Anda di halaman 1dari 105

TRADISI LISAN MOANGGO PADA MASYARAKAT TOLAKI

DI KECAMATAN LEMBO KABUPATEN KONAWE UTARA

Skripsi
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Ujian Seminar Hasil
Pada Jurusan Tradisi Lisan
Fakultas Ilmu Budaya

Oleh

BAHAR
N1 E1 15 078

JURUSAN TRADISI LISAN


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Asslamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpah rahmat,


hidayah dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “ Tradisi Lisan Moanggo Pada Masyarakat Tolaki di Kecamatan
Lembo Kabupaten Konawe Utara” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana (S1) pada Jurusan Tradisi Lisan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Halo Oleo. Sholawat serta salam semoga kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, beserta keluarga dan sabahatnya petunjuk untuk semua umatnya.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi tidak dapat tercapai tanpa ada
bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu
menyampaikan rasa hormat dan ucapan banyak terimakasih kepada Bapak Dr.
Abdul Alim, S.Pd., M.Si selaku pembimbing I yang telah membimbing selama
proses penyusunan skripsi ini, dan ibu Nurtikawatika, S.Sn., M.Hum selaku
pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan sumbangsih demi
terselesainya skripsi ini dengan baik.

Dengan ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak


yang telah membantu dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. Untuk itu,
perkenankan penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Kedua orang penulis Bapak M. Arif. L. dan Ibu Aminu terimaksih atas
semua jeri payah dan pengorbanan selama ini yang
melahirkan,membesarkan dan mendidik penulis sehingga penulis menjadi
manusia dewasa.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F., S.Si., M.Sc. selaku Rektor
Universitas Halu Oleo.
3. Bapak Dr. Akhmad Marhadi, S.Sos., M.Si. selaku dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Halu Oleo.
4. Bapak Dr. Rahmat Sewa Suraya, S.Sos., M.Si, selaku Ketua Jurusan
Tradisi Lisan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo.
5. Ibu Nurtikawatika, S.Sn., M.Hum, selaku sekertaris Jurusan Tradisi Lisan
Univeristas Halu Oleo.
6. Ibu Komang Wahyu Rustiani, S.Pd.B., M.Si selaku ketua lab Jurusan
Tradisi Lisan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo.
7. Kepada seluruh dosen Tradisi Lisan, Universitas halu Oleo yang telah
memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis melalui akademik serta
diskusi-diskusi dalam proses perkuliahan maupun diluar bangku kuliah
8. Kepada seluruh dosen penguji dalam penelitian ini yang telah memberikan
masukan, kritikan dan saran sehingga penelitian ini dapat dikerjakan dan
diselesaikan dengan baik dan benar.
9. Pada staf administrasi dan tata usaha dalam lingkup Jurusan Tradisi Lisan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo, terimahkasih atas
pelayanannya yang baik selama ini.
10. Kapada Bapak Kacamat Lembo pribadi Bapak Askam S.Sos, dan seluruh
informan yang turut membantu dan memberikan pengetahuan secara
langsung.
11. Saya kepada kaka Sulha S.Pd, Hasbullah, Hajaria S.Pd, Hasrul S.Pd, yang
selalu mengsuport dan memberikan motivasi.
12. Saya ucapkan banyak terimakasih kepada Bang Suganti S.H, MH yang
telah banyak membantu penulis dan selalu memberikan masukan kepada
penulis.
13. Ucapan terimakasih kepada sahabat-sahabatku yang memberikan banyak
motivasi dan doa kepada penulis, Muh.Amin, Irfan Sugianto, Fajar, Ahiar,
Dwi Kristiani, Muh. Rasydin, Budiman, Ferdin, semoga allah SWT
membalas semua bantuan kalian kepada penulis.
14. Ucapan terimaksih kepada teman-teman senior kerabat tradisi lisan
angkatan 2015 dan kaka-kaka senior yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu yang juga telah membantu penulis.
15. Kepada seluruh keluarga dan pihak yang ikut membantu terselesainya
tugas akhir yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
16. Sahabat-sahabat KKN Reguler yang juga telah memberi bantuan kepada
penulis.

Penulis menyadari dan mengakui sepenuhnnya bahwapenyelesaian skirpsi


ini masih jauh dari kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang
ada. Untuk ini demi sempurnahnya skirpsi ini, penulis sangat membutuhkan
dukungan dan sumbangsih pikiran yang berupa kritik dan saran yang bersifat
membangun.

Semoga segala sifat, ucapan, sikap dan tinggah laku penulis tidak
meninggalkan aib, kebencian, serta kedengkian sari berbagai pihak. Adapun
jika terdapat kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja, penulis
memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kebaikan yang dicurahkan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Kendari, Februari 2022

penulis
ABSTRAK

BAHAR (N1 E1 15 078) Dengan Judul “Tradisi Lisan Moanggo Pada


Masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara” Di bimbing
oleh Bapak Dr. Abdul Alim, S.Pd.,M.Si selaku pembimbing I dan Ibu
Nurtikawati, S.Sn.,M.Hum selaku pembimbing II.
Tradisi Lisan moanggo adalah salah satu dari sekian bentuk tradisi lisan
dalam kehidupan masyarakat tolaki. Tradisi moanggo tersebut berupa syair-syair
atau lagu-lagu yang berisi pujian dan sanjungan. Tujuan dari penelitian ini yaitu
untuk mengetahui dan mendeskripsikan bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi
moanggo pada masyarakat dan sistem pewarisan tradisi moanggo pada
masyarakat di Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara.
Lokasi Penelitian Dilakukan dilakukan Di Kecamatan Lembo, Kabupaten
Konawe Utara. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
purposive Sampling. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam
penelitian ini yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data
dilakukan menggunakan metode analisis deskriftif kualitatif melalui tiga jalur
yaitu reduksi data, paparan data dan penarikan kesimpulan.
Hasil Penelitian menunjukkan bentuk-bentuk moanggo terdiri dari lima
bentuk yaitu Anggo mompeperiri, Anggo Ndula-tula, Anggo kukua, anggo-anggo
mbesadalo dan anggo mbobue osara. Bentuk pelaksanaan dan waktu Moaggo ini
tidak hanya digunakan dalam prosesi adat seperi tetapi diluar prosesi adat juga
dalam waktu yang bervariatif seperti dalam keadaan menghibur seseorang yang
sedang berduka, kecewa, ataupun sanjungan dan sistem pewarisan tradisi lisan
moanggo lebih ke pendekatan Inverntarisasi oleh Pande Anggo dan sistem
pengamanan melalui sistem pewarisan dan upaya Kerjasama antara masyarakat
dan Pande Anggo, serta tradisi Moanggo tidak terdapat dalam kurikulum atau
pembelajaran di tingkat sekolah Dasar dan Sekolah Menengah di lingkup
Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara dan tidak adanya sarana pewarisan
melalui media massa.

Kata Kunci : Tradisi Lisan, Moanggo, Masyarakat Tolaki


ABSTRACT

BAHAR (N1 E1 15 078) With the title "The Oral Tradition of Moanggo in
the Tolaki Community in Lembo District, North Konawe Regency" Supervised by
Mr. Dr. Abdul Alim, S.Pd.,M.Si as supervisor I and Mrs. Nurtikawati,
S.Sn.,M.Hum as supervisor II.
The Moanggo Oral Tradition is one of the many forms of oral tradition in
the life of the Tolaki people. The moanggo tradition is in the form of poems or
songs that contain praise and flattery. The purpose of this study is to identify and
describe the forms of implementation of the moanggo tradition in the community
and the inheritance system of the moanggo tradition in the community in Lembo
District, North Konawe Regency.
The location of the research was carried out in Lembo District, North
Konawe Regency. Determination of informants in this study was carried out by
purposive sampling technique. Data collection techniques that will be used in this
study are observation, interviews and documentation. Data analysis was carried
out using qualitative descriptive analysis methods through three pathways,
namely data reduction, data exposure and conclusion drawing.
The results showed that the forms of moanggo consisted of five forms,
namely Moanggo mompeperiri, Anggo Ndula-tula, Anggo kukua, anggo-anggo
mbesadalo and anggo mbobue osara. This form of execution and timing of
Moaggo is not only used in traditional processions such as but outside of
traditional processions as well as in various times, such as comforting someone
who is grieving, disappointed, or flattered, and the Moanggo oral tradition
inheritance system is more like the Inventory approach by Pande Anggo and the
Moaggo system. security through the inheritance system and cooperation efforts
between the community and Pande Anggo, as well as the Moanggo tradition are
not contained in the curriculum or learning at the elementary and middle school
levels in the Lembo sub-district, North Konawe district and there is no means of
inheritance through the mass media.
Kata Kunci : Tradisi Lisan, Moanggo, Masyarakat Tolaki
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN.....................................................................ii

KATA PENGANTAR...................................................................................iii

ABSTTRAK...................................................................................................vi

ABSTRACT...................................................................................................vii

DAFTAR ISI ................................................................................................viii

DAFTAR TABEL..........................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1

1.1 Latar Belakang .....................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI ............................8

2.1 Tinjauan Pustaka ..................................................................................8

2.1.1 Penelitian Relevan ........................................................................7

2.1.2 Konsep Moanggo ........................................................................13

2.1.3 Konsep Tradisi Lisan ..................................................................15

2.1.4 Konsep Masyarakat Tolaki ..........................................................17

2.2 Landasan Teori ....................................................................................20

2.1.1 Teori Pewarisan Budaya ............................................................20


2.2.1.1 Proses Pewarisan Budaya .......................................................22

2.2.1.2 Sistem Pewarisan Budaya………………………………….....22

2.3 Keranga Pikir…………………………………………………….......25

BAB III METODE PENELITIAN .............................................................27

3.1 Jenis Penelitain ....................................................................................27

3.2 Lokasi Penelitian .................................................................................27

3.3 Teknik penentuan informan..................................................................28

3.4 Teknik Pengumpulan Data....................................................................30

3.5 Teknik Analisis Data…………………………………………….........31

3.6 Sudi Pustaka..........................................................................................33

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .........................34

4.1 Letak Geografis ....................................................................................34

4.2 Demografi ............................................................................................37

4.3 Aspek Sosial Budaya...............................................................................44

4.4 Kesenian................................................................................................58

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................65

5.1 Bentuk-Bentuk Pelaksanaan Tradisi Lisan Moanggo ..........................65

5.2 Bentuk Pewarisan Tradisi Lisan Moanggo ..........................................77

5.2.1 Perlindugan Tradisi Lisan Moanggo ...........................................77

5.2.2 Sarana Pewarisan Ttadisi Lisan Moanggo ..................................80

BAB VI PENUTUP .......................................................................................81


6.1 Kesimpulan ..........................................................................................81

6.2 Saran ....................................................................................................81

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................83

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................85

Lampiran 1......................................................................................................86

Lampiran 2......................................................................................................87
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Luas Wilayah dan Persentase Terhadap Jumlah Menurut


             Desa/Kelurahan, Kecamatan Lembo Tahun 2007..........................36

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Kabupaten Konawe Utara


              Tahun 2010 s.d 2016...............................................................................37

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Desa/Kelurahan dan Jenis Kelamin


              Kecamatan Lembo...................................................................................38
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang

Sulawesi Tenggara merupakan daerah yang sangat banyak dijumpai khasanah

budayanya. Khasanah budaya ini dilatari oleh masyarakatnya yang multikultur.

Meski demikian, banyaknya “warna” budaya dari masyarakat itu menjadikan

mereka hidup harmonis dan saling berdampingan. (Salniwati:2014)

Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang

jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Kemampuan tradisi lisan untuk

melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan bahwa nenek moyang

kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam

tradisi lisan. Lord (1995: 1) mendefinisikan tradisi lisan sebagai sesuatu yang

dituturkan dalam masyarakat. Penutur tidak menuliskan apa yang dituturkannya

tetapi melisankannya, dan penerima tidak membacanya, namun mendengar.

Tradisi pun akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang

meliputi etika, norma, dan adat istiadat. Lebih lanjut Taylor (dalam Daud, 2008:

258), mendefinisikan tradisi lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh

masyarakat tradisional, yang berbentuk pertuturan, adat resam, atau amalan, di

antaranya ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan

permainan.

Terdapat istilah yang berbeda yangb terdapat dalam tradisi lisan sejenis

Moanggo dalam lingkup Sulawesi Tenggara, untuk dalam lingkup wilayah

Kabupaten Muna, Kota Bau-Bau dan Kabupeten Buton disebut tradisi lisan
Kabanti yang merupakan nyanyian tradisional, berisi ungkapan hati, nasihat, adat-

istiadat (budaya), dan sebagainya. Sebagai sebuah tradisi lisan, siapa saja dapat

menyanyikannya, laki-laki atau perempuan. Tidak ada pengkhususan usia, kasta

atau marga, siang atau malam. Tradisi lisan ini dapat dilantunkan siapa saja, di

mana saja, dan kapan saja. Sebagai sebuah tradisi lisan, kabanti dinyanyikan

secara spontan, baik perseorangan maupun berbalasan.

Nyanyian tradisi ini akan menjadi lebih menarik jika diiringi musik khas,

yakni musik gambus, biola, gendang atau rebana, dan alat bunyi-bunyian lainnya.

(https://mediaindonesia.com/weekend/305334/nyanyi-sunyi-tradisi-kabanti)

  Tradisi Lisan moanggo merupakan bagian dari bentuk tradisi lisan dalam

kehidupan masyarakat tolaki. Tradisi moanggo tersebut berupa syair-syair atau

lagu-lagu yang berisi pujian dan sanjungan. Secara mum, syair anggo dinyanyikan

dalam berbagai hal seperti pada saat pesta panen raya, saat menidurkan anak,

bahkan syair anggo juga digunakan untuk menceritakan silsilah keturunan

seseorang. Saat ini keberadaan anggo di Kecamatan Lembo semakin jarang

dipertunjukkan karena dapat dilihat dari sedikitnya orang di Kecamatan lembo

yang mengetahui tentang tradisi lisan anggo tersebut. Dari berbagai macam tradisi

moanggo yang masih digunakan dalam masyarakat khususnya di Kecamatan

Lembo, yaitu moanggo metei’a (menjaga anak) dan anggo ndula-tula (silsila

kerajaan). Oleh sebab itu, maongga metei’a ini dilakukan untuk menidurkan anak

bayi, sedangkan anggo ndulu-tula ini dilakukan agar mengingat kembali silsila

kerajaan-kerajaan pada saat itu.


Masyarakat tolaki di Kecamatan Lembo, sangat menghargai nilai

kebudayaan, moral, sikap dan perilaku seseorang yang membawakan anggo

tersebut, karena dalam pelantunan moanggo ini sangat menginspirasi bagi setiap

orang yang mendengarkannya. Tidak hanya itu, maonggo dalam pertanian pun ini

juga dilakukan olehnya itu moanggo dalam bidang pertanian ini sangatlah sakral,

anggo ini dilakukan pada saat membuka lahan agar apa yang diinginkan dapat

dicapainya. Hal ini karena di dalam masyarakat suku tolaki aktivitas atau tindakan

bercocok tanam dinilai sebagai bentuk kesyukuran kepada yang maha kuasa atas

hasil dari bercocok tanam. Tetapi hal tersebut sudah tidak dipraktekkan lagi

karena jenis atau bentuk moanggo ini yang kian sudah tidak diwariskan karena

kurangnya pengetahuan atas keberadaan aggo ini, serta pelantun anggo tersebut

sudah dimakan usia ataupun meninggal dunia.

Kabupaten Konawe Utara merupakan kabupaten yang memiliki sekumpulan

cerita rakyat dan tradisi pada aspek sosial budaya yang hingga saat ini tidak

banyak diketahui oleh masyarakat luas, disebabkan adanya pengaruh globalisasi,

sehingga cerita rakyat dan tradisi tersebut perlahan tenggelam secara perlahan-

lahan, serta meninggalkan sedikit jejak. Bentuk tradisi yang dimaksud yakni

moanggo, tradisi moanggo pada suku Tolaki merupakan bentuk sastra lisan

berupa pantun secara berkelompok baik pihak laki-laki dan perempuan atau dapat

dalam bentuk perseorangan. Moanggo ini disampaikan atau dilaksanakan dengan

tujuan untuk menyampaikan maksud tertentu berupa nasihat, perasaan, puji-

pujian, sanjungan atau sindiran. Pelantunan Tradisi moanggo umumnya


dilaksanakan pada perayaan di antaranya pada pernikahan, aqiqah, syukuran serta

jenis kegiatan lain yang ada pada masyarakat suku Tolaki.

Pada hakikatnya, kebudayaan adalah warisan sosial. Dalam arti bahwa

kebudayaan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses

pembelajaran, baik secara formal maupun secara informal. Adapun proses

pembelajaran itu umumnya dilakukan lewat program-program pendidikan dalam

berbagai lembaga pendidikan, seperti sekolah, kursus, akademi, perguruan tinggi,

dan lain-lain tempat pusat pelatihan dan keterampilan. Di sini semua wujud

kebudayaan spiritual maupun material yang berupa sistem gagasan, ide-ide,

norma-norma, aktivitas-aktivitas berpola, serta berbagai benda hasil karya

manusia dikemas dalam mata pelajaran dan kurikulum yang disusun serta

diberikan secara sistematik. Sementara itu, proses pembelajaran informal

diselenggarakan melalui proses enkulturasi (enculturation) dan sosialisasi

(socialization).

Enkulturasi adalah proses penerusan kebudayaan kepada seseorang

individu yang dimulai segera setelah dilahirkan, yaitu pada saat kesadaran diri

yang bersangkutan mulai tumbuh dan berkembang. Agar kesadaran diri itu

berfungsi, seorang individu harus dilengkapi dengan lingkungan sosial. Mula-

mula mengetahui obyek-obyek di luar dirinya. Obyek ini selalu dipahami menurut

nilai kebudayaan di tempat dia dibesarkan.bersama dengan itu, individu tersebut

memperoleh orientasi yang bersifat ruang, waktu, dan normatif. Dengan kata lain,

dalam proses enkulturasi ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan


alam pikiran serta sikap perilakunya dengan dengan adat istiadat, sistem norma,

dan peraturan-peraturan yang ada di dalam kebudayaannya.

Moanggo merupakan kegiatan pelantunan syair tradisional berisi puji-

pujian dan sanjungan dalam masyarakat Adat Tolaki serta pelaksanaan khususnya

di Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara mengandung nilai kebudayaan,

dan nilai moral serta berfungsi untuk memperkokoh nilai-nilai tersebut dalam

masyarakat, maka dapat digunakan orang tua dalam mendidik anak,

mengingatkan kepada bentuk kesalahan yang dilakukan oleh orang yang bersalah,

serta dapat digunakan dalam mengungkapkan maksud dari perasaan, seperti

pernyataan cinta atau kekecewaan.

Moanggo juga merupakan bentuk tradisi lisan berkaitan dengan berbagai

aktivitas atau ekspresi kehidupan masyarakat suku Tolaki. Pelantunan ekspresi

syair tersebut secara umum diperoleh dan dilestarikan secara lisan dari generasi ke

generasi. Sehingga syair anggo merupakan aspek kebudayaan terpenting

masyarakat serta dipandang sebagai bentuk sastra lisan serta dilantunkan oleh

masyarakat Suku Tolaki. Ketika dilantunkan, pelantun akan melihat situasi

sehingga mempengaruhi penentuan tema Anggo. Bagi seorang pelantun, tidak

mutlak harus menghafal dahulu syair-syair Anggo tersebut. Anggo yang

dilantunkannya umumnya terlaksana sendiri berdasarkan keadaan atau situasi dari

tempat dilaksanakannya Moanggo berdasarkan penguasaan Bahasa daerah Tolaki

dari masing-masing pelantun.

Mengingat anggo adalah salah satu sastra lisan yang harus dijaga, maka

perlu dilestarikan oleh masyarakat pewarisnya dengan cara dijadikan: (a) sebagai
muatan lokal; (b) sebagai hiburan acara resmi pemerintah daerah; (c) membuat

kontes moanggo pada tingkat sekolah; (d) menggunakan moanggo sebagai

hiburan masyarakat; (e) membudayakan moanggo sebagai hiburan dilingkungan

rumah tangga; dan (f) pewarisan moanggo pada generasi mudah.

Bagi seorang Pande Anggo, Keahlian dalam Moanggo dapat dinilai dari

daya ingat mereka terhadap syair-syair anggo dan tidak harus menghafal terlebih

dahulu syair-syair Anggo yang akan dilantunkan dan penulisan teks Anggo

sebagai alat bantu dan peruntukan pendokumentasian daripada bentuk dan jenis

Anggo dalam masyarakat Suku Tolaki. Bentuk spontanitas terhadap situasi atau

tempat pelaksanaan Moanggo, umumnya Moanggo yang bersifat sindiran. Untuk

anggo jenis ini, umumnya tercipta secara spontanitas karena sasaran yang ingin

disindir hadir di tempat itu, sehingga memerlukan penulisan terlebih dahulu. Arah

sindiran biasa di tujukan kepada pemerintah setempat atau orang yang dianggap

tidak bersalah.

Berdasarkan latar belakang tersebut, ditambah lagi dengan adanya kesadaran

untuk melakukan proses pewarisan dan pelaksanaan moanggo pada masyarakat

suku tolaki maka peneliti akan melakukan penelitian dengan melihat moanggo

dari proses pewarisan dan pelaksanaan dalam hal ini berupa pembelajaran dari

generasi ke generasi .
1.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi lisan moanggo pada

masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo?

2. Bagaimana bentuk pewarisan tradisi lisan moanggo pada masyarakat

Tolaki di Kecamatan Lembo?

1.2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk Mengetahui dan mendeskripsikan bentuk-bentuk pelaksanaan

tradisi moanggo pada masyarakat di Kecamatan Lembo, Kabupaten

Konawe Utara.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bentuk pewarisan tradisi

moanggo pada masyarakat di Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe

Utara

1.3. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Memperkuat aspek-aspek keilmuan tradisi lisan dengan menelaah secara

khusus tradisi lisan moanggo. Disamping itu memberikan manfaat bagi

pengembangan tradisi lisan secara teoritis.


2. Memberikan gambaran bentuk-bentuk pelaksanaan dan pewarisan tradisi

moanggo bagi masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo Kabupaten

Konawe Utara.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Hasil praktis dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi

mengenai tradisi moanggo dalam masyarakat Suku Tolaki sehingga

masyarakat mampu melaksanakan tradisi moanggo dalam kehidupan

masyarakat Suku Tolaki.

2. Membantu masyarakat Suku Tolaki untuk lebih memahami bagaimana

bentuk-bentuk pelaksanaan dari tradisi Moanggo dan berbagai hal yang

berkaitan dengan pelaksanaan tradisi lisan tersebut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Penelitian Relevan

Penelitian relevan merupakan penelitian sebelumnya yang sudah pernah

dibuat dan dianggap mempunyai keterkaitan dengan judul dan topik yang diteliti,

serta berguna untuk menghindari terjadinya pengulangan penelitian dengan topik

permasalahan yang sama. berbagai hasil peneliti terdahulu yang mengkaji tentang

bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi Moanggo yang terkandung dalam sebuah

tradisi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

Idaman dalam jurnal dengan judul Nilai dan Makna Moanggo pada orang

Tolaki di Sulawesi Tenggara, moanggo sebagai salah satu bagian prinsip

kebudayaan dan penanda identitas orang Tolaki tidak lagi secara massif

diperdengarkan pada setiap pesta perkawinan adat Tolaki di Kabupaten Konawe,

apalagi di ruang-ruang keluarga sebagai sarana hiburan keluarga. Padahal di masa

lalu, ketika berbagai jenis musik modern belum merajai belantara musik di negeri

ini, moanggo tentu punya posisi sentral di nadi kehidupan musik tradisional orang

Tolaki. Dalam banyak hal, moanggo yang dibawakan oleh pande anggo sarat

dengan pesan-pesan positif bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Atas

dasar ini, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terungkap dengan

sejumlah nilai dan makna yang terkandung di dalam teks anggo. Nilai-nilai yang

terkandung di dalam teks anggo adalah nilai pendidikan, nilai moral, nilai budaya

dan nilai filosofis. Nilai pendidikan yang terkandung di dalam moanggo berkaitan
dengan pesan kepada kedua mempelai untuk menghormati orang tua dan mertua.

Selain itu, pesan lain yang terkandung di dalam moanggo adalah agar kedua

mempelai memperbaiki hubungan kekeluargaan, menerima apa adanya kondisi

kedua orang tua, serta di dalam menjalani kehidupan rumah tangga agar

senantiasa saling mengasihi dan mencintai. Sementara nilai moral yang

terkandung di dalam teks anggo berkaitan dengan larangan untuk tidak melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dan nilai-nilai luhur budaya

Tolaki. Penegasan moral di dalam teks anggo ini ditunjukan melalui beberapa kali

penyebutan ‘iyamo’ yang bermakna jangan melakukan sesuatu. Di samping itu,

terdapat pula kata merou sebagai bentuk penegakan moral mengenai pentingnya

bertutur sapa yang sopan dan santun, baik kepada pasangan hidup maupun kedua

orang tua dan mertua, serta kerabat handai tolan. Nilai budaya di dalam moanggo

berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan positif yang dilakukan oleh para leluhur

atau nenek moyang orang Tolaki (Idaman dkk, 2017).

Penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian

yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Persamaannya yaitu sama-sama

meneliti tradisi moanggo, sedangkan perbedaannya yaitu Idaman meneliti tentang

Nilai dan Makna tradisi moanggo, sedangkan dalam penelitian ini adalah

memfokuskan bagaimana bentuk-bentuk pelaksanaan dan pola pewarisan tradisi

moanggo pada masyarakat Tolaki khususnya di Lembo.

Samsul (2012) dengan judul “Tradisi Kabhanti Modero Pada Masyarakat

Muna Di Sulawesi Tenggara” penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) pola

formula yang digunakan dalam tradisi lisan kabhanti modero adalah formula kata,
sebagian kata, frasa, dan satu larik atau baris. Pengulangan yang dominan dalam

kabhanti modero adalah pengulangan satu larik. Hal ini terjadi karena selain

memperindah irama kabhanti. Juga untuk memberikan kesempatan kepada kita

memikirkan apa yang menjadi balasan kabhanti yang dilakukan oleh lawan

kelompok kita. (2) warisan yang terdapat dalam kabhanti modero terdiri atas tiga

bagian, yang pewarisan secara langsung, pewarisan dalam hidup keluarga, dan

pewarisan dalam pertunjukan. (3) pola pewarisan ini merupakan pola pewarisan

secara non formal. Dari ketiga pola pewarisan tersebut di atas, pewarisan dalam

pertunjukan merupakan pola pewarisan yang paling efektif karena calon

penuturnya bisa menyaksikan secara langsung bagaimana bentuk modero ketika di

pertunjukan selain itu, dia juga bisa mencoba melantunkan kabhanti modero

dalam pertunjukan itu. Tuturan keberhasilan seorang calon penutur atau orang

yang berjalan kabhanti modero adalah jika dia sudah mencoba melantunkan

kabhanti modero dalam pertunjukan.

Penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian

yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Persamaan penelitian yang telah

dilakukan Samsul pada tahun 2012. Melalui penelitian dikaji mengenai tradisi

berbalas pantun dalam bentuk nyanyian rakyat. Perbedaannya adalah Samsul lebih

memfokuskan penelitiannya tentang pola pewarisan tradisi. Sedangkan dalam

penelitian ini peneliti memfokuskan pada bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi lisan

moanggo pada Suku Tolaki.

Putrid Nadia pada tahun 2016 dengan judul Analisis Pantun Pada Tradisi

Makan Nasi Hadap-hadapan Adat Pesisir Di Kecamatan Tanjungbalai Selatan


Kota Tanjung Balai. Penelitian ini mencari ikon, indeks, dan simbol yang terdapat

pada pantun tradisi makan nasi hadap-hadapan adat pernikahan melayu pesisir

yang merupakan kajian ilmu semiotika serta memaknai pantun-pantun yang

digunakan pada tradisi tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian ditemukan ditemukan

lima acara yang digunakan dalam tradisi makan nasi hadap-hadapan adat

pernikahan Melayu pesisir yaitu perkenalan, memetik bunga, istirahat minum,

makan bersama dan merebut ayam panggang serta memakai pantun dalam kelima

acara tersebut. Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan, perbedaannya

adalah baik penelitian yang dilakukan oleh Samsul dan Putri Nadia adalah

menyampaikan pantunnya secara khusus pada aspek berbalas pantun. Berbalas

pantun dalam Tradisi Lisan merupakan sarana pelestarian tradisi. Sedangkan

perbedaannya yaitu terletak pada pendekatan yang digunakan. Dalam hal ini,

menggunakan pendekatan pola pewarisan Tradisi sedangkan Putri Nadia

menggunakan pendekatan semiotika untuk menganalisis tanda-tanda dalam

sebuah tradisi. Pola pewarisan masuk dalam pendekatan adaptasi budaya

sedangkan semiotika masuk dalam analisis strukturalisme.

Isra Fahriati (2019) dengan judul “Berbalas Pantun Dalam Adat

Perkawinan Di Desa Muka Sungai Kuruk Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh

Tamiang”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui makna fenomena sosial dalam hal ini

tradisi berbalas pantun. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pantun sering

digunakan sebagai media penyampaian pesan pada acara perkawinan yang berisi
tentang masalah perkawinan yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada

pihak perempuan seperti syarat harus menggunakan inai, membawa emas, sirih

dan elang 7 hari yang terdiri dari tebu, bale, kain dan harus memahami arti dari

tujuan pernikahan tersebut.

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan Isra Fahriati adalah sama-sama meneliti tentang makna yang

terkandung dalam tradisi berbalas pantun. Perbedaan Isra Fariati meneliti tentang

berbalas pantun yang dikhususkan pada adat pernikahan. Sedangkan dalam

penelitian ini adalah meneliti tentang tradisi lisan Moanggo pada masyarakat

Tolaki. Penelitian tersebut memperlihatkan perbedaan karena penelitian yang

dilakukan oleh Isra Fahriati memfokuskan pada aspek makna pada tradisi

sedangkan penelitian ini mendekati fenomena tradisi lisan dalam hal ini Moanggo

lebih kepada bentuk-bentuk pelaksanaan tradisi lisan serta bagaimana pewarisan

tradisi Moanggo tersebut.

Beberapa penelitian di atas, terlihat bahwa penelitian pada tradisi moanggo

pada masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara

sepanjang penelusuran peneliti sebelumnya belum membahas moanggo di

Kabupaten Konawe Utara khususnya di Kecamatan Lembo. Oleh karena itu,

sangat terbuka peluang untuk melakukan penelitian tentang bentuk-bentuk

pelaksanaan tradisi lisan Moanggo, dan sistem pewarisan tradisi lisan Moanggo

pada masyarakat Tolaki Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara.

Adapun manfaat dari ketiga penelitian relevan yang telah tersebut diatas

terhadap penelitian yang sudah peneliti lakukan adalah sebagai bahan rujukan
yang memberi perlengkapan informasi mengenai bentuk-bentuk pelaksanaan, dan

sistem pewarisan tradisi lisan Moanggo terhadap kepercayaan masyarakat

tradisional. Melalui ketiga penelitian ini, maka peneliti dapat mengetahui apa saja

yang sudah diungkapkan oleh para peneliti sebelumnya. Hal tersebut dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rancangan penelitian agar

nantinya penelitian yang sudah peneliti lakukan tidak memiliki kesamaan yang

mutlak terhadap penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut

agar hasil dari penelitian yang peneliti lakukan tidak hanya sekedar menumpuk

informasi yang mutlak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah ada

sebelumnya, melainkan bertujuan agar dapat memberikan kontribusi, menambah

serta melengkapi informasi penelitian-penelitian sebelumnya.

2.1.2. Konsep Moanggo

Moanggo berasal dari kata mo artinya melantunkan/menyayikan dan

anggo merupakan lagu tradisional masyarakat Tolaki yang berisi puji-pujian,

sanjungan. Anggo berfungsi sebagai pembelajaran membentuk watak/mental dan

semangat kepahlawanan. Orang yang menciptakan anggo mengandung unsur

adat kebudayaan sehingga lebih banyak ditemukan dalam upacara-upacara atau

pesta-pesta adat. Anggo juga sering dinyanyikan dalam suasana bebas di luar dari

acara-acara adat. Syair lagunya bermacam-macam bentuk sesuai dengan

fungsinya. Ada yang berbentuk pujian, atau sanjungan. Pada bentuk anggo yang

moral dan semangat kepahlawanan. Sedangkan bentuknya yang lain yaitu

berbentuk sindiran, keharuan, dan percintaan, fungsinya adalah sebagai

penyampaian isi hati kepada seseorang.


Dalam bidang pertanian pun, onggo sering digunakan oleh masyarakat

Tolaki seperti pada saat akan membuka lahan (mosalei), saat akan menanam

(motasu), mencabut bibit (morabu), menyabit (mosaira), atau pada puncak

kegiatan petani yaitu pesta panen (monahundau). Anggo semacam ini

kedudukannya hampir sama dengan mantra karena isinya berupa permohonan

kepada yang kuasa agar apa yang diperbuatnya mendapatkan berkahnya, sehingga

tidak akan dapat gangguan berarti dan akan diperoleh hasil sesuai dengan yang

diharapkan. (Evang Asmawati 2018).

Sebelum memulai anggo, ini dimaksudkan agar orang tersebut kehilangan

kesadarannya sehingga arwah nenek moyang akan mudah merasuki jiwanya.

Tidaklah mengherankan jika pada saat orang sudah melantunkan anggo, maka

akan anggo yang dinyanyikannya setelah dia sadar. Jadi, dapat dikatakan bahwa

anggo itu sendiri mempunyai hubungan dengan dunia magis.

Adapun pengaruh yang kuat terhadap anggo dengan dunia magis

dibenarkan oleh orang-orang yang memahami keberadaan anggo sebagai

nyanyian masyarakat Tolaki, bahkan oleh para petua-petua adat. Hanya saja,

sejalan dengan perkembangan di berbagai aspek kehidupan, maka anggo pun kini

sudah mengalami sedikit perubahan. Telah banyak syair-syair onggo yang

diciptakan oleh para seniman-seniman daerah, Khususnya Sulawesi Tenggara.

Untuk menyampaikan anggo tersebut, tidak lagi harus menciptakan sarana

penghubung antara si penyanyi dengan arwah nenek moyang. Anggo tersebut

lebih menggambarkan tentang jiwa dan perasaan seseorang sebagai penyampaian


isi hati atau bahkan anggo berisikan dorongan kepada seseorang agar bersifat

ksatria.

2.1.3. Konsep Tradisi Lisan

Tradisi lisan merupakan hasil pemikiran dan adat yang diturunkan dari

mulut ke mulut dan dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan masyarakat

pemiliknya. Tuloli (Amir, 2013:43) menyatakan bahwa tradisi lisan adalah salah

satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan yang belum

terpelajar. Tradisi lisan harus dibicarakan dalam hubungan dengan penceritaan,

dan pendengar atau penonton.

Menurut Danandjaja (2002:21-22) tradisi lisan adalah yang memang

bentuknya lisan. Bentuk-bentuk tradisi lisan yang termasuk ke dalam kelompok

besar ini, antara lain: (1) bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional,

dan titel kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah,

dan pameo; (3) puisi rakyat seperti gurindam dan syair; (4) nyanyian rakyat.

Sebelum di jelaskan tradisi lisan terlebih dahulu akan dikemukakan

konsep tradisi, tradisi berasal dari kata tradition yang berarti segala sesuatu yang

diwariskan dari masa lalu (Murgiyanto, 2004 : 2 dalam Ardium Dini 2017). Selain

itu, menurut Finegan (1992 : 7 dalam Ardium Dini 2017) tradisi merupakan

istilah umum yang biasa digunakan dalam ujaran keseharian dan juga istilah yang

digunakan oleh antropolog, peneliti folklor, dan sejarawan islam. Ada perbedaan-

perbedaan makna mengenai tradisi itu sendiri, misalkan dimaknai sebagai

kebudayaan, sebagai keseluruhan, berbagai cara melakukan sesuatu berdasarkan

cara yang telah ditentukan; proses pewarisan praktis, ide atau nilai; produk yang
diwariskan; dan sesuatu dengan konotasi lampau. Sesuatu yang disebut tradisi

pada umumnya menjadi kepemilikan keseluruhan komunitas dibanding individu

atau kelompok tertentu. Tradisi tidak tertulis dan merupakan pemarkah identitas

kelompok.

Lord (2000 : 1 dalam Ardium Dini 2017) memberikan batasan tradisi lisan

sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa unsur

kelisanan bagi penutur dan unsur yang mendengarkan bagi penerima menjadi kata

kuncinya. Selanjutnya, Hoed (2008 : 184) mengatakan bahwa tradisi lisan adalah

berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan

secara lisan. Lebih lanjut, Hoed mengatakan bahwa tradisi lisan mencakup hal-hal

seperti yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (1995 ; 2 dalam Ardium

Dini 2017) bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos,

legenda, dan dongeng, akan tetapi juga mengandung berbagai hal yang

menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal,

sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan sistem

kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hal seni.

Tradisi Berasal dari bahasa Latin traditio sebagai nomina, kata traditio

berarti kebiasaan yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya

dalam waktu yang cukup lama sehingga kebiasaan itu menjadi bagian dari

kehidupan sosial komunitas. Ada tiga karakteristik tradisi. Pertama, tradisi itu

merupakan kebiasaan (lore) dan sekaligus proses (process) kegiatan yang dimiliki

bersama suatu komunitas. Kedua tradisi itu merupakan sesuatu yang menciptakan

dan mengukuhkan identitas. Memilih tradisi memperkuat nilai dan keyakinan


pembentukan kelompok komunitas. Ketika terjadi proses kepemilikan tradisi,

pada saat itulah tradisi itu menciptakan dan mengukuhkan rasa identitas

kelompok. Ketiga, tradisi itu merupakan sesuatu yang dikenal dan diakui oleh

sekelompok itu sebagai tradisinya. Sisi lain menciptakan dan mengukuhkan

identitas dengan cara berpartisipasi dalam suatu tradisi adalah bahwa tradisi itu

sendiri harus dikenal dan diakui sebagai sesuatu yang bermakna oleh kelompok

itu. Sepanjang kelompok masyarakat mengklaim tradisi itu sebagai miliknya dan

berpartisipasi dalam tradisi itu, hal itu memperbolehkan mereka berbagi bersama

atas nilai dan keyakinan yang penting bagi mereka (Martha and Martine, 2005;

Sibarani, 2014)

2.1.4. Konsep Masyarakat Tolaki

Masyarakat adalah golongan masyarakat kecil terdiri dari beberapa

manusia, yang dengan atau karena sendirinya pertalian secara golongan dan

pengaruh mempengaruhi satu sama lain (Hasan Shadily 1984:47). Definisi

menekankan aspek pertalian yang dalam hal ini disebut dengan istilah hubungan.

Aspek hubungan tersebut dilihat dalam wilayah praktis yakni bagaimana manusia

dapat mempengaruhi satu sama lain yang berawal dari faktor hubungan

mempengaruhi itu sendiri.

Konsep masyarakat menurut Edi Suharto (2006:11) adalah area dimana

praktek pekerjaan sosial makro beroperasi. Berbagai definisi mengenai

masyarakat biasanya diterapkan berdasarkan konsep ruang, orang, interaksi dan

identitas. Dalam arti sempit istilah masyarakat merujuk pada sekelompok orang

yang tinggal dan berinteraksi yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu seperti
desa, kelurahan, kampung atau rukun tetangga. Dalam arti luas, masyarakat

menunjuk pada interaksi kompleks sejumlah orang yang memiliki kepentingan

dan tujuan bersama meskipun tidak bertempat tinggal dalam satu wilayah

geografis tertentu. Masyarakat seperti ini bisa disebut sebagai societas atau

society. Misalnya, masyarakat ilmuwan, masyarakat bisnis, masyarakat global,

dan masyarakat dunia.

Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolahianga (orang dari

langit). Mungkinkah yang dimaksudkan disini dengan istilah “langit” adalah

kerajaan langit, yakni cina seperti yang dimaksudkan oleh M. Granat (Abdurrauf

Tarimana 1993: 51). Kalau demikian maka mungkinkah kata hiu yang ada dalam

bahasa cina berarti “langit” dihubungkan dengan kata heo (Tolaki) yang berarti

“ikut pergi ke langit.” Mereka yang datang dari arah selatan mungkin berasal dari

pulau Jawa melalui Buton dan Muna dan memasuki muara sungai Konaweeha,

dan terus memilih lokasi pemukiman di Toreo , di Landono, dan Besulutu.

Seperti apa yang telah disebutkan di atas menurut cerita mitologi, Kerajaan

Konawe dan Kerajaan Mekongga masing-masing didirikan oleh dua bersaudara

kakak-adik, ialah Wekoila dan Larumbalangi. Pusat Kerajaan Konawe mula-mula

berlokasi di Olo-Oloho di pinggir Sungai Konaweha di desa Uepai yang sekarang,

kemudian pindah ke Unaaha. Adapun Kerajaan Mekongga, mula-mula berlokasi

di Bende, dan kemudian pindah ke Wundulako. Mula-mula raja bergelar Mokole,

tetapi lama kemudian untuk Raja Mekongga, gelar itu berubah menjadi Bokea.

Kerajaan Konawe pernah tenggelam karena wabah penyakit yang digambarkan

sebagai sebagai keganasan biawak raksasa (uti owose) dan kerbau berkepala dua
(kiniku peuluruo), yang menghabiskan manusia di Konawe, demikian juga

kekalutan dalam Kerajaan Mekongga digambarkan sebagai keganasan burung

garuda. Dalam situasi demikian datanglah Latuanda, seorang dukun, dan

menyelamatkan penduduk dari wabah yang digambarkan sebagai pembunuh

biawak dan kerbau tersebut. Sementara itu tibalah Onggabo (raksasa) yang

mengawini gadis, sisa wabah, bernama Elu, gelar Kambuka sioropo

Korembutano, dan dari perkawinan itu lahirlah putra-putri Onggabo yang

keturunannya kemudian meneruskan babad tanah Konawe. Mereka dikenal oleh

penutur silsilah raja-raja sebagai nama-nama yang tersusun dengan tata urut

sebagai berikut, yaitu :Sangia Mbina’uti, Sangia Inato, dan Sangia Ngginoburu.

Situasi yang sama terjadi di Mekongga di mana penduduk negeri Mekongga

diselamatkan oleh Larumbalangi setelah ia memimpin usaha pemulihan kekuatan

yang digambarkan sebagai pembunuh burung kongga (garuda) itu. Jadilah ia raja

pertama Kerajaan Mekongga, dan diteruskan kemudian oleh cucu-cucunya, yang

berturut-turut bernama Mumualo, Lombo-Lombosa atau Sangia Nilulo, dan

Laduma atau Sangia Nibandera (Kruijt 1922: 692 dalam Abdurrauf Tarimana

1993:53)

Hal yang sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan dari tiap

raja tersebut. Suatu kecualian adalah Raja Sangia Ngginoburu dan Raja Sangia

Nibandera yang masa pemerintahannya dapat diperkirakan pada zaman Islam

berdasarkan cerita sejarah setempat, bahwa Raja Tolaki itu adalah raja-raja yang

pertama setelah meninggal dikubur secara Islam. Hingga kini kuburan dari kedua

raja tersebut masih ada dan dipelihara oleh turunannya.


Sebelum kedua kerajaan ini berdiri, telah ada beberapa kerajaan kecil,

yaitu: Padangguni, Besulutu, Tambosupa, Wawolesea, Lembo, dan Konde’eha.

Menurut para penutur silsilah raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa

peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik sebagai peninggalan

arkeologi maupun etnografika, misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di

Toreo. Menurut cerita sejarah kerajaan-kerajaan ini bubar karena peperangan

antara satu sama lain karena serangan dari kerajaan lain di luar Sulawesi

Tenggara, misalnya peperangan antara Padangguni dengan Besulutu, yang

menyebabkan timbulnya kerajaan Konawe, antara Wawolesea dengan kerajaan

Banggai, dan antara Lembo dengan Konde’eha yang menyebabkan timbulnya

kerajaan Mekongga.

Pada dasarnya masyarakat Tolaki yang mendiami kecamatan Lembo

berawal dari keberadaan aktivitas pertahanan laut kerajaan Konawe.Hal ini dapat

kita temukan di dalam Anggo Ndula-tula yang berkisah tentang sosok Kapita

Mayoro i Ngapa. Di dalam Anggo tersebut, digambarkan posisi pertahanan laut

atau yang dalam bahasa Tolaki disebut Ngapa memainkan peranan yang sangat

strategis untuk menahan laju serangan dari beberapa kesultanan yaitu Ternate,

Buton dan Luwu. Kapita Mayoro yang bernama Mekuo menjadi sosok yang

memperkuat keberadaan masyarakat Tolaki yang mendiami wilayah yang disebut

Lembo.
2.2. Landasan Teori

2.2.1. Teori Pewarisan Budaya

Menurut C.H Cooley (2005:43) pengertian pewarisan budaya adalah suatu

proses peralihan nilai-nilai dan norma yang dilakukan dan diberikan melalui

pembelajaran oleh generasi tua ke generasi muda. Pewarisan budaya menurut

Komanto Sunanto (1999:31) suatu kebudayaan didalam masyarakat yang terus

menerus dilestarikan atau diteruskan ke generasi selanjutnya agar kebudayaan

tersebut tidak hilang atau punah diterjang oleh kebudayaan yang baru. Oleh

karena itu kita sebagai penerus generasi selanjutnya harus bisa melestarikan

budaya yang sudah ada agar budaya ini tidak punah. Warisan budaya dapat berupa

bahasa, tari, lagu, alat musik, masakan, bangunan, atau candi dan peninggalan

lainnya.

Cara pewarisan budaya pada masyarakat tradisional terjadi secara

sederhana, yaitu melalui tatap muka langsung dari mulut ke mulut dan praktek

langsung. Masyarakat dengan tipe seniman mewariskan keterampilan seni dengan

cara membawa langsung anaknya untuk turut serta dalam berkesenian. Pewarisan

budaya dilakukan dengan tatap muka langsung, ketika mitos, legenda, dan

dongeng diceritakan oleh orang tau bertatap muka langsung dengan anak-

anaknya. Koentjaraningrat (1999:23). Pewarisan budaya sering dilakukan secara

berantai, seseorang bercerita kepada temannya, yang kemudian bercerita kepada

orang lain, dan seterusnya.

Pewarisan budaya sangat penting bagi manusia karena dengan budaya

manusia dapat menunjukkan jati diri kita sebagai satu makhluk yang berbudaya
dan sebagai ciri khasnya, contoh kita sebagai orang orang Indonesia harus

melestarikan budaya indonesia agar jati diri dan martabat bangsa Indonesia tidak

hilang terbawa arus globalisasi oleh karena itu kita harus bangga dengan budaya

Indonesia. Kamanto Sunanto (1999:41).

2.2.1.1. Proses Pewarisan Budaya

Proses pewarisan budaya terjadi dari dahulu hingga sekarang. Manusia

saat ini dapat mengetahui budaya manusia beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun

yang lalu karena adanya pewarisan budaya dengan menggunakan berbagai media

budaya. Pada umumnya orang membedakan pewarisan budaya pada masyarakat

tradisional dan modern. Menurut Koentjaraningrat (1999:55) “masyarakat

tradisional merujuk pada masyarakat yang ada pada abad ke 19 dan sebelumnya”.

Atas dasar itu, masyarakat modern adalah masyarakat yang hidup pada awal abad

ke 20 sampai dengan sekarang.

Pewarisan budaya pada masyarakat tradisional merujuk pada pewarisan

budaya yang terjadi pada masyarakat yang hidup pada abad ke 19 dan

sebelumnya. Sedangkan pewarisan budaya pada masyarakat modern merujuk

kepada proses pewarisan budaya yang terjadi pada masyarakat yang hidup pada

awal abad ke 20 sampai dengan sekarang. Perbedaan pewarisan budaya pada

kedua jenis masyarakat itu diantaranya dapat ditinjau menurut peranan lembaga

kebudayaan, cara pewarisan budaya, sarana pewarisan budaya dan kecepatan

pewarisan budaya, Kamanto Sunanto, (1999:50).


2.2.1.2. Sistem Pewarisan Budaya

Sistem pewarisan yang dimaksud disini tentu saja adalah sistem

pewarisan kesenian tradisional, sedangkan kesenian tradisional telah diketahui

adalah kesenian yang sudah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke

generasi sesudahnya. Lindsay dalam Kasim (1981:112-113) menyatakan bahwa

hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang

dilimpahkan dari angkatan muda kepada angkatan lebih muda. Proses pewarisan

tersebut dilakukan melalui pembelajaran alih, ide, nilai, serta keterampilan.

Cavalla-Sporoza dan Feldman dalam Berry (2002:20) menyatakan bahwa:

Cultural transmission can perpetuate its behavioral features among subsequent

generations employing teaching and learning mechanisms.

Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem pewarisan atau

pewarisan budaya merupakan cara untuk mempertahankan ide, gagasan, atau

keterampilan dalam sebuah kebudayaan umumnya, kesenian pada khususnya

melalui proses belajar. Sistem pewarisan disini akan membahas bagaimana

motivasi, dan model dalam proses pewarisan kesenian tarawangsa. Setiap

kesenian tradisional mempunyai pola pewarisan tersendiri, pola ini akan

berpengaruh pada eksistensi kesenian tersebut. Berkaitan dengan sistem

pewarisan. Cavalli-Sfroza dalam Adhipura (2013:43) menyatakan: terdapat dua

jenis sistem pewarisan yakni “Vertical Transmission” dan “Horizontal

Transmission”.Vertical Transmission (pewaris tegak) adalah sistem pewarisan

yang berlangsung melalui mekanisme genetic yang diturunkan dari waktu ke

waktu secara lintas generasi yakni melibatkan penurunan ciri-ciri budaya dari
orang tua kepada anak cucu. Dalam pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai,

keterampilan, keyakinan, motif budaya, dan sebagainya kepada anak cucu mereka.

Oleh karena itu pewarisan tegak disebut juga “Biological transmission” yakni

sistem pewarisan yang bersifat biologis. Horizontal Transmission” (pewarisan

miring) ialah sistem pewarisan yang berlangsung melalui lembaga-lembaga

pendidikan seperti sekolah-sekolah atau sanggar-sanggar. “Horizontal

Transmission”terjadi ketika seseorang belajar dari orang dewasa atau lembaga-

lembaga (misalnya dalam pendidikan formal) tanpa memandang apakah hal itu

terjadi dalam budaya sendiri atau dari budaya lain.

Sistem pewarisan vertikal hanya mengandalkan mekanisme genetic

(keluarga atau saudara) dalam proses pewarisannya. Generasi itu berperan sebagai

guru yang mewariskan aturan-aturan, keterampilan, ide-ide, dan sebagainya.

Sistem pewarisan vertical ini hanya dilakukan pada orang-orang yang masih

mempunyai hubungan darah atau sering disebut dengan biological transmission.

Sistem pewarisan kesenian didalamnya terdapat sebuah proses pendidikan dan

pelatihan.
2.3 Kerangka Berpikir

Moanggo Pada Masyarakat Tolaki

Bentuk-Bentuk Moanggo Bentuk Pewarisan Tradisi Lisan


Pada Masyarakat Tolaki

Konsep dan Teori:


Teori Pewarisan Budaya

Eksistensi Tradisi Lisan Moanggo pada masyarakat


Tolaki pada Kecamatan Lembo Kabupatan Konawe
Utara

Gambar 2.1.Bagan Kerangka pikir


(Sumber Hasil Analisa Peneliti, 2022)
Fokus utama dalam penelitian ini adalah tradisi lisan moanggo dalam

masyarakat Suku Tolaki, khususnya pada bentuk-bentuk pelaksanaan dan bentuk-

bentuk pewarisan tradisi lisan Moanggo pada masyarakat Kecamatan Lembo

Kabupaten Konawe Utar. Hal yang pertama kali diteliti adalah konsep umum

Moanggo dalam masyarakat Tolaki. Pada bagian ini akan dijelaskan secara

lengkap bagaimana masyarakat Suku Tolaki memahami keberadaan tradisi

tersebut. Pemahaman masyarakat suku Tolaki bersifat sangat penting untuk

menjawab rumusan penelitian yang diangkat oleh peneliti dalam kerangka pikir.

Pada bagian berikutnya dengan dibantu teori yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu teori umum atau basic teori yang telah menjadi rujukan utama didalam

penelitian mengenai tradisi lisan khususnya yang berkaitan dengan Teori

Pewarisan Budaya.

Teori Pewarisan Budaya lebih menekankan pada suatu proses peralihan

nilai-nilai dan norma yang dilakukan dan diberikan melalui pembelajaran oleh

generasi tua ke generasi muda sehingga tujuan penelitian dalam rangka

mengetahui bentuk-bentuk Moanggo dan bentuk-bentuk pewarisan tradisi

Moanggo dapat diketahui dalam masyarakat Tolaki pada lingkup Kecamatan

Lembo, Kabupatan Konawe Utara.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.  Jenis Penelitian

Penelitian tradisi lisan Moango pada masyarakat Tolaki di Kecamatan

Lembo, Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara, menggunakan

metode kualitatif. Penelitian kualitatif yang berupaya untuk memahami makna

suatu benda masyarakat, situasi atau peristiwa yang diberikan kepadanya secara

nyata. Penelitian kualitatif berusaha memahami fenomena budaya empirik yang

kompleks di lapangan. Penelitian kualitatif adalah wilayah kerja multimetode

antar disiplin, lintas disiplin yang menyatakan proses dan makna, (Denzin &

Lincoln, 2009:2-6) dan yang memfokuskan interpretasi dan pendekatan

naturalistik bagi Suatu persoalan dengan beragam paradigma. Penelitian kualitatif

adalah merupakan suatu pendekatan khas dalam kajian budaya dan etnik dalam

dimensi naturalistik (pengumpulan dan lapangan), kukuh dalam pemahaman

interpretatif mengenai pengalaman manusia, peneliti berperan serta atau

participant observation (Endraswara, 2006:87-89; Denzin & lincoln)

3.2.  Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe

Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian:

(1) daerah ini masih sering dilaksanakan kegiatan moanggo. (2) secara teknis

operasional penelitian berasal di lokasi penelitian yang secara insentif memberi

kemudahan menjangkau subjek penelitian. Hal yang berarti akan lebih mudah

bagi peneliti melakukan pengamatan, observasi langsung, melakukan wawancara,


merekam dengan video-film, gambar/foto dengan tidak meninggalkan paradigma

kritis sebagai modal peneliti kajian budaya di lapangan.

3.3   Teknik Penentuan Informan

         Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive

yaitu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti (Endraswara,

2006:115). Selanjutnya untuk menjaring data, diawali dengan informan awal.

Apabila informan ini betul-betul memahami secara mendalam masalah yang akan

dikaji dan dapat memberikan informasi yang akurat terkait dengan data yang

dibutuhkan, dapat saja peneliti ini menetapkannya sebagai informan kunci (key

informan) itu dari sekian banyak informan yang ditemui.

Seorang informan yang baik adalah informan yang mampu

mengungkapkan, memahami, dan memenuhi permintaan peneliti, memiliki

kemampuan reflektif, bersifat artikulatif, meluangkan waktunya untuk melakukan

wawancara, dan bersemangat untuk berperan aktif serta dalam penelitian.

Sejalan dengan perkembangan yang dikemukakan di atas dalam memilih

informan, juga dijelaskan oleh Sudikan (2001:91) dan Endraswara(2006;119)

sebagai berikut:

1. Usia orang yang bersangkutan itu memiliki pengalaman pribadi sesuai

dengan permasalahan yang diteliti

2. Orang yang bersangkutan juga telah dewasa

3. Orang yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani

4. Orang yang bersangkutan harus bersikap netral, tidak membawah

kepentingan pribadi untuk menjelekkan orang lain


5. Orang yang bersangkutan tokoh masyarakat

6. Orang bersangkutan memiliki pengaruh yang sangat luas. Mengenai

permasalahan yang akan diteliti

Berdasarkan uraian di atas, informan awal (the primary selection) yang

dipilih sebagai informan kunci adalah informan yang memenuhi kriteria tersebut.

Selanjutnya, dari keterangan yang diberikan informan awal, kemudian

diinventarisasi informan-informan lain yang dapat memberikan keterangan

terhadap masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian.peneliti dapat

memilih informan yang dianggap dapat memberikan informasi, mengetahui

masalah secara mendalam yang menjadi objek penelitian, dan dapat dipercaya

untuk menjadi sumber data, pemilihan peneliti terhadap informan dapat

berkembangsesuai dengan kebutuhan (Suprayoga dan Tobroni, 2001:165)

Informan kunci dalam penelitian ini adalah Ajemain Suruambo merupakan

tokoh adat Tolaki, sebelum peneliti melakukan wawancara kepada informan kunci

terlebih dahulu peneliti sudah melakukan wawancara kepada informan lain yaitu

M.Arif. L, dan Mariama, dari kedua infroman tersebut mengarahkan peneliti ini

ke informan kunci untuk mendapatkan data yang lebih lengkap karena ia banyak

memiliki pengetahuan tentang tradisi lisan manggo pada masyarakat Tolaki.

Selain informan kunci tersebut, juga terdapat unsur generasi mudah, akademisi,

seniman, budayawan, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Keseluruhan informan

yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebanyak 5 orang.


3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai untuk memperoleh data dengan

bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh sebagai data yang dibutuhkan dalam

penelitian. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

dilakukan antara lain:

3.4.1 Observasi/Pengamatan

Melalui observasi ini, penelitian belajar tentang perilaku, dan fungsi dari

perilaku tersebut (Sugiono:2017:310). Dalam penelitian ini, peneliti terjun

langsung kelapangan untuk memperoleh data dan mengumpulkan data serta ikut

terlibat langsung dan ikut menyaksikan secara langsung tradisi tersebut. Dalam

observasi ini melakukan pengamatan dari beberapa objek yaitu lokasi penelitian,

tempat pelaksanaan, kehidupan bermasyarakat, pandangan dan respon masyarakat

terhadap tradisi lisan Moanggo serta bentuk-bentuk pelaksanaan dan sistem pola

pewarisan Moanggo.

3.4.2 Wawancara

Wawancara merupakan dua orang untuk bertukar informasi atau ide

melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikontribusikan dalam suatu topik tertentu

(Sugiono, 2017:317). Peneliti melakukan wawancara secara mendalam pada

informan yang mengetahui tentang tradisi Moanggo. Wawancara dilakukan juga

untuk menggali informasi seperti bentuk-bentuk pelaksanaan, proses pewarisan

tradisi Moanggo di Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara.


3.4.3 Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan agar memperkuat data dari hasil wawancara yang

dilakukan dalam pengamatan. Adapun pengamatan data dengan menggunakan

dokumentasi dalam penelitian dapat berbentuk dokumentasi tertulis gambar (foto)

yang berkaitan dengan objek penelitian.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menjelaskan mengenai bentuk-bentuk pelaksanaan dan

pewarisan tradisi lisan Moanggo. Teknik analisis data dalam penelitian ini

menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Metode ini dilakukan melalui

interpretasi data hasil dari wawancara para informan dan ditafsirkan dengan

membahas tema-tema yang telah diteliti.

Miles dan Huberman (1992) mengemukakan bahwa aktivitas dalam

analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus

menerus sampai tuntas. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data

display; conclusion drawing/verifying. (Sugiono, 2017:337).

3.5.1 Reduksi Data

Mereduksi data merupakan kegiatan merangkum, memilih hal-hal pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya

(Sugiono,2017: 338). Data yang telah direduksi memberikan gambaran lebih jelas

dan memudahkan untuk pengumpulan data dan penyederhanaan data-data yang

muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.


3.5.2 Paparan Data/data display

Setelah data direduksi langkah selanjutnya adalah pemaparan data atau

mendisplaykan data. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk

memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa

yang telah dipahami tersebut (Miles dan Huberman 1998) dalam Sugiyono,

2017:341). Penyajian data dilakukan untuk melihat secara keseluruhan atau

bagian-bagian tertentu dalam penelitian, sehingga data dalam penelitian ini telah

disajikan dalam bentuk urain yang didukung dengan data-data yang telah

diperoleh.

3.5.3 Penarikan Kesimpulan/verifikasi

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan

Huberman adalah penarikan kesimpulan data verifikasi. Kesimpulan awal yang

dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan

bukti-bukti yang kuat yang mengandung pada tahap pengumpulan data

berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal,

didukung oleh bukti-bukti yang kuat valid dan konsisten saat peneliti kembali

kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan

kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang

diharapkan adalah temuan baru yang belum pernah ada ( Sugiono, 2017:345).

Pada tahap ini data yang telah dihubungkan antara satu dengan lainnya

sesuai dengan konfigurasi yang ada lalu disimpulkan. Setiap data yang menunjang

komponen uraian diklasifikasi kembali dengan informan. Apabila hasil klarifikasi


memperkuat kesimpulan atas data yang tidak valid, maka pengumpulan data siap

dihentikan.

3.5.4. Studi Pustaka

Adalah kegiatan untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau

masalah yang menjadi objek penelitian atau topik cerita yang diusung dalam karya

tulis non ilmiah(misalnya novel).

Umumnya studi kepustakaan ini lebih sering dilakukan penulis karya

ilmiah karena memang memiliki aturan dan ketentuan yang lebih tegas, dibanding

dengan karya tulis non ilmiah. Kemudian istilah ini menjadi familiar untuk

kegiatan penelitian, sebab penelitian diawali perlu proposal rencana penelitian.

Rencana penelitian ini sudah menuntut peneliti untuk membuat studi kepustakaan

tadi. Selain melakukan penelitian, peneliti juga perlu menulis laporan hasil

peneliti dan kemudian melakukan studi kepustakaan lagi.

Dimana hasil penelitian bisa berupa artikel ilmiah yang diterbitkan ke

jurnal. Bisa juga berupa buku yang diterbitkan ke masyarakat luas melalui

penerbit dan toko buku, baik toko buku online maupun offline. Supaya

pembahasan tentang studi pustaka ini lebih mudah dipahami, maka akan

difokuskan dulu ke karya tulis. Baik itu karya tulis ilmiah maupun non ilmiah.

meskipun studi kepustakaan lebih wajib dilakukan saat menulis karya ilmiah .

bukan berarti karya tulis non ilmiah tidak membutuhkannya.


BAB I IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak Dan Keadaan Geografis

Secara geografis Kabupaten Konawe Utara terletak di bagian selatan

khatulistiwa, melintang dari Utara ke bagian Selatan antara 02’97’ dan 03’86’ LS,

dari membujur Barat ke Timur antara 121’49’ dan 122’49’ BT. Kabupaten

Konawe Utara memiliki luas wilayah sebesar 5.003,39 km2 atau sekitar 13,38

persen dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Sedangkan luas wilayah

perairan laut (termasuk perairan Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe

utara) kurang lebih 11.960km2 atau 10,87 persen dari luas perairan Sulawesi

Tenggara. Secara administrasi Kabupaten Konawe Utara berbatasan dengan:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Morowali (provinsi

Sulawesi Tengah) dan Kecamatan Routa (Kabupaten Konawe).

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Morowali (Provinsi

Sulawesi Tengah) dan Laut Banda.

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bondoala, Kecamatan

Amonggedo, Kecamatan Meluhu, Kecamatan Anggaberi, Kecamatan

Tongauna, dan Kecamatan Abuki (Kabupaten Konawe).

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Latoma Kabupaten

Konawe dan Kabupaten Kolaka.

Secara administratif Kabupaten Konawe Utara terdiri dari 13 Kecamatan.

Kecamatan Wiwirano adalah Kecamatan yang mempunyai wilayah paling luas

yaitu 968,06 km2 atau 19,34 persen dari seluruh wilayah Kabupaten Konawe
utara. Sedangkan Kecamatan dengan luas wilayah yang paling sempit adalah

Kecamatan Motui dengan luas 61,30 km2 atau hanya 1,22 persen dari luas

Kabupaten Konawe Utara.

Selain itu, wilayah Kabupaten Konawe Utara juga terbagi atas 159 desa dan 11

Kelurahan, dengan jumlah desa yang terbanyak terletak di Kecamatan Asera dan

Oheo, yaitu masing-masing 17 desa. Sementara Kecamatan dengan jumlah desa

paling sedikit adalah kecamatan Lasolo Kepulaun, yaitu 6 desa.

Kecamatan Lembo merupakan bagian Kabupaten Konawe Utara yang

telah terbentuk berdasarkan UU nomor 3 tahun 2010 provinsi Sulawesi tenggara.

Secara geografis Kecamatan Lembo terletak di selatan Kabupaten Konawe Utara,

melintang dari utara ke selatan antara 122`39062` dan 03`7593` lintang selatan,

membujur dari barat ke timur antara 122`32227` dan 03`74206` bujur timur.

Kecamatan Lembo ini tempat yang cocok untuk berkebun dan bercocok tanam

pada musim penghujan atau musim timur. Pada musim barat atau musim

kemarau, masyarakat Kecamatan Lembo kembali membersihkan lahan

perkebunannya untuk persiapan panen seperti cengkeh, merica, durian, jambu

mete, kelapa, serta masih banyak lagi tanaman-tanaman lain seperti, umbi-

umbian, jagung. Dalam membahas tentang keadaan geografis Kecamatan Lembo

Kabupaten Konawe Utara akan diuraikan pula tentang luas wilayah dan batas

wilayah.

4.1.1 Luas wilayah

Luas wilayah Kecamatan Lembo yaitu 7.912 Ha. atau 1,57 % dari luas

wilayah Kabupaten Konawe Utara. Kecamatan Lembo terdiri dari 11 (sebelas)


desa dan 1 (satu) Kelurahan yaitu Desa Tongalino, Desa Taipa, Desa Puusiambu,

Desa Bungguosu, Kelurahan Lembo, Desa Pasir Putih, Desa Padaleu, Desa

Puulemo, Desa Alo-Alo, Desa Lapulu, Desa Laramo, dan Desa Watu Wula. Luas

wilayah menurut desa dan kecamatan sangat beragam. Kelurahan Lembo

merupakan wilayah desa/kelurahan yang terluas sedangkan Desa Pasir Putih

merupakan wilayah desa/kelurahan terkecil. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada

tabel berikut ini.

Tabel 1. Luas Wilayah dan Persentase Terhadap Jumlah Menurut


Desa/Kelurahan, Kecamatan Lembo Tahun 2007
Desa/Kelurahan Luas (KM2) Persentase%
1. Tongalino 5.94 7.51
2. Tiapa 4.57 5.78
3. Puusiambu 4.26 5.38
4. Bungguosu 8.03 10.15
5. Lembo 13.56 18.40
6. Pasir Putih 3.75 4.74
7. Padaleu 5.01 6.33
8. Puulemo 11.71 14.80
9. Alo-Alo 7.47 9.15
10. Lapulu 4.62 5.84
11. Laramo 5.24 6.62
12. Watu Wula 3.96 5.17

4.1.2  Batas Wilayah      

                Batas wilayah Kecamatan Lembo sebagai berikut:

a. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lasolo

b. sebelah timur berbatasan dengan laut banda

c. sebelah selatan berbatasan dengan beberapa Kecamatan di Kabupaten

Konawe Utara

d. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Konawe

4.2 Demografi
4.2.1   Jumlah Penduduk

         Berdasarkan data badan pusat statistik, jumlah penduduk Kabupaten

konawe Utara tahun 2015 sebanyak 58.401 jiwa yang terdiri dari 30.499 jiwa laki-

laki (53,20%) dan 27,902 jiwa perempuan (46,80%). Angka sex rasio sebesar

109,31%. Ini berarti bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 109

penduduk laki-laki.

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Kabupaten


Konawe Utara Tahun 2010 s.d 2016
Tahun Jenis Kelamin Jumlah Jumlah Rasio
Laki-laki Perempuan Penduduk KK Jenis
Kelamin
2010 24.346 23.579 47925 10.892 103,25
2011 27.519 25.042 52.561 11.318 109,89
2012 28.088 25.569 53.567 11.779 109,85
2013 28.665 26.087 54.752 12.167 109,88
2014 29.902 27.175 57.077 12.684 110,03
2015 30.499 27.902 58.401 13.098 109,31
2016 32,607 28.680 61.278 13.542 113,69
Ket: angka sangat sementara
Sumber: Kabupaten Konawe Utara dalam angka, Tahun 2016

       Sumber utama data kependudukan adalah sensus penduduk yang

dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali, sensus yang terakhir dilaksanakan pada

tahun 2010. Jumlah penduduk tahun 2017 menggunakan angka proyeksi jumlah

penduduk, penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah teritorial

republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih, dan atau mereka yang berdomisili

kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap, rata-rata pertumbuhan penduduk

adalah angka yang menunjukan tingkat pertumbuhan penduduk pertahun dalam

jangka waktu tertentu, kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk per km

persegi. Rasio jenis kelamin adalah perbandingan antara banyaknya penduduk

laki-laki dengan banyaknya penduduk perempuan, pada suatu daerah dan waktu
tertentu, biasanya dinyatakan dengan banyaknya penduduk laki-laki untuk 100

penduduk perempuan.

Struktur umum, jenis kelamin dan rumah tangga. Struktur umur penduduk

pada suatu daerah sangat ditentukan oleh perkembangan tingkat kelahiran,

kematian, dan migrasi. Rumah tangga adalah seseorang atau kelompok orang

yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal

bersama serta pengolahan makan dari satu dapur. Anggota rumah tangga adalah

semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang

berada dirumah pada waktu pencacahan maupun yang sementara tidak ada. Rata-

rata anggota rumah tangga adalah angka yang menunjukan rata-rata jumlah

anggota rumah tangga per anggota rumah tangga.

Angka beban tanggungan adalah perbandingan antara jumlah penduduk

yang termasuk dalam usia tidak produktif (0-14 tahun/penduduk usia muda dan 65

tahun ke atas/penduduk usia tua), dengan penduduk usia produktif (15-64).

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Desa/Kelurahan


dan Jenis Kelamin, Kecamatan Lembo
Desa/Kelurahan Laki-Laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis Kelamin
1 2 3 4 5
1. Toanggalino 153 140 293 109
2. Taipa 284 275 559 103
3. Puusiambu 192 179 731 107
4. Bungguosu 215 205 420 104
5. Lembo 458 425 883 107
6.Pasir Putih 267 259 526 103
7. Padaleu 211 207 418 101
8. Puulemo 342 318 660 108
9. Alo-Alo 131 125 256 104
10. Lapulu 106 84 190 126
11. Laramo 140 119 259 117
Watu Wula 105 100 205 105
Jumlah 2,644 2,396 5,040 11o
4.2.2 Pendidikan

    Sarana pembangunan pendidikan dititikberatkan pada peningkatan mutu dan

perluasan kesempatan belajar di semua jenjang pendidikan dimulai dari kegiatan

prasekolah (taman kanak-kanak) sampai dengan perguruan tinggi. Upaya

peningkatan mutu pendidikan yang yang ingin dicapai tersebut dimaksudkan

untuk menghasilkan manusia berkualitas. Pelaksanaan pembangunan di

kecamatan lembo mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Indikator yang

dapat mengukur tingkat perkembangan pembangunan pendidikan di Kecamatan

Lembo seperti banyaknya sekolah dan guru, perkembangan berbagai rasio dan

sebagainya. Tidak/belum pernah sekolah adalah mereka yang tidak pernah atau

belum pernah terdaftar dan tidak pernah atau belum pernah aktif mengikuti

pendidikan di suatu jenjang pendidikan formal maupun nonformal (paket A/B/C)

termasuk juga yang tamat/belum tamat taman kanak-kanak tetapi tidak

melanjutkan ke sekolah dasar.

Masih bersekolah adalah mereka yang terdaftar dan aktif mengikuti

pendidikan di suatu jenjang pendidikan formal maupun nonformal (paket A/B/C)

yang berada dibawah pengawasan kemendiknas, kementerian agama(kemenag),

instansi negeri lain maupun instansi swasta, baik pendidikan dasar, menengah

maupun pendidikan tinggi. Bagi mahasiswa yang sedang cuti dianggap masih

bersekolah. Tidak bersekolah lagi adalah mereka yang pernah terdaftar mengikuti

pendidikan di suatu jenjang pendidikan formal maupun nonformal, tetapi pada

saat pencacahan tidak lagi terdaftar dan tidak aktif mengikuti pendidikan. Tamat
sekolah adalah menyelesaikan pelajaran yang ditandai dengan lulus ujian akhir

pada kelas atau tingkat terakhir suatu jenjang pendidikan formal maupun

nonformal (paket A/B/C) di sekolah negeri maupun swasta dengan mendapatkan

tanda tamat belajar/ijazah. Seseorang yang belum mengikuti pelajaran pada kelas

tertinggi tetapi telah mengikuti ujian akhir dan lulus dianggap tamat sekolah.

Dapat membaca dan menulis artinya, dapat menulis kata-kata/kalimat sederhana

dengan suatu aksara tertentu. Sekolah adalah lembaga pendidikan formal dimulai

dari pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan yang dicatat adalah

pendidikan formal berdasarkan kurikulum kementerian pendidikan nasional,

termasuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren dengan

memakai kurikulum kementerian pendidikan nasional, seperti Madrasah

Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), dan Madrasah Aliyah (MA).

Pondok pesantren/madrasah diniyah adalah sekolah yang tidak memiliki

kurikulum dari kementerian pendidikan nasional.

      Madrasah Ibtidaiyah adalah lembaga pendidikan berciri khas Islam pada

jenjang Sekolah Dasar. Madrasah Tsanawiyah adalah lembaga pendidikan berciri

khas Islam pada jenjang Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah pada

jenjang Sekolah Menengah Atas.

4.2.3 Angkatan Kerja

      Sumber utama data ketenagakerjaan adalah data desa dan data sekunder yang

berasal dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten konawe utara.

Tenaga kerja adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang dapat dibedakan

atas dua kelompok yaitu: 13.1 angkatan kerja, adalah penduduk usia 15 tahun ke
atas (penduduk usia kerja) dan mempunyai pekerjaan (bekerja) atau sedang

mencari pekerjaan (pengangguran terbuka). Penduduk yang bekerja tidak hanya

meliputi penduduk yang sedang bekerja, tetapi juga sementara tidak bekerja

karena suatu sebab, misalnya pegawai yang sedang cuti, petani yang sedang

menunggu panen dan sebagainya. Sedangkan pencari kerja adalah penduduk yang

tidak memiliki pekerjaan tetapi sedang mencari pekerjaan angkatan kerja seperti

diketahui sangat tergantung pada struktur penduduk, sifat demografis, serta

keadaan sosial ekonomi daerah.

Bukan angkatan kerja, adalah mereka yang berumur 15 tahun ke atas yang

kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya (tidak aktif

secara ekonomis). Penduduk usia kerja adalah yang berumur 15 tahun ke atas,

bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau

membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dalam jangka waktu paling

sedikit 1 secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja

keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi).

Jumlah jam kerja seluruhnya adalah jumlah jam kerja yang digunakan untuk

bekerja (tidak termasuk jam kerja istirahat, resmi dan jam kerja yang digunakan

untuk hal-hal diluar pekerjaan).

Lapangan Usaha adalah bidang kegiatan dari pekerjaan/tempat, bekerja

dimana sekarang itu bekerja. Klasifikasi lapangan usaha mengikuti klasifikasi

baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) dalam 1 digit. Status pekerjaan adalah

kedudukan seseorang dalam unit usaha/kegiatan dalam melakukan pekerjaan.

Pekerja tak dibayar adalah seseorang yang bekerja, membantu, usaha, untuk
memperoleh penghasilan/keuntungan yang dilakukan salah seorang anggota

rumah tangga, atau bukan anggota rumah tangga tanpa mendapat upah/gaji.

Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah perbandingan antara

jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja (umur 15 tahun ke atas),

tingkat kesempatan kerja (TKK) adalah perbandingan antara penduduk usia kerja

yang mempunyai pekerjaan (sedang bekerja atau sementara tidak bekerja),

terhadap total penduduk usia kerja yang masuk dalam angkatan kerja.

4.2.4 Mata Pencaharian

     Sistem ekonomi atau mata pencaharian hidup yang berlaku pada masyarakat

kecamatan lembo pada umumnya masih mengharapkan potensi alam yang ada

pada masyarakat Kecamatan Lembo, dengan kata lain bahwa mata pencaharian

yang utama dikelola dalam masyarakat Kecamatan Lembo belum dapat fasilitas

yang memadai untuk mengembangkan potensinya. Dengan kondisi inilah, sebagai

masyarakat hanya mengandalkan dan mengharapkan potensi alam yang akan

dikelola secara tradisional oleh para petani.

Kecamatan Lembo merupakan wilayah yang cukup banyak memiliki

kekayaan alam dan beragam, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian

sebagai petani, pedagang, dan buruh. Komoditas petani pada umumnya ditanam

oleh masyarakat Kecamatan Lembo adalah kacang tanah, ubi, jagung, kelapa,

cengkeh, durian, merica, jambu mete, berbagai macam sayur-sayuran, dan masih

banyak lagi jenis tanaman lain. Hasil bumi yang dihasilkan oleh para petani tiada

lain hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.


Seiring perkembangannya zaman, masyarakat Kecamatan Lembo tidak

dapat lagi bergantung pada sistem ekonomi subsistem semacam itu. Karena

mereka juga membutuhkan uang untuk membiayai pendidikan, kesehatan, pakain,

dan berbagai kebutuhan lainnya yang membutuhkan uang. Oleh karena itu, untuk

memperoleh uang tersebut maka masyarakat menjual hasil panennya kepada

siapapun, baik anggota komoditas maupun dijual keluar daerah.

Disamping itu, masyarakat yang berpotensi sebagai petani, ada juga yang

berpotensi ganda yaitu sebagai petani dan buruh tani, petani yang merangkap

sebagai buruh tani ini dilakukan untuk menambah pendapatan mereka, di samping

mata pencaharian yang disebut di atas masih ada masyarakat yang bekerja sebagai

pedagang, wirausaha, beternak, pegawai negeri, dan pekerjaan lain, walaupun

jumlah yang paling sedikit dari jumlah yang ada di kecamatan lembo. Dengan

adanya perkembangan zaman maka kebutuhan masyarakat semakin meningkat,

oleh karena itu, ada sebagian masyarakat kecamatan lembo yang merantau ke

berbagai wilayah yang di Indonesia, bahkan hingga menjadi TKI di Malaysia.

Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa,

masyarakat Kecamatan Lembo yang berpotensi pada satu bidang, tidak hanya

mengandalkan bidang tersebut. Masyarakat yang berpotensi sebagai petani

merupakan profesi yang dominan di kecamatan lembo. Namun yang berpotensi

sebagai pedagang, pegawai negeri sipil, maupun buruh tani merupakan profesi

yang minoritas dan tidak hanya mengandalkan satu pekerjaan yang ditekuninya.
4.3 Aspek Sosial Budaya

4.3.1 Asal Usul Etnis Tolaki

Seperti juga suku-suku bangsa lainnya yang ada di Nusantara ini yang

mengenal asal usul mereka melalui berbagai cerita mitos maupun melalui sejarah,

suku Tolaki juga mengenal asal usulnya berdasarkan cerita mitos dan fakta sejarah

yang ada. Dalam atlas etnografi sedunia, Prof. Dr. Koentjaraningrat (1959)

menjelaskan bahwa suku Tolaki sebagai salah satu suku bangsa dari lebih kurang

250 suku bangsa di Nusantara. Terdapat banyak karya secara antropologis

sosiologis mengenai suku Tolaki. Beberapa tulisan bersifat sistematis, kultural,

dan universal. Hal tersebut terdapat dalam tulisan, diantaranya J.N. Vosmaer

(1831,1839), Paul und Friedrich Sarasin (1903), Dr. Johannes Elbert (1911),

Hendriek van der Klif (1920, 1921, 1922), Dr. Albert C. Kruyt (1922), F. Treffers

(1914), L. Fontijne (1944, 1949), Dr. Dinah Bergink (1982), Prof. Dr. H.

Abdurrauf Tarimana (1985, 1993 dan 1999), Prof. Drs. H. Rustam Tamburaka

(2004), Drs. H. Muslimin Su’ud (2006), dan Cristian F.D Jong (2010).

Dalam sumber Portugis, orang Tolaki dikenal dengan sebutan Talaki. Menurut

Albert C. Kruyt (1922) dalam tulisannya mengenai identitas orang Tolaki di

Mekongga (kini Wilayah Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur

telah menggunakan fonem To Laki, dan sepuluh tahun sebelumnya oleh Treffers

(1912), dan tujuh tahun lebih awal Paul dan Frederic Sarasin (1903), masing-

masing telah menggunakan istilah “Tololaki” atau “Tolalaki”, atau Talaki, sama

halnya orang Bugis, Wuna, dan lainnya bila mereka menyebut orang Tolaki. Suku

bangsa Tolaki atau orang laki juga disebut Tokea. Sumber asing seperti Belanda,

Inggris, dan Jerman menyebut Lolaki atau Lalaki,sedangkan orang-orang Bugis


menyebut orang Tolaki dengan sebutan Tokea. Suku yang berdiam di wilayah

Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kota Kendari, Kolaka,

Kolaka Utara sekarang termasuk Provinsi Sulawesi Tenggara.

Menurut Kennedy (1955), suku bangsa ini terbagi lagi menjadi beberapa sub

suku, yaitu Wiwirano, Labeau, Aserawanua, Mekongga, Laiwoi, dan Tamboki.

Jumlah populasi adalah 150.000 orang. Pada tahun 2006 populasi orang Tolaki di

Konawe berjumlah 280.000 jiwa, Tolaki di Mekongga Kolaka berjumlah 50.000

jiwa, Tulambatu 700 orang, Landawe 400 jiwa, Routa 100 orang, Rahambuu

5.000 jiwa, dan Kodeoha 1.500 jiwa.

Para peneliti dan zending secara etnografis telah melukiskan kebudayaan

Tolaki, tetapi sebagian besar pembahasannya mengenai adat istiadat seperti

pranata kalo, perkawinan, hukum adat, dan sistem sosial ekonomi. Artinya, tidak

satupun ahli dan budayawan ini menjelaskan bagaimana sejarah budaya tari

tradisional seperti lulo yang ada di masyarakat suku Tolaki (Melamba, 2010:

252).

Salah seorang guru besar di Universitas Halu Oleo, yaitu Prof.Dr. Anwar

Hafid, M.Pd., menjelaskan asal usul masyarakat Tolaki yang mendiami

Kabupaten Konawe. Profesor di bidang pendidikan luar sekolah, tetapi memahami

sejarah Sulawesi Tenggara. Penjelasan tentang Tolaki dikaitkan dengan kerajaan

Konawe. Cerita yang diangkatnya adalah cerita atau mitos Wekoila. Dalam mitos

orang Tolaki, Wekoila ini adalah perempuan yang turun dari kahyangan. Saat

turun dari kahyangan Wekoila bersama dengan saudara laki-lakinya


Larumbalangi. Keduanya turun di daerah Koloimba (daerah Kolaka Timur).

Selanjutnya, keduanya berpisah, yaitu Wekoila ke Konawe dan jadi raja di daerah

itu. Sementara Larumbalangi ke Mekongga juga menjadi raja di daerah tersebut.

Wekoila kawin dengan Langgai Moriana di Konawe, sementara Larumbalangi

kawin dengan perempuan di Mekongga. Mereka berdualah yang menurunkan

raja-raja di kerajaan Konawe dan kerajan Mekongga. Bagi Anwar, mitos tentang

Wekoila ini tidak sekadar berakhir bahwa dia datang dari langit. Menurutnya,

Wekoila ini adalah salah seorang saudara Sawerigading, yaitu We Tenri Rawe

yang melakukan perjalanan sampai ke daerah Konawe. Sampai di daerah tersebut,

Wekoila atau We Tenri Rawe berucap, yaitu koni we (bugis; inilah tempatnya).

Menurutnya kata Konawe boleh jadi berasal dari kata tersebut koni we. Jadi

menurut Anwar, inilah yang menyebabkan adanya kesamaan bahasa antara orang-

orang Tolaki dengan beberapa suku di Luwu Utara.

Dalam versi Abdurrauf Tarimana mitos Wekoila juga diambil untuk

menjelaskan asal muasal Tolaki. Cerita itu dikutip dari Treffers (1914) dan Kruijt

(1921). Akan tetapi, ada beberapa mitos lain tentang asal muasal Tolaki. Pertama,

cerita Oheo. Dalam cerita ini dikatakan bahwa orang pertama atau nenek moyang

suku Tolaki berasal dari Jawa, tepatnya dari kaki Gunung Arjuna. Orang yang

tidak diketahui namanya ini kawin dengan salah seorang dari tujuh bidadari, yaitu

Anawai Ngguluri yang turun dari kahyangan (Tarimana, 1989:51).

Cerita kedua adalah cerita Pasa’eno. Dalam cerita ini dikisahkan bahwa

Pasa’eno adalah putra Wesande yang hamil akibat minum air yang tertampung di
daun Pandang di tengah rimba, tepatnya di hulu Sungai Mowewe. Dalam bahasa

Tolaki “Ietoko bara ona ngiro’o ano mendia I Wesande. Te’embe hae tano langgi

wawo rapu,” (Karena I wasande sangat haus, ia tidak peduli lagi, langsung

diminumnya air di daun. Hanya karena itulah ia pun hamil).

4.3.2 Bahasa

Sebagai salah satu suku bangsa yang berada di wilayah daratan Provinsi

Sulawesi Tenggara, orang Tolaki memiliki bahasa tersendiri dalam proses

interaksi sehari-hari antar orang Tolaki. Sebagai bahasa sehari-hari bagi etnik

Tolaki, bahasa Tolaki hanya digunakan sebagai sarana interaksi dalam situasi

nonformal. Selain itu, dengan berbahasa orang Tolaki mengungkapkan

pengetahuan, pikiran, perasaan dan ide-ide dalam bentuk simbol.

Menurut Saifuddin (2005:292), sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan,

dan persepsi manusia terkandung dalam bahasa dengan suatu sistem simbol.

Untuk itu bahasa dalam kehidupan orang Tolaki sangat penting. Menurut

Littlejohn (dalam Engkus, 2008:4),melalui bahasalah, manusia memahami

realitas, berinteraksi, berpikir, dan merasakan. Saat ini penelitian terhadap bahasa

Tolaki belum banyak dilakukan oleh para ilmuwan bahasa, kecuali pada tahun

1918 H. Van der Klift pernah menulis karangan dengan judul Mededeelingen

Over de taal Van Mekongga (catatan-catatan tentang bahasa Mekongga). Di

samping itu, juga terdapat sua tu naskah yang ditulis oleh M.J. Gouveloos dengan

judul Spraakkunstt der Tolaki (Tata Bahasa Tolaki), tetapi tidak diterbitkan.

Selanjutnya pada tahun 1973 Tarimana menulis sebuah karangan yang berjudul
“Imbuhan dalam Bahasa Tolaki”. Naskah ini dibawakan dalam seminar yang

diadakan di Jakarta oleh Lembaga Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Masyarakat Tolaki akan melakukan proses interaksi dengan menggunakan

bahasa Tolaki apabila peserta/yang akan berkomunikasi adalah sesama orang

Tolaki. Akan tetapi, dalam situasi formal, seperti pertemuan, rapat atau forum

resmi lainnya bahasa Tolaki tidak dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam

kegiatan tersebut. Interaksi sesama masyarakat Tolaki tidak akan berlangsung

tanpa menggunakan bahasa. Hal ini sebagaimana diungkapkan Engkus (2008:6)

bahwa komunikasi tidak akan berlangsung dengan baik bila tidak ada simbol-

simbol (bahasa) yang dipertukarkan, sehingga apapun bentuknya, bahasa

merupakan hasil dari interaksi manusia.

Selain digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari sesama orang Tolaki,

bahasa Tolaki juga merupakan lambang suku Tolaki. Proses komunikasi akan

lebih efektif diantara sesama orang Tolaki apabila bahasa Tolaki digunakan

sebagai bahasa pengantarnya. Hal ini dapat dilihat setiap hari, seperti di pasar, di

pesta, di kantor, atau pada proses upacara adat orang Tolaki. Dengan demikian,

bahasa di sini berperan penting dalam komunikasi sesama orang Tolaki. Menurut

Engkus (2008:8), bahasa menjadi inti dari komunikasi sekaligus sebagai pembuka

realitas bagi manusia. Dengan komunikasi, manusia membentuk masyarakat dan

kebudayaannya. Di pihak lain menurut Liliweri (2004:130), bahasa merupakan

medium untuk menyatakan kesadaran, tidak hanya sekedar mengalihkan

informasi, tetapi juga menunjukkan kesadaran dalam konteks sosial. Menurut


orang Tolaki, salah satu kekayaan budaya yang dimiliki orang Tolaki adalah

bahasa Tolaki sebagai bahasa pemersatu sesama etnik Tolaki.

Saat ini ternyata bahasa Tolaki tidak hanya digunakan khusus orang Tolaki

sebagai alat komunikasi, tetapi ada juga etnik lain yang sudah menggunakan

bahasa Tolaki sebagai alat komunikasi sehari-hari, terutama bagi mereka (etnik

lain) yang telah lama tinggal dan berinteraksi dengan orang Tolaki. Mereka telah

fasih menggunakan bahasa Tolaki, apalagi yang melakukan perkawinan antar

etnik (etnik Tolaki dengan etnik lainnya). Selain itu, bahasa Tolaki dominan

digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, baik dirumah maupun di tempat-

tempat pertemuan dan keramaian. Hal itu membuat mereka sangat mudah

mempelajari bahasa Tolaki. Keberadaan bahasa Tolaki sebagai alat komunikasi di

daerah orang Tolaki memaksa mereka yang berasal dari etnik lain harus

mempelajari bahasa Tolaki. Tujuannya adalah agar mereka lebih mudah untuk

melakukan sosialisasi dan interaksi dengan orang Tolaki. Apabila hal ini

dilakukan, mereka tidak mengalami kesulitan untuk tinggal dan diterima

masyarakat dimana mereka tinggal.

Menurut Kruijt (1921) dalam Tarimana(1989:70), bahasa Tolaki merupakan

salah satu bahasa yang tergolong dalam rumpun bahasa Bungku Laki. Di dalam

rumpun bahasa itu termasuk pula bahasa Mori. Bahasa Tolaki bersama dengan

bahasa Mopute, Landawe, Moronene, dan bahasa Laiwoi termasuk di dalam

kelompok bahasa Bungku (Esser,1972;Tarimana, 1989:70). Apabila ditinjau dari

aspek dialek bahasa Tolaki sedikitnya memiliki dua macam dialek, yaitu dialek

bahasa Tolaki Konawe dan dialek bahasa Tolaki Mekongga. Dialek bahasa
Konawe setiap hari digunakan di wilayah tertentu, seperti Tolaki yang berdomisili

di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kota Kendari,

sedangkan dialek Mekongga setiap hari digunakan di wilayah, seperti orang

Tolaki yang tinggal di Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur.

Kedua dialek tersebut memiliki sedikit perbedaan dalam

melafalkan/mengucapkan. Artinya, dialek Konawe lebih lurus dalam pengucapan

kalimat, Sedangkan dialek Mekongga memiliki irama dan lebih panjang. Dari segi

kalimatnya terdapat kalimat yang sama, tetapi memiliki arti yang berbeda. Ada

juga kalimat yang sama tetapi penempatan dalam ucapannya berbeda pula,

walaupun sesungguhnya bermakna sama.

Lebih lanjut Tarimana mengatakan bahwa bahasa golongan menengah

adalah bahasa yang dipakai dikalangan umum masyarakat. Berbeda dengan

bahasa golongan bangsawan yang penuh dengan perasaan melebihkan,

meninggikan, membesarkan, pada bahasa ini antara pembicara dan pendengar tak

ada perbedaan derajat meskipun berbeda umur dan status sosial dalam masyarakat

Tolaki. Dapat dilihat bagaimana penggunaan bahasa golongan menengah dalam

etnik Tolaki, misalnya leundo ato pongga, artinya “mari kita makan”, akuto

Mo’iso (saya sudah akan tidur), imbe nggo lako’amu (kemana hendak kamu

pergi). Contoh tersebut merupakan bentuk bahasa yang digunakan dalam

berkomunikasi bagi golongan menengah. Hal itu sangat berbeda dengan bahasa

yang digunakan ketika melakukan komunikasi dengan seseorang dari golongan

bangsawan. Golongan menengah lebih mengedepankan komunikasi tercapai

daripada melihat status sosial seseorang.


Bahasa golongan budak menurut Tarimana (1989:71 – 72) adalah bahasa

yang dipakai dalam kalangan budak. Bahasa ini disebut juga bahasa dalo langgai

(bahasa orang yang tingkat pendidikan dan pengetahuannya rendah atau lebih

dikenal istilah bahasa pasar), maksudnya bahasa yang kurang mengikuti aturan

bahasa pada umumnya agar mudah dipahami oleh pendengarnya. Bahasa ini

tampak dalam wujud tulura bendelaki (bahasa gagah, tetapi kurang isinya), tulura

magamba (bahasa yang menunjukkan kesombongan), dan dalam wujud tulura

te’oha-oha (bahasa paling kasar kedengarannya), sebagai lawan dari bahasa sopan

santun. Contoh bahasa kalangan budak dalam etnik Tolaki adalahakuto mongga

me’aroakuto (saya sudah akan makan karena saya sudah lapar), akuto lako

merumbahako no mokombo’isongguto (saya sudah akan pergi berbaring karena

saya sudah mengantuk).

Selain dari penggolongan dan teknik berbicara, pada bahasa Tolaki dapat

pula dilihat dari segi teknik berbicara dan makna pembicaraan serta maksud dan

tujuan pembicaraan. Hal ini juga terdapat pada bahasa Tolaki. Menurut Tarimana,

ada berbagai gaya bahasa Tolaki dalam melakukan proses interaksi sesama orang

Tolaki, seperti bahasa resmi, bahasa akrab (gaul), dan bahasa kiasan. Dalam

berkomunikasi bahasa Tolaki tidak hanya menggunakan bahasa verbal yang telah

dipaparkan di atas dengan berbagai dialek dan penggolongannya, tetapi digunakan

juga bahasa nonverbal (bahasa lambang). Tarimana memberikan contoh bahasa

lambang dalam bahasa Tolaki adalah bahasa lambang kalo, yaitu bahasa isyarat

dengan menggunakan kalo sebagai alat ekspresi dan komunikasi. Dengan

kalo orang Tolaki melakukan komunikasi tanpa kata-kata (verbal). Kalo dalam
kehidupan orang Tolaki memiliki makna. Dengan menggunakan bahasa lambang

kalo dalam berkomunikasi sipenerima (orang Tolaki) telah dapat memahami

maksud, tujuan dan isi pesan yang disampaikan.

Hal lain yang juga terdapat dalam bahasa Tolaki adalah tingkat dan jenis

bahasa, selain gaya bahasa Tolaki di atas. Artinya, bahasa Tolaki juga mengenal

tingkat dan jenis bahasa Tolaki dalam berkomunikasi sehari-hari sesama orang

Tolaki. Tarimana membaginya dengan berbagai jenis dan tingkat. Pertama,tulura

ndomotu’o (bahasa orang tua). Jenis bahasa ini adalah bahasa yang digunakan

dalam berkomunikasi bagi orang-orang yang memiliki kedudukan, karismatik,

ketua adat, tokoh adat pada suku Tolaki. bahasa ini dipergunakan dalam

menyampaikan nasihat, petuah, ajaran-ajaran leluhur bagi hidup dan kehidupan,

terutama kepada generasi muda. Kedua, tulura mbandita atau tulura andeguru

(bahasa ulama). Bahasa Tolaki ini adalah jenis bahasa yang digunakan para

pendeta, ulama, dan tokoh agama lainnya dalam mengajarkan dan menyebarkan

nilai-nilai agama dalam kehidupan orang Tolaki. Selain itu, juga digunakan untuk

menyampaikan ilmu dan pengetahuan tentang dunia hakiki, dunia metafisika,

dunia gaib, dan dunia akhirat. Ketiga, tulura ndolea atau tulura mbabitara (bahasa

upacara adat). Bahasa ini adalah bahasa Tolaki yang digunakan untuk

berkomunikasi bagi tokoh adat dalam melaksanakan upacara adat orang Tolaki.

Menurut Tarimana (1989:73), bahasa upacara adat ini adalah bahasa yang

digunakan dalam berkomunikasi pada kegiatan, adat seperti upacara adat

perkawinan dan peradilan. Dalam peradilan adat bahasa tersebut

mengkomunikasikan harapan-harapan agar pihak yang bersengketa dapat segera

berdamai dan tidak terulang lagi. Di pihak lain dalam proses perkawinan bahasa
adat mengomunikasikan pernyataan-pernyataan pujian terhadap keluarga pihak

wanita dan merendahkan keluarga pihak pria. Keempat, tulura mbu’akoi (bahasa

dukun). Bahasa dukun ini dalam kehidupan orang Tolaki memiliki nama lain

yakni, tulura mesomba (bahasa menyembah) dan tulura mongoni-ngoni (bahasa

meminta-minta), bahasa Tolaki tersebut adalah bahasa yang digunakan oleh para

dukun dalam proses pengobatan untuk menyembuhkan penyakit pada orang

Tolaki. Apabila dahulu orang Tolaki terserang penyakit sebelum adanya petugas

rumah sakit (dokter atau asisten dokter), orang Tolaki percaya bahwa sakitnya

disebabkan oleh makhluk gaib. Jadi untuk penyembuhannya akan dihadirkan

seorang dukun. Selain itu, bahasa dukun juga digunakan oleh seorang dukun

dalam upacara ritual-ritual adat Tolaki lainnya. Bahasa dukun ini banyak

mengomunikasikan penyembahan, memuja, memuji, dan meminta perlindungan

kepada makhluk halus, roh nenek moyang, dewa dan Tuhan agar dirinya dan

banyak orang, khususnya orang yang diupacarai terhindar dari aneka ragam bala

bencana. Di samping itu, juga mengharapkan berkah dari Tuhan.

4.3.3 Kepercayaan Dan Agama

Pada masa kerajaan dahulu, Islam belum menjadi bagian dari kehidupan

masyarakat. Saat itu ada beberapa kepercayaan dan tradisi setempat yang

mewarnai kehidupan masyarakat,diantaranya mereka telah meyakini adanya

Tuhan Yang Mahakuasa yang disebutnya o ombu (Yang disembah atau yang

dipuja). Meskipun namanya o ombu, dalam lantunan doa, biasanya justru mereka

mengatakan po’eheno sangia uarana lahuene (semoga kehendak Tuhan, tetesan

langit tercurah kepada kita sekalian).


Dahulu masyarakat Tolaki juga mengenal adanya dewa-dewa.

Pertama,Sangiano O Wuta atau Sangiano Wonua,yaitu dewa bumi atau dewa

negeri. Dewa ini juga dikenal sebagai Guruno O Wuta,yakni penguasa tanah atau

penguasa negeri, yang mengatur dan memelihara kehidupan di atas bumi. Kedua,

Sangia I Puri Wuta,yakni dewa di pusat bumi, yang mengatur dan memelihara

kehidupan di dalam perut bumi. Ketiga,Sangia I Puri Tahi,yakni dewa di dasar

laut, yang mengatur dan memelihara laut dari segala sumber air. Keempat, Sangia

I Asaki Ndahi,yakni dewa di seberang laut, yang menjaga musuh dari luar dunia.

Kelima,Sangia I Losono Oleo,yakni dewa di timur, yang mengatur dan

memelihara wilayah jagat di bagian timur. Keenam,Sangi I Tepuliano Oleo,yakni

dewa di barat, yang mengatur dan memelihara jagat di bagian barat. Ketujuh,

Sangia I Ulu Iwoi,yakni dewa di hulu sungai atau dewa di utara, yang menguasai

wilayah jagat di sebelah utara termasuk mengatur mengalirnya sumber air sampai

ke laut. Kedelapan,Sangia I Para Iwoi,yakni dewa di muara sungai atau dewa

selatan, yang menguasai wilayah jagat di bagian selatan termasuk menerima dan

mengatur masuknya air ke laut. Selain dewa, adapula konsepsi mengenai “dewi”

bagi orang Tolaki, yakni Sanggoleo Mbae (Dewi Padi). Dewa dan dewi inilah

yang diyakini merupakan penyambung lidah Tuhan, wakil Tuhan dalam

mengurusi kehidupan alam dan manusia di bumi (Raemon, 2010:57 – 58).

Demikian pula sosok dewi padi atau sanggoleo mbae yang oleh masyarakat

Tolaki juga dikenal sebagai roh padi. Dalam ritual pemujaan khususnya yang

terkait dengan pertanian, sosok sanggoleo mbae merupakan fokus dan dasar

adanya tari lulo ini. Dalam cerita mitos yang disampaikan oleh masyarakat Tolaki,

sanggoleo mbae hadir dalam wujud sosok wetuanggalaru. Sosok yang dahulu
kala digambarkan sebagai sosok yang pernah ada. Meskipun masih terdapat

kepercayaan mengenai adanya dewa di beberapa tempat di daerah Konawe,

dengan semakin kuatnya ajaran Islam di daerah ini yang dianut oleh mayoritas

penduduk Konawe dan sekitarnya, menunjukkan bahwa kepercayaan mengenai

dewa-dewa tersebut mulai terkikis sedikit demi sedikit khususnya di kalangan

golongan muda. Keyakinan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dan Maha

kuasa justru semakin kuat. Walaupun demikian, kepercayaan terhadap dewa-dewa

tersebut masih tetap berada dalam alam pikiran sebagian masyarakat Tolaki.

Dalam berhubungan dengan alam masyarakat Tolaki dalam beberapa tulisan

dianggap meyakini adanya roh-roh dalam berbagai benda yang terdapat di alam.

Misalnya, dalam batu, di pepohonan, atau di gunung-gunung. Roh-roh yang ada di

dalam benda-benda tersebut memiliki kekuatan. Kekuatan itu bisa memberikan

pengaruh yang baik bagi manusia, tetapi bisa pula mendatangkan hal-hal yang

jelek. Untuk menjaga agar roh di dalam benda-benda tersebut tidak mendatangkan

hal-hal buruk bagi manusia lalu dilakukan upacara-upacara persembahan di

tempat tersebut.

Roh halus diyakini ada yang jahat dan ada pula yang baik. Roh yang baik,

yakni o wali atau jin dan onitu mate atau roh orang yang meninggal. Sebaliknya,

roh yang jahat, antara lain onitu i ahoma atau setan, pondiana atau kuntilanak, o

so atau burung jahat penjelmaan manusia, dan o po yang merupakan roh orang

jahat yang gentayangan pada malam hari mengganggu manusia yang sedang tidur.

Roh halus yang jahat inilah yang menimbulkan banyak penyakit tertentu. Dalam

kaitan dengan aktivitas ritual masyarakat Tolaki, baik ritual penyembuhan

maupun penyembahan atau pemujaan khususnya pada akhir ritual mosehe atau
penyucian, mbusehe (pemimpin ritual) dalam rangkaian mantra atau pondotonao

yang dilafalkan berupaya meminta agar setan ataupun roh jahat lainnya menjauhi

kehidupan manusia. Dengan demikian, segala aktivitas mereka dapat berjalan

lancar dan penyakit yang mewabah dalam masyarakat tidak kembali lagi.

Masyarakat Tolaki juga meyakini bahwa roh jahat tersebut juga

mengganggu tanaman-tanaman yang ditanami di kebun dan di ladang mereka.

Oleh karena itu, penting bagi mbusehe agar setan dan makhluk halus jahat lainnya

menjauhi kehidupan manusia dan hidup dalam alamnya sendiri di mana roh-roh

jahat seharusnya bersemayam.

          Islam mulai masuk ke kerajaan Konawe pada masa pemerintahan Mokole

Tebawo, akhir abad XVI, kira-kira enam belas tahun setelah Buton menerima

Islam (sebelum tahun 1550). Akan tetapi, saat itu belum menjadi bagian dari

agama kerajaan. Islam saat itu disebarkan oleh pedagang dari Bugis dan Buton di

pesisir pantai. Proses penyebaran Islam saat itu melalui jalur-jalur perdagangan.

Pada penyebaran awal ini para penganjur Islam lebih banyak mengajarkan cara

membaca Alquran. Salah seorang di antaranya yang paling telaten mengajarkan

adalah pedagang-pedagang dari Bugis. Oleh karena itu, cara mengaji orang-orang

Konawe sampai saat ini mirip dengan cara mengaji orang Bugis,khususnya cara-

cara mengejanya. Inilah pola pertama penerimaan Islam, yaitu dengan cara

konveksi. Selain pola ini, juga biasanya melalui jalur politik. Inilah yang

dikemukakan oleh Mukti Ali sebagai tahap pertumbuhan kerajaan Islam (Ali,

1970). Jika pola ini dilihat di Konawe, secara resmi Islam diterima di kerajaan
ketika Lakidende menjadi raja di Konawe, yaitu diperkirakan pada sekitar tahun

1724 – 1786.

4.3.4 Keadaan Sosial Budaya

           Kecamatan Lembo merupakan salah satu daerah yang diperuntukan sebagai

daerah transmigrasi. Oleh karena itu, Kecamatan Lembo tidak hanya ditinggali

oleh satu etsi saja. Namun ada berapa etnis yang juga tinggal di daerah ini yaitu

etnis tolaki, etnis bugis. Meskipun Kecamatan Lembo merupakan daerah

transmigrasi namun masyarakat yang tinggal di daerah ini sangat menjunjung

tinggi rasa solidaritas dan saling menghargai satu sama lain. Toleransi yang terjadi

antara masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari bagaimana kompaknya mereka

akan tetapi juga dapat dilihat dari bagaimana masyarakat saling menghormati

perbedaan etnis.

Di Kecamatan Lembo itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari

menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bahasa daerah digunakan saat

masyarakat berinteraksi dengan sesama etnis. Sedangkan bahasa Indonesia itu

diguntukkan pada waktu tertentu seperti berkomunikasi dengan masyarakat yang

berasal dari etnis lain. Seiring perkembangan zaman, masyarakat sudah mulai

mengerti bahasa-bahasa daerah yang ada di kecamatan lembo. Hal ini terjadi

karena masyarakat sudah terbiasa mendengarkan percakapan saat mereka

berinteraksi satu sama lain. Selain itu, daerah ini tidak dipisahkan berdasarkan

etnis menjadi salah satu faktor pendukung yang kuat, karena semua etnis

bergabung dan bertetangga. Sehingga dapat menjalin silaturahmi yang baik dan

dapat saling menghargai.


Sistem pengetahuan masyarakat Kecamatan Lembo itu menggunakan dua

pola sistem pengetahuan yaitu pola tradisional (non formal) dan sistem

pengetahuan modern (formal). Sistem pengetahuan dalam pola tradisional (non

formal) yang berlaku adalah sistem tertutup. Sistem tertutup yaitu terlihat pada

saat pewarisan pengetahuan, khususnya dibidang ilmu pengetahuan lokal

misalnya doa-doa kesukuan yang dilakukan secara tertutup karena mengingat

banyaknya larangan yang tidak bisa dilanggar. Sedangkan sistem pengetahuan

modern (formal) yang dilakukan secara terbuka dan dilengkapi dengan fasilitas

yang lengkap dalam proses belajar mengajarnya dan melibatkan peran pemerintah

sebagai fasilitator dan pemegang kebijakan. Di kecamatan lembo itu sendiri masih

banyak tradisi dan budaya yang masih dilestarikan. Salah satunya adalah tradisi

lisan moanggo yang masih banyak dilakukan oleh etnis Tolaki.

4.4 Kesenian

        Potensi kesenian di Kabupaten Konawe Utara mencakup berbagai jenis.

Kesenian dalam arti luas tidak terbatas pada seni tari saja, tetapi juga pada seni

musik (vokal, instrumen, gabungan keduanya, seni kriya (dekorasi), seni

arsitektur (bangunan, lanskap halaman/taman), seni sastra (puisi, prosa), seni tata

busana, seni tata boga, dan sebagainya. Pada dasarnya semua itu adalah seni

bernuansa etnik.

Masyarakat Tolaki mengenal beberapa jenis kesenian musik dan tari, baik

musik vokal, instrumen, maupun gabungan keduanya. Dapat dikatakan bahwa

masyarakat Tolaki memiliki kekayaan musik dan tari yang tidak kalah dengan

kesenian daerah lain, tetapi banyak diantaranya mendekati kepunahan, bahkan

sebagian telah lenyap ditelan zaman. Jenis musik dan ragam tari yang tradisional
modern dalam acara-acara tertentu sering dipentaskan, seperti dalam pesta

perkawinan, acara hiburan, hari ulang tahun kota/kabupaten, provinsi, menjemput

tamu, dan acara festival budaya.

Berikut ini diuraikan beberapa jenis kesenian musik dan tari yang

berkembang. Sebagian diantara kesenian ini hidup populer dalam masyarakat

Tolaki di Kabupaten Konawe Utara. Gambaran potensi kesenian diawali dengan

potensi musik.

4.4.1 Kesenian Musik

Keberadaan musik di Kabupaten Konawe Utara erat kaitannya dengan

unsur-unsur adat dan religi. Artinya, dalam membicarakannya sering tidak dapat

dipisahkan kedua unsur tersebut. Sekarang ini beberapa warisan seni musik vokal

diantara sudah ada yang mendekati kepunahan, bahkan hilang ditelan zaman.

Berikut beberapa musik vokal dan instrumen yang pernah hidup dan berkembang

di masyarakat Tolaki.

1. Hũhũ, lagu untuk menidurkan anak.

2. O anggo, lagu yang menggambarkan puji-pujian terhadap sangia atau

dewa, terutama pada sanggoleo mbae (dewi padi). Selain itu, lagu ini juga

untuk mengiringi tari lulo ngganda atau monahu ndau (pesta panen)

sebelum digunakannya kanda-kanda wuta (alat musik yang konstruksinya

terdiri atas tanah yang dilubangi, ditutup dengan pelepah sagu dan sehelai

rotan yang dipukul dan mengeluarkan bunyi). Disamping itu, lagu o anggo

juga menggambarkan rasa kekaguman terhadap seorang pemimpin atau

mengandung nasihat atau petuah.


3. Taenango, lagu yang melukiskan kisah kepahlawanan.

4. Sua-sua, lagu yang melukiskan rasa ingin berkenalan.

5. Kabia, lagu-lagu percintaan.

6. Tebaununggu, lagu yang mengisahkan penyebaran agama Islam dari Aceh

ke Indonesia bagian timur.

Selanjutnya, seni instrumental dapat dikenal melalui alat-alat musik orang

Tolaki, antara lain sebagai berikut.

1. Kanda-kanda atau dimba wuta (alat musik yang konstruksinya terdiri atas

tanah yang dilubangi, ditutup dengan pelepah sagu dan sehelai rotan yang

dipukul dan mengeluarkan bunyi). Pada zaman dahulu alat musik ini

digunakan sebagai pengiring tari lulo, baik tari yang bersifat ritual maupun

untuk hiburan). Akan tetapi pada era perkembangan sekarang ini alat

musik pukul tersebut tidak digunakan lagi sebagaimana fungsinya.

2. Kanda-kanda oa atau kandengu-ndengu (alat musik dari bambu atau kayu

ringan yang dibelah).

3. Karandu (gong) adalah alat musik yang ditabuh. Dahulu gong berfungsi

untuk mengiringi tari lulo, tetapi sekarang fungsi gong tidak secara

tunggal mengiringi tari lulo. Kini gong sudah masuk instrumen musik

untuk tarian-tarian kreasi. Selain itu, gong hanya ditabuh ketika ada

kematian, terutama pada keturunan bangsawan Tolaki. Gong juga

berfungsi sebagai simbol adat perkawinan masyarakat Tolaki.

4. O dimba atau o kanda (sejenis tambur).Fungsi alat ini adalah untuk

mengiringi tari ritual lulo ngganda atau monahu ndau (pesta panen).
Secara fisik, okanda atau gendang terdiri atas beberapa bagian,antara lain

batang okanda, kulit binatang penutup okanda, pasak dan ikatan tali rotan,

pasak penguat ikatan, lubang ditengah hokanda, dua buah alat penabuh

okanda, dan dua buah kemiri. Dari semua bagian tersebut, ada beberapa

bagian dari o kanda tersebut yang memiliki makna simbolik, yakni pasak

atau opaso dan ikatan tali rotan atau o’ue dan dua buah kemiri atau wiau

yang secara simbolik menggambarkan realitas dalam kehidupan

masyarakat Tolaki. Selain instrumen tersebut, juga terdapat instrumen

musik yang merupakan gabungan beberapa alat musik yang terdiri atas

gong, gendang, dan rebana yang berfungsi sebagai pengiring tari kreasi.

5. Alat musik yang dipetik, seperti dimba-dimba nggowuna (alat bunyi dari

bambu), gambusu (gambus).

6. Alat musik yang ditiup, sepert iwuwuho (alat musik bambu) o suli (suling

yang terbuat dari bambu) dan ore-ore (alat musik dari tangkai daun enau

yang dilengkapi dengan tali benang). Ada juga jenis lain dari ore-ore (alat

musik dari bambu yang dipukulkan pada telapak tangan).

7. Musik bambu, orang Tolaki membuat alat musik dengan memanfaatkan

bahan-bahan dari alam, seperti bambu. Alat musik bambu merupakan alat

musik dengan tiga kelompok suara, yaitu melody,rhytm, dan bass. Melody

biasanya dimainkan dengan suling, bass dengan alat tiup bambu yang

berukuran agak besar (sama dengan fungsi trombone dalam musik

orchestra), dan rythm dimainkan dengan alat tiup yang berukuran lebih

kecil. Perkusinya adalah berupa gendang dari kulit kambing atau rusa.
Bambu yang ditiup disebut ” ndua-ndua”. Pada zaman dahulu kala ”ndua-

ndua” ini digunakan untuk alat komunikasi, yaitu memanggil seseorang

yang berada di kejauhan atau berada di seberang sungai atau seberang

gunung. Di pihak lain seruling yang ditiup namakan oleh suku Tolaki ”

wuwuho”. Pada zaman dahulu kala wuwuho digunakan pada saat melepas

lelah manakala sedang menunggu atau menjaga padi di ladang atau di

sawah dan pada saat menggembalakan kerbau(kinuku). Kemudian pada

suatu saat dipadukan antara ndua-ndua dan wuwuho dilengkapi dengan

dimba-dimba atau gendang dan dibentuk sedemikian rupa sehingga

berbentuk nada-nada yang beraturan. Selanjutnya diaransemen sehingga

didapatkan keharmonisan.

4.4.2 Kesenian Tari

Terkait dengan potensi kesenian tari di Kabupaten Konawe yang dikenal,

berkembang, dan menjadi ikon budaya bersama dan utama pada masyarakat

Tolaki, penulis akan menjelaskan beberapa macam seni tari yang bersifat

kontemporer, yaitu tari kreasi baru.

Tari kreasi baru ini digarap dari fenomena kehidupan masyarakat Tolaki di

Kabupaten Konawe. Berikut ini beberapa tari kreasi baru yang masih berkembang

dan dikenal oleh masyarakat Tolaki.

1.Tari Mondotambe

Tari mondotambe(tari penyambutan)merupakan tari yang ditampilkan

khusus oleh para gadis remaja dalam rangka penyambutan seorang tamu atau

pemimpin. Tarian ini dilakoni oleh delapan penari perempuan muda dan dua
penari lelaki sebagai pengawal. Para penari wanita mengenakan busana motif

tabere atau hiasan, sarung tenun Tolaki, dan aksesoris seperti ngaluh atau ikat

kepala, dan kalung. Dalam tarian berdurasi sekitar lima sampai sepuluh menit ini

beberapa penari perempuan membawa bosara atau bokor dari rotan, sedangkan

dua penari lelaki memegang senjata tradisional. Tari ini menggunakan gong atau

gendang sebagai pengiringnya.

2. Tari Umo’ara

Tari umo’ara(tarian perang) adalah tari yang khusus ditampilkan oleh dua

sampai tiga orang laki-laki dengan gerakan kaki melompat-lompat, tangan

memegang parang di sebelah kanan dan perisai di sebelah kiri diayunkan ke arah

teman penari yang dipandang sebagai musuh di medan peperangan.

3. Tari Modinggu

Tari dinggu atau menumbuk padi (Dinggu merupakan sentuhan

alu(penumbuk padi) yang dimainkan oleh pemuda/pemudi sehingga membentuk

alunan irama yang sangat indah untuk didengar. Selain itu, gerakan yang cukup

unik dinamis, lincah, dan nuansa keindahan  gerakan tersebut diaplikasikan

melalui tarian yang disebut tari modinggu. Tari modinggu menggambarkan

masyarakat Tolaki zaman dahulu. Jika panen tiba, petani beramai–ramai

menumbuk padi secara tradisional dan menganggap padi yang ditumbuk berasal

dari jasad putri bidadari ketujuh yang telah turun ke bumi. Modinggu ini juga

sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat Tolaki mengadakan sejenis pesta rakyat yang dihadiri oleh

seluruh masyarakat yang berada di tempat itu. Untuk memperoleh beras cukup

banyak, diadakan modinggu atau semacam pekerjaan massal untuk menumbuk


padi yang dilakukan muda-mudi dikala senja sampai malam hari yang diterangi

oleh rembulan dan diakhiri lulo melepas lelah setelah seharian bekerja.
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PENELITIAN

5.1. Bentuk-bentuk Pelaksanaan Tradisi Lisan Moanggo

Setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi atau budaya yang berbeda-

beda dengan berbagai bentuk keanekaragamannya. Seperti halnya masyarakat

suku Tolaki yang persebarannya di Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan,

Kolaka, Kolaka Timur, Kolaka Utara, dan Kota Kendari serta mempunyai salah

satu bentuk tradisi yang dinamakan Moanggo. Pada konteks Penelitian ini,

peneliti terfokus pada tradisi Moanggo di Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe

Utara yang dilantunkan dalam keadaan tertentu. Dalam proses pelaksanaan tradisi

Moanggo terdapat bahasa yang umumnya memiliki pesan/kesan khusus yang

menggambarkan dan menjelaskan keadaan tertentu dalam lingkup masyarakat

suku Tolaki.

Tradisi moanggo ini terus hidup dan berkembang ditengah-tengah

masyarakat Tolaki di wilayah kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara

sampai saat ini dan diwariskan secara turun-temurun melalui sistem dalam tradisi

lisan.

Berdasarkan wawancara kepada salah satu tokoh adat Tolaki bernama

Ajemain Suruambo sebagai informan pertama dalam penelitian ini, menyebutkan

bahwa tradisi moanggo terbagi atas dua istilah penyebutan sebagai bagian dari

proses tradisi moanggo yaitu moanggo dan anggo, moanggo yang artinya orang

yang melantunkan anggo tersebut, dan anggo yang artinya bentuk asli nyanyian

rakyat tolaki, moanggo ini termasuk dalam tradisi lisan/sastra lisan. Anggo
mempunyai berbagai bentuk. Setiap bentuk pelantunan anggo menyesuaikan atas

suasana, tempat, dan dilantunkan pada waktu-waktu tertentu. Jenis anggo

sebagaimana dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Anggo Mombeperiri, dilaksanakan pada saat suasana haru. Pelantunan Anggo

ini dilaksanakan dalam suatu momentum pertemuan dengan orang atau

beberapa yang melambangkan unsur kerinduan, baik pertemuan dengan

kekasih, keluarga, atau unsur pimpinan Negara dalam kunjungan di suatu

wilayah yang akan terbaca dalam susunan syairnya dan tidak terbatas pada

waktu pelaksanaan serta dapat dilaksanakan dalam waktu dan keadaan apapun

sesuai dengan kesepakatan. Adapun isi dan arti dari pada teks Anggo

Mombeperiri sebagai berikut:

Hoooooooo,,eeeee kiedunggu wowahe’a ia mbule mendua wowahe’a


lipu miu mbule mendua i wonua miu ee, wowahe’a lahamiu oo mbule
ilaka miu i,, yamo o sakari ia kolupe kami i,, pehawai kami ,,,, ia meeri
kami,, hooooooo,, mano losesee,, poo,, keno tehi-tehiki mano lipa
wulako keno tudu wulaki mano tali-talipo keno tudu tauki oo, mano
lai-laipo ano nunulaiki laiki pehawa kami ia meeri kami i orunggi leu
ia mbesaba mendua leu timbahi kami saba kumikiko mami kaasito toro
mami ola mboia mami. (Wawancara tanggal 18 Oktober 2021 oleh
Informan pertama, Ajemain Suruambo)

Artinya:
kita ingin supaya dikenangan dalam suasana bagus jika engkau kembali
pulang di daerah mu atau di negrimu di rumah mu atau di kediaman mu
janganlah engkau lupakan kami ingatlah kami kalaupun tidak sekalipun
sehelai benang berbulan-bulan sekalian pun mengeluarkan bunyi jika
bunyi itu uang receh kalau dia tiap tahun engkau kenang kami sekalipun
selembar kain bergaris-garis kalau sepanjang tahun.
Gambar anggo mompeperiri oleh bapak Ajemain Suruambo
Jenis anggo ini mengandung harapan-harapan, keinginan, agar kita

senantiasa di ingat dan jangan dilupakan oleh keluarga ataupun kekasih yang telah

berbulan-bulan atau bertahun-tahun berpisah ataupun kami tidak berada dalam

kampung halaman atau dengan kata lain berada di negeri lain. dan Kalian pun

juga jangan pernah lupa untuk memberi kabar kami meskipun dalam berbulan-

bulan atau bertahun-tahun itu satu atau dua kali sja kita sudah cukup bahagia

mendengarkan kabar dari keluarga atau kekasih yang sudah lama kita tinggalkan

di tinggalkan

b. Anggo Ndula-tula artinya Anggo yang berisikan tentang peristiwa-peristiwa

yang benar-benar terjadi seperti anggo tula-tula no Konawe, anggo tula-tula no

okambo, bentuk pelaksanaannya dapat dilakukan pada waktu setelah prosesi

adat atau diluar prosesi adat atas dasar permintaan masyarakat. Berikut ini,

uraian tentang Anggo Ndula-Tula:

   pelaksanaan tradisi lisan anggo ndula-tula iye’ito mosaritake


kadadia-kadadia hende tula-tula no konawe batuano sarita-sarita
mbele’esu, tula-tula no I’oheo syair-syar to’no iye’ito metamo’ako
oheo. Tradisi anggo ndula-tula ino niawo’ako la’aro to’ono
mbendeporombu ikirito la’ano nisusua’ako anggo ndula-tula, iuneno
anggo ndula-tula ino dadio nidapa hende kesen/pesan lala pei’hi ako
hende puji-pujian ronga sanjungan. (wawancara 30 april 2021)
                Artinya:
Adapun pelaksanaan tradisi lisan anggo ndula-tula yaitu adalah
menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi seperti
anggo ndula-tula no konawe artinya menceritakan daerah konawe, tula-
tula I’oheo syair-syair seorang tokoh yang bernama oheo. Tradisi lisan
anggo ndula-tula ini dilaksanakan pada saat kunjungan tamu disitulah
seorang pande anggo (orang yang pandai melantunkan anggo)
melantunkan syair-syair anggo. yang dimana, didalam anggo tersebut
terdapat kesan/pesan yang berisi puji-pujian, sanjungan, nasehat.

Dalam proses pelaksanaan tradisi lisan anggo ndula-tula, seseorang

yang mendengarkan anggo pada saat dinyanyikan atau dilantunkan akan

merasa terhibur dan senang dikarenakan, lantunan syair-syair nggo ini yang

begitu indah terdengar pada masyarakat, sehingga tradisi ini banyak yang

diminati oleh masyarakat di Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara

khususnya generasi muda. Olehnya itu, masyarakat Kecamatan Lembo,

Kabupaten Konawe Utara sangat menjunjung tinggi tradisi tersebut karena

dalam setiap bait yang dilantunkan oleh pande anggo(orang yang pandai

melantunkan anggo) itu menimbulkan nilai-nilai budaya, seni, dan kesenian

dalam penuturannya. Di dalam anggo ndula-tula itu sendiri terdapat dua sub

kata yaitu ndula dan tula, ndula artinya penuturan kisah dan tula artinya

tuturan. Adapun waktu untuk melaksanakan tradisi anggo ndula tula

tergantung kesepakatan antara pande anggo (orang yang pandai melantunkan

anggo) dan orang yang mau di anggokan karena tugas dari seorang pande

anggo hanya membawakan atau melantunkan sebuah anggo yang akan

dianggokan kepada setiap orang. Sebelumnya anggo ndula-tula ini dilakukan,


terlebih dahulu seorang pande anggo (orang yang pandai dalam melantunkan

anggo) harus menyiapkan naskah, suara dan nafas. Tradisi lisan anggo ndula-

tula ydan terlestarikan dikalangan masyarakat tolaki terkhusus di Kecamatan

Lembo.

Moanggo adalah menyanyikan salah satu anggo yang mempunyai ciri

khas dengan nada tertentu dalam rangka menyampaikan pesan kepada

khalayak ramai dalam masyarakat Tolaki dan dilantunkan oleh pande anggo

(orang yang pandai melantunkan anggo). Dalam pelaksanaan moanggo ndula-

tula konawe yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini, pande anggo

dituntut harus sangat mengetahui tentang sejarah atau tula-tula dan peristiwa

yang akan dia anggo-kan, sehingga pelaksanaan dan pelantunnya dapat

dimaksimalkan karena disertai dengan suara dan nada khas.

Pelaksanaan tradisi lisan moanggo ndula-tula ini tidak hanya dalam

berkumpulnya masyarakat, pertemuan keluarga, akan tetapi di sekolah-sekolah

dasar juga masih diajarkan, dan anggo ndula-tula jg bisa dilantunkan pada saat

suasana sepi atau dalam keadaan sendiri, adapun lantunan tradisi lisan

moanggo ndula-tula adalah sebagai berikut:

Hooooooooooooooo,, kusaru’I ko’o tula-tula hooo,, I’ino I’konawe


owuta I’una’aha,,, eee,, la la mbembe’le’esu no,,, iye’to tepasa I’wonua
no mokoleee,,,, tinomba anaki e mberaha’ano to pererehu ano,, i mokole
ronga sangia heee,,,, metamrambu nesangia ndudu tinamoako e mokole
more i wekoila,, e ano amba sumori’i o wepitiri dori yepo nosori’i i
wabaso-baso iyepo noleu mokole i lausapa hoooo,, lakonoto leu kiniku
petanu mbopole iyepo o uti owose leu umopui ro to’ono,, e tewiso une
mokole iyeto ka lani nina no ino elu isi kambuka sioropo korembutano
hooo,, mesorono to iro’o e no oana ito i latuianda la mo’ia i olo-oloho e
laeto ikiro ono leu o nggoba tinamoako I lolamoa iyeika wundulamoa e
lalako rumuruhi ngonawe,, metaramu’u uk’ai wowa sabara ano pe’eka
ndamahi dunnguno ikua i sanua wuta leu ito terembi o manasa no
tewewe ne wuu asa lawa e lakonoto umalei ano alei lolei o manasa
palului hende
Munde inahu ona owose no owuu teeni ito uneno mondulura penao no
imbone I ulu ala ke la to’ono manasa peotoro’aha e lakonoto rumuru
mbone noleu tumakau a no ki’i keto ona ikano i latuanda o ikoro I olo-
oloho lakonoto mesaikako. (wawancara 1 april 2021)

Artinya:

Menceritakan tula-tula, ini tentang tanah di Unaaha yang memang


dulunya terpasang tanah mokole yang dinamakan anakia. Wefitiri dori
juga digantikan oleh mereka beberapa orang sampai pada o’ nggabo, o
nggabo ini adalah manusia sakti yang menyusuri sungai konawe aha
seketika tiba di sanua wuta lalu datanglah tersangkut sehelai rambut di
kakinya lalu dia ambil dia gulung sebesar jeruk nipis lalu berkata lagi
dalam hatinya bahwa di atas sungai, di hulu sungai pasti ada kehidupan
lalu dia menyusuri disitulah dia liat rumahnya latuanda sipimilik gadis
itu.

Gambar anggo ndula-tula oleh bapak Ajemain Suruambo

Jenis anggo ini menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang pernah

terjadi di Konawe, dikisahkan suatu peristiwa yang terjadi penduduk negeri

Konawe Sebagian besar mengalami kematian, disebabkan oleh biawak raksasa

dan kerbau berkepala dua. dikisahkan orang yang membunuh biawak dan kerbau

tersebut bernama latuanda, yakni seorang penduduk wilayah Olo-Oloho di

Kerajaan Konawe. Latuanda memelihara beratus ekor anjing sebagai umpan


kedua hewan tersebut, agar ia dapat menbunuhnya. Dalam kisah yang lain

dikisahkan bahwa Latuanda sampai tiga kali membawa beratus-ratus anjing

sebagai umpan, sehingga ia dapat membunuh kedua hewan tersebut. Setelah

Latuanda telah membunuh kedua binatang itu, barulah ia berusaha mencari jika

masih ada manusia yang tersisa atas keganasan biawak raksasa dan kerbau

berkepala dua itu. Dalam proses pencariannya ia mendapati seorang bayi berjenis

kelamin perempuan yan terdapat dalam suatu tempayak. Latuanda kemudian

mengambil bayi lalu dirawatnya seperti anak kandungnya sendiri, hingga anak

latuanda berjumlah dua orang, karena ia sendiri mempunyai seorang anak.

Seiring waktu berlangsung, bayi tersebut tumbuh menjadi seorang gadis

yang dinamakan Elu Kambuka Sioropo Karembutano oleh Latuanda,

diberikannya nama Elu karena gadis tersebut sudah tidak punya ibu dan ayah,

Kambuka Sioropo karena panjang rambutnya Sembilan depa dan Korembutano

karena sisa ia sendiri yang tidak dimakan biawak raksasa dan kerbau. Sebelum

Elu menjadi gadis, ia selalu mandi di rumah Latuanda. Tapi setelah ia menjadi

gadis maka biarlah ia pergi mandi disungai. Maka tiap helai rambutnya yang

gugur terbawa oleh aliran sungai.

Ketika o Nggabo tengah berkelana didapatinya kabar bahwa peradaban

manusia telah punah di Kerajaan Konawe, lalu berlabuhlah dia di Muara Sampara

dan kemudian mengikuti aliran sungai Konawe’eha karena hendak datang di

Konawe memeriksa negeri itu bahwa benar peradaban manusia telah punah.

Dikisahkan bahwa o Nggabo tersebut adalah seorang laki-laki raksasa.

Itulah sebabnya ia dinamakan Ndoono’oha. Begitu besarnya maka ketika ia


mengikuti sungai Konawe’eha, kedalaman aliran sungai hanya sampai pada

betisnya.

Dalam mengikuti aliran sungai Konaweeha ia mendapatkan sepotong

bambu yang diduga merupakan hasil tebangan oleh manusia. Berkatalah dalam

hatinya, tidak benar bahwa peradaban manusia di Kerjaan Konawe telah punah.

Sebab terdapat bambu yang baru saja dipotong dan padanya terdapat rambut

bergulung. Diambilnya rambut itu lalu digulungnya sampai sebesar jeruk karena

begitu panjangnya. Berkatalah dalam hatinya bahwa gadis cantik yang tinggal di

suatu wilayah disekitar hulu sungai.

Akhirnya o Nggabo tiba di wilayah yang di diami oleh Latuanda, yakni

Olo-Oloh sehingga naiklah O Nggabo ke darat dan terus mengikuti jalan menuju

rumah Latuanda. Tibalah O Nggabo di rumah Latuanda, dan segera ia ketempat

orang menumbuk padi, lalu duduk di bangku yang tersedia. Sementara ia duduk

munculah Latuanda dari dalam rumah. Dilihatnya ada orang sedang duduk di

bawah. Terperanjat Latuanda lalu mundur belakang dan mencabut tombaknya,

serta mengambil parangnya. Lalu ia berlagak hendak memotong dan menombak,

tapi O Nggabo tidak bereaksi apa-apa. Akhirnya Latuanda menjadi lelah sendiri

dan ia diam. Setelah itu Latuanda pergi mengambil kalo-nya lalu ia menyambut O

Nggabo secara adat. Bertanyalah dari mana gerangannya datangnya dan apa

perlunya. Lalu o Nggabo mengatakan dari mana datangnya dan apa maksud

perjalanannya. Berkata o Nggabo, “aku dalam perjalanan mengelilingi negeri,

karena telah terkabar telah tiada manusia di Konawe.” Menjawab lah Latuanda,

“benar katamu hae orang pendatang, sisa aku sendirian ini, telah dihabiskan
biawak raksasa san kerbau berkepala dua.” Berkata lagi o Nggabo. “tidaklah benar

bahwa sisa engkaulah penghuni rumah, engkau masih bersama dua orang gadis

cantik.”

Setelah keduanya bertengkar akhirnya Latuanda mengaku, “ya, benar

wahai engkau pendatang.” Aku mempunyai dua orang gadis. Seorang anakku

sendiri dan seorang anak piaraanku yang bernama Elu Kambuka Sioropo

Karembutano. Diantar lah Latuanda tamunya naik ke rumah. Penglihatannya

Latuanda orang yang datang itu sungguh besar tubuhnya lalu diambilnya periuk

besar untuk memasakkannya dan ia menyembelih seekor kerbau untuk lauknya.

Tetapi o Nggabo hanya makan segenggam nasi dan sepotong telur. Yang

mengherankan Latuanda adalah mengapa o Nggabo sewaktu-waktu tubuhnya

menjadi kecil kemudian membesar lagi. Latuanda menganggap o Nggabo sebagai

orang Mubarak, Waliullah, banyak ilmu. Lama-kelamaan o Nggabo dikainkan

dengan Elu Kambuka Sioropo Karembutano. Keturan o Ngaabo dan Elu inilah

yang kemudian menjadi nenek moyang dari raja-raja di Konawe hingga hari ini.

Sebab Elu ini adalah keturunan bangsawan asal dari Wekoila. Sedangkan

keturunan dari putri Latuanda sendiri menjadi kemudian turunan dari mereka

yang bukan bangsawan.

Hasil dari salah satu bentuk anggo di atas menunjukkan bahwa ndula-

tula adalah suatu cerita rakyat yang diceritakan oleh orang tua kepada anaknya

tentang tanah di Unaaha yang dulunya dihuni oleh kerajaan bernama Anakia yang

terakhir kali nya menduduki kerajaan mokole, cerita rakyat ini masih diajarkan

kepada generasi-generasi saat ini.


Dalam pelaksanaan anggo ndula-tula konawe tidak mensyaratkan pada

keadaan khusus dalam suatu tradisi masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo

Kabupaten konawe Utara, tetapi pelaksanaannya atas dasar kesepakatan waktu

dan tempat antara pande anggo dan masyarakat sekitar.

Moanggo ndula-tula konawe ini dilaksanakan dalam dua bentuk, pertama

dalam bentuk tidak melalui suatu prosesi adat dan melalui proses salah satu tradisi

adat. Dalam pelaksanaan yang tidak melalui prosesi adat, Moanggo dilaksanakan

dengan melalui kesepakatan antara Pande anggo dan masyarakat yang ingin

mempelajari serta mendalami seluk beluk tradisi moanggo.

Sebagaimana dalam prakteknya Pande anggo akan melantunkan anggo

ndula-tula setelah itu, pihak pendengar akan mendengarkan secara seksama isi

dari anggo tersebut. Adapun isi anggo yang dilantunkan tersebut yakni:

Hooo,,, e ko’onggo sumaru’i ko’o kutula-tula’i,, inono wonua lipu


poiando e lala mbele-mbele’esuno keno isi-isono wonua koala olipu
tepase newonua tebawo e olipu wekokarama niwanguno sangia
pinotorono mokole hoo,, kaasi deela o lala iyeke’i o moekorongge
nilimbano o, mana pelakoako ano e paliama holilino lamoa leu-leulu
dunia e nokaduto menggauno e manasa mbu’upu o, ino tula-tula no e
tula-tula kondu’uma e tula-tula ngadadia a pesaru manasa no
lilinggorono lipu wotu hende tadeno wonua a lipu i’konawe wonua
i’una’aha.

Setelah isi anggo tersebut di lantunkan, maka pande anggo akan

menjelaskan arti anggo tersebut yang berisi silsilah Kerajaan Konawe serta

pihak pendengar dipersilahkan untuk bertanya secara lebih mendetail, apa yang

menjadi intisari anggo tersebut dan sekaligus meminta agar pande anggo untuk

mengajarkan cara melantunkan anggo tersebut.


Agar mudah dipahami oleh para pendengar,maka syarat yang

diterapkan oleh pande anggo di wilayah Kecamatan Lembo yakni, harus fasih

berbahasa Tolaki dan mengetahui minimal arti dan pemaknaan kata dalam

kehidupan sehari-hari dalam bahasa Tolaki.

                  Terdapat perbedaan yang mendasar dalam aspek penggunaan kata

dalam lantunan anggo ndula-tula pada zaman dulu dan masa kini, yaitu pada

masa kini, kata yang digunakan cenderung menyesuaikan kata yang familiar

sehari-hari digunakan masyarakat Tolaki di masa kini yang sangat jauh berbeda

dengan kata yang digunakan pande anggo pada zaman dulu yang cenderung

menggunakan kata-kata yang mengandung kiasan atau pemaknaan yang bersifat

eksklusif, sebagai contoh kata manasa yang pemaknaannya pada masa kini tidak

diketahui secara umum oleh sebagian besar masyarakat Tolaki.

                       Pada tahapan selanjutnya pande anggo akan mengartikan dan

menjelaskan dengan menggunakan bahasa Tolaki yang umumnya dipahami oleh

masyarakat sekitar, dan mempersilahkan pihak pendengar untuk bertanya dan

Pande anggo akan menjelaskan secara menyeluruh isi dari anggo tersebut.

c. Anggo kukua adalah syair-syair atau lagu-lagu yang menceritakan tentang

silsilah keturunan seseorang khususnya. Dengan bentuk pelaksanaan dalam

prosesi adat maupun permintaan masyarakat tanpa dibatasi oleh waktu dan

keadaan. Sebagaimana salah satu bentuk Anggo Kukua, sebagai berikut:

Hoooo,,, tudupo popodei sala nebirimu turu tumai birimu au poko


meamboi o kuonggo tumombai oli ndau mooliwikoo ee,, kuonggo
tumoliole’i o limba pasemeng koo tarambupuu lipu ikonawe o wuta i
unaaha e lala mbe-mbele’esuno ngau-ngauno inopo kei wekoila
tinamoako e sangia ndudu o mokole more ano pemanai oo dunggu
mepunae o pulesaaoke konawe lipu i unaaha iyepo nosoro’ i o tinamoako
wulele i wefiridori o otina aemoga
Artinya:
Turun mendengarkan melalui telinga kamu sendiri jalan cerita ini yang
mengenai kampung konawe saat itu yang bertempatkan di tanah unaaha
dan memang dulunya itu kampung konawe ini sudah lama diduduki oleh
raja-raja konawe seperti raja perempuan yang diberi nama dewa dari langit

Gambar anggo kukua oleh bapak Ajemain Suruambo

jenis anggo ini menuturkan tentang silsilah kerajaan konawe dari masa-

masa pemerintahan, keturunan raja-raja maupun para bangsawan penguasa suatu

negeri Konawe.

d. anggo-anggo mbesadalo artinya lagu-lagu tentang persahabatan, percintaan

dilantunkan kepada masyarakat sebagai sarana hiburan masyarakat tanpa

dibatasi oleh waktu dan keadaan. Sebagai contoh :

Hooooo, ee no ari mebada e umehewu mowila a tekeha badano e hende


tuo tinunu o no ari metipa e umoalo menggire e tekeha tipano e boloko
mata mbena ee, no ari i bunguno hende-hende ana sangia ano wowahe
mekiki sombasangi
Artinya:
Ada seorang gadis yang memakai bedak tapi bedak yang dipakai itu ikut
luntur seperti abu, lalu kemudian si wanita itu memakai kembali lipstik
guna untuk menebalkan keningnya dan kemudian juga lipstik yang dia
gunakan saat itu juga ikut luntur dan di lihat dari belakang itu kelihatannya
memang sama seperti anak bidadari lalu si anak itu menoleh ke belakang
masya Allah

Gambar anggo mbesadalo oleh bapak Ajemain Suruambo


          Jenis anggo ini adalah ungkapan-ungkapan dalam perasaan-perasaan

terhadap muda-mudi baik itu dalam percintaan ataupun persahabatan. Yang

apabila mereka tidak pernah bertemu selama berbulan-bulan dan pada saat

berkumpul bersama orang-orang kemudian terdengarlah lantunan syair anggo

langsung kepada pemuda-pemudi setelah mereka mendengarkan anggo tersebut

maka mereka seolah-olah masih bersama kekasih atau sahabat.

e. anggo mobue osara artinya syair ketika selesai dalam perhelatan adat. Dan

bentuk pelaksanaannya lebih ke upacara adat khususnya pada proses

pernikahan. Sebagai contoh:


Hoooooo,,, akuto humeikooo,, aku longggoko kuhuei osara o kuonggoi
peowai ee lala pu’u-pu’ungguki ule-ulengiki pu’u pinesaraa wule
mombesara eki oki keku honggoaako aku kulata ako ee takuongo meruhu
aku berekeke oo taku onggo morunggu bake oo meo haki waleka oee akiki
monapa ee, aki morini ee monapa mbuu mbundi oo morini mbuu ndawaro
mehongo-hongo ine mata ngonawe aki petotoro oloho pesuke ndaliawa
puumbuu butu komami oo palimbali ua mami mondetengako osara oo
mombalimba pewowai ee ua noto sanggiaa, ombu allauh hutaala
arikeiyeto ino yamo mbandimba ee keuponggotuhi osara monapewowai ai
teembe ngosara umeeko pewowai kehumulako.
Artinya:

kita akan angkat ini adat dari keturunan saya mengadat kan dan diadatkan
saya tidak akan kualat akan panjang umur kita akan dingin dan sejuk
merendam-rendam dimata air konawe agar kami bisa hidup tentram dan
damai yang trus mengejar kami, kemudian kita mengangkat kembali adat
ini untuk mengembalikan sebuah permasalahan dari ombu waullahutaala
(kepada tuhan yang maha kuasa) dari adat ini jangan pernah kembali untuk
memutuskan adat dari perbuatan yang menyangkut dengan adat ini karena
biar bagaimanapun adat lah yang akan mengambil perbuatan itu.

Gambar anggo mobue osara oleh bapak ajemain Suruambo

            Jenis anggo ini adalah adat kalosara itu harus di hue (mengangkat adat

kalosara tersebut) bahwa dengan adanya pengangkatan adat ini (mohue) bahwa

prosesi rangkaian mowindahoko yang telah selesai dilaksanakan dalam pesta

perkawinan maka sudah tidak ada lagi sangkut paut dengan adat lain yang
mengandung harapan-harapan dan berdoa bersama untuk kepada yang maha kuasa

agar memberi mereka umur panjang, hidup tentram dan damai.

5.2. Bentuk pewarisan tradisi lisan moanggo

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan, tindakan

yang dilakukan terhadap objek pemajuan kebudayaan yakni inventarisasi,

pengamanan, pemeliharaan, dan penyelamatan. Setiap warga negara dapat

berperan aktif dalam pemajuan kebudayaan. Sepuluh objek pemajuan kebudayaan

tersebut adalah tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga

tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus.

Dalam hal ini, untuk tradisi lisan Moanggo hanya dapat dilankasan melalui

perlindungan dari aspek inventarisi dan antaranya :

5.2.1. Perlindungan

a. Inventarisasi

Langkah awal peneliti dalam proses untuk mengetahui inventarisasi dari

bentuk-bentuk Anggo di Kabupaten Konawe bermula dari Lembaga Adat Tolaki,

dilanjutkan dengan observasi di beberapa kecamatan dengan menemui tokoh

masyarakat di kecamatan tersebut. Peneliti melakukan wawancara dengan

beberapa narasumber mengenai Anggo yang berkembang di daerahnya, antara

lain: Ajemain Suruambo dari Kecamatan Meluhu, M. Arif. L dari Kecamatan

Lembo, dan Mariama dari Kecamatan Lembo. Setelah mendapatkan data

selanjutnya dilakukan proses penulisan Anggo yang akan disusun menjadi sebuah

dokumen atas penuturan narasumber. Dalam hal ini tidak terdapat naskah atau

teks Anggo yang dimiliki oleh Lembaga Adat Tolaki.


b. Pengamanan

Pengamanan dalam konteks Anggo ini lebih menekankan kepada pewarisan

Anggo dari generasi ke generasi. Penekanan pengamanan tradisi Moanggo ini

lebih kepekaan dan kesadaran Pande Anggo dalam menjaga dan melestarikan

tradisi moanggo.

Sistem pewarisan dalam tradisi Moanggo Ndula-Tula Konawe yaitu dengan

cara mengumpulkan generasi yang berminat dan bersedia lalu diajarkan karena

generasi muda saat ini sudah tidak mengetahui lagi akan keberadaan tradisi lisan

moanggo. untuk itu, seorang pande anggo harus menyusun syairnya lalu

memanggil dan mengumpulkan para generasi mudah untuk belajar tentang tradisi

lisan moanggo, dan seorang pande angggo juga harus pintar merangkul. Pande

anggo juga mengajarkan kepada anak-anak mudah yang berminat dengan cara

kita moanggo lalu mereka mempelajarinya. Dengan banyak berinteraksi dengan

generasi mudah dalam hal pembelajaran tradisi lisan moanggo dan perlu ditulis,

perlu adanya audiovisual agar tradisi ini tetap eksis dan terlestarikan pada generasi

mudah khususnya pada Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe Utara. Sesuai

ungkapan dalam Bahasa daerah Tolaki oleh bapak AJ (50), bahwa:

Dadi tradisi lisan moanggo ino to langgi moko sisoro’i iye’ito iro otuono

to’onggo mokondau’i iro anando sambe o’ana ronga pue-pue akondo,

karena keno tani’omdola sumua’i iro’o onggo ngombuito latumo’orike

mamatu tradisi ino (wawancara 29 mei 2021)

      Artinya:

Jadi tradisi lisan monggo ini agar harus tetap berkelanjutan Yaitu perlu kita
mengajarkan kepada anak, cucu kita karena kalau sudah tidak ada lagi yang
mengetahui akan keberadaan tradisi lisan moanggo, maka tradisi lisan
moanggo ini kedepannya akan punah dan tidak diketahui lagi khususnya di
kalangan masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe
Utara.

         Berdasarkan uraian diatas, bahwa kegunaan sistem pewarisan oleh pande

anggo (orang yang pandai melantunkan anggo) agar kedepannya tradisi lisan

moanggo ini harus tetap berkelanjutan pada anak cucu kita atau dengan generasi

mudah. Yaitu dengan cara kita melantunkan syair-syair anggo dan mereka

mempelajarinya secara langsung untuk memperdalam lagi tradisi lisan moanggo,

agar mudah dipahami oleh generasi mudah. Dengan itu, masyarakat akan sadar

betapa pentingnya tradisi lisan moanggo secara tidak langsung mereka akan

mempelajari secara langsung tata cara pewarisan tradisi lisan moanggo.

         Dalam pewarisan tradisi lisan moanggo ini khususnya pada masyarakat

Tolaki di Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe Utara, tidak harus ditentukan

kepada siapa tradisi lisan moanggo ini akan di wariskan. Karena dalam pewarisan

tradisi lisan moanggo ini, seorang pande anggo (orang yang pandai melantunkan

anggo) tidak bisa berpihak ke satu orang saja Tetapi ini bersifat umum kepada

siapa saja bisa diwariskan asalkan niat dan tujuan itu benar-benar mau

mempelajari tradisi lisan moango dan mewariskan kembali kepada generasi

selanjutnya. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan oleh Bapak AJ (50), bahwa:

“Pande anggo okino tulei momile teaso ndono ika ngo-ngo pinokondau
akono tradisi moanggo karena inono sifano mbera-bera ika tono dadi’i
nopokondau’i iro asala no sasawutu’unoki mepookondau ke” wawancara
29 mei 2021).
Artinya:

“pande anggo (orang yang pandai melantunkan anggo) tidak bisa memilih
atau menunjuk satu orang saja karena sistem pewarisannya ini bersifat
umum, jadi siapapun itu bisa kita ajarkan tradisi lisan maonggo dia tekuni
dan betul-betul mau mempelajarinya” (wawancara 29 mei 2021)

         Berdasarkan dari hasil wawancara diatas maka bahwa dalam pengamanan

tradisi Moanggo pewarisan tradisi lisan moanggo, baik itu dalam mewariskan

proses maupun sistem pewarisan itu tidak harus dipilih oleh satu orang saja karena

ini bersifat umum, jadi siapapun itu bisa kita ajarkan tradisi ini kepada generasi

kita yang terpenting dia harus benar-benar tekuni dan betul-betul mau

mempelajarinya.

          Seorang pande anggo berupaya untuk melestarikan budaya dan tradisi lisan

manggo. hal yang akan dilakukan seorang pande anggo yaitu, mengajarkan

kepada anak-anak atau generasi kita saat ini, biak di sekolah-sekolah maupun di

luar sekolah. Sebelum tradisi lisan moanggo ini diajarkan kepada anak-anak kita

terlebih dahulu seorang pande anggo harus mempersiapkan anggo apa saja yang

akan dilantunkannya kepada anak-anak yang sudah siap mendengarkannya.

5.2.2.   Sarana Pewarisan

              Secara tradisional sarana pewarisan dalam tradisi Moanggo melalui lingkup

keluarga, masyarakat dan lembaga adat. Pada lingkup keluarga, sarana pewarisan

Anggo dan Moanggo lebih ke internal keluarga Pande Anggo, karena secara struktur

terdapat kewajiban bagi Pande Anggo untuk mempersiapkan keturunannya agar di

kemudian hari dapat mengganti Pande Anggo dalam pelaksanaan tradisi Moanggo.

              Pada lingkup masyarakat, sarana pewarisan lebih mengarah kepada upaya

proaktif masyarakat dalam mempelajari tradisi Moanggo melalui pendekatan

organisasi masyarakat atas nama kesukuan maupun masyarakat pada umumnya.

Adapun Fungsi Lembaga Adat Tolaki sebagai sentral pengetahuan, informasi dan
pengajaran bagi masyarakat, penulis tidak menemukan adanya teks Anggo atau

pengajaran secara komprehensif bagi masyarakat tentang tradisi Moanggo dan hanya

terdapat foto-foto prosesi Moanggo dari zaman Hindia Belanda.

             Berdasarkan, observasi penulis di Sekolah-Sekolah yang terdapat di

Kecamatan Lembo, baik Sekolah Dasar, Menengah, dan Menengah Atas, tidak

terdapat pengajaran Moanggo sebagai salah satu materi dalam kelas. Sebagaiman

penuturan salah satu Guru di SMA Negeri 1 Lembo Bernama Sulha, SMP Negeri 1

Lembo, Bernama Hasrul dan SD Negeri 1 Lembo, Bernama Citra, secara umum,

menyebutkan bahwa tidak terdapat mata pelarajan khusus yang berisi tentang

pembelajaran budaya Tolaki, sehingga tidak terdapat pembelajran mengenai Tradisi

Lisan Moanggo.

Selanjutnya tidak ada upaya sarana pewarisan melalui media massa, baik

media sosial, elektronik maupun media cetak berupa Koran ataupun Majalah.
BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada Bab V, kesimpulan dalam penelitian ini


adalah:

1. Bentuk Anggo dalam masyarakat Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe

Utara, terdiri dari 5 bentuk yaitu (1). Moanggo mompeperiri, (2). Anggo

Ndula-tula (3). Anggo kukua (4). anggo-anggo mbesadalo (5) anggo mbobue

osara. Bentuk pelaksanaan dan waktu Moaggo ini tidak hanya digunakan

dalam prosesi adat seperti tetapi di luar prosesi adat juga dalam waktu yang

bervariatif seperti dalam keadaan menghibur seseorang yang sedang berduka,

kecewa, ataupun sanjungan.

2. Sistem pewarisan tradisi lisan moanggo lebih ke pendekatan Inventarisasi oleh

Pande Anggo dan sistem pengamanan melalui sistem pewarisan dan upaya

Kerjasama antara masyarakat dan Pande Anggo, serta tradisi Moanggo tidak

terdapat dalam kurikulum atau pembelajaran Pada tingkat Sekolah Dasar

hingga tahap Sekolah Menengah di lingkup Kecamatan Lembo, Kabupaten

Konawe Utara serta tidak adanya sarana pewarisan melalui media massa.
6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan, maka terdapat saransebagai berikut:

1. Perlu penelitian lebih mendalam tentang bagaimana bentuk-bentuk pelaksanaan

tradisi lisan moanggo dan sistem pewarisan tradisi lisan moanggo pada

masyarakat Tolaki, khususnya pada Kecamatan Lembo, Kabupaten Konawe

Utara, dan umumnya pada masyarakat.

2. Hasil penelitian bagaimana bentuk-bentuk pelaksanaan dan sistem pewarisan

tradisi lisan moanggo pada masyarakat tolaki dapat dijadikan sebagai acuan

dalam melakukan aktivitas seharian atau kepentingan praktis di dalam interaksi

masyarakat Tolaki.
DAFTAR PUSTAKA

Alim, Abdul. 2015. Transformasi Tari Lulo Masyarakat Tolaki Di Kabupaten


Konawe, Sulawesi Tenggara. Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Tidak diterbitkan

Asnawati, Evang. 2018. Bentuk makna, dan fungsi moanggo (nyanyian rakyat
Masyarakat Tolaki) Jurnal Akrab juara Volume 3

C.H Cooley (2005:43) Jurnal Akrab juara Volume 3

Dini Ardium 2017. Fungsi Dan Makna Ritual Kaghotino Isa Kecamatan Duruka
Kabupaten Muna. Skripsi Universitas Halu Oleo

Danandjaja, James. 2002, Folklore Indonesia, ilmu Gosip, Dongeng, dll.Jakarta:


Grafiti press

Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative


Research. (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar’

Endraswara, Suwardi. 2003. Metode penelitian Kebudayaan. Girimukti Pustaka:


Jakarta,

Fahriati, Isra. 2019, berbalas pantun dalam adat perkawinan di desa muka sungai
kuruk kecamatan seruway kabupaten aceh tamiang, program
pascasarjana institut seni Indonesia Yogyakarta

Idaman (2017) Nilai dan makna Monaggo pada orang Tolaki Sulawesi Tenggara.
Jurnal uin-alauddin Vol 6, No 1

Mukhtar, 2013. Metode praktis penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta Selatan:


Referensi

Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi penelitian kualitatif. Hal. 6. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.
Putri Nadia, (2016). Judul analisis pantun pada Tradisi makan nasi hadap-
hadapan Adat pesisir di Kecamatan TanjungBalai selatan Kota Tanjung
Balai

Suharto, Edi. 2006. Membangun masyarakat memberdayakan rakyat. Bandung:


PT Refika Aditama

Sugiyono.2010. Metode Penelitian pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, Dan R&D). Cetakan Ke-10.hal. 300,308, 309-310. Bandung:
Alfabeta. 2017. Metode Penelitian Pendidikan(Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, Dan R&D). Cetakan Ke-25.hal.317-318, 337, 341, 345.
Bandung: Alfabeta.

Shadily, Hasan, (1984), Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Rineka Cipta,


Jakarta.

Samsul, 2012 Tradisi Lisan Khabanti modero Pada Masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara, fakultas ilmu pengetahuan budaya program studi peminatan
budaya pertunjukan, Depok

Tarimana, Abdurrauf, 1989, Kebudayaan Tolaki. Jakarta, Balai Pustaka.


LAMPIRAN
Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana bentuk pelaksanaan, waktu dan teks dari tradisi lisan moanggo?
2. Jelaskan sejarah yang melatar belakangi sehingga tradisi lisan dapat tercipta
atau ada ?
3. Bagaimana pemaknaan dari masing-masing teks tradisi lisan moanggo?
4. bagaimana sarana pewarisan tradisi lisan moanggo secara tradisional, media
melalui keluarga dan lingkup masyarakat?
5. Bagaimana bentuk sarana pewarisan tradisi lisan moanggo dalam lingkup
    zaman modern, dan apakah pada tingkat sekolah dasar, menengah dan umum
terdapat pembelajaran moango?
6. Apakah tradisi lisan moanggo sering termuat dalam media massa, baik
    internasional, elektronik, atau online?
7. Apakah ada saran dari informan untuk sistem pewarisan moanggo agar dapat
diketahui dan dipelajari oleh setiap generasi masa kini maupun masa
mendatang?
8. Bagaimana proses inventarisasi, berupa pencatatan dan pendokumentasian,
penetapan dan pemutakhiran data dalam sastra lisan moanggo?
9. Bagaimana proses menjaga nilai-nilai keluhuran dan kearifan dalam moanggo
sehingga budaya atau tradisi lisan moanggo itu dapat diwariskan secara turun
temurun dari berbagai generasi dan apakah terdapat cara khusus bagi tiap
generasi dalam menjaga tradisi lisan moanggo?
10. Melihat bahwa tradisi lisan moanggo ini mulai tertulis di tengah-tengah
masyarakat tolaki, apakah dalam hal ini lembaga adat tolaki mempunyai cara
khusus dalam revitalisasi tradisi lisan moanggo?
11. Bagaimana sistem publikasi berkaitan tradisi lisan moanggo, agar dapat
diketahui oleh masyarakat luas dalam hal ini kapasitas lembaga adat tolaki?
Lampiran 2

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Bapak Ajemain Suruambo, S.Si,. M.Sos.

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Lurah Meluhu

2. Nama : M. Arif. L

Umur : 58 Tahun

Pekerjaan : Imam Masjid

3. Nama : Mariama

Umur : 64 Tahun

Pekerjaan : Petani

4. Nama : Bese Muda

Umur : 68 tahun

Pekerjaan : Petani

5. Nama : Laha Mudu

Umur : 70 Tahun

Pekerjaan : Petani
Gambar 1 foto bersama Mariama ( 60) warga masyarakat Kecamatan Lembo

(Sumber: Dokumentasi Bahar, 1 Juni 2021)

Gambar 2 foto bersama M. Arif. L ( 58 ) Imam Masjid Kelurahan Lembo


(Sumber: Dokumentasi Bahar, 1 juni 2021)

Gamabar 3 bersama Bese Muda (59) warga Kecamatan Lembo


(Sumber: Dokumentasi Bahar, 1 juni 2021)

Gambar 4 bersama bapak Lahamudu (70) sebagai warga Kecamatan Lembo

(Sumber: Dokumentasi Bahar, 1 juni 2021)

Gambar 5 bersama bapak Ajemain Suruambo (50) Lurah Meluhu


(Sumber: Dokumentasi Bahar, 1 juni 2021)

Anda mungkin juga menyukai