Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Sedangkan pengertian pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola
keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan. Dalam pengelolaan keuangan negara dikenal adanya asas pengelolaan keuangan. Asas
tersebut telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas
universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best
practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :
Lingkup keuangan negara mencakup hak dan kewajiban negara, antara lain:
• hak untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman
• kewajiban untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga, penerimaan negara, pengeluaran negara, penerimaan
daerah, pengeluaran daerah, kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau
oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam
rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum, dan kekayaan
pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Dari gambar 1.1 Presiden menguasakan pengelolaan keuangan Negara kepada Menteri-Menterinya.
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku penyelenggara urusan tertentu dalam pemerintahan bertindak
sebagai PA atas bagian anggaran yang disediakan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi tugas dan kewenangannya tersebut. Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA bertanggung
jawab secara formal dan materiil kepada Presiden. Menteri Keuangan, selain sebagai PA atas bagian
anggaran untuk kementerian yang dipimpinnya, juga bertindak selaku Bendahara Umum Negara
(BUN).
Menteri/Pimpinan Lembaga terdiri dari Menteri Teknis dan Menteri Keuangan seperti terlihat dalam
gambar 1.2. Menteri teknis selaku pengguna anggaran berwenang dalam pembuatan komitmen,
pengujian dan pembebanananggaran dan perintah pembayaran. Sedangkan menteri keuangan
selaku BUN berwenang atas pengujian dan pembebanan serta perintah pencairan dana untuk
menteri teknis.
1. Pengertian APBN
Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Presiden selaku pemegang kekuasaan
pengelolaankeuangan negara menguasakan kepada Menteri Keuangan untuk melakukan
pengelolaan fiskal dalam hal ini APBN, yang pengertiannya adalah:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN merupakan
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
b. APBN mempunyai otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi.
1)Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan;
2)Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan;
3)Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk
menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan;
4)Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk
mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi
dan efektivitas perekonomian;
5)Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan
rasa keadilan dan kepatutan; dan
6)Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
c. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara
dalam tahun yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
2. Siklus APBN
Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rangkaian kegiatan dalam proses
penganggaran yang dimulai pada saat anggaran negara mulai disusun sampai dengan perhitungan
anggaran disahkan dengan undang-undang, seperti terlihat dalam gambar 1.4.
Tahapan ini dilakukan pada tahun sebelum anggaran tersebut dilaksanakan (APBN t-1) misal untuk
APBN 2014 dilakukan pada tahun 2013 yang meliputi dua kegiatan yaitu, perencanaan dan
penganggaran.
b. Penetapan/persetujuan APBN
c. Pelaksanaan APBN
Jika tahapan kegiatan ke-1 dan ke-2 dilaksanakan pada APBN t-1, kegiatan pelaksanaan APBN
dilaksanakan mulai 1 Januari - 31 Desember pada tahun berjalan (APBN t). Kegiatan pelaksanaan
APBN dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kementerian/lembaga (K/L). K/L mengusulkan konsep
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) berdasarkan Keppres mengenai rincian APBN dan
menyampaikannya ke Kementerian Keuangan untuk disahkan. DIPA merupakan dokumen
pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. DIPA berlaku sebagai dasar pelaksanaan
pengeluaran Negara setelah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan selaku BUN. Alokasi dana
yang tertuang dalam DIPA merupakan batas tertinggi pengeluaran negara. Pengeluaran negaratidak
boleh dilaksanakan jika alokasi dananya tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam DIPA. Khusus
pelaksanaan pengeluaran negara untuk pembayaran gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji
dapat melampaui alokasi dana gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji dalam DIPA, sebelum
dilakukan perubahan/revisi DIPA.
Tahap pelaporan dan pencatatan APBN dilaksanakan bersamaan dengan tahap pelaksanaan APBN, 1
Januari - 31 Desember. Laporan keuangan pemerintah dihasilkan melalui proses akuntansi, dan
disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan pemerintah yang terdiri dari Laporan Realisasi
Anggaran (LRA), Neraca, dan Laporan Arus Kas (LAK), serta Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
Tahap akhir siklus APBN adalah pemeriksanaan dan pertanggungjawaban yang dilaksanakan setelah
tahap pelaksanaan berakhir (APBN t+1), sekitar Januari - Juli. Contoh, jika APBN dilaksanakan tahun
2014, tahap pemeriksaan dan pertanggungjawabannya dilakukan pada tahun 2015. Pemeriksaan ini
dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).Untuk pertanggungjawaban pengelolaan dan
pelaksanaan APBN secara keseluruhan selama satu tahun anggaran, Presiden menyampaikan
rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa
laporan keuangan yang telah diperiksa BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan
dalam menghimpun pendapatan negara. Penyusunan Rancangan APBN berpedoman pada rencana
kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan negara. Dalam hal anggaran
diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam
undang-undang tentang APBN. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, pemerintah pusat dapat
mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada DPR. Defisit anggaran dibatasi maksimal
3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB.APBN
terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Pendapatan negara terdiri
atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Belanja negara dipergunakan untuk
keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah. Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis
belanja.
Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa kepatutan.Asas umum
pengelolaan keuangan negara;
a. Asas kesatuan; semua pendapatan dan belanja negara disajikan dalam satu dokumen
anggaran;
b. Asas universalitas; setiap transaksi ditampilkan utuh dalam dokumen anggaran;
c. Asas tahunan; membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu;
d. Asas spesialitas; agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukkannya;
e. Asas akuntabilitas berorientasi hasil;
f. Asas profesionalitas;
g. Asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
h. Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
program Presiden melalui Bappenas sebagai pedoman bagi K/L dalam menyusun Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga (Renstra – K/L). Kementerian Negara/Lembaga menyusun rencana kerja
(Renja – K/L) untuk tahun anggaran yang sedang disusun dengan mengacu pada prioritas
pembangunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan dalam Surat Edaran bersama Menteri
Perencanaan (Bappenas) dan Menteri Keuangan. Bappenas menelaah Renja–K/L yang disampaikan
Kementerian Negara/Lembaga berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. Perubahan terhadap
program Kementerian Negara/Lembaga disetujui oleh Bappenas berkoordinasi dengan Kementerian
Keuangan, berdasarkan usulan Menteri/Pimpinan Lembaga Terkait. Berdasarkan Renja–K/L
disusunlah rencana kerja pemerintah (RKP) untuk periode 1 tahun.
B. Penganggaran RAPBN
Setelah Menteri/Pimpinan Lembaga menerima Surat Edaran Menteri Keuangan tentang pagu
sementara bagi masing-masing program, Kementerian Negara/Lembaga menyesuaikan Renja-KL
menjadi RKA-KL yang dirinci menurut unit organisasi dan kegiatan. Kementerian Negara/Lembaga
membahas RKA-KL bersama-sama dengan DPR. Hasil pembahasan RKA-KL disampaikan kepada
Bappenas. Bappenas menelaah kesesuaian antara RKA-KL hasil pembahasan bersama DPR dengan
Renja Pemerintah. Menteri Keuangan menghimpun RKA-KL yang telah ditelaah untuk selanjutnya
membuat nota keuangan dan Rancangan APBN (RAPBN) yang antara lain isinya pagu sementara.
Nota keuangan dan RAPBN beserta himpunan RKA-KL yang telah ditetapkan Menteri Keuangan
disampaikan Pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama dan ditetapkan menjadi Undang-
Undang APBN. RKA-KL yang telah disepakati DPR ditetapkan dalam Keputusan Presiden tentang
Rincian APBN. Keputusan Presiden tentang Rincian APBN, menjadi dasar bagi masing-masing KL
untuk menyusun konsep dokumen pelaksanaan anggaran (DPA). Konsep DPA, disampaikan kepada
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum (BUN) dan disahkan oleh Menteri Keuangan.
D. APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
negara yang disetujui oleh DPR. Negara mempunyai sumber pendapatan dan rencana belanja
melalui KLnya.
1. Pendapatan
Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
Setiap K/L yang mempunyai sumber pendapatan wajib mengintensifkan perolehan pendapatan yang
menjadi wewenang dan tanggung jawabnya. Pendapatan Negara yang diterima KL tidak boleh
digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran tetapi harus disetorkan terlebih dahulu ke Kas
Negara. Sesuai PP no. 45 tahun 2013 tentang tata cara pelaksanaan APBN pendapatan negara terdiri
atas penerimaan perpajakan, penerimaan Negara bukan pajak dan pendapatan hibah.
a. Penerimaan Perpajakan
Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pajak dalam negeri dan
pajak perdagangan internasional.
1) Pajak dalam negeri adalah semua penerimaan Negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan
bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai dan pajak lainnya; dan
2) Pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan Negara yang berasal dari bea masuk
dan pajak/pungutan ekspor.
b. Penerimaan Negara Bukan Pajak
Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal
dari penerimaan perpajakan antara lain sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba BUMN,
serta penerimaan bukan pajak lainnya.
c. Pendapatan Hibah
Pendapatan Hibah adalah setiap penerimaan Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, jasa
dan/atau surat berharga yang diperoleh dari Pemberi Hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang
berasal dari dalam negeri atau luar negeri. Atas pendapatan hibah pemerintah mendapat manfaat
secara langsung yang digunakan untuk mendukung tugas dan fungsi K/L atau diteruskan kepada
Pemda, BUMN, dan BUMD (PMK No 191/PMK.05/2011).
2. Belanja
Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Belanja dilaksanakan sesuai batas anggaran yang telah ditetapkan dalam DIPA. Belanja di dalam DIPA
dibagi dalam beberapa jenis sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan no 214/PMK.05/2013
tentang Bagan Akun Standar, yaitu:
a. Belanja pegawai
Belanja Pegawai merupakan pengeluaran yang berupa kompensasi terhadap pegawai baik dalam
bentuk uang atau barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah dalam maupun luar
negeri baik kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai yang dipekerjakan oleh
pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan
dalam rangka mendukung tugas fungsi unit organisasi pemerintah selama periode tertentu, kecuali
pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
b. Belanja barang
Belanja Barang merupakan pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis
pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta
pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja
perjalanan. Belanja ini terdiri dari belanja barang dan jasa,belanja pemeliharaan, belanja perjalanan
dinas, belanja barang BLU dan belanja barang untuk diserahkan kepada masyarakat.
c. Belanja modal
Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran dalam rangka memperoleh atau menambah aset
tetap dan/atau aset lainnya yang memberi manfaat ekonomis lebih dari satu periode akuntansi (12
bulan) serta melebihi batasan nilai minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan
pemerintah. Aset Tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan suatu satuan kerja atau
dipergunakan oleh masyarakat umum/publik serta akan tercatat di dalam Neraca satker K/L.
e. Belanja Subsidi
Subsidi merupakan pengeluaran atau alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada
perusahaan negara, lembaga pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang memproduksi, menjual,
mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak
sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Belanja ini antara lain
digunakan untuk penyaluran subsidi kepada masyarakat melalui perusahaan negara dan/atau
perusahaan swasta dan perusahaan swasta yang diberikan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara.
f. Belanja Hibah
Hibah merupakan pengeluaran pemerintah berupa transfer dalam bentuk uang/ barang/jasa, yang
dapat diberikan kepada pemerintah negara lain, organisasi internasional, pemerintah daerah, atau
kepada perusahaan negara/daerah yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat
tidak wajib dan tidak mengikat yang dilakukan dengan naskah perjanjian antara pemerintah selaku
pemberi hibah dan penerima hibah, serta tidak terus menerus kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan.
Bantuan sosial merupakan pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh
Pemerintah kepada masyarakat gunamelindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial,
meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat.
h. Belanja Lain-lain
Belanja Lain-lain merupakan pengeluaran/belanja pemerintah pusat yang sifat pengeluarannya tidak
dapat diklasifikasikan ke dalam pospos pengeluaran di atas. Pengeluaran ini bersifat tidak biasa dan
tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran
tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan
pemerintah, bersifat mendesak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya.
3. Mekanisme Pembiayaan
Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003, pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan terdiri dari penerimaan
pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan
Rekening Kas Umum Negara/ Daerah antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan
obligasi pemerintah, hasil privatisasi perusahaan negara/daerah, penerimaan kembali pinjaman yang
diberikan kepada pihak ketiga, penjualan investasi permanen lainnya, dan pencairan dana cadangan.
Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum Negara.Pengeluaran
pembiayaan adalah semua pengeluaran Rekening Kas Umum Negara/ Daerah antara lain pemberian
pinjaman kepada pihak ketiga, penyertaan modal pemerintah, pembayaran kembali pokok pinjaman
dalam periode tahun anggaran tertentu, dan pembentukan dana cadangan. Pengeluaran
pembiayaan diakui pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara. Pembentukan dana
cadangan untuk menambah dana cadangan yang bersangkutan. Hasil-hasil yang diperoleh dari
pengelolaan dana cadangan di pemerintah daerah merupakan penambah dana cadangan. Hasil
tersebut dicatat sebagai pendapatan dalam pos pendapatan asli daerah lainnya.
Selisih lebih/kurang antara penerimaan dan pengeluaran pembiayaan selama satu periode
pelaporan dicatat dalam pos Pembiayaan Neto. Sisalebih/kurang pembiayaan anggaran adalah
selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode pelaporan
dicatat dalam pos SiLPA/SiKPA.
• Pembiayaan defisit anggaran adalah semua jenis pembiayaan yang digunakan untuk menutup
defisit APBN.
• Pembiayaan dalam negeri netto adalah semua pembiayaan yang berasal dari perbankan dan
nonperbankan dalam negeri yang meliputi penggunaan SAL dan saldo rekening pemerintah di luar
SAL, hasil privatisasi, penjualan aset perbankan dalam rangka program restrukturisasi dan surat
utang negara dikurangi pelunasan atau penarikan pokok utang dalam negeri pemerintah.
• Pembiayaan luar negeri adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan utang/pinjaman
luar negeri yang terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek, dikurangi dengan pembayaran
cicilan pokok utang/pinjaman luar negeri.
• Pinjaman program adalah nilai lawan rupiah dari pinjaman luar negeri dalam bentuk pangan dan
bukan pangan serta pinjaman yang dapat dirupiahkan. Penarikan pinjaman program untuk tahun
2006 terdiri dari penarikan pinjaman program dari OECF, pinjaman program dari IBRD, penarikan
pinjaman program dari IBRD dan penarikan pinjaman program multilateral lainnya.
• Pinjaman proyek adalah nilai lawan rupiah dari penarikan pinjaman luar negeri di luar pinjaman
program. Penarikan pinjaman proyek untuk tahun 2006 terdiri dari penarikan pinjaman proyek
bilateral, penarikan pinjaman proyek multilateral, penarikan pinjaman proyek fasilitas kredit ekspor,
penarikan pinjaman proyek lainnya dan penerusan pinjaman luar negeri ke BUMN.
a) Pembiayaan dalam negeri perbankan; terdiri dari penggunaan SAL tahun sebelumnya dan
penggunaan saldo rekening pemerintah yang ada di Bank Indonesia serta hasil penerimaan
pelunasan pokok dana RDI dan RPD. Penggunaan SAL dalam pelaksanaan APBN dilakukan oleh Ditjen
Perbendaharaan dengan mengurangi saldo rekening tempat SAL disimpan dan dicatat sebagai
penerimaan pembiayaan dalam negeri perbankan. Untuk penggunaan rekening pemerintah,
dilakukan Ditjen Perbendaharaan dengan mentransfer dana dari rekening pemerintah ke rekening
BUN di BI.
b) Pembiayaan dalam negeri non perbankan terdiri dari pelunasan piutang pokok RDI/RPD,
privatisasi, penjualan aset program restrukturisasi perbankan dan penjualan SUN. Untuk pelunasan
pokok piutang RDI/RPD dilakukan ditjen perbendaharaan dengan mentransfer dana dari rekening
RDI/RPD ke BUN.Untuk penerimaan privatisasi, berdasarkan hasil penjualan privatisasi BUMN yang
dilakukan oleh Kementerian BUMN langsung disetor ke rekening BUN. Untuk penerimaan dari
penjualan SUN, terlebih dahulu ditampung di rekening antara dan kemudian ditransfer ke rekening
BUN.
b) Penerimaan penarikan pinjaman proyek merupakan penerimaan yang bersifat pengesahan atas
transaksi pembelian barang atau jasa yang dilakukan di luar negeri dan dibayarkan oleh lender. Bukti
penerimaan ini berupa SP3 (Surat Perintah Pembukuan dan Pengesahan).
A. Pengelola Anggaran
Pada setiap awal tahun anggaran untuk melaksanakan DIPA, KL selaku PA menunjuk Pejabat KPA
dengan surat keputusan. PA/KPA berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran yang
telah disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihan-tagihan atas beban APBN. SesuaiPP no.
45 tahun 2013 tentang tata cara pelaksanaan APBN, PA berwenang untuk:
a. menyusun DIPA;
b. menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah
Membayar (PPSPM), jabatan PPK atau PPSPM dapat dirangkap oleh KPA;
c. menetapkan panitia/pejabat yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan anggaran;
d. menetapkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana pencairan dana;
e. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran Belanja Negara;
f. melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran atas beban anggaran negara;
g. memberikan supervisi, konsultasi, dan pengendalian pelaksanaan kegiatan dan anggaran;
h. mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan
kegiatan dan anggaran; dan
i. menyusun laporan keuangan dan kinerja sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Pengelola keuangan dipimpin oleh PA/KPA. PA/KPA membuat dan melaksanakan komitmen sesuai
batas anggaran yang telah ditetapkan dalam DIPA. Gambar berikut merupakan dokumen yang
menjadi tanggung jawab PA/KPA.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk
mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran
anggaran belanja negara. PPK melaksanakan kewenangan KPA. PPK dapat ditetapkan lebih dari 1
orang. Dalam hal tidak terdapat perubahan pejabat yang ditetapkan sebagai PPK pada saat
penggantian periode tahun anggaran, penetapan PPK tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku.
Jabatan PPK tidak boleh dirangkap oleh PPSPM dan bendahara. PPK bertanggung jawab atas
kebenaran materiil dan akibat yang timbul dari penggunaan bukti mengenai hak tagih kepada
negara.
Dalam rangka melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran Belanja
Negara, PPK memiliki tugas dan wewenang:
PPSPM melaksanakan kewenangan KPA dalam melakukan pengujian tagihan dan perintah
pembayaran atas beban anggaran Negara. PPSPM hanya ditetapkan 1 orang. Jabatan PPSPM tidak
boleh dirangkap oleh PPK dan bendahara. Dalam hal penunjukan KPA berakhir, penunjukan PPSPM
secara otomatis berakhir.
Dalam rangka melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran, PPSPM memiliki tugas dan
wewenang:
a. menguji kebenaran SPP atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPP beserta
dokumen pendukung;
b. menolak dan mengembalikan SPP, apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;
c. membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan;
d. menerbitkan SPM atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM;
e. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;
f. melaporkan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian
dan perintah pembayaran.
5. Bendahara
Menteri Keuangan bertindak sebagai Bendahara Umum Negara (BUN). Selaku BUN, Menteri
Keuangan mengangkat Kuasa BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran. Dalam melaksanakan tugas kebendaharaan Kuasa BUN memiliki tugas dan
wewenang antara lain:
Bendahara Penerimaan
Bendahara Penerimaan bertanggung jawab secara pribadi atas uang Pendapatan Negara yang
berada dalam pengelolaannya dan bertanggung jawab secara fungsional atas pengelolaan uang
Pendapatan Negara yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kuasa BUN. Pejabat/pegawai yang
akan diangkat sebagai Bendahara Penerimaan harus memiliki sertifikat Bendahara yang diterbitkan
oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk.
Bendahara Pengeluaran
Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas uang/surat berharga yang berada
dalam pengelolaannya dan bertanggung jawab secara fungsional kepada Kuasa BUN. Dalam rangka
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan anggaran belanja, kepala Satuan Kerja dapat
mengangkat Bendahara Pengeluaran Pembantu.
B. Mekanisme Penerimaan
Pendapatan negara harus disetorkan ke Kas Negara. Pendapatan negara yang diterima KL tidak
boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran. Apabila KL memiliki Satuan Kerja (Satker)
yang telah menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), satker tersebut dapat
menggunakan secara langsung pendapatan negara yang dipungut tanpa terlebih dahulu
menyetorkan ke Kas Negara. Penyetoran pendapatan negara menggunakan sistem penerimaan
negara.
1. Penerimaan Perpajakan
Penerimaan Perpajakan adalah semua Penerimaan Negara yang terdiri atas pajak dalam negeri dan
pajak perdagangan internasional.
b. Jenis Pajak
Ditinjau dari segi pemungut pajak, pajak dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1) Pajak Negara, sering disebut pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang
terdiri atas:
• Pajak Penghasilan
• Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali
dengan UU No. 36 Tahun 2008.
• Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
• Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009.
• Bea Materai, UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
• Bea Masuk, UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
• Cukai, UU No. 11 Tahun 1995 jo. UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
2) Pajak Daerah, sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut
jenis-jenis Pajak Daerah:
• Pajak Provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok
• Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
• Sistem pemungutan pajak
Tidaklah mudah memungut pajak. Perlu disiapkan sumber daya yang besar untuk memungut pajak
tiap wajib pajak. Agar tidak menimbulkan banyak masalah, maka pemungutan pajak ditentukan dari
sistem pemungutannya yaitu:
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas pajak) untuk
menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku
lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun 1984. Ciriciri sistem pemungutan pajak ini adalah:
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri,
melaporkan sendiri, dan membayar sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri
sistem pemungutan pajak ini adalah:
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepadapihak lain atau pihak ketiga untuk
memotong dan memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Pihak ketiga disini
adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia sesuai dengan asas pemungutan pajak menganut sistem
pemungutan pajak self assesment system dan witholding system.
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
a. Jenis-jenis PNBP
Pengelompokkan PNBP diatur dalam UU No. 20 Tahun 1997. Selanjutnya ditetapkan dalam PP No.
22 Tahun 1997 yang telah diubah dalam PP No. 52 Tahun 1998 dengan menjabarkan jenis-jenis PNBP
yang berlaku umum di semua Kementerian dan Lembaga Non Kementerian, sebagai berikut :
1) Penerimaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan sisa anggaran pembangunan);
2) Penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan Negara;
3) Penerimaan hasil penyewaan barang/kekayaan Negara;
4) Penerimaan hasil penyimpanan uang negara (jasa giro);
5) Penerimaan ganti rugi atas kerugian negara (tuntutan ganti rugi dan tuntutan
perbendaharaan);
6) Penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah; dan
7) Penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang.
b. Pengelolaan PNBP
PNBP dipungut atau ditagih oleh Instansi Pemerintah (Kementerian dan Lembaga Non Kementerian)
sesuai peraturan, berdasarkan Rencana PNBP yang dibuat oleh Pejabat Instansi Pemerintah
tersebut. PNBP yang telah dipungut atau ditagih tersebut wajib dilaporkan secara tertulis oleh
Pejabat Instansi Pemerintah kepada Menteri Keuangan dalam bentuk Laporan Realisasi PNBP
Triwulan yang disampaikan paling lambat 1(satu) bulan setelah triwulan tersebut berakhir.
Walaupun PNBP memiliki sifat segera harus disetorkan ke kas negara, namun sebagian dana dari
PNBP yang telah dipungut dapat digunakan untuk kegiatan tertentu oleh instansi yang bersangkutan.
Pemberian ijin penggunaan dan besaran jumlah ditentukan oleh Menteri Keuangan melalui
Keputusan Menteri Keuangan, setelah Pimpinan instansi pemerintah mengajukan permohonan yang
sedikitnya dilengkapi dengan :
1) tujuan penggunaan dana PNBP antara lain untuk meningkatkan pelayanan, meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, meningkatkan produktivitas kerja serta meningkatkan
efisiensi perekonomian
2) rincian kegiatan pokok instansi dan kegiatan yang akan dibiayai PNBP;
3) jenis PNBP beserta tarif yang berlaku; dan
4) laporan realisasi dan perkiraan tahun anggaran berjalan serta perkiraan untuk 2(dua) tahun
anggaran mendatang.
Kegiatan penatausahaan sebagian dana dari PNBP ini dilakukan oleh pimpinan
instansi/bendaharawan penerima dan bendaharawan pengguna, yang ditunjuk setiap awal tahun
anggaran. Apabila terdapat saldo lebih maka pada akhir tahun anggaran wajib disetor seluruhnya ke
Kas Negara.
c. PNBP terutang
PNBP yang harus dibayar pada suatu saat atau dalam suatu periode tertentu menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku disebut PNBP yang Terutang.Jumlah PNBP yang terutang
ditentukan dengan cara :
1) ditetapkan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian paten, pelayanan pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan penjualan karcis masuk; atau
2) dihitung sendiri oleh Wajib Bayar, antara lain pemanfaatan sumber daya alam.
Pengaturan PNBP terutang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Terutang, dihitung dengan menggunakan tarif:
1) spesifik;
2) advalorem; atau
3) ketentuan perundang-undangan.
Untuk pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak, penyetoran dilakukan menggunakan formulir
SSBP (Surat Setoran Bukan Pajak) dan disampaikan kepada Bendahara Penerimaan Satuan Kerja.
Wajib bayar yang menghitung sendiri PNBP yang terutang harus menyampaikan surat tanda bukti
pembayaran yang sah kepada Menteri Keuangan c.q. Dirjen Anggaran.
Apabila Wajib Bayar tidak melakukan pembayaran sampai melampaui jatuh tempo, maka akan
dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan dari bagian yang terutang dan bagian dari bulan dihitung 1
(satu) bulan penuh. Pemberian denda ini juga berlaku dalam hal terjadiketerlambatan kekurangan
pembayaran PNBP dan hanya dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.Terhadap
PNBP yang Terutang dilakukan pemeriksaan oleh instansi berwenang untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Instansi yang berwenang
adalah BPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pendapatan Hibah
Klasifikasi hibah dapat dibedakan menurut bentuk hibah, mekanisme pencairan hibah, dan sumber
hibah.
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, dalam pelaksanaan operasional penerimaan,
membuka rekening penerimaan pada bank umum/kantor pos. Rekening penerimaan tersebut
digunakan untuk menampung penerimaan negara setiap hari pada Bank Persepsi/Devisa
Persepsi/Pos Persepsi. Saldo rekening penerimaan pada Bank Persepsi/Devisa Persepsi/Pos Persepsi
setiap akhir hari kerja wajib disetorkan ke rekening Kas Umum Negara (KUN). Ilustrasi dari proses
tersebut dapat dipelajari dari gambar berikut
Gambar 3.3 Ilustrasi proses penerimaan Negara
C. Mekanisme Pembayaran
Dalam melaksanakan anggaran belanja, mekanisme pembayaran disesuaikan dengan PMK Nomor
190/PMK.05/2012 sebagaimana diubah dengan PMK Nomor 178/PMK.05/2018 tentang tata cara
pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN. Pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran
pada DIPA yang mengakibatkan pengeluaran negara, dilakukan melalui pembuatan komitmen.
Pembuatan komitmen dilakukan dalam bentuk perjanjian/kontrak untuk pengadaan barang/jasa
dan/atau penetapan keputusan. Anggaran yang sudah terikat dengan komitmen tidak dapat
digunakan untuk kebutuhan lain.
Bentuk perjanjian/kontrak untuk pengadaan barang/jasa sampai dengan batas nilai tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah
dapat berupa bukti-bukti pembelian/pembayaran. Perjanjian/kontrak pengadaan barang/jasa hanya
dapat dibebankan pada DIPA tahun anggaran berkenaan.
Pembuatan komitmen melalui penetapan keputusan yang mengakibatkan pengeluaran negara
antara lain digunakan untuk:
d. belanja bantuan sosial yang disalurkan dalam bentuk uang kepada penerima bantuan sosial
Perjanjian/kontrak yang pembayarannya akan dilakukan melalui Surat Perintah Membayar Langsung
(SPM-LS), PPK mencatat perjanjian/kontrak yang telah ditandatangani ke dalam sistem yang
disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
STANDAR UMUM
A. PENDAHULUAN
Standar pemeriksaan merupakan hal yang mendasar bagi terwujudnya kredibilitas, kualitas dan
profesionalisme pemeriksaan di lingkup keuangan negara. SPKN yang dikembangkan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPKRI) mengatur penugasan pemeriksaan dan mencakup
prinsip‐prinsip profesional dengan tujuan untuk mendukung pelaksanaan pemeriksaan yang
independensi dan efektif.
Tujuan pemeriksa dalam melaksanakan Standar Umum adalah sebagai dasar untuk dapat
menerapkan standar pelaksanaan dan standar pelaporan secara efektif. Dengan demikian, standar
umum ini harus diikuti oleh BPK dan semua Pemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan
Standar Pemeriksaan.
B. KETENTUAN
1. Etika;
2. Independensi, integritas, dan profesionalisme;
3. pengendalian mutu;
4. kompetensi;
5. pertimbangan ketidakpatuhan, kecurangan, dan ketidakpatutan;
6. komunikasi pemeriksaan; dan dokumentasi pemeriksaan dalam pelaksanaan dan pelaporan
hasil pemeriksaan;
7. hubungan dengan standar profesi yang digunakan oleh akuntan publik; serta
8. kewajiban Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dan akuntan publik dalam pemeriksaan
keuangan negara.
1. Etika
Etika mencerminkan nilai‐nilai dan prinsip‐prinsip menyeluruh yang harus menjadi panduan
keseharian bagi Anggota BPK dan Pemeriksa. Etika merupakan elemen penting nilai akuntabilitas dan
harapan publik kepada BPK dan Pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan. Independensi,
kewenangan dan tanggung jawab pemeriksa menuntut pemenuhan etika yang ketat.
2. Independensi, Integritas, dan Profesionalisme
Pemeriksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mematuhi nilai‐nilai dasar tersebut.
BPK perlu memperhatikan gangguan pribadi terhadap independensi pemeriksanya. Gangguan
pribadi yang disebabkan oleh suatu hubungan dan pandangan pribadi mungkin mengakibatkan
Pemeriksa membatasi lingkup pertanyaan dan pengungkapan atau melemahkan temuan dalam
segala bentuknya. Pemeriksa bertanggung jawab untuk memberitahukan kepada pejabat yang
berwenang di BPK apabila memiliki gangguan pribadi terhadap independensi. Gangguan pribadi dari
pemeriksa secara individu antara lain:
a. memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat
kedua dengan jajaran manajemen entitas atau program yang diperiksa;
b. memiliki kepentingan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung pada entitas atau
program yang diperiksa;
c. pernah bekerja atau memberikan jasa kepada entitas atau program yang diperiksa dalam kurun
waktu 2 (dua) tahun terakhir;
d. mempunyai hubungan kerja sama dengan entitas atau program yang diperiksa; serta
e. terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek pemeriksaan, seperti
memberikan asistensi, jasa konsultasi, pengembangan sistem, menyusun dan/atau mereviu laporan
keuangan entitas atau program yang diperiksa. Integritas antara lain diwujudkan dalam sikap jujur,
objektif, dan tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan. Gangguan terhadap integritas
meliputi antara lain:
a. meminta dan/atau menerima uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya baik langsung maupun
tidak langsung dari pihak yang terkait dengan pemeriksaan;
Pemeriksa harus menggunakan kemahiran profesional secara cermat dan seksama, skeptisisme
profesional, dan pertimbangan profesional di seluruh proses pemeriksaan. Pemeriksa harus
menggunakan kemahiran profesional secara cermat dan seksama dalam menentukan jenis
pemeriksaan yang akan dilaksanakan, menentukan lingkup pemeriksaan, memilih metodologi,
menentukan jenis dan jumlah bukti yang akan dikumpulkan, atau dalam memilih pengujian dan
prosedur untuk melaksanakan pemeriksaan, serta dalam melakukan penilaian dan pelaporan hasil
pemeriksaan.
Pemeriksa harus menggunakan skeptisisme profesional dalam menilai risiko terjadinya kecurangan
yang secara signifikan untuk menentukan faktor‐faktor atau risiko‐risiko yang secara signifikan dapat
mempengaruhi pekerjaan pemeriksa apabila kecurangan terjadi atau mungkin telah terjadi.
Pemeriksa harus menggunakan skeptisisme profesional terhadap hal‐hal, antara lain, sebagai
berikut:
(1) bukti pemeriksaan yang bertentangan dengan bukti pemeriksaan lain yang diperoleh;
(2) informasi yang menimbulkan pertanyaan tentang keandalan dokumen dan tanggapan terhadap
permintaan keterangan yang digunakan sebagai bukti pemeriksaan;
(4) kondisi yang memungkinkan perlunya prosedur pemeriksaan tambahan selain prosedur yang
dipersyaratkan dalam pedoman pemeriksaan.
d. tingkat keyakinan;
e. lingkup pemeriksaan;
f. risiko pemeriksaan;
g. prosedur pemeriksaan yang akan digunakan terkait dengan risiko pemeriksaan; dan
h. materialitas.
Pemeriksa juga harus menggunakan pertimbangan profesional dalam mengevaluasi kecukupan dan
ketepatan bukti pemeriksaan yang diperoleh, dan langkah‐langkah untuk mencapai tujuan
keseluruhan pemeriksaan telah dilakukan. Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesional
dalam membuat kesimpulan berdasarkan bukti pemeriksaan yang diperoleh
C. Pengendalian Mutu
Salah satu tantangan besar yang dihadapi BPK adalah bagaimana BPK dapat menyerahkan hasil
pemeriksaan yang berkualitas secara konsisten. Kualitas hasil pemeriksaan mempengaruhi reputasi
dan kredibilitas BPK dalam memenuhi mandatnya.
BPK harus menetapkan suatu standar pengendalian mutu untuk menjamin kualitas hasil
pemeriksaannya. Dalam menerapkan standar pengendalian mutu, BPK harus menetapkan dan
mengembangkan sistem pengendalian mutu untuk memastikan agar Pemeriksaan sesuai dengan
standar pemeriksaan dan ketentuan peraturan perundang‐undangan. Sistem pengendalian mutu
terdiri dari prosedur dan kebijakan untuk memastikan pemerolehan hasil pemeriksaan yang
bermutu tinggi sesuai dengan standar pemeriksaan dan ketentuan peraturan perundang‐undangan.
Pemeriksa harus menerapkan sistem pengendalian mutu pada saat penugasan untuk memberikan
keyakinan memadai bahwa Pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan dan ketentuan
peraturan perundang‐undangan, dan LHP adalah tepat sesuai dengan kondisinya.
D. Kompetensi
Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kompetensi profesional yang memadai untuk
melaksanakan tugas pemeriksaan. Kompetensi profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat
profesional yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang atau dokumen lainnya yang menyatakan
keahlian. Kompetensi profesional mencakup pendidikan dan pengalaman.
Kompetensi profesional tidak hanya diukur secara kuantitatif dengan berapa lama pengalaman
pemeriksaan, karena hal tersebut tidak dapat menggambarkan secara akurat jenis pengalaman yang
dimiliki pemeriksa. Elemen terpenting bagi Pemeriksa adalah mempertahankan kecakapan
profesional melalui komitmen untuk belajar dan pengembangan dalam seluruh kehidupan
profesional pemeriksa.
Pemeriksa yang ditugaskan untuk melaksanakan Pemeriksaan menurut standar pemeriksaan harus
secara kolektif memiliki kompetensi:
a. latar belakang pendidikan, keahlian dan pengalaman, serta pengetahuan tentang standar
pemeriksaan yang dapat diterapkan terhadap jenis pemeriksaan yang ditugaskan;
b. pengetahuan umum tentang lingkungan entitas, program, dan kegiatan yang diperiksa (objek
pemeriksaan);
c. keterampilan berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan; dan
d. keterampilan yang memerlukan pengetahuan khusus dalam bidang tertentu sesuai dengan
Selanjutnya, BPK harus menentukan kompetensi yang dibutuhkan untuk memastikan Pemeriksa
memiliki keahlian yang sesuai untuk melakukan penugasan pemeriksaan. Pemeriksa juga diwajibkan
memelihara kompetensinya melalui pendidikan profesional berkelanjutan paling singkat 80 (delapan
puluh) jam dalam 2 (dua) tahun.
Penggunaan Tenaga Ahli dan Tenaga Pemeriksa di Luar BPK BPK dapat menggunakan tenaga ahli
yang kompeten. Tenaga ahli dapat digunakan untuk memberikan saran kepada Pemeriksa maupun
menjadi bagian dari tim Pemeriksa. Dalam penggunaan tenaga ahli, BPK harus meyakini bahwa
tenaga ahli tersebut independen, memenuhi kualifikasi, kompeten dalam bidangnya, dan harus
mendokumentasikan keyakinan tersebut. BPK dapat menggunakan tenaga pemeriksa di luar BPK dan
harus independen dan memiliki kompetensi yang diperlukan. Kompetensi tenaga pemeriksa di luar
BPK dibuktikan dengan sertifikat profesional yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang atau
dokumen lainnya yang menyatakan keahlian. Dengan demikian, BPK bertanggung jawab untuk
memastikan tenaga ahli dan tenaga pemeriksa di luar BPK yang terlibat dalam proses pemeriksaan
memenuhi persyaratan pendidikan berkelanjutan.
Pemeriksa harus merancang pemeriksaan untuk memberikan keyakinan yang memadai guna
mendeteksi ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang‐undangan, kontrak, dan
produk hukum lainnya yang berpengaruh langsung dan material terhadap hal pokok/informasi hal
pokok yang diperiksa. Pengaruh langsung dan material dapat berupa:
b. hal yang menyebabkan penyimpangan kinerja terkait aspek ekonomis,efisiensi, dan efektivitas;
Pemeriksa harus mengindentifikasi faktor risiko kecurangan dan menilai risiko adanya
ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang‐undangan yang disebabkan oleh
kecurangan (fraud) dan/atau ketidakpatutan (abuse). Risiko tersebut harus dianggap sebagai risiko
yang signifikan (significant risks). Oleh karena itu, Pemeriksa harus memperoleh pemahaman
tentang pengendalian yang terkait dengan risiko tersebut.
Pemeriksa hanya berkepentingan terhadap indikasi awal kecurangan yang menimbulkan dampak
material terhadap opini ataupun kesimpulan. Walau Pemeriksa menemukan indikasi awal
kecurangan, Pemeriksa tidak berwenang untuk menyatakan kecurangan telah terjadi karena istilah
kecurangan merupakan ranah hukum. Apabila terdapat risiko ketidakpatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang‐undangan yang berindikasi kecurangan dan ketidakpatutan yang secara
signifikan memengaruhi hal pokok/informasi hal pokok yang diperiksa, Pemeriksa harus
memodifikasi prosedur untuk mengidentifikasi terjadinya kecurangan dan/atau ketidakpatutan.
Selanjutnya, Pemeriksa harus menentukan dampaknya terhadap hal pokok/informasi hal pokok yang
diperiksa.
PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang
memadai. Predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan selain PDTT dalam bentuk pemeriksaan
investigatif, informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Temuan atau informasi tersebut harus
diuji kelayakannya sebelum bisa diterima sebagai predikasi.
F. Komunikasi Pemeriksaan
Pemeriksa harus membangun komunikasi yang efisien dan efektif di seluruh proses pemeriksaan,
supaya proses pemeriksaan berjalan dengan lancar dan hasil pemeriksaan dapat dimengerti dan
ditindaklanjuti oleh pihak yang bertanggung jawab dan/atau pemangku kepentingan terkait.
Pemeriksa mengomunikasikan hal‐hal yang terkait dengan proses pemeriksaan, antara lain tujuan
pemeriksaan, lingkup pemeriksaan, waktu pemeriksaan, kriteria pemeriksaan, temuan pemeriksaan,
dan kesulitan atau batasan yang ditemui saat pemeriksaan. Khusus PDTT dalam bentuk pemeriksaan
investigatif, Pemeriksa dapat membatasi komunikasi tentang hal‐hal yang terkait dengan proses
pemeriksaan.
Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesional untuk menentukan bentuk, isi, dan
intensitas komunikasi. Apabila ada penghentian pemeriksaan, Pemeriksa harus memberikan
penjelasan secara tertulis kepada pejabat yang memberikan penugasan. BPK harus
mengomunikasikan secara tertulis alasan penghentian pemeriksaan kepada entitas yang diperiksa,
entitas yang meminta dilakukan pemeriksaan, lembaga perwakilan, dan/atau instansi penegak
hukum.
G. Dokumentasi Pemeriksaan
Pemeriksa harus menyusun dokumentasi pemeriksaan yang memadai secara tepat waktu pada
seluruh tahapan pemeriksaan. Di sisi lain, Pemeriksa juga wajib memberikan pemahaman yang jelas
atas prosedur pemeriksaan yang dilakukan, pertimbangan profesional, bukti yang diperoleh, dan
kesimpulan yang dibuat. Pemeriksa harus menyusun dokumentasi pemeriksaan guna memberikan
informasi yang jelas dan memadai. Melalui dokumentasi tersebut, Pemeriksa lain yang tidak memiliki
latar belakang pengetahuan atas pemeriksaan tersebut dapat memahami sifat, waktu, lingkup, dan
hasil dari prosedur pemeriksaan yang dilaksanakan, bukti yang diperoleh dalam mendukung temuan,
kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksaan, serta alasan dibalik semua hal signifikan yang
dibutuhkan dalam mengambil pertimbangan profesional dan kesimpulan terkait. BPK harus
mengembangkan sistem dokumentasi pemeriksaan yang efisien dan efektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang‐undangan.
Dalam pemeriksaan keuangan, Standar Pemeriksaan ini memberlakukan standar audit yang dimuat
dalam SPAP yang ditetapkan oleh asosiasi profesi akuntan publik, sepanjang tidak diatur lain dalam
Standar Pemeriksaan ini.
I. Kewajiban Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dan Akuntan Publik dalam Pemeriksaan
Keuangan Negara
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang melaksanakan audit kinerja dan audit dengan tujuan
tertentu, dan akuntan publik yang memeriksa keuangan negara berdasarkan ketentuan undang‐
undang wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang relevan dalam Standar Pemeriksaan ini.
A. Pendahuluan
BPK merupakan satu‐satunya lembaga negara yang bertugas dan berwenang melakukan
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, Undang‐Undang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada BPK. Kebebasan
tersebut meliputi kebebasan untuk menyusun perencanaan dan kebebasan untuk melaksanakan dan
melaporkan hasil pemeriksaan, sedangkan kemandirian mencakup ketersediaan sumber daya
manusia, anggaran, dan sarana pendukung lainnya yang memadai.
Dalam rangka mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, BPK memerlukan
Nilai Dasar BPK yang meliputi independensi, integritas, dan profesionalisme yang diwujudkan dalam
bentuk Kode Etik yang berlaku bagi Anggota BPK dan Pemeriksa.
Kode Etik sebagai perwujudan Nilai Dasar BPK merupakan pedoman untuk dipahami, diamalkan, dan
diwujudkan dalam sikap, perkataan, dan perbuatan untuk mewujudkan BPK dan Pemeriksa yang
beretika, bermoral, berdisiplin, profesional, produktif, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, sehingga diperoleh hasil pemeriksaan yang bermutu bagi penyempurnaan
tata kelola keuangan negara.
Sasaran yang ingin dicapai dalam menerapkan Nilai Dasar BPK antara lain untuk:
a. menumbuh kembangkan nilai‐nilai moral dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang
bersumber pada nilai‐nilai Pancasila, agama, etika, peraturan perundang‐ undangan, serta standar
dan pedoman pemeriksaan;
b. memperbaiki persepsi, pola pikir, dan, perilaku yang menyimpang dalam melaksanakan tugas
dan wewenang;
c. meningkatkan keahlian dan keterampilan melalui forum profesional, agar lebih peka, kreatif, dan
dinamis untuk memperbaiki kinerja secara berkesinambungan; dan
d. meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap martabat, kehormatan, citra, kredibilitas, dan
hasil pemeriksaan BPK.
Pengaturan tentang Kode Etik BPK pertama kali diatur dalam Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2007
yang kemudian diubah dengan Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2011, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun
2016, dan terakhir diubah melalui Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan
Pemeriksa Keuangan.
Berdasarkan Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik BPK, yang dimaksud dengan
kode etik adalah norma‐norma yang sesuai dengan Nilai Dasar BPK yang berisi kewajiban dan
larangan yang harus dipatuhi oleh setiap Anggota BPK dan Pemeriksa selama menjalankan tugasnya
untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK.
Kode Etik bertujuan untuk mewujudkan Anggota BPK dan Pemeriksa yang independen, berintegritas,
dan profesional dalam tugas pemeriksaan demi menjaga martabat, kehormatan, citra, dan
kredibilitas BPK.
Kode Etik ini berlaku bagi Anggota BPK dan Pemeriksa. Kode Etik harus diwujudkan dalam sikap,
ucapan, dan perbuatan Anggota BPK dan Pemeriksa selama menjalankan tugasnya.
Pemeriksa di sini merupakan Pelaksana BPK, baik yang menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa
maupun tidak, dan pihak lainnya (pemeriksa di lingkungan aparat pengawasan intern pemerintah,
akuntan publik, dan/atau tenaga ahli lain yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BPK).
a. setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang‐
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. melaksanakan sumpah atau janji yang diucapkan ketika mulai memangku jabatannya;
g. menjaga rahasia negara atau rahasia jabatan;
a. menjadi anggota organisasi yang dinyatakan dilarang secara sah di wilayah Republik Indonesia
dan organisasi lain yang menimbulkan keresahan masyarakat;
b. memperlambat atau tidak melaporkan Hasil Pemeriksaan yang mengandung unsur pidana
kepada instansi yang berwenang;
c. menggunakan keterangan, bahan, data, informasi, atau dokumen lainnya yang diperolehnya
pada waktu melaksanakan tugas yang melampaui batas kewenangannya kecuali untuk kepentingan
penyidikan yang terkait dengan dugaan adanya tindak pidana;
d. secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemilik seluruh, sebagian, atau penjamin badan
usaha yang melakukan usaha dengan tujuan untuk mendapatkan laba atau keuntungan atas beban
keuangan negara;
g. meminta dan/atau menerima uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya baik langsung maupun
tidak langsung dari pihak yang terkait dengan Pemeriksaan;
h. melakukan kegiatan baik secara sendiri‐sendiri maupun dengan orang lain yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan keuangan negara;
i. melakukan kegiatan yang dapat menguntungkan kelompoknya dengan memanfaatkan status dan
kedudukannya baik langsung maupun tidak langsung;
k. menjalankan pekerjaan dan profesi lain yang dapat mengganggu Independensi, Integritas, dan
Profesionalismenya selaku Anggota BPK;
l. memanfaatkan status, kedudukan, dan peranannya selaku pejabat negara untuk kepentingan
pribadi, seseorang, dan/atau golongan;
m. merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, dan badan‐badan lain yang
mengelola keuangan negara, swasta nasional/asing, tidak termasuk organisasi nirlaba;
o. terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek Pemeriksaan, seperti
memberikan jasa asistensi, jasa konsultasi, jasa pengembangan sistem, jasa penyusunan dan/atau
review laporan keuangan objek Pemeriksaan; dan
a. setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang‐
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. bersikap jujur, tegas, bertanggung jawab, objektif, dan konsisten dalam mengemukakan
pendapat berdasarkan fakta Pemeriksaan;
f. mampu mengendalikan diri, bertingkah laku sopan, dan bekerja sama yang baik dalam
pelaksanaan tugas;
a. setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang‐
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. bersikap jujur, tegas, bertanggung jawab, objektif, dan konsisten dalam mengemukakan
pendapat berdasarkan fakta Pemeriksaan;
f. mampu mengendalikan diri, bertingkah laku sopan, dan bekerja sama yang baik dalam
pelaksanaan tugas;
j. melaksanakan tugas Pemeriksaan secara cermat, teliti, dan akurat sesuai dengan standar
Pemeriksaan; dan
a. menjadi anggota organisasi yang dinyatakan dilarang secara sah di wilayah Republik Indonesia
dan organisasi lain yang menimbulkan keresahan masyarakat;
b. menjadi perantara dalam pengadaan barang dan/atau jasa di lingkungan entitas yang melakukan
pengelolaan keuangan negara;
c. meminta dan/atau menerima uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya baik langsung maupun
tidak langsung dari pihak yang terkait dengan Pemeriksaan;
d. menyalahgunakan dan melampaui wewenangnya baik sengaja atau karena kelalaiannya;
f. memanfaatkan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan atau jabatannya untuk
kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau golongan;
i. menjadi pengurus yayasan dan/atau badan‐badan usaha yang kegiatannya dibiayai anggaran
negara;
j. terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek Pemeriksaan, seperti
memberikan jasa asistensi, jasa konsultasi, jasa pengembangan sistem, jasa penyusunan dan/atau
review laporan keuangan objek Pemeriksaan;
k. mendiskusikan pekerjaannya dengan pihak yang diperiksa di luar kantor BPK atau di luar kantor
atau area kegiatan objek Pemeriksaan;
n. mengubah tujuan dan lingkup Pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam program Pemeriksaan
tanpa persetujuan Penanggung Jawab Pemeriksaan;
o. mengungkapkan laporan Hasil Pemeriksaan atau substansi Hasil Pemeriksaan yang belum
diserahkan kepada DPR, DPD, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kepada media massa
dan/atau pihak lain;
D. Sanksi
1. Sanksi Bagi Anggota BPK
Anggota BPK yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan yang berdampak
negatif terhadap unit pelaksana tugas pemeriksaan, dijatuhi sanksi berupa peringatan tertulis.
Anggota BPK yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan yang
berdampak negatif pada negara dan/atau BPK, dijatuhi sanksi berupa pemberhentian dari
keanggotaan BPK.
Anggota BPK yang melakukan pelanggaran Kode Etik berikutnya dijatuhi sanksi Kode Etik yang lebih
berat.
Pemeriksa yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan yang berdampak
negatif terhadap tim Pemeriksa atau satuan kerja, dijatuhi sanksi tingkat ringan. Jenis sanksi tingkat
ringan untuk Pemeriksa berupa larangan melakukan Pemeriksaan selama 1 (satu) tahun dengan
masa percobaan selama 6 (enam) bulan.
Pemeriksa yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan yang berdampak
negatif terhadap unit pelaksana tugas Pemeriksaan, dijatuhi sanksi tingkat sedang. Jenis sanksi
tingkat sedang untuk Pemeriksa berupa diberhentikan sebagai Pemeriksa paling sedikit 1 (satu)
tahun atau paling lama 2 (dua) tahun.
Pemeriksa yang melakukan pelanggaran terhadap Kewajiban dan/atau Larangan yang berdampak
negatif terhadap negara dan/atau BPK, dijatuhi sanksi tingkat berat. Jenis sanksi tingkat berat untuk
Pemeriksa berupa diberhentikan sebagai Pemeriksa paling sedikit 3 (tiga) tahun atau diberhentikan
secara tetap sebagai Pemeriksa.
Pemeriksa yang dijatuhi sanksi sedang dan berat dilarang ditugaskan dalam Pemeriksaan.
Pengenaan sanksi‐sanksi tersebut juga tidak membebaskan dari kewajiban untuk mengembalikan
uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya yang diperoleh selama melaksanakan tugas Pemeriksaan.
3. Penyampaian Putusan
Putusan tentang sanksi yang dijatuhkan bagi Anggota BPK dan Pemeriksa disampaikan kepada BPK
untuk diketahui. Putusan tentang sanksi atas pelanggaran Kode Etik bagi Pemeriksa dicatat
dalam Sistem Informasi Sumber Daya Manusia dan tidak membebaskan dari hukuman disiplin
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Putusan tentang sanksi yang dijatuhkan kepada pihak lain disampaikan
kepada instansi, instansi pengawas profesi, atau asosiasi profesi yang bersangkutan.
BAB II
PEMBAHASAN
Peristiwa bermula saat Sofyan dan sejumlah pejabat Inspektorat Jendral (Itjen)
Kemendiknas mengadakan rapat penyusunan kegiatan joint audit dalam rangka pengawasan
dan pemeriksaan (wasrik) di lingkungan Itjen Depdiknas. Itjen Depdiknas mendapatkan
tambahan anggaran serta melibatkan BPKP dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Sofyan lalu
menandatangani kerja sama tersebut. Ada 5 program pendidikan nasional yang menjadi objek
wasrik meliputi program peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, sertifikasi guru dan
lain-lain. Itjen Depdiknas mendapatkan alokasi Rp 183,649 miliar untuk pelaksanaan joint
audit tersebut, Sofyan selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) menetapkan kegiatan dan
pemberian anggaran sesuai inspektorat masing-masing. Inspektorat I dan II masing-masing
mendapatkan anggaran sebesar Rp 55,554 miliar, inspektorat III Rp 9,080 miliar, inspektorat
IV Rp 22,832 miliar dan inspektorat investigatif mendapatkan Rp 40,627 miliar.
Selanjutnya, Sofyan memerintahkan Inspektorat 1 menyusun SOP wasrik di Bogor,
namun kegiatan tersebut tidak dilakukan, tapi terdakwa memerintahkan Suharyanto
mencairkan anggaran Rp 319,097 juta. Sofyan memerintahkan Bendahara Pengeluaran
Pembantu (BPP) Tini Suhartini membuat pertanggung jawaban seolah-olah penyusunan SOP
wasrik telah dilaksanakan, sedangkan uang tersebut sudah dibagikan kepada Sofyan dan
sejumlah peserta. Sofyan, Apip, Suharyanto, dan Sam Yohn masing_masing mendapatkan
Rp 8,35 juta dan Rp 234,097 juta dibagikan pada para peserta. Sisanya Rp 51,6 juta
digunakan untuk biaya pembuatan kwitansi fiktif, operasional tim pengendali pusat, bantuan
lembur Suharyanto dan operasional Inspektorat I. Dalam kegiatan tersebut Sofyan juga
memerintahkan Tini memotong lima persen dari uang harian yang diterima masing-masing
peserta, seluruhnya Rp 81 juta. Sofyan juga memerintahkan pencairan transportasi dan
penginapan para peserta, namun perbuatan ini telah dilakukan Sofyan pada pelaksanaan
warsik dan penyusunan laporan nasional sebelumnya.
Dalam kasus ini telah terjadi pelanggaran etika profesi akuntansi oleh auditor BPKP
dan Itjen Depdiknas yaitu menerima sesuatu yang bukan haknya dan tidak
mempertimbangkan aspek moral dan professional. Auditor BPKP lebih mementingkan
kepentingan Anggota Itjen Kemendikbud dan dirinya sendiri, serta merugikan rakyat karena
penyalahgunaan uang negara. Selain itu auditor BPKP menutupi suatu kecurangan dan ikut
merancang strategi agar kecurangan tidak diketahui oleh hukum.
1. Integritas
Pada kasus ini beberapa auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku audit internal dari
KEMENDIKBUD bekerja sama dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan
Nasional untuk melakukan kecurangan yang dilkakukan untuk keuntungan pribadi
masing-masing. Hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip etika yakni integritas yang tidak
hanya menyatakan kejujuran, namun juga hubungan wajar dan keadaan yang sebenarnya.
Seorang auditor seharusnya jujur dan bersikap adil serta dapat dipercaya dalam
hubungan profesionalnya. Tetapi dalam kasus ini auditor BPK, maupun BPKP telah
melanggar etika dan integritas tugasnya dengan melakukan kecurangan yang akan
menghambat kemampuan, dengan menerima suap dari Inspektorat Jendral yang akan
mempengaruhi segala macam tindakan dalam pekerjaan dan terlibat dalam keikutsertaan
atau membantu kegiatan yang akan mencemarkan nama baik profesi
2. Objektivitas
Prinsip objektivitas menentukan kewajiban bagi auditor intern pemerintah untuk berterus
terang, jujur secara intelektual dan bebas dari konflik kepentingan. Auditor intern
pemerintah membuat penilaian berimbang dari semua keadaan yang relevan dan tidak
Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) Kode Etik Auditor Intern
Pemerintah Indonesia (KE-AIPI) 4 dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingannya sendiri
ataupun orang lain dalam membuat penilaian. Dalam kasus ini, beberapa auditor dari
BPKP dan BPK, melakukan kecurangan untuk kepentingan pribadinya dan kepentingan
orang lain.
Seorang auditor seharusnya tidak boleh berkompromi mengenai penilaian
profesionalnya untuk kepentingan pribadi dan terpengaruh orang lain, seperti
memberitahukan informasi dengan wajar dan objektif dan mengungkapkan sepenuhnya
informasi relevan. Auditor seharusnya bersifat objektif karena pekerjaan sebagai seorang
auditor menuntut untuk bersifat independen. Auditor tidak boleh terpengaruh oleh pihak
lain dalam tugasnya, karena hasil tugasnya akan ditanggung jawabkan kepada
masyarakat umum. Namun pada kasus ini, auditor tidak bersifat objektif, seperti auditor
BPK yang justru menerima komisi pada saat menyusun SOP kegiatan audit Pengawasan
dan Pemeriksaan Sarana & Prasarana bersama Itjen KEMENDIKNAS.
3. Kompetensi
Auditor intern pemerintah menerapkan pengetahuan, keahlian dan keterampilan, serta
pengalaman yang diperlukan dalam pelaksanaan layanan pengawasan intern. Dalam
kasus ini terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan penyusunan Standar Operasi
Prosedur (SOP) kegiatan audit Pengawasan dan Pemeriksaan Sarana dan Prasarana
(Wasrik Sarpras). Audit BPKP, BPK, dan KEMENDIKBUD memanfaatkan celah di
standar akuntansi untuk memanipulasi data yang ada. Semua proses dimana beberapa
pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk di
dalamnya standar, teknik, dll) dan menggunakannya untuk memanipulasi data.
4. Akuntabel
Auditor intern pemerintah wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas kinerja dan
tindakannya kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta
keterangan atau pertanggungjawaban.
Dalam kasus ini, auditor memang telah melaksanakan kewajibannya sengan
menyampaikan pertanggungjawaban atas kinerjanya. Tetapi, pertanggungjawaban yang
disampaikan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan adanya manipulasi
data yang telah dilakukan yang dikarenakan adanya pemberian komisi yang telah
diberikan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikmnas.
5. Perilaku Profesi
Auditor intern pemerintah sebaiknya bertindak dalam sikap konsisten dengan reputasi
profesi yang baik dan menahan diri dari segala perilaku yang mungkin menghilangkan
kepercayaan kepada profesi pengawasan intern atau organisasi. Secara tidak langsung
BPKP dan BPK mengemban amanah dari rakyat, mendapat kepercayaan dari rakyat
untuk melakukan audit pada Intern Pemerintah Indonesia.
Dalam Kasus ini, auditor tidak konsisten dalam menjaga reputasi profesi dan menahan
diri dari perilaku yang dapat menghilangkan kepercayaan kepada profesi pengawasan
intern atau organisasi. Dengan adanya kasus ini, kemungkinan kepercayaan yang telah
diberikan akan diragukan oleh rakyat atau bahkan kemungkinan akan hilang dengan
tidak percaya lagi terhadap Auditor Intern Pemerintah.
BAB III
PENYELESAIAN
Pelanggaran kode etik profesi harus ditegakkan kedisiplinannya, sehingga kode etik tersebut
dapat dipatuhi secara konsisten oleh semua pihak. Dalam kasus ini, diperlukan beberapa
solusi agar kasus serupa tidak terjadi kembali di masa mendatang. Beberapa solusi yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
Agar kasus serupa tidak terjadi kembali di masa mendatang, dibutuhkan sanksi yang
tegas untuk memberikan pelajaran dan efek jera kepada pihak-pihak yang melanggar. Auditor
Pemerintah yang terbukti bersalah dikenakan sanksi oleh pimpinan Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP) atas rekomendasi dari Badan Kehormatan Profesi. Berdasarkan Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/04/M.PAN/03/2008 tentang
Kode Etik APIP, bentuk-bentuk sanksi tersebut meliputi:
a. Teguran tertulis;
b. Usulan pemberhentian dari tim audit; dan
c. Tidak diberi penugasan audit selama jangka waktu tertentu.
Dalam kasus ini, hukuman yang diberikan kepada masing-masing terdakwa adalah
sebagai berikut:
1. Terdakwa Irjen Kemendikbud atas nama Mohammad Sofyan diberi hukuman berupa
pidana kurungan selama 4 tahun dan denda sebesar Rp. 647 juta.
2. Terdakwa auditor BPKP diberi hukuman berupa kurungan penjara dan diberhentikan dari
penugasan profesional sebagai auditor BPKP.
BAB IV
4.1 Kesimpulan
Etika berarti moral yang mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma
bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan. Pada kasus ini terdapat dua pelanggaran terhadap standar
perilaku etika akuntan yaitu integritas dan objective of Management Accountant dan tiga
tindakan penyimpangan yaitu Whistle blowing, Creative Accounting (akuntansi
kreatif), dan Fraud (kecurangan). Sofyan dan auditor BPKP dan BPK dinilai telah lalai dalam
menjalankan tugasnya dan mereka telah melanggar kode etik akuntan. Kasus ini bisa terjadi
karena lemahnya pengendalian internal, lemahnya sistem pengawasan, kurangnya
komunikasi, dan faktor pengendalian dari individu itu sendiri, dimana sikapnya dalam
menghadapi situasi yang tak terduga, profesionalitas dan integritasnyanya dalam bekerja
dimana perilaku dan kebiasaan yang terakumulasi dan tidak dikoreksi.
4.2 Saran
BPKP, BPK, dan Kemendikbud sebaiknya memperbaiki dan meningkatkan pengendalian
internal. Pengendalian internal dapat dilakukan dengan cara mewujudkan etika dalam
berbisnis dalam hal pembicaraan yang transparan antara semua pihak, transparansi dalam
setiap aktivitas perencanaan dan operasional, dan integritas dalam diri masing-masing
pejabat, karena tanpa adanya integritas maka keamanan dan transparansi tidak dapat terjaga.
Selain itu sistem perizinan juga harus satu atap. tujuannya agar mengurangi interaksi yang
berpotensi mengarah ke praktik korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Rianti, T Cyndi. 2015. Auditor BPKP menerima uang dari anggaran kegiatan joint audit
pengawasan dan pemeriksaan di Kemendikbud.
http://cyndirianti.blogspot.com/2015/01/auditor-bpkp-menerima-uang-dari.html.
Diakses online pada tanggal 4 Mei 2019.