Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ANALISIS PELANGGARAN KODE ETIK PEMERINTAHAN OLEH


BADAN PEMERIKSAN KEUANGAN (BPK)

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis dan Profesi Akuntan
Dosen : Rini Ratnaningsih, M.Ak

Disusun oleh:

1. Aulia Setiawan 11190560205


2. Muhammad Raihan 11190560253
3. Mifta Nur Hidayah 11190560263
4. Kurnia Irawan 11190560265

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia


Tahun ajaran 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang
menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan
penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Sedangkan
Profesi itu sendiri mengandung arti suatu bidang yang sedang dijalankan oleh seseorang.
Sebuah etika profesi mengambil peranan penting dalam kebenaran dan kejujuran atas
kegiatan yang dilakukan. Hal ini mencetuskan adanya pembuatan kode etik dalam suatu
profesi, sehingga cakupannya dapat diterima secara luas oleh semua yang menggeluti
profesi itu.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, adalah instansi pemerintah yang berhak untuk
mengemban tugas pengawasan intern yang meliputi : Audit, reviu, evaluasi, monitoring,
konsultasi, assistensi dan kegiatan pengawasan lainnya, dalam rangka memberikan nilai tambah
bagi effektifitas dan effesiensi organisasi. Dalam menjalankan tugasnya APIP dibekali dengan
standar-standar etika sebagai pedoman berperilaku dan bersikap secara professional.
Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (disingkat AAIPI) dibentuk untuk
mengemban amanat menyusun kode etik aparat pengawasan intern pemerintah. Kode Etik
Auditor Intern Pemerintah Indonesia (disingkat KE-AIPI) disusun sebagai pedoman perilaku
bagi auditor intern pemerintah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bagi
pimpinan APIP dalam mengevaluasi perilaku auditor intern pemerintah. Standar perilaku tersebut
antara lain terdiri dari: Integritas, Obyektivitas, Kerahasiaan, Kompetensi, Akuntabel, dan
Perilaku Profesional.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak ditemukan kasus penyimpangan kode etik yang
dilakukan oleh profesi-profesi akuntansi. Tindakan mark up, ingkar janji, maupun tindakan
kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian etika oleh seorang profesi akuntansi.
Padahal telah dijabarkan secara jelas mengenai kode etik dalam suatu profesi yang telah
disepakati. Hal ini yang menjadi dasar penulis menganalisis kasus pelanggaran etika akuntansi
pada kasus yang dilakukan oleh auditor BPK dengan Pejabat Kementrian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT). Banyak kasus kegagalan perusahaan yang
dikaitkan dengan kegagalan auditor yang terjadi belakangan ini, diawali dengan kasus dugaan
suap yang melibatkan BPK RI dan Pejabat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi (PDTT) tidak mematuhi prinsip tanggung jawab profesi. Mereka menerima
uang suap dari Kemendes PDTT berkaitan dengan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Kemendes tahun
anggaran 2016. Maka, banyak pelanggaran yang dilakukan oleh BPK RI tersebut, Yaitu:
Integritas, Obyektivitas, Perilaku Profesional dan Standar Teknis.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kronologi terjadinya kasus PDTT dan BPK?

2. Apa akibat yang terjadi dengan adanya kasus tersebut?

3. Apa saja kode etik yang dilanggar?

4. Apa saran/solusi yang dapat diberikan untuk mencegah kasus seperti ini terulang
kembali?
BAB II
PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN DASAR ETIKA SECARA ETIMOLOGIS, FILOSOFIS, DAN


PERKEMBANGANNYA

Secara etimologi, istilah etika berasal dari bahasa Yunani “ethos”. Kata Y unani
“ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara
berfikir. Dalam bentuk jamak “ta etha” artinya adalah adat kebiasaan. Istilah lain yang
identik dengan etika, yaitu usila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar,
prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Istilah selanjutnya adalah Akhlak
(Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.

Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari
kegiatan berfilsafat atau berfikir, yang dilakukan oleh manusia. Oleh sebab itu, etika
merupakan bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat. Frankena dalam Sumaryadi
(2010) mengemukakan bahwa etika merupakan salah satu cabang filsafat yang mencakup
filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis. Sebagai salah satu falsafah, etika
berkenaan dengan moralitas beserta persoalan persoalan dan pembenaran-
pembenarannya. Moralitas sangat diperlukan dalam masyarakat karena perannya sebagai
panduan bertindak (action guides). Selanjutnya etika senantiasa dibicarakan, dipelajari
sebagai ilmu, maka akan muncul berbagai rumusan definisi etika. Rumusan definisi etika
secara jelas dalam perkembangan sebagaimana dirumuskan oleh para etikawan (YP.
Wisok, 2009: 15-16) yaitu:

Ethics is the study of right and wrong. Etika adalah studi tentang yang benar dan
yang salah, artinya bahwa yang dimaksud adalah benar atau salahnya tindakan
manusia. Etika dalam studi ini masih terlalu sempit karena terlalu legalistik atau
etika hanya memperhatikan benar atau salahnya tindakan manusia menurut
peraturan yang berlaku.

Ethics is the study of moral. Etika adalah studi tentang pandangan moral dan
tindakan manusia. Definisi ini secara tepat menunjukkan objek material etika.
Adapun secara objek formal etika bersama ilmu-ilmu yang lainnya, seperti
sosiologis dan antropologi memberi pembatasan terhadap pandangan moral.

Ethics is not the study of what is, but of what ought be. Etika bukanlah studi
tentang apa yang ada melainkan apa yang seharusnya.

Berdasarkan pandangan tersebut, maka pengertian dan definisi etika dari para filsuf atau
ahli berbeda dalam pokok perhatiannya antara lain:

1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari
hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the
rights).
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari
kegiatan manusia (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of
human actions).
3. Ilmu mengenai watak manusia yang ideal, dan prinsip prinsip moral sebagai
individual (The science of human character in its ideal state, and moral principles as
of an individual).
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty).

Pencapaian etika dalam usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya
fikirannya dalam pemecahan masalah setiap kehidupan, tindakan yang terbaik mengarah
kepada kebenaran, kebaikan, dan ketepatan. Etika secara lebih luas tidak hanya bicara
baik dan buruk tetapi lebih dari itu, yaitu bertindak secara “benar, baik, dan tepat”.
Memang sesuatu yang susah dan berat, etika dapat mencapai ketiga hal dimaksud, tetapi
arah dan tujuan untuk selalu berbuat yang menguntungkan semuanya sangat jelas dan
memerlukan upaya-upaya yang sangat keras dalam mencapai ketiga hal dimaksud.
Untuk mencapai etika berbicara tentang apa yang “benar”, apa yang “baik” dan
apa yang “tepat” diperlukan suatu patokan untuk berfikir secara etis. Menurut Dossy IP
dan Bernanrd LT (2011: 16- 18) terdapat 3 (tiga) cara etika berfikir secara etis untuk
mencapai benar, baik, dan tepat, yaitu:
1. Deontologis, adalah cara berfikir etis yang mendasarkan diri pada hukum, prinsip,
atau norma objektif yang dianggap harus berlaku dalam situasi dan kondisi apa pun.
Suatu tindakan yang dapat dikategorikan dalam etika deontologis adalah
melaksanakan kewajiban terhadap tugas dan fungsi yang didasarkan pada hukum dan
norma sosial yang dipergunakan.
2. Tindakan ini perlu adanya sifat yang dapat merealisasikan suatu kewajiban yang
didasarkan pada hukum, sifat tersebut adalah kejujuran, bersikap adil, taat pada
hokum, dan saling menghormati.
3. Teleologis, teleos, artinya tujuan. Cara berfikir teleologis ini bukan tidak
mengacuhkan atau mengindahkan terhadap hukum. Lebih jauh berfikir teleologis
tetap mengakui prinsip-prinsip hukum, tetapi keberadaan hukum bukan merupakan
ukuran terakhir. Tujuan dan berikut akibatnya lebih penting dan lebih diprioritaskan
daripada hukum, akan tetapi dilihat terlebih dahulu kapan etika teleologis ini
diterapkan.
4. Pertanyaan selanjutnya yang lebih sentral dalam etika teleologis menurut Dossy IP
dan Bernard LT (2011: 17) ialah “apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang
baik? Dan apakah tindakan yang tujuannya baik, itu juga berakibat baik?”. Cara
berfikir teleologis, oleh karenanya tidak berfikir menurut kategori “benar” dan
“salah”, tapi menurut kategori “baik” dan “jahat”. Betapapun “salah”nya, tapi kalau
berangkat dari tujuan “baik” dan akibatnya “baik”, maka tindakan itu baik secara etis.
5. Kontekstual. Etika dalam hal ini yang paling penting untuk ditanyakan sebelum
melakukan sesuatu, bukanlah apa yang secara universal “benar”, bukan pula apa yang
secara umum “baik” tetapi apa yang secara kontekstual paling pantas dan paling bisa
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, bukan yang “benar” dan “baik”, tetapi apa
yang secara kontekstual paling “tepat” untuk dilakukan saat itu. Etika ini
memprioritaskan situasi dan kondisi sebagai pertimbangan pokok dalam melakukan
keputusan etis.

Berdasarkan ketiga cara berfikir secara etis dimaksud, maka untuk dapat dicapai suatu
etika yang mengandung kebenaran, kebaikan dan ketepatan diperlukan upaya yang
sangat keras dan mungkin sulit untuk diwujudkan. Selalu berusaha dan mengarah kepada
pencapaian yang baik, benar dan tepat dalam situasi dan kondisi apa pun dan berusaha
untuk mengurangi tindakan yang merugikan semua pihak merupakan sebuah pedoman
dalam melakukan tindakan.
B. TEORI ETIKA

Sebelum masuk ke dalam kasus nyata yang erat dengan persoalan etika, alangkah
baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu mengenai teori etika. Pembelajaran teori etika
berguna untuk memperoleh kemudahan dalam mengupas persoalan etika. Jadi akan tahu
betul teori etika apa yang sebaiknya digunakan untuk meninjau suatu kasus.

1. Egoisme, Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan


dengan egoisme. Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang
menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan
berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang boleh saja yakin ada
tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua
tindakan yang terkesan luhur dan/ atau tindakan yang suka berkorban tersebut
hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada
dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya
bersifat altruisme, yaitusuatu tindakan yang peduli pada orang lain atau
mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan
dirinya. Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan
diri sendiri (self-interest). Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri
mengabaikan atau merugikan kepentingan orangl ain, sedangkan tindakan
mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan oranglain

2. Utilitarianisme, Berasal dari bahasa latin “utilis” yang berarti “bermanfaat”.


Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi
manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan
masyarakat sebagai keseluruhan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah
yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya
perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan
menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada
siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang
kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut
pandang kepentingan orang banyak (kepentingan orang banyak).
3. Deontologi, Istilah deontologi berasal dari kataYunani ‘deon’ yang berarti
kewajiban. Dalam pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda
dengan Utilitarisme dan egoisme. Jika dalam Utilitarisme menggantungkan
moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar
melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Dalam suatu
perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan
tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari
hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi
menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik
tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu
perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik

4. Teori Hak, Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah
pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya
suatu perbuatan atau perilaku. Hak didasarkan atas martabat manusia dan
martabat semua manusia itu sama. Maka, teori hak pun cocok diterapkan
dengan suasana demokratis. Dalam arti, semua manusia dari berbagai lapisan
kehidupan harus mendapat perlakuan yang sama. Seperti yang diungkapkan
Immanuel Kant, bahwa manusia meruapakan suatu tujuan pada dirirnya (an
end in itself). Karena itu manusia harus selalu dihormati sebagai suatu tujuan
sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai sarana demi
tercapainya suatu tujuan lain (Bertens, 2000)

5. Teori Keutamaan (Virtue Ethics), Memandang sikap atau akhlak seseorang.


Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah
hati dan sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut: disposisi
watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk
bertingkah laku baik secara moral.

C. PRINSIP ETIKA PROFESI AKUNTAN INDONESIA

Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Akuntan Etika yang mengaatur
pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh
Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat
Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan.
Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang
dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-
pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa
dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya. Prinsip Etika Profesi dalam
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan
tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan.

Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya


dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini
meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan
keuntungan pribadi. Berikut prinsip-prinsip etika akuntan:
1. Integritas, Integritas yaitu bersikap lugas dan jujur dalam semua hubungan
profesional dan bisnis. Integritas menyiratkan berterus terang dan selalu mengatakan
yang sebenarnya. Seorang akuntan dilarang untuk menyampaikan informasi:
a. Berisi kesalahan atau pernyataan yang menyesatkan secara material;
b. Berisi pernyataan atau informasi yang dibuat secara tidak hati-hati; atau
c. Terdapat penghilangan atau pengaburan informasi yang seharusnya
diungkapkan, sehingga akan menyesatkan.
2. Objektivitas, adalah tidak mengompromikan pertimbangan profesional atau bisnis
karena adanya bias, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak semestinya dari
pihak lain. Seorang akuntan tidak boleh melakukan aktivitas profesional jika suatu
keadaan atau hubungan terlalu memengaruhi pertimbangan profesionalnya atas
aktivitas tersebut.
3. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional, Kompetensi yaitu Mencapai dan
mempertahankan pengetahuan dan keahlian profesional pada level yang disyaratkan
untuk memastikan bahwa klien atau organisasi tempatnya bekerja memperoleh jasa
profesional yang kompeten, berdasarkan standar profesional dan standar teknis
terkini serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; sedangkan
Kehati-hatian Profesional artinya Bertindak sungguh-sungguh dan sesuai dengan
standar profesional dan standar teknis yang berlaku.
4. Kerahasiaan, Kerahasiaan yaitu menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari
hasil hubungan profesional dan bisnis. Dalam menjaga kerahasiaan ini, seorang
akuntan harus:
a. Mewaspadai terhadap kemungkinan pengungkapan yang tidak disengaja,
termasuk dalam lingkungan sosial, dan khususnya kepada rekan bisnis dekat,
anggota keluarga inti, atau keluarga dekat;
b. Menjaga kerahasiaan informasi di dalam Kantor atau organisasi tempatnya
bekerja;
c. Menjaga kerahasiaan informasi yang diungkapkan oleh calon klien atau
organisasi tempatnya bekerja;
d. Tidak mengungkapkan informasi rahasia yang diperoleh dari hubungan
profesional dan bisnis di luar Kantor atau organisasi tempatnya bekerja tanpa
kewenangan yang memadai dan spesifik, kecuali jika terdapat hak atau
kewajiban hukum atau profesional untuk mengungkapkannya;
e. Tidak menggunakan informasi rahasia yang diperoleh dari hubungan
profesional dan hubungan bisnis untuk keuntungan pribadi atau pihak ketiga;
f. Tidak menggunakan atau mengungkapkan informasi rahasia apapun, baik yang
diperoleh atau diterima sebagai hasil dari hubungan profesional atau bisnis
maupun setelah hubungan tersebut berakhir; dan
g. Melakukan langkah-langkah yang memadai untuk memastikan bahwa personel
yang berada di bawah pengawasannya, serta individu yang memberi advis dan
bantuan profesional, untuk menghormati kewajiban Anggota guna menjaga
kerahasiaan informasi.
5. Perilaku Profesional, Perilaku Profesional adalah mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan menghindari perilaku apapun yang
diketahui oleh akuntan mungkin akan mendiskreditkan profesi akuntan.
Akuntan tidak boleh terlibat dalam bisnis, pekerjaan, atau aktivitas apapun
yang diketahui merusak atau mungkin merusak integritas, objektivitas, atau
reputasi baik dari profesi, dan hasilnya tidak sesuai dengan prinsip dasar
etika

D. PENGERTIAN PEMERINTAHAN
Secara etimologis, istilah pemerintahan berasal dari kata dasar “perintah” yang
berarti menyuruh melakukan sesuatu, aba-aba, atau komando. Pemerintahan dalam
bahasa Inggris disebut government yang berasal dari bahasa Latin: gobernare, greek
kybernan yang berarti mengemudikan atau mengendalikan.
Secara umum pemerintah merupakan organisasi, badan, lembaga yang memiliki
kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah
tertentu. Menurut C.F Strong dalam bukunya Modern Political Constitutions
menyebutkan bahwa “Government is therefore that organization in which is vested the
rights to exercise sovereign powers”. Pemerintahan adalah organisasi dalam mana
diletakkan hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi. Jadi pemerintah
diartikan sebagai organisasi atau lembaga. Sumaryadi (2010) mengemukakan bahwa
pemerintahan merupakan organisasi yang memiliki:
1. Otoritas memerintah dari sebuah unit politik,
2. Kekuasaan yang memerintah suatu masyarakat politik (political society)
3. Aparatus yang merupakan badan pemerintahan yang berfungsi dan menjalankan
kekuasaan
4. Kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-undangan, untuk menangani
perselisihan dan membicarakan putusan administrasi dan dengan monopoli atas
kekuasaan yang sah.
Dengan adanya pemerintah dan pemerintahan dalam arti luas, maka terdapat pula
pemerintah dan pemerintahan dalam arti sempit. Menurut ajaran tripraja, pemerintah
dalam arti sempit hanya meliputi eksekutif saja, sedangkan pemerintahan dalam arti
sempit meliputi segala kegiatan dari pemerintah dalam arti sempit atau perbuatan
memerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai
tujuan pemerintahan negara. Pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah
yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara.
Dalam perspektif cybernologik, menurut Ndraha (2003) pemerintahan
didefinisikan sebagai proses pemenuhan kebutuhan manusia sebagai konsumer (produk-
produk pemerintahan) akan pelayanan publik dan pelayanan civil; badan yang berfungsi
sebagai prosesor (pengelola, provider)-nya disebut pemerintah; konsumer produk-
produk pemerintahan disebut yang diperintah; hubungan antara pemerintah dengan
yang diperintah disebut hubungan pemerintahan; personil pemerintah disebut aktor
pemerintah; dan aktor yang melakukan tugas tertentu disebut artis pemerintahan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintahan merupakan sebuah sistem multiproses
yang bertujuan memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan yang diperintah akan
jasa publik dan layanan civil.
E. ETIKA PEMERINTAHAN
Etika pemerintahan merupakan ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar
sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia.
Sumaryadi (2010) menyatakan bahwa etika pemerintahan mengacu pada kode etik
profesional khusus bagi mereka yang bekerja dan untuk pemerintahan. Etika
pemerintahan melibatkan aturan dan pedoman tentang panduan bersikap dan berperilaku
untuk sejumlah kelompok yang berbeda dalam lembaga pemerintahan, termasuk para
pemimpin terpilih (seperti presiden dan kabinet menteri), DPR (seperti anggota
parlemen), staf politik dan pelayan publik.
Kelompok-kelompok ini dihadapkan dengan berbagai pertanyaan etika yang sulit
dan sangat unik. Etika pemerintahan mengidentifikasi sikap dan tingkah laku yang tepat
dalam setiap situasi dan menetapkan aturan-aturan perilaku bagi para pejabat publik
untuk mengikutinya. Etika pemerintahan merupakan etika terapan yang berperan dalam
urusan pengaturan tata kelola pemerintah.
Etika pemerintahan merupakan bagian dari yurisprudensi praktis (practical
jurisprudence) atau filosofi hukum (philosophy of law) yang mengatur urusan
pemerintah dalam hubungannya dengan orang-orang yang mengatur dan mengelola
lembaga pemerintahan.
Etika pemerintahan mencakup isu-isu kejujuran dan transparansi dalam
pemerintahan, yang pada gilirannya berurusan dengan hal-hal seperti; penyuapan
(bribery); korupsi politik (political corruption); korupsi polisi (police corruption); etika
legislatif (legislatif ethics); etika peraturan (regulatory ethics); konflik kepentingan
(conflict of interest); pemerintahan yang terbuka (open of government); etika hukum
(legal ethics).

F. PENTINGNYA ETIKA DALAM PENYELENGGARAN PEMERINTAHAN


Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang
berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahkluk
sosial). Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika pemerintahan adalah:
1. Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya.
2. Kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya (honesty).
3. Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap
orang lain.
4. Kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan (fortitude).
5. Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).
6. Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus
bertindak secara profesional dan bekerja keras.

Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan yang harus dilaksanakan


oleh para elit pejabat publik dan staf pegawai pemerintahan. Wujud etika pemerintahan
adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar
negara (Pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (Teks Proklamasi). Dalam hal
ini, etika pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat elit politik untuk
bersikap jujur, amanah, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati
dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan
secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika dan moral sangat penting dalam pemerintahan, dalam hal ini dengan adanya
etika dalam pemerintahan maka pemerintahan akan berjalan dengan lebih baik. Para
aparatur pemerintahan memiliki kesadaran moral yang tinggi pada para politisi,
pemerintah dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya, sehingga kejujuran,
kebenaran dan keadilan dapat diwujudkan.
Ada beberapa alasan mengapa etika pemerintahan penting diperhatikan dalam
pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Dwiyanto
(2000) bahwa;
 Pertama, masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah di masa
mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin
meningkat telah melahirkan berbagai masalah-masalah publik yang semakin banyak
dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah.
 Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat
birokrasi seringkali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara
memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan
masyarakatnya. Masalah-masalah yang ada dalam grey area seperti ini akan
semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas
masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam
memberi policy guidance kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi.
 Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan
kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam
lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustment
agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya.

Dalam praktek pemerintahan di negara-negara berkembang, praktek


penyimpangan seperti korupsi, suap, kolusi dan nepotisme akan tetap semakin marak
dijalankan, apabila pejabat publik dan aparat birokrasinya ingin memperkaya diri dengan
cara mencuri dan merampok kekayaan rakyat yang dititipkan melalui negara. Oleh sebab
itu, sangat penting untuk diberlakukan penerapan etika dalam kehidupan pejabat publik,
aparat pemerintah baik secara individu maupun secara kolektif.

G. INDEPENDENSI, INTEGRITAS DAN PROFESIONALISME

Independensi, Integritas, dan Profesionalisme merupakan nilai‐nilai BPKRI.


Nilai‐nilai tersebut diadopsi oleh organisasi BPK sedunia (International Association of
Supreme Audit Institution/INTOSAI) berdasarkan Deklarasi Lima. Deklarasi tersebut
disepakati secara aklamasi pada Pertemuan IX INCOSAI di Lima (Peru) bulan Oktober
1977. Nilai‐nilai tersebut mencakup seluruh tujuan dan permasalahan terkait
pemeriksaan keuangan negara.
Pemeriksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mematuhi nilai‐
nilai dasar tersebut. BPK perlu memperhatikan gangguan pribadi terhadap independensi
pemeriksanya. Gangguan pribadi yang disebabkan oleh suatu hubungan dan pandangan
pribadi mungkin mengakibatkan Pemeriksa membatasi lingkup pertanyaan dan
pengungkapan atau melemahkan temuan dalam segala bentuknya. Pemeriksa
bertanggung jawab untuk memberitahukan kepada pejabat yang berwenang di BPK
apabila memiliki gangguan pribadi terhadap independensi. Gangguan pribadi dari
pemeriksa secara individu antara lain:
a. memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan jajaran manajemen entitas atau program yang diperiksa;
b. memiliki kepentingan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung pada
entitas atau program yang diperiksa;
c. pernah bekerja atau memberikan jasa kepada entitas atau program yang diperiksa
dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
d. mempunyai hubungan kerja sama dengan entitas atau program yang diperiksa; serta
e. terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek
pemeriksaan, seperti memberikan asistensi, jasa konsultasi, pengembangan sistem,
menyusun dan/atau mereviu laporan keuangan entitas atau program yang diperiksa.

Integritas antara lain diwujudkan dalam sikap jujur, objektif, dan tegas dalam
menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan.

Gangguan terhadap integritas meliputi antara lain:


a. meminta dan/atau menerima uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya baik langsung
maupun tidak langsung dari pihak yang terkait dengan pemeriksaan;
b. menghambat pelaksanaan tugas pemeriksaan untuk kepentingan pribadi, seseorang,
dan/atau golongan;
c. memaksakan kehendak pribadi kepada pihak yang diperiksa; dan
d. mengubah temuan atau memerintahkan untuk mengubah temuan pemeriksaan, opini,
kesimpulan, dan rekomendasi hasil pemeriksaan yang tidak sesuai fakta dan/atau
bukti‐ bukti dalam Pemeriksaan.

Pemeriksa harus menggunakan kemahiran profesional secara cermat dan


seksama, skeptisisme profesional, dan pertimbangan profesional di seluruh proses
pemeriksaan. Pemeriksa harus menggunakan kemahiran profesional secara cermat dan
seksama dalam menentukan jenis pemeriksaan yang akan dilaksanakan, menentukan
lingkup pemeriksaan, memilih metodologi, menentukan jenis dan jumlah bukti yang
akan dikumpulkan, atau dalam memilih pengujian dan prosedur untuk melaksanakan
pemeriksaan, serta dalam melakukan penilaian dan pelaporan hasil pemeriksaan.
Pemeriksa harus merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan pemeriksaan
dengan sikap skeptisisme profesional. Pemeriksa mengakui bahwa keadaan tertentu
dapat menyebabkan hal pokok menyimpang dari kriteria. Sikap skeptisisme profesional
berarti Pemeriksa membuat penilaian kritis dengan pikiran yang selalu mempertanyakan
kecukupan dan ketepatan bukti yang diperoleh selama pemeriksaan.
Pemeriksa harus menggunakan skeptisisme profesional dalam menilai risiko
terjadinya kecurangan yang secara signifikan untuk menentukan faktor‐faktor atau
risiko‐risiko yang secara signifikan dapat mempengaruhi pekerjaan pemeriksa apabila
kecurangan terjadi atau mungkin telah terjadi. Pemeriksa harus menggunakan
skeptisisme profesional terhadap hal‐hal, antara lain, sebagai berikut:
a. bukti pemeriksaan yang bertentangan dengan bukti pemeriksaan lain yang
diperoleh;
b. informasi yang menimbulkan pertanyaan tentang keandalan dokumen dan
tanggapan terhadap permintaan keterangan yang digunakan sebagai bukti
pemeriksaan;
c. keadaan yang mengindikasikan adanya kecurangan dan/atau
ketidakpatutan; dan
d. kondisi yang memungkinkan perlunya prosedur pemeriksaan tambahan
selain prosedur yang dipersyaratkan dalam pedoman pemeriksaan.

Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesional dalam membuat


keputusan tentang:
a. hal pokok/informasi hal pokok;
b. kriteria yang sesuai;
c. pihak‐pihak yang terkait pemeriksaan;
d. tingkat keyakinan;
e. lingkup pemeriksaan;
f. risiko pemeriksaan;
g. prosedur pemeriksaan yang akan digunakan terkait dengan risiko
pemeriksaan; dan
h. materialitas.

Pemeriksa juga harus menggunakan pertimbangan profesional dalam


mengevaluasi kecukupan dan ketepatan bukti pemeriksaan yang diperoleh, dan langkah‐
langkah untuk mencapai tujuan keseluruhan pemeriksaan telah dilakukan. Pemeriksa
harus menggunakan pertimbangan profesional dalam membuat kesimpulan berdasarkan
bukti pemeriksaan yang diperoleh
1. Pengendalian Mutu
Salah satu tantangan besar yang dihadapi BPK adalah bagaimana BPK dapat
menyerahkan hasil pemeriksaan yang berkualitas secara konsisten. Kualitas hasil
pemeriksaan mempengaruhi reputasi dan kredibilitas BPK dalam memenuhi
mandatnya.
BPK harus menetapkan suatu standar pengendalian mutu untuk menjamin
kualitas hasil pemeriksaannya. Dalam menerapkan standar pengendalian mutu, BPK
harus menetapkan dan mengembangkan sistem pengendalian mutu untuk memastikan
agar Pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan dan ketentuan peraturan
perundang‐undangan. Sistem pengendalian mutu terdiri dari prosedur dan kebijakan
untuk memastikan pemerolehan hasil pemeriksaan yang bermutu tinggi sesuai dengan
standar pemeriksaan dan ketentuan peraturan perundang‐undangan. Pemeriksa harus
menerapkan sistem pengendalian mutu pada saat penugasan untuk memberikan
keyakinan memadai bahwa Pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan dan
ketentuan peraturan perundang‐undangan, dan LHP adalah tepat sesuai dengan
kondisinya.
2. Kompetensi
Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kompetensi profesional yang memadai
untuk melaksanakan tugas pemeriksaan. Kompetensi profesional tersebut dibuktikan
dengan sertifikat profesional yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang atau
dokumen lainnya yang menyatakan keahlian. Kompetensi profesional mencakup
pendidikan dan pengalaman.
Kompetensi profesional tidak hanya diukur secara kuantitatif dengan berapa lama
pengalaman pemeriksaan, karena hal tersebut tidak dapat menggambarkan secara
akurat jenis pengalaman yang dimiliki pemeriksa. Elemen terpenting bagi Pemeriksa
adalah mempertahankan kecakapan profesional melalui komitmen untuk belajar dan
pengembangan dalam seluruh kehidupan profesional pemeriksa.
Pemeriksa yang ditugaskan untuk melaksanakan Pemeriksaan menurut standar
pemeriksaan harus secara kolektif memiliki kompetensi:
a. latar belakang pendidikan, keahlian dan pengalaman, serta pengetahuan
tentang standar pemeriksaan yang dapat diterapkan terhadap jenis
pemeriksaan yang ditugaskan;
b. pengetahuan umum tentang lingkungan entitas, program, dan kegiatan
yang diperiksa (objek pemeriksaan);
c. keterampilan berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan
maupun tulisan; dan
d. keterampilan yang memerlukan pengetahuan khusus dalam bidang
tertentu sesuai dengan pemeriksaan yang dilaksanakan.
Selanjutnya, BPK harus menentukan kompetensi yang dibutuhkan untuk
memastikan Pemeriksa memiliki keahlian yang sesuai untuk melakukan penugasan
pemeriksaan. Pemeriksa juga diwajibkan memelihara kompetensinya melalui
pendidikan profesional berkelanjutan paling singkat 80 (delapan puluh) jam dalam 2
(dua) tahun.
Penggunaan Tenaga Ahli dan Tenaga Pemeriksa di Luar BPK dapat
menggunakan tenaga ahli yang kompeten. Tenaga ahli dapat digunakan untuk
memberikan saran kepada Pemeriksa maupun menjadi bagian dari tim Pemeriksa.
Dalam penggunaan tenaga ahli, BPK harus meyakini bahwa tenaga ahli tersebut
independen, memenuhi kualifikasi, kompeten dalam bidangnya, dan harus
mendokumentasikan keyakinan tersebut. BPK dapat menggunakan tenaga pemeriksa
di luar BPK dan harus independen dan memiliki kompetensi yang diperlukan.
Kompetensi tenaga pemeriksa di luar BPK dibuktikan dengan sertifikat profesional
yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang atau dokumen lainnya yang
menyatakan keahlian. Dengan demikian, BPK bertanggung jawab untuk memastikan
tenaga ahli dan tenaga pemeriksa di luar BPK yang terlibat dalam proses pemeriksaan
memenuhi persyaratan pendidikan berkelanjutan.
3. Pertimbangan Ketidakpatuhan, Kecurangan dan Ketidakpatutan
Pemeriksa harus merancang pemeriksaan untuk memberikan keyakinan yang
memadai guna mendeteksi ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang‐
undangan, kontrak, dan produk hukum lainnya yang berpengaruh langsung dan
material terhadap hal pokok/informasi hal pokok yang diperiksa. Pengaruh langsung
dan material dapat berupa:
a. hal yang menyebabkan salah saji dalam laporan keuangan;
b. hal yang menyebabkan penyimpangan kinerja terkait aspek ekonomis,efisiensi,
dan efektivitas;
c. hal yang menyebabkan kekurangan penerimaan dan penyimpangan administrasi
d. hal yang menyebabkan potensi kerugian negara/daerah dan/atau kerugian
keuangan negara/daerah.
Pemeriksa harus mengindentifikasi faktor risiko kecurangan dan menilai risiko
adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang‐undangan yang
disebabkan oleh kecurangan (fraud) dan/atau ketidakpatutan (abuse). Risiko tersebut
harus dianggap sebagai risiko yang signifikan (significant risks). Oleh karena itu,
Pemeriksa harus memperoleh pemahaman tentang pengendalian yang terkait dengan
risiko tersebut.
Pemeriksa hanya berkepentingan terhadap indikasi awal kecurangan yang
menimbulkan dampak material terhadap opini ataupun kesimpulan. Walau Pemeriksa
menemukan indikasi awal kecurangan, Pemeriksa tidak berwenang untuk
menyatakan kecurangan telah terjadi karena istilah kecurangan merupakan ranah
hukum. Apabila terdapat risiko ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang‐undangan yang berindikasi kecurangan dan ketidakpatutan yang secara
signifikan memengaruhi hal pokok/informasi hal pokok yang diperiksa, Pemeriksa
harus memodifikasi prosedur untuk mengidentifikasi terjadinya kecurangan dan/atau
ketidakpatutan. Selanjutnya, Pemeriksa harus menentukan dampaknya terhadap hal
pokok/informasi hal pokok yang diperiksa.
Pemeriksa harus mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang‐ undangan yang berindikasi kecurangan, ketidakpatutan, dan/atau
kerugian negara/daerah, serta ketidakpatuhan yang berpengaruh langsung dan
material terhadap hal pokok/informasi hal pokok yang diperiksa sesuai ketentuan.
PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif hanya dilakukan ketika terdapat
predikasi yang memadai. Predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan selain
PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif, informasi pihak internal maupun
eksternal BPK. Temuan atau informasi tersebut harus diuji kelayakannya sebelum
bisa diterima sebagai predikasi.
4. Komunikasi Pemeriksaan
Pemeriksa harus membangun komunikasi yang efisien dan efektif di seluruh
proses pemeriksaan, supaya proses pemeriksaan berjalan dengan lancar dan hasil
pemeriksaan dapat dimengerti dan ditindaklanjuti oleh pihak yang bertanggung jawab
dan/atau pemangku kepentingan terkait. Pemeriksa mengomunikasikan hal‐hal yang
terkait dengan proses pemeriksaan, antara lain tujuan pemeriksaan, lingkup
pemeriksaan, waktu pemeriksaan, kriteria pemeriksaan, temuan pemeriksaan, dan
kesulitan atau batasan yang ditemui saat pemeriksaan. Khusus PDTT dalam bentuk
pemeriksaan investigatif, Pemeriksa dapat membatasi komunikasi tentang hal‐hal
yang terkait dengan proses pemeriksaan.
Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesional untuk menentukan
bentuk, isi, dan intensitas komunikasi. Apabila ada penghentian pemeriksaan,
Pemeriksa harus memberikan penjelasan secara tertulis kepada pejabat yang
memberikan penugasan. BPK harus mengomunikasikan secara tertulis alasan
penghentian pemeriksaan kepada entitas yang diperiksa, entitas yang meminta
dilakukan pemeriksaan, lembaga perwakilan, dan/atau instansi penegak hukum.

5. Dokumentasi Pemeriksaan
Pemeriksa harus menyusun dokumentasi pemeriksaan yang memadai secara tepat
waktu pada seluruh tahapan pemeriksaan. Di sisi lain, Pemeriksa juga wajib
memberikan pemahaman yang jelas atas prosedur pemeriksaan yang dilakukan,
pertimbangan profesional, bukti yang diperoleh, dan kesimpulan yang dibuat.
Pemeriksa harus menyusun dokumentasi pemeriksaan guna memberikan informasi
yang jelas dan memadai. Melalui dokumentasi tersebut, Pemeriksa lain yang tidak
memiliki latar belakang pengetahuan atas pemeriksaan tersebut dapat memahami
sifat, waktu, lingkup, dan hasil dari prosedur pemeriksaan yang dilaksanakan, bukti
yang diperoleh dalam mendukung temuan, kesimpulan, dan rekomendasi
pemeriksaan, serta alasan dibalik semua hal signifikan yang dibutuhkan dalam
mengambil pertimbangan profesional dan kesimpulan terkait. BPK harus
mengembangkan sistem dokumentasi pemeriksaan yang efisien dan efektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan.
6. Hubungan dengan Standar Profesi yang Digunakan oleh Akuntan Publik
Dalam pemeriksaan keuangan, Standar Pemeriksaan ini memberlakukan standar
audit yang dimuat dalam SPAP yang ditetapkan oleh asosiasi profesi akuntan publik,
sepanjang tidak diatur lain dalam Standar Pemeriksaan ini.
7. Kewajiban Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dan Akuntan Publik dalam
Pemeriksaan Keuangan Negara
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang melaksanakan audit kinerja dan
audit dengan tujuan tertentu, dan akuntan publik yang memeriksa keuangan negara
berdasarkan ketentuan undang‐undang wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang
relevan dalam Standar Pemeriksaan ini.
BAB III
KASUS SUAP BPK RI ATAS PEMERIKSAAN
LAPORAN KEUANGAN KEMENDES PDTT

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan (OTT) terkait


kasus suap atas pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK RI terhadap
laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016.
Melibatkan:
1. Pejabat Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT)
2. Pejabar serta auditor Badan Pemeriksa Keuangan RI

Kronologi
Kasus suap ini berawal dari penyelidikan KPK terkait laporan masyarakat atas
dugaan terjadinya tindak pindana korupsi. Pada sekitar Maret 2018, KPK memeriksa laporan
keuangan Kemendes PDTT Tahun Anggaran 2016. Kemudian melakukan OTT di Kantor
BPK RI di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta pada 26 Mei 2017. KPK sempat
mengamankan enam orang, yakni pejabat Eselon I BPK Rockhmadi Saptogiri (RS), Auditor
BPK Ali Sadli (ALS), pejabat eselon III Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo (JBP),
sekretaris RS, sopir JBP dan satu orang satpam. KPK kemudian melakukan penggeledahan di
sejumlah ruangan di kantor BPK.
1. Di ruang ali Sadli, KPK menemukan uang Rp 40 Juta yang diduga merupakan bagian
dari total commitment fee Rp 240 Juta untuk suap bagi pejabat BPK. Uang Rp 40 juta
ini merupakan pemberian tahap kedua ketika tahap pertama Rp 200 juta diduga telah
diserahkan pada awal Mei 2017.
2. Menggeledah ruangan milik Rochmadi Saptogiri, dan ditemukan uang Rp 1,145
Miliar dan 3.000 dollar AS atau setara dengan 39,8 juta di dalam Brankas.
3. Di Kemendes PDTT, KPK menyegel empat ruangan, diantaranya ruangan Sugito dan
ruangan Jarot Budi Prabowo
4. Setelah melakukan rangkaian penangkapan dan penggeledahan, dari hasil gelar
perkara KPK meningkatkan status perkara ini menjadi penyidikan
5. Dari total tujuh orang yang diamankan, empat diantaranya menjadi tersangka. Mereka
yang menjadi tersangka, yakni Sugito, Jarot Budi Prabowo, Rochmadi Saptogiri dan
Ali Sadli
6. Sementara sekretaris Rochmadi Saptogiri, sopir Jarot Budi Prabowo dan satu orang
satpam berstatus saksi.

Dasar Hukum
Sebagai pihak pemberi suap, Sugito dan Jarot dijerat pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal
5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Rochmadi dan Ali sebagai pihak penerima suap disangkakan dengan Pasal 12 huruf a
atau b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Juncto Pasal 64 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Pihak-pihak yang Terkait


Tersangka: Sugito, Jarot Budi Prabowo, Rochmadi Saptogiri, Ali Sadli
Saksi: Sekretaris Rochmadi Saptogiri, Sopir Jarot Budi Prabowo, Satu Orang Satpam
BAB IV
PEMBAHASAN DARI RUMUSAN MASALAH

A. ANALISIS KASUS
Berdasarkan uraian singkat mengenai proses, tahapan, dan hal-hal apa saja yang
harus dimiliki serta dilakukan oleh seorang akuntan publik / auditor hingga dapat
menghasilkan suatu opini / laporan audit yang berkualitas, maka dapat disampaikan
bahwa dalam proses audit yang dilakukan oleh tim auditor BPK atas Laporan Keuangan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi / Kemendes
PDTT) terdapat beberapa kejanggalan atas proses audit yang dilakukan oleh tim auditor
selama tahun 2017.
Data tahun sebelumnya menyatakan bahwa Opini Auditor atas Laporan
Keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi /
Kemendes PDTT) adalah Opini Wajar dengan Pengecualian selama dua tahun berturut-
turut. Sedangkan kementerian tersebut termasuk ke dalam salah satu kementerian yang
baru di Indonesia, hal tersebut menunjukkan bahwa kementerian tersebut memiliki tata
kelola anggaran dan birokrasi yang buruk terutama terkait dengan pengadaan dan belanja
perjalanan dinas yang dibuktikan dengan adanya beberapa temuan dari tim auditor BPK
periode tahun 2014-2015 yang masih belum ditindaklanjuti oleh Kemendes PDTT antara
lain :
1. Adanya utang sebesar Rp 378,46 M dari pihak ketiga yang bermasalah dan dokumen
tidak tersedia
2. Aset Barang Milik Negara (BMN) sebesar Rp 2,54 T tidak didukung dengan rincian
sehingga tidak dapat ditelusuri keberadaannya
3. Akumulasi aset tanah, peralatan, dan barang pengadaan senilai Rp 2,55 T tidak
didukung rincian dan tidak diketahui keberadaannya
4. Saldo persediaan barang senilai Rp 3,32 T tidak terinventarisir dengan baik dan
tidak terdapat bukti yang cukup.
Kondisi tersebut seharusnya merupakan suatu acuan atau menjadi pedoman bagi
tim auditor BPK yang saat ini terjun untuk melakukan audit atas laporan keuangan
Kemendes PDTT pada tahun 2017 secara lebih mendalam dan mendetail agar dapat
diketahui lebih lanjut apakah temuan-temuan yang sudah ada pada tahun sebelumnya
telah ditindaklanjuti ataukah ada hal-hal baru yang menjadi kejanggalan dari laporan
keuangan kementerian tersebut.
B. ANALISIS KASUS DARI NILAI-NILAI DASAR LANDASAN KODE ETIK BPK-
RI
Saudara RS dan ALS juga melanggar nilai-nilai dasar yang menjadi landasan
kode etik BPK. Nilai-nilai itu adalah :
1. Integritas
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan
profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan
merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang
diambilnya.Dengan adanya kasus ini dapat dilihat jika penerapan integritas di BPK
masih sangatlah kurang. Bahkan eselon I BPK ikut terlibat dalam penerimaan suap.
ALS sebagai auditor juga tidak menjaga integritasnya dan mengabaikan etika profesi
sebagai auditor dengan merubah opini yang diberikan demi mendapatkan keuntungan
pribadi.
2. Independensi
Independensi adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak
lain, tidak tergantung pada orang lain.. Dengan adanya kasus ini dapat dilihat RS dan
ALS tidak mematuhi prinsip Independensi. Seharusnya sebagai pejabat dan auditor
BPK, RS dan ALS bebas dari pengaruh dan kendali pihak lain termasuk pihak-pihak
yang diberikan opini. Dalam kasus ini pemberian imbalan berupa uang senilai Rp 240
juta telah mempengaruhi kinerja dan opini yang diberikan BPK pada Kemendes.
Imbalan ini juga memberikan kendali kepada Kemendes untuk mengatur dan
mengarahkan hasil audit BPK sesuai dengan kepentingan Kemendes, agar Kementrian
ini terlihat memiliki kinerja yang bagus dan laporan keuangannya disajikan dengan
wajar.
3. Profesionalisme
Profesionalisme adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya
secara baik dan benar dan juga komitmen dari para anggota dari sebuah profesi. Kasus
ini membuktikan anggota BPK belum sepenuhnya profesional dalam menjalankan
tugasnya. Merubah opini Laporan Keuangan demi sebuah imbalan merupakan
tindakan yang sangat tidak profesional dan merugikan banyak pihak. Dengan
terbitnya opini WTP pada Kemendes masyarakat dan pemangku kepentingan lain
akan menganggap bahwa kinerja dan penyajian laporan keuangan sudah wajar dan
sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih lanjut akan mempengaruhi penilaian
resiko dan pengambilan keputusan yang merugikan.
Kode Etik BPK-RI Pasal 2 mengatur tentang nilai-nilai dasar yang wajib dimilki oleh
anggota dan pemeriksa BPK, Nilai-nilai dasar tersebut terdiri dari:
1. Mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku
2. Mengutamakan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan
3. Menjunjung tinggi independensi, integritas dan profesionalisme
4. Menjunjung tinggi martabat, kehormatan dan kredibilitas BPK.

Melihat dari kasus diatas terlihat secara jelas bahwa auditor BPK telah melanggar
nilai-nilai dasar yang seharusnya dimiliki sesuai dengan pasal 2 kode etik BPK.

C. ANALISIS KASUS DILIHAT DARI PRINSIP ETIKA IAI


Tim auditor BPK yang diduga melakukan kecurangan atas pelaksanaan audit atas
Laporan Keuangan Kemendes PDTT yang dilakukan mulai tahun 2017 dinilai tidak
memiliki sikap-sikap selaku seorang auditor antara lain :
1. Independen Tim auditor BPK tidak memiliki sikap independensi baik dalam fakta
maupun dalam hal penampilan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kejanggalan
dari salah satu anggota tim saat menjawab pertanyaan dari pihak penyidik KPK
terkait dengan fasilitas akomodasi (hotel) yang diterima oleh tim auditor BPK saat
melakukan proses audit laporan keuangan Kemendes PDTT di daerah Banten.
2. Integritas dan objektivitas Tim auditor BPK diketahui tidak bebas dari benturan
kepentingan dan tetap membiarkan adanya salah saji material atas opini audit yang
dihasilkannya. Hal tersebut terjadi disebabkan karena adanya tuntutan dan keinginan
dari pihak klien (dalam hal ini adalah Kemendes PDTT) untuk memiliki laporan
keuangan dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian yang merupakan tuntutan
utama dari pimpinan Kementerian tersebut yaitu Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) yaitu Bapak Eko Putro
Sandjojo sehingga akhirnya tim auditor BPK berani untuk menerima uang suap dari
pihak kementerian tersebut demi mengeluarkan opini audit Wajar Tanpa
Pengecualian
3. Tanggung Jawab Kepada Klien Tim auditor terhadap Kemendes PDTT dinilai tidak
bertanggung jawab atas pekerjaan auditnya terhadap orang atau badan yang
mengadakan perikatan dengan auditor BPK tersebut. Hal ini disebabkan karena tim
auditor tersebut telah menyusun dan menampilkan opini audit yang tidak sesuai
dengan realitanya sehingga auditor tersebut akan mengancam mengenai keberadaan
dan keberlangsungan dari pihak kementerian tersebut karena pihak auditor telah
menyembunyikan terlalu banyak kesalahan dan penyelewengan dana-dana anggaran,
serta menyembunyikan laporan keuangan yang disajikan oleh kementerian tersebut
dengan data yang fiktif
4. Tanggung Jawab Kepada Rekan Seprofesi Hal tersebut menunjukkan bahwa tim
auditor BPK kurang memiliki tanggung jawab kepada rekan seprofesi yaitu pihak
auditor yang lain dan mencoreng serta merusak citra buruk dari profesi akuntan
publik / auditor. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan kecurangan yang dilakukan
oleh tim auditor BPK atas proses audit laporan keuangan Kemendes PDTT yang
dilakukan tahun 2017 dengan menerima uang suap dari pihak klien serta membuat
opini audit “Wajar Tanpa Pengecualian” yang sangat tidak sesuai dengan realitas
yang ada pada kementerian tersebut.

D. ANALISIS KASUS DILIHAT DARI PRINSIP-PRINSIP GOOD COORPORATE


GOVERNANCE (GCG)
1. Transparansi
Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi
yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya. Dari kasus ini telah
terbukti bahwa Sugito tidak melaporkan keadaan keuangan sesuai dengan kenyataan.
Sehingga ia bekerjasama dengan rekannya yaitu Jarot untuk menyuap pihak BPK agar
memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan
Kemendes PDTT tahun 2016.
2. Akuntabilitas
Prinsip dimana para pengelola berkewajiban untuk membina system akuntansi yang
efektif. Dalam prinsip ini diperlukan kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban elemen perusahaan. Pada kasus, Sugito selaku Irjen Kemendes
PDTT melakukan kecurangan dengan menyuap pihak auditor untuk memberikan
opini palsu, Hasil WTP bagi pejabat kementrian/lembaga atau
pemprov/pemkot/pemkab memberikan persepsi positif bahwa pemerintahan maupun
keuangannya telah dikelola secara akuntabel, transparan dan terbebas dari korupsi.
Dalam hal ini Sugito tidak bisa dikatakan telah melaksanakan fungsinya sebagai Irjen
Kemendes PDTT dengan baik.
3. Responsibilitas
Seharusnya pihak-pihak yang memiliki kedudukan penting dalam perusahaan dapat
bertanggung-jawab terhadap apa yang menjadi tanggungjawabnya. Namun dalam hal
ini, justru pihak Kemendes PDTT dan BPK sebagai auditor tidak mampu memberikan
contoh yang baik. Pihak Kemendes PDTT justru menyuap pihak BPK selaku auditor
untuk memberikan opini palsu terkait dengan laporan keuangannya. Kemudian BPK
sebagai auditor tidak menerima suap dari pihak Kemendes PDTT.
4. Independensi
Tidak adanya pemisahan job description antara akuntansi keuangan perusahaan
dengan akuntansi pajak, Sehingga peluang untuk melakukan kecurangan sangatlah
besar.
5. Fairness
Prinsip agar para pengelola memperlakukan semua pihak secara adil dan setara.
Namun dalam kasus ini, dengan dilakukan penyuapan tersebut telah menunjukkan
bahwa Sugito dkk malah mementingkan kepentingan mereka sendiri dan tidak
memperdulikan pihak-pihak lain yang terkait.

E. DAMPAK
Pelanggaran yang dilakukan oknum-oknum BPK dalam kasus ini memberikan
kerugian yang sangat besar bagi negara. Selain itu masyarakat menjadi meragukan
integritas dan citra BPK sebaga lembaga tinggi negara yang bertugas mengaudit dan
memeriksa laporan keuangan kementrian dan lembaga di pemerintahan. Laporan audit
tahun-tahun sebelumnya juga menjadi diragukan kredibilitasnya. Secara lebih luas kasus
ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Hal ini juga dapat
mempengaruhi keputusan Investor dan juga perusahaan-perusahaan yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini karena tingkat korupsi suatu negara
merupakan salah satu pertimbangan penting dalam penanaman modal.
BAB V
PEMBAHASAN DARI RUMUSAN MASALAH

A. PENYELESAIAN KASUS
Pelanggaran kode etik profesi harus ditegakkan kedisiplinannya, sehingga kode
etik tersebut dapat dipatuhi secara konsisten oleh semua pihak. Dalam kasus ini,
diperlukan beberapa solusi agar kasus serupa tidak terjadi kembali di masa mendatang.
Beberapa solusi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan nilai-nilai etika dan pengembangan kode etik profesi
2. Pemberian sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melanggar
Agar kasus serupa tidak terjadi kembali di masa mendatang, dibutuhkan sanksi
yang tegas untuk memberikan pelajaran dan efek jera kepada pihak-pihak yang
melanggar. Auditor Pemerintah yang terbukti bersalah dikenakan sanksi oleh pimpinan
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) atas rekomendasi dari Badan
Kehormatan Profesi.
Dalam kasus ini, hukuman yang diberikan kepada masing-masing terdakwa adalah
sebagai berikut:
1. Rohmadi Sapo Giri dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-
Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Mereka juga dijerat Pasal 3 dan/atau Pasal 5 Undang-undang (UU) No. 8/2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
2. Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi ( Kemendes PDTT) Sugito dan Kepala Bagian Tata Usaha dan
Keuangan Inspektorat Kemendes, Jarot Budi Prabowo dituntut pidana masing-masing
dua tahun penjara, dikurangi masa tahanan.Tuntutan dibacakan jaksa Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam persidangan kasus dugaan suap pada pemberian opini
wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap
laporan keuangan Kemendes PDTT tahun 2016, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu
tanggal 11 Oktober 2017.
3. Kedua terdakwa juga dituntut membayar denda. Sugito dituntut untuk membayar
denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan, sementara Jarot dituntut membayar
denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.
B. KESIMPULAN
Kasus dugaan suap kepada Auditor BPK untuk mengeluarkan opini Wajar Tanpa
Pengecualian merupakan tindakan yang melanggar etika profesi akuntan baik
berdasarkan kode etik yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia maupun BPK RI.
Auditor seharusnya mengeluarkan opini atas laporan keuangan yang diperiksanya
dengan kompeten dan objektif sehingga akuntan yang merupakan kepercayaan publik
dapat menjaga kredibilitas dan martabatnya. Opini auditor memiliki peran yang besar
yakni sebagai penentu pengambilan keputusan dan penjamin bahwa informasi telah
disajikan dengan wajar maka auditor harus profesional dan berintegritas dalam
menjalankan tanggung jawabnya. Kalau auditor sebagai pihak yang independen dan
dipercaya saja melakukan penyelewengan maka publik tidak lagi percaya dengan
pemerintahan sekalipun opini yang dikeluarkan oleh BPK adalah objektif.

C. SARAN
Saran yang dapat diberikan yakni evaluasi atas kasus ini dan kasus serupa
sebelumnya mengenai kasus suap opini Wajar Tanpa Pengecualian, rupanya lembaga
pemerintahan mengejar target opini WTP dengan berbagai cara tanpa memperhatikan
moral, maka seharusnya pemerintah lebih memperhatikan penargetan yang lebih
mengarah kepada efisiensi dan efektifitas lembaga pemerintahan dan pembinaan
mengenai administrasi pemerintahan yang masih banyak yang harus diperbaiki. Opini
WTP hanyalah hasil dari pengendalian internal yang baik dan penyajian laporan
keuangan yang sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan serta bebas dari kesalahan
material.
Bagi auditor BPK diharapkan senantiasa menjunjung tinggi etika profesi dan
melaporkan setiap tindakan yang melanggar kode etik dalam melaksanakan tugas
audit. Selain itu, auditor BPK diharapkan untuk memperbanyak pengalaman dan
memanfaatkannya sebaik mungkin. Auditor BPK juga diharapkan untuk
meningkatkan komptensi dan senantiasa menerapkannya. Hal ini ditujukan untuk
meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya Bagi auditor BPK diharapkan
senantiasa menjunjung tinggi etika profesi dan melaporkan setiap tindakan yang
melanggar kode etik dalam melaksanakan tugas audit. Selain itu, auditor BPK
diharapkan untuk memperbanyak pengalaman dan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Auditor BPK juga diharapkan untuk meningkatkan komptensi dan senantiasa
menerapkannya. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan sikap skeptisisme
profesionalnya.
Bagi BPK RI diharapkan rutin mengadakan pelatihan mengenai pemahaman
kode etik, mengadakan sistem reward bagi auditor yang senantiasa menjalankan kode
etik dan melaporkan adanya pelanggaran kode etik. BPK RI juga diharapkan untuk
memberi pelatihan bagi auditor, dan melakukan pengawasan efektif dalam
pelaksanaan audit yang dilakukan auditor. Selain itu, memberikan kesempatan yang
sama dalam pemberian penugasan untuk setiap auditornya, sehingga auditor-
auditornya dapat memiliki pengalaman dari jumlah penugasan pemeriksaan.
Referensi
Ismail, Dr. Drs. Etika Pemerintahan Norma, Konsep dan Praktek Etika Pemerintahan. DI
Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2017. PDF File 1 April 2017.
BPK RI. 2007. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2007 (Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan). Indonesia.
Ikatan Akuntan Indonesia.2016.Kode Etik Akuntan Profesional.Jakarta www.kpk.go.id
https://m.detik.com/news//berita/d-3522344/icw-fenomena-suap-opini-wtp-mengkhawatirkan
https://www.google.co.id/amp/s/app.kompas.com/amp/nasional/read/2017/05/28/02000071/
kronologi.kasus..dugaan.suap.pejabat.kemendes.pdtt.dan .auditor.bpk
https://tarymagetan.wordpress.com/2013/11/01/sanksi-terhadap-pelanggaran-kode-etik-
akuntan-publik/
https://news.detik.com/berita/d-3513024/penjelasan-lengkap-kpk-soal-suap-opini-wtp-
kemendes .
http://nasional.kompas.com/read/2017/05/31/10333791/
kasus.suap.terkait.opini.wtp.kpk.panggil.auditor.bpk.
http://www.bpk.go.id.
https://repository.upnvj.ac.id/8979/2/dok_36_EC00201991661.pdf

Anda mungkin juga menyukai