Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-ide dan usaha dalam mencari materi sehingga makalah ini
bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Malang,27-2-2022
Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………i
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………..ii
2.1
2.2
2.3
3.1
BAB IV PENUTUP………………………………………………………..
4.1 Kesimpulan…………………………………………………………….
4.2 Saran……………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Pernafasan yang sehat merupakan kesimbangan tubuh yang menhirup oksigen dan
karbon dioksida
TINJAUAN TEORI
Terapi Hipoventilasi
Terapi yang benar pada hipoventilasi adalah :
1. Membebaskan jalan nafas
2. Memberikan oksigen
3. Menyiapkan nafas buatan
4. 4 Terapi causal penyebabnya
Terapi untuk menangani hipoventilasi dimulai dengan mengobati penyebab yang
mendasari gangguan tersebut, kemudian tingkatkan oksigenasi jaringan, perbaiki
fungsi ventilasi, dan upayakan keseimbangan asam-basa.Apabila tidak ditangani,
maka kondisi klien akan menurun dengan cepat. Akibatnya, dapat terjadi
kebingungan, tidak sabar dan kematian.
2.2.3 Patofisiologi
Hipoventilasi adalah kurangnya ventilasi dibandingkan dengan kebutuhan
metabolik, sehingga terjadi peningkatan PCO2 dan asidosis respiratorik. Hipoventilasi
merupakan penyebab hiperkapnia yang paling sering. Selain meningkatnya PaCO2
juga terdapat asidosis respirasi yasng sebanding dengan kemampuan bufer jaringan
dan ginjal. Menurunnya VA, pertama dapat disebabkan oleh karena menurunnya
faktor minute ventilation (VE) yang sering disebut sebagai hipoventilasi global atau
kedua, karena meningkatnya dead space (VD). Penyebab hipoventilasi global adalah
overdosis obat yang menekan pusat pernafasan.
Dead space (VD). Terjadi apabila daerah paru mengalami ventilasi dengan baik, tetapi
perfusinya kurang, atau pada daerah yang perfusinya baik tetapi mendapat ventilasi
dengan gas yang mengandung banyak CO2 Dead space kurang mampu untuk
eliminasi CO2. Dead space yang meningkat akan menyebabkan hiperkapnia.
Keadaan ini terjadi apabila CO2 yang dikeluarkan oleh paru lebih kecil dari CO2
yang dihasilkan oleh jaringan sehingga terjadi peningkatan kadar CO2 dalam darah
(hiperkapnia). Hiperkapnia menyebabkan peningkatan produksi asam karbonat dan
menyebabkan peningkatan pembentukan H+ yang akan menimbulkan keadaan asam
yang disebut asidosis respiratorik.
Hipoventilasi akan menyebabkan PAO2 dan PaO2 menurun. Bila pertukaran gas
intrapulmonal tidak terganggu, penurunan PaO2 sesuai dengan menurunnya PAO2.
2.3.3 Patofisiologi
Pada pasien hiperventilasi mereka bernapas terutama dengan dada dan hampir tidak
menggunakan diafragma. Seseorang yang bernapas dengan torakal mempunyai PCO2
di bawah 40 mmHg. Pada sindrom hiperventilasi, ventilasi yang bertambah tidak
sebanding dengan pertukaran gas, ventilasi yang bertambah disebabkan oleh frekuensi
pernapasan yang tinggi. Pada analisis gas darah arteri terdapat alkalosis respirasi
dengan berkurangnya PCO2.
Dengan turunnya PCO2 terjadi perubahan-perubahan sekunder sebagai berikut :
Alkalosis respirasi dengan penurunan kalsium ion serum; fosfat organik, dan ion
magnesium.
Hiperekstiabilitas saraf dan otot dengan gejala-gejal tetani (parestesia, fenomen
Chvostek dan Trousseau, spasme karpopedal, kejang tangan kaki, tangan obstetrik),
disebabkan akibat pergeseran ion-ion, yaitu berkurangnya ion kalsium dan
magnesium.
Perubahan perdarahan regional. Pada hiperventilasi akut menyebabkan peredaran
darah di otak berkurang yang dapat menyebabkan pre-kolaps atau bahkan jatuh
pingsan. Juga peredaran darah di kulit berkurang sehingga suhu kulit menurun, dan
timbul akrosianosis.
Aktivitas simpatik, hiperventilasi merangsang simtem simpatik, hingga terjadi
kenaikan nadi dan terjadi perubahan EKG.
Adapun gejala klinik terjadinya sindrom hiperventilasi diantaranya yaitu :
Parestesia, gejala yang sangat khas yaitu keluhan seperti kesemutan pada tangan dan
kaki terutama pada jari-jarinya. Yang paling khas adalah jari-jari tangan pada pasien
akan menguncup dan lentik. Sering juga pasien mengeluhkan gatal, menggelitik di
sekitar mulut, terutama pada bibir dan lidah.
Gejala-gejala sentral, sering kali terjadi gangguan-gangguan penglihatan, perasaan
seperti melayang dan penglihatan kabur yang dikenal dengan blurry eyes. Pasien juga
sering mengeluh bingung, sakit kepala dan pusing.
Keluhan pernapasan, biasanya pasien mengeluhkan sesak napas walaupun tanda
hiperventilasinya tidak jelas. Tidak jarang ada takipnea, tetapi sering ditutupi dengan
berulang-ulang menarik napas panjang, menguap dan mendengus, kadang-kadang
dengan batuk kering terpotong-potong.
Keluhan jantung, hiperventilasi tidak jarang disertai dengan keluhan yang menyerupai
angina pektoris.
Keluhan umum, seringkali pasien mengeluh tentang tangan dingin, hampir selalu
merasa lelah, lemas, megantuk dan sangat sensitif terhadap cuaca.
Adapun gejala-gejala yang biasanya muncul saat terjadi serangan akut yaitu pasien
merasa takut dan gelisah dengan pernapasan cepat tak teratur. Jari tangan, kaki dan
tungkai terasa seperti mati. Jantung berdebar-debar, dispnea dan rasa tertekan di dada
yang membuat pernapasan menjadi lebih cepat dan dalam, agar tidak tercekik. Bibir
tidak terasa, mulut sulit digerakkan, muka terasa tegang. Pasien sering mengeluhkan
pusing, menekan di kepala dan epigastrum, sendawa, mual, mulut kering, dan tak
bertenaga.
Penyebab paling sering untuk hiperventilasi ialah emosi rasa takut dan kegelisahan.
Freud menyebutkan bahwa gejala-gejala neurosis juga dengan gangguan pernapasan,
yang dinamakan dyspnea nerveus. Menurut Hoff, dkk. Pasien dengan sindrom
hiperventilasi tidak memecahkan konflik psikis, melainkan hanya dapat menarik
napas dalam-dalam. Pernapasan yang cepat menjadi jawaban atas rasa sakit,
kemarahan atau takut, yang menurut Hoff menjadi faktor terpenting sebagai faktor
timbulnya sindrom ini. Pada perkembangan penyakit yang lebih lanjut keluhan
pernapasan akan timbul dalam setiap situasi yang tidak enak. Walaupun 95% pasien-
pasien yang menderita sindrom ini bersifat psikis (Schettler) namun pada tiap-tiap
hiperventilasi harus dicari kemungkinan penyakit organik lain.
Adapun beberapa penanganan yang bisa dilakukan baik itu penanganan awal maupun
penanganan yang lebih advance.
Pasien bisa melakukan pernapasan dengan kantong plastik bila didapatkan tanda
alkalosis agar PCO2 dalam darah naik.
Suntikan 10 cc larutan kalsium glukonas 10% intravena mempunyai efek placebo.
Pasien akan merasa lebih baik, tetapi kadar ion kalsium tidak akan naik.
Belajar bernapas torako-abdominai dengan menggerakkan diafragma saat bernapas.
Psikoterapi, membantu menyelesaikan masalah-masalah emosional pada pasien,
termasuk melakukan terapi perilaku (Cognitive Behavioral Therapy).
Hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan panik maka pemberian obat
yang tepat yaitu benzodiazepine atau golongan SSRI dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
https://askep.blogspot.com/
https://patofisiologi7.blogspot.com/
https://www.sehatq.com/artikel/hipoventilasi-dapat-berakibat-fatal-kenali-gejala-dan-
cara-mengatasinya
https://borupangggoaran.blogspot.com/2013/06/hipoventilasi-d-i-s-u-s-u-n-oleh-psik-
1.html
https://tbmjanarduta.fkunud.com/sindrom-hiperventilasi/
Newton E. Hyperventilation syndrome. Emedicine [serial online] last updated April
15 2005 (Cited 2005 Jun 22).
Cowley DS, Roy-Byrne PP. Hyperventilation and panic disorder. Am J Med.
1987;83: 929-37.
Lum LC. Hyperventilation syndromes in medicine and psychiatry: A review. J Royal
Soc med. 1987;80:229-31.
Sukatman D, Budihalim S. Aspek psikomatik gangguan pernapsan. In:Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid III, edisi ketiga, edior : Suyono S dkk, Jakarta:BP FKUI;
2001.p.730-7.
Mudjaddid E., Rudi Putranto, Hamzal Shatri. Sindrom Hiperventilasi. Scan by dr.
Suvianto H.L.2009;222:930-31.