Anda di halaman 1dari 33

Tinjauan Pustaka

TRAUMA KIMIA MATA

Oleh:

Sita Nuraini

NIM. 1930912320107

Pembimbing :

Dr. dr. Muhammad Ali Faisal, M.Sc., Sp.M

DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Maret, 2022
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... iii

DAFTAR TABEL ................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 3

A. Definisi .............................................................................. 3

B. Epidemiologi ..................................................................... 3

C. Etiologi dan Patofisiologi .................................................. 4

D. Diagnosis ........................................................................... 6

E. Tatalaksana ........................................................................ 11

F. Komplikasi ......................................................................... 26

BAB III PENUTUP ............................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 29

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Grade II Akut ................................................................................ 8

2.2 Grade II Setelah 1 Minggu Pasca Trauma .................................... 9

2.3 Grade III Akut dengan Haze pada Kornea .................................... 9

2.4 Grade IV (Roper-Hall) Akut dan Grade VI (Dua) ........................ 9

2.5 Luka Bakar Basa Berat .................................................................. 10

2.6 Manajemen Strategi pada Trauma Kimia ...................................... 12

2.7 Amniotic Membrane Transplant (AMT) ....................................... 18

2.8 Limbal Stem-Cell Transplantation (LSCT)................................... 19

2.9 Cultivated oral mucosal epithelial transplantation (COMET) ..... 20

2.10 Penetrating Keratoplasty (PK)...................................................... 21

2.11 Keratopeostesis tipe 1 Boston (B1-Kpro) ..................................... 21

2.12 Trauma Grade II dengan Fokal Konjungtivalisasi ........................ 26

2.13 Simblefaron ................................................................................... 27

2.14 Ektropion ....................................................................................... 27

2.15 Entropion ....................................................................................... 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kimia mata merupakan kegawatdaruratan mata yang memerlukan

penanganan segera, evaluasi, dan perawatan intensif. Penanganan yang dilakukan

dalam beberapa menit dan hari setelah trauma awal akan menentukan perjalanan

klinis dan dapat mencegah komplikasi lebih lanjut. Setelah terjadi trauma kimia,

tujuan terapi adalah untuk mengembalikan permukaan mata menjadi normal dan

kejernihan kornea. Jika terdapat jaringan parut kornea yang luas, pencangkokan

limbal stem cell, transplantasi membran amnion, dan keratoprostesis dapat

digunakan untuk membantu memulihkan penglihatan.1,2

Secara epidemiologi, luka bakar akibat trauma kimia pada mata terjadi sekitar

22% dari semua trauma pada mata. Beberapa penelitian menunjukkan insidensi

trauma mata lebih sering terjadi pada laki-laki dan anak-anak usia 1-2 tahun

meningkat dua kali lipat dari pada orang dewasa. Meskipun hampir semua bahan

kimia dapat menyebabkan trauma pada mata, cedera serius umumnya disebabkan

oleh senyawa basa kuat atau asam kuat. Trauma asam cenderung lebih ringan

derajat keparahannya. Asam menyebabkan koagulasi epitel yang menghambat

penetrasi zat asam ke lapisan yang lebih dalam. Kontraksi kornea dan sklera dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intraokular karena fibrosis pada anyaman

trabekulum dan debris inflamasi. Inflamasi konjungtiva dan rusaknya sel goblet

dapat menyebabkan mata kering, pembentukan jaringan parut dan kontraktur

forniks.2,3,4

1
Universitas Lambung Mangkurat
Dibandingkan bahan asam, trauma oleh bahan alkali cepat dapat merusak dan

menembus kornea. Tujuan utama terapi pada trauma kimia okuli adalah untuk

meminimalisir kerusakan pada permukan bola mata dan secara optimal

mengembalikan struktur anatomi permukaan bola mata dan fungsi visual. Irigasi

daerah terkena trauma kimia merupakan tindakan segera yang harus dilakukan.5

2
Universitas Lambung Mangkurat
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Trauma kimia pada mata adalah kegawatdaruratan mata yang memerlukan

penanganan segera, evaluasi, dan perawatan intensif. Trauma kimia terjadi akibat

terpaparnya bahan kimia yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur

bola mata. Trauma kimia diakibatkan oleh zat asam dengan pH < 7 atau zat basa

pH > 7. Penanganan yang dilakukan dalam beberapa menit dan hari setelah trauma

awal akan menentukan perjalanan klinis dan dapat mencegah komplikasi lebih

lanjut. Setelah cedera kimia, tujuan terapi adalah untuk mengembalikan permukaan

mata menjadi normal dan mengembalikan kejernihan kornea.1,2

B. Epidemiologi

Secara epidemiologi luka bakar akibat trauma kimia pada mata mencakup 22%

dari semua trauma pada mata. Trauma tersebut dapat terjadi pada berbagai keadaan,

baik karena trauma tidak sengaja contohnya paparan atau kontak yang tidak

disengaja di rumah, tempat kerja, sekolah maupun karena tindak kejahatan yang

disengaja. Trauma ini banyak terjadi di laboratorium industri kimia, pabrik mesin,

buruh, dan pekerja bangunan. Kejadian trauma kimia pada mata lebih sering terjadi

pada laki-laki dan lebih sering terjadi pada anak-anak usia 1-2 tahun dibanding

orang dewasa. Akan tetapi beberapa penelitian mengatakan trauma kimia mata juga

sering terjadi pada kelompok usia 20-40 tahun.1,6

3
Universitas Lambung Mangkurat
Trauma kimia pada mata secara umum disebabkan paling sering oleh basa, dan

sisanya oleh asam maupun alkohol. Luka bakar oleh karena asam paling sering

disebabkan oleh asam sulfat, karena zat ini banyak ditemukan pada bahan

pembersih industrial dan baterai mobil. Luka bakar oleh karena basa paling sering

disebabkan oleh amonia yang umumnya ditemukan pada pupuk serta alat

pendingin.3,6

C. Etiologi dan Patofisiologi

Trauma kimia terjadi akibat dari zat asam, basa atau netral. Sekitar 60% terjadi

karena trauma basa. Penyebab umum dari trauma kimia dapat dilihat pada Gambar

1 dan 2.6,7

Tabel 2.1 Penyebab Umum Trauma Asam.7

Tabel 2.2 Penyebab Umum Trauma Basa.7

Bahan cair atau padat dengan bahan basa atau asam dapat menyebabkan luka

bakar pada mata. Basa sangat terkenal karena kerusakan parah pada jaringan okular.

4
Universitas Lambung Mangkurat
Perbedan efek antara trauma asam dan basa terletak pada mekanisme kerjanya.

Asam dan basa masing-masing menyebabkan nekrosis koagulatif dan liquefaktif.

Protein permukaan jaringan dikorbankan untuk menetralkan pH asam dan kolagen

jaringan ikat menyusut sehingga koagulum yang dihasilkan mencegah penetrasi

lebih lanjut dari agen pengganggu ke dalam struktur mata dibawahnya. Sebaliknya,

zat basa mengandung gugus hidroksil yang menyabunkan asam lemak yang

terbungkus dalam membran sel superfisial. Setelah fungsi membran sel terganggu,

kematian sel terjadi kemudian dan agen pengganggu lebih efisien mencapai

jaringan ikat di bawahnya di mana proteoglikan matriks mudah dihidrolisis

meninggalkan fibril kolagen sangat rentan terhadap degradasi enzimatik. Enzim-

enzim ini diproduksi oleh sel epitel dan sel imun yang rusak atau beregenerasi yang

akan menyerang jaringan segera setelah terpapar.1,8,9

Trauma asam sama merusaknya dengan basa pada luka bakar yang parah.

Struktur kimia material bukan satu-satunya penentu tingkat keparahan kerusakan.

Bahan kimia biasanya lebih aktif pada suhu yang lebih tinggi. Cairan lebih mudah

diirigasi dan dikeluarkan dari mata, berbeda dengan partikel padat yang dapat

terperangkap di papila konjungtiva dan menetap di meniskus air mata, sehingga

menyebabkan paparan dan iritasi yang berkepanjangan. Semakin tinggi konsentrasi

dan semakin lama pemaparan, semakin parah kerusakannya.10,11

Ketika bahan kimia mencapai bilik mata depan, ia bersirkulasi melalui air dan

mencapai struktur sudut. Pada trabecular meshwork (TM), fibril kolagen

didenaturasi dan menyusut sehingga saluran keluar terhambat dan TIO meningkat

secara akut. Kolagen yang rusak di TM dapat meninggalkan jaringan parut

5
Universitas Lambung Mangkurat
meskipun telah diobati, sehingga dapat menjadi alasan utama glaukoma dalam

jangka panjang.10

D. Diagnosis

1. Anamnesis

Tingkat keparahan cedera mata tergantung pada empat faktor yaitu toksisitas

bahan kimia,berapa lama bahan kimia bersentuhan dengan mata, kedalaman

penetrasi bahan kimia dan luas area yang terkena. Oleh karena itu penting untuk

menggali tentang empat riwayat tersebut. Pasien harus ditanya kapan cedera terjadi,

apakah mereka membilas mata setelah itu dan untuk berapa lama, mekanisme

cedera, jenis bahan kimia yang terciprat ke mata, dan apakah mereka telah memakai

pelindung mata. Sangat penting jika didapatkan kemasan bahan kimia. Seringkali

ada informasi produk pada kemasan ini termasuk komposisi kimianya. Gejala yang

paling sering terjadi adalah nyeri hebat, epiphora, blepharospasm dan penurunan

visus.7

2. Pemeriksaan Fisik

Sebelum pemeriksaan mata penuh, pH kedua mata harus diperiksa. Jika pH

tidak dalam kisaran fisiologis, maka mata harus diirigasi untuk membawa pH ke

kisaran yang sesuai (antara 7 dan 7,2). Disarankan untuk menunggu setidaknya lima

menit setelah irigasi sebelum memeriksa pH untuk memastikan bahwa pH tidak

naik atau turun akibat partikel yang tersisa. Pemeriksaan fisik harus digunakan

untuk menilai luas dan dalamnya cedera. Tingkat keterlibatan kornea, konjungtiva

dan limbal harus dinilai, karena dapat digunakan untuk memprediksi hasil visual

akhir pasien.7

6
Universitas Lambung Mangkurat
Fisura palpebra harus diperiksa dan forniks harus disapu selama pemeriksaan

awal. Baik konjungtiva palpebra dan bulbar harus diperiksa dengan fluorescein di

bawah cahaya biru kobalt. Partikulat yang tertahan dapat menyebabkan kerusakan

terus-menerus, meskipun telah irigasi. Tekanan intraokular juga harus

didokumentasikan, karena cedera basa baik secara akut maupun kronis

menyebabkan peningkatan TIO.7

Dua skema klasifikasi utama untuk luka bakar kornea adalah klasifikasi Roper-

Hall (modified Hughes) dan klasifikasi Dua. Klasifikasi Roper-Hall didasarkan

pada derajat keterlibatan kornea dan iskemia limbal. Klasifikasi Dua didasarkan

pada perkiraan keterlibatan limbal (dalam jam) dan persentase keterlibatan

konjungtiva. Dalam uji coba terkontrol secara acak dari luka bakar akut, klasifikasi

Dua ditemukan lebih unggul dari Roper-Hall dalam memprediksi hasil pada luka

bakar yang parah. Namun, kedua skema klasifikasi umumnya digunakan dalam

praktik sehari-hari.7

7
Universitas Lambung Mangkurat
Tabel 2.3 Klasifikasi Roper-Hall dan Dua.7

Gambar 2.1 Grade II Akut.7

8
Universitas Lambung Mangkurat
Gambar 2.2 Grade II Setelah 1 Minggu Pasca Trauma.7

Gambar 2.3 Grade III Akut dengan Haze pada Kornea.7

Gambar 2.4 Grade IV (Roper-Hall) Akut dan Grade VI (Dua).7

9
Universitas Lambung Mangkurat
Gambar 2.5 Luka Bakar Basa Berat. Gambaran putih pada mata terlihat karena

iskemik pembuluh darah konjungtiva. Foto diambil satu minggu setelah trauma.7

Strategi manajemen harus didasarkan tidak hanya pada tingkat keparahan luka

bakar tetapi juga pada staging kondisi pasien. Tahapan tersebut antara lain sebagai

berikut:1,7

 Langsung (hari 0) : Terjadi tepat setelah eksposur.

 Akut (hari 1-7) : Minggu pertama setelah fase langsung. Pada tahap akut, sisa-

sisa sel punca limbal mencoba mengisi kembali defek epitel di atas stroma

kornea. Tahap ini sangat penting karena enzim proteolitik yang larut dalam air

mata dan enzim yang diturunkan dari sel imun dapat dibawa ke stroma melalui

defek epitel dan mengakibatkan penipisan stroma dan perforasi pada tahap

selanjutnya.

 Early reparative (hari ke 8-21) : Minggu ke-2 dan ke-3 setelah paparan

merupakan peradangan kronis menggantikan peradangan akut, hal ini

menyebabkan hiperplasia stroma dan pembentukan bekas luka. Tahap ini

paling umum dengan terlihatnya ulkus kornea atau penipisan kornea.

 Late reparative (setelah hari ke 21) : Tahap ini merupakan komplikasi yang

paling parah dari luka bakar kimia pada mata, kecuali telah mendapatkan

10
Universitas Lambung Mangkurat
penanganan dan penilaian prognosis yang baik pada awalnya. Mata kering

yang parah, ketajaman visual buruk karena jaringan parut kornea,

neovaskularisasi, peningkatan TIO yang menandakan terjadinya glaukoma,

motilitas okular terbatas karena simblefaron, dan kelainan kelopak mata

termasuk entropion, ektropion, trikiasis dapat terjadi pada fase ini.

E. Tatalaksana

1. Tatalaksana Non Operatif

a) Manajemen pada awal paparan

Langkah pertama saat terjadi trauma kimia pada mata adalah dengan

melakukan irigasi terus-menerus. Irigasi dilakukan lebih dulu tanpa mencari zat

penyebab terjadinya trauma kimia. Irigasi tersebut harus dilakukan hingga zat kimia

tersebut hilang sepenuhnya dan pH permukaan mata telah menjadi netral.

Pemantauan pH ini bisa dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus. Pada luka

bakar basa dimana pH intracameral lebih cepat terpengaruh, larutan amfoter

hiperosmolar lebih efektif daripada larutan iso-osmolar dalam menormalkan pH

intracaeral. Irigasi juga dapat dilakukan saat prehospital dengan menggunakan air

bersih, hal ini terbukti mengurangi keparahan luka bakar pada trauma kimia.12

11
Universitas Lambung Mangkurat
Gambar 2.6 Manajemen Strategi pada Trauma Kimia.

 Manajemen dari defek epitel

Epitel utuh memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas stroma karena

secara efektif dapat menghambat zat kimia mencapai lapisan di bawahnya. Hal ini

juga penting dalam menghaluskan permukaan mata dan mempercepat rehabilitasi

visual. Rekontruksi epitel dapat dilakukan dengan :4,8

1) Air mata buatan (Artificial Tears), dapat mengurangi defek epitel yang persisten

dan erosi epitel yang berulang.

2) Fibronectin dan Laminin, pada model uji hewan dikatakan kedua zat ini dapat

meningkatkan re-epitelisasi walaupun efeknya pada manusia masih belum

diteliti lebih lanjut.

3) Epidermal Growth Factor, faktor ini dapat meningkatkan proliferasi dari epitel

dan keratosit pada model uji hewan namun pada manusia masih sangat sedikit

bukti yang menunjukkan kebermanfaatannya.

4) Retinoic Acid, atau vitamin A merupakan zat penting untuk perkemangan dan

pertumbuhan dari epitel. Namun perlu diperhatikan bahwa kekurangan atau

kelebihan dari vitamin A dapat menyebabkan kerusakan epitel. Dalam studi

12
Universitas Lambung Mangkurat
percobaan pada hewan pemberian tetes mata retinol palminate (1500 IU/mL)

telah terbukti dapat meningkatkan penyembuhan luka dan perbaikan secara

sitologi. Namun pembuktian efek pada manusia masih kekurangan bukti.13

5) Hyaluronic Acid, Pemberian asam hialuronat 1% dan 2% topikal dalam

penelitian hewan percobaan telah ditemukan peningkatan epitelisasi kornea.

Namun manfaat pada manusia masih kekurangan bukti.

6) Tetrasiklin, antibiotik ini menghambat matriks metaloproteinase sehingga

mencegah proteolisis enzimatik dari stroma kornea.

7) N-Acetyl-Cystein (NAC), merupakan inhibitor sintesis dari matriks

metalloproteinase. Zat ini menghambat migrasi dari sel neutrofil ke tempat luka.

8) Askorbat, pada saat terjadi trauma basa kadar askorbat menurun sebagai respon

terhadap luka bakar sehingga para peneliti mengusulkan untuk pemberian

suplemen vitamin C yang dapat meningkatkan sintesis kolagen, mencegah

perkembangan ulkus kornea dan mempercepat penyembuhan. Meskipun bukti

kuat masih pada hewan uji, beberapa penulis merekomendasikan pemberian

kedua preparat askorbat secara bersamaan (askorbat oral 2 g dalam 4 dosis

terbagi dan tetes mata 10% topikal setiap 2 jam).

9) Biological Medication, menggunakan serum tali pusat. Serum adalah sumber

yang kaya berbagai faktor pertumbuhan, sitokin, dan vitamin, dan telah terbukti

mempercepat proses penyembuhan luka dan re-epitelisasi dan memperlambat

vaskularisasi kornea dan kerusakan limbal. Dalam uji klinis acak dengan luka

bakar kimia sedang hingga berat, kemanjuran 20% serum tali pusat terbukti lebih

unggul daripada 20% serum autologus atau air mata buatan dalam hal

13
Universitas Lambung Mangkurat
pengurangan gejala akut, penyembuhan cacat epitel, kejernihan kornea, dan

vaskularisasi. tetapi bukan formasi symblepharon. Penambahan trombosit ke

serum menciptakan plasma kaya trombosit (PRP) yang mungkin lebih efisien

karena trombosit memiliki sifat manufaktur dan dengan demikian dapat

memberikan produksi faktor pertumbuhan yang berkelanjutan. Saat ini,

direkomendasikan agar semua mata dengan klasifikasi grade III hingga VI Dua

menerima setidaknya satu jenis obat tetes mata biologis setiap 2 jam selama

sebulan mulai dari stadium akut dan dilanjutkan dengan pelan-pelan sampai

peradangan benar-benar teratasi.14

 Kontrol inflamasi3

Pengobatan anti-inflamasi harus dilakukan sedini mungkin bila tidak ada

kontraindikasi. Transmiter inflamasi pada fase akut memproduksi beberapa sel

imun seperti neutrofil. Inflamasi pada fase ini memungkinkan terjadi dua hal yaitu

mengaktifkan mekanisme perbaikan namun disisi lain dapat mengakibatkan

kerusakan karena mekanisme yang tidak terkendali. Pilihan anti-inflamasi yang

dapat diberikan adalah :

1. Kortikosteroid, pemberian kortikosteroid telah terbukti dapat mencegah

pengurangan jumlah sel goblet, meningkatkan stabilitas membran basal dan sel

endotel, mengurangi migrasi sel imun ke dalam luka dan mencegah degranulasi

neutrofil. Beberapa peneliti telah mendalilkan bahwa pemberian steroid topikal

dan preparat vitamin C akan mencegah ulserasi kornea yang diinduksi steroid.

Pemberian steroid topikal yang sering adalah prednisolon asetat 1% atau

14
Universitas Lambung Mangkurat
deksametason 0,1% setiap 2 jam pada stadium akut. Selanjutnya dapat

diturunkan jika terjadi perbaikan.

2. Progesterone-Derivate, progesteron dapat menghambat aktivitas kolagenase

disamping sifat anti-inflamasinya. Namun jika dibandingkan dengan

kortikosteroid penggunaan derivat ini masih kurang bermakna. Bukti kuat pada

subyek manusia masih kurang.

3. Sitrat, natrium sitrat adalah penghambat kuat migrasi kolagenase dan leukosit.

Brodovsky et al melaporkan bahwa pemberian sitrat topikal menunjukkan hasil

dan prognosis yang lebih baik. Pada hewan coba, sitrat 10% topikal terbukti

lebih efektif daripada askorbat dan NAC. Saat ini, pemberian sitrat 10% topikal

sering direkomendasikan pada tahap akut trauma kimia.

4. NSAID, efektivitas obat anti-inflamasi nonsteroid topikal atau sistemik pada

hewan uji menghasilkan efek yang baik sebagai profilaksis untuk mencegah

kenaikan tekanan intraokular.

 Pencegahan komplikasi3,15

Trauma pada mata dapat menyebabkan komplikasi yang berat. Kornea dengan

defek pada epitel sangat rentan terjadi infeksi sekunder. Oleh karena itu, profilaksis

antibiotik topikal spektrum luas direkomendasikan pada tahap akut ataupun

setelahnya hingga re-epitelisasi selesai. Seluruh kejadian infiltrasi pada stroma

harus segera dilakukan uji kultur dan sensitivitas, setelah itu harus diberikan

pengobatan empiris segera. Pemantauan dari tekanan intraokular juga harus selalu

dilaksanakan untuk memantau komplikasi dari trauma. Tekanan intraokular dapat

meningkat akibat kerusakan akibat trauma kimia yang menyebabkan gangguan dari

15
Universitas Lambung Mangkurat
anyaman trabekula dan menyebabkan kontraktur pada sklera. Tekanan intraokular

juga dapat meningkat sebagai akibat dari penggunaan kortikosteroid ataupun

intervensi bedah. Semakin tinggi grading trauma maka semakin tinggi juga resiko

terjadinya glaukoma. Jika ditemukan adanya peningkatan tekanan intraokular maka

pemberian topikal anti-glaukoma dapat menjadi pertimbangan. Walaupun begitu

perlu diperhatikan bahwa obat anti-glaukoma dapat menjadi bahan toksik bagi

epitel dan menyebabkan terlambatnya proses epitelisasi. Penggunaan anti-

glaukoma sistemik atau intervensi bedah mungkin lebih berpengaruh untuk

menangani kasus yang parah. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah terjadinya

sinekia posterior dan glaukoma skunder, pada kasus ini obat siklopegik dapat

mencegah dan mengatasi sinekia terseut. Siklopegik topikal dapat mengatasi nyeri

ringan akibat spasme badan siliaris, tetapi obat sistemik mungkin diperlukan pada

kasus yang lebih parah.

2. Tatalaksana Pembedahan3

Terapi pembedahan dilakukan jika trauma mencapai grade III hingga VI pada

klasifikasi Dua. Namun pada setiap grading trauma kimia, intervensi bedah

direkomendasikan untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi komplikasi.

a) Amniotic Membrane Transplantation (AMT)

Amniotik membran adalah sebuah membran fetal yang melingkupi cairan

amnion yang mengelilingi fetus. Amniotik membra terdiri dari epitel kuboid

tunggal yang berada di atas membran basal. Membran basal tersebut mengandung

kolagen (tipe 4 dan 7), laminin (tipe 1 dan 5) dan fibronektin yang menyediakan

tempat untuk perkembangan sel epitel kornea. Dibawah membran basal terdapat

16
Universitas Lambung Mangkurat
lapisan yang disebut stroma yang terdiri dari jaringan ikat seluler yang berguna

untuk perbaikan epitel dan memproduksi berbagai macam growth factor yang

penting untuk proliferasi dan perbaikan dari stem sel kornea serta menghambat

produksi dari jaringan fibrotik yang dibuat oleh fibroblast. Beberapa penelitian

mengemukakan bahwa membran amniotik berguna sebagai anti-angiogenik, anti-

inflamasi, anti-protease dan anti-mikroba. Transplantasi membran amniotik ini

dapat dilakukan dengan satu layer atau multipel layer, layer tersebut dapat

dilekatkan ke permukaan okular dengan jahitan maupun pelekat jaringan. Layer

tersebut dapat dibiarkan tanpa batasan waktu ataupun dapat dilepas setelah

permukaan okular stabil. Transplantasi ini dapat menutupi seluruh permukaan

okular, forniks, margin kelopak mata atau hanya menutupi area yang mengalami

de-epitelisasi. Setelah dilakukan transplantasi, mata dapat dibiarkan terbuka atau

ditutup dengan lensa perban untuk waktu tertentu. AMT memberikan kenyamanan

bagi pasien karena mengurangi rasa sakit, fotofobia dan epiforia. Beberapa penulis

merekomendasikan dilakukan AMT khususnya pada grade III hingga VI pada

klasifikasi Dua.16

17
Universitas Lambung Mangkurat
Gambar 2.7 Amniotic Membrane Transplant (AMT).

b) Tenoplasti

Pada kasus luka bakar kimia yang parah dimana terjadi gangguan pada

pembuluh darah limbal, maka tenoplasti merupakan salah satu pilihan. Prosedur ini

mencakup pembersihan dari jaringan nekrotik dan kemudian dilakukan

pengembangan kapsul tenon yang sehat dan berdekatan dengan limbus. Prosedur

ini dapat dilakukan tunggal atau dikombinasikan dengan AMT. Tujuannya adalah

untuk menyediakan pasokan darah sehingga tidak terjadi nekrosis segmen anterior

serta mempercepat perbaikan jaringan.17

c) Debridement jaringan nekrotik

d) Limbal Stem-Cell Transplantation (LSCT)

18
Universitas Lambung Mangkurat
Sebagian besar trauma kimia pada mata disebabkan oleh iskemik limbal dan

hilangnya sel punca. Sel punca berguna untuk repopulasi dari epitel kornea. LST

dapat digunakan untuk mengganti sekelompok sel tersebut. Autograft limbus dapat

berasal dari mata kontralateral yang sehat jika hanya satu mata yang terkena trauma.

Ketika kedua mata terluka maka transplantasi didapatkan dari donor yang masih

hidup. LST harus ditunda sampai peradangan mereda.

Gambar 2.8 Limbal Stem-Cell Transplantation (LSCT).

e) Cultivated oral mucosal epithelial transplantation (COMET)

Dapat digunakan untuk mempercepat re-epitelisasi dan mengurangi inflamasi

pada luka bakar kornea. Epiel didapatkan dari mukosa buccal pasien sendiri

sehingga agen imunosupresi sistemik tidak diperlukan.

19
Universitas Lambung Mangkurat
Gambar 2.9 Cultivated oral mucosal epithelial transplantation (COMET).

f) Keratoplasty dan Keratoprosthesis

Transplantasi kornea dipertimbangkan bagi kasus trauma kimia yang memiliki

bekas luka luas hingga ke stroma dan perforasi yang signifikan. Penetrating

keratoplasty (PK) dan deep anterior lamellar keratoplasty (DALK) dapat dilakukan

pada kasus trauma kimia. Keratoplasti dapat dilakukan tanpa atau bersamaan

dengan AMT. Namun untuk pasien yang telah dilakukan LSCT paling tidak harus

ditunda selama tiga bulan pasca LSCT. Keratoprostesis dapat diindikasikan jika

prosedur keratoplasti telah gagal atau keberhasilannya sangat rendah. Pada pasien

dengan produksi air mata yang minimal, keratopeostesis tipe 1 Boston (B1-Kpro)

dapat dilakukan terutama jika ingin dikombinasikan dengan LSCT dan prosedur

rekonstruktif lainnya. Jika pada pasien dengan mata yang sangat kering dan

keratinisasi yang parah, atau kasus dimana terjadi disfungsi kelopak mata yang

parah maka dapat dilakukan keratoprostesis Boston tipe 2 (B2-KPro) atau osteo-

odonto-keratoprostesis (OOKP).

20
Universitas Lambung Mangkurat
Gambar 2.10 Penetrating Keratoplasty (PK).

Gambar 2.11 Keratopeostesis tipe 1 Boston (B1-Kpro).

3. Terapi Lainnya

a) Terapi Oksigen

Sebuah penelitian pada manusia melaporkan bahwa oksigen 100% yang

diberikan selama 1 jam setiap 12 jam menghasilkan epitelisasi yang lebih cepat dan

resolusi dari iskemia limbal dibandingkan dengan kelompok kontrol.

b) Tissue Adhesives (Perekat Jaringan)

21
Universitas Lambung Mangkurat
Jika perforasi kornea kecil (<3 mm) terjadi pada luka bakar kimia, maka fibrin

glue dan cyanoacrylate adhesive dapat diberikan untuk menutup luka perforasi.

Fibrin glue lebih sering digunakan karena menyebabkan lebih sedikit peradangan

dibanding cyanoacrylate adhesive. Jika pada kasus belum terdapat perforasi tetapi

penipisannya cukup parah, maka penggunaan cyanoacrylate adhesive dengan

bandage contact lens dapat digunakan. Penggunaan fibrin glue dapat dibiarkan

hingga terlepas secara spontan atau telah terjadi perbaikan vaskularisasi ocular.

c) Terapi Anti-angiogenik

Peradangan menghasilkan peningkatan faktor angiogenik yang akan

menyebabkan neovaskularisasi kornea. Beberapa agen termasuk anti-vaskular

faktor pertumbuhan endotel (anti-VEGF) telah dicoba pada penelitian pada hewan

dan manusia. Namun, korelasi klinisnya memerlukan penelitian lebih lanjut. Pada

luka bakar yang parah, para ahli memilih untuk meningkatkan angiogenesis karena

takut perforasi di daerah iskemik.

22
Universitas Lambung Mangkurat
Tabel 2.4 Tatalaksana Trauma Kimia pada Mata Sesuai Onset Trauma

4. Rekomendasi tatalaksana3

Berikut adalah rekomendasi tatalaksana sesuai klasifikasi Roper-Hall :

Grade I

 Pemberian antibiotik salep (eritromisin atau yang lainnya) empat kali sehari

 Tetes mata prednisolon asetat 1% empat kali sehari

 Berikan artificial tears jika diperlukan

 Jika terdapat nyeri dapat diberikan siklopegik short acting seperti cyclopentolate

tiga kali sehari

Grade II

 Antibiotik topikal tetes fluroquinolone empat kali sehari

23
Universitas Lambung Mangkurat
 Prednisolone asetat 1% setiap jam selama pasien terbangun kira-kira 7-10 hari.

Jika epitel belum membaik hingga hari ke 10-14 maka lakukan tappering off.

Jika defek epitel terus memburuk pada hari ke 10 maka pertimangkan steroid

progestasional (medroksiprogesteron 1% empat kali sehari)

 Siklopegik long acting contohnya atropine

 Vitamin C oral, dengan dosis 2 gram empat kali sehari

 Doksisiklin, 100 mg dua kali sehari (hindari pada anak-anak)

 Sodium ascorbate drops (10%) setiap jam ketika terbangun

 Berikan artificial tears jika diperlukan

 Debridement jaringan nekrotik dan pemberian tissue adhesive jika diperlukan.

Grade III

 Sama dengan grade II

 Disarankan untuk melakukan amnionic membrane transplant. Sebaiknya

dilakukan pada minggu pertama pasca trauma.

Grade IV

 Sama dengan grade II dan III

 Terapi operatif segera sangat diperlukan. Untuk nekrosis yang sangat signifikan

dapat dilakukan tenoplasti untuk menjaga vaskularisasi limbal. Amnionic

membrane transplant biasanya diperlukan tergantung keparahan kerusakan

permukaan okular.

Tahapan recovery pasca trauma kimia mata3

 Fase inisial (hari ke 0), temuan klinis bervariasi sesuai dengan keparahan trauma.

24
Universitas Lambung Mangkurat
 Fase akut (hari ke 0-7), pertumbuhan kembali epitel mulai terlihat jika masih ada

stem sel limbal yang tidak rusak. Tatalaksana harus berfokus untuk mendorong

pertumbuhan kembali epitel dan meringankan inflamasi.

 Fase early repair (hari ke 7-21), epitel kornea dan konjungtiva serta keratosit

berproliferasi pada fase ini. Kerusakan ringan akan memperlihatkan gamabaran

re-epitelisasi yang sempurna sedangkan pada kerusakan berat akan terlihat defek

epitel yang persisten. Kolagenase meningkat pada hari ke 14-21 dan sintesis

kolagen terus berlangsung. Tatalaksana pada tahap ini harus memaksimalkan

sintesis kolagen dan meminimalisir aktivitas kolagenase.

 Fase late repair (setelah hari ke 21), pada kerusakan ringan dimana sel limbal

masih intak maka akan terjadi perbaikan sempurna. Pada trauma grade II dimana

terjadi kerusakan sel limbal kemungkinan akan terjadi konjungtivalisasi focal

dari kornea. Pada kerusakan yang lebih parah dapat terjadi gangguan para proses

re-epitalisasi sehingga dapat ditemukan adanya ulserasi stroma dan scarring

yang permanen. Pada kasus kerusakan yang sangat parah, bahkan manajemen

yang baik seringkali tidak dapat memperbaiki kerusakan okular.

25
Universitas Lambung Mangkurat
Gambar 2.12 Hasil Akhir dari Trauma Grade II dengan Fokal Konjungtivalisasi.

F. Komplikasi7

1. Glaukoma

Glaukoma cukup sering terjadi setelah trauma okular, dengan frekuensi sekitar

15-55% pada seluruh pasien dengan luka bakar kimia berat. Mekanisme glaukoma

multifaktorial diantaranya akibat kontraksi struktur mata anterior akibat kerusakan

pasca trauma, debris inflamasi yang berada pada trabecular meshwork dan

kerusakan dari trabecular meshwork. Pada klasifikasi Roper-Hall grade III atau IV

sangat sering ditemukan kenaikan tekanan intraokular dan lebih sering

mendapatkan pemberian obat-obatan glaukoma dan terapi operatif glaukoma

dibandingkan grade I atau II.18

2. Mata Kering

Trauma kimia menyebabkan kerusakan dari sel goblet, sehingga menyebabkan

berkurangnya atau bahkan sampai tidak adanya mucus pada tear film. Hal ini

menyebabkan terjadinya keratokonjungtivitis sicca.

3. Kerusakan pada lipatan mata dan konjungtiva palpebra

26
Universitas Lambung Mangkurat
Trauma kimia dapat menyebabkan kerusakan secara langsung pada konjungtia

yang akhirnya akan menyebabkan jaringan parut, pemendekan forniks,

pembentukan simblefaron, ektropion dan entropion. Komplikasi ini dapat

ditemukan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan setelah trauma.

Gambar 2.13 Simblefaron.

Gambar 2.14 Ektropion.

Gambar 2.15 Entropion.

27
Universitas Lambung Mangkurat
BAB III

PENUTUP

Trauma kimia terjadi akibat terpaparnya bahan kimia yang bersifat asam atau

basa yang dapat merusak struktur bola mata. Trauma kimia diakibatkan oleh zat

asam dengan pH < 7 atau zat basa pH > 7. Tingkat keparahan cedera mata

tergantung pada empat faktor yaitu toksisitas bahan kimia,berapa lama bahan kimia

bersentuhan dengan mata, kedalaman penetrasi bahan kimia dan luas area yang

terkena.

Penanganan yang dilakukan dalam beberapa menit dan hari setelah trauma

awal akan menentukan perjalanan klinis dan dapat mencegah komplikasi lebih

lanjut. Setelah cedera kimia, tujuan terapi adalah untuk mengembalikan permukaan

mata menjadi normal dan mengembalikan kejernihan kornea. Langkah pertama saat

terjadi trauma kimia pada mata adalah dengan melakukan irigasi terus-menerus.

Terapi pembedahan dilakukan jika trauma mencapai grade III hingga VI pada

klasifikasi Dua. Namun pada setiap grading trauma kimia, intervensi bedah

direkomendasikan untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi komplikasi.

28
Universitas Lambung Mangkurat
DAFTAR PUSTAKA

1. Singh P, Tyagi M, Kumar Y, Gupta K, Sharma P. Ocular chemical injuries and


their management. Oman J Ophthalmol. 2013;6(2):83-86.

2. Solano JJ. Ocular burns and chemical injuries: background, pathophysiology,


etiology. 2022 [dikutip 6 Maret 2022]; Tersedia pada:
https://emedicine.medscape.com/article/1215950-overview.

3. Soleimani M, Naderan M. Management strategies of ocular chemical burns:


current perspectives. OPTH. 2020;Volume 14:2687-2699.

4. Utomo PJ, Shinta AN, Dibyasakti B, Darmawan NE, Supartoto A. Trauma


kimia okuli roper-hall derajat IV bilateral. Ophthalmol Ina. 2021;47(2):25-34.

5. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Indonesia; 2019.

6. Haring RS, Sheffield ID, Channa R, Canner JK, Schneider EB. Epidemiologic
trends of chemical ocular burns in the United States. JAMA Ophthalmol.
2016;134(10):1119.

7. Trief D, Chodosh J, Colby K, Chang A. Chemical (alkali and acid) injury of


the conjunctiva and cornea [Internet]. 2022 [dikutip 6 Maret 2022]. Tersedia
pada:https://eyewiki.aao.org/Chemical_(Alkali_and_Acid)_Injury_of_the_Co
njunctiva_and_Cornea.

8. Said DG, Dua HS. Chemical burns acid or alkali, what’s the difference? Eye.
2020;34(8):1299-1300.

9. Sharma N, Kaur M, Agarwal T, Sangwan VS, Vajpayee RB. Treatment of


acute ocular chemical burns. Survey of Ophthalmology. 2018;63(2):214-235.

10. Bunker DJL, George RJ, Kleinschmidt A, Kumar RJ, Maitz P. Alkali-related
ocular burns: a case series and review. Journal of Burn Care & Research.
2014;35(3):261-268.

11. Eslani M, Baradaran-Raffi A, Movahedan A, Djalilian AR. The ocular surface


chemical burns. Journal of Ophthalmology. 2014;2014(2):1-9.

12. Monaghan MT, Brogan K, Lockington D, Rotchford AP, Ramaesh K.


Variability in measuring pH using litmus paper and the relevance in ocular
chemical injury. Eye. 2020;34(11):2133-2134.

29
Universitas Lambung Mangkurat
13. Kim EC, Kim TK, Park SH, Kim MS. The wound healing effects of vitamin A
eye drops after a corneal alkali burn in rats. Acta Ophthalmologica.
2012;90(7):e540-546.

14. Sharma N, Singh D, Maharana PK, Kriplani A, Velpandian T, Pandey RM,


dkk. Comparison of amniotic membrane transplantation and umbilical cord
serum in acute ocular chemical burns: a randomized controlled trial. American
Journal of Ophthalmology. 2016;168:157-163.

15. Baradaran-Raffi A, Eslani M, Haq Z, Shirzadeh E, Huvard MJ, Djalilian AR.


Current and upcoming therapies for ocular surface chemical injuries. The
Ocular Surface. 2017;15(1):48–64.

16. Westekemper H, Figueiredo FC, Siah WF, Wagner N, Steuhl K-P, Meller D.
Clinical outcomes of amniotic membrane transplantation in the management
of acute ocular chemical injury. Br J Ophthalmol. 2017;101(2):103-107.

17. Tabatabaei SA, Soleimani M, Mirshahi R, Zandian M, Ghasemi H, Hashemian


MN, dkk. Selective localized tenonplasty for corneal Burns based on the
findings of ocular surface fluorescein angiography. Cornea. 2017;36(8):1014-
1017.

18. Lin MP, Ekşioğlu Ü, Mudumbai RC, Slabaugh MA, Chen PP. Glaucoma in
patients with ocular chemical burns. American Journal of Ophthalmology.
2012;154(3):481-485.

30
Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai