LABORATORIUM LINGKUNGAN
TL 3103
Asiditas-Alkalinitas, CO2 Agresif, dan Fosfat
MODUL VIII
ASIDITAS-ALKALINITAS
I. Tujuan
Asiditas adalah kemampuan air untuk menetralkan basa tanpa kenaikan pH yang signifikan. Asam
anorganik seperti HCL, H2SO4, HNO3, H2S dan asam organik di antaranya asam humus (air gambut),
asam cuka, dan asam format merupakan penyebab asiditas dalam air. Asiditas juga dapat diakibatkan
adanya karbondioksida (CO2) dan garam yang terbentuk dari asam kuat dan basda lemah. Sedangkan
alkalinitas adalah kemampuan air untuk menetralkan asam tanpa menyebabkan penurunan pH yang
signifikan. Penyebab alkalinitas paling dominan adalah bikarbonat (HCO3-). Selain itu juga dapat
diakibatkan oleh adanya karbonat (CO32-+), hidroksida (OH-) dan garam dari basa kuat dan asam lemah.
Besarnya pH pada alkalinitas dipengaruhi oleh komposisinya. Apabila pH air < 8,3 maka komposisi
penyebabnya yaitu gas CO2 dan HCO3- atau bikarbonat (HCO3-) saja. Ketika air memiliki pH > 8,3 maka
terdapat gas CO2 dan HCO3- atau karbonat (CO32-). Jika air komposisinya hidroksida (OH-) atau CO32-
dan OH- maka pH-nya akan >10.
Jenis alkalinitas juga dibagi menjadi
dua, yaitu phenolptalin alkalinity
ketika pH > 8,3 dan total alkalinity
saat pH sampai > 4,3.
Gambar II.2. Grafik Titrasi Spesi
Kimia Penyebab Alkalinitas
(Sumber: Sawyer, 1994)
III. Prinsip Praktikum
Mengukur asiditas atau alkalinitas dalam air dilakukan dengan menetralkan dengan basa NaOH atau
asam HCl/H2SO4 melalui titrasi menggunakan indikator fenolftalein dan metil oranye. Perubahan
warna dari indikator menunjukkan titik akhir titrasi dan dapat digunakan untuk menentuka pH larutan.
V. Cara Kerja
VI. Data Hasil Praktikum
[NaOH] = 0,0196 N
[H2SO4] = 0,0205 N
Asiditas Alkalinitas
20 tetes PP 20 tetes PP
Vo NaOH 11 mL Vo H2SO4 19 mL
Vf NaOH 11,4 mL Vf H2SO4 22,7 mL
3 tetes MO 3 tetes MO
Vo H2SO4 11 mL Vo H2SO4 23 mL
Vf H2SO4 18,8 mL Vf H2SO4 31,3 mL
∆V NaOH 0,4 mL (p) ∆V H2SO4 3,7 mL (p)
∆V H2SO4 7,8 mL (m) ∆V H2SO4 8,3 mL (m)
✓ Alkalinitas
VIII. Pembahasan
VIII.1. Analisis Cara Kerja
Pada praktikum ini menerapkan metode titrasi atau volumetri untuk menghitung asiditas-alkalinitas
karena nilai yang didapat cukup akurat, dapat diketahui senyawa penyebab asiditas-alkalinitas dari
volume titrasi yang digunakan, dan penentuan titik akhir titrasi cukup mudah hanya dengan
mengamati oerubahan warna secara visual (subjektif pengamat).
Langkah pertama, yaitu sampel 1 dimasukkan ke dalam gelas ukur sebanyak 100 mL lalu
dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian, ditambahkan indikator phenolphtalein sebanyak 20
tetes. Tujuannya untuk mengidentifikasi apakah sampel memiliki asiditas yang ditunjukkan dengan
warna yang tidak berubah ataupun alkalinitas (berubah warna). Sampel 1 tidak berubah warna
sehingga dilanjutkan dengan prosedur titrasi untuk asiditas. Selanjutnya sampel ditritasi dengan
NaOH yang telah diketahui konsentrasinya yaitu 0,0196 N dan dicatat volume awalnya di buret.
Titrasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah muda yang
menunjukkan titik akhir dari titrasi. Setelah berubah warna, catat volume NaOH yang tersisa di buret.
Reaksi yang terjadi:
H+ + OH- ↔ H2O dan CO2 + OH- ↔ HCO3-
Titrasi dilanjutkan dengan menambahkan 3 tetes indikator methy orange hingga larutan berubah
warna menjadi kuning, lalu ditritasi dengan H2SO4 0,0205 N dan mencatat volume awalnya di buret.
Penambahan indikator ini juga berfungsi untuk menandai titik akhir titrasi yang kedua. Ketika warna
berubah dari kuning menjadi jingga berarti titik akhir titrasi telah tercapai. Lalu dicatat volume
H2SO4 yang tersisa di buret. Reaksi yang terjadi: HCO3- + H+ ↔ H2O + CO2
Pada sampel 2 dilakukan proses yang sama, hanya saja ketika penambahan PP warnanya berubah
menjadi merah muda sehingga dilakukan prosedur titrasi untuk alkalinitas. Sampel yang sudah
ditambahkan indikator PP ditritasi dengan H2SO4 0,0205 N hingga warnanya tepat hilang. Setelah
dicatat volume H2SO4 yang digunakan, ditambahkan indikator methy orange dan warnanya berubah
menjadi kuning. Kemudian dilanjutkan titrasi dengan H2SO4 hingga menjadi berwarna jingga dan
volume di buret dicatat.
Secara teoritis, pengukuran asiditas dan alkalinitas seharusnya secara langsung di tempat
pengambilan sampel air agar data yang didapatkan lebih akurat. Hal ini dikarenakan gas penyebab
asiditas (dalam sampel ini CO2) bisa terlepas ke udara atau masuk ke air apabila disimpan terlalu
lama atau tidak mengikuti prosedur.
Dari praktikum yang dilakukan, didapatkan hasil pada sampel air 2 mengandung alkalinitas yang
disebabkan oleh CO3= dan HCO3–. Air sampel 2 mengandung 45,51 mg/l CO3= dan 57,523 mg/l
HCO3–. Dari komponen-komponen tersebut dapat dihitung alkalinitas total dengan mengkonversi
satuan mg/l menjadi mg/L CaCO3 sebagai berikut:
CO3=: (100/60) x 45,51 mg/L = 75,85 mg/L CaCO3
HCO3–: (100/61) x 57,523 mg/L = 94,3 mg/L CaCO3
Sehingga alkalinitas total = 170,15 mg/L CaCO3
VIII.5. Keterkaitan
Asiditas, alkalinitas merupakan dua parameter yang sangat berhubungan dengan pH. Keduanya
berfungsi sebagai buffer yang menjaga pH tetap stabil. Pada percobaan ini didapatkan bahwa
komponen penyebab alkalinitas adalah CO3= dan HCO3– yang berarti pH dari sampel > 8,3 (basa).
Kesadahan juga sangat berhubungan dengan pH. Semakin tinggi mineral penyebab kesadahan yang
terkandung dalam air, maka semakin tinggi pula pH-nya. Secara tidak langsung dapat dikatakan
peningkatan kadar alkalinitas dapat dipengaruhi oleh peningkatan kadar mineral penyebab kesadahan
dalam air sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pH air, sehingga air akan cenderung bersifat
basa. Pada PermenKes No. 32 tahun 2017, parameter asiditas dan alkalinitas tidak ditentukan sebagai
baku mutu, akan tetapi terdapat baku mutu parameter kesadahan (CaCO3) yaitu 500 mg/l.
Berdasarkan baku mutu tersebut, dapat dikatakan bahwa sampel air 2 masih memenuhi baku mutu
untuk air sanitasi dari parameter kesadahan.
IX. Kesimpulan
1. Asiditas total dari air sampel 1 yaitu 159,9 mg/L CaCO3 dan alkalinitas pada sampel air 2 sebesar
170,15 mg/L CaCO3.
2. Jenis senyawa penyebab asiditas pada sampel 1 adalah CO2 dan HCO3–. Sedangkan penyebab
alkalinitas pada sampel 2 yaitu CO3= dan HCO3–.
3. Hasil pengukuran asiditas-alkalinitas pada air dapat digunakan untuk menganalisa zat pencemar
pada air, membantu mendesain perpipaan pada sistem transmisi dan distribusi air, serta
mengantisipasi dampak buruk dari asiditas-alkalinitas.
X. Daftar Pustaka
Alaerts G. 1987. Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional
Reynolds. 1982. Unit Operations and Process in Environmental Engineering. New York: Mc Graw
Hill.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan
Kesehatan Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, dan
Pemandian Umum. Perkemkes No. 32 tahun 2017.
Rianto, Audri. 2019. Hubungan Alkalinitas, Kesadahan Air, dan pH pada Tambak Udang. ISW
Group. https://www.isw.co.id/post/2019/09/03/hubungan-alkalinitas-kesadahan-air-dan-ph-
pada-tambak-udang (diakses 7 Oktober 2020).
Sawyer, Clair N. 1994. Chemistry for Environmental Engineering. New York: Mc Graw Hill.
Kamis, 1 Oktober 2020
MODUL IX
CO2 Agresif
I. Tujuan
CO2 dalam air yang dapat bereaksi dengan batuan CaCO3 (marmer), membentuk Ca(HCO3)2 yang larut
dalam air disebut CO2 agresif. Reaksi kesetimbangannya sebagai berikut:
CO2 + CaCO3 solid + H2O ↔ Ca(HCO3)2
Sumber-sumber CO2 dalam air dapat berasal dari CO2 di atmosfer yang mengikuti Hukum Henry
sehingga larut dalam air, dari hasil penguraian senyawa organik, dan respirasi makhluk hidup.
CO2 agresif terjadi karena pergeseran kesetimbangan reaksi antara CO2 dan HCO3- dalam air ea rah
CO2 yang diakibatkan oleh jumlah HCO3- yang berlebih sehingga menyebabkan jumlah CCO2
meningkat melampaui jumlah HCO3-. Kelebihan CO2 itulah yang mengakibatkan CO2 bersifat agresif.
Karena CO2 berlebih maka akan berusaha untuk mencapai kesetimbangan dengan HCO3-. Reaksi
kesetimbangannya sebagai berikut:
CO3= + H+ ↔HCO3-
Untuk memperoleh kesetimbangan, CO2 bereaksi dengan CaCO3, CaO, dengan senyawa lain atau
dengan melepaskan CO2 ke udara. Jadi, keberadaan CO2 agresif ini memicu CO2 untuk bereaksi
dengan senyawa lain sehingga menimbulkan efek korosif. Ambang batas CO2 agresif yang
diperbolehkan menurut PermenKes No. 416/IX/MenKes/1990 adalah sebesar 0,0 mg/l. Walaupun CO2
agresif ini tidak membahayakan Kesehatan, akan tetapi sifatnya yang korosif dapat melarutkan logam-
logam yang ada dalam pipa sehingga air akan mengandung logam dan menjadi berbahaya.
Air disebut memiliki kesadahan yang tinggi apabila banyak mengandung Ca2+. Kelebihan HCO3- dari
reaksi kesetimbangan tadi akan bereaksi dengan Ca2+ hingga membentuk Ca(HCO3)2 yang larut dalam
air. Kemudian akan mengendap membentuk endapan putih sebagai CaCO3 solid atau disebut scalling.
Pada pipa transmisi dan distribusi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), endapan ini akan
menyebabkan penyempitan pada pipa dan lama-kelamaan bisa terjadi penyumbatan sehingga perlu
dihindari. Untuk mengetahui apakah suatu kualitas air cenderung membentuk scalling atau agresif
maka harus ditentukan dengan menghitung indeks Langelier (LI) atau indeks saturasi (SI).
Terdapat dua metode dalam pengukuran CO2 agresif yaitu dengan penambahan serbuk CaCO3
(marmer) dan metode Grafik Tillman. Metode penambahan serbuk CaCO3 didasarkan pada
kemampuan CO2 agresif untuk bereaksi dengan serbuk CaCO3 sehingga membentuk Ca(HCO3)2 yang
larut dalam air. Metode Grafik Tillman dilakukan dengan mengukur asiditas-alkalinitas dari sampel
air. Kemudian konsentrasi CO2 dan HCO3- dihitung (dalam satuan mg/l). Setelah itu, hasil pengukuran
diplotkan ke dalam Grafik Tillman.
V. Cara Kerja
Maka konsentrasi CO2 non agresif adalah garis AC atau 3,45-2 mg/l = 1,45 mg/l.
A
3,45
C,452
B
92,7
6
VIII. Pembahasan
VIII.1. Cara kerja
Sebelum memasukkan datanya ke Grafik Tillman terlebih dahulu dilakukan prosedur yang sama
dengan praktikum di modul sebelumnya yaitu asidi-alkali untuk mendapatkan konsentrasi dari
HCO3- dan CO2 dalam mg/L. Kemudian dilakukan pengolahan data seperti yang tertera di atas
dan didapatkan banyaknya CO2 agresif.
Berdasarkan hasil plot pada Grafik Tillman, didapatkan angka CO2 agresif sebesar 1,45 mg/L
di sebelah kanan garis kesetimbangan. Artinya, 1,45 mg/L CO2 tersebut bukan merupakan CO2
non agresif. Dapat dipahami bahwa reaksi CO2 dengan air berada dalam kesetimbangan. Sesuai
dengan permenKes No. 416/IX/menkes/1990 mengenai baku mutu untuk air baku air minum
yaitu sebesar 0,0 mg/L, maka sampel air tersebut tidak memenuhi standar sebagai air baku air
minum dari parameter kandungan CO2. Standar tersebut dibutuhkan karena apabila CO2
membuat pipa logam saluran air berkarat, maka logam akan terlarut dalam air dan apabila
dikonsumsi dapat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Konsentrasi CO2 agresif dapat diturunkan dengan cara aerasi yaitu mengeluarkan CO2 dalam
air dan memasukkan O2 ke dalam air, atau penambahan zat kimia berupa kapur (CaO) dan batu
marmer (CaCO3). Selain itu juga dapat dikendalikan dengan melihat Grafik Tillman, yaitu
dengan mencari konsentrasi HCO3- yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan reaksi agar
terbentuk kesetimbangan dan CO2 agresif tidak terbentuk.
Gambar VIII.2. Karat pada Pipa Akibat CO2 Agresif dalam Air
(Sumber: radarbali.jawapos.com)
VIII.5. Keterkaitan
CO2 agresif dalam air terbentuk akibat adanya asiditas dalam air karena CO2 merupakan salah
satu komponen pembentuk asam.oleh karena itu, dengan adanya CO2 dalam air dapat
meningkatkan keasaman air. Keberadaan CO2 agresif juga dapat menimbulkan pergerakan
kesetimbangan karena meningkatkan kesadahan sementara berdasarkan reaksi:
CO2 + CaCO3 + H2O ↔ Ca(HCO3)2
IX. Kesimpulan
1. CO2 dan HCO3- yang diketahui konsentrasinya dari pengukuran asiditas dan alkalinitas
merupakan komponen utama yang menentukan kehadiran CO2 agresif karena
kesetimbangan reaksinya dan merupakan variabel untuk di plot ke Grafik Tillman.
2. CO2 yang terukur dalam sampel air dengan metode Grafik Tillman sebesar 1,45 mg/l. dan
bukan merupakan CO2 agresif karena letaknya di sebelah kanan dari garis kesetimbangan.
3. Hasil dari pengukuran ini dapat digunakan untuk mengontrol sifat korosif dalam perpipaan
besi pada jalur air pada proses desain, selain itu dapat diketahui perlakuan yang tepat untuk
perawatan pipanya, dan mengetahui kualitas air yang dijadikan sebagai air baku.
X. Daftar Pustaka
Ariyani, Puji Hastuti. 2003. Efektivitas Batu marmer dalam Menurunkan Kadar
Karbondioksida (CO2) Agresif Air Sumur Gali di Desa Wulung Kecamatan
Randublatung Kabupaten Blora. Blora: eprints.undip.ac.id (diakses 8 Oktober 2020).
Eugene. 2000. Applications of Environmental Chemistry: A Practical Guide for Environmental
Professions.Florida: CRC Press.
Mustofa, Ali. 2018. Pelayanan Buruk, Jadi Sasaran Kritik, PDAM Nekat Sesuaikan Tarif.
Semarapura: radarbali.jawapos.com (diakses 8 Oktober 2020).
Rich, Linvil. 1963. Unit Process of Sanitary Engineering. New York: John Wiley & Sons Inc.
Sawyer, Clair. 1993. Chemistry for Environmental Engineering. New York: Mc Graw Hill.
Kamis, 1 Oktober 2020
MODUL XXIII
FOSFAT
I. Tujuan
Sumber fosfat yang terdapat dalam air dapat berasal dari limbah domestik, pertanian, dan industri. Jenis-jenis
senyawa fosfat dalam air dapat dibedakan menjadi:
1. Ortofosfat
Merupakan senyawa anorganik yang monomer, seperti Na2PO4, Na3HPO4, NaH2PO4, (NH4)2HPO4.
2. Polifosfat
Merfupakan senyawa polimer anorganik, seperti Na3(PO3)6, Na5P2O10, Na4P2O7
3. Senyawa fosfat organik
Merupakan fosfat yang terikat dengan senyawa organik sehingga tidak berada dalam larutan secara lepas,
seperti ATP dan ADP.
Bila kadar fosfat dalam air sangat rendah (<0,01 mg/l) pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhambat
(oligotrophic). Sedangkan jika kadar fosfat dan nutrient lain tinggi maka pertumbuhan ganggang dan tanaman
air menjadi tidak terkendali (eutrophic) sehingga tanaman dann ganggang mengonsumsi oksigen dalam badan
air dan mengakibatkan kadar DO (Dissolved Oxygen) menurun pada malam hari atau bila tanaman tersebut
mati dan diuraikan atau digest.
Klasifikasi penting lainnya dari fosfat adlaah berdasarkan sifat fisisnya, yaitu fisfat terlarut, fosfat tersuspensi
(berada dalam kekeruhan), dan total fosfat. Dalam sedimen atau endapan juga dapat ditemukan fosfat. Fosfat
terlarut dipisahkan oleh filter membrane dengan pori 0,45 µm. sedangkan fosfat total adalah jumlah fosfat
terlarut dan tidak terlarut. Karena perbedaan antara yang terlarut dengan tersuspensi berdasarkan filtrasi maka
definisi tersbeut menjadi kurang tepat sehingga lebih tepat apabila disebut fosfat lolos saring dan tidak lolos
saring.
Menurut PP No. 82 tahun 2001, klasifikasi air berdasarkan kelasnya (parameter fosfat) adalah sebagai berikut:
1. Kelas 1: 0 < total fosfat < 0,2 mg/l
2. Kelas 2: total fosfat = 0.2 mg/l
3. Kelas 3: 0,2 < total fosfat < 1.0 mg/l
4. Kelas 4: 1.0 < total fosfat < 5.0 mg/l.
Orthofosfat dengan Ammonium molibdat membentuk senyawa kompleks berwarna kuning. Dengan
penambahan reduktor SnCl2 akan tereduksi membentuk senyawa kompleks berwarna biru. Intensifikasi warna
biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometri pada ƛ = 660 nm. Senyawa polyfosfat diubah terlebih
dahulu menjadi orthofosfat dan dilakukan hal yang sama. Sedangkan fosfat organik didestruksi dengan larutan
oksidator kemudian dinetralkan dan diperiksa seperti orthofosfat.
V. Cara Kerja
Konsentrasi Fosfat
No. dalam Sampel %T A
(mg/l)
1 0,067366 86 0,065502
Rumus:
Slope = C/A
Konsentrasi fosfat (mg/L) = absorbansi contoh x slope
Keterangan:
C merupakan konsentrasi (mg/L) dan A merupakan absorbansi.
Diketahui % Transmittan Fosfat hasil praktikum = 86%
Diubah menjadi Absorbansi dengan rumus A = 2-log (%T)
Sehingga A = 2-log(86) = 0,065502
Dengan regresi linear dari konsentrasi standar, didapat grafik sebagai berikut:
Dengan C (konsentrasi) sebagai x dan absorbansi (A) sebagai y maka:
y = ax + b
A = Cx +b
y = 0,9174x + 0,0037
x = (0,065502-0,0037) / 0,9174
konsentrasi Fosfat = 0,067366 mg/L
VIII. Pembahasan
VIII.1. Analisis Cara Kerja
Pada praktikum ini, metode yang digunakan adalah spektrofotometri. Pertama, siapkan sampel sebanyak 25
ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi pertama dan diberi label SP. Kemudian masukkan juga 25 ml
larutan aquades sebagai blanko ke dalam tabung reaksi kedua dan diberi label BL. Pemberian label bertujuan
agar kedua jenis larutan tidak tertukar dan mengakibatkan kesalahan pengukuran. Setelah itu, ke dalam
masing-masing tabung reaksi ditambahkan 1 mL Ammonium Molibdat lalu dikocok (agar tercampur rata).
Fungsinya adalah untuk membentuk senyawa kompleks dengan Orthofosfat dengan reaksi:
PO43- + 12(NH4)2MoO4 + 24H+ ↔ (NH4)3PO4 . 12MoO3 + 21NH4+ + 12H2O
Jika kandungan fosfat tinggi, senyawa kompleks akan terbentuk endapan kuning yang merupakan senyawa
kompleks. Namun apabila konsentrasi fosfat di bawah 30 mg/L, warna kuning akan tidak terlalu jelas sehingga
perlu reaksi dengan pereaksi lain.
Setelah penambahan Amonium Molibdat, ditambahkan pula pereaksi larutan SnCl2 sebanyak masing-masing
2 tetes atau sekitar 0,125 ml ke dalam sampel dan blanko, lalu dikocok hingga merata dan ditunggu sampai 10
menit. Larutan SnCl2 berfungsi sebagai reduktor bagi senyawa kompleks Ammonium Phosphomolibdat
((NH4)3PO4 . 12MoO3) dengan reaksi:
(NH4)3PO4 . 12MoO3 + Sn2+ ↔ Molibdenum blue + Sn4+
Hasil dari reaksi reduksi tersebut adalah terbentuknya kompleks Molibdenum berwarna biru yang memiliki
warna sebanding dengan konsentrasi Fosfor. Larutan didiamkan selama 10 menit agar reaksi dapat berlangsung
menyeluruh dan rata sehingga warna biru yang terbentuk bercampur sempurna.
Kemudian set spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm. Lalu masukkan blanko ke dalam cuvet
dan keringkan menggunakan tisu agar tidak ada air yang masih menempel di dinding cuvet karena akan
memengaruhi hasil pembacaan. Lalu set sampai menunjukkan transmittan 100%. Tujuan dimasukkannya
blanko sebelum sampel yaitu untuk melakukan kalibrasi terhadap spektrofotometer agar hasil pembacaan yang
didapatkan lebih akurat. Selanjutnya dimasukkan sampel ke dalam cuvet, keringkan dan masukkan ke dalam
spektrofotometer. Hasil % transmittan dapat dibaca dan kemudian dicatat. Terkahir, spektrofotometer
dimatikan.
Terdapat bebeapa zat pengganggu pada analisa orthofosfat, di antaranya Arsen (> 0.1 mg As/L), Chrom (IV)
dan Nitrit, Sulfida (> 1 mg S-2/L), silikat (>10 mgSiO4/L), dan partikel penyebab kekeruhan.
Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih rendah daripada Nitrogen.
Fosfor tidak bersifat toksik bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Akan tetapi, dalam jumlah yang banyak
Fosfor dapat menstimulasi terjadinya blooming algae dan eutrofikasi yang dapat menurunkan kadar DO
(Dissolved Oxygen).
Fosfor juga dibutuhkan oleh makhluk hidup dalam bentuk ATP, ADP, DNA, dan RNA. Mikroorganisme
membutuhkan fosfor untuk membentuk fosfor anorganik dan akan mengubahnya menjadi organik fosfor ynag
dibutuhkan untuk metabolisme karbohidrat, lemak, dan asam nukleat.
Kelebihan menggunakan metode spektrofotometri ini yaitu pengukuran lebih objektif karena menggunakan
alat yang tidak dinilai secara visual atau langsung oleh indra pengamat sehingga hasilnya lebih akurat, serta
praktis dan cukup mudah.
IX. Kesimpulan
1. Konsentrasi Fosfat yang terukur dalam air yaitu 0,067366 mg/L.
2. Metode pengukuran fosfat yang digunakan yaitu Stannous Chloride Spectrofotometry.
3. Kualitas air sampel yang diuji memenuhi baku mutu air kelas I berdasarkan parameter Fosfat.
X. Daftar Pustaka
PP No. 32 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Reynolds, Tom D. 1982. Unit Operations & Process for Environmental Engineering. New York: Mc Graw
Hill
Sawyer, Clair N. 1994. Chemistry for Environmental Engineering. New York: Mc Graw Hill
Simestri, Sri. 1984. Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional.
Syahril. 2013. Kandungan Unsur Fosfat dalam Air. Jakarta.