DISTOSIA
OLEH :
KUPANG
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi
Wasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Prinsip Hidup Bersama ODHA dan Family
Centered pada ODHA” mata kuliah keperawatan HIV/AIDS
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan motivasi berbagai pihak. Untuk
itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah
membantu.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif
sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Prinsip Hidup Dengan ODHA
B. Family Center Care (FCC) Pada Odha
1. Pengertian
2. Konsep dari Family Center Care
3. Penyebab Dialakukan Family Center Care Pada ODHA
4. Elemen Family Centered Care
5. Hirarki Family Centered Care
6. Intervensi Family Centered Care Pada ODHA
A. Simpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah
yaitu :
1. Bagaimanakah prinsip hidup dengan ODHA?
2. Bagaimanakah family center care pada ODHA?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui prinsip hidup dengan ODHA
2. Mengetahui family centered pada ODHA
D. Manfaat Penulisan
Diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pentingnya peran dan
fungsi keperawatan kritis, sehingga kita sebagai tenaga kesehatan dapat memahami dan
mengerti cara memberikan peran yang baik dan benar dalam menangani pasien kritis.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Pasien HIV/ AIDS penting mengetahui bahwa ia bisa hidup dengan normal dan
produktif. Demikian juga dengan keluarganya, keluarga harus bisa menerima ODHA dengan
besar hati dan tidak melakukan diskriminasi terhadapnya, kadang tak mudah membangkitkan
semangat hidup ODHA. Hal itu terjadi terutama pada ODHA yang secara kejiwaan lemah,
tak bias menerima kenyataan hidup. Padahal sebenarnya tentang HIV/AIDS sendiri memiliki
perlindungan secara internasional yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan, modul-modul, pedoman-pedoman pun konfrensi-konfrensi terkait diskriminasi
terhadap penderita HIV/AIDS yang bisa diikuti dan lain sebagainya. Semakin merajalelanya
perlakuan diskriminasi di lingkungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam bentuk
apapun itu, membuat pemerintah mengambil sebuah langkah kebijakan untuk menghapus
segala bentuk diskriminasi yang ada, seperti meratifikasi konvensi internasional (Agyta
Gaghenggang, 2013)
Langkah kebijakan yang dibuat adalah antara lain, Kode Etik Ketenagakerjaan
dibawah Undang-Undang Ras, Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (International Convention on the Elimination of All Forms of Dicrimination
Againts Women/ CEDAW) yang telah diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 1984 dan
diperkuat dengan UU No.29 Tahun 1999 tentang Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965 (International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965), UU No.40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.Demikian pula halnya dengan penderita HIV/AIDS
seharusnya mendapatkan keadilan hukum atas hidup mereka. Dan bahwa diskriminasi adalah
salah satu yang di larang dalam HAM, maka ada peraturan-peraturan yang mengayomi
penderita HIV/AIDS, mungkin secara kasat mata hanya terlihat seperti sanksi moral saja.
6
Selanjutnya di tinjau dari Penjelasan Pasal 2 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat
dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena
itu, pemerintah berkewajiban baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan
moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkrit demi
tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Dengan demikian negara dan
pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak
asasi manusia setiap warga Negara dan penduduknya tanpa diskriminasi, termasuk penderita
HIV/AIDS.
Dalam UU No.39 Tahun 1999 Pasal 9 ayat 3 bahwa setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pada Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 menyebutkan :
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Pada kata-
kata terakhir menyebutkan berhak memperoleh pelayanan kesehatan, tapi ini seakan tidak
berlaku pada penderita HIV/AIDS, kenyataanya adalah “pelayanan diskriminasi”, entah itu
dari masyarakat sekitar, petugas kesehatan ataupun pihak-pihak yang seharusnya bisa
membantu penderita HIV/AIDS.
Selanjutnya Pasal 6 UU No 36/2009 menyebutkan, setiap orang berhak mendapatkan
lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Kemudian, salah satu prinsip etis
utama dari hubungan dokter-pasien, yakni keadilan. Keadilan, yaitu perlakuan yang sama
untuk setiap orang dalam situasi kondisi yang sama, dengan menekankan persamaan dan
kebutuhan menurut kategori penyakit yang diderita, bukannya jasa, kekayaan, status sosial
atau kemampuan membayar. Seharusnya para penderita HIV/AIDS juga mendapatkan apa
yang disebutkan diatas.
7
Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar
individual dalam bidang kesehatan, the right of self determination. Pasal 7 dan 8 UU No
36/2009, bisa menjadi salah satu solusi bagi penderita HIV/AIDS yang mendapatkan
tindakan diskriminasi dari para medis.Berikut adalah beberapa peraturan kebijakan yang
mengatur tentang HIV/AIDS antara lain:
1. Strategi Nasional HIV dan AIDS 2003-2007
2. Strategi Nasional HIV dan AIDS 2007-2010 dan rencana Aksi Nasioanal
Penanggulanagn HIV/AIDS di Indonesia
3. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-
2014
4. Kepres RI No. 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS
5. Keputusan Menakertrans No. 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan
Penanggulanagn HIV/AIDS di Tempat Kerja
6. Perpres RI No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS
7. Permenkokesra RI No. 02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 tentang kebijakan
Nasional Penganggulanagn HIV dan AIDS Melalui Pengurangan Dampak
Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik
8. Permendagri RI No. 20 Tahun 2007 tentang Komisi Penaggulangan AIDS
9. Joint ILO/WHO Guidelines on Health Services and HIV/AIDS (Pedoman
Bersama ILO/WHO tentang Pelayanan Kesehatan dan HIV/AIDS)
10. Global Business Coalition on HIV/AIDS, New York
11. Joint United Nations Programmeon HIV/AIDS, Geneva
12. World Health Organization, Geneva
8
Secara umum, substansi hukum memiliki potensi untuk berfungsi melindungi
terhadap hak pengidap HIV/AIDS. Namun demikian, potensi perlindungan tersebut masih
bersifat umum dan parsial. Seharusnya, perlindungan HAM bersifat komprehensif,
partisipatif dan non diskriminasi. Prinsip ini sesuai dengan kedudukan setiap individu yang
sederajat sebagai umat manusia dan memiliki kebaikan yang melekat di dalam harkat dan
martabatnya masing-masing, mengingat substansi hukum yang terkait dengan perlindungan
hak pengidap HIV/AIDS masih parsial dan kadangkala terjadi perlakuan-perlakuan
diskriminatif, maka pada masa yang akan datang perlu dibentuk undang-undang khusus yang
mengatur tentang perlindungan hak pengidap HIV/AIDS (Nurhayati Massa, 2014).
Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS penting untuk melibatkan berbagai
pihak, termasuk orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) karena HIV merupakan penyakit
menular kronis yang memiliki dimensi sosial, politik dan ideologi. Satu prinsip mengenai
keterlibatan ini adalah GIPA (Greater Involvement of People Living with or Affected by
HIV/AIDS), yang kemudian berevolusi menjadi MIPA (Meaningful Involvement of People
Living with or Affected by HIV/AIDS). GIPA merupakan suatu prinsip yang bertujuan untuk
mendorong pemenuhan hak ODHA, termasuk hak mereka untuk menyatakan diri dan
berpartisipasi dalam proses-proses pembuatan keputusan yang akan berdampak pada
kehidupannya.
Di Indonesia, penerapan prinsip GIPA telah didorong dan diinisiasi oleh beberapa
pihak baik oleh lembaga swadaya masyarakat, komunitas ODHA maupun lembaga-lembaga
internasional. Salah satu bentuk penerapan GIPA yang telah dikembangkan adalah
Pencegahan Positif yang merupakan upaya untuk memperkuat kapasitas ODHA yang
diimplementasikan di dalam suatu kerangka etis yang menghargai hak dan kebutuhan ODHA
dan pasangannya. Sebenarnya, pencegahan positif bukan semata-mata isu pencegahan
penularan HIV, melainkan juga menyangkut isu pengobatan, dukungan dan perawatan
dengan fokus pada kebutuhan orang yang terinfeksi HIV dan keterlibatan aktif dalam
perencanaan strategi penanggulangan HIV.
9
Tiga pilar dalam pencegahan positif adalah 1). Bagaimana meningkatkan mutu hidup
ODHA; 2). Menjaga diri untuk tidak tertular HIV maupun infeksi lain dari orang lain; 3).
Menjaga diri untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain (Spiritia, 2015). Pencegahan
positif telah menjadi salah satu strategi program penanggulangan HIV di Indonesia yang
dimulai sejak tahun 2008 dan telah dimasukkan ke dalam modul nasional pelatihan konseling
dan tes HIV sukarela (VCT) edisi 2010. Dokumen SRAN 2015-2019 juga memastikan
pentingnya melibatkan secara aktif dan bermakna dari ODHA dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan di semua tingkatan (KPAN, 2015).
1. Pengertian
10
2. Konsep dari Family Center Care
a. Keterlibatan orangtua
Pada tahap ini orang tua dan perawat untuk pertama kalinya
melakukan interaksi. Perawat berperan penuh dalam memberikan asuhan
keperawatan dan bertindak sebagai pemimpin dalam memberikan perawatan
dan orangtua dilibatkan dalam perawatan ini.
b. Partisipasi orangtua
Pada tahap ini ditandai dengan telah terbinanya hubungan kerjasama
antar orangtua dan perawat.
c. Family Centered Care
Hubungan yang terjalin pada tahap ini adalah perawat dan orangtua
saling menghormati peran masing-masing dan melibatkan anggota keluarga
dalam perawatan pada pasien ODHA (Mahirdining,2010)
Beberapa tindakan yang dapat diterapkan sebagai bentuk aplikasi ditatanan klinik
terkait penerapan Family Centered Care (FCC):
a. Orientasi keluarga: Mengorentasikan keluarga di lingkungan tatanan klinis
atau ICU baik lingkungannya, peralatan-peralatannya, dan tindakan
medisnya.
b. Terbentuknya Family Care Specialist (FCS): Perawat yang tergabung
dalam FCS ini yang mengkoordinasi dan bertanggungjawab dalam
menerapkan strategi supaya keluarga juga terlibat dalam perawatan pasien
kritis
c. Visitasi terbuka: visitasi dengan melibatkan keluarga didalamnya
d. Mengijinkan keluarga untuk ada didekat pasien selama pasien dilakukan
tindakan/prosedur
13
e. Dibentuk dan dijalankannya family support group
f. Mendorong keterlibatan keluarga dalam perawatan
Contoh intervensi yang bisa dilakukan yaitu pendekatan dalam proses penyembuhan
HIV, dengan tujuan untuk melibatkan anggota keluarga pasien HIV dalam keterbukaan HIV,
konseling, dan perawatan medis.
a. Strategi pertama intervensi ini adalah untuk memperkuat hubungan keluarga. Mereka
bisa mendorong keterlibatan keluarga dan interaksi dengan melibatkan pasien HIV
dan anggota keluarga mereka dalam kegiatan yang sama (misalnya games, olahraga,
kegiatan hiburan lainnya, pertemuan kelompok, dll). Intervensi ini juga dapat
berfokus pada peningkatan keterampilan manajemen emosional dan komunikasi yang
efektif untuk keluarga dan ODHA.
b. Strategi kedua dari intervensi yang berpusat pada keluarga adalah untuk membantu
keluarga yang terkena HIV menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibawa oleh
ODHA dan mengurangi stres mereka serta isolasi sosial yang dialami oleh ODHA.
Berdasarkan sebuah penelitian, petugas kesehatan dapat mempertimbangkan
mengundang anggota keluarga pasien HIV untuk bergabung dalam konseling HIV
sehingga mereka dapat belajar lebih banyak pengetahuan tentang pencegahan dan
pengobatan HIV, mengurangi serotipe dan kesalahpahaman tentang HIV, dan
memberikan dukungan sosial yang potensial. Anggota keluarga juga dapat didorong
untuk berpartisipasi dalam manajemen kepatuahan pengobatan pada ODHA.
c. Strategi potensial ketiga untuk intervensi yang berpusat pada keluarga adalah untuk
mengatasi kebutuhan anggota keluarga, khususnya penyedia perawatan pasien HIV
dalam keluarga mereka. Konseling psikologis dan dukungan sosial akan sangat
membantu keluarga untuk mencegah mereka dari mengorbankan kehidupan keluarga
normal dan kehilangan self-efficacy dalam mengatasi HIV. (Ummah,2018)
14
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS penting untuk melibatkan berbagai
pihak, termasuk orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) karena HIV merupakan penyakit
menular kronis yang memiliki dimensi sosial, politik dan ideologi. Satu prinsip mengenai
keterlibatan ini adalah GIPA, yang kemudian berevolusi menjadi MIPAGIPA merupakan
suatu prinsip yang bertujuan untuk mendorong pemenuhan hak ODHA, termasuk hak mereka
untuk menyatakan diri dan berpartisipasi dalam proses-proses pembuatan keputusan yang
akan berdampak pada kehidupannya. Family-Centered Care didefinisikan oleh ACCH
sebagai filosofi dimana pemberi perawatan mementingkan dan melibatkan peran penting dari
keluarga, dukungan keluarga akan membangun kekuatan, membantu untuk membuat suatu
pilihan yang terbaik, dan meningkatkan pola normal yang ada dalam kesehariannya selama
sakit dan menjalani penyembuhan. Stigma berasal dari bahasa Inggris yang artinya noda atau
cacat, sering juga disebut sebagai pandangan yang negatif. Stigma juga berarti pencemaran,
perusakan yang memberikan pengaruh yang buruk pada penerimaan sosial seorang individu.
Dalam prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi
masih sering terjadi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes RI, 2012). Stigma
berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang mempercayai bahwa penyakit
AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Stigma terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan,
dan pengalaman negatif terhadap ODHA.
B. Saran
Sebagai penyusun makalah ini, kami menyarankan kepada para pembaca khususnya
kepada para perawat agar lebih mendalami materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini
agar dapat berguna dalam kehidupan sehari-hari maupun saat berada di lapangan sehingga
dapat menerapkan prinsip hidup dengan ODHA, family centered care dan stigma pada
ODHA
15
Daftar Pustaka
Allison L, et. al. 2015. FAmily CEntered (FACE) advance care planning: Study
design and methods for a patient-centered communication and decision-making intervention
for patients with HIV/AIDS and their surrogate decision-makers. Contemporary Clinical
Trials 43 (2015) 172–178.
KPAN, 2015. Strategi Rencana Aksi Nasional HIV dan AIDS 2015-2019.
Massa, Nurhayati. 2014. Perlindungan Hak ODHA ditinjau dari Perspektif HAM.
Ilmu Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Negeri Gorontalo.
Nugroho, Sandi Prasetyo Dwi.2018. Family Centered Care Pada ODHA. (Online)
Available : https://id.scribd.com/presentation/373074831/Family-Centered-Care-Pada-
ODHA diakses pada tanggal 4 Juli 2019, pukul 10.00 Wita.
Sandy Marubenny, et. al. Perbedaan Respon Sosial Penderita HIV-AIDS yang
Mendapat Dukungan Keluarga dan Tidak Mendapat Dukungan Keluarga Dibalai Kesehatan
Paru Masyarakat (BKPM) Semarang. Jurnal Keperawatan Komunitas . Volume 1, No. 1,
Mei 2013; 43-51.
16