Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH BIOFARMASI

PERJALANAN OBAT DALAM TUBUH YANG

DIBERIKAN SECARA INSTRANASAL

KELOMPOK 14

DISUSUN OLEH :

1. DEVI ESTIRANI (19330115)

2. CECILIA SIRAIT (19330118)

3. RIHAN HALABIYAH.J (19330119)

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI

NASIONAL JAKARTA

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................................i

BAB I : PENDALUHUAN

1.1 Latar Belakang….......................................................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan

…………………………………………………………………........ 2

1.3 Rumusan Masalah......................................................................................................................2

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Drug Delivery System Intranasal..............................................................................................3

2.1.1. Proses

Penggunaan………….................................................................................... 5

2.1.2. Kelebihan........................................................................................................................5

2.1.3. Kekurangan………..….……………………...

……………………………………. 6

2.2 Anatomi dan Fisiologi Hidung ………………………………….....

……………………. 6

BAB III : PEMBAHASAN

3.1. Biofarmasi Drug Delivery System Intranasal.......................................................................10

3.1.1. Mekanisme Absorpsi....................................................................................................10

3.1.2. Pelepasan Obat Intranasal.............................................................................................11

3.1.3. Perjalanan Obat Intranasal............................................................................................12

3.2. Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi DDS Intranasal..........................................................14


3.3. Sediaan DDS Intranasal.........................................................................................................18

BAB IV : PENUTUP

4.1. Kesimpulan.............................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bermacam sistem mucosal dalam tubuh manusia (nasal, pulmonal, rectal

dan vaginal) dapat dimanfaatkan untuk titik masuk system penghantaran obat.

Dengan sendirinya system mucosal tersebut memiliki perbedaan dan persamaan.

Formulasi sediaan ini seharusnya tidak hanya membahas aspek formulasi dan

teknologi saja, tetapi juga perlu membahas aspek : fisiologi, biokimia,

metabolisme mucosal obat dan absorpsi obat.

Sistem penghantaran obat intranasal ini telah berlangsung sejak lama,

dikenal dalam pengobatan Ayurve di di India dan oleh orang Indian di Amerika

Selatan, melalui cara penghisapan (snuff) obat untuk meningkatkan daya tahan

tubuh.

Pemberian obat secara intranasal merupakan alternative ideal untuk

menggantikan sistem penghantaran obat sistematik parenteral. Keuntungan

pemberian obat secara nasal ini meliputi : pencegahan eliminasi lintas pertama

hepatic, metabolisme dinding saluran cerna atau destruksi obat disalur cerna :

kecepatan dan jumah absorpsi, serta profil konsentrasi obat versus waktu relative

sebanding dengan pengobatan secara intravena, keberadaan vaskulator yang

besar dan struktur yang sangat permeabel mukosa nasal ideal untuk absorpsi

sistematik, dan kemudian pemberian serta kenyamanan obat secara intra nasal

untuk pasien. Pemberian obat menurut rute nasal merupakan sistem

penghantaran obat yang menarik, seperti terbukti dengan introduksi bentuk


sediaan yang dapat diterima misal kalsitonin untuk osteoporosis dan analog dari

luteinizing harmone-releasing harmone untuk endometrosis. Selain itu telah

diteliti pula semacam obat untuk diberikan secara intranasal (misal

kartikosteroid, antibiotika, kardiovaskular, histamine dan anti histamine dan lain

sebagainya).

1.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dan memahami Anatomi dan fisiologi intranasal

2. Untuk mengetahui dan memahami proses pembuluh darah yang melewati

intranasal

3. Untuk mengetahui dan memahami komponen dan karakteristik cairan

intranasal

4. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang mempengaruhi proses

LDA obat intranasal

5. Untuk mengetahui dan memahami biomafarmasetik sediaan obat

intranasal

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Anatomi dan fisiologi intranasal

2. Bagaimana pembuluh darah yang melewati intranasal

3. Apa komponen dan karakteristik cairan intranasal

4. Jelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi proses LDA obat intranasal

5. Bagaimana evaluasi biomafarmasetik sediaan obat intranasal


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Drug Delivery System Intranasal

Drug Delivery System Intranasal (DDS Intranasal) merupakan sistem

pengahantaran obat melalui hidung. Mukosa hidung telah dianggap sebagai rute

pemberian obat untuk mencapai absorpsi yang lebih cepat dan lebih tinggi karena

dapat mengurangi aktivitas dari saluran pencernaan, mengurangi aktivitas

pankreas dan aktivitas enzimatik lambung, pH netral pada mukus hidung akan

mengurangi aktivitas gastrointestinal (Krishnamoorthy R et al, 1998;.. Kisan R et

al, 2007). Dalam beberapa tahun terakhir banyak obat telah terbukti mencapai

bioavailabilitas yang lebih baik ke sistemik melalui rute pemberian hidung

dibandingkan dengan rute pemberian oral. Pengobatan melalui hidung, telah

diakui dalam sistem Ayurvedic obat India, yang disebut dengan "NASAYA

KARMA" (Chien YW et al., 1989).

2.2. Konsep Dasar Penghantaran Obat.

Ketika obat digunakan oleh pasien, obat akan menghasilkan efek tertentu

yang disebut efek biologis. Efek biologis ini merupakan hasil interaksi obat

dengan reseptor tertentu dari obat, dimana obat yang dihantarkan ke tempat kerja

diatas pada kecepatan dan konsentrasi tertentu diharapkan dapat memberikan

efek terapeutik yang maksimal dan dengan efek samping yang seminimal

mungkin. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat :


a. Kelarutan obat

Agar dapat diabsorpsi obat harus dalam bentuk larutan. Obat yang

diberikandalam bentuk larutan akan mudah diabsorpsi dibandingkan obat

yang haruslarut dahulu dalam cairan badan sebelum diabsoprsi.

b. Kemampuan obat difusi melintasi membran sel

Obat yang berdifusi melintasi pori-pori membran lipid kebanyakan obat

diabsorpsi dengan pasif.

c. Kadar Obat

Semakin tinggi kadar obat dalam larutan semakin cepat obat diabsorpsi.

d. Sirkulasi darah pada tempat absorpsi

Semakin cepat sirkulasi darah maka obat yang diabsorpsi akan semakinbesar.

e. Luas permukaan kontak obat

Untuk mempercepat absoprsi dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran

partikel obat.

f. Bentuk sediaan obat

Untuk memperlambat absorpsi obat dapat dilakukan dengan penggunaan obat

bentuk kerja panjang.

g. Rute penggunaan obat

Rute pemakaian obat dapat mempengaruhi kecepatan absorpsi obat.

Perkembangan obat akhir-akhir ini diarahkan pada bentuk sediaan obat

alternatif dari parenteral dimana obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik melalui

rute bukal, sublingual, nasal, pulmunory dan vaginal. Rute ini juga digunakan
untuk pengobatan lokal dimana dosis obat dapat dikurangi dan juga mengurangi

efek samping sistemik. Untuk memahami teknologi penghantar obat terdapat

beberapa hal yang harus dimengerti, antara lain :

 Konsep Bioavaibilitas

 Proses Absorpsi obat

 Proses Farmakokinetik

 Waktu untuk terapi yang optimal

 Penghantaran obat yang cocok untuk “ New Biotherapeutis “

 Keterbatasan dari terapi konvensional

Dari berbagai hal diatas, tiga hal yang merupakan unsur terpenting

diantaranya bioavaibilitas, penghantaran obat dan pencegahan serta pelepasan

obat terkontrol.

2.2.1. Proses Penggunaan Obat Intranasal

Proses penggunaan DDS Intranasal dapat melalui penghantaran dua arah

dengan laju nafas, sebagai berikut :

 Ketika nafas dikeluarkan ke dalam alat, langit-langit lunak secara

otomatis menutup rapat rongga hidung

 Nafas memasuki satu lubang hidung lewat mulut pipa yang menyegel

 Dan memicu pengeluaran partikel ke dalam aliran, memajukan partikel

melewati klep hidung untuk menuju tempat sasaran

 Aliran udara melewati communication posterior ke sekat hidung dan

keluar melalui bagian hidung yang lain di jurusan berlawanan.

Sehingga proses tersebut akan menghasilkan :


 > 90 % dosis obat didepositkan melalui katup nasal

 > 70 % dosis didepositkan di bawah posterior 2/3 rongga nasal

 Reproducibility tinggi dari pendepositan melalui katup nasal

 Tidak ada endapan pada paru - paru.

2.2.2. Kelebihan Drug Delivery System Intranasal

 Dosis yang diperlukan untuk efek farmakologinya dapat dikurangi

 Konsentrasi rendah dalam sirkulasi sistemik dapat mengurangi efek

samping sistemik

 Area permukaan untuk absorpsi luas ( 160 cm3 )

 Onset of action yang cepat

 Aktivitas metabolisme yang rendah dibandingkan peroral, menghindari

reaksi saluran cerna metabolisme hati

 Bentuk sediaan alternative, jika tidak dapat digunakan obat saluran cerna

 Mudah diakses untuk penghantaran obat

2.2.3. Kekurangan Drug Delivery System Intranasal

 Difusi obat terhalang oleh mucus dan ikatan mucus

 Mukosa nasal dan sekresinya dapat mendegradasi obat

 Iritasi lokal dan sensitivisasi obat harus diperhatikan

 Mucociliary clearance mengurangi waktu retensi obat dalam rongga

hidung

 Kurang reproduksibilitas pada penyakit yang berhubungan dengan rongga

hidung
 Hanya untuk obat yang poten (dosis kecil) dengan ukuran partikel 5 – 10

µm

2.3. Anatomi dan Fisiologi Hidung

a. Anatomi hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat

kembali tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus

diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan

fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan.

(Soetjipto D & Wardani RS,2007)

b. Embriologi hidung

Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari

pembentukan anatomis intranasal dapat dibagi menjadi dua proses.

Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian

rongga hidung yang berbeda; kedua adalah bagian dinding lateral hidung

yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal

dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut

sebagai sinus. (Walsh WE, 2002)

c. Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung

bagian luar menonjol padagaris tengah di antara pipi dan bibir atas;

struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah

tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago

yangsedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus


hidung yang mudah digerakkan.Bentuk hidung luar seperti piramid

dengan bagian- bagiannya dari atas ke bawah :

1) pangkal hidung (bridge),

2) batang hidung (dorsum nasi),

3) puncak hidung

d. Anatomi hidung dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari

os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang

memisahkan rongga hidung dari naso faring. Kavum nasi dibagi oleh

septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka

inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan

meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut

meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.

(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)

e. Fungsi Dari Hidung


Fungsi dari hidung adalah untuk menghangatkan, membersihkan,

dan melembabkan udara yang anda napas serta membantu anda untuk

membaui dan mencicipi. Seorang yang normal akan menghasilkan kira-

kira dua quarts (1 quart = 0,9 liter) cairan setiap hari (lendir), yang

membantu dalam mempertahankan saluran pernapasan bersih dan

lembab. Rambut-rambut mikroskopik yang kecil (cilia) melapisi

permukaan-permukaan dari rongga hidung, membantu menghapus

partikel-partikel. Akhirnya lapisan lendir digerakan ke belakang

tenggorokan dimana ia secara tidak sadar ditelan. Seluruh proses ini

diatur secara ketat oleh beberapa sistem-sistem tubuh.

Rongga hidung ditutupi dengan selaput lendir yang dapat dibagi

menjadi dua wilayah, nonolfactory dan penciuman epitel, di daerah ini

non penciuman mencakup ruang depan hidung yang ditutupi dengan kulit

seperti stratifikasi sel epitel skuamosa, di mana sebagai daerah

pernapasan, yang memiliki saluran udara epitel khas ditutupi dengan

banyak mikrovili, sehingga luas permukaan besar yang tersedia untuk

penyerapan obat dan transportasi (Sarkar MA, 1992). Dengan cara ini

lapisan lendir dalam arah didorong dari anterior ke bangsal bagian

posterior rongga hidung. Sel-sel goblet yang hadir dalam selaput lendir

yang meliputi konka hidung dan atrium, melainkan mengeluarkan mucus

sebagai butiran lendir yang bengkak pada cairan hidung untuk

berkontribusi pada lapisan lendir.


Sekresi lendir terdiri dari sekitar 95% air, Mucin 2%, 1% garam,

1% protein lain seperti albumin, imunoglobulin, lisozim dan laktoferin,

dan 1% lipid (Kaliner M et al., 1984). Sekresi lendir memberikan

perlindungan kekebalan terhadap inhalasi bakteriofagria dan viruses juga

melakukan sejumlah fungsi fisiologis.

1) Ini mencakup mukosa, melindungi fisik dan enzimatis tersebut.

2) lendir ini memiliki kapasitas menahan air.

3) Ini menunjukkan permukaan kegiatan listrik.

4) Ini memungkinkan perpindahan panas yang efisien.

5) Bertindak sebagai perekat dan partikel transportasi menuju

nasofaring (Bernstein JM et al., 1997)


2.4. Biofarmasi DDS Intranasal

2.4.1 Mekanisme Absorpsi Obat Intranasal

Obat-obatan yang diserap dari rongga hidung harus melewati Lapisan

lendir, itu adalah langkah pertama dalam penyerapan. Obat kecil dengan

mudah melewati lapisan ini tetapi obat besar tidak mudah atau sulit

dikenakan untuk menyeberang lapisan tersebut. Prinsip protein lendir adalah

musin, melainkan memiliki kecenderungan untuk mengikat zat terlarut,

menghalangi difusi. Selain itu perubahan struktural dalam lapisan lendir

yang mungkin sebagai akibat dari perubahan lingkungan (yaitu Ph, suhu,

dll) (Illum et al, 1999). Mekanisme penyerapan Begitu banyak yang

didirikan sebelumnya tapi hanya dua mekanisme telah dominan digunakan,

seperti :

 Mekanisme pertama melibatkan rute berair transportasi, yang juga

dikenal sebagai rute paracellular. Rute ini lambat dan pasif. Ada korelasi

log-log terbalik antara intranasal penyerapan dan berat molekul senyawa

larut dalam air. Kurang bioavailabilitas diamati untuk obat dengan berat

molekul lebih besar dari 1000 Dalton.

 Mekanisme kedua melibatkan transportasi melalui rute lipoidal juga

dikenal sebagai proses transelular dan bertanggung jawab untuk

pengangkutan lipofilik obat yang menunjukkan tingkat ketergantungan

pada lipofilisitas mereka. Obat juga lintas membran sel dengan rute

transpor aktif melalui carrier-dimediasi berarti atau transportasi melalui

pembukaan persimpangan ketat. Sebagai contoh, kitosan, suatu


biopolimer alami dari kerang, membuka sambungan yang erat antara

epitel sel untuk memfasilitasi transportasi obat.

2.4.2 Pelepasan Obat Intranasal

a. Bentuk Sediaan Obat Dan Pembawa

Bentuk sediaan obat yang ideal diantaranya harus meliputi hal-hal

berikut ini : kenyamanan pasien, reproducibility, mudah di absorpsi,

biokompabilitas dan tidak ada reaksitambahan, luas efektif area kontak,

dan waktu kontak yang di perpanjang. Klasifikasi rute sistem

penghantaran obat diantaranya : sistem saluran cerna, parenteral, trans

mukosa, trans nasal, pelepasan obat lewat paru-paru, pelepasan obat

melalui kulit, pelepasanobat trans dan transvagina. Hal-hal yang

mempengaruhi masuknya obat kedalam sirkulasi sistemik :

 Besarnya luas permukaan; contoh villi dan microcilli pada usus kecil

memperluas permukaan sehingga memudahkan absorpsi obat.

 Aktivitas metabolik yang rendah, enzim dapat mendealtifas obat yang

akan diabsorpsi, bioavaibilitas rendah dapat disebabkan oleh aktivitas

enzim yang tinggi.

 Waktu kontak; waktu kontak dengan jaringan pengabsorpsi akan

mempengaruhi jumlah obat yang melalui mukosa.

 Suplai darah, darah yang cukup akan memindahkan obat dari tempat

kerja ke tempat absorpsinya.

 Aksebilitas, variasi rute penghantaran obat menunjukan berbagai

daerah tertentu yang membutuhkan bahan tambahan atau kondisi


tertentu untuk membantu obat mencapaitempat kerja.

 Variabilitas yang rendah

 Permeabilitas, semakin permiabel suatu epitel maka daya

absorpsinyapun semakin tinggi.

Sistem penghantaran obat dan penargetan obat yang ideal diantaranya :

Obat mempunyai target yang spesifik, Menjaga obat pada jaringan yang

bukan target, Meminimalisasir pengurangan kadar obat ketika mencapai

target, Melindungi obat dari metabolisme, Melindungi obat dari klirens dini,

Menahan obat pada tempat kerja selama waktu yang dikehendaki,

Memfasilitasi transport obat kedalam sel, Menghantarkan obat ke target

intraseluler, Harus biokompatibel, biodegradable dan non antigenik.

b. Penghantaran Obat Intranasal

Obat diberikan secara intranasal untuk efek lokal seperti obat tetes

hidung atau spray,rongga hidung digunakan untuk pelepasan obat sistemik.

Beberapa perusahaan farmasi bahkan mengembangkan pemberian insulin

melalui hidung, Selain itu pemberian obat secara intranasal dikembangkan

juga untuk vaksin, contohnya vaksin antraks yang menggunakan teknologi

nano dapat diberikan melalui nasal, pemberian ini menguntungkan pasien

yang takut terhadap jarum suntik, yang mana umumnya vaksin

diberikandalam bentuk injeksi.Pada pemberian obat intranasal dibandingkan

obat sistemik atau oral, yang perludiperhatikan adalah ukuran partikel yang

didistribusikan dengan alat semprot atau spraynya.Ukuran yang paling umum

adalah 20 – 50 µm, ukuran lebih kecil akan membawa obat sampaitrachea,


sedangkan ukuran yang lebih besar dapat digunakan bila obat ingin disimpan

dalamsaluran hidung, tetapi bisa jadi malah keluar dari lubang hidung atau

bahkan tertelan.

2.4.3 Perjalanan Obat Intranasal

Adapun perjalanan sistem penghantaran obat (Drug Delivery System)

intranasal dalam tubuh, adalah sebagai berikut :

a. Bentuk sediaan obat nasal dengan zat aktif

sediaan nasal diformulasikan atau dirancang dengan sedemikian rupa untuk

penggunaan efek lokal.

b. Fase biofarmasetik

obat dihisap melalui rongga hidung masuk ke dalam Fase ini meliputi

waktu mulai penggunaan sediaan obat melalui hidung hingga pelepasan zat aktifnya

ke dalam cairan tubuh.

c. Ketersediaan farmasi obat siap untuk diabsorbi

Obat dalam bentuk zat aktif terlarut siap untuk diabsorpsi yang selanjutnya zat aktif

akan didistribusikan keseluruh tubuh (sistemik)

d. Fase farmakokinetik tidak terjadi ADME

Fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan setelah obat

dilepas dari bentuk sediaan.

e. Ketersediaan hayati obat untuk memberi efek

Pada tahap ini obat mulai memberikan efek pada pasien dengan cara berikatan

dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh.

f. Fase farmakodimanik interaksi dengan reseptor ditempat kerja


Bila obat telah berinteraksi dengan sisi reseptor biasanya protein membrane akan

menimbulkan renspon biologik. Tujuan utama pada fase ini adalah optimisasi dari

efek biologik.

g. Efek terapi obat pada akhirnya memberikan efek terapi atau pengobatan

pada pasien.Yang diharapkan dapat memberikan kesembuhan pada pasien.

2.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi DDS Intranasal

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas sistemik dari

obat yang diberikan melalui rute hidung. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi

terhadap sifat physiochemical dari obat, sifat anatomi dan fisiologis dari rongga

hidung dan jenis dan karakteristik dari sistem pengiriman obat yang dipilih

hidung. Faktor-faktor ini memainkan peran kunci untuk sebagian besar obat

untuk mencapai tingkat darah terapi efektif setelah pemberian hidung. Faktor

yang mempengaruhi penyerapan obat hidung dijelaskan sebagai berikut.

1. Sifat fisiko kimia obat

a. KeseimbanganLipofilik-hidrofilik

Sifat HLB dari obat mempengaruhi proses penyerapan. Dengan meningkatkan

lipofilisitas, permeasi senyawa biasanya meningkat melalui mukosa

hidung.Meskipun mukosa hidung ditemukan memiliki beberapa karakter hidrofilik,

tampak bahwa mukosa ini terutama lipofilik di alam dan domain lipid memainkan

peran penting dalam fungsi penghalang membran ini.Obat lipofilik seperti nalokson,

buprenorfin, testosteron dan etinilestradiol hampir sepenuhnya diserap bila diberikan

rute intranasal.

b. Degradasi enzimatik dalam rongga hidung

Obat seperti peptida dan protein memiliki bioavailabilitas yang rendah di rongga
hidung, sehingga obat ini mungkin memiliki kemungkinan untuk mengalami

degradasi enzimatik dari molekul obat dalam lumen rongga hidung atau sewaktu

melewati penghalang epitel.Pada ke dua bagian initerjadi exo-peptidases dan endo-

peptidases, exo-peptidases adalah mono-aminopeptidases dan di-aminopeptidases.

Ini memiliki kemampuan untuk membelah peptida pada mereka N dan C termini dan

endo-peptidases seperti serin dan sistein, yang dapat menyerang ikatan peptida

internal.

c. Ukuran molekul

Penyerapan obat melalui rute hidung dipengaruhi oleh ukuran molekul. Obat

lipofilik memiliki hubungan langsung antara MW dan permeasi obat

sedangkan senyawa yang larut dalam air menggambarkan hubungan terbalik.

Tingkat permeasi sangat sensitif terhadap ukuran molekul untuk senyawa

dengan MW ≥ 300 Dalton.

2. Karakteristik sediaan Obat Intranasal

a. Formulasi (Osmolaritas, pH, Konsentrasi)

 Osmolaritas bentuk sediaan mempengaruhi penyerapan obatdi hidung.

Sebagai contoh ialahnatrium klorida yang mempengaruhi penyerapan

hidung. Penyerapan maksimum dicapai dengan konsentrasi natrium

klorida 0.462 M, konsentrasi yang lebih tinggi tidak hanya

menyebabkan bioavailabilitas meningkat tetapi juga mengarah pada

toksisitas pada epitel hidung.

 pHsediaan obat dan permukaan hidung dapat mempengaruhi permeasi

obat ini.

Untuk menghindari iritasi hidung, pH sediaan obat harus disesuaikan


dengan pH 4,5

- 6,5 karena lisozim ditemukan di sekret hidung, yang bertanggung

jawab untuk menghancurkan bakteri tertentu pada pH asam. Dalam

kondisi basa, lisozim tidak aktif dan jaringan yang rentan terhadap

infeksi mikroba. Selain menghindari iritasi, itu menghasilkan

memperoleh permeasi obat efisien dan mencegah pertumbuhan

bakteri.

 Gradien konsentrasi memainkan peran yang sangat penting dalam

proses penyerapan/permeasi obat melalui membran hidung karena

kerusakan mukosa hidung. Contoh untuk ini adalah penyerapan L-

Tirosin, dimana konsentrasi obat dalam percobaan perfusi hidung.

Sedangkanpada absorpsi asam salisilat konsentrasi obatnya menurun.

Penurunan ini kemungkinan karena kerusakan mukosa hidung yang

permanen.

b. Distribusi Obat dan deposisi

Distribusi obat dalam rongga hidung merupakan salah satu faktor penting yang

mempengaruhi efisiensi penyerapan hidung. Modus pemberian obat dapat

mempengaruhi distribusi obat di rongga hidung yang pada gilirannya akan

menentukan efisiensi penyerapan obat. Penyerapan dan bioavailabilitas bentuk

sediaan hidung terutama tergantung pada lokasi disposisi. Bagian anterior hidung

menyediakan waktu perumahan berkepanjangan hidung untuk disposisi dari

formulasi, hal ini akanmeningkatkan penyerapan obat. Dan ruang posterior dari

rongga hidung akan digunakan untuk pengendapan bentuk sediaan, melainkan

dihilangkan oleh proses pembersihan mukosiliar dan karenanya menunjukkan


bioavailabilitas rendah. Situs disposisi dan distribusi bentuk sediaan terutama

tergantung pada pengiriman perangkat, cara pemberian, sifat fisikokimia molekul

obat.

c. Viskositas

Viskositas yang lebih tinggi dari formulasi meningkatkan waktu kontak antara

obat dan mukosa hidung sehingga meningkatkan waktu untuk permeasi. namun,

formulasi sangat kental akan mengganggu fungsi normal seperti pergerakan silia

atau clearance mukosiliar dan dengan demikian mengubah permeabilitas obat.

3. Sifat anatomi dan fisiologis dari rongga hidung

a. Mukosiliar

Partikel terperangkap dalam lapisan lendir yang yang akan terbersihkan dari rongga

hidung. Aksi gabungan lapisan lendir dan silia disebut kliren mukosiliar.Ini adalah

mekanisme pertahanan fisiologis saluran pernapasan untuk melindungi tubuh

terhadap bahan berbahaya yang telah dihirup.Waktu transit yang normal mukosiliar

pada manusia telah dilaporkan 12 sampai 15 menit. Faktor-faktor yang

mempengaruhi izin mucocilliary meliputi faktor fisiologis (umur, jenis kelamin,

postur, tidur, olahraga, polusi lingkungan umum (sulfur dioksida dan asam sulfat,

nitrogen dioksida, ozon, hairspray, dan asap tembakau, penyakit (silia sindrom

immotile, primary ciliary dyskinesia- Kartagener.s syndrome, asma, bronkiektasis,

bronkitis kronis, cystic fibrosis, infeksi saluran pernapasan akut dan obat-obatan.

b. Rhinitis

Rhinitis adalah penyakit umum yang paling sering dikaitkan pada pengobatan

intranasal, penyakit ini akan mempengaruhi bioavailabilitas obat. Hal ini terutama

diklasifikasikan ke dalam rhinitis alergi dan umum, gejalanya adalah hipersekresi,

gatal dan bersin terutama disebabkan oleh virus, bakteri atau iritan.Alergi rhinitis
adalah penyakit alergi saluran napas, yang mempengaruhi 10% dari populasi.Hal

ini disebabkan oleh peradangan kronis atau akut selaput lendir hidung.Kondisi ini

mempengaruhi penyerapan obat melalui selaput lendir akibat peradangan.

c. Permeabilitas membran

Permeabilitas membran hidung adalah faktor yang paling penting, yang

mempengaruhi penyerapan obat melalui rute hidung.Obat yang larut air dengan

berat molekul yang besar seperti peptida dan protein memiliki permeabilitas

membran yang rendah. Jadi senyawa seperti peptida dan protein yang utama

diserap melalui proses transportasi endocytotic dalam jumlah rendah. Obat yang

larut dalam air dengan berat molekul yang besar melintasi mukosa hidung secara

difusi pasif melalui pori-pori berair.

d. pH Lingkungan

PH lingkungan memainkan peran penting dalam efisiensi penyerapan obat

intranasal.Senyawayang larut dalam air seperti asam benzoat, asam salisilat, dan

alkaloid menunjukkan bahwa penyerapan obat bergantungkepada nilai-nilai pH

dimana senyawa ini dalam bentuk tidak terionisasi. Namun, pada nilai pH dimana

senyawa ini sebagian terionisasi, penyerapan substansial ditemukan.Ini berarti

bahwa bentuk lipofilik tidak terionisasi melintasi penghalang epitel hidung melalui

rute transelular, dimana bentuk terionisasi yang lebih lipofilik melewati rute

paracellular berair.

2.4.5 Perbedaan Intranasal DDS dengan Konvensional

Pemberian obat secara nasal sekarang ini adalah cara yang popular untuk

menangani penyakit pernafasan dan juga mengatur pemberian obat-obatan

bebas(OTC) pada kondisi sinus, seperti hidung mampet atau alergi. Semprotan
nasal, botol tekan, atau obat tetes hidung adalah sebagian dari metode pemberian

obat langsung yang umum dan biasanya dipilih oleh konsumen pada

swamedikasi ataupun pada obat resep untuk pilek atau alergi. Untuk pasien yang

tidak menyukai cara spray/semprotkedalam hidung atau bagi pasien yang tidak

memungkinkan adanya terapi nebulisasi,dapat digunakan cara oles/swab.

Beberapa pabrik obat sedang mengembangkan cara penggunaan aplikator dosis

tunggal, yang dapat melapisi lubang hidung dengan cairan atau gel. Pada pilek,

selain untuk mengobati, swab juga dapat terserap oleh saluran hidung.

Pada intinya, pemberian obat langsung ke hidung/daerah nasal adalah

dosis yang digunakan adalah seminimal mungkin, karena tidak sperti oral, yang

harus memperhatikan metabolisme lintas pertama di hati. Alat

penyemprot/sprayer juga memiliki peranan penting. Penggunaan sprayer

tradisional akan memiliki perbedaan jika digunakan oleh remaja dan orang tua,

karena kekuatan penyemprotan yang berbeda. Untuk itu, banyak perusahaan

farmasi yang mengembangkan alat yang dapat mengukur jumlah obat yang

dikeluarkan secara simultan. NDA (New Drug Application) menentukan bahwa

pemberian obar nasal untuk gejala ataupun penyakin radangselaput lendir, hanya

untuk pasien 12 tahun ke atas.

Pada pemberian obat nasal menggunakan spray yang biasa, cairan

berfungsi sebagai pembawa, obat/zat aktif hanya sebagian kecil dari total

keseluruhan cairan tersebut. Tantangan formulasinya adalah mencari formula

yang tidak akan merugikan pasien dan dapat diabsorpsi dengan baik oleh hidung,

tetapi secara efektif dapatdipompa oleh pompa mekanik regular.


Tantangan selanjutnya adalah membuat sediaan nasal yang juga dapat

melewati sawar darah otak. Umumnya, tradisional spray nasal, hanya mencapai

sepertiga mukosa nasal, untuk itu banyak perusahaan farmasi yang

mengembangkan sistem dispersi yang dapat memungkinkan obat dapat mencapai

seluruh permukaan mukosanasal hingga paranasal. Teknologi seperti ini juga

dapat digunakan untuk obat topikalagar dapat berpenetrasi lebih dalam dan obat

oral agar dapat diasorpsi lebih baik lagi.Saat ini banyak dikembangkan obat nasal

tanpa pengawet, yang dapat mengiritasihidung dan mukosa. Selain itu,

dikembangkan juga alat yang dapat mengirimkan obat menggunakan aktuator

samping (side actuator), bukan melaui bagian atas alat tersebut. Drug delivery

system intranasal atau sistem penghantaran obat intranasal adalah suatu teknologi

penyampaian obat yang khas, diciptakan agar obat dapat mencapaitempat kerja

di intranasal lebih optimal. Perbedaan DDS intranasal dengan sediaan oral untuk

penyakit nasal adalah tanpa proses ADME (absorbsi, distribusi,

metabolisme,eksresi), sehingga efek obat akan cepat tercapai, karena

pemberiannya yang langsung mencapai tempat kerjanya.

2.5. Kelebihan Dds Intranasal Dibandingkan Sediaan Konvesional

1. Dapat digunakan untuk berbagai macam terapi pengobatan, seperti:

Kulit Pengobatan : Rhinitis Obat : Steroid Antihistamin

Rhinosinusitis Polip hidung Immune modulators

Sinusitis akut Flu Decongestan

Vaksin vaksin
Sistemik Pengobatan : Neuroaktif protein dan

Migraine dan sakit kepala polipepetida

Insomnia dan penenang Obat polar yang diabsorpsi

Obesitas sedikit pada GI

Diabetes 1 dan 2

Otak Migraine dan sakit kepala Neuroaktif protein dan

Insomnia dan penenang polipepetida

Obesitas Obat polar yang diabsorpsi

Diabetes 1 dan 2 sedikit pada GI

Alzeimer dan Parkinson

2. Target pemberian obat pada penanganan penyakit melalui daerah sekitar

saluran nasal

3. Pada bentuk obat konvensional, kerja tidak langsung pada tempatnya

4. Jatuhnya obat langsung pada tempat kerja

 Alat DDS nasal modern(jatuhnya obat ditengah meatus)

 Alat DDS nasal konvensional (obat harus di hirup terlebih dahulu, jadi

obat tidak menuju tempat kerja langsung)

5. Dosis obat dapat diabsorbsi pada saluran nasal dengan maksimum (>

90%)
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Anatomi dan fisiologi intranasal


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum
nasi kanan dan
kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.

Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral
belakang berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides.

A) Dasar Hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os
palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan
tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os
sphenoidale. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi
terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os
vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit,
jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.

B) Dinding Lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta
konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah
konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil
adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.
Diantara konkakonka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan
superior.

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os
spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid.

Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya
terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara
atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel
etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal.

Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,


mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai
3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

C) Septum Hidung

Gambar 2. Anatomi Septum Hidung

Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh
os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung
tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

Gambar 2. Vaskularisasi Hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.

Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung.
Gambar 4. Inervasi Hidung

3.2 Pembuluh darah yang melewati intranasal


Mukosa nasal peka terhadap perubahan suhu dan kelembaban atmosfer dan
kedua faktor ini sudah dapat mengakibatkan hidung tersumbat ringan. Hidung dan
sinus nasal menghasilkan 1 liter mukus dalam 24 jam dan kebanyakan dari jumlah
ini masuk ke lambung melalui nasofaring. Hanya karena perubahan kecil pada
jalan udara nasal, serta mengalirnya mukus melalui nasofaring, mengakibatkan
beberapa penderita didiagnosa secara tidak tepat sebagai sinusitis kronis. Gejala
ini dapat diamati pada influenza tahap lanjut. Natrium klorida 0,9% diberikan
sebagai tetes hidung mungkin dapat mengurangi hidung tersumbat dengan cara
membantu mencairkan sekresi mukosa.

Pertolongan simtomatik untuk hidung tersumbat yang berhubungan dengan


rinitis vasomotor, polip hidung, dan flu biasanya dapat diperoleh dengan
pemakaian obat tetes dekongestan nasaldan obat semprot jangka pendek (biasanya
tidak lebih dari 7 hari). Sediaan ini mengandung simpatomimetik yang bekerja
dengan cara vasokonstriksi pembuluh darah mukosa yang kemudian mengurangi
pembengkakan mukosa nasal. Manfaat obat-obat ini kecil, karena dapat
menyebabkan fenomena rebound ketika efeknya habis, karena vasodilatasi
sekunder yang diikuti kongesti nasal temporer. Hal ini mendorong penggunaan
dekongestan lebih lanjut sehingga terjadi vicious circle yang memburuk. Tetes
hidung efedrin adalah sediaan simpatomimetik yang paling aman dan dapat
mengatasi gejala untuk beberapa jam. Simpatomimetik yang lebih kuat seperti
oksimetazolin, fenilefrin, dan xilometazolin cenderung menyebabkan
efek rebound. Semua sediaan ini dapat mengakibatkan krisis hipertensi bila
digunakan bersama inhibitor monoaminoksidase, seperti moklobemid. Rinorea
berair non-alergi sering menunjukkan respons yang baik terhadap pengobatan
dengan ipratropium bromida. Menghirup uap hangat berguna dalam pengobatan
simtomatik infeksi akut, dan pemakaian kombinasi zat yang mudah menguap
seperti mentol dan eukaliptus dapat membantu penggunaannya.

3.3 Komponen dan karakteristik cairan intranasal


Karakteristik sediaan Obat Intranasal

a. Formulasi (Osmolaritas, pH, Konsentrasi)

 Osmolaritas bentuk sediaan mempengaruhi penyerapan obatdi

hidung. Sebagai contoh ialahnatrium klorida yang mempengaruhi

penyerapan hidung. Penyerapan maksimum dicapai dengan

konsentrasi natrium klorida 0.462 M, konsentrasi yang lebih tinggi

tidak hanya menyebabkan bioavailabilitas meningkat tetapi juga

mengarah pada toksisitas pada epitel hidung.

 pHsediaan obat dan permukaan hidung dapat mempengaruhi

permeasi obat ini.

Untuk menghindari iritasi hidung, pH sediaan obat harus disesuaikan

dengan pH 4,5

- 6,5 karena lisozim ditemukan di sekret hidung, yang bertanggung

jawab untuk menghancurkan bakteri tertentu pada pH asam. Dalam


kondisi basa, lisozim tidak aktif dan jaringan yang rentan terhadap

infeksi mikroba. Selain menghindari iritasi, itu menghasilkan

memperoleh permeasi obat efisien dan mencegah pertumbuhan

bakteri.

 Gradien konsentrasi memainkan peran yang sangat penting dalam

proses penyerapan/permeasi obat melalui membran hidung karena

kerusakan mukosa hidung. Contoh untuk ini adalah penyerapan L-

Tirosin, dimana konsentrasi obat dalam percobaan perfusi hidung.

Sedangkanpada absorpsi asam salisilat konsentrasi obatnya menurun.

Penurunan ini kemungkinan karena kerusakan mukosa hidung yang

permanen.

3.4 faktor yang mempengaruhi proses LDA obat intranasal


1. DISOLUSI & DIFUSI ZAT AKTIF DLM C. BIOLOGI
1. Ukuranpartikel
2. Kelarutan zat aktif :
a. Perubahan senyawa obat(kimia) garam / ester
b. Perubahan kondisi fisik Kristal / amorf , polimorfisa , Solvat & hidrat
c. Formulasi & teknologi yang merubah laju disolusi :
pembentukan larutan padat pembentukan kompleks bahan yang merubah tetapan
dielektrik bahan pelarut miselat penyalutan dan senyaw hidrofil
2. FAKTORFISIOLOGIS
a. Perbedaan spesies:
 Perubahan hayati (biotransformasi)
 Eliminasi
b. Faktor individu :
umur, jenis kelamin, morfotipe, kelaininan genetic, kehamilan, keadaan
gozi, ritme biologi
3. FAKTOR PATOLOGIK
 Faktor yang mempersulit & penurun efek obat :
4. FAKTOR LINGKUNGAN
 Makanan & diet
 Kecanduan (toksikomani) - Cemaran udara dan air
 Fakroe meteorology
 Stres & kelelahan

4.1 Biomafarmasetik sediaan obat intranasal


Obat-obatan yang diserap dari rongga hidung harus melewati Lapisan lendir,

itu adalah langkah pertama dalam penyerapan. Obat kecil dengan mudah melewati

lapisan ini tetapi obat besar tidak mudah atau sulit dikenakan untuk menyeberang

lapisan tersebut. Prinsip protein lendir adalah musin, melainkan memiliki

kecenderungan untuk mengikat zat terlarut, menghalangi difusi. Selain itu

perubahan struktural dalam lapisan lendir yang mungkin sebagai akibat dari

perubahan lingkungan (yaitu Ph, suhu, dll) (Illum et al, 1999). Mekanisme

penyerapan Begitu banyak yang didirikan sebelumnya tapi hanya dua mekanisme

telah dominan digunakan, seperti :

 Mekanisme pertama melibatkan rute berair transportasi, yang juga dikenal

sebagai rute paracellular. Rute ini lambat dan pasif. Ada korelasi log-log terbalik

antara intranasal penyerapan dan berat molekul senyawa larut dalam air. Kurang

bioavailabilitas diamati untuk obat dengan berat molekul lebih besar dari 1000

Dalton.

 Mekanisme kedua melibatkan transportasi melalui rute lipoidal juga

dikenal sebagai proses transelular dan bertanggung jawab untuk pengangkutan

lipofilik obat yang menunjukkan tingkat ketergantungan pada lipofilisitas mereka.


Obat juga lintas membran sel dengan rute transpor aktif melalui carrier-dimediasi

berarti atau transportasi melalui pembukaan persimpangan ketat. Sebagai contoh,

kitosan, suatu biopolimer alami dari kerang, membuka sambungan yang erat

antara epitel sel untuk memfasilitasi transportasi obat.


BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Sistem penghantaran obat (Drug Delivery System) Intranasal adalah suatu

teknologi penyampaian obat alternatif yang diciptakan untuk mencapai

tempat kerja yang optimal di intranasal.

2. Mekanisme Absorpsi Intranasal terbagi dua, yaitu : Mekanisme melibatkan

rute berair transportasi yang dikenal dengan proses paraselular dan

Mekanisme melibatkan transportasi melalui rute lipodial yang dikenal

sebagai proses transelular

Faktor-faktor yang mempengaruhi DDS intranasal:

• Sifat Fisiko kimia Obat : Lipofilik-hidrofilik keseimbangan, Degradasi

enzimatik dalam rongga hidung, Ukuran molekul.

• Karakteristik sediaan Obat Intranasal : Formulasi (Konsentrasi, pH,

osmolaritas), Obat distribusi dan deposisi, Viskositas

• Sifat anatomi dan fisiologis dari rongga hidung : Mukosiliar, Dingin,

rhinitis, Permeabilitas membran, pH lingkungan

3. Sediaan Intranasal dapat berupa semprot hidung, nasal gel, tetes hidung,

nasal bubuk dan nasal mikroemulsi.


DAFTAR PUSTAKA

M.Alagusundaram, et.al. 2010. Nasal Drug Delivery System. Department of

Pharmaceutics, Annamacharya College of Pharmacy, India.

Akhtar Ali, et al. 2012. intranasal drug delivery system. Institute of

Pharmacy, Bundelkhand University, Jhansi (U.P), India

Shargel., leon, Yu., Andrew, Biofarmasetika dan Farmakokinetika

Terapan, AIrlangga University Press, Surabaya.

ANSEL H.C. :Introduction to Pharmaceutical Dosage Form.Lea Febiger.

Philadelphia.1969. p.54 - 70.

Vidio I : https://youtu.be/EJD794eXdaA

Vidio II : https://youtu.be/i48Ono69OgU

Vidio III : https://youtu.be/zdfdFlCmBVM

Biofarmasi – Drug Delivery 24

Sistem Intranasal

Anda mungkin juga menyukai