Teori Intertekstual
Teori Intertekstual
DefenisiUmum
Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhad
ap sejumlah teks (sastra),
yang diduga mempunyai bentuk-
bentuk hubungan tertentu, misalnya untukmenemukan ad
anya hubungan unsur-
unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa,
plot, penokohan,
(gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.
Secara Khusus
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
yang lain. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan hubungan-hubungan bermakna d antara
dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan,
melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Menurut Riffaterre (1978: 5) pendekatan suatu karya sastra di satu pihak adalah dialektik
antara teks dan pembaca, dan di pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran
semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus mulai
dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-kata berdasar fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi yang mimetik (mimetic function), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke
tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar secara struktural (decoding) atas
dasarsignifinance, yang hanya dapat dipahami dengan kompetensi linguistik
(linguistic competence), kompetensi kesastraan (literary competence), dan terutama dalam
hubungannya dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena membaca karya sastra pada
dasarnya adalah membina atau membangun acuan. Adapun acauan itu didapat dari pengalaman
membaca teks-teks lain dalam sistem konvensi kesastraan. Dengan demikian suatu sajak (baca:
karya sastra) baru bermakna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya
sastra lain. Karya sastra lain yang menunjukkan hubungan antar teks yang menjadi acuannya
disebut hipogram (hypogram). Dalam hubungan antar teks tersebut terdapat dua hal yang
dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 5), yaitu:7 (1) ekspansi (expansion), dan (2) konversi
(conversion). Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan dari hipogram, sedangkan konversi
adalah pemutar balikan hipogram atau matriksnya. Di samping itu, Partini Sardjono (l986: 63)
menambah dua hal yang telah dikemukakan oleh Riffaterre tersebut, yaitu: (3) modifikasi
(modification) atau pengubahan, dan (4) ekserp (exerpt). Lebih lanjut Partini Sardjono
menjelaskan bahwa modifikasi biasanya merupakan manipulasi pada tataran linguistik, yaitu
manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; pada tataran kesastraan ialah manipulasi tokoh
(protagonis) atau plot cerita. Ekserp artinya intisari suatu unsur atau episode dari hipogram.
Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas
pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Oleh karena itulah, secara praktis aktivitas interteks
terjadi melalui dua cara yaitu : (a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat
yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks yang lain yang
sudah pernah dibaca sebelumnya.
Hubungan Intertekstual
Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip intertektualitas. Hal
ini ditunjukkan oleh Rifaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahwa sajak baru
bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan
atau pertentangan. Selanjutnya dkatakan Rifaterre (1978:11,23) bahwa sajak (teks sastra) yang
menjadi latar karya sastra sesudahnya itu itu disebut hipogram (Pradopo 2005: 167).
Julia Kristeva (dalam Culler, 1977:139) menegaskan bahwa setiap teks itu merupakan
penyerapan atau transformasi teks-teks lain. Sebuah sajak itu merupakan penyerapan dan
tranformasi hipogramnya. Dengan ungkapan lain, bagi Kristeva, masuknya teks ke dalam teks
lain adalah hal yang biasa terjadi dalam karya sastra, sebab pada hakikatnya suatu teks
merupakan bentuk absorsi dan transformasi dari sejumlah teks lain, sehingga terlihat sebagai
suatu mozaik (Ali Imron: 2005:80).
Dalam realitasnya, karya sastra yang muncul kemudian ada yang bersifat menentang
gagasan atau ide sentral hipogramnya, ada yang justru menguatkan atau mendukung, namun ada
juga yang memperbarui gagasan yang ada dalam hipogram
Prinsip intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna terhadap sebuah teks
sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks lain yang
ditulis sebelumnya. Dalam meanggapiteks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-
gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu pemikiran-
pemikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semuanya itu
ditentukan oleh pengetahuan yang didapat olehnya yang tak terlepas dari pandangan-pandangan
dunia dan kondisi serta situasi zamannya.
Dalam kesusasteraan Indonesia, hubungan intertekstual antara satu karya dengan karya
yang lain baik antara karya sezamanmaupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya kita
lihat karya-karya pujangga baru, antara karya-karya pujangga baru dengan karya-karya angkatan
45, ataupun dengan karya lain. Maka untuk memahami dan mendapatkan makna penuh sebuah
sajak perlu dilihat hubungan intertekstual ini. Misalnya beberapa sajak Chairil Anwar
mempunyai hubungan intertekstual dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstual
itu menunjukan adanya persamaan dan pertentangannya dalam hal konsep estetik dan pandangan
hidup yang berlawanan. Misalnya ada intertekstualitas antara sajak “Berdiri Aku” (Amir Hamzah)
dengan “Senja di Pelabuhan Kecil” (Chairil Anwar), “Kusangka” (Amir Hamzah) dengan
“Penerimaan” (Chairil Anwar), “Dalam Matamu” (Amir Hamzah) dengan “Sajak Putih” (Chairil
Anwar).
Analisis Intertekstual
Berdasarkan realitasnya maka sifat hipogram dapat digolongkan menjadi tiga macam,
yakni: (1) Negasi, artinya karya satra yang tercipta kemudian melawan hipogram; (2) Afirmasi,
yakni sekedar mengukuhkan, hampir sama dengan hipogram; dan (3) Inovasi, artinya karya satra
yang kemudian memperbarui apa yang ada dalam hipogram (Ali Imron: 2005:80).
Seperti yang disampaikan oleh Abram (Pradopo) ada empat orientasi sastra berdasarkan
sejarah dan dialetikanya. Empat orientasi itu adalah orientasi mimetik yang menganggap karya
sastra sebagai tiruan alam ide dan kehidupan; kritik pragmatik yang menganggap karya sastra
sebagi sarana atau alat untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca; kritik
ekspresifmengganggap karya sastra sebagai luapan perasaan dan pikiran pengarang; kritik
objektif berorientasi pada karya sastra itu sendiri.
Kalau kita lihat dari kritik kedua bahwa karya sastra sebagai sarana atau alat untuk
menyampaika tujuan pertentu kepada pembaca. Menurut kritik pragmatik semakin mendidik
semakin karya sastra itu bernilai tinggi.
Kelemahan Intertekstual
Kelemahan teori intertekstual adalah sifatnya yang mem-fait accompli pengarang. Setiap
pengarang yang melahirkan karya yang topiknya (dianggap) sudah pernah ditulis oleh pengarang
sebelumnya (karya transformatif) dianggap telah membaca karya pendahulunya (karya
hepigram). Padahal dugaan itu belum tentu benar. Pengarang yang membuat karya sastra yang
dianggap karya transformastif belum tentu telah membaca karya hipogramnya. Dengan dugaan
seperti itu, analisis yang dilakukan adalah mencari sejauh mana karya transformatif itu
dipengaruhi oleh karya hepigramnya. Atau, sejauh mana penyimpangan yang dilakukan oleh
pengarang karya transformartif dari karya hepigramnya.
Hal yang bersifat spekulatif itu harus menjadi pegangan dasar dari para peneliti yang
menggunakan teori intertekstual. Sifat fait accompli seperti itu tentulah tidak adil. Kecuali
apabila pengarangnya mengakui bahwa karyanya merupakan transformasi dari karya sebelumnya
yang sejenis.
Dalam naskah lakon “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Pengging”,
Saini K.M. sebagai pengarangnya secara eksplisit menyebutkan bahwa sumber penulisan naskah
lakonnya adalah Babad Tanah Pengging. Sedangkan Babad Tanah Pengging adalah salah satu
episode yang terdapat dalam Serat Syekh Siti Jenar. Dengan demikian diakui oleh Saini K.M.
bahwa acuan utama dari karyanya adalah naskah Serat Syekh Siti Jenar. Saini K.M. pun
menyatakan bahwa sastra drama “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad Tanah Pengging”
merupakan salah satu versi saja dari kisah Syekh Siti Jenar.
Dari apa yang dikemukakan oleh Saini K.M. penulis berkeyakinan kuat bahwa naskah Serat
Syekh Siti Jenar merupakan hipogram dari naskah “Jenar, Lakon Syekh Siti Jenar dalam Babad
Tanah Pengging”. Dengan kata lain, naskah lakon tersebut merupakan transformasi dari naskah
yang disebut pertama. Itulah salah satu aspek yang mendasari pertimbangan penulis untuk
memilih Intertekstual sebagai teori sastra yang akan digunakannya dalam proses penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
A.M. Ali Imron. 2005. “Intertekstualitas Puisi dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Volume 17. No. 32.
2005
Dwi Nugroho, Agus. 2008. Tugas metode penelitian pendidikan analisis skripsi kualitatif yang berjudul
kajian intertekstual unsure peristiwa dan perwatakan cerita saijah dan adinda dalam novel max
havelaar dan balada orang-orang rangkasbitung.Jurusan pendidikan bahasa jawa fakultas
bahasa dan seni universitas negeri Yogyakarta 2008.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori Metode Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana Unversity Press
Pemikiran tentang intertekstualitas dimulai dengan ketidakpuasan para kritikus sastra terhadap gagasan
kaum strukturalis tentang otonomi sebuah karya. Mereka mempersoalkan kembali keterbatasan itu.
Maka timbullah pemikiran tentang intertekstualitas (antara lain dikemukakan oleh Roland Barthes,
Todorov, Rifaterre, Julia Kristeva,dll). Todorov mengakui pentingnya hubungan yang kompleks antara
suatu karya dengan karya-karya lain yang terbit sebelumnya. Untuk menemukan maknanya, suatu karya
perlu ditempatkan dalam suatu sistem yang lebih luas. Untuk pemahaman karya sastra yang
menyeluruh, sifat otonom karya tak perlu dipertahankan lagi. Kecenderungan baru dalam sastra ini
berkembang dengan subur: para peneliti beranggapan bahwa setiap teks mempunyai hubungan dengan
sejumlah teks yang telah ada sebelumnya atau yang sezaman dengannya.
Sebenarnya, istilah intertextualite untuk pertama kali masuk ke dalam bahasa prancis melalui karya
Kristeva yang diterbitkan pada tahun 1960. Kristeva menyebut proses pemasukan bentuk atau kata lain
dengan sebutan intertextualite. Kristeva percaya bahwa semua teks adalah mosaik acuan pada teks,
imaji dan konvensi lain. Dalam karyanya Desire in language (1980) Kristeva menyatakan bahwa
intertekstualitas adalah tempat pluralitas dan subversi.