Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DAN

PASANG SURUT

Oleh :
Nama : Jimi Pikto; NIM : 193020404080; Tanda Tangan Mahasiswa
KELOMPOK IV

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA


FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN/PROGRAM STUDI KEHUTANA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
izin dan kekuatan kepada kami, sehingga saya dapat menyelesaikan laporan ini
dengan materi “Pengelolaan Lahan Gambut dan Pasang Surut”.

Meskipun banyak hambatan yang saya alami dalam proses pengerjaannya,


tetapi saya berhasil menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
saya sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing saya, yang telah
membantu dan membimbing dalam mengerjakan laporan ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang


juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam
pembuatan laporan ini. Tentunya ada hal-hal yang ingin saya berikan kepada
masyarakat dari hasil laporan ini.

Karena itu saya berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang
berguna bagi kita bersama. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun laporan ini
masih jauh dari kesempurnaan.

Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
guna sempurnanya laporan ini. Penulis berharap semoga laporan ini bisa
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Palangka Raya, 10 November 2021

Jimi Pikto

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
I. PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Tujuan.......................................................................................... 2

II. LANDASAN TEORI....................................................................... 3


A. Gambut dan Lahan Gambut........................................................ 3
B. Subsiden dilahan Gambut............................................................ 7
C. Emisi Karbon di Lahan Gambut.................................................. 8
III. METODE PELAKSANAAN........................................................... 9
A. Waktu Pelaksanaan...................................................................... 9
B. Peralatan...................................................................................... 9
C. Pengelolaan Data......................................................................... 9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 10
A. Prediksi Subsiden........................................................................ 10
B. Prediksi Estimasi Emisi Karbon.................................................. 12
V. PENUTUP........................................................................................ 14
A. Kesimpulan.................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA

iii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudah sejak lama pemerintah mencanangkan lahan gambut di Kalimantan
sebagai salah satu sentra produksi tanaman pangan di Indonesia. Langkah ini
diambil mengingat besarnya potensi lahan gambut di Kalimantan. Pemerintah
merasa dengan pemanfaatan lahan gambut secara optimal maka swasembada
pangan bisa terwujud. Sejak tahun 1969 hingga tahun 1999 tellah muncul
berbagai program pemerintah seperti Proyek Pembukaan Persawahan Pasang
Surut dan Proyek Pengembangan Lahan Gambut untuk mencapai kondisi pangan
yang lebih baik. Hingga hari ini telah dibuka 5,25 juta hektar lahan gambut yang
dimanfaatkan untuk areal tanam di Kalimantan (Balittra, 2001).
Namun, pengelolaan lahan gambut tidak semudah apa yang dibayangkan.
Dalam perjalanannya berbagai masalah ditemui dalam memanfaatkan lahan
gambut. Hal ini terjadi karena lahan gambut memiliki karakteristik yang jauh
berbeda dengan sawah maupun tegalan yang sudah umum ditemui di Indonesia.
Butuh waktu yang lama untuk bisa merubah lahan gambut menjadi lahan yang
produktif dan cocok untuk kegiatan pertanian. Butuh berbagai perbaikan dan
perlakuan agar sayuran, tanaman semusim, tanaman tahunan, dan buah bisa
tumbuh subur di area lahan gambut. Diperlukan penanganan yang sesuai karena
lahan gambut juga berfungsi sebagai penyangga lingkungan.
Masalah lain yang timbul adalah berbagai penolakan terhadap proyek gambut
yang dikeluarkan pemerintah oleh petani di Kalimantan. Hal ini bisa terjadi
karena menurut Sutanto (2002), selama ini kiblat dari para pemegang kebijakan
terkait pembuatan proyek lahan gambut banyak yang bertentangan dengan
pengetahuan dan kearifan lokal petani. Akibatnya terjadi penolakan dari petani
untuk mengadopsi teknologi inovasi yang ditawarkan oleh pemerintah.
Kesangsian petani terhadap hasil produksi dan bahayanya terhadap alam juga
menjadi salah satu alasan kenapa gelombang penolakan dari petani datang begitu
keras. Petani lebih memilih untuk mengelola lahan gambut sesuai dengan praktik-
praktik lokal yang selama ini mereka gunakan. Lebih lanjut De Boef et al dalam
Sunaryo dan Joshi (2003) mengemukakan bahwa gagalnya adopsi inovasi pada

1
masyarakat terjadi bukan karena sumber daya manusia yang lemah atau rancang
bangun teknologi yang sukar. Namun, kegagalan tersebut lebih terjadi karena
teknologi dan inovasi yang diberikan kepada masyarakat tidak sesuai dengan
kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat.
Petani lahan gambut di Kalimantan pada dasarnya sudah memiliki bekal
untuk mengelola lahan gambut. Berbagai kearifan lokal yang diturunkan secara
turun-temurun menjadi acuan petani dalam mengolah lahan gambut. Sudah sejak
lama masyarakat di Kalimantan memanfaatkan lahan gambut untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup mereka. Praktek pengelolaan lahan gambut yang ada
kemudian diturunkan kepada generasi selanjutnya lewat tradisi lisan, sehingga
penulisan paper ini bertujuan untuk mendokumentasikan kearifan lokal yang
dimiliki petani Kalimantan dalam rangka mengelola lahan gambut. Hal ini
dimaksudkan agar ke depan lahan gambut bisa dikelola dengan baik dan sesuai
dengan pengetahuan yang dimiliki oleh petani. Tujuan lainnya adalah agar
warisan budaya ini tidak hilang namun bisa diketahui oleh banyak pihak dan bisa
dijadikan pertimbangan dalam mengambil sebuah kebijakan terkait proyek lahan
gambut.

B. Tujuan
1. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami karakter maupun
fenomena tipologi lahan gambut terdegradasi dan/atau yang didrainase
(berkanal), khususnya melalui studi kasus.
2. Mahasiswa dapat memprakirakan jumlah emisi CO2 pada lahan gambut
terdegradasi dan/atau yang didrainase (berkanal).

2
II. LANDASAN TEORI

A. Gambut dan Lahan Gambut


Pada pengelolaan tanah gambut untuk usaha pertanian, yang pertama-tama
harus diperhatikan adalah dinamika sifat-sifat fisika dan kimia tanah
gambut, yaitu meliputi: (1) Sifat kemasaman tanah yang dikaitkan dengan
pengendalian asam-asam organik meracun, (2) Kesuburan tanah sehubungan
dengan ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman
yang diusahakan, dan (3) Kebakaran lahan gambut dan (4) Pengaturan tata air
pada lahan gambut sesuai kebutuhan tanaman (Studi Puslitanak, 2000).
Diantara sifat yang penting dari tanah gambut di daerah tropis, yaitu bahan
penyusun berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan tergenang, sifat menyusut
dan subsidence (penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak
balik, pH yang sangat rendah dan status kesuburan tanah yang rendah.
Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh beberapa hal di atas
(Andriesse, 1988).
Sifat-sifat tanah gambut yang menjadi penghambat dalam pengembangan
pertanian, yaitu meliputi sebagai berikut:
1. Sifat Fisik
Sifat-sifat fisik gambut sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air gambut.
Bahan penyusun gambut terdiri dari empat komponen yaitu bahan organik, bahan
mineral, air dan udara. Perubahan kandungan air karena reklamasi gambut akan
ikut merubah sifat-sifat fisik lainnya (Andriesse, 1988). Mengingat sifat-sifat fisik
tanah gambut saling berhubungan maka pembahasan sifat fisik dari tanah gambut
tidak dapat dilakukan secara terpisah. Uraian tentang sifat-sifat fisik gambut ini
akan dihubungankan dengan sifat-sifat kimia tanah gambut. Pemahaman akan
sifat-sifat fisik akan sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemanfaatan
gambut.
Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting
adalah: tingkat dekomposisi tanah gambut; kerapatan lindak, irreversible dan
subsiden. Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah,

3
dan kadar lengas gambut merupakan sifat-sifat fisik yang perlu mendapat
perhatian dalam pemanfaatan gambut.
Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan
menjadi: (1) Gambut kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3
bahan organk kasar; (2) Gambut sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik
kasar; dan (3) Gambut halus (Saprist) jika bahan organik kasar kurang dari 1/3.
Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi,
namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi tanaman.
Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah direklamasi.
Gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi memiliki
kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar (Hardjowigeno, 1996).
Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan
kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah
mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering
tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak
suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air
gambut menurun sehingga gambut sulit diusahakan bagi pertanian. Berkurangnya
kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut dan
permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase akan menyebabkan air
keluar dari gambut kemudian oksigen masuk kedalam bahan organik dan
meningkatkan aktifitas mikroorganisme, akibatnya terjadi dekomposisi bahan
organik dan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence) sehingga
permukaan gambut mengalami penurunan (Sabiham, S. 1993).
Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir.
Gambut diatas pasir kuarsa memiliki kesuburan yang relatip rendah, jika lapisan
gambut terkikis, menyusut dan hilang maka akan muncul tanah pasir yang sangat
miskin. Tanah lapisan lempung marin umumnya mengandung pirit (FeS2), pada
kondisi tergenang (anaerob) pirit tidak akan berbahaya namun jika didrainase
secara berlebihan dan pirit teroksidasi maka akan terbentuk asam sulfat dan
senyawa besi yang berbahaya bagi tanaman. Kemasaman tanah akan memningkat
pH menjadi 2-3 sehingga tanaman pertanian akan keracunan dan pertumbuhan
terhambat serta hasil rendah (Andriesse, 1988; Harjowigeno, 1996).

4
Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua
(gelap) tergantung tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan
kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk density
(0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95% menyebabkan terbatasnya
penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan
diusahakan (Ambak dan Melling, 2000).
Penurunaan gambut terjadi setelah dilakukan drainase, permukaan tanah
gambut akan mengalami penurunan karena pematangan gambut dan berkurangnya
kandungan air.
2. Sifat-sifat Kimia
Kesuburan gambut sangat bervariasi dari sangat subur sampai sangat miskin.
Gambut tipis yang terbentuk diatas endapan liat atau lempung marin umumnya
lebih subur dari gambut dalam (Widjaya Adhi, 1988). Atas dasar kesuburannya
gambut dibedakan atas gambut subur (eutropik), gambut sedang (mesotropik) dan
gambut miskin (oligotropik).
Secara umum kemasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin
tebal bahan organik maka kemasaman gambut meningkat. Gambut pantai
memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut
yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan
Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang seringkali sangat
kurang (Wong et al, 1986, dalam Mutalib et al, 1991). Kekahatan Cu acapkali
terjadi pada tanaman jagung, ketela pohon dan kelapa sawit yang ditanam di tanah
gambut (Ardjakusuma et al, 2001).
Tindak lanjut masalah tanah gambut yang sudah dipecahkan adalah
usaha memperbaiki kesuburan tanah digunakan pupuk (makro dan mikro) dan
bahan amelioran. Pupuk mikro digunakan pada tanah gambut dengan kedalaman
lebih dari 1 meter, pengapuran untuk menaikkan pH tanah  dan aplikasi
mikrobia pelapuk bahan organik (Mawardi et al, 1997)
Hasil penelitian Mawardi et al,  (1997) memperlihatkan bahwa bahan-
bahan amelioran dapat menetralkan asam-asam organik yang bersifat
meracuni, meningkatkan pH, dan memperbaiki pertumbuhan dan produksi
tanaman.

5
Dari hasil-hasil penelitian disimpulkan bahwa salah satu kegiatan pertanian
yang memberikan kontribusi yang nyata bagi rusaknya ekosistem gambut adalah
kegiatan pembukaan lahan gambut dengan cara bakar. Pembukaan lahan gambut
dengan cara bakar, menjadi faktor penyebab kerusakan lahan gambut yang cukup
signifikan (Hanafiah, K. A.  1992).
Alternatif mempertahankan dan meningkatkan kesuburan lahan gambut serta
menghindarkan dampak negatif penggunaan abu bakaran gambut dan pupuk
kimia antara lain dengan memadukan penggunaan limbah-limbah pertanian
sebagai amelioran dan penanaman varietas-varietas adaftif serta pemanfaatan
pupuk organik. Pembuatan abu sebagai bahan amelioran dilakukan petani
bersamaan dengan musim kemarau, yaitu dengan cara membakar gambut pada
waktu membersihkan lahan dari gulma dan semak belukar. Mahalnya harga pupuk
menyebabkan ketergantungan petani pada abu bakar dari gambut semakin
tinggi (Hanafiah, K. A.  1992).
Lahan gambut merupakan lahan yang berasal dari bentukan gambut beserta
vegetasi yang terdapat diatasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah,
dan bercurah hujan tinggi atau di daerah yang suhunya sangat rendah. Tanah
gambut mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi (>12% C. karbon) dan
kedalaman gambut minimum 50 cm. Tanah gambut diklasifikasikan sebagai
Histosol dalam sistem (Noor, M. 2001).
3.  Sifat Biologi               
Menurut Waksman dalam Andriesse (1988) perombakan bahan organik saat
pembentukan gambut dilakukan oleh mikroorganisme anaerob dalam perombakan
ini dihasilkan gas methane dan sulfida. Setelah gambut didrainase untuk tujuan
pertanian maka kondisi gambut bagian permukaan tanah menjadi aerob, sehingga
memungkinkan fungi dan bakteri berkembang untuk merombak senyawa
sellulosa, hemisellulosa, dan protein. Gambut tropika umumnya tersusun dari
bahan kayu sehingga banyak mengandung lignin, bakteri yang banyak ditemukan
pada gambut tropika adalah Pseudomonas selain fungi white mold dan Penecilium
(Suryanto, 1991). Pseudomonas merupakan bakteri yang mampu merombak
lignin(Alexander, 1977). Penelitian tentang dekomposisi gambut di Palangkaraya

6
menunjukkan bahwa dekomposisi permukaan gambut terutama disebabkan oleh
dekomposisi aerob yang dilaksanakan oleh fungi (Noor, M. 2001).

B. Subsiden di Lahan Gambut


Subsidens lahan merupakan tantangan dalam pengelolaan jangka panjang
perkebunan dan hutan tanaman di lahan gambut tropis. Seiring dengan waktu,
subsidens lahan meningkatkan risiko banjir berkala serta terjadinya genangan,
yang kemudian berpotensi menurunkan produktivitas. Subsiden lahan terjadi
karena adanya penyusutan gambut yang kering dan percepatan dekomposisi
gambut yang disebabkan paparan oksigen. Oksidasi tersebut selanjutnya dapat
menimbulkan emisi CO2 dari lahan gambut yang terdrainase.
Penurunaan gambut terjadi setelah dilakukan drainase, permukaan tanah
gambut akan mengalami penurunan karena pematangan gambut dan berkurangnya
kandungan air. Rata-rata kecepatan penurunan adalah 0,3-0,8 cm/bulan, dan
umumnya terjadi selama 3-4 tahun setelah drainase dan pengolahan tanah. Semakin
tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan semakin lama. Sifat gambut
seperti ini mengakibatkan terjadinya genangan, pohon rebah, dan konstruksi
bangunan (jembatan, jalan, saluran drainase) terganggu atau ambles (Sajarwan el
al, 2009). Masalah penurunan gambut ditanggulangi dengan cara sebagai berikut:
Penanaman tanaman tahunan didahului dengan penanaman tanaman semusim
minimal tiga kali musim tanam; dan dilakukan pemadatan sebelum penanaman
tanaman tahunan. Beberapa kiat untuk mengatasi daya tumpu dan daya dukung
gambut yang rendah adalah:
1.  Budidaya tanaman tahunan hanya pada lahan dengan ketebalan gambut 1,4-2
meter.
2.  Dilakukan pemadatan gambut sebelum penanaman. Pemadatan dapat
dilakukan dengan menggunakan alat sederhana yang dibuat sendiri dari kayu
gelondong yang dapadigelindingkan, ata menggunakan alat pemadat mekanis yang
biasa digunakanuntuk memadatkan tanah di jalan.
3.    Gambut dengan ketebalan lebih dari 75 cm ditata dengan sistem tegalan.

7
4.    Untuk mengatasi masalah kandungan asam-asam organik yang beracun
biasanya dilakukan drainase dengan membuat saluran drainase intensif atau saluran
cacing. Bahan amelioran adalah bahan yang mampu memperbaiki atau
membenahi kondisi fisik dan kesuburan tanah. Beberapa contoh bahan amelioran
yang sering digunaka adalah kapur , tanah mineral, pupuk kandang, kompos, dan
abu.
C. Emisi Karbon di Lahan Gambut
Pembukaan lahan gambut menyebabkan emisi gas karbon dioksida (CO2) ke
atmosfer, termasuk alih fungsi hutan rawa gambut menjadi pertanian rakyat (skala
kecil). Tujuan penelitian untuk mengukur emisi CO2 dari pertanian skala kecil
dilahan gambut, yaitu perkebunan karet (Heveabrasiliensis) berumur 8-10 tahun,
kelapa sawit (Elaeisguineensis Jacq) berumur 5-6 tahun, dan jahe (Zingiber
officinale) berumur 0-6 bulan. Sampel gas CO2 diambil dengan metode sungkup
tertutup (closed chamber). Pengukuran konsentrasi gas CO2 dilakukan dengan gas
kromatografi. Sungkup ditempatkan pada dua kondisi lahan, yaitu perlakuan
pemotongan akar (trenching) untuk mewakili respirasi heterotrofik, dan tanpa
pemotongan akar untuk mewakili respirasi total. Hasil penelitian mendapatkan
bahwa emisi CO2 dari pertanian rakyat memiliki kontribusi dalam meningkatkan
konsentrasi CO2 di atmosfer. Total emisi CO2dari kebun karet, kelapa sawit dan
jahe, masing-masing sebesar 42,6 ton CO2 ha-1th-1, 35,9 ton CO2 ha-1th-1, dan
34,4 ton CO2 ha-1 th-1. Nilai respirasi heterotrofik dari kebun karet diperkirakan
sebesar 61,4%, dan kelapa sawit 57,4%. Pemotongan akar (trenching) pada
pertanian jahe tidak efektif karena sistem perakaran serabut yang tidak
menyebar jauh, sehingga respirasi heterotropik tidak dapat dipisahkan dari
respirasi total. Muka air tanah menunjukan hubungan yang negatif terhadap nilai
emisi (r = -0,197, p-value = 0,023) dari ketiga penggunaan lahan. Besarnya emisi
carbon dari pertanian skala kecil pada lahan gambut yang terdrainase mendekati
nilai patokan (default value) IPCC 2014, yang antara 40 –73 ton CO2 ha-1th-1.
Pengendalian emisi karbon dari pertanian skala kecil pada laham gambut
berkontribusi penting dalam upaya untuk mencapai target penurunan emisi gas
rumah kaca dari sektor pertanian.

8
III. METODE PELAKSANAAN

A. Waktu Pelaksanaan
Praktikum ini dilaksanakan 05 November 2021, Jurusan Kehutan, Fakultas
Pertanian, Universitas Palangka Raya.

B. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini berupa kalkulator,
laptop/komputer, handphone, buku dan pena.

C. Pengolahan Data
Prakiraan/prediksi jumlah emisi karbon (E), dihitung dengan mengacu pada
rumus/persamaan Hooijer, et al. (2006 dan 2010) yang dimodifikasi Agus, et al.
(2012), yakni: E (ton CO2 ha-1tahun -1) = 0,7 x 0,91 x kedalaman drainase (cm)
…………. Rumus 1
Faktor 0,7 digunakan untuk memisahkan respirasi akar sekitar 30%.
Prakiraan/prediksi laju subsiden (S), dihitung dengan menggunakan rumus
Hooijer et al., (2012) dalam Lisnawati, Suprijo, Poedjirahayoe dan Musyafa
(2015), yakni:

S = 1,5 – 4,98 x WD ………………………………………………………. Rumus


2
Keterangan:
S = Laju subsiden (cm th-1)
WD = Rerata kedalaman muka air tanah di bawah permukaan gambut (-m;
negatif)

9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Prediksi Subsiden
Subsiden adalah proses penurunan permukaan gambut yang telah direklamasi 
atau didrainase, karena pertukaran suasana gambut dari anaerob ke aerob.
Pengetahuan laju subsiden sangat penting untuk perencanaan sistem drainase,
pendugaan umur bahan organik tanah, serta penilaian penggunaan lahan gambut
secara optimal dalam rangka memelihara kelestarian gambut.
Tabel 1a. Data Tinggi Muka Air Tanah dan Laju Subsiden Gambut Berdasarkan

Kedalaman
Rerata Muka Air
Tanah di Laju Waktu Penurunan
Titik Ketebalan Kedalaman
Bawah Subsiden (cm
Sampel Gambut drainase (cm) Permukaan thn-1)
(cm) Gambut (-
cm) (thn)
1 141 121 40,5 11351 80,5
2 143 123 41,5 11655 81,5
3 145 125 42,5 11963 82,5
4 147 127 43,5 12275 83,5
5 149 129 44,5 12591 84,5
6 151 131 45,5 12911 85,5
Rerata 146 126 43 12124 83

 Rerata jarak Pengukuran dari bibir kanal = Hasil jumlah nilai jarak
pengukuran/Jumlah data = 141+143+145+147+149+151/6
= 146
 Rerata kedalaman drainase = Hasil jumlah nilai drainase/Jumlah data
= 121+123+125+127+129+131/6
= 126
 Rerata kedalaman muka air tanah = Hasil jumlah nilai kedalaman/Jumlah
data
= 40,5+41,5+42,5+43,5+44,5+45,5/6
= 43

 Cara mendapatkan WD (Rerataan pada kedalaman tanah) :

10
 Data 1 = Kedalaman muka air tanah/jumlah data
= 11351/6
= 189,1
 Data 2 = Kedalaman muka air tanah/jumlah data
= 11655/6
= 1942,5
 Data 3 = Kedalaman muka air tanah/jumlah data
= 11963/6
= 1993,8
 Data 4 = Kedalaman muka air tanah/jumlah data
= 12275/6
= 2045,8
 Data 5 = Kedalaman muka air tanah/jumlah data
= 12591/6
= 2098,5
 Data 6 = Kedalaman muka air tanah/jumlah data
= 12911/6
= 2151,8
 Menghitung Laju Subsiden = 1,5 – 4,98 x WD
 S = 1,5 – 4,98 (189,1)
= 1,5 – (941,7)
= 940,2
 S = 1,5 – 4,98 (1942,5)
= 1,5 – (9673,6)
= 9672,1
 S = 1,5 – 4,98 (1993,8)
= 1,5 – (9929,1)
= 9927,6
 S = 1,5 – 4,98 (2045,8)
= 1,5 – (10188,1)
= 10186,6
 S = 1,5 – 4,98 (2098,5)

11
= 1,5 – (10450,5)
= 10449
 S = 1,5 – 4,98 (2151,8)
= 1,5 – (10715,9)
= 10714,4
 Rerata Laju Subsiden = Hasil laju subsiden/jumlah data
= 80,5+81,5+82,5+83,5+84,5+85,5/6
= 83
B. Prediksi Estimasi Emisi Karbon
Estimasi adalah suatu metode dimana kita dapat memperkirakan nilai dari
suatu populai dengan menggunakan nilai dari sampel. Menurut Harialdi tahun
2005 menyatakan bahwa estimasi adalah keseluruhan proses yang memerlukan
serta menggunakan estimator untuk menghasilkan sebuah estimate dari sebuah
parameter.
Tabel 2b. Data Kedalaman Drainase (cm) dan Nilai Prakiraan Emisi CO2

No Kedalaman drainase (cm) E (ton CO2 ha-1 tahun -1)


1 141 89,81
2 143 91,09
3 145 92,36
4 147 93,63
5 149 94,91
6 150 95,55
Rerata 146 92,89

 Pada kedalaman drainase 141cm


E (ton CO2 per ha per tahun) = 0,7 x 0,91 x kedalaman drainase
= 0,7 x 0,91 x 141
= 89,81 cm/ha/tahun

 Pada kedalaman drainase 143cm


E (ton CO2 per ha per tahun) = 0,7 x 0,91 x kedalaman drainase
= 0,7 x 0,91 x 143

= 91,09 cm/ha/tahun

12
 Pada kedalaman drainase 145cm
E (ton CO2 per ha per tahun) = 0,7 x 0,91 x kedalaman drainase
= 0,7 x 0,91 x 145
= 92,36 cm/ha/tahun

 Pada kedalaman drainase 147cm


E (ton CO2 per ha per tahun) = 0,7 x 0,91 x kedalaman drainase
= 0,7 x 0,91 x 147
= 93,63 cm/ha/tahun

 Pada kedalaman drainase 149cm


E (ton CO2 per ha per tahun) = 0,7 x 0,91 x kedalaman drainase
= 0,7 x 0,91 x 149
= 94,91 cm/ha/tahun

 Pada kedalaman drainase 150cm


E (ton CO2 per ha per tahun) = 0,7 x 0,91 x kedalaman drainase
= 0,7 x 0,91 x 150
= 95,55 cm/ha/tahun

 Rerata Kedalaman drainase = Hasil jumlah nilai drainase/Jumlah data

= 141+143+145+147+149+150/6
= 146 cm

 Rerata E (ton CO2/ha/tahun) = Jumlah keseluruhan E


(ton CO2/ha/tahun)/jumlah data

= 89,81+91,09+92,36+93,36+94,91+95,55/6

= 92,89 cm/ha/tahun

V. PENUTUP

13
A. Kesimpulan
A. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari laporan pengeloaan lahan
gambut dan pasang surut ini adalah :
1. Di daerah tropika, karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada
lahan gambut bisa mencapai 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan
tanaman pada tanah mineral.
2. Ketebalan pada lahan gambut dapat bertambah sampai 3mm tahun-1 tetapi
jika terganggu maka akan terjadi percepatan proses pelapukan yang
mengakibatkan karbon yang tersimpan didalam lahan gambut akan
terimisi.
3. Estimasi laju subsiden lahan gambut pada berbagai tipe penggunaan lahan
memiliki tujuan untuk estimasi yang dimanfaatkan untuk tanaman
pertanian, mengkaji parameter yang mempengaruhi besarnya laju subsiden
lahan, menyusun alternatif untuk mengurangi dan mengatasi terjadinya
subsiden dilahan gambut, dan mengkaji morfologi serta karakteristik
gambut pada suatu Kawasan gambut.
4. Estimasi merupakan suatu metode dimana kita dapat memperkirakan niali
dari suatu populasi dengan menggunakan nilai dari sampel. Berdasarkan
data kedalaman drainase dan prakiraan emisi co2 didapat hasil rerata dari
seluruh kedalaman drainase (cm) = 146 cm dengan rerata E (ton
CO2/ha/tahun) = 92,89 cm/ha/tahun.
5. Subsiden merupakan proses penurunan permukaan gambut yang telah
direklamasi atau di drainase, karena pertukaran suasana gambut dari
anaerob ke aerob. Berdasarkan data tinggi muka air tanah dan laju
subsiden gambut menggunakan rerata kedalaman muka air gambut
diperoleh hasil untuk rerata jarak pengukuran dari bibir kanal = 146 m,
rerata kedalaman drainase = 126 cm, rerata kedalaman muka air tanah
dibawah permukaan gambut =43 cm, dan untuk rerata laju subsiden = 83
cm th-1.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, 2003. Pendugaan Besarnya Subsidence dan Kenaikan Bulk Density


Akibat Tindakan Reklamasi Tanah Gambut.
Andrisse, J.P, 1997. Lecture Note on The Reclamation of Peatswamps and Peat In
Indonesia. Faculty of Agriculture University of Bogor. Lecture 4.
Anonim, 1996. Western Johore Integrated Agriculture Development Project. Peat
Soil Management Study. DID and LAWOO.
Armeli, Meiviana, Sulistiawati Diah, dan Moekti, 2004. Bumi Makin Panas:
Ancaman Perubahan Iklim Di Indonesia. Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup Indonesia.
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2017. Potret 3 Tahun
Perjuangan
Indonesia Dalam Perundingan UNFCCC. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim.
Hardjowigeno, S, 1997. Pemanfaatan gambut berwawasan lingkungan. Alami
II(1) : 3– 6.
Hindarto, Dicky, Andi Samyanugraha, dan Deby Nathalia, 2018. Pengantar Pasar
Karbon Untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta: PMR.
Maas, A, 1997. Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Alami. II(1) : 12 – 16.
Noor, M, 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala. Kanisius. Jakarta.
Nurzakiah, S. dan Achmadi J, 2004. Potensi dan Kendala Pengelolaan Lahan
Gambut untuk Pertanian. Balai Penelitian Pertanin Lahan Rawa (Balitra).
Kalimantan Selatan. Agroscientiae. 11(1) : 37 –43.

15

Anda mungkin juga menyukai