Kelompok 7 - Makalah Kehilangan Dan Berduka
Kelompok 7 - Makalah Kehilangan Dan Berduka
Dosen Pengampu :
Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.
Agustin Erna Fatmasari, S.Psi, M.A.
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Adinda Destania Daima W. (15000119140102)
Anisah Ulfah Fauzah (15000119120026)
Azzahra Verintan Sania (15000119120060)
Indah Tri Amanda C. K. (15000119130103)
Nabila Putri Pramadhani (15000119120008)
Nabila Sya’bania Rachmawati (15000119120024)
Sanchia Dida Zadiat A. (15000119120032)
Wulandika Ayu Pramesti (15000119120016)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR
Kelompok 7
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2
BAB I 2
PENDAHULUAN 2
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penulisan 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
2.1 Definisi Kehilangan 5
2.2 Makna Kehilangan 5
2.3 Jenis-jenis Kehilangan 6
2.4 Sifat dan Tipe Kehilangan 7
2.5 Respon Keluarga terhadap Hilangnya Anggota Keluarga 8
2.6 Definisi Berduka 12
2.7 Jenis-jenis Berduka 13
2.8 Tahapan Berduka 14
2.9 Faktor Penyebab Berduka 15
2.10 Respons Berduka 16
2.11 Contoh Kasus dan Intervensi yang Tepat 18
BAB III 22
KESIMPULAN 22
3.1 Kesimpulan 22
3.2 Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 24
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
3. Apa saja jenis-jenis kehilangan?
4. Apa saja sifat dan tipe kehilangan?
5. Bagaimana tahapan proses kehilangan?
6. Apa yang dimaksud dengan berduka?
7. Apa saja jenis-jenis berduka?
8. Bagaimana tahapan berduka?
9. Apa saja faktor penyebab berduka?
10. Bagaimana respons berduka?
11. Bagaimana contoh kasus dan intervensi yang tepat?
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Kehilangan membuat seseorang menutup pintu dunia orang lain. Kehilangan membuat
seseorang mengabaikan hak-hak individu orang lain. Kehilangan membuat seseorang
memiliki pemikiran bahwa tidak ada yang lebih kehilangan dibandingkan dirinya.
Kehilangan membuat seseorang rakus, karena kehilangan membuat seseorang
melakukan hal yang tidak masuk akal dan tidak memperkirakan dampaknya bagi
orang lain.
Beberapa kehilangan mungkin suatu proses dan wujud pengorbanan atas apa
yang sedang dan apa yang telah diperjuangkan. Kehilangan dapat berarti positif dan
masuk akal untuk beberapa hal. Namun, kehilangan bukan alat yang dapat digunakan
untuk memperlakukan orang lain semena-mena. Kehilangan bukan alat untuk tidak
menghargai setiap mimpi orang lain. Jika kehilangan yang telah membutakan hati
seseorang, mungkin itu adalah kehilangan yang hakiki. Kehilangan setiap impian
bukan berarti juga akan membuat orang kehilangan kesadarannya, bahwa orang lain
tidak berhak kehilangan juga karena dirinya kecuali dianggap sebagai penebusan.
Makna kehilangan anggota keluarga adalah sebuah kematian yang tidak
memandang usia dan alasan, ada Tuhan pada setiap peristiwa, sehingga ketika
seseorang kehilangan salah satu anggota keluarganya maka ia akan merasa kecewa
dan akan cenderung menyalahkan takdir Tuhan. Makna lain ketika kehilangan
anggota keluarga yaitu hilangnya sosok penting dalam sebuah keluarga yang
merupakan sumber kebahagiaan, figure teladan. dan sosok pengayom keluarga. Selain
itu, kehilangan dimaknai juga dengan istilah pendidikan mental dan spiritual yang
dapat memperkuat mental dan keimanan.
6
harus meninggalkan lingkungan lamanya, atau perawatan di rumah sakit yang
menyebabkan individu meninggalkan lingkungannya.
3. Kehilangan orang terdekat. Orang terdekat disini mencakup orang tua, pasangan,
anak-anak, saudara kandung, teman, tetangga, rekan kerja, guru, peliharaan,
bahkan idola. Kehilangan orang terdekat dapat terjadi akibat perpisahan,
kematian, ataupun alasan lainnya.
4. Kehilangan aspek diri, yang dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, dan
psikologis. Individu yang kehilangan aspek dirinya tidak hanya mengalami
kedukaan saja, tetapi juga dapat mengalami perubahan dalam citra tubuh dan
konsep diri.
5. Kehilangan hidup, adalah kehilangan yang dirasakan oleh individu yang sedang
menghadapi detik-detik dimana dirinya akan meninggalkan dunia.
7
1. Actual loss, yaitu kehilangan yang dialami oleh individu dan kehilangan tersebut
juga dapat dikenali atau diidentifikasi oleh orang lain. Misalnya adalah
kehilangan uang, pekerjaan, anggota keluarga, dan anggota tubuh. Jadi, orang
tersebut mengetahui bahwa dirinya kehilangan sesuatu, dan kehilangan tersebut
dapat dilihat atau diidentifikasi juga oleh orang lain.
2. Perceived loss (psikologis), yaitu kehilangan yang dialami dan dirasakan oleh
individu, namun tidak dapat dirasakan dan dilihat oleh orang lain. Misalnya
kehilangan rasa aman dan kehilangan motivasi. Dalam tipe ini, kehilangan hanya
bisa dirasakan oleh individu yang bersangkutan saja, sementara orang lain tidak
dapat melihatnya karena sesuatu tersebut biasanya berupa atribut psikologis yang
tidak kasat mata atau bersifat abstrak.
3. Anticipatory loss, yaitu perasaan kehilangan yang dirasakan individu sebelum
kehilangannya benar-benar terjadi. Individu memperlihatkan perilaku kehilangan
dan suasana berduka untuk suatu kehilangan yang akan terjadi. Misalnya adalah
keluarga dengan anggota keluarga yang menderita sakit terminal dan parah,
mereka selalu merasakan kehilangan tersebut ketika menyadari bahwa anggota
keluarganya menderita sakit terminal dan parah, padahal anggota keluarganya
tersebut belum benar-benar pergi meninggalkannya.
8
Kehilangan keluarga yang dicintai dapat menjatuhkan individu pada usia
berapa pun. Orang dewasa lebih mahir menangani kehilangan daripada anak-anak
karena pengalaman hidup dan pemikiran semakin dewasa. Penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan psikologis yang lebih parah dialami oleh anak-anak yang kehilangan
orang tua sebelum usia tiga tahun (Ferow, 2019). Anak-anak hingga remaja mungkin
lebih sulit untuk berproses terhadap kehilangan karena beberapa alasan, seperti
adanya ketergantungan pada orang tua atau pengasuh yang tersisa, lebih sedikit teman
sebaya dukungan (peer group), dan keterampilan verbal kognitif yang belum
berkembang untuk mengekspresikan pikiran atau perasaan (Cerniglia, Cimino,
Ballarotto, & Monniello, 2014). Anak remaja mengalami kesedihan dan kehilangan
mungkin merasa sulit untuk penyesuaian diri dengan teman sebaya jika hanya mereka
yang mengalami kehilangan orang tua. Remaja merasa dijauhi atau terisolasi karena
teman sebaya kurang memahami atau tidak nyaman membicarakannya pengalaman
kehilangan atau kematian yang terjadi (LaFreniere & Cain, 2015).
9
berkaitan dengan kesedihan yang berkepanjangan atau rumit. Kematian akibat
kekerasan dikaitkan dengan peningkatan tingkat kecemasan, depresi, dan kesedihan
maladaptif. Jika anak menyaksikan peristiwa tersebut, ingatan dapat dipicu sepanjang
hidupnya, mengakibatkan kesedihan traumatis atau Gangguan Stres Pasca Trauma
(PTSD). Dalam kasus penyakit yang berkepanjangan atau kematian yang diantisipasi,
anak-anak di atas usia tujuh tahun mungkin mengalami tingkat kesedihan maladaptif
dan Post Traumatic Stress Syndrome (PTSS) yang jauh lebih tinggi daripada
anak-anak yang berduka karena kematian alami yang tiba-tiba.
Penelitian yang dilakukan oleh Boelen, dkk. (2017) diklaim menjadi studi
pertama yang meneliti pola di gejala gangguan duka berkepanjangan (GDB) dan
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder) terkait berkabung
pada anak-anak dihadapkan dengan kehilangan orang yang dicintai. Penelitian ini
menggunakan Latent Class Analysis (LCA) yang tiga sub kelompok diidentifikasi
sebagai kelas resilient, kelas dominan GDB, dan kelas gabungan GDB/PTSD. Kelas
resilient memiliki tanda probabilitas rendah untuk mendukung semua PTSD dan
sebagian besar gejala GDB. Kelas yang didominasi Gangguan Duka Berkepanjangan
dicirikan oleh probabilitas tinggi untuk mendukung semua kecuali tiga gejala
Gangguan Duka Berkepanjangan dan tidak ada gejala PTSD. Anak-anak di kelas
gabungan membuktikan probabilitas tinggi untuk mendukung semua gejala PGD dan
tujuh gejala PTSD terkait kematian.
Probabilitas bahwa gejala "kerinduan untuk almarhum" dan "kesulitan
menerima kehilangan" didukung tinggi di ketiganya kelompok. Ini menunjukkan
bahwa kedua gejala ini tidak cukup membedakan antara anak-anak yang menderita
gangguan duka berkepanjangan pervasif dan anak-anak dengan tekanan yang lebih
ringan. Ada kemungkinan bahwa manifestasi kerinduan yang lebih ekstrim (dalam
bentuk, misalnya, keasyikan mendalam dalam pikiran tentang orang yang hilang dan
rasa sakit yang luar biasa ketika menguraikan tentang ireversibilitas kehilangan) dan
non-penerimaan (dalam bentuk misalnya, perilaku mencari kedekatan yang
terus-menerus atau penolakan kematian) memang menggambarkan lebih terganggu
dari kelas tangguh (resilient).
Penelitian saat ini serupa dengan pengamatan terhadap orang dewasa yang
mengalami kehilangan memberikan bukti awal bahwa pada anak-anak dan orang
dewasa yang mengalami kehilangan, ada sub kelompok yang berbeda dalam hal sifat
gejala tertentu (misalnya, beberapa mengalami gangguan duka berkepanjangan, yang
10
lain terutama mengalami gejala bersamaan antara gangguan duka berkepanjangan
ditambah stres pasca-trauma dan/atau depresi) daripada berdasarkan intensitas
bertahap dari respons pasca-kehilangan umum.Keanggotaan kelas secara signifikan
terkait dengan indeks psikopatologi dan gangguan fungsi.
Secara khusus, pada anak-anak di kelas resilient menunjukan tingkat self-rated
dari PGD, PTSD terkait berduka, depresi, dan gangguan fungsional terendah.
Sementara itu secara signifikan lebih tinggi di kelas gangguan duka berkepanjangan,
dan tertinggi di kelas gabungan Gangguan Duka Berkepanjangan atau Gangguan Stres
Pasca Trauma. Hal ini menunjukkan bahwa subkelompok anak-anak yang berduka
yang lebih tertekan dalam hal kesedihan dan gejala stres traumatis, mengalami
kesusahan dan kecacatan dalam domain yang berbeda. Ada kemungkinan bahwa laju
klinis kedukaan yang terganggu pada anak-anak lebih kuat dipengaruhi oleh
faktor-faktor intrinsik anak lainnya, termasuk penilaian negatif dan perilaku koping,
daripada oleh faktor-faktor sosial-lingkungan. Literatur tentang PTSD masa
kanak-kanak memang menunjukkan bahwa penyesuaian masa kanak-kanak terhadap
peristiwa yang membuat stres lebih ditentukan oleh variabel intrapersonal dan
pasca-peristiwa daripada oleh sifat peristiwa itu sendiri.
Selain itu, di Cina ada sebuah keluarga yang disebut keluarga Shidu (失独),
yaitu keluarga yang mengalami kematian satu-satunya anak mereka tanpa kesempatan
untuk mengandung anak lain sehingga menyebabkan orang tua pada posisi yang
kurang menguntungkan. Kondisi apabila orang tua kehilangan anak tunggal dan tidak
memiliki anak yang masih hidup saat ini serta berusia di atas 49 tahun, mereka dapat
menerima bantuan dan subsidi bulanan dari pemerintah Cina. Orang tua yang
menghadapi kehilangan anak mungkin mengalami tekanan perpisahan yang parah dan
rasa sakit emosional yang terkait dengan kehilangan (misalnya, kesedihan), dan
beberapa mungkin mengalami gejala ini terus-menerus untuk waktu yang lama, yang
mengarah ke pengembangan Gangguan Kesedihan Berkepanjangan (PGD).
PGD adalah gangguan baru yang ditambahkan ke edisi 11 International
Classification of Diseases (ICD-11) dan juga termasuk dalam bagian untuk gangguan
yang memerlukan studi lebih lanjut dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-5) sebagai kompleks persisten gangguan kehilangan (PCBD).
Umumnya faktor sosio-demografis, kehilangan dan kondisi fisik mungkin memiliki
pengaruh pada keparahan kesedihan orang tua yang berduka. Namun, pemeriksaan
11
menyeluruh tentang hubungan antara faktor-faktor ini dan gejala PGD dari pedoman
ICD-11 di antara orang tua yang berduka di Tiongkok dinilai masih sedikit.
Penelitian oleh Zhou, dkk., (2020) merupakan studi pertama yang
memperkirakan prevalensi dan terkait faktor PGD berdasarkan pedoman ICD-11
terhadap partisipan yaitu orang tua Shidu Cina . Beberapa faktor yang terkait
munculnya PGD yang lebih parah termasuk usia orang tua yang lebih muda, jenis
kelamin perempuan, tinggal di daerah pedesaan, pendapatan per bulan yang lebih
rendah, waktu yang lebih singkat sejak kehilangan dan penyakit fisik yang lebih
kronis. Melalui analisis regresi linier berganda, penliti menemukan hasil yang
konsisten terhadap penelitian sebelumnya. Orang tua yang lebih muda memiliki gejala
PGD yang lebih parah. Orang tua yang lebih muda biasanya memiliki lebih banyak
ambisi dan rencana masa depan, yang akan benar-benar terbalik ketika anak tunggal
mereka meninggal (Zetumer, dkk., 2015).
Ibu memiliki gejala PGD yang lebih parah dibandingkan dengan ayah (Keese,
2008). Beberapa alasannya yaitu pertama, pengalaman kehilangan pada ibu lebih
menunjukan kesedihan emosional setelah anaknya meninggal. Biasanya ibu adalah
salah satu yang paling mengurus anaknya dan memiliki hubungan kelekatan lebih
kuat dengan anak (Alam, dkk., 2012a). Kedua, ibu dan ayah memiliki gaya koping
yang berbeda (Wing, dkk., 2001). Seorang Ibu lebih memusatkan perhatiannya pada
rasa sakit kematian anak dan lebih banyak melampiaskan emosi dukanya, sedangkan
Ayah cenderung lebih memperhatikan kehidupan atau pekerjaan saat ini dan memilih
untuk menekan emosi dukanya (Alam et al., 2012b). Karena gejala kesedihan dinilai
berdasarkan frekuensi dan tingkat emosi kesedihan maka merupakan normal untuk
menemukan tingkat kesedihan yang lebih tinggi untuk ibu yang berfokus pada emosi.
Ketiga, wanita mampu lebih sensitif terhadap reaksi emosional dan dapat
mengekspresikan emosi secara alami dan mudah, sedangkan laki-laki mungkin tidak
sensitif terhadap emosinya dan tahan untuk mengungkapkan kesedihannya secara
terbuka (Chen et al., 1999; Montagne et al., 2005). Laki-laki masih sedikit yang
melaporkan frekuensi emosi kesedihan salah satunya karena kurangnya kesadaran
mereka. Tempat tinggal juga turut mempengaruhi sebab tinggal di pedesaan
berkorelasi dengan peningkatan tingkat reaksi kesedihan. Orang-orang di pedesaan
mungkin memiliki sumber daya yang lebih sedikit secara emosional dan material,
seperti akses ke kelompok bantuan diri atau kelompok kepentingan umum (Montagne,
dkk., 2005).
12
Namun hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari penelitian di Cina tersebut
bahwa budaya tradisional Tionghoa lebih mengakar di daerah pedesaan, kemungkinan
memunculkan norma sosial budaya yang lebih kuat yang dapat meningkatkan rasa
bersalah dan stigma orang tua Shidu (misalnya, tidak memiliki keturunan berarti tidak
ada yang melanjutkan keluarga atau orang yang anaknya meninggal dapat membawa
dampak buruk. keberuntungan bagi orang lain) dan menurunkan masa pemulihan
mereka dari kesedihan (Shi et al., 2019). Ketegangan finansial yang lebih berat juga
berkorelasi dengan reaksi kesedihan yang lebih parah, sejalan dengan penelitian
sebelumnya tentang peran status sosial ekonomi yang lebih rendah sebagai faktor
risiko kesedihan yang berkepanjangan.
13
2.7 Jenis-jenis Berduka
Menurut Hidayat (2021), terdapat beberapa jenis grieving (berduka) yaitu
sebagai berikut :
a. Berduka normal
Merupakan jenis berduka yang terdiri dari perasaan, perilaku serta reaksi yang
normal terhadap kehilangan. Misalnya seperti kesedihan, kemarahan, menangis,
kesepian, serta sementara memutuskan untuk menarik diri dari aktivitas.
b. Berduka antisipatif
Merupakan proses ‘melepaskan diri’ yang timbul sebelum peristiwa kehilangan
atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Contohnya ketika seseorang mengetahui.
bahwa dirinya didiagnosa mengalami penyakit yang tidak mempunyai harapan
untuk sembuh maka ia akan memulai proses perpisahan dan menyelesaikan semua
urusan di dunia sebelum ajalnya datang.
c. Berduka yang rumit
Berduka jenis ini dialami oleh seseorang yang sulit melangkah ke tahap berikutnya
yaitu tahap kedudukan normal. Seolah-olah masa berkabung tidak kunjung
berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang
lain.
d. Berduka tertutup
Merupakan kedukaan yang terjadi karena adanya kehilangan yang tidak bisa diakui
secara terbuka. Misalnya adalah kedukaan yang dialami oleh seorang ibu yang
kehilangan bayi nya ketika masih di dalam kandungan atau saat proses persalinan.
14
gelombang pertama rasa sakitnya dimana ia masih belum percaya dengan
peristiwa yang ada dan dialaminya. Seseorang yang baru saja berduka, biasanya
akan menunjukan respon kaget, tidak percaya, hingga mengingkari kenyataan
yang terjadi. Umumnya fase ini terlewati dalam beberapa menit bahkan bagi
beberapa orang baru dapat terlewati hingga dalam beberapa tahun kemudian.
b. Anger
Pada fase ini, seseorang akan merasa adanya rasa sakit dan penyangkalan yang
mulai memudar. Namun, orang dengan rasa sakit menjadikannya rentan terhadap
emosi yang dirasakannya hingga seringkali meluapkan rasa sakitnya dengan
mengeluarkan kemarahannya. Perasaan kemarahan ini biasanya diwujudkan
dalam rasa kecewa hingga membenci orang yang telah meninggal. Bahkan
kemarahan ini bisa dilampiaskan ke orang yang tidak dikenalnya.
c. Bargaining
Seseorang mulai melindungi diri dari rasa sakitnya dengan bersepakat dan
berkeluh kesah dengan Tuhannya. Fase ini merupakan fase pertahanan terlemah
untuk melindungi diri seseorang terhadap kenyataan yang tidak mengenakan.
Seseorang yang bersangkutan mulai dapat percaya dengan kenyataan yang ada.
Setelah bisa percaya dan kemarahan yang ada mulai sedikit demi sedikit
memudar, akan timbul perasaan merasa bersalah. “kalau saja saya sebelumnya…”
d. Depression
Fase depresi akan berakhir apabila seseorang telah memiliki jaminan dan
keyakinan bahwasanya kehidupannya akan berjalan dengan baik-baik saja. Afeksi
berupa pemberian pelukan serta pujian kepada mereka bisa meredakan fase ini.
Fase depresi ini menjadi tahap persiapan untuk bisa menerima semua kenyataan.
Orang yang sedang berada dalam tahapan depresi ini, umumnya menunjukkan
sikap penurut, putus asa, sedih, ragu-ragu, tidak berharga, dan juga menarik diri
dari lingkungannya.
e. Acceptance
Pada tahapan berduka ini ditandai dengan seseorang yang telah menerima
kematian. Tahap ini tak selalu merupakan tahap yang menyenangkan atau
membuat semangat seseorang yang berduka kembali bangkit. Bukan berarti pula
bahwa seseorang telah berhasil melampaui rasa sedihnya atas kehilangan. Jika
peristiwa kehilangan ini tidak lagi dirasa begitu buruk dibanding dengan hal
15
buruk lain yang sebelumnya telah mereka lalui, perasaan kurang puas dan kurang
bisa menerima bisa diminimalisir.
16
kesulitan menghadapi kenyataan ini akan semakin mudah dilakukan apabila
seseorang yang ditinggalkan mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya
agar kembali memiliki kekuatan sehingga bisa memudahkannya dalam melalui
tahap keberdukaan.
17
hidup, rasa mandiri dan percaya diri dirasakan. Dengan mencoba dan
menjalankan peran dan fungsi yang baru ditetapkan, individu yang berduka
menjadi kuat pribadinya. Pada fase ini, orang yang meninggal masih dirindukan,
tetapi memikirkannya tidak lagi menimbulkan perasaan sedih.
c. Respon spiritual
Selama kehilangan, dalam dimensi spiritual pengalaman manusialah seseorang
mungkin paling merasa terhibur, tertantang, atau bahkan hancur. Individu yang
berduka mungkin menjadi kecewa dan marah kepada Tuhan atau tokoh agama
lain atau anggota ulama. Kesedihan karena ditinggalkan, kehilangan harapan,
atau kehilangan makna dapat menyebabkan penderitaan spiritual yang mendalam.
Dengan menemukan penjelasan dan makna melalui keyakinan spiritual atau
agama yang diarahkan oleh pihak professional, klien dapat mulai
mengidentifikasi aspek positif dan mungkin aspek proses berduka yang
menyenangkan.
d. Respons perilaku
Respons perilaku terhadap kesedihan seringkali respons yang paling mudah
diamati. Pada fase awal berduka, individu menunjukkan bahwa ia mati
rasa—bahwa kenyataan kehilangan belum dipahaminya. Selanjutnya, individu
menangis, berteriak, menunjukkan kegelisahan hebat, dan melakukan pencarian.
Individu juga berupaya mencari serta menghindari tempat atau aktivitas yang
pernah dilakukan bersama orang yang telah meninggal, dan menyimpan benda
berharga yang dimiliki atau digunakan bersama orang yang telah meninggal
padahal ingin membuang benda tersebut, menggambarkan emosi yang fluktuatif
dan harapan untuk bertemu kembali.
e. Respons fisiologis
Individu yang berduka mungkin mengalami insomnia, sakit kepala, gangguan
nafsu makan, penurunan berat badan, kekurangan energi, jantung berdebar,
gangguan pencernaan, dan perubahan sistem kekebalan dan endokrin. Gangguan
tidur adalah salah satu gejala terkait duka yang paling sering dan persisten.
18
mentastis. Data yang diperoleh dari Sub Bagian Rekam Medik Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto menemukan
bahwa pada tahun 2018 terdapat kunjungan pasien kanker sebanyak 1246 pasien.
Kemoterapi merupakan cara pengobatan tumor dengan pembasmi sel kanker dari
berbagai kelas yang diminum maupun di infus ke pembuluh darah untuk
menghancurkan sel kanker. Kemoterapi tersebut berpengaruh pada fisik dan
psikologis keluarga. Fungsi dan peran seluruh keluarga akibat merawat anggota
keluarga yang menderita kanker kronis akan berpengaruh pada seluruh anggota
keluarga. Masalah yang muncul dapat berupa kecemasan, depresi, marah, dan
menangis. Depresi merupakan salah satu gangguan perasaan yang ditandai
dengan gangguan fungsi sosial dan fungsi fisik. Salah satu cara menjaga
keseimbangan hati dan pikiran adalah dengan pemenuhan kebutuhan spiritual.
Intervensi yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual adalah life
review yang spesifik digunakan untuk keluarga berduka, yaitu bereavement life
review.
Bereavement life review merupakan terapi psikologis yang berkembang
dari konsep life review. Konsep life review pertama kali dikemukakan oleh Butler
dalam (Dewi, S., Suprihatiningsih, T., & Pranowo, S., 2019) dengan konsepnya
yang menjelaskan bahwa life review adalah bentuk proses psikologis yang terjadi
secara alamiah dan ditandai dengan adanya kesadaran progresif yang terkait
dengan pengalaman masa lalu, dan munculnya kembali permasalahan yang belum
diselesaikan. Pengalaman akan dimunculkan kembali dan permasalahan tersebut
muncul ketika terjadi permasalahan atau ketika ajal mendekati. Proses life review
merupakan fenomena yang luas sebagai gambaran dari pengalaman suatu
peristiwa di mana individu akan melihat secara cepat totalitas kehidupannya.
Bereavement life review muncul dari adanya kebutuhan keluarga akan
pendampingan psikososial dan persiapan akan berduka yang efektif.
Perkembangan Bereavement Life Review dikemukakan pada penelitian yang
berjudul “Effect of bereavement life review on Spiritual Well-Being and
Depression” yang dinamakan sebagai bereavement life review. Pengembangan
bereavement life review merupakan pengembangan konsep life review yang
ditujukan khusus untuk keluarga dalam pendampingan proses berduka dan
penguatan psikososial keluarga dengan pasien terminal atau telah meninggal.
19
Bereavement life review memiliki tahap. Proses pertama adalah
rekonstektualisasi, yaitu menyusun kembali pemaknaan diri. Proses ini muncul
ketika individu mulai mengungkapkan perasaannya terkait pemaknaan hidup.
Setiap individu memiliki waktu rekonstektualisasi yang berbeda dan
membutuhkan perenungan. Proses ini merupakan kunci utama sebelum memasuki
tahap yang berikutnya.
Tahap kedua adalah proses memaafkan terhadap diri individu. Proses ini
terjadi ketika rekonstektualisasi telah tergali dan membutuhkan waktu 2-4 hari
tergantung kemampuan individu dan tingkat perkembangan. Pada orang dewasa
proses pemaafan diri terjadi lebih cepat karena telah mampu membedakan mana
yang benar dan salah dengan sadar, serta pertimbangan spiritual maupun norma
secara kuat.
Tahap ketiga adalah refleksi yang penting dalam penggalian dan
penemuan makna hidup. Individu yang mampu merefleksikan diri dengan baik
akan memiliki pemaknaan hidup yang lebih baik pula. Proses refleksi ini
dipengaruhi oleh tingkat perkembangan agama, dan latar belakang budaya. Tahap
perkembangan dewasa merupakan tingkat yang tepat dan mampu secara cepat
dalam proses refleksi karena telah matang dalam hal agama, spiritual, maupun
norma di masyarakat. Refleksi akan muncul lebih cepat ketika ditambah dengan
visualisasi berupa kata dan gambar yang terkait dengan proses rekonstektualisasi
yang dijalani sebelumnya.
Bereavement life review dilakukan dalam dua sesi. Sesi pertama dilakukan
30-60 menit dan diberikan pertanyaan terkait pemaknaan hidup keluarga dengan
interval wawancara satu minggu. Pertanyaan yang diberikan pada sesi pertama
adalah (1) apa yang menurut Anda paling penting dalam kehidupan Anda,
berikan alasannya?; (2) hal apa yang menurut Anda yang paling berkesan dari
pasien sampai saat ini?; (3) sampai saat ini, ketika merawat pasien apa yang
paling berkesan menurut Anda?; (4) hal apa yang menjadikan diri Anda bangga
dalam merawat pasien sampai saat ini?; (5) hal apa yang berperan terhadap
kehidupan Anda?; (6) apa yang Anda banggakan di hidup Anda? Hasil
wawancara dengan pasien direkam. Setelah wawancara sesi pertama selesai,
terapis mentranskripsi hasil wawancara dan peneliti membuat mini album yang
berisi kata kunci dari pertanyaan dan dari pertanyaan tersebut digambarkan di
dalam album dan diberikan pada pasien.
20
2. Kasus 2: Anak ditinggal Orangtua
Anak yang ditinggal mati orangtua sangat rentan pada masalah psikologis
dan somatis sepeninggalnya orangtua. Peristiwa meninggalnya orang tua
sangatlah traumatis, terutama pada anak yang masih kecil atau masih remaja.
Dilansir di Kompas.com oleh Media (2021), seorang gadis kecil dan adik
laki-lakinya yang telah ditinggal orang tuanya selama 3 hari di rumah, ditemukan
orang tuanya meninggal dunia karena keracunan makanan. Sang putri yang masih
kecil mengatakan bahwa ayahnya menghitam, anak ini pada saat itu juga masih
belum memahami situasinya saat itu. Dilansir di SehatQ (2019) terdapat
seseorang dengan nama anonim yang menceritakan pengalamannya setelah
ibunya meninggal dunia. Anonim yang disebut R ini selalu merasa emosian dan
kesepian yang berat. R juga sering merasa sedih dan menangis berlebihan tanpa
sebab. R juga lebih sering menyendiri dan menolak terbuka kepada orang lain.
Mengingat besarnya dampak kematian orang tua pada anak, sebuah
intervensi harus dilakukan untuk menangani dampak yang muncul. Salah satu
intervensi yang dapat digunakan adalah expressive writing intervention.
Intervensi ini fokus pada penggunaan media menulis bagi target sasarannya.
Menurut Rohmah & Praktikto (2019) expressive writing dapat membantu
menurunkan stres yang mana penulisan ini dapat membantu mengeluarkan emosi
negatif seperti duka, sedih, dan kecewa. Expressive writing menjadikan individu
lebih mudah mengekspresikan emosinya, memisahkan masalah dari dirinya
sendiri, mampu mengurangi gejala psikosomatis, dan meningkatkan
pemberdayaan diri. Expressive writing sendiri dapat dilakukan secara
berkelompok maupun individu. Teknik dari intervensi ini sendiri layaknya
menulis di buku harian ada blog seseorang.
3. Kasus 3: Orang Tua Kehilangan Anak
Berdasarkan studi oleh Polita, dkk (2020) orangtua yang kehilangan
anaknya, dalam konteks ini kehilangan karena kanker, merasa kedukaan yang
sangat mendalam. Salah satu orang tua dalam studi ini berkata bahwa “perasaan
duka karena kehilangan anak ini muncul bahkan sebelum anak saya meninggal,
yaitu ketika diberikan diagnosis kanker”. Orang tua pada studi ini merasakan
shock, kesedihan yang mendalam, kekosongan, kesepian, kecemasan, depresi,
stres, insomnia, gejala psikosomatis, dan lainnya. Dalam proses berduka, ada
orang tua yang memilih menahan perasaannya, namun ada juga yang membuka
21
diri dengan ekspresif. Adanya duka yang mendalam ini tentu membutuhkan
intervensi lebih lanjut.
Salah satu intervensi yang cocok adalah intervensi dengan pendekatan
family focused grief. Menurut Chan, dkk (2004) intervensi ini merupakan
intervensi pencegahan untuk keluarga yang kehilangan anggota keluarganya yang
berisiko mengalami penurunan fungsi. Intervensi ini ditargetkan untuk keluarga
yang memiliki anggota keluarga dengan diagnosa kanker terminal. Tujuan dari
intervensi ini adalah untuk membantu keluarga yang mengalami disfungsi akibat
kehilangan melalui promosi fungsi keluarga, komunikasi, kesatuan keluarga, dan
manajemen konflik. Intervensi ini dilakukan oleh psikolog yang berisikan
beberapa sesi. Dalam intervensi ini, psikolog akan mengidentifikasi permasalahan
utama dalam keluarga dan membantu meningkatkan motivasi untuk bangkit
dengan positive reinforcement (Masterson, dkk., 2013). Intervensi ini juga
berfokus pada 3C, yaitu communications (komunikasi), cohesiveness (kesatuan),
dan conflict (konflik).
22
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Kehilangan adalah suatu keadaan yang dirasakan oleh seseorang ketika
berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada kemudian menjadi tidak ada, baik
sebagian maupun keseluruhan. Hal ini mencakup peristiwa perceraian, kecelakaan,
bahkan kematian. Kehilangan dapat dimaknai sebagai momen hilangnya sumber
kebahagiaan ataupun figur teladan, juga dapat menjadi momen yang melatih
pendidikan mental dan spiritual individu. Selanjutnya, kehilangan dapat terjadi secara
tiba-tiba dan tidak diramalkan, seperti akibat kekerasan, pembunuhan, maupun
kehilangan yang berangsur-angsur dan dapat diramalkan, layaknya kehilangan orang
yang sudah menderita penyakit tertentu sebelumnya.
Berkaitan dengan kehilangan, berduka adalah reaksi terhadap kehilangan
seseorang dimana individu tersebut merasakan penderitaan emosional yang
disebabkan oleh sesuatu atau seseorang yang dicintai atau mempunyai harapan besar
telah menghilang. Secara berurutan, seseorang yang berduka mengalami beberapa
tahapan, yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Beberapa
kemungkinan penyebab seseorang mengalami rasa keberdukaan, diantaranya karena
hubungan individu dengan almarhum, jenis kelamin dan usia orang yang ditinggalkan,
serta proses kematian tersebut.
Individu yang berduka, tentu memiliki tanggapan atau reaksi yang berbeda
dalam menanggapi peristiwa duka cita, baik itu melalui pikiran, kata-kata, perasaan,
dan tindakan mereka serta melalui tanggapan fisiologis mereka. Respons-respons
individu tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam lima jenis respons, diantaranya
respons kognitif (individu mempertanyakan dan mencoba memahami kehilangan),
respons emosional (rasa cemas, marah, putus asa), respons spiritual (marah kepada
Tuhan dan melakukan pendekatan spiritual untuk memberikan perasaan yang lebih
baik), respons perilaku (berteriak, berusaha menghindarkan diri dari benda-benda
orang yang telah meninggal), serta respons fisiologis (insomnia, gangguan nafsu
makan, dan gangguan tidur).
Individu yang ditinggalkan mungkin saja mengalami permasalahan dan
pendampingan, salah satu intervensi yang dapat diterapkan yakni bereavement life
review, dengan fokus penguatan psikososial keluarga dan pendampingan proses
23
berduka. Intervensi ini dapat dilakukan dalam tiga aspek yang diharapkan dapat
membantu individu, diantaranya menyusun kembali pemaknaan diri, memaafkan
terhadap diri individu, serta proses refleksi dalam penggalian dan penemuan makna
hidup.
3.2 Saran
Kami selaku penulis menyadari apabila makalah yang kami buat masih jauh
dari kata sempurna. Untuk selanjutnya, kami selaku penulis akan berusaha
memperbaiki makalah ini dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca. Kedepannya, penulis akan membaca lebih banyak
sumber seperti buku, jurnal, artikel yang terkait dengan materi dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan agar makalah yang kami susun bisa memberikan informasi,
ilmu, dan wawasan tambahan kepada para pembaca.
24
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, L. (1994). Dying, Death, and Bereavement (3 rd ed). Boston: Allyn and Bacon.
Alam, R., Barrera, M., D'Agostino, N., Nicholas, D. B., & Schneiderman, G., (2012).
Bereavement experiences of mothers and fathers over time after the death of a child
due to cancer. Death Study, 36(1), 1–22.
Alisic, E., Van der Schoot, T.A.W., Van Ginkel, J.R., Kleber, R.J., 2008. Trauma exposure
in primary school children: who is at risk? J. Child Adolesc. Trauma 1, 263–269.
Au, T.M., Dickstein, B.D., Comer, J.S., Salters-Pedneault, K., Litz, B.T., 2013.
Co-occurring posttraumatic stress and depression symptoms after sexual assault: a
latent profile analysis. J. Affect. Disord. 149, 209–216.
Boelen, P. A., Spuij, M., & Reijntjes, Albert. H. A. (2017). Prolonged grief and
posttraumatic stress in bereaved children: A latent class analysis. Psychiatry Research,
518-524. Doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.psychres.2017.09.002
Chan, E., O'Neill, I., McKenzie, M., Love, A., & Kissane, D. (2004). What works for
therapists conducting family meetings: treatment integrity in family-focused grief
Therapy during palliative care and bereavement. Journal Of Pain And Symptom
Management, 27(6), 502-512. https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2003.10.008
Cerniglia, L., Cimino, S., Ballarotto, G., & Monniello, G. (2014). Parental loss during
childhood and outcomes on adolescents' psychological profiles: a longitudinal study.
Current Psychology, 33(4), 545-556. DOI 10.1007/s12144-014-9228-3
Dewi, S., Suprihatiningsih, T., & Pranowo, S. (2019). Pengaruh bereavement life review
terhadap depresi dan kesejahteraan spiritual keluarga pasien kemoterapi. Jurnal
Kesehatan Al-Irsyad, 7(2), 95-106.
25
Ferow, Aime. (2019). Childhood grief and loss. European Journal of Educational
Sciences, 1-13. Doi: 0.19044/ejes.s.v6a1
Galatzer-Levy, I. R., Nickerson, A., Litz, B.T., & Marmar, C. R. (2013). Patterns of
lifetime PTSD comorbidity: a latent class analysis. Depress. Anxiety 30, 489–496.
Harvey, J.H. (2002). Perspective on Loss and Trauma: Assaults on the Self. Thousand
Oaks: Sage Publications, Inc.
Hebenstreit, C., Madden, E., Maguen, S., (2014). Latent classes of PTSD symptoms in
Iraq and Afghanistan female veterans. J. Affect. Disord. 166, 132–138.
Hidayat, A., & Uliah, M. (2021). Keperawatan Dasar 2 Untuk Sekolah Vokasi. Surabaya:
Health Book Publishing.
James, J. W., & Friedman, R. (1998). The Grief Recovery Handbook: The Action Program
For Moving Beyond Death, Divorce, And Other Losses. New York: Harper Collins.
John W. Santrock (2007). Perkembangan Anak. Jilid 1 Edisi kesebelas. Jakarta : PT.
Erlangga.
Keesee, N.J., Currier, J.M., Neimeyer, R.A., (2008). Predictors of grief following the death
of one's child: the contribution of finding meaning. Journal Clinical. Psychology,
64(10), 1145–1163.
Masterson, M., Schuler, T., & Kissane, D. (2013). Family focused grief therapy: A
versatile intervention in palliative care and bereavement. Bereavement Care, 32(3),
117-123. https://doi.org/10.1080/02682621.2013.854544
Media, K. (2021). Anak Ditinggal 3 Hari di Rumah Ternyata Orang Tuanya Meninggal
Halaman all - Kompas.com. KOMPAS.com. Retrieved 14 September 2021, from
https://www.kompas.com/global/read/2020/10/23/210021970/anak-ditinggal-3-hari-
di-rumah-ternyata-orang-tuanya-meninggal?page=all.
26
Montagne, B., Kessels, R.P., Frigerio, E., de Haan, E.H., Perrett, D.I., 2005. Sex
differences in the perception of affective facial expressions: do men really lack
emotional sensitivity?. Cogn Process, 6(2), 136–141. Doi:
10.1007/s10339-005-0050-6
Nuha Hidayat, A, Aziz Alimul. (2012). Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan jilid 1. Jakarta : Salemba Medika
Pohlkamp, L., Kreicbergs, U., Prigerson, H.G., Sveen, J., (2018). Psychometric properties
of the prolonged grief disorder-13 (PG-13) in bereaved swedish parents. Psychiatry
Research, 267, 560–565.
Polita, N., de Montigny, F., Neris, R., Alvarenga, W., Silva-Rodrigues, F., Leite, A., &
Nascimento, L. (2020). The experiences of bereaved parents after the loss of a child
to cancer: A qualitative metasynthesis. Journal Of Pediatric Oncology Nursing,
37(6), 444-457. https://doi.org/10.1177/1043454220944059
Riyadi, S., & Purwanto, T. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rohmah, L., & Pratikto, H. (2019). Expressive writing therapy sebagai media untuk
meningkatkan kemampuan pengungkapan diri (self disclosure) pada pasien
skizofrenia hebefrenik. Psibernetika, 12(1).
https://doi.org/10.30813/psibernetika.v12i1.1584
Ross, Elisabeth Kubler dan David Kessler. (2004). On Grief And Grieving Finding The
Meaning Of Grief Through The Five Stages Of Loss. New York: Scribner.
Sedih dan merasa kesepian semenjak Ibu meninggal, bagaimana cara mengatasinya? |
SehatQ. SehatQ. (2021). Diakses 14 September 2021, dari
https://www.sehatq.com/forum/sedih-dan-merasa-kesepian-semenjak-ibu-meninggal
-bagaimana-cara-mengatasinya.
27
Simon, B. G. (1979). A Time To Grief: Loss as A Universal Human Experience. New
York: Family Service Association Of America.
Shi, G., Wen, J., Xu, X., Zhou, N., Wang, J., Shi, Y., Liu, H., Wang, J., Stelzer, E.-.M.,
(2019). Culture-related grief beliefs of Chinese shidu parents: development and
psychometric properties of a new scale. Eur. J. Psychotraumatol, 1 (1), 1626075
Wing, D. G., Burge-Callaway, K., Rose Clance, P., Armistead, L., (2001). Understanding
gender differences in bereavement following the death of an infant: implications of
or treatment. Psychotherapy, 38(1), 60.
Zetumer, S., Young, I., Shear, M.K., Skritskaya, N., Lebowitz, B., Simon, N., Reynolds,
C., Mauro, C., Zisook, S., (2015). The impact of losing a child on the clinical
presentation of complicated grief. J. Affect. Disord. 170, 15–21.
Zhou, N., Wen, J., Stelzer, E. M., Killikelly, C., Yu, W., Xu, X., Shi, G., Luo, H., Wang, J.,
& Maercker, A. (2020). Prevalence and associated factors of prolonged grief
disorder in Chinese parents bereaved by losing their only child. Psychiatry Research,
1-6. Doi: https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.112766
28