Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM II

LABORATORIUM LINGKUNGAN
TL 3103
Oil and Grease, Surfactant, Sulfat, dan Klorida
Nama Praktikan : Alifya Salsadila
NIM : 15318027

Tanggal Praktikum : 11 November 2020


Tanggal Penyerahan : 22 November 2020
PJ Modul : 1. Muhamman Farhan Huda
2. Putri Shafa Kamila
Asisten yang bertugas : 1. Arisa F. Pangaribuan
2. M. Yusuf Habibbullah
3. Cindy Maura Bernadine
4. Syams A.
5. Fathiya Mufidah
6. Miftahir Rizka

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2020
Kamis, 11 November 2020

MODUL XXV
OIL AND GREASE

I. Tujuan

1. Menentukan konsentrasi oil and grease pada sampel air.


2. Menentukan kualitas air berdasarkan parameter oil and grease.
3. Menentukan aplikasi dari pengukuran oil and grease.

II. Landasan Teori


Petroleum merupakan suatu senyawa yang terdiri dari kumpulan hidrokarbon dengan senyawa
aromatik lainnya. Umumnya senyawa tersebut dikenal dengan sebutan petroleum
hidrokarbon, yakni senyawa yang menjadi penyebab polusi, baik di lingkungan darat maupun
perairan. Seluruh senyawa hidrokarbon tersebut bersifat toksik apabila telah mencemari
lingkungan. Minyak bumi dan turunannya merupakan salah satu contoh dari hirdokarbon yang
banyak digunakan oleh manusia dan berpotensi mencemari lingkungan (Karwati 2009).
Dalam proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa hidrokarbon tersebut untuk
pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi (Nainggolan 2010). Yang
disebut dengan oil adalah petroleum hidrokarbon sedangkan yang dimaksud dengan grease
adalah lemah hewani dan nabati.
Minyak merupakan bagian dari lipid yang pada suhu ruangan berbentuk cairan. Minyak
banyak ditemukan pada tumbuhan namun juga terdapat pada biota-biota laut. Untuk mencari
kadar minyak dalam biota biasanya melalui proses ekstraksi. Proses ekstraksi merupakan
proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan menggunakan zat pelarut yang sesuai.
Dalam hal ini minyak merupakan senyawa non polar maka jenis pelarutnya juga harus non
polar seperti heksana atau 1,1,2-trikloro-1,2,2,- triflouroethana (Freon 113 atau CFC-113.).
Penggunaan pelarut heksana dalam mengekstrak biota metode yang paling efektif adalah
metode soxhlet. Metode ini tidak memakan banyak pelarut karena pelarut yang digunakan
membentuk siklus dan menjadi pelarut baru setiap siklusnya, serta metode ini tidak memakan
banyak waktu untuk menunggu proses ekstraksi berlangsung dan dalam metode ini kadar
minyak yang didapat lebih banyak.

Metode yang umum digunakan untuk pengukuran oil and grease yaitu Metode ekstraksi – gravimetric,
Metode ekstraksi – infrared spectrofotmetri, dan Metode ekstraksi – Soxhlet. Teknik pengambilan
contoh air untuk pengukuran oil and grease, harus digunakan wadah yang terbuat dari gelas dengan
mulut lebar. Gelas harus dicuci dengan sabun, kemudian dibilas dengan air sampai bersih dan
selanjutnya dibilas dengan pelarut organik. Wadah diisi dengan contoh air, jangan meluber keluar,
jangan dibagi-bagi, karena oil and grease dalam air tidak bercampur

III. Prinsip Praktikum


Pengukuran dengan metode Ekstraksi-Soxhlet dengan cara sejumlah contoh air (250, 500 ml atau 1
liter tergantung kadar oil and grease) diasamkan dengan hydrogen kloride, maka akan terjadi
pemisahan antara oil and grease dengan air karena terjadi peningkatan kepolaran liquid dengan
penambahan HCl. Selanjutnya, oil and grease tersebut dipisahkan dengan cara disaring pada
permukaan kertas saring. Oil and Grease yang berada di dalam kertas saring di ekstraksi dengan alat
Soxhlet dengan menggunakan pelarut organik tertentu. Selanjutnya, jika pelarut organik diuapkan,
maka oil and grease akan tertinggal dalam bentuk residu, selanjutnya di timbang dan dinyatakan
sebagai oil and grease.
IV. Alat dan Bahan
IV.1. Alat
1. Alat Ekstraktor Soxhlet
2. Kertas Thimbel
3. Pemanas Mantel Listrik
4. Pompa vacuum
5. Corong Buchner
6. Penangas air
7. Desikator
IV.2. Bahan
1. Sampel air
2. Larutan Hidrogen Kloride (1+1)
3. Pelarut organik trikloro trifluoroethane (Freon 113), diganti dengan n-heksan

V. Cara Kerja

VI. Data Hasil Praktikum

Volume sampel (mL) 1095


Berat labu awal (mg) 173163,6
Berat labu akhir (mg) 173223,5

VII. Pengolahan Data

𝑚𝑔
𝑂𝑖𝑙 𝑎𝑛𝑑 𝐺𝑟𝑒𝑎𝑠𝑒 ( )
𝐿
1000
= 𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑙𝑎𝑏𝑢 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 (𝑚𝑔) − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑙𝑎𝑏𝑢 𝑎𝑤𝑎𝑙 (𝑚𝑔)
𝑚𝑙 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ 𝑎𝑖𝑟
𝑚𝑔 1000
𝑂𝑖𝑙 𝑎𝑛𝑑 𝐺𝑟𝑒𝑎𝑠𝑒 ( )= 𝑥 (173223,5 − 173163,6) (𝑚𝑔)
𝐿 1095

Oil and grease = 54,7032 mg/l.

VIII. Analisis
VIII.1. Analisis Cara Kerja
Langkah awal dalam analisa oil and grease yaitu mempersiapkan sampel yang disimpan dalam
botol kaca gelap dengan pengawetan asam sulfat. Sampel digunakan seluruhnya (1 botol).
Kemudian botol penyimpan diberi tanda batas sesuai dengan tinggi muka air sampel yang
nantinya akan digunakan untuk mengukur volume sampel yang digunakan. Setelah itu, ke dalam
sampel ditambahkan HCl 1:1 sebanyak 1 ml, lalu dokocok agar homogen. Penambahan bertujuan
untuk menambahkan keasaman sampe air sehingga kandungan lemak dalam oil and grease akan
berubah menjadi asam lemak yang lebih mudah untuk diekstraksi. HCl juga berfungsi untuk
menambah kepolaran larutan sehingga mudah untuk memisahkan antara lemak, minyak, dan air.
Langkah selanjutnya yatitu pembuatan Thimbel. Untuk membuatya, diperlukan corong Buchner
dan air compressor atau pompa hisap. Pertama, kertas saring dimasukkan ke corong Buchner.
Bagian atas kertas saring dilapisi dengan kapas agar oil and grease dapat tersaring dan terserap
dengan lebih maksimal. Kemudian pompa hisap yang berfungsi untuk mempercepat proses
penyaringan dinyalakan. Lalu seluruh sampel dimasukkan ke dalam corong buchner untuk
dilakukan penyaringan. Setelah semua sampel disaring, pompa dimatikan. Bagian dalam dari
botol kaca dibilas atau dibersihkan dengan kapas. Tujuannya agar oil and grease yang masih
tersisa di dalam botol dapat terserap oleh kapas. Selanjutnya, kapas untuk membersihkan botol
dan kapas untuk penyaringan tadi digabungkan lalu ditunggu hingga kering. Botol sampel yang
telah diberi tanda di awal tadi diisi dengan air keran sampai tanda batas. Kemudian diukur volume
air keran tersebut sehingga dapat diketahui volume sampel yang digunakan (volume air keran =
volume air sampel). Setelah kertas saring dan kapas kering, keduanya dipindahkan ke kaca arloji.
Lalu dibungkus dan diikat dengan benang untuk membuat Thimbel.
Kemudian disiapkan labu yang sudah dibersihkan, dipanaskan pada oven (105o C agar steril dari
sisa-sisa pengukuran sebelumnya), dan sudah ditimbang (diketahui berat awalnya). Thimbel yang
sudah dibuat tadi kemudian dimasukkan ke dalam Soxhlet, lalu ditambahkan N-heksana sebanyak
1,5 siklus. Maksud 1,5 siklus yaitu N-heksana ditambahkan sampai memenuhi Soxhlet, kemudian
ketinggiannya akan turun kembali, lalu ditambahkan lagi sampai setengah tingginya setengah dari
volume Soxhlet. Setelah itu dipanaskan di atas penangas air untuk dilakukan proses ekstraksi
selama 4 jam dengan suhu sekitar 100oC. N-heksana merupakan pelarut organik nonpolar yang
memiliki titik didih + 95oC yang berfungsi untuk melarutkan oil and grease agar terekstraksi dari
kertas saring dan kapas.di dalam labu didih, N-heksana akan menguap selama pemanasan,
menaiki kapiler besar, masuk ke dalam soxhlet dalam benuk uap, lalu mengalami kondensasi
sehingga berubah kembali turun menjadi cairan dan melewati Thimbel sekaligus membawa
ekstrak oil and grease di dalam Thimbel. Proses ini terjadi secara berulang-ulang selama 4 jam.
Jenis oil and grease yang diukur memiliki titik didih lebih dari 100oC sehingga tidak akan
menguap ketika proses ekstraksi.
Setelah proses ekstraksi, labu didih dimasukkan ke dalam oven untuk dipanaskan selama 1 jam.
Tujuannya untuk mengeringkan pelarut N-heksana yang masih tersisa di dalam labu. Kemudian
labu ditimbang dan dicatat volume akhirnya.
VIII.2. Kesalahan dalam Praktikum
Bebrapa kesalahan yang mungkin terjadi selama praktikum di antaranya:
-Ketidaktelitian praktikan saat membuat tanda batas ketinggian muka air sampel dalam botol.
-Praktikan yang tidak teliti saat menambahkan jumlah HCl dan N-heksana sehingga memengaruhi
jumlah oil and rease yang diekstrak.
-Tidak mencatat waktu ekstraksi sehingga tidak tepat 4 jam dan memengaruhi jumlah oil and
grease yang terkestrak.
-Kurang bersih ketika membilas botol kaca penyimpanan dengan kapas dan melakukan proses
penyaringan tidak sampai habis.
VIII.3. Hasil dan pembahasan
Oil and grease merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas air.
Berdasarkan hasil uji pada praktikum, oil and grease yang terdapat pada air sampel sebanyak 54,7
mg/l. Berdasarkan persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes RI
NO.173/Menkes/Per/VIII/1997, kandungan oil and grease maksimum sebagai baku mutu air minum yaitu
10 mg/l. sedangkan menurut PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, kandungan minyak dan lemak maksimum yaitu 1 mg/l. jadi, berdasarkan dua standar
baku mutu tersebut, air sampel yang diuji tidak dapat digunakan sebagai air minum karena melebihi standar
baku mutu.
Oil and grease yang memiliki konsentrasi tinggi dapat mengganggu dalam unit pengolahan
trickling filter dan activated sludge. Lapisan minyak dan lemak pada permukaan air juga akan
mengganggu transfer oksigen dari atmosfer ke dalam air. Perairan yang tercemar dengan oil and
grease lama kelamaan akan menurun konsentrasi DO-nya. Pengolahan yang dilakukan untuk
mengurangi kadar oil and grease adalah dengan grvity separator yang umum dilakukan
mengingat minyak dan lemak tidak larut dalam air (massa jenisnya lebih kecil). Jika minyak
teremulsi dalam air, maka dibutuhkan proses koagulasi terlebih dahulu dan bisa dilakukan
pemisahan dengan teknik air flotation.
VIII.4. Aplikasi di Bidang TL
Pengukuran oil and grease dalam air dapat digunakan untuk mengeahui kadar pencemaran pada
badan air dan mempeprkirakan sumber pencemarannya baik dari limbah domestik maupun
limbah organik. Dengan melakukan pengukuran juga dapat ditentukan teknik dan desain
pengolahan air yang tepat untuk menyisihkan minyak dan lemak. Selain itu, dapat digunakan
untuk menentukan kualitas air yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih
sumber air baku air minum.
VIII.5. Kaitan dengan Modul Sebelumnya
Modul ini terkait dengan modul praktikum pertama yaitu teknik sampling dan pengawetan. Pada
modul tersebut diketahui bahwa metode pengawetan yang tepat untuk air sampel yang akan
digunakan pada pengukuran oil and grease yaitu dengan menggunakan botol kaca gelap dan asam
sulfat. Botol kaca gelap berfungsi agar tidak ada gangguan dari cahaya matahari yang dapat
menyebabkan penguapan dan reaksi pada minyak dan lemak sehingga konsentrasinya tetap
terjaga seperti kondisi awalnya. Sedangkan asam sulfat berfungsi untuk menvegah pertumbuhan
mikroorganisme yang dapat menguraikan minyak dan lemak.
IX. Kesimpulan
1. Konsentrasi oil and grease yang terukur pada sampel air yaitu sebanyak 54,7 mg/l.
2. Kualitas air sampel tidak memenuhi baku mutu air minum untuk parameter minyak dan
lemak.
3. Pengukuran oil and grease dapat diaplikasikan pada pengolahan air limbah dan air minum.
X. Daftar Pustaka
Karwati. 2009. Degradasi Hidrokarbon pada Tanah Tercemari Minyak Bumi dengan Isolat A10 dan D8.
Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
PerMenKes RI NO.173/Menkes/Per/VIII/1997 tentang Pencemaran Air dari Badan Air untuk Berbagai
Kegunaan yang Berhubungan dengan Kesehatan.
PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Reynolds, T.D. 1982. Unit Operation and Process in Environmental Engineering. California: Wadsword
Inc.,
Sawyer, Clair N. 1994. Chemistry for Environmental Engineering. New York: Mc Graw Hill.
Kamis, 11 November 2020

MODUL XXIV
Surfactant

I. Tujuan

1. Menentukan konsentrasi surfaktan di dalam sampel air.


2. Menentukan kualitas air berdasarkan konsentrasi surfaktan.
3. Menentukan aplikasi pengukuran surfaktan.

II. Landasan Teori


Deterjen merupakan gabungan dari berbagai senyawa dimana komponen utama dari gabungan tersebut
adalah surface active agents atau surfaktan. Surfaktan deterjen yang paling sering digunakan adalah LAS
atau Linier Alkilbenzen Sulfonat (Supriyono dkk., 1998). LAS adalah sebuah alkil aril sulfonat yang
mempunyai struktur rantai lurus tanpa cabang, sebuah cincin benzen dan sebuah sulfonat. LAS
merupakan konversi dari Aliklbenzen sulfonat atau ABS, dimana LAS lebih mudah terdegradasi dalam
air dan merupakan deterjen ’lunak’ (Hirsch, 1963 dalam Abel, 1974). Limbah deterjen merupakan salah
satu pencemar yang bisa membahayakan kehidupan organisme di perairan karena menyebabkan suplai
oksigen dari udara sangat lambat akibat busanya yang menutupi permukaan air (Connel dan
Miller,1995).
Pengaruh deterjen terhadap lingkungan dapat diketahui dengan menganalisis kadar surfaktan anion atau
deterjen pada sampel beberapa limbah dengan metode MBAS (Methylen Blue Active Surfactant) yakni
menambahkan zat metilen biru yang akan berikatan dengan surfaktan dan dianalisis dengan
spektrofotometer UV-Vis. Konsentrasi yang terbaca adalah kadar surfaktan anion pada sampel limbah
yang berikatan dengan metilen biru.
Surfaktan atau surface active agent atau wetting agent merupakan bahan organik yang berperan sebagai
bahan aktif pada deterjen, sabun dan shampoo. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan
sehingga memungkinkan partikel-partikel yang menempel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan
mengapung atau terlarut dalam air (Effendi, 2003). Surfaktan dikelompokkan menjadi empat, yaitu
surfaktan anion, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amphoteric (zwitterionic)
(Effendi, 2003). Untuk keperluan rumah tangga digunakan kelompok surfaktan anion (deterjen). Telah
dikenal dua macam deterjen anion, yakni alkil sulfonat linear dan alkil benzene sulfonat (Sastrawijaya,
1991).
Metode MBAS berguna sebagai penentuan kandungan surfaktan anion dari air dan limbah, tetapi
kemungkin adanya bentuk lain dari MBAS (selain interaksi antara metilen biru dan surfaktan anion)
harus selalu diperhatikan. Metode ini relatif sangat sederhana dan pasti. Inti dari metode MBAS ini ada
3 secara berurutan yaitu: Ekstraksi metilen biru dengan surfaktan anion dari media larutan air ke dalam
kloroform (CHCl3) kemudian diikuti terpisahnya antara fase air dan organik dan pengukuran warna biru
dalam CHCl3 dengan menggunakan alat spektrofotometri pada panjang gelombang 652 nm (Franson,
1992). Batas deteksi surfaktan anion menggunakan pereaksi pengomplek metilen biru sebesar 0,026
mg/L, dengan rata-rata persen perolehan kembali 92,3% (Rudi dkk., 2004). Surfaktan anion bereaksi
dengan warna biru metilen membentuk pasangan ion baru yang terlarut dalam pelarut organik, intensitas
warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer.
III. Prinsip Praktikum
Salah satu metode pengukuran surfactan jenis anionic (karena jumlahnya lebih banyak daripada
surfaktan nonionik dan kationik) adalah dengan sifatnya yang mampu bereaksi dengan senyawa metilen
biru, sehingga hasil pengukuran tersebut dinyatakan dengan MBAS (Methylene Blue Active Subtances),
yaitu senyawa aktif yang dapat berikatan dengan metilen blue. Lalu warna biru diukur dengan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 625 nm.
IV. Alat dan Bahan
IV.1. Alat
1. Corong pisah A
2. Corong pisah B
3. Corong saring berisi gelas wool
4. Labu ukur
5. Spektrofotometer
IV.2. Bahan
1. Sampel air
2. Larutan Stock LAS (Linier Alkylbenzene Sulphonate)
3. Larutan standar LAS
4. Larutan indikator fenolftalin dalam alkohol
5. Larutan NaOH 1 N
6. Larutan H2SO4 1 N dan 6 N
7. Chloroform
8. Pereaksi Metilen blue
9. Larutan Pencuci

V. Cara Kerja

VI. Data Hasil Praktikum

Persamaan A
Y = 0,2371x + 0,0358 0,156
VII. Pengolahan Data

Konsentrasi Surfaktan (mg/L) = absorbansi contoh x slope

Apabila Y = absorbansi dn X = konsentrasi (mg/L), maka

(0,156−0,0358)
Konsentrasi Surfaktan = = 0,506959 𝑚𝑔/𝑙
0,2371

VIII. Analisis
VIII.1. Analisis Cara Kerja
Langkah pertama pada metode MBAS adalah sampel air dimasukkan ke corong A, lalu
ditambah 1 tetes Fenolftalein sebagai indikator. Selain PP, juga ditambahkan NaOH 1 N tetes
demi tetes sampai berwara merah muda dan H2SO4 1 N hingga warna hilang. Tujuan dari proses
tersebut yaitu untuk memastikan air berada pada kondisi netral karena apabila air dalam kondisi
asam, maka ion H+ akan mengganggu dengan bereaksi dengan kepala surfaktan yang bermuatan
negative. Sedangkan apabila terlalu basa, maka ikatan metilen biru dan surfaktan akan menjadi
tidak stabil. NaOH berfungsi agar air dalam keadaan basa sedangkan asam sulfat akan
menetralkan basa tersebut sehingga air menjadi netral. PP sebagai indikator asam-basa.
Kemudian ditambahkan CHCl3 sebanyak 10 ml dan 25 ml metilen biru, lalu dikocok kuat.
Setelah itu, dibiarkan hingga terpisah anatara air dengan CHCl3 (organik). Berikutnya,
dikeluarkan fasa oganik dari corong A dan dimasukkan ke corong B. Kemudian corong A
diekstraksi sebanyak 2 kali lagi mengikuti langkah-langkah sebelumnya. Selanjutnya
dimasukkan 50 ml larutan pencuci ke dalam corong B yang berisi fasa organik, kemudian
dikocok dan dibiarkan terpisah lagi. Larutan pencuci berguna untuk menghilangkan kelebihan
metilen biru. Berikutnya, fasa organik dikeluarkan dari corong B, dan dimasukkan ke corong
filtrat gelas wool. Lalu filtrat jernih dimasukkan ke labu ukur 100 mL.
Setelah itu, corong B diektraksi sebanyak 2 kali lagi dengan menambah 10 ml CHCl3. Ekstraksi
dengan bertahap (3 kali) akan lebih optimal daripada dilakukan sekali dengan jumlah yag lebih
banyak. CHCl3 akan mengikat surfaktan yang sudah bereaksi dengan metilen biru. Pengikatan
ini terjadi dengan bantuan ekstraksi. Metilen biru ditambahkan agar dapat bereaksi dengan
surfaktan. Pada bagian atas akan terbentuk lapisan berwarna biru yaitu campuran air dengan
metilen biru. Sedangkan pada bagian bawah terdapat lapisan mirip minyak berwarna biru yang
lebih pekat yang memiliki massa jenis yang besar yang merupakan ikatan surfaktan dan metilen
biru. Selanjutnya, corong dan gelas wool dicuci dengan CHCl3 ke dalam labu ukur, dan
ditambahkan hingga tanda batas (sampai 25 ml). Penambahan ini bermaksud agar larutan
kembali ke volume awal sehingga pngukuran di spektrofotometer tidak berubah. Terakhir,
warna biru diukur dengan spektrofotometer pada 625 nm dan dibuat kurva kalibrasi dengan
larutan standar LAS. Penambahan metilen biru yang berikatan dengan surfaktan inilah yang
menyebabkan disebut dengan metode MBAS (Methylene Blue Active Subsance).
VIII.2. Kesalahan dalam Praktikum
Beberapa kesalahan yang dapat terjadi dalam praktikum tersebut di antaranya:
-Ketidaktelitian saat menentukan warna pada penambahan NaOH dan H2SO4 sehingga air tidak
berada pada kondisi netral.
-Praktikan melakukan ekstraksi kurang dari 3 kali sehingga kurang optimal dan memengaruhi
hasil kadar sufaktan yang dihasilkan.
-Kalibrasi spektrofotometer yan tidak tepat dapat memengaruhi hasil absorbansi yang terukur.
-Kesalahan saat melakukan perhitungan.
VIII.3. Hasil dan pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, didapatkan kadar surfaktan dalam sampel air
yaitu 0,51 mg/l. Berdasarkan Peraturan Pemerintah N0.82 tahun 2001, batas maksimal
surfaktan dalam air yang diizinkan adalah 200 µg/l atau setara dengan 0,2 mg/l. sedangkan
menurut Permenkes N0. 410 tahun 1990 yaitu sebesar 0,5 mg/l. Dengan demikian, kadar
surfaktan telah melebihi baku mutu yang ditentukan pada kedua peraturan tersebut. Akan tetapi,
kelebihan tersebut masih cukup sedikit sehingga air sampel dapat dilakukan pengolahan hingga
memenuhi baku mutu yang berlaku. Kadar surfaktan berupa sabun dan sulfated alcohol dapat
diolah dengan proses degradasi secara biologis, namun Alkyl Benzene Sulfonates (ABS) akan
tetap tersisa setelah pengolahan biologis sehingga dapat mencemari badan air. Oleh karena itu,
pengunaan ABS sudah digantikan oleh LAS (Linear Benzene Sulfonate) yang daoat diuraikan
pada kondisi aerobic.
Surfaktan perlu dibatasi jumlahnya dalam air karena apabila berlebihan dapat menyebbakan
pencemaran, misal busa dalam air yang sulit diuraikan oleh enzim-enzim bakteri sehingga
lama-kelamaan menutupi permukaan perairan dan menyebabkan kondisi anaerob yang berbau.
Apabila air yang tercemar tersebut dikonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan kanker dalam
jangka panjang akiba penumpukan surfaktan.
VIII.4. Aplikasi di Bidang TL
Pengukuran surfaktan dalam bidang teknik Lingkungan dapat digunakan untuk menangani
tumpahan minyak di perairan. Minyak yang tumpah dan mengambang pada pemukaan air dapat
diberi surfaktan yang kemudian akan mengemulsikan minyak menjai partikel-partikel yang
lebih kecil sehingga bisa disaring atau diangkat dari perairan. Selain itu, kadar surfaktan dapat
diukur untuk mencegah terjadinya eutrofikasi dan penutupan permukaan air oleh busa yang
menyebbakan kondisi anaerob yang berbau. Degan mengetahui konsentrasinya, dapat dibuat
desain pengolahan air yang sesuai.
VIII.5. Kaitan dengan Modul Sebelumnya
Kejadiran surfaktan dalam air yang salah satunya dihasilkan dari detergen sering dibersamai
dengan adanya kandungan fosfat dan nutrient lainnya penyebab eutrofikasi yang sudah dibahas
metode pengukurannya pada modul-modul sebelumnya.

IX. Kesimpulan
1. Konsentrasi Surfaktan dalam air sampel yang terukur yaitu sebesar 0,51 mg/l.
2. Kualitas air sampel sedikit melebihi baku mutu pencemaran perairan berdasaran parameter kadar
surfaktan.
3. Aplikasi pengukuran surfaktan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya pencemaran badan air
oleh surfaktan, nutrient-nurien penyebab eutrofikasi, dan busa, serta membantu pengelolaan
pencemaran air oleh minyak yang tumpah.

X. Daftar Pustaka
Agustina P, Kristin. 2012. Bahaya Limbah Detergen terhadap Lingkungan. Jakarta: EGC.
Connel, D.W.; miller, G.J., 1995, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, UI-Press: Jakarta.
Effendi, H, 2003, Telaah kualitas Air Bagi pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan,
Jurusan MSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor
Rudi, La, Suratno, W., dan Paundanan, J., 2004, Perbandingan Penentuan Surfaktan Anionik Dengan
Spektrofotometer UVST Menggunakan Pengompleks Malasit hijau Dan Metilen biru, Jurnal
Kimia Lingkungan, Vol. 6 No. 1, Surabaya: Universitas Airlangga
Sastrawijaya, A. T., 1991, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta
Supriyono, E.; Takashima, F.; Strussman, C.A., 1998, Toxicity of LAS to Juvenile Kuruma Shrimp,
Penaeus japonicus: A Histopathological Study On Acute and Subchronic Levels, Journal of
Tokyo University of Fisheries, Japan, Vol. 85- 1-10.
Kamis, 11 November 2020

MODUL XIII
SULFAT

I. Tujuan

1. Menentukan konsentrasi sulfat dalam sampel air.


2. Menentukan kualitas air berdasarkan parameter sulfat.
3. Menentukan aplikasi pengukuran sulfat dalam air.

II. Landasan Teori

Ion sulfat dan karbonat dapat menimbulkan kerak jika berikatan dengan timbal, barium dan
kalsium membentuk PbS04, BaS04 dan CaS04 yang sukar larut dalam air. Sehingga apabila
terdapat ion-ion logam yang dapat berikatan dengan sulfat maka dapat menimbulkan kerak pada
tangki reactor (Basset, 1979). Ion sulfat adalah anion yang terdapat pada air sadah. Konsentrasi
standar maksimum sulfat dalam air maksimal sebesar 200-400 mg/L (Sutrino,2006). Kandungan
konsentrasi sulfat yang tinggi dalam air minum dapat menyebabkan diare. Ion sulfat adalah anion
yang terdapat pada air sadah. Sulfat yang berikatan dengan hydrogen membentuk asam sulfat dan
sulfat yang berikatan dengan logam alkali membentuk sulfur yang paling banyak ditemukan di
danau dan sungai.

Reduksi anion sulfat menjadi hydrogen sulfida pada kondisi anaerob dalam proses dekomposisi
bahan organik menimbulkan bau yang kurang sedap dan meningkatkan korosivitas logam. Proses
reduksi yang dilakukan oleh bakteri heterotroph ini banyak terjadi di dasar laut. (Effendi, 2003).
Sulfat di dalam air dapat berasal dari mineral tanah yang larut dalam air atau dapat berasal dari
mineral sulfida dalam tanah yang akan teroksidasi oleh oksigen dan dengan bantuan bakteri
membentuk sulfat. Senyawa sulfat tersebut akan terbawa oleh air hujan dalam bentuk asam sulfat
dan menyebabkan air bersifat asam. Hal ini sering terjadi di dalam dunia pertambangan sebagai
pembentukan air asam tambang dengan reaksi sebagai berikut:
2FeS (pyrite) + 7O2 + 2H2O ↔ 2Fe+2 + 4H2SO4
Sulfat dalam air dapat juga berasal dari gas SO2 di udara ambien. Dengan adanya hujan, maka gas
SO2 di udara ambien akan terlarut di dalam air hujan membentuk asam sulfat (hujan asam).

III. Prinsip Praktikum

Metode pengukuran sulfat yang umum digunakan adalah dengan menggunakan ion kromatografi
dan spektrofotometri. Sulfat dalam air dengan penambahan BaCl2 akan menghasilkan endapan
BaSO4 yang berwarna keruh putih. Warna keruh putih yang terbentuk diukur intensitasnya dengan
menggunakan alat Spektrofotometer pada Panjang gelombang 420 nm (tergantung dari
Spektrofotometer yang digunakan) dengan light path 2,5-10 cm. Pengukuran sulfat dengan
menggunakan ion kromatografi dapat mengukur konsentrasi sulfat hingga mencapai dibawah 0,1
mg/l.

IV. Alat dan Bahan


IV.1. Alat
1. Spektrofotometer
2. Kertas saring
3. Turbidimeter Helliege
IV.2. Bahan
1. Sampel air
2. Larutan buffer asetat
3. Kristal BaCl2
4. Larutan standar sulfat (1 ml = 0,1 mg)

V. Cara Kerja

VI. Data Hasil Praktikum

Persamaan A
Y = 0,0103x - 0,0179 0,027

VII. Pengolahan Data

Slope = C/A, dimana C merupakan konsentrasi (mg/L) dan A merupakan absorbansi, serta Y= A dan
X = C.
Konsentrasi sulfat (mg/L) = absorbansi contoh x slope.
Dengan y = 0,0103x – 0,0179, maka:
(0,027+0,0179)
Konsentrasi Sulfat = = 4,3592 𝑚𝑔/𝑙
0,0103

VIII. Analisis
VIII.1. Analisis Cara Kerja
Langkah pertama yang dilakukan pada praktikum ini yaitu dengan menyaring sampel air
sebanyak 50 ml. Air disaring untuk menghilangkan koloid tersuspensi pada sampel air agar
kekeruhannya tidak terlalu tinggi. Kemudian diambahkan 50 mg kristal BaCl2 dan 10 ml buffer
A, lalu dikocok dan dibiarkan 1 menit. Buffer ini berfungsi untuk menjaga pH agar tetap netral.
Sulfat dalam air akan bereaksi dengan BaCl2 sehingga menghasilkan suspense koloid BaSO4.
Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
SO42- + BaCl2 → BaSO4 (s)
Setelah didiamkan selama 1 menit, koloid yang tersuspensi tersebut akan mengendap. Namum,
apabila lebih dari 5 menit akan terjadi presipitasi dari logam lain yang tidak diharapkan. Setelah
itu, kekeruhannya diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.
VIII.2. Kesalahan dalam Praktikum
Terdapat beberapa kesalahan yang dapat terjadi selama pelaksanaan praktikum di antaranya:
-pengukuran volume buffer asetat yang tidak tepat.
-waktu untuk pengendapan kurang sehingga belum terendapkan seluruhnya maupun waktunya
berlebih sehingga terdapa hasil presipitasi dari senyawa lain.
-tabung yang digunakan untuk mengukur menggunakan turbidimeter kurang bersih sehingga
masih terdapat sisa endapan dari senyawa lain yang terukur.
-proses kalibrasi spektrofotometer yang tidak tepat dapat memengaruhi pembacaan absorbansi
yang terukur.
VIII.3. Hasil dan pembahasan
Berdasarkan hasil uji dari praktikum, didapatkan hasil perhitungan konsentrasi sulfat dalam
sampel air yaitu 4,36 mg/l. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor
492/MenKes/Per/IV/2010, Sulfat merupakan parameter wajib untuk analisis kualitas air minum.
Baku mutu yang diizinkan yaiu 250 mg/l. sedangkan menurut PP No. 82 tahun 2001, baku mutu
sulfat untuk air kelas I yaitu 400 mg/l. Dengan demikian, air sampel yang diuji memenuhi baku
mutu dan dapat digunakan sebagai sumber air baku air minum berdasarkan parameter sulfat.
Apabila kadar sulfat dalam air minum terlalu tinggi, maka dapat menyebabkan diare dan
selanjutnya konsumen dapat dehidrasi. Sulfat juga memiliki sifat korosif yang artinya dapat
mengkorosi pipa distribusi air minum apabila pipa terbuat dari besi (iron cast pipe). Ion sulfat
pada kondisi anaerob berubah menjadi H2S pada air limbah sehingga apabila gas ini terlepas dari
air dan berkontak denan O2 akan membentuk H2SO4 yang korosif. Sulfat juga merupakan salah
satu komponen penyebab air asam tambang sehingga perlu diukur kadar sulfatnya sebelum air
digunakan dalam proses penambangan.
VIII.4. Aplikasi di Bidang TL
Pada sistem penyediaan air minum, kadar sulfat perlu diperhatikan terutama pada proses distribusi
agar tidak terlalu tinggi sehingga berbahaya bagi kesehatan konsumen, mengkorosi pada pipa,
atau menyebabkan bau pada kondisi anaerob. Selain itu, pada pengolahan air limbah, anaerobic
digestion pada lumpur, kadar H2S yang diproduksi perlu dipantau sehingga dapat dilakukan
desain pengolahan berikutnya.

IX. Kesimpulan
1. Konsentrasi sulfat dalam sampel air yang terukur yaitu sebesar 4,36 mg/l.
2. Kualitas air berdasarkan parameter sulfat memenuhi baku mutu air kelas I sehingga dapat
digunakan sebagai sumber air baku air minum.
3. Aplikasi pengukuran sulfat dalam air dapat digunakan untuk pertimbangan desain fasilitas
pengolahan air limbah dan air minum.

X. Daftar Pustaka
PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Basset, J, dkk. 1979. Buku Ajar Vogel Kimia Analitik Kuantitatif, diterjemahkan oleh A.H.
Pudjaatmaka, Jakarta: Buku Kedokteran, EGC.
Clair, Sawyer. 2003. Chemistry for Environmental Engineering and Science 5th Edition. New York: Mc
Graw Hill.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Cetakan
Kelima. Yogjakarta: Kanisius.
Sutrisno, C.T, dan Suciastuti, Eni. 2006. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Cetakan Keenam.
Kamis, 11 November 2020

MODUL X
KLORIDA

I. Tujuan

1. Menentukan konsentrasi klorida dalam sampel air.


2. Menentukan kualitas air berdasarkan parameter kandungan klorida.
3. Menentukan aplikasi pengukuran klorida dalam air.

II. Landasan Teori


Salah satu parameter kimia yang harus diketahui bahwa kadarnya di bawah kadar maksimum yang
diperbolehkan adalah parameter ion klorida. Klorida merupakan anion yang mudah larut dalam
sampel air. Anion klorida (Cl-) merupakan anion anorganik yang terdapat dalam sampel perairan
yang jumlahnya lebih banyak daripada anion-anion halogen yang lain. Ion klorida Cl- dalam
larutan bisa dalam senyawa natirum klorida, kalium klorida, kalsium klorida (Sinaga, 2016).

Kelebihan ion klorida dalam air minum dapat merusak ginjal. Akan tetapi, kekurangan ion klorida
dalam tubuh juga dapat menurunkan tekanan osmotik cairan ekstraseluler yang menyebabkan
meningkatnya suhu tubuh. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan menetapkan batas maksimum
kadar ion klorida dalam air bersih adalah sebesar 250 mg/L. Hal tersebut bertujuan dalam
pengawasan kualitas air yang dapat mengganggu/membahayakan kesehatan.

Beberapa metode analitik yang digunakan untuk penentuan kadar klorida dalam air bersih
meliputi: kromatografi ion, spektroskopi, voltametri dan titrimetric metoda Mohr dengan larutan
AgNO3, dan elektroda. Di antara beberapa metode tersebut, metode titrimetri mempunyai
kelebihan yaitu peralatan yang murah dan waktu analisis yang cepat (Taleuzzaman, 2017).

Kadar klorida dalam air irigasi juga harus dibatasi karena akan mengganggu pertumbuhan
tanaman Pengukuran klorida juga digunakan untuk mendeteksi adanya kebocoran dari septic tank
terhadap air tanah atau air sumur. Pengukuran klorida juga berguna dalam tracer test, yaitu suatu
test untuk menentukan waktu tinggal atau detention time (Td), atau pola pencampuran di dalam
suatu bak.

Pada saat titik akhir titrasi ditunjukkan dengan timbulnya endapan berwarna merah bata yang
merupakan senyawa Ag2CrO4. Reaksi kimia yang terjadi adalah sebagai berikut (Wulandari,
2017):

III. Prinsip Praktikum


Prinsip pengukuran klorida dengan metode Mohr adalah klorida dalam air dititrasi dengan AgNO3
membentuk endapan AgCl yang berwarna putih. Indikator yang digunakan adalah K2CrO4, yang
dengan AgNO3 (Kelebihan sedikit Ag+) membentuk endapan merah bata pada titik akhir titrasi.
Titrasi dilakukan dalam suasana netral. Jika pH contoh air tidak netral, maka harus dinetralkan
dengan MgO, ZnO atau dengan penambahan asam nitrat.
IV. Alat dan Bahan
IV.1. Alat
1. Labu Erlenmeyer
2. Botol cokelat
3. Labu ukur
4. Buret dan statis
5. Pipet
IV.2. Bahan
1. Sampel air
2. Larutan AgNO3 1/35,45 N
3. Larutan standar NaCl
4. Larutan K2Cr2O4 10 %
5. Asam Nitrat pekat (HNO3)
6. Kristal ZnO atau MgO
7. Standarisasi larutan AgNO3

V. Cara Kerja

VI. Data Hasil Praktikum

Volume Awal AgNO3 (ml) 28


Volume Akhir AgNO3 (ml) 29,6
Volume titrasi AgNO3 (ml) 1,6
Konsentrasi AgNO3 (N) 0,0137
Faktor ketelitian 0,95

VII. Pengolahan Data


Faktor ketelitian AgNO3 = 10 / (ml AgNO3)
F = 0,95
Maka, Konsentrasi klorida (mg/l):
[Cl] = (1000/100) x (ml AgNO3 – 0,3) x Faktor ketelitian x (1/35,45) x 35,45
[Cl] = (1000/100) x 1,6 – 0,3) x 0,95 x (1/35,5) x 35,45 = 12,5 mg/l

VIII. Analisis
VIII.1. Analisis Cara Kerja
Langkah awal pengukuran klorida dengan metode Argentometri yaitu menyiapkan sampel
sebanyak 100 ml kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Setelah itu ditambahkan 2 tetes
nitrat pekat. Lalu ditambahkan 5 tetes kalium kromat sebagai indikator sehingga berwarna kuning.
Ditambahkan juga bubuk ZnO sedikit demi sedikit lalu dikocok sampai larutan berwarna kuning
susu. Warna kuning susu ini terbentuk dari adanya serbuk ZnO yang menjadi koloid karena
adanya HNO3 pekat yang telah dimasukkan terlebih dahulu. Warna kehijauan yang muncul
menandakan larutan berada dalam keadaan netral. Suasana netral diperlukan karena metode
Argentomteri akan berhasil pada pH 7-8. Apabila pH terlalu tinggi maka Ag+ akan mengendap
sebagai Ag(OH)(s) sedangkan apabila pH terlalu rendah maka Cr2O42- akan berubah menjadi
Cr2O72-. Sehingga apabila pH tidak netral maka reaksi dari Ag+ dengan CrO42- yayng diharapkan
pada titik akhir titrasi tidak terjadi.
Selanjutnya, dilakukan titrasi dengan AgNO3 tetes demi tetessampai berubah warna dari kuning
susu menjadi terbentuk endapan berwarna merah bata. Selama titrasi akan terlihat warna merah
yang terangkat ke permukaan namun bukan titik akhir titrasi. Hal tersebut karena Ksp Ag2CrO4(s)
lebih kecil sehingga mudah jenuh/mengendap. AgNO3 akan bereaksi terlebih dahulu dengan Ag+
lalu kemudian dengan Cl- yang Ksp nya lebih besar. Terakhir, dicatat volume titrasinya dan
konsentrasi AgNO3 yang digunakan.
VIII.2. Kesalahan dalam Praktikum
Terdapat beberapa kesalahan yang mungkin terjadi selama praktikum, di antaranya:
-kesalahan saat mengukur volume sampel yang tidak tepat
-pH tidak dijaga pada rentang 7-8 karena apabila pH terlalu tinggi maka Ag+ akan mengendap
sebagai Ag(OH)(s) sedangkan apabila pH terlalu rendah maka Cr2O42- akan berubah menjadi
Cr2O72-
-titik akhir bergantung kepada ketelitian praktikan (subjektif) untuk menentukan perubahan warna
-kesalahan perhitungan
VIII.3. Hasil dan pembahasan
Dari hasil praktikum didapatkan bahwa konsentrasi klorida pada sampel air yaitu sebesar 12,5
mg/l. Menurut Permenkes No.492/MenKes/Per/IV/2010, baku mutu konsentrasi klorida
maksimal yaitu 250 mg/l, sedangkan menurut PP No. 81 tahun 2001, klorida maksimal untuk
memenuhi baku mutu air kelas I yaitu 1 mg/l. dengan demikian, apabila meninjau Permenkes
No.492/MenKes/Per/IV/2010, sampel air memenuhi baku mutu air minum, sedangkan apabila
meninjau dari PP No. 81 tahun 2001, maka air tersebut tidak memenuhi baku mutu air kelas I
sehingga tidak dapat digunakan sebgai air baku air minum.
Klorida tidak bersifat toksik atau beracun apabila terkonsumsi. Akan tetapi, apabila klorida
melebihi konsentrasi 250 mg/l, maka akan berasa (asin) yang akan mengganggu kenyamanan
konsumen. Kelebihan ion klorida dalam air minum dalam jangka panjang akan dapat merusak ginjal.
Sedangkan apabila jumlah klorida dalam tubuh manusia kurang dapat menyebabkan meningkatnya suhu
tubuh dan penyakit.
VIII.4. Aplikasi di Bidang TL
Klorida dalam air bersifat cukup stabil karena secara alamiah ada dalam air. Akan tetapi, apabila terdapat
pencemar yang masuk ke badan air maka konsentrasinya dapat berubah secara signifikan. Oleh karena itu,
kadar klorida diukur untuk dijadikan salah satu indikator terjadinya pencemaran di dalam air. Selain itu,
Pengukuran klorida juga digunakan untuk mendeteksi adanya kebocoran dari septic tank terhadap air tanah
atau air sumur. Pengukuran klorida juga berguna dalam tracer test, yaitu suatu test untuk menentukan
waktu tinggal atau detention time (Td), atau pola pencampuran di dalam suatu bak pengolah limbah. Pada
pengolahan air minum, konsnetrasinya diukur agar tidak terlalu tinggi sehingga menimbulkan rasa yang
tidak disukai oleh kosumen.
IX. Kesimpulan
1. Konsentrasi klorida yang terukur dalam sampel air dari hasil percobaan yaitu sebesar 12,5 mg/l.
2. Kualitas air berdasarkan parameter kandungan klorida tidak memenuhi baku mutu kelas I
berdasarkan PP No. 81 tahun 2001, akan tetapi dapat digunakan sebagai air baku air
minum menurut Permenkes No.492/MenKes/Per/IV/2010.
3. Aplikasi pengukuran klorida dalam air digunakan pada pengolahan air minum yaitu dijaga
kadarnya gaar tidak meleihi baku mutu, dan pada desain fasilitas pengolah air limbah.

X. Daftar Pustaka
D. D. Wulandari, "Analisa Kesadahan Total dan Kadar Klorida Air Di Kecamatan Tanggulangin
Sidoarjo," MTPH Journal. vol. 1, no. 1, pp. 14–19, 2017.
E. Sinaga, “Penetapan Kadar Klorida pada Air Minum Isi Ulang dengan Metode Argentometri (Metode
Mohr),” Tugas Akhir, Universitas Sumatera Utara, 2016.
M. Shukla and S. Arya, “Determination of Chloride ion (Cl- ) concentration in ganga river water by
Mohr method at Kanpur, India,” Green Chemistry & Technology Letters, vol. 4, no. 1, pp. 6– 8,
2018.
M. Taleuzzaman and S. J. Gilani, “First Step Analysis in Quality ControlVolumetric Analysis,” Global
Journal of Pharmacy & Pharmaceutical Sciences, vol. 1, no. 3, pp. 1–3, 2017.

Permenkes No.492/MenKes/Per/IV/2010
PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Anda mungkin juga menyukai