Alhamdulillah,segala puji hanya bagi allah yang telah memberikan rahmat serta
petunjuknya sehingga kami dapat menyelesaikan proposal “pendidikan kesehatan mental
keluarga yang berisiko kekerasan pada anak” ini. Proposal laporan kegiatan ini disusun dengan
maksud untuk mempermudah para pembaca.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyusun proposal ini,khususnya kepada dosen pembimbing mata kuliah keperawatan Jiwa
yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga proposal ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa proses penyusunan proposal laporan kegiatan ini tidaklah mudah
sehingga memungkinkan adanya banyak kekurangan dan kesalahan dalam teknik penulisan,tata
bahasa maupun isinya. Oleh karena itu,kami sangat harapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun,guna menyempurnakan proposal yang selanjutnya.
Semoga proposal laporan kegiatan pendidikan kesehatan ini dapat bermanfaat. Akhir
kata,kami sampaikan terimakasih.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya seseorang yang mengalami gangguan mental adalah seseorang yang lemah secara
psikis. Lemah secara psikis ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti keadaan jasmani dan
mental yang kurang berkembang dan rapuh, pada bidang sosial, kesusilaan yang rendah serta
keimanan dan ketaqwaan yang dangkal. Oleh karena itu, diperlukan berbagai usaha untuk
membantu seseorang dalam rangka mengatasi gangguan mental tersebut.
Kesehatan mental merupakan sebuah kondisi dimana individu terbebas dari segala bentuk
gejala-gejala gangguan mental. Individu yang sehat secara mental dapat berfungsi secara normal
dalam menjalankan hidupnya khususnya saat menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah-
masalah yang akan ditemui sepanjang hidup seseorang.2Kesehatan mental merupakan hal
penting yang harus diperhatikan selayaknya kesehatan fisik.Diketahui bahwa kondisi kestabilan
kesehatan mental dan fisik saling mempengaruhi.Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah
keluhan yang hanya diperoleh dari garis keturunan. Tuntutan hidup yang berdampak pada stress
berlebih akan berdampak pada gangguan kesehatan mental yang lebih buruk.
B. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan ini adalah agar dapat mengetahui
Bagaimana Peran Keluarga dapat membentuk kesehatan mental keluarga dan mental anak yang
bersiko terhadap prilaku kekerasan.
C. Manfaat
1. Untuk membantu menyelesaikan permasalahan orang tua, serta mengetahui peran keluarga
dalam membentuk kesehatan mental
2. Untuk diteruskan kepada anaknya / generasi- generasi yang disesuikan dengan perkembangan
masyarakat
3. Untuk membantu menemukan cara penyelesaikan masalah yang tepat dalam menyelesaikan
kesehatan mental
A. Peranan Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan lembaga sosial yang peling dasar untuk mencetak kualitas manusia.
Sampai saat ini masih menjadi keyakinan dan harapan bersama bahwa keluarga senantiasa dapat
diandalkan sebagai lembaga ketahanan moral,akhlaq al-karimah dalam konteks bermasyarakat,
bahkan baik buruknya generasi suatu bangsa, ditentukan pula oleh pembentukan pribadi dalam
keluarga. Disinilah keluarga memiliki peranan yang strategi untuk memenuhi harapan tersebut.
Menurut Psikologi, Keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji hidup
bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling
terkait karena sebuah ikatan batin, atau hubungan perkawinan yang kemudian melahirkan ikatan
sedarah, terdapat pula nilai kesepahaman, watak, kepribadian yang satu sama lain saling
mempengaruhi walaupun terdapat keragaman, manganut ketentuan norma, adat, nilai yang
diyakini dalam membatasi keluarga dan yang bukan keluarga.
Jadi Pengertian Keluarga ialah dimana Lingkungan keluarga merupakan pendidikan yang
pertama, disinilah anak mendapatkan didikan dan bimbingan.Dikatakan yang pertama, karena
sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling
banyak diterima oleh anak adalah di dalam keluarga. Adapun tujuan pendidikan anak dalam
keluarga adalah agar anak itu menjadi shaleh atau agar kelak tidak menjadi musuh orang tuanya,
yang akan mencelakakan.
orang tuanya. Mengenai kesehatan mental anak tentu keluarga berperan sangat penting,
karena dari banyaknya waktu anak itu lebih banyak bersama keluarga. Jadi secara otomatis apa
yang dilihat dan didengar anak dapat membentuk mental anak.
Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang
lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab dari orang tua atau pengasuh yang berakibat penderitaan,
kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan
fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Nadia (2004) mengartikan
kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik
adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak
yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan/
meremehkan anak.
Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap
hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk
mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum. Sedangkan Patilima (2003)
menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orang tua. Patilima mendefinisikan
perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari
kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi
sosial maupun mental.
Kesehatan mental bukan sekadar tidak hadirnya gangguan kejiwaan dalam diri seseorang,
tapi juga kemampuan untuk bisa mengatasi stres dan masalah dalam hidup. Gangguan kejiwaan
tersebut tidak sama artinya dengan sakit jiwa (gila). Jika tidak dipedulikan, kesehatan mental
yang terganggu akan berakhir kepada permasalahan belajar, perkembangan, kepribadian, dan
masalah kesehatan fisik remaja.
Berdasarkan teori diatas dapat dipahami bahwa kesehatan mental remaja adalah
terhindarnya dari gangguan ataupun penyakit kejiwaan,mampu menyesuaikan diri,sanggup
menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa,sehingga mendapatkan
keserasian fungsi-fungsi jiwa ( tidak konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga,berguna dan
bahagia, serta bermanfaat dan mampu berbuat baik untuk orang lain atau dirinya sendiri,serta
dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin baik secara psikologi,
sosiologi, dan agama.
B. Peranan Keluarga
Keluarga sebagai wadah antara individu dan kelompok yang menjadi tempat pertama dan
utama untuk sosialisasi anak, ibu, ayah, saudara,dan keluarga yang lain adalah orang yang
pertama bagi anak untuk mengadakan kontak dan tempat pembelajaran, sehingga keluarga
mempunyai peranan yang penting, yaitu :
1. Keluarga merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi face to face tetap.
Dalam kelompok yang demikian, perkembangan anak dapat diikuti dengan seksama oleh orang
tua nya sebagai penyesuai secara pribadi dalam hubungan social agar lebih mudah terjadi
nantinya.
2. Orang tua mempunyai motivasi yang kuat untuk dapat mendidik anak karena anak merupakan
buah cinta kasih hubungan suami istri. Dari motivasi yang kuat tersebut melahirkan hubungan
emosional antara orang tua dengan anak.
3. Karena dari hubungan keluarga yang relative tetap, maka dari situlah orang tua memainkan
peranan yang sangat penting terhadap proses pendidikan anak.
Tugas ini merupakan tugas pertama dimana orang tua harus memberi makanan, tempat
perlindungan dan pakaian kepada anak-anaknya.Anak-anak sepenuhnya tergantung kepada orang
tuanya karena anak belum mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.
“Home” di sini berarti bahwa di dalam keluarga anak-anak dapat berkembang dengan
baik, merasakan kemesraan, kasih sayang, keramah-tamahan merasa aman, terlindungi, dan lain-
lain. anak merasa tenteram, tidak kesepian dan selalu gembira.
c. Tugas Pendidikan
Tugas mendidik merupakan tugas terpenting dari orang tua, terhadap anak-
anaknya.Karena orangtua lah yang memberikan Pendidikan pertama kali pada anak.Di rumahlah
dapat disimpulkan bahwa peranan orangtua di dalam keluarga sangat berpengaruh besar
terutama terhadap perkembangan mental anak.Selain itu orangtua dalam keluarga juga dapat
berperan memberikan pendidikan sejak dini, sebab keluarga dianggap sebagai tempat yang
sempurna sifat dan wujudnya dalam pembentukan pribadi yang utuh dan orang tua sebagai
penuntun, pengajar, dan pemberi contoh.
Keluarga juga mempunyai peranan dalam pengasuhan anak yaitu mengetahui tahap-tahap
perkembangan anak untuk mengasuhnya sesuai dengan bakat dan keinginan anak.Namun, pola
pengasuhanayah dan ibu mempunyai perbedaan dan hal ini tidak membuat orangtua menjadi
sulit dalam mengasuh anak, melainkan menjadi suatu haluntuk mengelangkapi kekurangan
masing-masing dalam mengasuh anak menjadi lebih fleksibel dan efektif.Jadi, peranan keluarga
sangatlah penting, karena dapat mempengaruhi dan membentuk kepribadian serta karkter remaja.
C. Fungsi Keluarga
Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal multifungsional, yaitu fungsi
pengawasan, sosial,pendidikan, keagamaan,perlindungan, dan rekreasi. Menurut Oqburn, fungsi
keluarga adalah, kasih sayang, ekonomi, pendidikan, perlindungan,rekreasi, status keluarga,dan
agama. Sedangkan fungsi keluarga menurut Bierstatt adalah menggantikan keluarga, mengatur,
dan mengurusi impuls-impuls seksuil, bersifat membantu,menggerakan,nilai-nilai kebudayaan,
dan menunjukan status.Fungsi-fungsi keluarga ini membuat interaksi antar anggota keluarga
eksis sepanjang waktu. Waktu terus berjalan dengan membawa konsekuensi perkembangan dan
kemajuan Keluarga dan masyarakat tidak lepas dari pengaruh-pengaruh tersebut, sehingga
perubahanapa yang terjadi di masyarakat, berpengaruh pula dikeluarga. Diantara fungsi-fungsi
keluarga adalah :
1. Fungsi pendidikan. Pada awalnya, keluarga adalah satu-satunya insitusi pendidikan. Secara
informal, fungsi keluarga tetap penting, tetapi secara formal fungsi pendidikan itu telah diambil
oleh sekolah. Proses pendidikan di sekolah menjadi sangat penting, bukan hanya terbatas pada
pendidikan intelek,tetapi sudah mengarah kepada pendidikan pribadi anak.
2. Fungsi Rekreasi. Dulu keluarga sebagai tempat rekreasi paling menarik tetapi sekarang sudah
dialihkan ke tempat lain diluar lingkungan keluarga. Gedung bioskop, lapangan olahraga,tempat
alam indah, kebun binatang, pusat perbelanjaan, dsb. Keluarga hanya sebagai tempat berkumpul
untuk istirahat selepas aktivitas sehari-hari.
3. Fungsi Keagamaan. Agama dan segala kegiatannya berpusat dalam keluarga . Sebagai
pengendali nilai-nilai religious,keluarga sudah tidak dapat dipertahankan karena pengaruh
sekurelisasi. Segala bentuk ajaran agama telah diambil oleh institusi keagamaan sehingga yang
disebut sekolah individual tidak lagi diakui masyarakat. Sebaliknya masyarakat, lebih melihat
sekolah sosial sebagai tolak ukurnya. Agama lebih bersifat simbolik universal dengan maraknya
kegiatan keagamaan sakralitas.
4. Fungsi Perlindungan. Dulu, keluarga menjadi tempat yang nyaman untuk melindungi anggota
keluarganya, baik fisik maupun sosial. Sekarang, institusi sosial telah mengambil alih fungsi
perlindungan tersebut, seperti tempat perawatan anak cacat tubuh dan mental, yatim piatu, anak
nakal, panti jompo,asuransi jiwa, dan sebangainya.pembinaan usaha, dan perencanaan anggaran
biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga.
1. Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh
korban kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32,3%) dan terendah usia 13-15
tahun (16,2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke
tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbulkan luka dan
trauma pada korban, juga sering kali membuat korban meninggal.
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap
sebagai candaan. Kekerasan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan.
Dampak dari kekerasan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar,
tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar
dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun
(28,8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0,9%) kekerasan seperti ini meliputi pengabaian orang
tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-
bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya
menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam,
belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4. Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak,
seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan
seksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk
kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan
seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga sering kali menimbulkan luka secara
fisik.
2. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan
fisik, mental, maupun sosial (Pasal 77);
3. Membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengungsian, kerusuhan, bencana
alam, dan/atau dalam situasi konflik bersenjata (Pasal 78);
4. Membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban
perdagangan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal
78);
5. Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
6. Melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
7. Melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81);
8. Melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
9. Memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual
(Pasal 83);
10. Melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum(Pasal
84);
11. Melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal 85);
12. Melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan
kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya
tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal
85);
13. Membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau
serangkaian kebohongan (Pasal 86);
14. Mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain (Pasal 88);
15. Menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam
penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkohol, dan/atau zat
adiktif lainya (napza) (Pasal 89).
Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orang tuanya sendiri atau orang lain
sangatlah buruk antara lain:
1. Agresif
Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak
merasa tidak ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidak bisa
melindunginya itu ada di sekitarnya, anak akan langsung memukul atau melakukan tindak
agresif terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah mengalami
tindak kekerasan.
2. Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi anak yang memiliki
gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak
yang pemurung, pendiam, dan terlihat kurang ekspresif.
3. Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak nyaman dan aman dengan lingkungan
sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat
dia besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti
dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai
kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan
kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996: 14).
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung
dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara
langsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari
sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau
mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar
dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal,
pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-
undangan (arief gosita, 1996:6).
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang
lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan
mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaan sesuatu yang menguntungkan anak,
pembinaan (mental, fisik, dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam
pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak
(arief gosita, 1996:7).
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri.
Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan
upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan
berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.
Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh
dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam
perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan
tersebut. Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin
pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait
seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta
diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari
menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata
dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di
bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (maulana hassan waddong, 2000:40)
upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat perhatian penguasa, secara
lebih komprehensif, sejak ditetapkannya uu perlindungan anak, meski perlindungan itu masih
memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlindungan tersebut.
Agar anak terhindar dari bentuk kekerasan seperti di atas perlu adanya pengawasan dari orang
tua, dan perlu diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:
1. Jangan sering mengabaikan anak, karena sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap
anak adalah kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini berbeda dengan
memanjakan anak.
2. Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan moral pada anak
agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak menjadi pelaku kekerasan
itu sendiri.
3. Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak agar bicara
apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal anaknya
dengan baik dan memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan terhadap anak, karena
banyak sekali kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual yang terlambat diungkap.
4. Ajarkan kepada anak untuk bersikap waspada seperti jangan terima ajakan orang yang
kurang dikenal dan lain-lain.
5. Sebaiknya orang tua juga bersikap sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak
tetaplah seorang anak yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan karena
kurangnya kesabaran orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku kekerasan
terhadap anaknya
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Waktu : 25 menit
Sasaran : Masyarakat
Pelaksanaan : kelompok I
B. Tujuan
C. Pengorganisasian
a. Pengertian Keluarga
c. Peranan Keluarga
d. Fungsi Keluarga
E. Metode
a. diskusi
b. tanya jawab
D. Media
a. leaflet
b. Infocus
F. Kegiatan
a. pendahulan
b. penyajian
c. penutup
-menjelaskan materi
a. defenisi keluarga
c. Peran keluarga
d. Fungsi Keluarga
b. memberikan pertanyaan
5 Penutup a. aktif bersama dalam 3 Menit
menyimpulkan
a. menyimpulkan hasil penyuluhan
b. membalas salam
b. mengucapkan terimakasih atas
perhatiannya
c. memberikan salam
Total waktu 25 Menit
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak yang menderita cacat baik fisik maupun mental juga memiliki hak yang sama dan
wajib dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb. Undang-undang No.23
tahun 2002 juga menjelaskan mengenai hak asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh
anak, perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan dengan hukum,
pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak, serta penyelenggaraan
perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan perlindungan khusus.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid, Agama Dan Kesehatan Mental Dalam Perspektif Psikologi Agama,Kesehatan
Tadulako, vol 3 no. 1 Januari 2017.
Adang Hambali, Psikologi Kepribadian, Bandung: Pustaka Setia, 2013.Adisty Wismani Putri,
Budhi Wibhawa, Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia (Pengetahuan dan Keterbukaan
Masyaraakat dalam Gangguan Kesehatan Mental), Vol.2 No.2.
Agus Sumadi, “Kesehatan Mental Anak dari Keluarga Broken Home” (Study Kasus di SD Juara
Yogyakarta), Universitas Sunan Kali Jaga Yogyakarta:2015
Aida Muqabullah, Peranan Kesehatan Mental Dalam Meningkatkan Efektifitas Belajar Siswa
(Studi Kasus di SMP Islamiyah Sawangan Depo), UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 12-13.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta:
Balai Pustaka,1996.
Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang:UIN-Malang Press,2008