadis itu.

Jenis anggo ini menciritakan tentang peristiwa-peristiwa yang pernah

terjadi di Konawe, sekali peristiwa penduduk negri Konawe yang menjadi

punah, karena dihabiskan biawak raksasa dan kerbau berkepala dua. Kisihnya

yang membunuh biawak dan kerbau tersebut ialah bernama latuanda, penduduk

desa olo-oloho di kerajaan Konawe. Latuanda memelihara beratus ekor anjing

untuk mengumpan biawak dan kerbau itu, agar ia dapat menebaknya,

menbunuhnya. Dikatakan bahwa latuanda tiga kali menbawah anjing beratus-

ratus untuk umpannya barulah ia dapat membunuhnya. Nanti setelah ia sudah

membunuh kedua binatang yang menghabiskn manusia itu barulah ia berusah

jika masih ada manusia sisa dari biawak raksasa dan kerbau berkepala dua itu.

Di dapatlah seorang bayi berada didalam sebuah tempayah. Latuanda

kemudian mengambil bayi lalu dipeliharanya seperti anaknya sendiri. Menjadi

dualah anaknya latuanda, karena ia sendiri mempunyai seorang anak. Bayi

tersebut adalah anak perempuan. Lama-kelaman anak itu menjadi gadis.

Dinamakannya: Elu Kambuka Sioropo Karembutano. Dinamakannya

46
demikian karena ia sudah tidak punya ibu dan ayah. Dinamakannya Kambuka

Sioropo karena panjang rambutnya Sembilan depa.

Dinamakannya Korembutano karena sisa ia sendiri yang tidak

dimakan biawak raksasa dan kerbau. Sebelum Elu mnjadi gadis, ia selalu

mandi dirumah. Tapi setelah ia menjadi gadis maka biasalah ia pergi mandi

disungai. Maka selulah rambutnya tercabut dan dibawa air. Ketika o Nggabo

berkelana di dengarnya kabar bahwa manusia telah punah di Konawe.

Datanglah ia berlabu di muara sampara, lalu turun kemudian mengikuti sungai

Konawe’eha hendak datang di Konawe memeriksa negeri itu jika benar

manusia telah punah. Kisahnya bahwa o Nggabo tersebut adalah laki-laki

raksasa. Itulah sebabnya ia dinamakan Ndoono’oha. Begitu besarnya maka

ketika ia mengikuti sungai Konawe’eha, dalamya air hanya sampai pada

betisnya.

Sementara mengikuti sungai Konawe’eha didapatinyalah sepotong

bambu yang baru saja dipotong orang. Berkatalah dalam hatinya, tidak benar

manusia telah punah. Sebab terdapat bambu yang baru saja dipotong dan

padanya terdapat rambut bergulung. Diambilnya rambut itu lalu digulungnya

sampai sebesar jeruk karena begitu panjangnya. Berkatalah dalam hatinya

bahwa gadis cantik yang tinggal disuatu desa hulun sungai. Akhirnya o Nggabo

tibah disuatu tempat permandian latuanda, yakni di olo-oloho. Naiklah ia

kedarat dan terus mengikuti jalan menuju rumah Latuanda. Tibalah o nggabo

dirumah Latuanda, dan segera ia di tempat orang menumbuk padi, lalu duduk

di bangku yang tersedia. Sementara ia duduk muncullah Latuanda dari atas

47
ruamh. Di lihatnya ada orang sedang duduk di bawah. Terpernajat Latuanda

lalu mundur belakang dan mencabut tomboknya, mengambil parangnya. Lalu

ia berlagak hendak memotong dan menombak, tapi o Nggabo tidak bereaksi

apa-apa. Akhirnya Latuanda menjadi lelah sendiri dan ia diam. Lalu ia pergi

mengambil kalonya lalu ia menyambut o Nggabo secara adat. Bertanyalah dari

mana gerangannya datangnya dan apa perluhnya. Lalu o Nggabo mengatakan

dari mana datangnya dan apa maksund perjalanannya. Berkata o Nggabo, “aku

dalam perjalanan mengelilingi negeri, karena telah terkabar telah tiada manusia

di Konawe.” Menjawablah Latuanda, “benar kata mu hae orang pendatang, sisa

aku sendirian ini, telah dihabiskan biawak raksasa san kerbau berkepala dua.”

Berkata lagi o Nggabo. “tidaklah benar bahwa sisa engkaulah penghuni rumah,

engkau masih bersama dua orang gadis cantik.”

Setelah keduanya bertengkar akhirnya Latuanda mengaku, “ya, benar

wahai engkau orang pendatang.” Aku mempunyai dua orang gadis. Sesorang

anakku sendiri dan seorang anak piaraanku yang bernama Elu Kambuka

Sioropo Karembutano. Diantrlah Latuanda tamunya naik kerumah.

Penglihatannya Latuanda orang yang datang itu sungguh bersar tubuhnya lalu

diambilnya periuk besar untuk memasakkannya dan ia menyembeli seekor

kerbau untuk lauknya. Tetapi o Nggabo hanya makan segenggam nasi dan

sepotong telur. Yang mengherankan Latuanda adalah mengapa o Nggabo

sewaktu-waktu tubuhnya menjadi kecil kemudian membesar lagi. Latuanda

menganggap o Nggabo sebagai orang Mubarak, Waliullah, banyak ilmu.

Lama-kelamaan o Nggabo dikainkan dengan Elu Kambuka Sioropo

48
Karembutano. Keturan o Ngaabo dan Elu inilah yang kemudian menjadi nenek

moyang dari raja-raja di Konawe hingga hari ini. Sebab Elu ini adalah turunan

bangsawan asal dari Wekoila. Sedangkan turunan dari putri Latuanda sendiri

menjadi kemudian turunan dari mereka yang bukan bangsawan.

Hasil dari salah bentuk anggo di atas menunjukkan bahwa ndula-tula

adalah suatu cerita rakyat yang diceritakan oleh orang tua kepada anaknya

tentang tanah di Unaaha yang dulunya dihuni oleh kerajaan bernama Anakia

yang terakhir kalinnya menduduki kerajaan mokole, cerita rakyat ini masih

diajarkan kepada generasi-genarasi saat ini.

Dalam pelaksanaan anggo ndula-tula konawe tidak mensyaratkan

pada keadaan khusus dalam suatu tradisi masyarakat Tolaki di Kecamatan

Lembo Kabupaten konawe Utara, tetapi pelaksaannya atas dasar kesepakatan

waktu dan tempat antara pande anggo dan masyarakat sekitar.

Moanggo ndula-tula konawe ini dilaksanakan dalam dua bentuk,

pertama dalam bentuk tidak melalui suatu prosesi adat dan melalui proses salah

satu tradisi adat. Dalam pelaksanaan yang tidak melalui prosesi adat, Moanggo

dilaksanakan dengan melalui kesepakatan antara Pande anggo dan masyarakat

yang ingin mempelajari serta mendalami seluk beluk tradisi moanggo.

Sebagaimana dalam praktiknya Pande anggo akan melantunkan

anggo ndula-tula setelah itu, pihak pendengar akan mendengarkan secara

saksama isi dari anggo tersebut. Adapun isi anggo yang dilantunkan tersebut

yakni:

Hooo,,, e ko’onggo sumaru’i ko’o kutula-tula’i,, inono wonua lipu


poiando e lala mbele-mbele’esuno keno isi-isono wonua koala olipu

49
tepase newonua tebawo e olipu wekokarama niwanguno sangia
pinotorono mokole hoo,, kaasi deela o lala iyeke’i o moekorongge
nilimbano o, mana pelakoako ano e paliama holilino lamoa leu-leulu
dunia e nokaduto menggauno e manasa mbu’upu o, ino tula-tula no e
tula-tula kondu’uma e tula-tula ngadadia a pesaru manasa no
lilinggorono lipu wotu hende tadeno wonua a lipu i’konawe wonua
i’una’aha.

Setelah isi anggo tersebut di lantunkan, maka pande anggo akan

menjelaskan arti anggo tersebut yang berisi silsilah Kerajaan Konawe serta

pihak pendengar dipersilahkan untuk bertanya secara lebih mendetail, apa yang

menjadi intisari anggo tersebut dan sekaligus meminta agar pande anggo untuk

mengajarkan cara melantunkan anggo tersebut.

Agar mudah dipahami oleh para pendengar,maka syarat yang

diterapkan oleh pande anggo di wilayah Kecamatan Lembo yakni, harus fasih

berbahasa Tolaki dan mengetahui minimal arti dan pemaknaan kata dalam

kehidupan sehari-hari dalam bahasa Tolaki.

Terdapat perbedaan yang mendasar dalam aspek penggunaan kata

dalam lantunan anggo ndula-tula pada zaman dulu dan masa kini, yaitu pada

masa kini, kata yang digunakan cenderung menyesuaikan kata yang familiar

sehari-hari digunakan masyarakat Tolaki di masa kini yang sangat jauh berbeda

dengan kata yang digun akan pande anggo pada zaman dulu yang cenderung

menggunakan kata-kata yang mengandung kiasan atau pemaknaan yang

bersifat eksklusif, sebagai contoh kata manasa yang pemaknaannya pada masa

kini tidak diketahui secara umum oleh sebagian besar masyarakat Tolaki.

Pada tahapan selanjutnya pande anggo akan mengartikan dan

menjelaskan dengan menggunakan bahasa Tolaki yang umumnya dipahami

50
oleh masyarakat sekitar, dan mempersilahkan pihak pendengar untuk bertanya

dan Pande anggo akan menjelaskan secara menyeluruh isi dari anggo tersebut.

c. Anggo kukua adalah syair-syair atau lagu-lagu yang menceritakan tentang

silsilah keturunan seseorang khususnya. Dengan bentuk pelaksanaan dalam

prosesi adat maupun permintaan masyarakat tanpa dibatasi oleh waktu dan

keadaan. Sebagaimana salah satu bentuk Anggo Kukua, sebagai berikut:

Hoooo,,, tudupo popodei sala nebirimu turu tumai birimu au poko meamboi o

kuonggo tumombai oli ndau mooliwikoo ee,, kuonggo tumoliole’i o limba

pasemeng koo tarambupuu lipu ikonawe o wuta i unaaha e lala mbe-

mbele’esuno ngau-ngauno inopo kei wekoila tinamoako e sangia ndudu o

mokole more ano pemanai oo dunggu mepunae o pulesaaoke konawe lipu i

unaaha iyepo nosoro’ i o tinamoako wulele i wefiridori o otina aemoga

Artinya: turun mendengarkan jalan cerita mengenai raja-raja di tanah konawe

yang bertempat di unaaha yang di diami dann diduduki oleh raja-raja yang

berada di konawe seperti dewa dari langit, raja perempuan,

d. anggo-anggo mbesadalo artinya lagu-lagu tentang persahabatan, percintaan

dilantukan kepada masyarakat sebagai sarana hiburan masyarakat tanpa

dibatasi oleh waktu dan keadaan. Sebagai contoh :

Hooooo, ee no ari mebada e umehewu mowila a tekeha badano e hende tuo

tinunu o no ari metipa e umoalo menggire e tekeha tipano e boloko mata

mbena ee, no ari i bunguno hende-hende ana sangia ano wowahe mekiki

sombasangi

51
Artinya: seorang gadis memakai bedak tapi bedak yang ia pakai itu luntur

seprti abu, kemudian siwanita memakai lipstik untuk menebalkan keningnya

kemudian lipstik yang ia pakai juga ikut luntur dari belakang kelihatan seperti

anak bidadari lalu si anak itu menoleh ke belakang masya allah

e. anggo mbobue osara artinya syair ketika selesai dalam perhilatan adat. Dan

bentuk pelaksanaannya lebih ke upacara adat khususnya pada proses

pernikahan. Sebagai contoh:

Hoooooo,,, akuto humeikooo,, aku longggoko kuhuei osara o kuonggoi peowai

ee lala pu’u-pu’ungguki ule-ulengiki pu’u pinesaraa wule mombesara eki oki

keku honggoaako aku kulata ako ee takuongo meruhu aku berekeke oo taku

onggo morunggu bake oo meo haki waleka oee akiki monapa ee, aki morini ee

monapa mbuu mbundi oo morini mbuu ndawaro mehongo-hongo ine mata

ngonawe aki petotoro oloho pesuke ndaliawa puumbuu butu komami oo

palimbali ua mami mondetengako osara oo mombalimba pewowai ee ua noto

sanggiaa, ombu allauh hutaala arikeiyeto ino yamo mbandimba ee

keuponggotuhi osara monapewowai ai teembe ngosara umeeko pewowai

kehumulako.

Artinya: kita akan angkat adat dri keturun saya mengadatkan dan di adatkan

saya tidak akan kualat akan panjang umur kita akan dingin dan sejuk

52
5.2. Bentuk pewarisan tradisi lisan moanggo ndula-tula

5.2.1. Perlindungan

a. Inventarisasi

Langkah awal peneliti dalam proses untuk mengetahui

inventarisasi dari bentuk-bentuk Anggo di Kabupaten Konawe bermula

dari Lembaga Adat Tolaki, dilanjutkan dengan observasi dibeberapa

kecamatan dengan menemui tokoh masyarakat di kecamatan tersebut.

Peneliti melakukan wawancara dengan beberapa narasumber mengenai

Anggo yang berkembang di daerahnya, antara lain: Ajemain Suruambo

dari Kecamatan Meluhu, M. Arif. L dari Kecamatan Lembo, dan

Mariama dari Kecamatan Lembo. Setelah mendapatkan data selanjutnya

dilakukan proses penulisan Anggo yang akan disusun menjadi sebuah

dokumen atas penuturan narasumber. Dalam hal ini tidak terdapat naskah

atau teks Anggo yang dimiliki oleh Lembaga Adat Tolaki.

B. Pengamanan

Pengamanan dalam konteks Anggo ini lebih menekankan kepada

pewarisan Anggo dari genarasi ke generasi. Penekanan pengamanan

tradisi Moanggo ini lebih kepekaan dan kesadaran Pande Anggo dalam

menjaga dan melestarikan tradisi moanggo.

Sistem pewarisan dalam tradisi Moanggo Ndula-Tula Konawe

yaitu dengan cara mengumpulkan generasi yang berminat dan bersedia

lalu diajarkan karena generasi muda saat ini sudah tidak mengetahui lagi

akan keberadaan tradisi lisan moanggo. untuk itu, seorang pande anggo

53
harus menyusun syairnya lalu memanggil dan mengumpulkan para

generasi mudah untuk belajar tentang tradisi lisan moanggo, dan seorang

pande angggo juga harus pintar meranggul. Pande anggo juga

mengajarkan kepada anak-anak mudah yang berminat dengan cara kita

moanggo lalu mereka mempelajarinya. Dengan banyak berinteraksi

dengan generasi mudah dalam hal pembelajaran tradisi lisan moanggo

dan perlu ditulis, perlu adanya auduvisual agar tradisi ini tetap eksis dan

terlestarikan pada generasi mudah terkhusus di Kecamatan Lembo

Kabupaten Konawe Utara. Hal tersebut sesuai yang diungkapakan oleh

bapak AJ (50), bahwa:

Dadi tradisi lisan moanggo ino to langgi moko sisoro’i iye’ito


iro otuono to’onggo mokondau’i iro anando sambe o’ana
ronga pue-pue akondo, karena keno tani’omdola sumua’i iro’o
onggo ngombuito latumo’orike mamatu tradisi ino (wawancara
29 mei 2021)
Artinya:

Jadi tradisi lisan monggo ini agar harus tetap berkelanjutan

Yaitu perlu kita mengajarkan kepada anak, cucu kita karena kalau sudah

tidak ada lagi yang mengetahui akan keberadaan tradisi lisan moanggo,

maka tradisi lisan moanggo ini kedepannya akan punah dan tidak di

ketahui lagi khusunya di kalangan masyarakat Tolaki di Kecamatan

Lembo Kabupaten Konawe Utara.

Berdasarkan dari hasil wawancara diatas maka dapat kita

simpulkan bahwa sistem pewarisan yang akan dilakukan oleh pande

anggo (orang yang pandai melantunkan anggo) yaitu agar kedepannya

tradisi lisan moanggo ini harus tetatap berkelanjutan pada anak cucu kita

54
atau dengan generasi mudah. Yaitu dengan cara kita melantunkan syair-

syair anggo dan mereka mempelajarinya secara langsung untuk

memperdalam lagi tradisi lisan moanggo, agar mudah dipahami oleh

generasi mudah. Dengan itu, masyarakat akan sadar betapa pentingnya

tradisi lisan moango secara tidak langsung meraka akan mempelajari

secara langsung tatacara pewarisan tradisi lisan moanggo.

Dalam perawisan tradisi lisan moanggo ini khususnya pada

masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara, tidak

harus ditentukan kepada siapa tradisi lisan moanggo ini akan di wariskan.

Karena dalam pewarisan tradisi lisan moanggo ini, seorang pande anggo

(orang yang pandai melantunkan anggo) tidak bisa berpihak kesatu orang

saja Tetapi ini bersifat umum kepada siapa saja bisa diwariskan asalkan

niat dan tujuan itu benar-benar mau mempelajari tradisi lissan moango

dan mewariskan kembali kepada generasi selanjutnya. Hal tersebut sesuai

yang di ungkapkan oleh Bapak AJ (50), bahwa:

“Pande anggo okino tulei momile teaso ndono ika ngo-ngo pinokondau
akono tradisi moanggo karena inono sifano mbera-bera ika tono dadi’i
nopokondau’i iro asala no sasawutu’unoki mepookondau ke” wawancara
29 mei 2021).

Artinya:

“pande anggo (orang yang pandai melantunkan anggo) tidak

bisa memilih atau menunjuk satu orang saja karena sistem pawarisannya

ini bersifat umum, jadi siapun itu bisa kita ajarkan tradisi lisan maonggo

55
dia tekuni dan betul-betul mau mempelajarinya” (wawancara 29 mei

2021)

Berdasarkan dari hasil wawancara diatas maka bahwa dalam

pengamanan tradisi Moanggo pewarisan tradisi lisan moanggo, baik itu

dalam mewariskan proses maupun ssistem pawarisan itu tidak harus

dipilih oleh satu orang saja karena ini bersifat umum, jadi siapun itu bisa

kita ajarkan tradisi ini kepada generasi kita yang terpenting dia hurus

benar-benar tekuni dan betul-betul mau mempelajarinya.

Seorang pande anggo berupaya untuk melestarikan budaya dan

tradisi lisan manggo. hal yang akan di lakukan seorang pande anggo

yaitu, mengajarkan kepada anak-anak atau generasi kita saat ini, biak di

sekolah-sekolah maupun di luar sekolah. Sebelum tradisi lisan moanggo

ini diajarkan kepada anak-anak kita terlebih dahulu seorang pande anggo

harus mempersiapkan anggo apa saja yang akan dilantuntkannya kepada

anak-anak sudah siap mendengarkanya.

5.2.2. Sarana Pewarisan

Secara tradisional sarana pewarisan dalam tradisi Moanggo melalui

lingkup keluarga, masyarakat dan lembaga adat. Pada lingkup keluarga,

sarana pewarisan Anggo dan Moanggo lebih ke internal keluarga Pande

Anggo, karena secara struktur terdapat kewajiban bagi Pande Anggo untuk

mempersiapkan keturunannya agar dikemudian hari dapat mengganti Pande

Anggo dalam pelaksaanaan tradisi Moanggo.

56
Pada lingkup masyarakat, sarana pewarisan lebih mengarah kapada

upaya proaktif masyarakat dalam mempelajari tradisi Moanggo melalui

pendekatan organisasi masyarakat atas nama kesukuan maupun masyarakat

pada umumnya. Adapun Fungsi Lembaga Adat Tolaki sebagai sentral

pengetahuan, informasi dan pengajaran bagi masyarakat, penulis tidak

menemukan adanya teks Anggo atau pengajaran secara komprohensif bagi

masyarakat tentang tradisi Moanggo dan hanya terdapat foto-foto prosesi

Moanggo dari zaman Hindia Belanda.

Berdasarkan, observasi penulis di Sekolah-Sekolah yang terdapat di

Kecamatan Lembo, baik Sekolah Dasar, Menengah, dan Menengah Atas,

tidak terdapat pengajaran Moanggo sebagai salah satu materi dalam kelas.

Selanjutnya tidak ada upaya sarana pewarisan melalui media massa, baik

media social, elektronik maupun media cetak.

57
BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Dari hasil pembaahasan yang ada, maka penelitian dapat menyimpulkan


bahwa:

1. Bentuk-bentuk moanggo terdiri dari 5 bentuk yiaitu (1). Moanggo

mompeperiri, (2). Anggo Ndula-tula (3). Anggo kukua (4). anggo-anggo

mbesadalo (5) anggo mbobue osara. Bentuk pelaksanaan dan waktu Moaggo

ini tidak hanya digunakan dalam prosesi adat seperi tetapi diluar prosesi adat

juga dalam waktu yang bervariatif seperti dalam keadaan menghibur

seseorang yang sedang berduka, kecewa, ataupun sanjungan.

2. Sistem pewarisan tradisi lisan moanggo lebih ke pendekatan Inverntarisasi oleh

Pande Anggo dan sistem pengamanan melalui sistem pewarisan dan upaya

Kerjasama antara masyarakat dan Pande Anggo, serta tradisi Moanggo tidak

terdapat dalam kurikulum atau pembelajaran di tingkat sekolah Dasar dan

Sekolah Menengah di lingkup Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara.

Tidak adanya sarana pewarisan melalui media massa.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan sebelumnya, maka peneliti menyarankan

beberapa hal sebagai berikut:

1. Perlu pengkajian lebih mendalam tentang bagaimana bentuk-bentuk pelaksanan

tradisi lisan moanggo dan sistem pewarisan tradisi lisan moanggo pada

masyarakt tolaki di Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara.

58
2. Hasil penelitian bagaimana bentuk-bentuk pelaksanaan dan sistem pewarisan

tradisi lisan moanggo pada masyarakat tolaki dapat dijadikan sebagai acuan

dalam melakukan aktivitas seharian atau kepentingan praktis di dalam interaksi

masyarakat Tolaki.

59
DAFTAR PUSTAKA

Alim, Abdul. 2015. Transfomasi Tari Lulo Masyarakat Tolaki Di Kabupaten


Konawe, Sulawesi Tenggara. Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Tidak diterbitkan

Asnawati, Evang. 2018. Bentuk makna, dan fungsi moanggo (nyanyian rakyat
Masyarakat Tolaki) Jurnal Akrab juara Volume 3

C.H Colley (2005:43)

Dini Ardium 2017. Fungsi Dan Makna Ritual Kaghotino Isa Kecamatan Duruka
Kabupaten Muna. Skripsi Universitas Halu Oleo

Djanandjaja, Jamess. 2002, Folklore Indonesia, ilmu Gossip, Dongeng,


dll.Jakarta: Graffiti press

Endraswara, Suwardi. 2003. Metode penelitian Kebudayaan. Girimukti Pustaka:


Jakarta,

Fahriat, iIsra. 2019, berbalaspantun dalam adat perkawinan di desa muka sungai
kukruk kecamatan seruway kabupaten acehtamiang, program
pascasarjana institut seni Indonesia Yogyakarta

Idaman (2017) Nilai dan makna Monaggo pada orang Tolaki Sulawesi Tenggara.
Jurnal uin-alauddin Vol 6, No 1

Mukhtar, 2013. Metode praktis penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta Selatan:


Referesi

Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi penelitian kualitatif. Hal. 6. Bandung: PT


RemajaRosdakarya.

Putri Nadia, (2016). Judul analisis pantun pada Tradisi makan nasi hadap-
hadapan Adat pesisir di Kecamatan Tanjung Balai selatan Kota Tanjung
Kalai
Suharto, Edi. 2006. Membangun masyarakat memperdayakan rakyat. Bandung:
PT RefikaAditama

Sugiyono.2010. Metode Penelitan pendidikan (PendekatanKuantitatif, Kualitatif,


Dan R&D). Cetakan Ke-10.hal. 300,308, 309-310. Bandung: Alfabeta.
2017. Metode PenelitianPendidikan(PendekatanKuantitatif, Kualitatif,
Dan R&D). Cetakan Ke-25.hal.317-318, 337, 341, 345. Bandung:
Alfabeta.

60
Shadily, Hasan, (1984), Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta.

Samsul, 2012 Tradisi Lisan Khabantimodero Pada Masyarakat Muna Sulawesi


Teggara, fakutas ilmu pengetahuan budaya program studi peminatan
budaya pertunjukan, Depok

Tarimana, Abdurrauf, 1989, Kebudayaan Tolaki. Jakarta, Balai Pustaka.

61
LAMPIRAN

62
PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana bentuk-bentuk tradisi lisan Manggo?

2. Bagaimana proses pelaksanaan tradisi lisan Moanggo ndula-tula?

3. Apakah ada tahap-tahap proses pelaksanaan tradisi lisan Moanggo ndula-tula?

4. Apakah ada media yang digunakan pada saat pelaksanaan tradisi lisan

Moanggo ndula-tula?

5. pada saat kapan tradisi lisan Moanggo ndula-tula dilaksanakan?

6. Apakah ada waktu yang ditentukan oleh pande anggo dalam pelaksanaan

tradisi lisan Moanggo ndula-tula?

7. Siapa-siapa saja yang terlibat dalam proses pelaksanaan tradisi lisan Moanggo

ndula-tula?

8. Apa arti kata ndula dan tula?

9. Mengapa didalam pelaksanaan tradisi lisan Moanggo ndula-tula harus

dilantunkan secara berirama?

10. Kesan-kesan apa saja yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi lisan

Moango ndula-tula?

11. Bagaimana sistem pola pewarisan tradisi lisan Moanggo ndula-tula?

12. bagaimana cara pande anggo mewariskan tradisi lisan moanggo ndula-tula

pada generasi muda?

13. bagaimana rencana pande ango kedepannya agar tradisi lisan moanggo ndula-

tula tetap terlestarikan khususnya dikalangan masyarakat tolaki?

14. apakah ada orang khusus yang dipilih oleh pande anggo untuk mewariskan

tradisi lisan moanggo ndula-tula?

63
DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Bapak Ajmain suruambo, S.Si,. M.Sos

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Lurah Meluhu

2. Nama : M.Arif.L

Umur : 58 Tahun

Pekerjaan : Imam mesjid

3. Nama : Mariama

Umur : 64 Tahun

Pekerjaan : Petani

4. Nama : Bese Muda

Umur : 68 tahun

Pekerjaan : Petani

5. Nama : Laha Mudu

Umur : 70 Tahun

Pekerjaan : Petani

64
GLOSARIUM

anggo : nyanyian rakyat

Pande Anggo : orang yang pandai melantunkan Anggo

Onggabo : manusia sakti

uti owose : biawak raksasa

kiniku peuluruo : kerbau berkepala dua

ombu : tuhan yang maha kuasa

tebawo : tersebar

pererehu ano : tempat duduknya

65
Gambar 1foto bersama mariama ( 64 ) warga masyarakat Kecamatan lembo

(Sumber: Dokumentasi Bahar, 1juni 2021)

Gambar 2 foto bersama M.Arif. L ( 58 ) pegawai masjid

(Sumber: Dokumentasi Bahar, 1 juni 2021)

66
Gamabar 3 bersama Bese Muda (68) warga Kecamatan Lembo

(Sumber: Dokumentasi bahar, 1 juni 2021)

Gambar 4 bersama lahamudu (71) sebagai warga kecamatan lembo

(Sumber: Dokumentasi Bahar, 1 juni 2021)

67
Gambar 5 bersama bapak Ajmain suruambo (50) Lurah meluhu

(Sumber: Dokumentasi bahar, 1 juni 2021)

68

Anda mungkin juga menyukai