Anda di halaman 1dari 11

KESIMPULAN

Dalam Perkara PTUN Nomor : 140/G/2006/PTUN-JKT


Di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Antara
MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI RI
MELALUI KUASA HUKUMNYA JAKSA PENGACARA NEGARA PADA KEJAKSAAN
AGUNG RI
SEBAGAI TERGUGAT
Melawan
Drs. H. P. SEBAYANG, Msc., APU, dkk
MELALUI KUASA HUKUMNYA BAKUMHAM-OTDA PARTAI GOLONGAN KARYA
SEBAGAI PARA PENGGUGAT

Kepada Yth :
Ketua Majelis Hakim Dalam Perkara
Nomor : 140/G/2006/PTUN-JKT pada
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Di –
JAKARTA

Dengan hormat,
Kami Jaksa Pengacara Negara yang kesemuanya adalah Warga Negara Indonesia dan
telah memilih domisili hukum di Kantor Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
beralamat di Jl. Sultan Hasanudin No.1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus Nomor : 01/A/10/2006 tanggal 21 Oktober 2006 bertindak untuk
dan atas nama TERGUGAT dengan ini mengajukan kesimpulan sebagai berikut :

A. PENDAHULUAN
1. Bahwa TERGUGAT tetap pada dalil-dalil sebagaimana dikemukakan
TERGUGAT dalam Jawaban / Eksepsi, Duplik, Bukti-bukti, Saksi dan Ahli yang
diajukan. Selanjutnya menolak seluruh dalil-dalil dari PARA PENGGUGAT
beserta bukti, bukti yang diajukan kecuali yang secara tegas diakui
kebenarannya oleh PARA PENGGUGAT;
2. Bahwa berdasarkan seluruh alat bukti yang telah diajukan TERGUGAT, baik
bukti tertulis maupun keterangan saksi dan ahli, seluruh dalil Jawaban dan
Duplik dalam perkara a quo terbukti berdasarkan hukum.

B. ANALISA FAKTA
1. Bahwa Ahli dari Penggugat menyatakan pendapatnya terhadap kedudukan
rumah yang dihuni oleh Para Penggugat dapat ditingkatkan statusnya dari
Rumah Negara Golongan II menjadi Rumah Negara Golongan III;
2. Bahwa Ahli dari Penggugat menyatakan pendapatnya bahwa terhadap surat
yang diajukan oleh Para Penggugat kepada Menteri Riset dan Teknologi telah
melanggar Asas Pemerintahan Yang Baik;
3. Bahwa Ahli dari Penggugat menyatakan pendapatnya bahwa yang dapat
menajdi obyek dari sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam
Pasal 1, Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986;
4. Bahwa Ahli dari Penggugat menyatakan pendapatnya terhadap permintaan
audiense yg dilakukan oleh PARA PENGGUGAT yang tidak ditanggapi oleh
TERGUGAT merupakan termasuk Keputusan Tata Usaha Negara;
5. Bahwa Ahli dari Penggugat menyatakan pendapatnya obyek yang menjadi
sengketa merupakan Rumah Negara Golongan II berdasarkan Keputusan
Menristek;
6. Bahwa Ahli dari Tergugat menyatakan pendapatnya terhadap sebuah
permohonan dapat pula diterima atau tidak;
7. Bahwa Ahli dari Tergugat menyatakan pendapatnya yang dapat mengeluarkan
keputusan TUN adalah Menristek terhadap permohonan tersebut Menristek
dapat menolak berdasarkan asas kemanfaatan;
C. ANALISA HUKUM DAN PEMBUKTIAN

DALAM EKSEPSI
1. Mengenai Surat Nomor: 011/SK-BAKUMHAM-OTDA/PG/V/2006 yang
merupakan Surat Permohonan Waktu Audiensi dan Tidak Terpenuhinya Sifat
Konkrit, Individual, dan Final.
a. Bahwasanya pengakuan atau keterangan di persidangan adalah bukti
yang kuat dan tidak dapat dicabut kembali oleh Penggugat. Hal ini dapat
dilihat dalam dalil - dalil yang disampaikan Penggugat dalam gugatannya
yaitu:
Bahwa dalam gugatan Para Penggugat Bab Permohonan halaman 31 poin
2, Penggugat memita kepada Majelis Hakim untuk:
“Memerintahkan Tergugat untuk memproses permohonan Para
Penggugat sebagaimana termaktub dalam Surat Nomor: 011/SK-
BAKUMHAM-OTDA/PG/V/2006, tertanggal 8 Mei 2006 yang perihalnya
Mohon Waktu Untuk Bertemu/Audiens....”;
b. Bahwa permohonan Audiensi tersebut bukan merupakan permohonan
yang apabila pun dipenuhi merupakan KTUN yang bersifat Konkrit
Individual dan Final;
c. Bahwa Pasal 1 Angka 9 UU RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas UU RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, menyebutkan:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
berdasarkan Peraturan Perundangan yang Berlaku, yang bersifat Konkret,
Individual, dan Final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang dan
Badan Hukum Perdata”.
d. Bahwa yang dimaksud bersifat konkret (dalam Penjelasan UU Rl Nomor 5
Tahun 1986) adalah objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha
Negara itu tidak abstrak , tetapi berwujud , tertentu atau dapat ditentukan,
umpamanya keputusan mengenai rumah si A izin usaha bagi si B,
pemberhentian si A sebagai pegawai negeri;
e. Bahwa pemberian waktu untuk audiensi sebagaimana dimintakan oleh
Para Penggugat adalah bersifat abstrak dan tidak jelas mengenai wujud
serta bentuknya;
f. Bahwa kemudian yang dimaksud dengan bersifat individual (dalam
Penjelasan UU Rl Nomor 5 Tahun 1986) adalah Keputusan Tata Usaha
Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat
maupun hal yang dituju yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama
orang yang terkena keputusan itu disebutkan;
g. Bahwa andaipun permohonan Para Penggugat untuk diberikan waktu
untuk audiensi tersebut diberikan, maka surat balasan tersebut hanya
akan Tergugat sampaikan sebanyak 1 (satu) buah dan tidak ditujukan
kepada individu masing-masing Para Pengguga. Sehingga tidak memenuhi
sifat individualnya sebuah KTUN;
h. Bahwa selanjutnya yang dimaksud bersifat final (dalam Penjelasan UU Rl
Nomor 5 Tahun 1986) adalah sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final
karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban kepada
pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang
pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi
Kepegawaian Negara;
i. Bahwa permohonan waktu bertemu atau audiensi yang dimintakan
penggugat yang apabila permohonan tersebut dipenuhi, maka wujud
pemenuhan permohonan tersebut adalah pemberian waktu untuk
bertemu atau audiensi. Pemberian waktu untuk bertemu atau audiensi
tersebut bukanlah suatu keputusan final mengenai perubahan status
golongan rumah negara menjadi golongan II;
j. Bahwa selain itu audiensi yang dimintakan oleh Para Penggugat belum
tentu menimbulkan hak atau akibat hukum apapun terkait dengan
pengubahan golongan rumah negara. Pemenuhan waktu untuk bertemu
tersebut tidak otomatis memutuskan perubahan golongan rumah negara
dan hanya bersifat mendengarkan aspirasi Para Penggugat. Dengan
demikian objek gugatan tidak memenuhi syarat KTUN bersifat final;
k. Bahwa dengan demikian KTUN Fiktif-Negatif yang menjadi Objek Gugatan
tidak memenuhi syarat konkret, individual dan final sehingga gugatan
harus dinyatakan tidak dapat diterima.

2. Gugatan Penggugat Kabur (Obscuur Libel).


a. Posita Disusun Secara Tidak Cermat
 Bahwa di dalam posita Gugatan halaman 27 poin 4, Para Penggugat
menyatakan “telah berulangkali mengusulkan dan/atau memohonkan
baik dengan surat maupun dengan jalan mendatangi langsung
TERGUGAT ...”
 Bahwa kalimat tersebut adalah tidak jelas dan cenderung menggiring
persepsi tiap pihak yang membacanya. Seharusnya dijelaskan di
dalam gugatan mengenai kapan saja (hari, tanggal, bulan dan tahun)
Para Penggugat melakukan usulan tersebut;
 Bahwa kemudian dalam poin 7 Posita menyebutkan bahwa “Tergugat
juga pernah menjanjikan dihadapan Komisi VII DPR RI pada saat
dengar pendapat akan menetapkan status rumah negara menjadi
golongan II...”;
 Bahwa Para Penggugat tidak menyebutkan kapan Tergugat
menyampaikan hal tersebut dan siapa saja yang mengikuti rapat
dengar pendapat tersebut secara jelas;
 Bahwa dengan demikian Surat Gugatan in Casu telah menyusun posita
secara tidak cermat.
b. Petitum Disusun Secara Keliru
 Bahwa Para Penggugat dalam fundamentum petendi-nya pada
pokoknya menyatakan bahwa dasar diajukannya gugatan adalah
mengenai tidak dikabulkannya permohonan penggugat mengenai
peralihan golongan rumah negara dari golongan I menjadi golongan
II. Dengan tidak dikabulkannya permohonan tersebut Para Penggugat
telah menganggap permohonan tersebut telah ditolak sebagai KTUN
Fiktif-Negatif oleh Tergugat;
 Bahwa meskipun Para Penggugat telah mendalilkan Tergugat telah
menerbitkan KTUN Fiktif-Negatif namun dalam petitumnya Para
Penggugat tidak memintakan batalnya KTUN Penolakan tersebut;
 Bahwa justru di dalam petitumnya Para Penggugat meminta kepada
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara A quo untuk memerintahkan
Tergugat memproses peralihan status Rumah Negara dari Golongan I
menjadi Golongan II. Hal tersebut adalah diluar kewenangan Majelis
Hakim;
 Bahwa berdasarkan PP Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan PP Nomor 31 Tahun
2005 kewenangan merubah golongan Rumah Negara tersebut
merupakan kewenangan bebas dari Menteri in Casu Menristek (Vide:
Pasal 12 Ayat (2a) dan Ayat (3);
 Bahwa selain itu petitum dalam Surat Gugatan Para Penggugat yang
meminta “menetapkan status Rumah Negara menjadi golongan II
yang bisa ditingkatkan menjadi golongan III” adalah menimbulkan
ketidakpastian mengenai apa yang sebenarnya dimintakan oleh
Penggugat. Apakah meminta rumah negara ditetapkan menjadi
golongan II ataukah meliputi penetapan rumah negara menjadi
golongan III. Harusnya Para Penggugat tertib prosedur dan tidak
memintakan dua hal yang berbeda di dalam satu petitum;
 Bahwa dengan demikian Para Penggugat telah keliru dalam
menyusun Petitum di dalam Surat Gugatannya.

c. Terdapat Ketidaksesuaian antara Posita dan Petitum.


 Bahwa selain itu Para Penggugat di dalam positanya menyebutkan
bahwa Surat Nomor: 011/SK-BAKUMHAM-OTDA/PG/V/2006,
tertanggal 8 Mei 206 yang dijadikan dasar pengajuan gugatan adalah
surat permohonan pengalihan status golongan rumah negara;
 Bahwa namun demikian Para Penggugat di dalam gugatan-nya pada
Bab Permohonan halaman 31 poin 2, Penggugat memita kepada
Majelis Hakim untuk, “Memerintahkan Tergugat untuk memproses
permohonan Para Penggugat sebagaimana termaktub dalam Surat
Nomor: 011/SK-BAKUMHAM-OTDA/PG/V/2006, tertanggal 8 Mei 2006
yang perihalnya Mohon Waktu Untuk Bertemu/Audiens...”;
 Bahwa dengan demikian Para Penggugat lagi-lagi tidak konsisten
dalam menyusun fundamentum petendi dan petitumnya di dalam
Surat Gugatan.

DALAM POKOK PERKARA

1. Mengenai telah Terbitnya Kepmenristek Nomor 101/M/Kp/VI/2006.


a. Bahwa Pasal 12 ayat (2 a) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara,
menegaskan pula bahwa setiap pimpinan instansi wajib menetapkan
status rumah Negara yang berada di bawah kewenangannya menjadi
Rumah Negara Golongan I atau Rumah Negara Golongan II;
b. Bahwa Tergugat selaku Menristek telah tunduk dan taat terhadap
peraturan tersebut sehingga pada tanggal 15 Juni 2006 menerbitkan
Kepmenristek Nomor 101/M/Kp/VI/2006 tentang Penetapan Status
Rumah Negara di Kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (PUSPIPTEK SERPONG);
c. Bahwa Kepmenristek tersebut pada pokoknya menetapkan beberapa
rumah negara (termasuk objek sengketa) menjadi rumah negara golongan
I;
d. Bahwa Kepmenristek tersebut juga sekaligus merupakan jawaban
terhadap permohonan Para Penggugat yang secara tersirat dapat
diartikan sebagai jawaban Tergugat bahwa rumah-rumah negara
sebagaimana dimohonkan oleh Para Penggugat tersebut masih sangat
diperlukan oleh pemerintah untuk menunjung pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan;
e. Bahwa dengan demikian keinginan Para Penggugat untuk memiliki
Rumah Negara tersebut dengan langkah awal mengajukan gugatan a quo
adalah sangat menganggu keberlangsungan organ dan fungsi pemerintah
sehingga harus dinyatakan ditolak.
2. Mengenai Kewenangan Bebas dari Menristek.
a. Bahwa kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan
terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij bestuur, Freies
Ermessen, discretionary power). Menurut Ten Berge, seperti yang dikutip
Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan
dan kebebasan penilaian;
b. Bahwa kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit)
artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang
tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas
untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi
penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian
(wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang
diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eklusif
apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah
terpenuhi;
c. Bahwa menurut Philipus M. Hadjon menyatakan Kekuasaan bebas atau
kekuasaan diskresi meliputi kewenangan untuk memutus sendiri, dan
kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen).
Kekuasaan bebas di sini tidak dimaksudkan kekuasaan yang tanpa batas,
tetapi tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidak-tidaknya
kepada hukum yang tertulis atau asas-asas hukum;
d. Bahwa untuk menentukan golongan Rumah Negara menjadi Rumah
Negara Golongan I atau Golongan II merupakan kewenangan terikat
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (2a) PP Nomor 31 Tahun
2005,yang menyebutkan:
“Setiap pimpinan instansi wajib menetapkan status rumah negara yang
berada dibawah kewenangannya menjadi Rumah Negara Golongan I atau
Rumah Negara Golongan II”.
e. Bahwa namun demikian untuk mengabulkan permohonan perubahan
golongan rumah negara dari golongan I menjadi golongan II ataupun dari
golongan II menjadi golongan III adalah merupakan kewenangan bebas
dari Menteri (in Casu Menristek-Tergugat) sehingga tidak terikat pada
permohonan para Penggugat;
f. Bahwa dengan demikian tiada hak dari Para Penggugat untuk
mencampuri kewenangan bebas dari Tergugat sehingga gugatan Para
Penggugat adalah tidak berdasar dan harus dinyatakan ditolak.
3. Mengenai Kewenangan Bebas yang Telah Memenuhi Persyaratan
Peraturan Perundangan dan AAUPB.
a. Bahwa mengenai kewenangan untuk menentukan golongan Rumah
Negara adalah merupakan kewenangan bebas dari Menteri (in Casu
Menristek) sehingga tidak terikat pada permohonan para Penggugat;
b. Bahwa dalam permasalahan in Casu Tergugat dalam menjalankan
kewenangan bebasnya tidak menyalahi peraturan perundangan maupun
AAUPB sehingga merupakan kewenangan bebas yang tidak melawan
hukum;
c. Bahwa perbuatan hukum administrasi Tergugat dengan menerbitkan
Kepmenristek Nomor 101/M/Kp/VI/2006 pada tanggal 15 Juni 2006
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
 Undang- Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 06 Tahun 2006 tentang Pengelo laan Barang Milik Negara/
Daerah dan sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor : 96/PMK.06/2007 ten tang Tata Cara Pelaksanaan
Penggunaan, Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang Milik
Negara. Dimana di dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor : 96/PMK.06/2007 dengan tegas dinya takan, “
Penggunaan Barang Milik Negara untuk menjalankan tugas pokok dan
fungsi dilakukan berdasarkan penetapan status penggunaan status
oleh Pengelola Barang" . Pengelola Barang in casu Menristek telah
menetapkan status rumah objek sengketa menjadi Rumah Negara
Golongan I.
 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40
Tahun 1994 tentang Rumah Negara sebagaimana telah dirubah
dengan peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2005 tentang Perubahan
PP No. 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara ( “PP No. 31/2005” ) Jo.
Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan,
Penetapan Status, Pengalihan Status dan Pengalihan Atas Rumah
Negara ( “Per .Pres No. 11/2008” ) menyebutkan, “Rumah Negara
adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat
tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang
tugas pejabat dan/atau pegawai negeri ”
 Pasal 11 PP No. 31/2005 menyatakan : “Pengelolaan Rumah Negara
merupakan kegiatan yang meliputi penetapan status , pendaftaran dan
penghapusan”.
 Pasal 12 ayat (2 a) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara,
menegaskan pula, “Setiap pimpinan instansi wajib menetapkan status
rumah Negara yang berada di bawah kewenangannya menjadi Rumah
Negara Golongan I atau Rumah Negara Golongan II”.
d. Bahwa perbuatan hukum administrasi Tergugat dengan menerbitkan
Kepmenristek Nomor 101/M/Kp/VI/2006 pada tanggal 15 Juni 2006
telah sesuai dengan AAUPB yakni Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib
Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 28/1999;
Demikian uraian kesimpulan ini kami sampaikan, maka bersama ini TERGUGAT mohon
agar Pengadilan Tata Usaha Negara yang memeriksa perkara ini berkenan untuk
memutus sebagai berikut
DALAM EKSEPSI
Menolak Gugatan, Replik dan Pembuktian PARA PENGGUGAT mohon agar Pengadilan
Tata Usaha Negara yang memeriksa perkara ini berkenan untuk memutus sebagai
berikut :

DALAM POKOK PERKARA


1. Menolak gugatan PARA PENGGUGAT untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan gugatan PARA PENGGUGAT tidak dapat diterima;
2. Menghukum PARA PENGGUGAT membayar biaya perkara;

Atau :
Apabila Majelis Hakim Pemeriksa Perkara A Quo berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya.

Demikian Duplik TERGUGAT ini disampaikan, atas perkenan Majelis Hakim Yang
Terhormat diucapkan terima kasih.

Hormat Kami
Kuasa Hukum TERGUGAT
RIZKI PURBO NUGROHO, SH., MH.

YADI HERDIANTO, SH. RIKY ALHAMBRA, SH.

RISKY FANY ARDHIANSYAH, SH. VERA TRIYANTI RITONGA, SH.

WAHER TULUS JAYA TARIHORAN, SH. STANISLAUS YOSEPH, SH.

WILLIAM JAKSON SIGALINGGING, SH.  

Anda mungkin juga menyukai