Skripsi
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Ujian Seminar Hasil
Pada Jurusan Tradisi Lisan
Fakultas Ilmu Budaya
Oleh
BAHAR
N1 E1 15 078
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi tidak dapat tercapai tanpa ada
bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu
menyampaikan rasa hormat dan ucapan banyak terimakasih kepada Bapak Dr.
Abdul Alim, S.Pd., M.Si selaku pembimbing I yang telah membimbing selama
proses penyusunan skripsi ini, dan ibu Nurtikawatika, S.Sn., M.Hum selaku
pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan sumbangsih demi
terselesainya skripsi ini dengan baik.
1. Kedua orang penulis Bapak M. Arif. L. dan Ibu Aminu terimaksih atas
semua jeri payah dan pengorbanan selama ini yang
melahirkan,membesarkan dan mendidik penulis sehingga penulis menjadi
manusia dewasa.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F., S.Si., M.Sc. selaku Rektor
Universitas Halu Oleo.
3. Bapak Dr. Akhmad Marhadi, S.Sos., M.Si. selaku dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Halu Oleo.
4. Bapak Dr. Rahmat Sewa Suraya, S.Sos., M.Si, selaku Ketua Jurusan
Tradisi Lisan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo.
5. Ibu Nurtikawatika, S.Sn., M.Hum, selaku sekertaris Jurusan Tradisi Lisan
Univeristas Halu Oleo.
6. Ibu Komang Wahyu Rustiani, S.Pd.B., M.Si selaku ketua lab Jurusan
Tradisi Lisan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo.
7. Kepada seluruh dosen Tradisi Lisan, Universitas halu Oleo yang telah
memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis melalui akademik serta
diskusi-diskusi dalam proses perkuliahan maupun diluar bangku kuliah
8. Kepada seluruh dosen penguji dalam penelitian ini yang telah memberikan
masukan, kritikan dan saran sehingga penelitian ini dapat dikerjakan dan
diselesaikan dengan baik dan benar.
9. Pada staf administrasi dan tata usaha dalam lingkup Jurusan Tradisi Lisan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo, terimahkasih atas
pelayanannya yang baik selama ini.
10. Kapada Bapak Kacamat Lembo pribadi Bapak Askam S.Sos, dan seluruh
informan yang turut membantu dan memberikan pengetahuan secara
langsung.
11. Saya kepada kaka Sulha S.Pd, Hasbullah, Hajaria S.Pd, Hasrul S.Pd, yang
selalu mengsuport dan memberikan motivasi.
12. Saya ucapkan banyak terimakasih kepada Bang Suganti S.H, MH yang
telah banyak membantu penulis dan selalu memberikan masukan kepada
penulis.
13. Ucapan terimakasih kepada sahabat-sahabatku yang memberikan banyak
motivasi dan doa kepada penulis, Muh.Amin, Irfan Sugianto, Fajar, Ahiar,
Dwi Kristiani, Muh. Rasydin, Budiman, Ferdin, semoga allah SWT
membalas semua bantuan kalian kepada penulis.
14. Ucapan terimaksih kepada teman-teman senior kerabat tradisi lisan
angkatan 2015 dan kaka-kaka senior yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu yang juga telah membantu penulis.
15. Kepada seluruh keluarga dan pihak yang ikut membantu terselesainya
tugas akhir yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
16. Sahabat-sahabat KKN Reguler yang juga telah memberi bantuan kepada
penulis.
Semoga segala sifat, ucapan, sikap dan tinggah laku penulis tidak
meninggalkan aib, kebencian, serta kedengkian sari berbagai pihak. Adapun
jika terdapat kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja, penulis
memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kebaikan yang dicurahkan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
penulis
ABSTRAK
BAHAR (N1 E1 15 078) With the title "The Oral Tradition of Moanggo in
the Tolaki Community in Lembo District, North Konawe Regency" Supervised by
Mr. Dr. Abdul Alim, S.Pd.,M.Si as supervisor I and Mrs. Nurtikawati,
S.Sn.,M.Hum as supervisor II.
The Moanggo Oral Tradition is one of the many forms of oral tradition in
the life of the Tolaki people. The moanggo tradition is in the form of poems or
songs that contain praise and flattery. The purpose of this study is to identify and
describe the forms of implementation of the moanggo tradition in the community
and the inheritance system of the moanggo tradition in the community in Lembo
District, North Konawe Regency.
The location of the research was carried out in Lembo District, North
Konawe Regency. Determination of informants in this study was carried out by
purposive sampling technique. Data collection techniques that will be used in this
study are observation, interviews and documentation. Data analysis was carried
out using qualitative descriptive analysis methods through three pathways,
namely data reduction, data exposure and conclusion drawing.
The results showed that the forms of moanggo consisted of five forms,
namely Moanggo mompeperiri, Anggo Ndula-tula, Anggo kukua, anggo-anggo
mbesadalo and anggo mbobue osara. This form of execution and timing of
Moaggo is not only used in traditional processions such as but outside of
traditional processions as well as in various times, such as comforting someone
who is grieving, disappointed, or flattered, and the Moanggo oral tradition
inheritance system is more like the Inventory approach by Pande Anggo and the
Moaggo system. security through the inheritance system and cooperation efforts
between the community and Pande Anggo, as well as the Moanggo tradition are
not contained in the curriculum or learning at the elementary and middle school
levels in the Lembo sub-district, North Konawe district and there is no means of
inheritance through the mass media.
Kata Kunci : Tradisi Lisan, Moanggo, Masyarakat Tolaki
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN.....................................................................ii
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
ABSTTRAK...................................................................................................vi
ABSTRACT...................................................................................................vii
DAFTAR TABEL..........................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
4.4 Kesenian................................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................83
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................85
Lampiran 1......................................................................................................86
Lampiran 2......................................................................................................87
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang
kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam
Tradisi pun akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang
meliputi etika, norma, dan adat istiadat. Lebih lanjut Taylor (dalam Daud, 2008:
antaranya ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan
permainan.
Terdapat istilah yang berbeda yangb terdapat dalam tradisi lisan sejenis
Kabupaten Muna, Kota Bau-Bau dan Kabupeten Buton disebut tradisi lisan
Kabanti yang merupakan nyanyian tradisional, berisi ungkapan hati, nasihat, adat-
istiadat (budaya), dan sebagainya. Sebagai sebuah tradisi lisan, siapa saja dapat
atau marga, siang atau malam. Tradisi lisan ini dapat dilantunkan siapa saja, di
mana saja, dan kapan saja. Sebagai sebuah tradisi lisan, kabanti dinyanyikan
Nyanyian tradisi ini akan menjadi lebih menarik jika diiringi musik khas,
yakni musik gambus, biola, gendang atau rebana, dan alat bunyi-bunyian lainnya.
(https://mediaindonesia.com/weekend/305334/nyanyi-sunyi-tradisi-kabanti)
Tradisi Lisan moanggo merupakan bagian dari bentuk tradisi lisan dalam
lagu-lagu yang berisi pujian dan sanjungan. Secara mum, syair anggo dinyanyikan
dalam berbagai hal seperti pada saat pesta panen raya, saat menidurkan anak,
yang mengetahui tentang tradisi lisan anggo tersebut. Dari berbagai macam tradisi
Lembo, yaitu moanggo metei’a (menjaga anak) dan anggo ndula-tula (silsila
kerajaan). Oleh sebab itu, maongga metei’a ini dilakukan untuk menidurkan anak
bayi, sedangkan anggo ndulu-tula ini dilakukan agar mengingat kembali silsila
tersebut, karena dalam pelantunan moanggo ini sangat menginspirasi bagi setiap
orang yang mendengarkannya. Tidak hanya itu, maonggo dalam pertanian pun ini
juga dilakukan olehnya itu moanggo dalam bidang pertanian ini sangatlah sakral,
anggo ini dilakukan pada saat membuka lahan agar apa yang diinginkan dapat
dicapainya. Hal ini karena di dalam masyarakat suku tolaki aktivitas atau tindakan
bercocok tanam dinilai sebagai bentuk kesyukuran kepada yang maha kuasa atas
hasil dari bercocok tanam. Tetapi hal tersebut sudah tidak dipraktekkan lagi
karena jenis atau bentuk moanggo ini yang kian sudah tidak diwariskan karena
kurangnya pengetahuan atas keberadaan aggo ini, serta pelantun anggo tersebut
cerita rakyat dan tradisi pada aspek sosial budaya yang hingga saat ini tidak
sehingga cerita rakyat dan tradisi tersebut perlahan tenggelam secara perlahan-
lahan, serta meninggalkan sedikit jejak. Bentuk tradisi yang dimaksud yakni
moanggo, tradisi moanggo pada suku Tolaki merupakan bentuk sastra lisan
berupa pantun secara berkelompok baik pihak laki-laki dan perempuan atau dapat
dan lain-lain tempat pusat pelatihan dan keterampilan. Di sini semua wujud
manusia dikemas dalam mata pelajaran dan kurikulum yang disusun serta
(socialization).
individu yang dimulai segera setelah dilahirkan, yaitu pada saat kesadaran diri
yang bersangkutan mulai tumbuh dan berkembang. Agar kesadaran diri itu
mula mengetahui obyek-obyek di luar dirinya. Obyek ini selalu dipahami menurut
memperoleh orientasi yang bersifat ruang, waktu, dan normatif. Dengan kata lain,
pujian dan sanjungan dalam masyarakat Adat Tolaki serta pelaksanaan khususnya
dan nilai moral serta berfungsi untuk memperkokoh nilai-nilai tersebut dalam
mengingatkan kepada bentuk kesalahan yang dilakukan oleh orang yang bersalah,
syair tersebut secara umum diperoleh dan dilestarikan secara lisan dari generasi ke
masyarakat serta dipandang sebagai bentuk sastra lisan serta dilantunkan oleh
Mengingat anggo adalah salah satu sastra lisan yang harus dijaga, maka
perlu dilestarikan oleh masyarakat pewarisnya dengan cara dijadikan: (a) sebagai
muatan lokal; (b) sebagai hiburan acara resmi pemerintah daerah; (c) membuat
Bagi seorang Pande Anggo, Keahlian dalam Moanggo dapat dinilai dari
daya ingat mereka terhadap syair-syair anggo dan tidak harus menghafal terlebih
dahulu syair-syair Anggo yang akan dilantunkan dan penulisan teks Anggo
sebagai alat bantu dan peruntukan pendokumentasian daripada bentuk dan jenis
Anggo dalam masyarakat Suku Tolaki. Bentuk spontanitas terhadap situasi atau
anggo jenis ini, umumnya tercipta secara spontanitas karena sasaran yang ingin
disindir hadir di tempat itu, sehingga memerlukan penulisan terlebih dahulu. Arah
sindiran biasa di tujukan kepada pemerintah setempat atau orang yang dianggap
tidak bersalah.
suku tolaki maka peneliti akan melakukan penelitian dengan melihat moanggo
dari proses pewarisan dan pelaksanaan dalam hal ini berupa pembelajaran dari
generasi ke generasi .
1.1. Rumusan Masalah
adalah:
Konawe Utara.
Utara
Konawe Utara.
dibuat dan dianggap mempunyai keterkaitan dengan judul dan topik yang diteliti,
permasalahan yang sama. berbagai hasil peneliti terdahulu yang mengkaji tentang
Idaman dalam jurnal dengan judul Nilai dan Makna Moanggo pada orang
kebudayaan dan penanda identitas orang Tolaki tidak lagi secara massif
lalu, ketika berbagai jenis musik modern belum merajai belantara musik di negeri
ini, moanggo tentu punya posisi sentral di nadi kehidupan musik tradisional orang
Tolaki. Dalam banyak hal, moanggo yang dibawakan oleh pande anggo sarat
dengan pesan-pesan positif bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Atas
dasar ini, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terungkap dengan
sejumlah nilai dan makna yang terkandung di dalam teks anggo. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam teks anggo adalah nilai pendidikan, nilai moral, nilai budaya
dan nilai filosofis. Nilai pendidikan yang terkandung di dalam moanggo berkaitan
dengan pesan kepada kedua mempelai untuk menghormati orang tua dan mertua.
Selain itu, pesan lain yang terkandung di dalam moanggo adalah agar kedua
kedua orang tua, serta di dalam menjalani kehidupan rumah tangga agar
terkandung di dalam teks anggo berkaitan dengan larangan untuk tidak melakukan
Tolaki. Penegasan moral di dalam teks anggo ini ditunjukan melalui beberapa kali
terdapat pula kata merou sebagai bentuk penegakan moral mengenai pentingnya
bertutur sapa yang sopan dan santun, baik kepada pasangan hidup maupun kedua
orang tua dan mertua, serta kerabat handai tolan. Nilai budaya di dalam moanggo
Nilai dan Makna tradisi moanggo, sedangkan dalam penelitian ini adalah
formula yang digunakan dalam tradisi lisan kabhanti modero adalah formula kata,
sebagian kata, frasa, dan satu larik atau baris. Pengulangan yang dominan dalam
kabhanti modero adalah pengulangan satu larik. Hal ini terjadi karena selain
memikirkan apa yang menjadi balasan kabhanti yang dilakukan oleh lawan
kelompok kita. (2) warisan yang terdapat dalam kabhanti modero terdiri atas tiga
bagian, yang pewarisan secara langsung, pewarisan dalam hidup keluarga, dan
pewarisan dalam pertunjukan. (3) pola pewarisan ini merupakan pola pewarisan
secara non formal. Dari ketiga pola pewarisan tersebut di atas, pewarisan dalam
pertunjukan selain itu, dia juga bisa mencoba melantunkan kabhanti modero
dalam pertunjukan itu. Tuturan keberhasilan seorang calon penutur atau orang
yang berjalan kabhanti modero adalah jika dia sudah mencoba melantunkan
yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Persamaan penelitian yang telah
dilakukan Samsul pada tahun 2012. Melalui penelitian dikaji mengenai tradisi
berbalas pantun dalam bentuk nyanyian rakyat. Perbedaannya adalah Samsul lebih
Putrid Nadia pada tahun 2016 dengan judul Analisis Pantun Pada Tradisi
pada pantun tradisi makan nasi hadap-hadapan adat pernikahan melayu pesisir
digunakan pada tradisi tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
lima acara yang digunakan dalam tradisi makan nasi hadap-hadapan adat
makan bersama dan merebut ayam panggang serta memakai pantun dalam kelima
adalah baik penelitian yang dilakukan oleh Samsul dan Putri Nadia adalah
perbedaannya yaitu terletak pada pendekatan yang digunakan. Dalam hal ini,
kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui makna fenomena sosial dalam hal ini
digunakan sebagai media penyampaian pesan pada acara perkawinan yang berisi
tentang masalah perkawinan yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada
pihak perempuan seperti syarat harus menggunakan inai, membawa emas, sirih
dan elang 7 hari yang terdiri dari tebu, bale, kain dan harus memahami arti dari
terkandung dalam tradisi berbalas pantun. Perbedaan Isra Fariati meneliti tentang
penelitian ini adalah meneliti tentang tradisi lisan Moanggo pada masyarakat
dilakukan oleh Isra Fahriati memfokuskan pada aspek makna pada tradisi
sedangkan penelitian ini mendekati fenomena tradisi lisan dalam hal ini Moanggo
pelaksanaan tradisi lisan Moanggo, dan sistem pewarisan tradisi lisan Moanggo
Adapun manfaat dari ketiga penelitian relevan yang telah tersebut diatas
terhadap penelitian yang sudah peneliti lakukan adalah sebagai bahan rujukan
yang memberi perlengkapan informasi mengenai bentuk-bentuk pelaksanaan, dan
tradisional. Melalui ketiga penelitian ini, maka peneliti dapat mengetahui apa saja
yang sudah diungkapkan oleh para peneliti sebelumnya. Hal tersebut dapat
nantinya penelitian yang sudah peneliti lakukan tidak memiliki kesamaan yang
agar hasil dari penelitian yang peneliti lakukan tidak hanya sekedar menumpuk
pesta-pesta adat. Anggo juga sering dinyanyikan dalam suasana bebas di luar dari
fungsinya. Ada yang berbentuk pujian, atau sanjungan. Pada bentuk anggo yang
Tolaki seperti pada saat akan membuka lahan (mosalei), saat akan menanam
kepada yang kuasa agar apa yang diperbuatnya mendapatkan berkahnya, sehingga
tidak akan dapat gangguan berarti dan akan diperoleh hasil sesuai dengan yang
Tidaklah mengherankan jika pada saat orang sudah melantunkan anggo, maka
akan anggo yang dinyanyikannya setelah dia sadar. Jadi, dapat dikatakan bahwa
nyanyian masyarakat Tolaki, bahkan oleh para petua-petua adat. Hanya saja,
sejalan dengan perkembangan di berbagai aspek kehidupan, maka anggo pun kini
ksatria.
Tradisi lisan merupakan hasil pemikiran dan adat yang diturunkan dari
pemiliknya. Tuloli (Amir, 2013:43) menyatakan bahwa tradisi lisan adalah salah
satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan yang belum
besar ini, antara lain: (1) bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional,
dan pameo; (3) puisi rakyat seperti gurindam dan syair; (4) nyanyian rakyat.
konsep tradisi, tradisi berasal dari kata tradition yang berarti segala sesuatu yang
diwariskan dari masa lalu (Murgiyanto, 2004 : 2 dalam Ardium Dini 2017). Selain
itu, menurut Finegan (1992 : 7 dalam Ardium Dini 2017) tradisi merupakan
istilah umum yang biasa digunakan dalam ujaran keseharian dan juga istilah yang
digunakan oleh antropolog, peneliti folklor, dan sejarawan islam. Ada perbedaan-
cara yang telah ditentukan; proses pewarisan praktis, ide atau nilai; produk yang
diwariskan; dan sesuatu dengan konotasi lampau. Sesuatu yang disebut tradisi
atau kelompok tertentu. Tradisi tidak tertulis dan merupakan pemarkah identitas
kelompok.
Lord (2000 : 1 dalam Ardium Dini 2017) memberikan batasan tradisi lisan
sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa unsur
kelisanan bagi penutur dan unsur yang mendengarkan bagi penerima menjadi kata
kuncinya. Selanjutnya, Hoed (2008 : 184) mengatakan bahwa tradisi lisan adalah
berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan
secara lisan. Lebih lanjut, Hoed mengatakan bahwa tradisi lisan mencakup hal-hal
seperti yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (1995 ; 2 dalam Ardium
Dini 2017) bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos,
legenda, dan dongeng, akan tetapi juga mengandung berbagai hal yang
Tradisi Berasal dari bahasa Latin traditio sebagai nomina, kata traditio
dalam waktu yang cukup lama sehingga kebiasaan itu menjadi bagian dari
kehidupan sosial komunitas. Ada tiga karakteristik tradisi. Pertama, tradisi itu
merupakan kebiasaan (lore) dan sekaligus proses (process) kegiatan yang dimiliki
bersama suatu komunitas. Kedua tradisi itu merupakan sesuatu yang menciptakan
pada saat itulah tradisi itu menciptakan dan mengukuhkan rasa identitas
kelompok. Ketiga, tradisi itu merupakan sesuatu yang dikenal dan diakui oleh
identitas dengan cara berpartisipasi dalam suatu tradisi adalah bahwa tradisi itu
sendiri harus dikenal dan diakui sebagai sesuatu yang bermakna oleh kelompok
itu. Sepanjang kelompok masyarakat mengklaim tradisi itu sebagai miliknya dan
berpartisipasi dalam tradisi itu, hal itu memperbolehkan mereka berbagi bersama
atas nilai dan keyakinan yang penting bagi mereka (Martha and Martine, 2005;
Sibarani, 2014)
manusia, yang dengan atau karena sendirinya pertalian secara golongan dan
menekankan aspek pertalian yang dalam hal ini disebut dengan istilah hubungan.
Aspek hubungan tersebut dilihat dalam wilayah praktis yakni bagaimana manusia
dapat mempengaruhi satu sama lain yang berawal dari faktor hubungan
identitas. Dalam arti sempit istilah masyarakat merujuk pada sekelompok orang
yang tinggal dan berinteraksi yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu seperti
desa, kelurahan, kampung atau rukun tetangga. Dalam arti luas, masyarakat
dan tujuan bersama meskipun tidak bertempat tinggal dalam satu wilayah
geografis tertentu. Masyarakat seperti ini bisa disebut sebagai societas atau
kerajaan langit, yakni cina seperti yang dimaksudkan oleh M. Granat (Abdurrauf
Tarimana 1993: 51). Kalau demikian maka mungkinkah kata hiu yang ada dalam
bahasa cina berarti “langit” dihubungkan dengan kata heo (Tolaki) yang berarti
“ikut pergi ke langit.” Mereka yang datang dari arah selatan mungkin berasal dari
pulau Jawa melalui Buton dan Muna dan memasuki muara sungai Konaweeha,
Seperti apa yang telah disebutkan di atas menurut cerita mitologi, Kerajaan
tetapi lama kemudian untuk Raja Mekongga, gelar itu berubah menjadi Bokea.
sebagai sebagai keganasan biawak raksasa (uti owose) dan kerbau berkepala dua
(kiniku peuluruo), yang menghabiskan manusia di Konawe, demikian juga
biawak dan kerbau tersebut. Sementara itu tibalah Onggabo (raksasa) yang
penutur silsilah raja-raja sebagai nama-nama yang tersusun dengan tata urut
sebagai berikut, yaitu :Sangia Mbina’uti, Sangia Inato, dan Sangia Ngginoburu.
yang digambarkan sebagai pembunuh burung kongga (garuda) itu. Jadilah ia raja
Laduma atau Sangia Nibandera (Kruijt 1922: 692 dalam Abdurrauf Tarimana
1993:53)
Hal yang sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan dari tiap
raja tersebut. Suatu kecualian adalah Raja Sangia Ngginoburu dan Raja Sangia
berdasarkan cerita sejarah setempat, bahwa Raja Tolaki itu adalah raja-raja yang
pertama setelah meninggal dikubur secara Islam. Hingga kini kuburan dari kedua
Menurut para penutur silsilah raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa
antara satu sama lain karena serangan dari kerajaan lain di luar Sulawesi
kerajaan Mekongga.
berawal dari keberadaan aktivitas pertahanan laut kerajaan Konawe.Hal ini dapat
kita temukan di dalam Anggo Ndula-tula yang berkisah tentang sosok Kapita
atau yang dalam bahasa Tolaki disebut Ngapa memainkan peranan yang sangat
strategis untuk menahan laju serangan dari beberapa kesultanan yaitu Ternate,
Buton dan Luwu. Kapita Mayoro yang bernama Mekuo menjadi sosok yang
Lembo.
2.2. Landasan Teori
proses peralihan nilai-nilai dan norma yang dilakukan dan diberikan melalui
tersebut tidak hilang atau punah diterjang oleh kebudayaan yang baru. Oleh
karena itu kita sebagai penerus generasi selanjutnya harus bisa melestarikan
budaya yang sudah ada agar budaya ini tidak punah. Warisan budaya dapat berupa
bahasa, tari, lagu, alat musik, masakan, bangunan, atau candi dan peninggalan
lainnya.
sederhana, yaitu melalui tatap muka langsung dari mulut ke mulut dan praktek
cara membawa langsung anaknya untuk turut serta dalam berkesenian. Pewarisan
budaya dilakukan dengan tatap muka langsung, ketika mitos, legenda, dan
dongeng diceritakan oleh orang tau bertatap muka langsung dengan anak-
manusia dapat menunjukkan jati diri kita sebagai satu makhluk yang berbudaya
dan sebagai ciri khasnya, contoh kita sebagai orang orang Indonesia harus
melestarikan budaya indonesia agar jati diri dan martabat bangsa Indonesia tidak
hilang terbawa arus globalisasi oleh karena itu kita harus bangga dengan budaya
saat ini dapat mengetahui budaya manusia beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun
yang lalu karena adanya pewarisan budaya dengan menggunakan berbagai media
tradisional merujuk pada masyarakat yang ada pada abad ke 19 dan sebelumnya”.
Atas dasar itu, masyarakat modern adalah masyarakat yang hidup pada awal abad
budaya yang terjadi pada masyarakat yang hidup pada abad ke 19 dan
kepada proses pewarisan budaya yang terjadi pada masyarakat yang hidup pada
kedua jenis masyarakat itu diantaranya dapat ditinjau menurut peranan lembaga
adalah kesenian yang sudah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke
dilimpahkan dari angkatan muda kepada angkatan lebih muda. Proses pewarisan
waktu secara lintas generasi yakni melibatkan penurunan ciri-ciri budaya dari
orang tua kepada anak cucu. Dalam pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai,
keterampilan, keyakinan, motif budaya, dan sebagainya kepada anak cucu mereka.
Oleh karena itu pewarisan tegak disebut juga “Biological transmission” yakni
lembaga (misalnya dalam pendidikan formal) tanpa memandang apakah hal itu
(keluarga atau saudara) dalam proses pewarisannya. Generasi itu berperan sebagai
Sistem pewarisan vertical ini hanya dilakukan pada orang-orang yang masih
pelatihan.
2.3 Kerangka Berpikir
Kabupaten Konawe Utar. Hal yang pertama kali diteliti adalah konsep umum
Moanggo dalam masyarakat Tolaki. Pada bagian ini akan dijelaskan secara
menjawab rumusan penelitian yang diangkat oleh peneliti dalam kerangka pikir.
Pada bagian berikutnya dengan dibantu teori yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu teori umum atau basic teori yang telah menjadi rujukan utama didalam
Pewarisan Budaya.
nilai-nilai dan norma yang dilakukan dan diberikan melalui pembelajaran oleh
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
suatu benda masyarakat, situasi atau peristiwa yang diberikan kepadanya secara
antar disiplin, lintas disiplin yang menyatakan proses dan makna, (Denzin &
adalah merupakan suatu pendekatan khas dalam kajian budaya dan etnik dalam
3.2. Lokasi Penelitian
(1) daerah ini masih sering dilaksanakan kegiatan moanggo. (2) secara teknis
kemudahan menjangkau subjek penelitian. Hal yang berarti akan lebih mudah
Apabila informan ini betul-betul memahami secara mendalam masalah yang akan
dikaji dan dapat memberikan informasi yang akurat terkait dengan data yang
dibutuhkan, dapat saja peneliti ini menetapkannya sebagai informan kunci (key
sebagai berikut:
dipilih sebagai informan kunci adalah informan yang memenuhi kriteria tersebut.
terhadap masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian.peneliti dapat
masalah secara mendalam yang menjadi objek penelitian, dan dapat dipercaya
tokoh adat Tolaki, sebelum peneliti melakukan wawancara kepada informan kunci
terlebih dahulu peneliti sudah melakukan wawancara kepada informan lain yaitu
M.Arif. L, dan Mariama, dari kedua infroman tersebut mengarahkan peneliti ini
ke informan kunci untuk mendapatkan data yang lebih lengkap karena ia banyak
Selain informan kunci tersebut, juga terdapat unsur generasi mudah, akademisi,
bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh sebagai data yang dibutuhkan dalam
penelitian. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
3.4.1 Observasi/Pengamatan
Melalui observasi ini, penelitian belajar tentang perilaku, dan fungsi dari
langsung kelapangan untuk memperoleh data dan mengumpulkan data serta ikut
terlibat langsung dan ikut menyaksikan secara langsung tradisi tersebut. Dalam
observasi ini melakukan pengamatan dari beberapa objek yaitu lokasi penelitian,
terhadap tradisi lisan Moanggo serta bentuk-bentuk pelaksanaan dan sistem pola
pewarisan Moanggo.
3.4.2 Wawancara
melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikontribusikan dalam suatu topik tertentu
pewarisan tradisi lisan Moanggo. Teknik analisis data dalam penelitian ini
interpretasi data hasil dari wawancara para informan dan ditafsirkan dengan
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus sampai tuntas. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data
(Sugiono,2017: 338). Data yang telah direduksi memberikan gambaran lebih jelas
yang telah dipahami tersebut (Miles dan Huberman 1998) dalam Sugiyono,
bagian-bagian tertentu dalam penelitian, sehingga data dalam penelitian ini telah
disajikan dalam bentuk urain yang didukung dengan data-data yang telah
diperoleh.
dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan
didukung oleh bukti-bukti yang kuat valid dan konsisten saat peneliti kembali
diharapkan adalah temuan baru yang belum pernah ada ( Sugiono, 2017:345).
Pada tahap ini data yang telah dihubungkan antara satu dengan lainnya
sesuai dengan konfigurasi yang ada lalu disimpulkan. Setiap data yang menunjang
dihentikan.
Adalah kegiatan untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau
masalah yang menjadi objek penelitian atau topik cerita yang diusung dalam karya
ilmiah karena memang memiliki aturan dan ketentuan yang lebih tegas, dibanding
dengan karya tulis non ilmiah. Kemudian istilah ini menjadi familiar untuk
Rencana penelitian ini sudah menuntut peneliti untuk membuat studi kepustakaan
tadi. Selain melakukan penelitian, peneliti juga perlu menulis laporan hasil
jurnal. Bisa juga berupa buku yang diterbitkan ke masyarakat luas melalui
penerbit dan toko buku, baik toko buku online maupun offline. Supaya
pembahasan tentang studi pustaka ini lebih mudah dipahami, maka akan
difokuskan dulu ke karya tulis. Baik itu karya tulis ilmiah maupun non ilmiah.
meskipun studi kepustakaan lebih wajib dilakukan saat menulis karya ilmiah .
khatulistiwa, melintang dari Utara ke bagian Selatan antara 02’97’ dan 03’86’ LS,
dari membujur Barat ke Timur antara 121’49’ dan 122’49’ BT. Kabupaten
Konawe Utara memiliki luas wilayah sebesar 5.003,39 km2 atau sekitar 13,38
persen dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Sedangkan luas wilayah
utara) kurang lebih 11.960km2 atau 10,87 persen dari luas perairan Sulawesi
yaitu 968,06 km2 atau 19,34 persen dari seluruh wilayah Kabupaten Konawe
utara. Sedangkan Kecamatan dengan luas wilayah yang paling sempit adalah
Kecamatan Motui dengan luas 61,30 km2 atau hanya 1,22 persen dari luas
Selain itu, wilayah Kabupaten Konawe Utara juga terbagi atas 159 desa dan 11
Kelurahan, dengan jumlah desa yang terbanyak terletak di Kecamatan Asera dan
melintang dari utara ke selatan antara 122`39062` dan 03`7593` lintang selatan,
membujur dari barat ke timur antara 122`32227` dan 03`74206` bujur timur.
Kecamatan Lembo ini tempat yang cocok untuk berkebun dan bercocok tanam
pada musim penghujan atau musim timur. Pada musim barat atau musim
mete, kelapa, serta masih banyak lagi tanaman-tanaman lain seperti, umbi-
Kabupaten Konawe Utara akan diuraikan pula tentang luas wilayah dan batas
wilayah.
Luas wilayah Kecamatan Lembo yaitu 7.912 Ha. atau 1,57 % dari luas
Desa Bungguosu, Kelurahan Lembo, Desa Pasir Putih, Desa Padaleu, Desa
Puulemo, Desa Alo-Alo, Desa Lapulu, Desa Laramo, dan Desa Watu Wula. Luas
merupakan wilayah desa/kelurahan terkecil. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada
Konawe Utara
4.2 Demografi
4.2.1 Jumlah Penduduk
konawe Utara tahun 2015 sebanyak 58.401 jiwa yang terdiri dari 30.499 jiwa laki-
laki (53,20%) dan 27,902 jiwa perempuan (46,80%). Angka sex rasio sebesar
109,31%. Ini berarti bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 109
penduduk laki-laki.
dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali, sensus yang terakhir dilaksanakan pada
tahun 2010. Jumlah penduduk tahun 2017 menggunakan angka proyeksi jumlah
republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih, dan atau mereka yang berdomisili
laki-laki dengan banyaknya penduduk perempuan, pada suatu daerah dan waktu
tertentu, biasanya dinyatakan dengan banyaknya penduduk laki-laki untuk 100
penduduk perempuan.
Struktur umum, jenis kelamin dan rumah tangga. Struktur umur penduduk
kematian, dan migrasi. Rumah tangga adalah seseorang atau kelompok orang
yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal
bersama serta pengolahan makan dari satu dapur. Anggota rumah tangga adalah
semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang
berada dirumah pada waktu pencacahan maupun yang sementara tidak ada. Rata-
rata anggota rumah tangga adalah angka yang menunjukan rata-rata jumlah
yang termasuk dalam usia tidak produktif (0-14 tahun/penduduk usia muda dan 65
Lembo seperti banyaknya sekolah dan guru, perkembangan berbagai rasio dan
sebagainya. Tidak/belum pernah sekolah adalah mereka yang tidak pernah atau
belum pernah terdaftar dan tidak pernah atau belum pernah aktif mengikuti
instansi negeri lain maupun instansi swasta, baik pendidikan dasar, menengah
maupun pendidikan tinggi. Bagi mahasiswa yang sedang cuti dianggap masih
bersekolah. Tidak bersekolah lagi adalah mereka yang pernah terdaftar mengikuti
saat pencacahan tidak lagi terdaftar dan tidak aktif mengikuti pendidikan. Tamat
sekolah adalah menyelesaikan pelajaran yang ditandai dengan lulus ujian akhir
pada kelas atau tingkat terakhir suatu jenjang pendidikan formal maupun
tanda tamat belajar/ijazah. Seseorang yang belum mengikuti pelajaran pada kelas
tertinggi tetapi telah mengikuti ujian akhir dan lulus dianggap tamat sekolah.
dengan suatu aksara tertentu. Sekolah adalah lembaga pendidikan formal dimulai
dari pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan yang dicatat adalah
khas Islam pada jenjang Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah pada
Sumber utama data ketenagakerjaan adalah data desa dan data sekunder yang
berasal dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten konawe utara.
Tenaga kerja adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang dapat dibedakan
atas dua kelompok yaitu: 13.1 angkatan kerja, adalah penduduk usia 15 tahun ke
atas (penduduk usia kerja) dan mempunyai pekerjaan (bekerja) atau sedang
meliputi penduduk yang sedang bekerja, tetapi juga sementara tidak bekerja
karena suatu sebab, misalnya pegawai yang sedang cuti, petani yang sedang
menunggu panen dan sebagainya. Sedangkan pencari kerja adalah penduduk yang
tidak memiliki pekerjaan tetapi sedang mencari pekerjaan angkatan kerja seperti
Bukan angkatan kerja, adalah mereka yang berumur 15 tahun ke atas yang
kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya (tidak aktif
secara ekonomis). Penduduk usia kerja adalah yang berumur 15 tahun ke atas,
sedikit 1 secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja
Jumlah jam kerja seluruhnya adalah jumlah jam kerja yang digunakan untuk
bekerja (tidak termasuk jam kerja istirahat, resmi dan jam kerja yang digunakan
baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) dalam 1 digit. Status pekerjaan adalah
Pekerja tak dibayar adalah seseorang yang bekerja, membantu, usaha, untuk
memperoleh penghasilan/keuntungan yang dilakukan salah seorang anggota
rumah tangga, atau bukan anggota rumah tangga tanpa mendapat upah/gaji.
jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja (umur 15 tahun ke atas),
tingkat kesempatan kerja (TKK) adalah perbandingan antara penduduk usia kerja
terhadap total penduduk usia kerja yang masuk dalam angkatan kerja.
Sistem ekonomi atau mata pencaharian hidup yang berlaku pada masyarakat
kecamatan lembo pada umumnya masih mengharapkan potensi alam yang ada
pada masyarakat Kecamatan Lembo, dengan kata lain bahwa mata pencaharian
yang utama dikelola dalam masyarakat Kecamatan Lembo belum dapat fasilitas
sebagai petani, pedagang, dan buruh. Komoditas petani pada umumnya ditanam
oleh masyarakat Kecamatan Lembo adalah kacang tanah, ubi, jagung, kelapa,
cengkeh, durian, merica, jambu mete, berbagai macam sayur-sayuran, dan masih
banyak lagi jenis tanaman lain. Hasil bumi yang dihasilkan oleh para petani tiada
dapat lagi bergantung pada sistem ekonomi subsistem semacam itu. Karena
dan berbagai kebutuhan lainnya yang membutuhkan uang. Oleh karena itu, untuk
Disamping itu, masyarakat yang berpotensi sebagai petani, ada juga yang
berpotensi ganda yaitu sebagai petani dan buruh tani, petani yang merangkap
sebagai buruh tani ini dilakukan untuk menambah pendapatan mereka, di samping
mata pencaharian yang disebut di atas masih ada masyarakat yang bekerja sebagai
jumlah yang paling sedikit dari jumlah yang ada di kecamatan lembo. Dengan
oleh karena itu, ada sebagian masyarakat kecamatan lembo yang merantau ke
masyarakat Kecamatan Lembo yang berpotensi pada satu bidang, tidak hanya
sebagai pedagang, pegawai negeri sipil, maupun buruh tani merupakan profesi
yang minoritas dan tidak hanya mengandalkan satu pekerjaan yang ditekuninya.
4.3 Aspek Sosial Budaya
Seperti juga suku-suku bangsa lainnya yang ada di Nusantara ini yang
mengenal asal usul mereka melalui berbagai cerita mitos maupun melalui sejarah,
suku Tolaki juga mengenal asal usulnya berdasarkan cerita mitos dan fakta sejarah
yang ada. Dalam atlas etnografi sedunia, Prof. Dr. Koentjaraningrat (1959)
menjelaskan bahwa suku Tolaki sebagai salah satu suku bangsa dari lebih kurang
dan universal. Hal tersebut terdapat dalam tulisan, diantaranya J.N. Vosmaer
(1831,1839), Paul und Friedrich Sarasin (1903), Dr. Johannes Elbert (1911),
Hendriek van der Klif (1920, 1921, 1922), Dr. Albert C. Kruyt (1922), F. Treffers
(1914), L. Fontijne (1944, 1949), Dr. Dinah Bergink (1982), Prof. Dr. H.
Abdurrauf Tarimana (1985, 1993 dan 1999), Prof. Drs. H. Rustam Tamburaka
(2004), Drs. H. Muslimin Su’ud (2006), dan Cristian F.D Jong (2010).
Dalam sumber Portugis, orang Tolaki dikenal dengan sebutan Talaki. Menurut
Mekongga (kini Wilayah Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur
telah menggunakan fonem To Laki, dan sepuluh tahun sebelumnya oleh Treffers
(1912), dan tujuh tahun lebih awal Paul dan Frederic Sarasin (1903), masing-
masing telah menggunakan istilah “Tololaki” atau “Tolalaki”, atau Talaki, sama
halnya orang Bugis, Wuna, dan lainnya bila mereka menyebut orang Tolaki. Suku
bangsa Tolaki atau orang laki juga disebut Tokea. Sumber asing seperti Belanda,
Menurut Kennedy (1955), suku bangsa ini terbagi lagi menjadi beberapa sub
Jumlah populasi adalah 150.000 orang. Pada tahun 2006 populasi orang Tolaki di
jiwa, Tulambatu 700 orang, Landawe 400 jiwa, Routa 100 orang, Rahambuu
pranata kalo, perkawinan, hukum adat, dan sistem sosial ekonomi. Artinya, tidak
satupun ahli dan budayawan ini menjelaskan bagaimana sejarah budaya tari
tradisional seperti lulo yang ada di masyarakat suku Tolaki (Melamba, 2010:
252).
Salah seorang guru besar di Universitas Halu Oleo, yaitu Prof.Dr. Anwar
Konawe. Cerita yang diangkatnya adalah cerita atau mitos Wekoila. Dalam mitos
orang Tolaki, Wekoila ini adalah perempuan yang turun dari kahyangan. Saat
Selanjutnya, keduanya berpisah, yaitu Wekoila ke Konawe dan jadi raja di daerah
raja-raja di kerajaan Konawe dan kerajan Mekongga. Bagi Anwar, mitos tentang
Wekoila ini tidak sekadar berakhir bahwa dia datang dari langit. Menurutnya,
Wekoila ini adalah salah seorang saudara Sawerigading, yaitu We Tenri Rawe
Wekoila atau We Tenri Rawe berucap, yaitu koni we (bugis; inilah tempatnya).
Menurutnya kata Konawe boleh jadi berasal dari kata tersebut koni we. Jadi
menurut Anwar, inilah yang menyebabkan adanya kesamaan bahasa antara orang-
menjelaskan asal muasal Tolaki. Cerita itu dikutip dari Treffers (1914) dan Kruijt
(1921). Akan tetapi, ada beberapa mitos lain tentang asal muasal Tolaki. Pertama,
cerita Oheo. Dalam cerita ini dikatakan bahwa orang pertama atau nenek moyang
suku Tolaki berasal dari Jawa, tepatnya dari kaki Gunung Arjuna. Orang yang
tidak diketahui namanya ini kawin dengan salah seorang dari tujuh bidadari, yaitu
Cerita kedua adalah cerita Pasa’eno. Dalam cerita ini dikisahkan bahwa
Pasa’eno adalah putra Wesande yang hamil akibat minum air yang tertampung di
daun Pandang di tengah rimba, tepatnya di hulu Sungai Mowewe. Dalam bahasa
Tolaki “Ietoko bara ona ngiro’o ano mendia I Wesande. Te’embe hae tano langgi
wawo rapu,” (Karena I wasande sangat haus, ia tidak peduli lagi, langsung
4.3.2 Bahasa
Sebagai salah satu suku bangsa yang berada di wilayah daratan Provinsi
interaksi sehari-hari antar orang Tolaki. Sebagai bahasa sehari-hari bagi etnik
Tolaki, bahasa Tolaki hanya digunakan sebagai sarana interaksi dalam situasi
dan persepsi manusia terkandung dalam bahasa dengan suatu sistem simbol.
Untuk itu bahasa dalam kehidupan orang Tolaki sangat penting. Menurut
realitas, berinteraksi, berpikir, dan merasakan. Saat ini penelitian terhadap bahasa
Tolaki belum banyak dilakukan oleh para ilmuwan bahasa, kecuali pada tahun
1918 H. Van der Klift pernah menulis karangan dengan judul Mededeelingen
samping itu, juga terdapat sua tu naskah yang ditulis oleh M.J. Gouveloos dengan
judul Spraakkunstt der Tolaki (Tata Bahasa Tolaki), tetapi tidak diterbitkan.
Selanjutnya pada tahun 1973 Tarimana menulis sebuah karangan yang berjudul
“Imbuhan dalam Bahasa Tolaki”. Naskah ini dibawakan dalam seminar yang
Tolaki. Akan tetapi, dalam situasi formal, seperti pertemuan, rapat atau forum
resmi lainnya bahasa Tolaki tidak dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam
bahwa komunikasi tidak akan berlangsung dengan baik bila tidak ada simbol-
bahasa Tolaki juga merupakan lambang suku Tolaki. Proses komunikasi akan
lebih efektif diantara sesama orang Tolaki apabila bahasa Tolaki digunakan
sebagai bahasa pengantarnya. Hal ini dapat dilihat setiap hari, seperti di pasar, di
pesta, di kantor, atau pada proses upacara adat orang Tolaki. Dengan demikian,
bahasa di sini berperan penting dalam komunikasi sesama orang Tolaki. Menurut
Engkus (2008:8), bahasa menjadi inti dari komunikasi sekaligus sebagai pembuka
Saat ini ternyata bahasa Tolaki tidak hanya digunakan khusus orang Tolaki
sebagai alat komunikasi, tetapi ada juga etnik lain yang sudah menggunakan
bahasa Tolaki sebagai alat komunikasi sehari-hari, terutama bagi mereka (etnik
lain) yang telah lama tinggal dan berinteraksi dengan orang Tolaki. Mereka telah
etnik (etnik Tolaki dengan etnik lainnya). Selain itu, bahasa Tolaki dominan
tempat pertemuan dan keramaian. Hal itu membuat mereka sangat mudah
daerah orang Tolaki memaksa mereka yang berasal dari etnik lain harus
mempelajari bahasa Tolaki. Tujuannya adalah agar mereka lebih mudah untuk
melakukan sosialisasi dan interaksi dengan orang Tolaki. Apabila hal ini
salah satu bahasa yang tergolong dalam rumpun bahasa Bungku Laki. Di dalam
rumpun bahasa itu termasuk pula bahasa Mori. Bahasa Tolaki bersama dengan
aspek dialek bahasa Tolaki sedikitnya memiliki dua macam dialek, yaitu dialek
bahasa Tolaki Konawe dan dialek bahasa Tolaki Mekongga. Dialek bahasa
Konawe setiap hari digunakan di wilayah tertentu, seperti Tolaki yang berdomisili
Tolaki yang tinggal di Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur.
kalimat, Sedangkan dialek Mekongga memiliki irama dan lebih panjang. Dari segi
kalimatnya terdapat kalimat yang sama, tetapi memiliki arti yang berbeda. Ada
juga kalimat yang sama tetapi penempatan dalam ucapannya berbeda pula,
meninggikan, membesarkan, pada bahasa ini antara pembicara dan pendengar tak
ada perbedaan derajat meskipun berbeda umur dan status sosial dalam masyarakat
etnik Tolaki, misalnya leundo ato pongga, artinya “mari kita makan”, akuto
Mo’iso (saya sudah akan tidur), imbe nggo lako’amu (kemana hendak kamu
berkomunikasi bagi golongan menengah. Hal itu sangat berbeda dengan bahasa
yang dipakai dalam kalangan budak. Bahasa ini disebut juga bahasa dalo langgai
(bahasa orang yang tingkat pendidikan dan pengetahuannya rendah atau lebih
dikenal istilah bahasa pasar), maksudnya bahasa yang kurang mengikuti aturan
bahasa pada umumnya agar mudah dipahami oleh pendengarnya. Bahasa ini
tampak dalam wujud tulura bendelaki (bahasa gagah, tetapi kurang isinya), tulura
te’oha-oha (bahasa paling kasar kedengarannya), sebagai lawan dari bahasa sopan
santun. Contoh bahasa kalangan budak dalam etnik Tolaki adalahakuto mongga
me’aroakuto (saya sudah akan makan karena saya sudah lapar), akuto lako
Selain dari penggolongan dan teknik berbicara, pada bahasa Tolaki dapat
pula dilihat dari segi teknik berbicara dan makna pembicaraan serta maksud dan
tujuan pembicaraan. Hal ini juga terdapat pada bahasa Tolaki. Menurut Tarimana,
ada berbagai gaya bahasa Tolaki dalam melakukan proses interaksi sesama orang
Tolaki, seperti bahasa resmi, bahasa akrab (gaul), dan bahasa kiasan. Dalam
berkomunikasi bahasa Tolaki tidak hanya menggunakan bahasa verbal yang telah
lambang dalam bahasa Tolaki adalah bahasa lambang kalo, yaitu bahasa isyarat
kalo orang Tolaki melakukan komunikasi tanpa kata-kata (verbal). Kalo dalam
kehidupan orang Tolaki memiliki makna. Dengan menggunakan bahasa lambang
Hal lain yang juga terdapat dalam bahasa Tolaki adalah tingkat dan jenis
bahasa, selain gaya bahasa Tolaki di atas. Artinya, bahasa Tolaki juga mengenal
tingkat dan jenis bahasa Tolaki dalam berkomunikasi sehari-hari sesama orang
ndomotu’o (bahasa orang tua). Jenis bahasa ini adalah bahasa yang digunakan
ketua adat, tokoh adat pada suku Tolaki. bahasa ini dipergunakan dalam
terutama kepada generasi muda. Kedua, tulura mbandita atau tulura andeguru
(bahasa ulama). Bahasa Tolaki ini adalah jenis bahasa yang digunakan para
pendeta, ulama, dan tokoh agama lainnya dalam mengajarkan dan menyebarkan
nilai-nilai agama dalam kehidupan orang Tolaki. Selain itu, juga digunakan untuk
dunia gaib, dan dunia akhirat. Ketiga, tulura ndolea atau tulura mbabitara (bahasa
upacara adat). Bahasa ini adalah bahasa Tolaki yang digunakan untuk
berkomunikasi bagi tokoh adat dalam melaksanakan upacara adat orang Tolaki.
Menurut Tarimana (1989:73), bahasa upacara adat ini adalah bahasa yang
berdamai dan tidak terulang lagi. Di pihak lain dalam proses perkawinan bahasa
adat mengomunikasikan pernyataan-pernyataan pujian terhadap keluarga pihak
wanita dan merendahkan keluarga pihak pria. Keempat, tulura mbu’akoi (bahasa
dukun). Bahasa dukun ini dalam kehidupan orang Tolaki memiliki nama lain
meminta-minta), bahasa Tolaki tersebut adalah bahasa yang digunakan oleh para
Tolaki. Apabila dahulu orang Tolaki terserang penyakit sebelum adanya petugas
rumah sakit (dokter atau asisten dokter), orang Tolaki percaya bahwa sakitnya
seorang dukun. Selain itu, bahasa dukun juga digunakan oleh seorang dukun
dalam upacara ritual-ritual adat Tolaki lainnya. Bahasa dukun ini banyak
kepada makhluk halus, roh nenek moyang, dewa dan Tuhan agar dirinya dan
banyak orang, khususnya orang yang diupacarai terhindar dari aneka ragam bala
Pada masa kerajaan dahulu, Islam belum menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat. Saat itu ada beberapa kepercayaan dan tradisi setempat yang
Tuhan Yang Mahakuasa yang disebutnya o ombu (Yang disembah atau yang
dipuja). Meskipun namanya o ombu, dalam lantunan doa, biasanya justru mereka
negeri. Dewa ini juga dikenal sebagai Guruno O Wuta,yakni penguasa tanah atau
penguasa negeri, yang mengatur dan memelihara kehidupan di atas bumi. Kedua,
Sangia I Puri Wuta,yakni dewa di pusat bumi, yang mengatur dan memelihara
laut, yang mengatur dan memelihara laut dari segala sumber air. Keempat, Sangia
I Asaki Ndahi,yakni dewa di seberang laut, yang menjaga musuh dari luar dunia.
dewa di barat, yang mengatur dan memelihara jagat di bagian barat. Ketujuh,
Sangia I Ulu Iwoi,yakni dewa di hulu sungai atau dewa di utara, yang menguasai
wilayah jagat di sebelah utara termasuk mengatur mengalirnya sumber air sampai
selatan, yang menguasai wilayah jagat di bagian selatan termasuk menerima dan
mengatur masuknya air ke laut. Selain dewa, adapula konsepsi mengenai “dewi”
bagi orang Tolaki, yakni Sanggoleo Mbae (Dewi Padi). Dewa dan dewi inilah
Demikian pula sosok dewi padi atau sanggoleo mbae yang oleh masyarakat
Tolaki juga dikenal sebagai roh padi. Dalam ritual pemujaan khususnya yang
terkait dengan pertanian, sosok sanggoleo mbae merupakan fokus dan dasar
adanya tari lulo ini. Dalam cerita mitos yang disampaikan oleh masyarakat Tolaki,
sanggoleo mbae hadir dalam wujud sosok wetuanggalaru. Sosok yang dahulu
kala digambarkan sebagai sosok yang pernah ada. Meskipun masih terdapat
dengan semakin kuatnya ajaran Islam di daerah ini yang dianut oleh mayoritas
golongan muda. Keyakinan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dan Maha
tersebut masih tetap berada dalam alam pikiran sebagian masyarakat Tolaki.
dianggap meyakini adanya roh-roh dalam berbagai benda yang terdapat di alam.
pengaruh yang baik bagi manusia, tetapi bisa pula mendatangkan hal-hal yang
jelek. Untuk menjaga agar roh di dalam benda-benda tersebut tidak mendatangkan
tempat tersebut.
Roh halus diyakini ada yang jahat dan ada pula yang baik. Roh yang baik,
yakni o wali atau jin dan onitu mate atau roh orang yang meninggal. Sebaliknya,
roh yang jahat, antara lain onitu i ahoma atau setan, pondiana atau kuntilanak, o
so atau burung jahat penjelmaan manusia, dan o po yang merupakan roh orang
jahat yang gentayangan pada malam hari mengganggu manusia yang sedang tidur.
Roh halus yang jahat inilah yang menimbulkan banyak penyakit tertentu. Dalam
maupun penyembahan atau pemujaan khususnya pada akhir ritual mosehe atau
penyucian, mbusehe (pemimpin ritual) dalam rangkaian mantra atau pondotonao
yang dilafalkan berupaya meminta agar setan ataupun roh jahat lainnya menjauhi
lancar dan penyakit yang mewabah dalam masyarakat tidak kembali lagi.
Oleh karena itu, penting bagi mbusehe agar setan dan makhluk halus jahat lainnya
menjauhi kehidupan manusia dan hidup dalam alamnya sendiri di mana roh-roh
Islam mulai masuk ke kerajaan Konawe pada masa pemerintahan Mokole
Tebawo, akhir abad XVI, kira-kira enam belas tahun setelah Buton menerima
Islam (sebelum tahun 1550). Akan tetapi, saat itu belum menjadi bagian dari
agama kerajaan. Islam saat itu disebarkan oleh pedagang dari Bugis dan Buton di
pesisir pantai. Proses penyebaran Islam saat itu melalui jalur-jalur perdagangan.
Pada penyebaran awal ini para penganjur Islam lebih banyak mengajarkan cara
adalah pedagang-pedagang dari Bugis. Oleh karena itu, cara mengaji orang-orang
Konawe sampai saat ini mirip dengan cara mengaji orang Bugis,khususnya cara-
cara mengejanya. Inilah pola pertama penerimaan Islam, yaitu dengan cara
konveksi. Selain pola ini, juga biasanya melalui jalur politik. Inilah yang
dikemukakan oleh Mukti Ali sebagai tahap pertumbuhan kerajaan Islam (Ali,
1970). Jika pola ini dilihat di Konawe, secara resmi Islam diterima di kerajaan
ketika Lakidende menjadi raja di Konawe, yaitu diperkirakan pada sekitar tahun
1724 – 1786.
daerah transmigrasi. Oleh karena itu, Kecamatan Lembo tidak hanya ditinggali
oleh satu etsi saja. Namun ada berapa etnis yang juga tinggal di daerah ini yaitu
tinggi rasa solidaritas dan saling menghargai satu sama lain. Toleransi yang terjadi
antara masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari bagaimana kompaknya mereka
akan tetapi juga dapat dilihat dari bagaimana masyarakat saling menghormati
perbedaan etnis.
menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bahasa daerah digunakan saat
berasal dari etnis lain. Seiring perkembangan zaman, masyarakat sudah mulai
mengerti bahasa-bahasa daerah yang ada di kecamatan lembo. Hal ini terjadi
berinteraksi satu sama lain. Selain itu, daerah ini tidak dipisahkan berdasarkan
etnis menjadi salah satu faktor pendukung yang kuat, karena semua etnis
bergabung dan bertetangga. Sehingga dapat menjalin silaturahmi yang baik dan
pola sistem pengetahuan yaitu pola tradisional (non formal) dan sistem
formal) yang berlaku adalah sistem tertutup. Sistem tertutup yaitu terlihat pada
modern (formal) yang dilakukan secara terbuka dan dilengkapi dengan fasilitas
yang lengkap dalam proses belajar mengajarnya dan melibatkan peran pemerintah
sebagai fasilitator dan pemegang kebijakan. Di kecamatan lembo itu sendiri masih
banyak tradisi dan budaya yang masih dilestarikan. Salah satunya adalah tradisi
4.4 Kesenian
Kesenian dalam arti luas tidak terbatas pada seni tari saja, tetapi juga pada seni
arsitektur (bangunan, lanskap halaman/taman), seni sastra (puisi, prosa), seni tata
busana, seni tata boga, dan sebagainya. Pada dasarnya semua itu adalah seni
bernuansa etnik.
Masyarakat Tolaki mengenal beberapa jenis kesenian musik dan tari, baik
masyarakat Tolaki memiliki kekayaan musik dan tari yang tidak kalah dengan
sebagian telah lenyap ditelan zaman. Jenis musik dan ragam tari yang tradisional
modern dalam acara-acara tertentu sering dipentaskan, seperti dalam pesta
Berikut ini diuraikan beberapa jenis kesenian musik dan tari yang
potensi musik.
unsur-unsur adat dan religi. Artinya, dalam membicarakannya sering tidak dapat
dipisahkan kedua unsur tersebut. Sekarang ini beberapa warisan seni musik vokal
diantara sudah ada yang mendekati kepunahan, bahkan hilang ditelan zaman.
Berikut beberapa musik vokal dan instrumen yang pernah hidup dan berkembang
di masyarakat Tolaki.
dewa, terutama pada sanggoleo mbae (dewi padi). Selain itu, lagu ini juga
untuk mengiringi tari lulo ngganda atau monahu ndau (pesta panen)
terdiri atas tanah yang dilubangi, ditutup dengan pelepah sagu dan sehelai
rotan yang dipukul dan mengeluarkan bunyi). Disamping itu, lagu o anggo
1. Kanda-kanda atau dimba wuta (alat musik yang konstruksinya terdiri atas
tanah yang dilubangi, ditutup dengan pelepah sagu dan sehelai rotan yang
dipukul dan mengeluarkan bunyi). Pada zaman dahulu alat musik ini
digunakan sebagai pengiring tari lulo, baik tari yang bersifat ritual maupun
untuk hiburan). Akan tetapi pada era perkembangan sekarang ini alat
3. Karandu (gong) adalah alat musik yang ditabuh. Dahulu gong berfungsi
untuk mengiringi tari lulo, tetapi sekarang fungsi gong tidak secara
tunggal mengiringi tari lulo. Kini gong sudah masuk instrumen musik
untuk tarian-tarian kreasi. Selain itu, gong hanya ditabuh ketika ada
mengiringi tari ritual lulo ngganda atau monahu ndau (pesta panen).
Secara fisik, okanda atau gendang terdiri atas beberapa bagian,antara lain
batang okanda, kulit binatang penutup okanda, pasak dan ikatan tali rotan,
pasak penguat ikatan, lubang ditengah hokanda, dua buah alat penabuh
okanda, dan dua buah kemiri. Dari semua bagian tersebut, ada beberapa
bagian dari o kanda tersebut yang memiliki makna simbolik, yakni pasak
atau opaso dan ikatan tali rotan atau o’ue dan dua buah kemiri atau wiau
musik yang merupakan gabungan beberapa alat musik yang terdiri atas
gong, gendang, dan rebana yang berfungsi sebagai pengiring tari kreasi.
5. Alat musik yang dipetik, seperti dimba-dimba nggowuna (alat bunyi dari
6. Alat musik yang ditiup, sepert iwuwuho (alat musik bambu) o suli (suling
yang terbuat dari bambu) dan ore-ore (alat musik dari tangkai daun enau
yang dilengkapi dengan tali benang). Ada juga jenis lain dari ore-ore (alat
bahan-bahan dari alam, seperti bambu. Alat musik bambu merupakan alat
musik dengan tiga kelompok suara, yaitu melody,rhytm, dan bass. Melody
biasanya dimainkan dengan suling, bass dengan alat tiup bambu yang
orchestra), dan rythm dimainkan dengan alat tiup yang berukuran lebih
kecil. Perkusinya adalah berupa gendang dari kulit kambing atau rusa.
Bambu yang ditiup disebut ” ndua-ndua”. Pada zaman dahulu kala ”ndua-
gunung. Di pihak lain seruling yang ditiup namakan oleh suku Tolaki ”
wuwuho”. Pada zaman dahulu kala wuwuho digunakan pada saat melepas
didapatkan keharmonisan.
berkembang, dan menjadi ikon budaya bersama dan utama pada masyarakat
Tolaki, penulis akan menjelaskan beberapa macam seni tari yang bersifat
Tari kreasi baru ini digarap dari fenomena kehidupan masyarakat Tolaki di
Kabupaten Konawe. Berikut ini beberapa tari kreasi baru yang masih berkembang
1.Tari Mondotambe
khusus oleh para gadis remaja dalam rangka penyambutan seorang tamu atau
pemimpin. Tarian ini dilakoni oleh delapan penari perempuan muda dan dua
penari lelaki sebagai pengawal. Para penari wanita mengenakan busana motif
tabere atau hiasan, sarung tenun Tolaki, dan aksesoris seperti ngaluh atau ikat
kepala, dan kalung. Dalam tarian berdurasi sekitar lima sampai sepuluh menit ini
beberapa penari perempuan membawa bosara atau bokor dari rotan, sedangkan
dua penari lelaki memegang senjata tradisional. Tari ini menggunakan gong atau
2. Tari Umo’ara
Tari umo’ara(tarian perang) adalah tari yang khusus ditampilkan oleh dua
memegang parang di sebelah kanan dan perisai di sebelah kiri diayunkan ke arah
3. Tari Modinggu
alunan irama yang sangat indah untuk didengar. Selain itu, gerakan yang cukup
menumbuk padi secara tradisional dan menganggap padi yang ditumbuk berasal
dari jasad putri bidadari ketujuh yang telah turun ke bumi. Modinggu ini juga
seluruh masyarakat yang berada di tempat itu. Untuk memperoleh beras cukup
oleh rembulan dan diakhiri lulo melepas lelah setelah seharian bekerja.
BAB V
Kolaka, Kolaka Timur, Kolaka Utara, dan Kota Kendari serta mempunyai salah
satu bentuk tradisi yang dinamakan Moanggo. Pada konteks Penelitian ini,
Utara yang dilantunkan dalam keadaan tertentu. Dalam proses pelaksanaan tradisi
suku Tolaki.
sampai saat ini dan diwariskan secara turun-temurun melalui sistem dalam tradisi
lisan.
bahwa tradisi moanggo terbagi atas dua istilah penyebutan sebagai bagian dari
proses tradisi moanggo yaitu moanggo dan anggo, moanggo yang artinya orang
yang melantunkan anggo tersebut, dan anggo yang artinya bentuk asli nyanyian
rakyat tolaki, moanggo ini termasuk dalam tradisi lisan/sastra lisan. Anggo
mempunyai berbagai bentuk. Setiap bentuk pelantunan anggo menyesuaikan atas
wilayah yang akan terbaca dalam susunan syairnya dan tidak terbatas pada
waktu pelaksanaan serta dapat dilaksanakan dalam waktu dan keadaan apapun
sesuai dengan kesepakatan. Adapun isi dan arti dari pada teks Anggo
Artinya:
kita ingin supaya dikenangan dalam suasana bagus jika engkau kembali
pulang di daerah mu atau di negrimu di rumah mu atau di kediaman mu
janganlah engkau lupakan kami ingatlah kami kalaupun tidak sekalipun
sehelai benang berbulan-bulan sekalian pun mengeluarkan bunyi jika
bunyi itu uang receh kalau dia tiap tahun engkau kenang kami sekalipun
selembar kain bergaris-garis kalau sepanjang tahun.
Gambar anggo mompeperiri oleh bapak Ajemain Suruambo
Jenis anggo ini mengandung harapan-harapan, keinginan, agar kita
senantiasa di ingat dan jangan dilupakan oleh keluarga ataupun kekasih yang telah
kampung halaman atau dengan kata lain berada di negeri lain. dan Kalian pun
juga jangan pernah lupa untuk memberi kabar kami meskipun dalam berbulan-
bulan atau bertahun-tahun itu satu atau dua kali sja kita sudah cukup bahagia
mendengarkan kabar dari keluarga atau kekasih yang sudah lama kita tinggalkan
di tinggalkan
adat atau diluar prosesi adat atas dasar permintaan masyarakat. Berikut ini,
merasa terhibur dan senang dikarenakan, lantunan syair-syair nggo ini yang
begitu indah terdengar pada masyarakat, sehingga tradisi ini banyak yang
dalam setiap bait yang dilantunkan oleh pande anggo(orang yang pandai
dalam penuturannya. Di dalam anggo ndula-tula itu sendiri terdapat dua sub
kata yaitu ndula dan tula, ndula artinya penuturan kisah dan tula artinya
anggo) dan orang yang mau di anggokan karena tugas dari seorang pande
anggo) harus menyiapkan naskah, suara dan nafas. Tradisi lisan anggo ndula-
Lembo.
khalayak ramai dalam masyarakat Tolaki dan dilantunkan oleh pande anggo
tula konawe yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini, pande anggo
dituntut harus sangat mengetahui tentang sejarah atau tula-tula dan peristiwa
dasar juga masih diajarkan, dan anggo ndula-tula jg bisa dilantunkan pada saat
suasana sepi atau dalam keadaan sendiri, adapun lantunan tradisi lisan
Artinya:
dan kerbau berkepala dua. dikisahkan orang yang membunuh biawak dan kerbau
Latuanda telah membunuh kedua binatang itu, barulah ia berusaha mencari jika
masih ada manusia yang tersisa atas keganasan biawak raksasa dan kerbau
berkepala dua itu. Dalam proses pencariannya ia mendapati seorang bayi berjenis
mengambil bayi lalu dirawatnya seperti anak kandungnya sendiri, hingga anak
diberikannya nama Elu karena gadis tersebut sudah tidak punya ibu dan ayah,
karena sisa ia sendiri yang tidak dimakan biawak raksasa dan kerbau. Sebelum
Elu menjadi gadis, ia selalu mandi di rumah Latuanda. Tapi setelah ia menjadi
gadis maka biarlah ia pergi mandi disungai. Maka tiap helai rambutnya yang
manusia telah punah di Kerajaan Konawe, lalu berlabuhlah dia di Muara Sampara
Konawe memeriksa negeri itu bahwa benar peradaban manusia telah punah.
betisnya.
bambu yang diduga merupakan hasil tebangan oleh manusia. Berkatalah dalam
hatinya, tidak benar bahwa peradaban manusia di Kerjaan Konawe telah punah.
Sebab terdapat bambu yang baru saja dipotong dan padanya terdapat rambut
bergulung. Diambilnya rambut itu lalu digulungnya sampai sebesar jeruk karena
begitu panjangnya. Berkatalah dalam hatinya bahwa gadis cantik yang tinggal di
Olo-Oloh sehingga naiklah O Nggabo ke darat dan terus mengikuti jalan menuju
orang menumbuk padi, lalu duduk di bangku yang tersedia. Sementara ia duduk
munculah Latuanda dari dalam rumah. Dilihatnya ada orang sedang duduk di
tapi O Nggabo tidak bereaksi apa-apa. Akhirnya Latuanda menjadi lelah sendiri
dan ia diam. Setelah itu Latuanda pergi mengambil kalo-nya lalu ia menyambut O
Nggabo secara adat. Bertanyalah dari mana gerangannya datangnya dan apa
perlunya. Lalu o Nggabo mengatakan dari mana datangnya dan apa maksud
karena telah terkabar telah tiada manusia di Konawe.” Menjawab lah Latuanda,
“benar katamu hae orang pendatang, sisa aku sendirian ini, telah dihabiskan
biawak raksasa san kerbau berkepala dua.” Berkata lagi o Nggabo. “tidaklah benar
bahwa sisa engkaulah penghuni rumah, engkau masih bersama dua orang gadis
cantik.”
wahai engkau pendatang.” Aku mempunyai dua orang gadis. Seorang anakku
sendiri dan seorang anak piaraanku yang bernama Elu Kambuka Sioropo
Latuanda orang yang datang itu sungguh besar tubuhnya lalu diambilnya periuk
Tetapi o Nggabo hanya makan segenggam nasi dan sepotong telur. Yang
dengan Elu Kambuka Sioropo Karembutano. Keturan o Ngaabo dan Elu inilah
yang kemudian menjadi nenek moyang dari raja-raja di Konawe hingga hari ini.
Sebab Elu ini adalah keturunan bangsawan asal dari Wekoila. Sedangkan
keturunan dari putri Latuanda sendiri menjadi kemudian turunan dari mereka
Hasil dari salah satu bentuk anggo di atas menunjukkan bahwa ndula-
tula adalah suatu cerita rakyat yang diceritakan oleh orang tua kepada anaknya
tentang tanah di Unaaha yang dulunya dihuni oleh kerajaan bernama Anakia yang
terakhir kali nya menduduki kerajaan mokole, cerita rakyat ini masih diajarkan
dalam bentuk tidak melalui suatu prosesi adat dan melalui proses salah satu tradisi
adat. Dalam pelaksanaan yang tidak melalui prosesi adat, Moanggo dilaksanakan
dengan melalui kesepakatan antara Pande anggo dan masyarakat yang ingin
ndula-tula setelah itu, pihak pendengar akan mendengarkan secara seksama isi
dari anggo tersebut. Adapun isi anggo yang dilantunkan tersebut yakni:
menjelaskan arti anggo tersebut yang berisi silsilah Kerajaan Konawe serta
pihak pendengar dipersilahkan untuk bertanya secara lebih mendetail, apa yang
menjadi intisari anggo tersebut dan sekaligus meminta agar pande anggo untuk
diterapkan oleh pande anggo di wilayah Kecamatan Lembo yakni, harus fasih
berbahasa Tolaki dan mengetahui minimal arti dan pemaknaan kata dalam
dalam lantunan anggo ndula-tula pada zaman dulu dan masa kini, yaitu pada
masa kini, kata yang digunakan cenderung menyesuaikan kata yang familiar
sehari-hari digunakan masyarakat Tolaki di masa kini yang sangat jauh berbeda
dengan kata yang digunakan pande anggo pada zaman dulu yang cenderung
eksklusif, sebagai contoh kata manasa yang pemaknaannya pada masa kini tidak
Pande anggo akan menjelaskan secara menyeluruh isi dari anggo tersebut.
prosesi adat maupun permintaan masyarakat tanpa dibatasi oleh waktu dan
jenis anggo ini menuturkan tentang silsilah kerajaan konawe dari masa-
negeri Konawe.
apabila mereka tidak pernah bertemu selama berbulan-bulan dan pada saat
e. anggo mobue osara artinya syair ketika selesai dalam perhelatan adat. Dan
kita akan angkat ini adat dari keturunan saya mengadat kan dan diadatkan
saya tidak akan kualat akan panjang umur kita akan dingin dan sejuk
merendam-rendam dimata air konawe agar kami bisa hidup tentram dan
damai yang trus mengejar kami, kemudian kita mengangkat kembali adat
ini untuk mengembalikan sebuah permasalahan dari ombu waullahutaala
(kepada tuhan yang maha kuasa) dari adat ini jangan pernah kembali untuk
memutuskan adat dari perbuatan yang menyangkut dengan adat ini karena
biar bagaimanapun adat lah yang akan mengambil perbuatan itu.
Jenis anggo ini adalah adat kalosara itu harus di hue (mengangkat adat
kalosara tersebut) bahwa dengan adanya pengangkatan adat ini (mohue) bahwa
perkawinan maka sudah tidak ada lagi sangkut paut dengan adat lain yang
mengandung harapan-harapan dan berdoa bersama untuk kepada yang maha kuasa
tersebut adalah tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga
Dalam hal ini, untuk tradisi lisan Moanggo hanya dapat dilankasan melalui
5.2.1. Perlindungan
a. Inventarisasi
selanjutnya dilakukan proses penulisan Anggo yang akan disusun menjadi sebuah
dokumen atas penuturan narasumber. Dalam hal ini tidak terdapat naskah atau
lebih kepekaan dan kesadaran Pande Anggo dalam menjaga dan melestarikan
tradisi moanggo.
cara mengumpulkan generasi yang berminat dan bersedia lalu diajarkan karena
generasi muda saat ini sudah tidak mengetahui lagi akan keberadaan tradisi lisan
moanggo. untuk itu, seorang pande anggo harus menyusun syairnya lalu
memanggil dan mengumpulkan para generasi mudah untuk belajar tentang tradisi
lisan moanggo, dan seorang pande angggo juga harus pintar merangkul. Pande
anggo juga mengajarkan kepada anak-anak mudah yang berminat dengan cara
generasi mudah dalam hal pembelajaran tradisi lisan moanggo dan perlu ditulis,
perlu adanya audiovisual agar tradisi ini tetap eksis dan terlestarikan pada generasi
Dadi tradisi lisan moanggo ino to langgi moko sisoro’i iye’ito iro otuono
Artinya:
Jadi tradisi lisan monggo ini agar harus tetap berkelanjutan Yaitu perlu kita
mengajarkan kepada anak, cucu kita karena kalau sudah tidak ada lagi yang
mengetahui akan keberadaan tradisi lisan moanggo, maka tradisi lisan
moanggo ini kedepannya akan punah dan tidak diketahui lagi khususnya di
kalangan masyarakat Tolaki di Kecamatan Lembo Kabupaten Konawe
Utara.
anggo (orang yang pandai melantunkan anggo) agar kedepannya tradisi lisan
moanggo ini harus tetap berkelanjutan pada anak cucu kita atau dengan generasi
mudah. Yaitu dengan cara kita melantunkan syair-syair anggo dan mereka
agar mudah dipahami oleh generasi mudah. Dengan itu, masyarakat akan sadar
betapa pentingnya tradisi lisan moanggo secara tidak langsung mereka akan
kepada siapa tradisi lisan moanggo ini akan di wariskan. Karena dalam pewarisan
tradisi lisan moanggo ini, seorang pande anggo (orang yang pandai melantunkan
anggo) tidak bisa berpihak ke satu orang saja Tetapi ini bersifat umum kepada
siapa saja bisa diwariskan asalkan niat dan tujuan itu benar-benar mau
selanjutnya. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan oleh Bapak AJ (50), bahwa:
“Pande anggo okino tulei momile teaso ndono ika ngo-ngo pinokondau
akono tradisi moanggo karena inono sifano mbera-bera ika tono dadi’i
nopokondau’i iro asala no sasawutu’unoki mepookondau ke” wawancara
29 mei 2021).
Artinya:
“pande anggo (orang yang pandai melantunkan anggo) tidak bisa memilih
atau menunjuk satu orang saja karena sistem pewarisannya ini bersifat
umum, jadi siapapun itu bisa kita ajarkan tradisi lisan maonggo dia tekuni
dan betul-betul mau mempelajarinya” (wawancara 29 mei 2021)
tradisi Moanggo pewarisan tradisi lisan moanggo, baik itu dalam mewariskan
proses maupun sistem pewarisan itu tidak harus dipilih oleh satu orang saja karena
ini bersifat umum, jadi siapapun itu bisa kita ajarkan tradisi ini kepada generasi
kita yang terpenting dia harus benar-benar tekuni dan betul-betul mau
mempelajarinya.
Seorang pande anggo berupaya untuk melestarikan budaya dan tradisi lisan
manggo. hal yang akan dilakukan seorang pande anggo yaitu, mengajarkan
kepada anak-anak atau generasi kita saat ini, biak di sekolah-sekolah maupun di
luar sekolah. Sebelum tradisi lisan moanggo ini diajarkan kepada anak-anak kita
terlebih dahulu seorang pande anggo harus mempersiapkan anggo apa saja yang
keluarga, masyarakat dan lembaga adat. Pada lingkup keluarga, sarana pewarisan
Anggo dan Moanggo lebih ke internal keluarga Pande Anggo, karena secara struktur
kemudian hari dapat mengganti Pande Anggo dalam pelaksanaan tradisi Moanggo.
Adapun Fungsi Lembaga Adat Tolaki sebagai sentral pengetahuan, informasi dan
pengajaran bagi masyarakat, penulis tidak menemukan adanya teks Anggo atau
pengajaran secara komprehensif bagi masyarakat tentang tradisi Moanggo dan hanya
Kecamatan Lembo, baik Sekolah Dasar, Menengah, dan Menengah Atas, tidak
terdapat pengajaran Moanggo sebagai salah satu materi dalam kelas. Sebagaiman
penuturan salah satu Guru di SMA Negeri 1 Lembo Bernama Sulha, SMP Negeri 1
Lembo, Bernama Hasrul dan SD Negeri 1 Lembo, Bernama Citra, secara umum,
menyebutkan bahwa tidak terdapat mata pelarajan khusus yang berisi tentang
Lisan Moanggo.
Selanjutnya tidak ada upaya sarana pewarisan melalui media massa, baik
media sosial, elektronik maupun media cetak berupa Koran ataupun Majalah.
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Utara, terdiri dari 5 bentuk yaitu (1). Moanggo mompeperiri, (2). Anggo
Ndula-tula (3). Anggo kukua (4). anggo-anggo mbesadalo (5) anggo mbobue
osara. Bentuk pelaksanaan dan waktu Moaggo ini tidak hanya digunakan
dalam prosesi adat seperti tetapi di luar prosesi adat juga dalam waktu yang
Pande Anggo dan sistem pengamanan melalui sistem pewarisan dan upaya
Kerjasama antara masyarakat dan Pande Anggo, serta tradisi Moanggo tidak
Konawe Utara serta tidak adanya sarana pewarisan melalui media massa.
6.2 Saran
tradisi lisan moanggo dan sistem pewarisan tradisi lisan moanggo pada
tradisi lisan moanggo pada masyarakat tolaki dapat dijadikan sebagai acuan
masyarakat Tolaki.
DAFTAR PUSTAKA
Asnawati, Evang. 2018. Bentuk makna, dan fungsi moanggo (nyanyian rakyat
Masyarakat Tolaki) Jurnal Akrab juara Volume 3
Dini Ardium 2017. Fungsi Dan Makna Ritual Kaghotino Isa Kecamatan Duruka
Kabupaten Muna. Skripsi Universitas Halu Oleo
Fahriati, Isra. 2019, berbalas pantun dalam adat perkawinan di desa muka sungai
kuruk kecamatan seruway kabupaten aceh tamiang, program
pascasarjana institut seni Indonesia Yogyakarta
Idaman (2017) Nilai dan makna Monaggo pada orang Tolaki Sulawesi Tenggara.
Jurnal uin-alauddin Vol 6, No 1
Samsul, 2012 Tradisi Lisan Khabanti modero Pada Masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara, fakultas ilmu pengetahuan budaya program studi peminatan
budaya pertunjukan, Depok
PEDOMAN WAWANCARA
1. Bagaimana bentuk pelaksanaan, waktu dan teks dari tradisi lisan moanggo?
2. Jelaskan sejarah yang melatar belakangi sehingga tradisi lisan dapat tercipta
atau ada ?
3. Bagaimana pemaknaan dari masing-masing teks tradisi lisan moanggo?
4. bagaimana sarana pewarisan tradisi lisan moanggo secara tradisional, media
melalui keluarga dan lingkup masyarakat?
5. Bagaimana bentuk sarana pewarisan tradisi lisan moanggo dalam lingkup
zaman modern, dan apakah pada tingkat sekolah dasar, menengah dan umum
terdapat pembelajaran moango?
6. Apakah tradisi lisan moanggo sering termuat dalam media massa, baik
internasional, elektronik, atau online?
7. Apakah ada saran dari informan untuk sistem pewarisan moanggo agar dapat
diketahui dan dipelajari oleh setiap generasi masa kini maupun masa
mendatang?
8. Bagaimana proses inventarisasi, berupa pencatatan dan pendokumentasian,
penetapan dan pemutakhiran data dalam sastra lisan moanggo?
9. Bagaimana proses menjaga nilai-nilai keluhuran dan kearifan dalam moanggo
sehingga budaya atau tradisi lisan moanggo itu dapat diwariskan secara turun
temurun dari berbagai generasi dan apakah terdapat cara khusus bagi tiap
generasi dalam menjaga tradisi lisan moanggo?
10. Melihat bahwa tradisi lisan moanggo ini mulai tertulis di tengah-tengah
masyarakat tolaki, apakah dalam hal ini lembaga adat tolaki mempunyai cara
khusus dalam revitalisasi tradisi lisan moanggo?
11. Bagaimana sistem publikasi berkaitan tradisi lisan moanggo, agar dapat
diketahui oleh masyarakat luas dalam hal ini kapasitas lembaga adat tolaki?
Lampiran 2
DAFTAR INFORMAN
Umur : 50 tahun
2. Nama : M. Arif. L
Umur : 58 Tahun
3. Nama : Mariama
Umur : 64 Tahun
Pekerjaan : Petani
Umur : 68 tahun
Pekerjaan : Petani
Umur : 70 Tahun
Pekerjaan : Petani
Gambar 1 foto bersama Mariama ( 60) warga masyarakat Kecamatan Lembo