Anda di halaman 1dari 10

Teori Intertekstual

 DefenisiUmum
Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhad
ap sejumlah teks (sastra),
yang diduga mempunyai bentuk-
bentuk hubungan tertentu, misalnya untukmenemukan ad
anya hubungan unsur-
unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa,
plot, penokohan,
(gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.
 Secara Khusus

Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks


berusahamenemukan
aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-
karya sebelumnya padakarya yang muncul lebih kemudia
n. Secara luas interteks diartikan sebagaijaringan hubu
ngan antara satu teks dengan teks lain.
 Menurut Para ahli
1. Mikhail Bakhtin :
MenurutBakhtin, pendekatan intertekstual menekankan
pengertian bahwasebuah teks sastra dipandang sebagai
tulisan sisipan atau cangkokan padakerangkateks-
teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, ac
uanatau kutipan (Noor 2007: 4-5).
2. Julia Kristeva
Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan sebuah
istilah yangdiciptakan oleh Julia Kristeva (Worton 1990
:1). Istilah intertekstualpadau mumnya dipahami sebagai
hubungan suatu teks dengan teks lain.MenurutKristeva,
tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-
kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transform
asi dari teks-teks lain (1980:
66).Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalindar
i kutipan, peresapan, dan transformasi teks-
teks lain. Sewaktupengarang menulis, pengarang akan m
engambil komponen-komponenteks yang
lain sebagai bahan dasar untuk penciptaankaryanya. Se
mua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian,da
n jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah k
arya yangutuh.
. Prinsip Teori Intertekstual
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip mem
ahami danmemberikan makna karya yang bersangkutan.
Karya itu diprediksikansebagai
reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang
lain. masalahintertekstual lebih dari sekedar pengaruh,
ambilan, atau jiplakan,melainkan bagaimana kita memper
oleh makna sebuah karya secarapenuh dalam kontrasnya
dengan karya yang lain
yang menjadihipogramnya, baik berupa teks fiksi maupu
n puisi.
Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kai
dah tersendiridalam penelitian karya sastra, antara lain:
(1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya
terdapat berbagaiteks;
(2)interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan asp
ek yangmembinakarya tersebut, yaitu unsur-
unsur struktur seperti tema,
plot, watak,dan bahasa, serta unsur-
unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama
yang menjadi bagian dari komposisi teks;
(3)intertek smengkaji keseimbangan antara aspek dalaman
dan aspek luarandengan melihat fungsi dan tujuan kehadi
ran teks-teks tersebut;
(4)teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu ter
cipta berdasarkankarya-karya yang
lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca,tet
api meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-
aspek yang meresapkedalam teks yang ditulis atau dibaca
atau dikaji;
(5)yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai
pengambilan,kehadiran, dan masuknya unsur-
unsur lain kedalam sebuah karya(melaluiNapiah, 1994: xv).
 SejarahTeoriIntertekstual
Kata "intertekstualitas" berasal dari intertexto Latin,
yang berarti untuk'berbaur sementara tenun' (Keep et al
2000). The
"intertekstualitas" istilahpertama kali diperkenalkan dalam
linguistik sastra oleh Bulgaria kelahiran ahlisemiotika Julia
Kristeva Perancis (1941 -
) pada akhir tahun 1960. Dalammanifesto-nya -
yang meliputi esai seperti The Teks Bounded
(Kristeva 1980: 36-63) dan Word, Dialog, dan Novel
(Kristeva 1980: 64-91) -
Kristeva pecahdari pemikiran tradisional tentang pengaru
h penulis dan sumber teks itu.
Dia berpendapat bahwa semua sistem yang berarti, dari pe
ngaturan mejauntuk puisi,
yang didasari oleh cara mereka mengubah sistem menand
akansebelumnya. Sebuah karya sastra, maka, tidak hanya p
roduk dari seorangpenulis tunggal, tetapi dari / nya hubun
gannya dengan teks-teks lain
(baiklisan dan tertulis), dan struktur bahasa itu sendiri.
 Perkembangan Teori Intertekstual
Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan p
emikiran MikhailBakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempu
nyai minat besar pada sastra.Menurut Bakhtin, pendekatan
intertekstual menekankan pengertian bahwasebuah teks s
astra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pa
dakerangka teks-
teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan at
aukutipan (Noor 2007: 4-5).
Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut diperkenal
kan ataudikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kriste
va, Intertekstualitasmerupakan sebuah istilah yang diciptak
an oleh Julia Kristeva (Worton1990:1). Istilah intertekstual p
ada umumnya dipahami sebagai hubungan suatuteks den
gan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebua
h mozaikkutipan-
kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi
dari teks-teks lain (1980:
66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dariku
tipan, peresapan, dan transformasi teks-
teks lain. Sewaktu pengarangmenulis, pengarang akan me
ngambil komponen-komponen teks yang
lainsebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semu
a itu disusun dan diberiwarna dengan penyesuaian, dan jik
a perlu mungkin ditambah supaya menjadisebuah karya ya
ng utuh.
Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajuka
n dua alasan.Pertama, pengarang adalah seorang pembac
a teks sebelum menulis teks.Proses penulisan karya oleh se
orang pengarang tidak bisa dihindarkan dariberbagai jenis
rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks terse
diahanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya
penerimaan ataupenentangan terletak pada pengarang m
elalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).

URAIAN TEORI INTERTEKSTUAL

Nurgiyantoro (1992:50) mengatakan bahwa kajian intertekstual merupakan terhadap


sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Mengacu
pendapat Nurgiyantoro tersebut, dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual mencakup sastra
bandingan, yaitu studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih (Wellek dan Warren,
1990 :49).

Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
yang lain. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan hubungan-hubungan bermakna d antara
dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan,
melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Menurut Riffaterre (1978: 5) pendekatan suatu karya sastra di satu pihak adalah dialektik
antara teks dan pembaca, dan di pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran
semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus mulai
dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-kata berdasar fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi yang mimetik (mimetic function), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke
tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar secara struktural (decoding) atas
dasarsignifinance, yang hanya dapat dipahami dengan kompetensi linguistik
(linguistic competence), kompetensi kesastraan (literary competence), dan terutama dalam
hubungannya dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena membaca karya sastra pada
dasarnya adalah membina atau membangun acuan. Adapun acauan itu didapat dari pengalaman
membaca teks-teks lain dalam sistem konvensi kesastraan. Dengan demikian suatu sajak (baca:
karya sastra) baru bermakna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya
sastra lain. Karya sastra lain yang menunjukkan hubungan antar teks yang menjadi acuannya
disebut hipogram (hypogram). Dalam hubungan antar teks tersebut terdapat dua hal yang
dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 5), yaitu:7 (1) ekspansi (expansion), dan (2) konversi
(conversion). Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan dari hipogram, sedangkan konversi
adalah pemutar balikan hipogram atau matriksnya. Di samping itu, Partini Sardjono (l986: 63)
menambah dua hal yang telah dikemukakan oleh Riffaterre tersebut, yaitu: (3) modifikasi
(modification) atau pengubahan, dan (4) ekserp (exerpt). Lebih lanjut Partini Sardjono
menjelaskan bahwa modifikasi biasanya merupakan manipulasi pada tataran linguistik, yaitu
manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; pada tataran kesastraan ialah manipulasi tokoh
(protagonis) atau plot cerita. Ekserp artinya intisari suatu unsur atau episode dari hipogram.

Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas
pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Oleh karena itulah, secara praktis aktivitas interteks
terjadi melalui dua cara yaitu : (a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat
yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks yang lain yang
sudah pernah dibaca sebelumnya.

Hubungan Intertekstual

Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip intertektualitas. Hal
ini ditunjukkan oleh Rifaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahwa sajak baru
bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan
atau pertentangan. Selanjutnya dkatakan Rifaterre (1978:11,23) bahwa sajak (teks sastra) yang
menjadi latar karya sastra sesudahnya itu itu disebut hipogram (Pradopo 2005: 167).

Julia Kristeva (dalam Culler, 1977:139) menegaskan bahwa setiap teks itu merupakan
penyerapan atau transformasi teks-teks lain. Sebuah sajak itu merupakan penyerapan dan
tranformasi hipogramnya. Dengan ungkapan lain, bagi Kristeva, masuknya teks ke dalam teks
lain adalah hal yang biasa terjadi dalam karya sastra, sebab pada hakikatnya suatu teks
merupakan bentuk absorsi dan transformasi dari sejumlah teks lain, sehingga terlihat sebagai
suatu mozaik (Ali Imron: 2005:80).

Dalam realitasnya, karya sastra yang muncul kemudian ada yang bersifat menentang
gagasan atau ide sentral hipogramnya, ada yang justru menguatkan atau mendukung, namun ada
juga yang memperbarui gagasan yang ada dalam hipogram

Prinsip intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna terhadap sebuah teks
sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks lain yang
ditulis sebelumnya. Dalam meanggapiteks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-
gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu pemikiran-
pemikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semuanya itu
ditentukan oleh pengetahuan yang didapat olehnya yang tak terlepas dari pandangan-pandangan
dunia dan kondisi serta situasi zamannya.

Dalam kesusasteraan Indonesia, hubungan intertekstual antara satu karya dengan karya
yang lain baik antara karya sezamanmaupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya kita
lihat karya-karya pujangga baru, antara karya-karya pujangga baru dengan karya-karya angkatan
45, ataupun dengan karya lain. Maka untuk memahami dan mendapatkan makna penuh sebuah
sajak perlu dilihat hubungan intertekstual ini. Misalnya beberapa sajak Chairil Anwar
mempunyai hubungan intertekstual dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstual
itu menunjukan adanya persamaan dan pertentangannya dalam hal konsep estetik dan pandangan
hidup yang berlawanan. Misalnya ada intertekstualitas antara sajak “Berdiri Aku” (Amir Hamzah)
dengan “Senja di Pelabuhan Kecil” (Chairil Anwar), “Kusangka” (Amir Hamzah) dengan
“Penerimaan” (Chairil Anwar), “Dalam Matamu” (Amir Hamzah) dengan “Sajak Putih” (Chairil
Anwar).

Analisis Intertekstual

Berdasarkan realitasnya maka sifat hipogram dapat digolongkan menjadi tiga macam,
yakni: (1) Negasi, artinya karya satra yang tercipta kemudian melawan hipogram; (2) Afirmasi,
yakni sekedar mengukuhkan, hampir sama dengan hipogram; dan (3) Inovasi, artinya karya satra
yang kemudian memperbarui apa yang ada dalam hipogram (Ali Imron: 2005:80).

Seperti yang disampaikan oleh Abram (Pradopo) ada empat orientasi sastra berdasarkan
sejarah dan dialetikanya. Empat orientasi itu adalah orientasi mimetik yang menganggap karya
sastra sebagai tiruan alam ide dan kehidupan; kritik pragmatik yang menganggap karya sastra
sebagi sarana atau alat untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca; kritik
ekspresifmengganggap karya sastra sebagai luapan perasaan dan pikiran pengarang; kritik
objektif berorientasi pada karya sastra itu sendiri.

Kalau kita lihat dari kritik kedua bahwa karya sastra sebagai sarana atau alat untuk
menyampaika tujuan pertentu kepada pembaca. Menurut kritik pragmatik semakin mendidik
semakin karya sastra itu bernilai tinggi.

Kelemahan Intertekstual

Kelemahan teori intertekstual adalah sifatnya yang mem-fait accompli pengarang. Setiap
pengarang yang melahirkan karya yang topiknya (dianggap) sudah pernah ditulis oleh pengarang
sebelumnya (karya transformatif) dianggap telah membaca karya pendahulunya (karya
hepigram). Padahal dugaan itu belum tentu benar. Pengarang yang membuat karya sastra yang
dianggap karya transformastif belum tentu telah membaca karya hipogramnya. Dengan dugaan
seperti itu, analisis yang dilakukan adalah mencari sejauh mana karya transformatif itu
dipengaruhi oleh karya hepigramnya. Atau, sejauh mana penyimpangan yang dilakukan oleh
pengarang karya transformartif dari karya hepigramnya.
Hal yang bersifat spekulatif itu harus menjadi pegangan dasar dari para peneliti yang
menggunakan teori intertekstual. Sifat fait accompli seperti itu tentulah tidak adil. Kecuali
apabila pengarangnya mengakui bahwa karyanya merupakan transformasi dari karya sebelumnya
yang sejenis.
Dalam naskah lakon “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Pengging”,
Saini K.M. sebagai pengarangnya secara eksplisit menyebutkan bahwa sumber penulisan naskah
lakonnya adalah Babad Tanah Pengging. Sedangkan Babad Tanah Pengging adalah salah satu
episode yang terdapat dalam Serat Syekh Siti Jenar. Dengan demikian diakui oleh Saini K.M.
bahwa acuan utama dari karyanya adalah naskah Serat Syekh Siti Jenar. Saini K.M. pun
menyatakan bahwa sastra drama “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Pengging”
merupakan salah satu versi saja dari kisah Syekh Siti Jenar.
Dari apa yang dikemukakan oleh Saini K.M. penulis berkeyakinan kuat bahwa naskah Serat
Syekh Siti Jenar merupakan hipogram dari naskah “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad
Tanah Pengging”. Dengan kata lain, naskah lakon tersebut merupakan transformasi dari naskah
yang disebut pertama. Itulah salah satu aspek yang mendasari pertimbangan penulis untuk
memilih Intertekstual sebagai teori sastra yang akan digunakannya dalam proses penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Djenar Maesa. 2003. Nayla. Jakarta: Gramedia

A.M. Ali Imron. 2005. “Intertekstualitas Puisi dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Volume 17. No. 32.
2005
Dwi Nugroho, Agus. 2008. Tugas metode penelitian pendidikan analisis skripsi kualitatif yang berjudul
kajian intertekstual unsure peristiwa dan perwatakan cerita saijah dan adinda dalam novel max
havelaar dan balada orang-orang rangkasbitung.Jurusan pendidikan bahasa jawa fakultas
bahasa dan seni universitas negeri Yogyakarta 2008.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori Metode Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana Unversity Press

Pemikiran Kristeva mengenai Intertekstualitas

Pemikiran tentang intertekstualitas dimulai dengan ketidakpuasan para kritikus sastra terhadap gagasan
kaum strukturalis tentang otonomi sebuah karya. Mereka mempersoalkan kembali keterbatasan itu.
Maka timbullah pemikiran tentang intertekstualitas (antara lain dikemukakan oleh Roland Barthes,
Todorov, Rifaterre, Julia Kristeva,dll). Todorov mengakui pentingnya hubungan yang kompleks antara
suatu karya dengan karya-karya lain yang terbit sebelumnya. Untuk menemukan maknanya, suatu karya
perlu ditempatkan dalam suatu sistem yang lebih luas. Untuk pemahaman karya sastra yang
menyeluruh, sifat otonom karya tak perlu dipertahankan lagi. Kecenderungan baru dalam sastra ini
berkembang dengan subur: para peneliti beranggapan bahwa setiap teks mempunyai hubungan dengan
sejumlah teks yang telah ada sebelumnya atau yang sezaman dengannya.

Sebenarnya, istilah intertextualite untuk pertama kali masuk ke dalam bahasa prancis melalui karya
Kristeva yang diterbitkan pada tahun 1960. Kristeva menyebut proses pemasukan bentuk atau kata lain
dengan sebutan intertextualite. Kristeva percaya bahwa semua teks adalah mosaik acuan pada teks,
imaji dan konvensi lain. Dalam karyanya Desire in language (1980) Kristeva menyatakan bahwa
intertekstualitas adalah tempat pluralitas dan subversi.

Anda mungkin juga menyukai