Anda di halaman 1dari 67

MAKALAH REVIEW

SISTEM PENGHANTARAN OBAT DAN PENTARGETAN

Sistem Penghantaran Obat Intranasal

Disusun Oleh:
Alhara Yuwanda

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
I. Pendahuluan ............................................................................................ 1
II. Sistem Penghantaran Obat Intranasal ....................................................... 4
III. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Reseptor ......................................... 9
IV. Peningkatan Mekanisme Absorbsi Pada Nasal ........................................ 11
V. Strategi Untuk Meningkatkan Penyerapan Pada Nasal ............................ 12
VI. Eksipien yang digunakan dalam Formulasi Nasal ................................... 13
VII. Formulasi Untuk Sediaan Liquid-Gas untuk Intranasal ........................... 16
VIII. Deliveri Nasal Secara Sistemik ................................................................ 19
IX. Mekanisme Sistemik Intranasal Untuk Efek Lokal dan Sistemik ............ 22
X. Modifikasi obat konvensional menjadi sediaan intranasal ....................... 34
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 57

ii Universitas Indonesia
I. Pendahuluan

Inovasi tentang sediaan obat terus dikembangkan. Contoh banyak jalur target obat
tidak efektif dan efisien apabila digunakan jalur pendekatan pemberian obat konvensional
ke otak atau sistem saraf pusat (SSP) karena jalur dan sawar yang kompleks (Aulton, et al.,
2013). Otak dan sistem saraf pusat keduanya memiliki akses terbatas ke dalam darah karena
memiliki sejumlah sawar atau penghalang. Banyak pendekatan teknologi maju dan efektif
terhadap pengiriman obat ke otak telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Salah
satunya pengiriman obat secara intranasal yang merupakan salah satu pilihan pengiriman
yang terfokus untuk penargetan otak, karena terdapatjsaluran otak dan hidung terhubung
satu sama lain melalui rute penciuman dan jalur periferal. Jalur pengobatan melalui saluran
dari hidung ke otak dari rute ini dapat ditelusuri dari zaman kuno dan telah diselidiki untuk
transportasi yang cepat dan efektif dalam dua dekade terakhir. Berbagai model telah
dirancang dan dipelajari oleh para ilmuwan untuk uji kualitatif dan kuantitatif transportasi
melalui mukosa hidung ke otak. Perkembangan produk obat intranasal untuk penargetan
otak masih merupakan tantangan besar. Harus diteliti yang lebih baik dalam hal sifat
kandidat obat, mekanisme jalur hidung ke otak, dan transportasi ke dan di dalam otak
sangat penting (Aurora, et al 2010).

Sistem saraf pusat adalah salah satu sistem kompleks dalam tubuh manusia. Sawar
darah otak (blood brain barrier/BBB) adalah hambatan utama dalam pemberian obat ke
otak. Obat yang digunakan terhadap penyakit jalur CNS harus sampai ke otak via BBB.
Fungsi BBB diatur secara dinamis oleh berbagai sel yang ada pada daerah BBB.
Persimpangan antara sel endotel di otak menghasilkan resistansi listrik trans-endotel sangat
tinggi sebesar 1500-2000 W cm2 dibandingkan dengan 3-33 W cm2 jaringan lain seperti
kulit, kandung kemih, usus besar, paru-paru dll yang secara signifikan mempengaruhi
deliveri obat oleh otak. Namun, golongan obat tertentu seperti benzodiazepin seperti
diazepam, karena lipofilisitasnya yang tinggi, dengan mudah melewati BBB. Hambatan
lain itu secara sistemik saat obat sebelum memasuki SSP adalah sawar cairan serebrospinal
darah (blood-cerebrospinal fluid barrier/BCB). Otak ditutupi olehstruktur berlapis ganda
yang disebut membran arachnoid, yang bertindak sebagai penghalang antara darah dan CSF
(Cerebrospinal fluid). Itu biasanya membatasi aliran zat hidrofilik dari darah otak karena
persimpangan yang ketat. Dengan demikian, BBB adalah penghalang pembatas tingkat
dominan dalam pengiriman obat yang ditargetkan oleh otak sistem. Mekanisme transportasi
melalui BBB dan Sifat fisikokimia dari molekul obat sangat besar faktor yang harus
dipertimbangkan dalam perancangan sistem pengiriman obat untuk penargetan otak.

Berbagai pendekatan ilmiah, gangguan BBB, transpor dimediasi reseptor, peptida


penetrasi sel dan target pengiriman menggunakan prodrugs, telah ditinjau untuk penargetan
otak. Sistem pengiriman obat lain dikutip dalam literature intranasal, intraserebral dan
intraserebroventrikular. Sebuah area penelitian yang sedang berlangsung adalah
menemukan cara untuk memperbaiki pengiriman obat langsung ke Central Nervous System
(CNS) melalui administrasi hidung dan dengan memanipulasi persimpangan di sawar darah
otak. Banyak sekali pengobatab baru - baru ini difokuskan pada eksplorasi rute intranasal
untuk pengiriman obat ke otak melalui mukosa jalur intranasal (Ando, 1998).

II. Hambatan dan Tantangan Sediaan Intranasal

Rongga hidung manusia memiliki total volume sekitar 16 sampai 19 mL, dan luas
permukaan keseluruhan sekitar 180 cm2, dan terbagi menjadi dua rongga hidung melalui
septum (Chaturvedi, 2011). Volume masing-masing rongga adalah sekitar 7,5 mL,
memiliki luas permukaan sekitar 75 cm2. Pasca pemberian obat ke dalam rongga hidung,
zat terlarut dapat diendapkan pada satu atau lebih dari tiga wilayah anatomis berbeda,
vestibular, jalur pernafasan atau daerah lokal olfaktori. Wilayah vestibular terletak pada
pembukaan nasal bagian [38-40], dan bertanggung jawab untuk menyaring udara dan
partikel terbawa (Duvvuri, 2003). Hal ini dianggap tidak ada absorbsi dari tiga wilayah
yang berkaitan dengan penyerapan obat. Sedangkan daerah pernafasan adalah yang terbesar
yang memiliki tingkat tertinggi vaskularitas dan terutama bertanggung jawab atas
penyerapan obat. Daerah permukaan penciuman untuk absorbsi sekitar 10 cm 2, dan itu
menjadi aspek penting dalam transportasi obat ke otak dan CSF (Alagusundaram, 2010).

4 Universitas Indonesia
Tiga wilayah anatomi yang berbeda hadir di rongga hidung dan sketsa cross sectional
ditunjukkan pada gambar (Junginger, 1990).

5 Universitas Indonesia
Gambar 1. Sketsa Anatomi Hidung: A) vestibular, (B) respiratory, and (C) olfactory
region.

Bagian epitel nasal ditutupi oleh lapisan lendir, yang menghambat partikel dari luar
masuk. Lapisan lendir penuh debu dibersihkan dari rongga hidung oleh silia, dan
diperbaharui setiap 10 sampai 15 menit. PH sekresi mukosa mulai dari 5,5-6,5 pada orang
dewasa dan 5,0 dan 6,7 pada anak-anak [43], yang melibatkan partikel dan dibersihkan dari
rongga hidung dengan silia. Lendir bergerak melalui hidung pada perkiraan tingkat 5
sampai 6 mm / menit. menghasilkan pembersihan partikel dalam hidung setiap 15 sampai
20 menit. Banyak enzim misalnya, sitokrom P450, enzim isoforms (CYP1A, CYP2A, dan
CYP2E), karboksilesterase danglutathione S-transferases ditemukan di rongga hidung
(Knoester, 2002).

Fokus dari tinjauan ini adalah untuk mengevaluasi kemungkinan formulasi untuk
membuat sediaan inhalasi intranasal sebagai sistem pengiriman obat yang inovatif.
Pemberian obat secara nasal telah mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir
sebagai rute yang mudah dan dapat diandalkan;tidak hanya untuk lokal tapi juga untuk
administrasi sistemik untuk obat-obatan melalui rongga hidung. Banyaknya pembuluh
darah di mukosa hidung menjadi potensi untuk absorbsi, yang hampir sama dengan injeksi
intravena dalam beberapa kasus.

Rongga hidung menawarkan beberapa keunggulan tersendiri untuk efek sistemik seperti
(Chajed, 2011):

1. Luas permukaan yang luas untuk absorbsi obat.


2. Kenyamanan dan kepatuhan pasien yang baik.
3. Pencapaian tingkat obat terapeutik secara cepat di darah.
4. Permeabilitas obat tinggi, terutama untuk lipofilik dan obat dengan berat molekul
rendah.
5. Menghindari degradasi enzimatik dan kondisi gastrointestinal.
6. Melewati metabolisme first-pass di hati.

6 Universitas Indonesia
7. Pengiriman obat langsung potensial ke otak sepanjang saraf di nasal.
8. Situs kontak langsung untuk vaksin dengan limfatik jaringan.

Rongga hidung adalah rute yang mudah dijangkau yang umumnya dapat ditoleransi
dengan baik (Knoester PD et al.,2002). Kelimpahan pembuluh darah di lapisan mukosa
hidung berkontribusi terhadap penyerapan obat, yang efeknya hamper sama dengan
suntikan intravena dalam beberapa kasus. Rute nasal dalam deliveri obat dapat digunakan
baik untuk efek lokal maupun pengiriman obat sistemik (Casettari L et al., 2014).

Misalnya, pemberian obat nasal efek local Biasanya digunakan untuk mengobati
kondisi yang berkaitan dengan rongga hidung, seperti tersumbat, rinitis, sinusitis dan alergi
terkait kondisi lingkungan. Beragam obat termasuk kortikosteroid, anti histamin, anti
kolinergik dan vasokonstriktor dapat diberikan secara lokal. Pada saat ini sebuah kebutuhan
akan sistem pengiriman obat yang inovatif muncul. Dalam beberapa tahun terakhir,
mencapai tindakan obat sistemik menggunakan hidung sebagai portal masuk ke tubuh
miliki mendapat perhatian lebih Beragam farmasi bentuk sediaan termasuk larutan, gel,
suspensi, emulsi, liposom dan partikel mikro dapat digunakan mencapai tindakan obat
sistemik. Bentuk sediaan ini adalah kebanyakan dirancang untuk memanfaatkan
keuntungan dari onset yang cepat tindakan saat diberikan melalui jalur hidung. Sebagai
contoh, morfin dan ketamin dapat dikirim secara intra-nasal ke Mencapai efek analgesik
yang cepat. nasal inhaler bisa menjadi sistem pengiriman obat yang paling efisien diantara
semua. Bahkan, Vaksin juga bisa diberikan dengan menggunakan hidung sebagai Rute
potensial, seperti influenza.

Keterbatasan sistem pengiriman obat hidung:

• Volume pengiriman di rongga hidung dibatasi sampai 25-200μL.


• Senyawa dengan berat molekul tinggi tidak dapat dikirim melalui rute ini (Batasnya
~ 1kDa).
• menyebabkan kerugian akibat kondisi patologis.
• Variabilitas interspesies besar diamati pada rute ini.

7 Universitas Indonesia
• Mekanisme pertahanan normal seperti penyapuan mukosa dan silia mempengaruhi
permeabilitas obat.
• rentan Iritasi mukosa hidung oleh obat-obatan seperti Budesonide,Azilaktin.
• saat ini terbatasnya pemahaman literatur untuk mekanisme dan model yang
dikembangkan pada tahap ini.Toksisitas sistemik terjadi akibat peningkatan
penyerapan namun belum mapan.
• Permukaan penyerapan yang lebih kecil dibandingkan dengan GIT.
• Kemungkinan iritasi hidung jadi tidak nyamandibandingkan dengan rute oral.
• Hambatan enzimatis terhadap permeabilitas obat.

Gambar 2.Struktur Tulang Hidung

Profil calon obat 'ideal' untuk deliveri obat melalui nasal:(Chien et al., 1987) Kandidat obat
hidung ideal harus memilikiberikut aspek:

• Kelarutan air yang sesuai untuk memberikan yang diinginkan dosis dalam formulasi
formulasi 25-150 ml per nostril
• Sifat absorbsi nasal yang sesuai.

8 Universitas Indonesia
• Tidak ada iritasi hidung dari obat.
• Alasan klinis yang sesuai untuk bentuk sediaan hidung,misalnya onset tindakan
cepat .
• Dosis rendah. Umumnya di bawah 25 mg per dosis.
• Tidak ada metabolit nasal beracun.
• Tidak berbau harum / aroma yang berhubungan dengan obat.
• Karakteristik stabilitas yang sesuai.

Salah satu cara untuk untuk pengobatan intranasal dengan menggunakan penguat dengan
menambahkan Drug Absorption Enhancement

Banyak obat yang memiliki kelarutan air tinggi tetapi memiliki permeabilitas yang buruk
saat melewati epitel hidung dan mungkin kurang dalam aspek bioavailibilitas. Untuk
meningkatkan permeabilitas dan bioavailabilitas sering kali ditambahkan enhancer. Pada
prinsipnya, permeation enhancers menginduksi dan memodifikasi pada struktur epitel
pembatas. Meski mekanisme pastinya penyerapan obat / peningkatan permeasi tidak
diketahui secara jelas,tetapi pprinsipnya bahan-bahan ini memodifikasi permeabilitas
lapisan sel epitel dengan memodifikasi fosfolipid bilayer ( .

III. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Reseptor Otak Melalui Sistem Pengiriman


Nasal

Selain itu, desain bentuk sediaan juga memainkan peran kunci dalam mengubah
farmakokinetik dan bioavailabilitas pada rute intranasal. Seperti yang diilustrasikan pada,
berbeda sistem pengiriman dan perangkat yang bisa digunakan untuk mengantarkan
berbagai bentuk sediaan obat melalui pengiriman intranasal. Beberapa faktor fisiko-kimia,
formulasi dan fisiologis adalah aspek penting dan harus dipertimbangkan sebelum
merancang pengiriman intranasal untuk reseptor otak. Seperti ditunjukkan pada, beberapa
faktor fisiko-kimia adalah bentuk sediaan kimia, polimorfisme, ukuran partikel, kelarutan

9 Universitas Indonesia
dan yang terpenting adalah berat molekul. Apalagi beberapa faktor lain seperti faktor
formulasi, Selain faktor fisiologis juga mengalami dampak yang menentukan pada hasil in
vivo / kinerja produk dan pada gilirannya mempengaruhi absorbsi obat yang ditargetkan
pada reseptor yang akan dituju dan sedang dieksplorasi oleh para ilmuwan untuk
meningkatkan kinerja produk secara in vivo. Karena anatomi dan sifat fisiologi dari rongga
nasal, distribusi dan desposisi terutama pada fungsi deliveri dan perangkat pengiriman.
Banyak faktor seperti tata administrasi, ukuran partikel pada formulasi, kecepatan partikel
yang dikirim, Sudut semprot, desain plume dan spray cone mempengaruhi serapannya di
seluruh epitel nasal.

Hasil penelitian dilakukan pada model hewan dan di manusia telah menunjukkan
serapan langsung obat ke cairan serebrospinal dan otak, yang terutama bergantung pada
berat molekul dan lipofilisitas. Serapan otak dapat berkorelasi positif dengan kelarutan lipid
atau berkorelasi negatif dengan ikatan hidrogen. Semakin tinggi Hasil potensial ikatan
hidrogen dalam serapan lebih rendah oleh otak. Dengan mengurangi potensi ikatan
hidrogen untuk sebuah jenis molekul hormon steroid, ada peningkatan nilai log serapan
dengan menghilangkan masing-masing pasangan ikatan hidrogen.

Faktor perumusan juga harus dipertimbangkan saat merancang untuk menuju ke otak
melalui intranasal. Berbagai bentuk sediaan yang tersedia untuk sediaan intranasal adalah
larutan, suspensi, emulsi dan serbuk kering. Formulasi cairan biasanya berbasis air tapi
mungkin juga mengandung alkohol, minyak atau pelarut organik lainnya. Semprotan dan
tetes cair adalah preparat yang paling banyak digunakan untuk pengiriman obat intranasal.
Semprotan pada penyemprotan hidung di anterior di atrium hidung, sementara tetesnya
tersebar sepanjang panjang hidung rongga. deposit semprotan hidung lebih anterior,
memiliki potensi yang besar untuk menuju ke otak. molekul yang mirip mukoadhesif
seperti kitosan, turunan karbomer dan turunan selulosa yang dimodifikasi diharapkan dapat
meningkatkan deposit secara substansial formulasi di rongga hidung yang bisa
mengakibatkan transportasi transnasal / bioavailabilitas yang lebih baik. Selain itu,
peningkat penetrasi seperti surfaktan, betacyclodextins, garam empedu, fosfolipid dan

10 Universitas Indonesia
lysophospholipids dapat meningkatkan permeabilitas secara signifikan di seluruh mukosa
hidung dan menuju lokasi yang ditargetkan.

Penyerapan obat dari rongga hidung melintasi melalui lendir. Partikel kecil
bermuatan mudah melewati lapisan lendir. Namun, lebih besar atau terisi partikel mungkin
tidak melintang dengan mudah. Mucin, protein utama dalam lendir, berikatan dengan zat
terlarut, yang pada gilirannya menghalangi difusi. Selain itu, perubahan struktural pada
lendir lapisan diharapkan sebagai hasil dari perubahan lingkungan (untuk Contoh: pH,
suhu, dll) (Aikawa, 1998).

Gambar 3. Mekanisme Nasal Drug Delivery

11 Universitas Indonesia
IV. Peningkatan Mekanisme Absorbsi Pada Nasal

Beberapa metode telah digunakan untuk meningkatkan absorbsi obat melalui jalur nasal:

• Modifikasi struktur: Modifikasi kimiawi

Sebuah molekul obat telah umum digunakan untuk memodifikasi sifat fisikokimia obat dan
juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan penyerapan obat secara nasal.

• Formulasi garam atau ester: Metode yang tersedia untuk memperbaiki disolusi meliputi
pembentukan garam, mikronisasi dan penambahan zat aktif pelarut atau permukaan (Rashid
HA et al., 2016). Obat tersebut bisa diubah menjadi garam atau garam ester untuk
permeabilitas transnasal yang lebih baik. Sebagai contoh, Penyerapan jalur nasal dapat
ditingkatkan secara signifikan membentuk garam dengan meningkatkan kelarutan pada
cairan hidung atau ester dengan absorbsi pada oleh epitel hidung.

• Perancangan formulasi: Pemilihan yang tepat untuk eksipien farmasi dalam


pengembangan formulasi nasal dapat meningkatkan stabilitas formulasi dan / atau
bioavailibilitas pada obat .

• Surfaktan: Penggabungan surfaktan menjadi Bentuk sediaan nasal bisa memodifikasi


permeabilitas nasal membran, yang dapat memfasilitasi penyerapan obat.

Survei literatur menunjukkan bahwa surfaktan telah dievaluasi secara ekstensif untuk
kemungkinan meningkatkan penyerapan seng terhadap obat, termasuk peptida dan obat
protein. Sejumlah surfaktan telah diketahui meningkatkan penyerapan obat melalui melalui
mukosa hidung sampai mencapai efek sistemik.Efek surfaktan ringan pada konsentrasi
rendah mungkin saja mengubah struktur membran dan permeabilitas sedangkan surfaktan
tertentu pada konsentrasi tinggi dapat mengganggu dan bahkan melarutkan membran
biologis.

12 Universitas Indonesia
V. Strategi Untuk Meningkatkan Penyerapan Pada Nasal

Ada banyak hambatan yang ada di rongga hidung yang mengganggu penyerapan berbagai
obat. Beberapa metode yang telah berhasil digunakan peningkatan absorbsi obat lewat
hidung:

• Penghambat enzim nasal: Berbagai jenis enzim Penghambat digunakan untuk


meminimalkan metabolisme obat di rongga hidung yang meminimalkan aktivitas enzim
hadir dalam rongga hidung meliputi protease dan peptidase, digunakan sebagai inhibitor
untuk formulasi molekul peptida dan protein.

• Modifikasi struktural: Modifikasi obat Struktur bisa dilakukan tanpa mengubah aktivitas
farmakologis untuk perbaikan absorbsi pada nasal.

• Permeation enhancer: Permeation enhancer adalah berbagai kategori dan telah diteliti
untuk memperbaiki penyerapan nasal seperti surfaktan, asam lemak, fosfolipid,
siklodekstrin, garam empedu, dll.

• Penyediaan obat partikulat: Operator digunakan untuk enkapsulasi obat yang mencegah
terpapar obat ke sekitar hidung dan memperbaiki kapasitas retensi di rongga hidung.
Beberapa contoh vesikel pembawa mungkin termasuk mikrosfer, liposom, nanopartikel dan
niosom.

• Pendekatan Prodrug: Bagian kimia yang inaktif disebut prodrug yang menjadi aktif di
lokasi target. Prodrugs terutama digunakan untuk meningkatkan rasa, bau, kelarutan dan
stabilitas.

• Bioadhesive polymer: Untuk memperbaiki waktu tinggal dan penyerapan polimer


bioadhesive obat.

zat ini memperbaiki waktu retensi obat di dalam Rongga hidung meningkat dengan
membuat gaya ikatan antara formulasi dan mukosa hidung, yang mengarah ke pembersihan
.

13 Universitas Indonesia
• In situ gel: Ini adalah formulasi yang didapat dan diubah menjadi gel saat ditanamkan ke
dalam rongga hidung oleh Pengaruh rangsangan meliputi suhu, pH dan konsentrasi ionik.

Konsistensi gel itu kental yang membuat formulasi yang sulit kering dari pengaruh gerakan
ciliate (Beht, 1998).

VI. Eksipien yang digunakan dalam Formulasi Nasal

Biasanya digunakan eksipien yang sering ditambahkan ke sediaan hidung yang bisa
didaftarkan seperti di bawah ini (Aulton, 2002):

1. Polimer bioadhesive: Dapat didefinisikan sebagai senyawa yang mampu berinteraksi


dengan bahan biologis melalui interaksi antar muka dan dipertahankan seperti itu bahan
untuk periode waktu yang lama. Kalau komponen biologis adalah selaput lendir, bahan
bioadhesive adalah disebut sebagai mucoadhesive. Pada tingkat molekuler, mukoadhesi
bisa dijelaskan atas dasar interaksi molekuler yang melibatkan gaya seperti Van Der Waals,
interaksi elektrostatik, ikatan hidrogen, dan Interaksi hidrofobik.

2.Hydroxypropyl selulosa efektif untuk memperbaiki absorbsi obat dengan berat molekul
rendah namun tidak menghasilkan efek yang sama untuk berat molekul tinggi peptida.
Penggunaan kombinasi bahan pembawa sering direkomendasikan dari aspek keamanan
(iritasi hidung).

3. Penetrasi enhancer: Penambah penetrasi kimia banyak digunakan dalam pemberian obat
hidung. Klasifikasi Peningkat penetrasi kimia meliputi:

• Pelarut

• Alkil metil sulfoksida

• Pyrrolidones

• 1 - Dodecyl azacycloheptan-2-one

• Surfaktan

14 Universitas Indonesia
Mekanisme penetrasi enhancer adalah sebagai berikut (Rathborn, 2002):

• Meningkatkan permeabilitas membran sel

• Membuka tight junction/ persimpangan dan pembentukan intraselular berair.

• Meningkatkan lipofilitas obat yang dibebankan oleh membentuk pasangan ion

• Menghambat aktivitas proteolitik.

4. Buffer: Formulasi nasal umumnya diberikan

dalam volume kecil berkisar antara 25 sampai 200 μL dengan 100 μL menjadi volume
dosis yang paling umum. Makanya, sekresi hidung dapat mengubah dosis pH yang
diadministrasikan. Hal Ini dapat mempengaruhi konsentrasi obat yang tidak terionisasi
yang tersedia untuk absorbsi. Oleh karena itu, formulasi penyangga yang mungkin
diperlukan untuk menjaga pH secara in-situ.

5. Solubilizer: Kelarutan dalam obat selalu menjadi pembatas dalam pemberian obat dalam
dalam larutan secara nasal. Pelarut konvensional atau ko-solvent seperti glikol, sedikit
alkohol alkohol, Transcutol (dietilen glikol monoetil eter), rantai molekul gliserida dan
Labrasol (karbon jenuh gliserol C8-C10 polyglycolyzed) dapat digunakan untuk
meningkatkan kelarutan obat. Pilihan lainnya termasuk penggunaan surfaktan atau
siklodekstrin seperti HP-ß-Cyclodextrin yang berfungsi sebagai pelarut dan stabilizer yang
biokompatibel dan dikombinasikan dengan molekul enhancer secara lipofilik. Sedemikian
Kasus, dampaknya aspek iritasi dari hidung harus dipertimbangkan.

6. Pengawet: Sebagian besar formulasi cairan nasal berbasis air dan membutuhkan
pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Paraben, benzalkonium klorida, fenil etil
alkohol, EDTA dan alkohol benzoyl adalah beberapa pengawet yang umum yang
digunakan untuk formulasi intranasal. Mercury mengandung bahan pengawet memiliki efek
cepat dan tidak dapat dipulihkan pada gerakan ciliary dan sebaiknya tidak digunakan dalam
sistem nasal.

15 Universitas Indonesia
7. Antioksidan: Sejumlah kecil antioksidan mungkin diperlukan untuk mencegah oksidasi
obat. Biasanya digunakan untuk antioksidan adalah natrium metabisulfit, natrium bisulfit,
butylated hydroxytoluene dan tocopherol. Biasanya, Antioksidan tidak mempengaruhi
penyerapan obat atau menyebabkan gangguan hidung. Interaksi kimia / fisik antioksidan
dan pengawet dengan obat-obatan, eksipien, manufaktur peralatan pembuat obat, dan
komponen kemasan yang seharusnya dianggap sebagai bagian dari pengembangan
formulasi program.

8. Humectants: Banyak alergi dan penyakit kronis yang sering dihubungkan dengan kerak
dan pengeringan selaput lendir. Bahan pengawet / antioksidan dan eksipien lain juga
cenderung menyebabkan iritasi hidung terutama bila digunakan dalam jumlah yang lebih
tinggi. Faktor kelembaban intranasal sangat penting untuk mencegah dehidrasi.

Oleh karena itu, humektan dapat ditambahkan terutama pada produk nasal gel. Humektan
digunakan untuk menghindari iritasi hidung dan tidak mungkin mempengaruhi absorbsi
obat.

Contoh Umumnya meliputi gliserin, sorbitol dan manitol.

9. Surfaktan: Penggabungan surfaktan menjadi Bentuk sediaan nasal dimemodifikasi untuk


membran permeabilitas nasal, yang dapat memfasilitasi penyerapan obat sediaan intranasal.

VII. Formulasi Untuk Sediaan Liquid-Gas untuk Intranasal

Sediaan cair dan gas yang paling banyak digunakan dalam bentuk sediaan untuk
pemberian intranasal. pembuatannya dilakukan dengan menggunakan dasar formula air.
Dalam formulasi digunakan pelembab yang mudah didapat dan berguna, karena banyak
penyakit alergi dan kronis sering dihubungkan dengan keringnya selaput lendir. Stabilitas
Mikrobiologi, iritasi dan alergi rhinitis adalah kekurangan utama yang terkait dengan
bentuk sediaan berbasis air, karena dibutuhkan pengawet yang akan mengganggu fungsi
mukosa (Kublik, 1998) dan penurunan kestabilan dari senyawa obat terlarut. Beberapa jenis

16 Universitas Indonesia
bentuk sediaan tersedia di Bentuk cair-gas untuk senyawa intra nasal dijelaskan di seperti
bawah ini:

1. Kateter (Instillation and rhinyle catheter): Kateter digunakan untuk

berikan formula tetes ke daerah tertentu dari rongga hidung dengan mudah. Formulasi di
tempatkan di suatu tabung dan dioleskan dan diposisikan di hidung, dan larutannya dikirim
ke rongga hidung dengan meniup melalui ujung lain dari mulut ke mulut (Harris AS et al.,
1986). Dosis dari kateter ditentukan oleh secara presisi dan akuraasi melalui uji in vitro dan
in vivo.

2. Nebulizers dilengkapi dengan kompresor: Nebulizer adalah alat yang digunakan

untuk pengobatan dengan zat aktif berupa senyawa dengan partikel dalam bentuk kabut
atau nebula melalui reseptor paru. peralatan ini deilengkapi dengan kompresor atau pompa
tekan. umumnya, secara teknis prinsip dasar dari pemakaian nebulizer menggunakan
oksigen terstandarisasi, kompresor atau daya ultrasonik, sebagai sarana untuk membantu
larutan / suspensi dari obat menjadi aerosol berukuran nano, untuk penghirupan digunakan
corong hisap (Knoch M et al., 2002). Nebulizers menerima Obat berupa larutan atau cair,
yang sering dimasukkan ke chamber. Kortikosteroid dan Bronkodilator seperti salbutamol
(Albuterol USAN) adalah zat aktif yang sering digunakan, dan terkadang dikombinasikan
dengan ipratropium (Hickey AJ, 2004). Alasan ini Obat-obatan inhalasi, tidak dialirkan
lewat mulut tetapi target dan efeknya ke saluran pernafasan, yang mempercepat

onset tindakan obat dan mengurangi efek samping, dibandingkan dengan rute asupan
alternatif lainnya. Perangkat ini tidak cocok untuk pengiriman obat secara sistemik oleh
pasien dengan pemakaian keterulangan yang sering karena hidung akan bersifat resisten.

3. Squeezed bottle: Squeezed bottle sebagian besar digunakan sebagai alat pengantar
dekongestan. Mereka termasuk Botol plastik halus dilengkapi dengan stop kontak
sederhana. Sementara Dengan menekan botol plastik udara di dalam wadah itu ditekan
keluar dari nosel kecil, sehingga terjadi atomisasi partikel pada volume tertentu. Dengan
melepaskan tekanan udara ditarik ke dalam botol sering menghasilkan kontaminasi cairan
oleh mikroorganisme dan sekresi nasal.

17 Universitas Indonesia
Akurasi dosis dan faktor desposisi Cairan yang dikirim melalui botol tergantung pada
administrasi dan dosis obat. Perbedaan antara kuat dan lemahnya pasien menekan
mempengaruhi dosis serta ukuran tetesan. Oleh karena itu Squeezed bottle dengan
vasokonstriktor tidak direkomendasikan untuk digunakan oleh anak-anak (Knoch., 1978).

4. Metered-dose pump sprays:

Sediaan nasal farmasi di pasaran mengandung larutan, emulsi atau suspense disampaikan
dengan alat ini. Nasal sprays, or nasal mists, efek lokal seperti untuk mengurangi alergi
atau alergi gejala seperti hidung tersumbat atau sistemik. Kebanyakan alat ini menggunakan
sedian mikro atau nano partikel nebula yang disemprotkan ke dalam lubang yang
dioperasikan dengan tangan. Tiga jenis utama yang tersedia untuk efek lokal adalah:
antihistamin, kortikosteroid, dan dekongestan

5. Nasal Drops and Spray

Tetes hidung adalah salah satu yang bentuk paling sederhana dan paling banyak yang
digunakan dalam sistem pengiriman intra nasal dan rute yang nyaman di antara semua
formulasi. Tetapi memiliki keterbatasan utama adalah kurangnya ketepatan dalam
penentuan dosis dan risiko kontaminasi selama penggunaan (Washington N et al., 2001).
Tetes hidung bisa dikirim dengan pipet atau dengan botol peras. Formulasi ini biasanya
dianjurkan untuk pengobatan lokal kondisi, namun tantangannya meliputi pertumbuhan
mikroba, disfungsi mukosiliar dan kehilangan non spesifik dari hidung atau punggung
tenggorokan (Hussein NR, 2014).

Sistem semprotan nasal mengeluarkan volume obat 25 -200μl) per semprotan. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa snasal spray dapat menghasilkan dosis yang konsisten
dari asap yang dapat direproduksi geometri. Sifat perumusan seperti thixotropy, Tegangan
permukaan dan viskositas berpotensi mempengaruhi ukuran tetesan dan akurasi dosis.
Faktor lainnya seperti Kekuatan yang diterapkan, ukuran orifice dan desain pompa juga
bisa mempengaruhi ukuran tetesan yang bisa berdampak pada hidung desposisi zat saat
disemprotkan.

18 Universitas Indonesia
6.Nasal Gel

Gel adalah bahan yang lembut, padat atau semi padat terdiri dari dua atau lebih komponen,
salah satunya adalah a cair, hadir dalam jumlah banyak. Semi padat Karakteristik gel dapat
didefinisikan dalam dua hal sifat mekanik dinamis: modulus elastisitas G "dan modulus
kental G "(Chaturvedi M et al., 2011). Itu sifat rheologi gel bergantung pada jenis polimer,
konsentrasi dan keadaan fisik gel. Eksipien dari larutan viskos (misalnya
hypromellose,methylcellulose, xanthan gum dan chitosan) bisa bersifat agak keras, gel
rapuh (misalnya gellan gum, pektin dan alginat).

Bioadhesive polimer telah menunjukkan potensi yang baik untuk formulasi nasal dan dapat
mengontrol laju dan tingkat pelepasan obat yang mengakibatkan penurunan frekuensi
administrasi obat dan kepatuhan pasien yang lebih baik.

VIII. Deliveri Nasal Secara Sistemik

Obat yang diberikan oleh jalur nasal bisa masuk ke dalam darah sirkulasi sistem,
bahkan mungkin menembus otak secara langsung, atau dalam beberapa kasus mungkin
mengikuti kedua jalur (Gambar 1). Namun, banyak faktor yang mengendalikan fluks obat
melalui masing-masing dari jalur ini tetap masih tanda tanya. Secara umum, Ada tiga rute
di mana obat yang diberikan ke rongga hidung dapat berjalan. rute ini meliputi (1) masuk
ke sirkulasi sistemik langsung dari mukosa hidung, (2) masuk kebola olfaktori melalui
transportasi aksonal neuron, dan (3) langsung masuk ke otak. jalur tersebut terbukti
mendukung peran masing-masing rute untuk berbagai model substrat dirangkum dalam
Tabel 1. Tabel ini tidak dimaksudkan untuk menjadi komprehensif secara alamiah,
melainkan untuk menyoroti beberapa zat terlarut dari berbagai kelas itu telah ditunjukkan
untuk mengikuti satu atau lebih.

Obat yang masuk ke sirkulasi sistemik Harus diserap melalui mukosa hidung. Fraksi dari
dosis yang diberikan diserap Dengan rute ini akan tergantung pada waktu kontak dengan,
dan kelarutan dan stabilitas metabolic obat dalam, lendir, serta tingkat pembersihan lendir

19 Universitas Indonesia
hidung.7 Administrasi melalui ini Rute menghindari hepatic / gastrointestinal first-pass
efek, dan karena itu dapat memberikan penyerapan relatif luas untuk substrat yang
memiliki oral dengan bioavailabilitas buruk.8 Rute khusus ini tidak Berikan keuntungan
untuk pengiriman agen ke CNS per se, karena substratnya harus melintasi BBB dari
sirkulasi sistemik setelah terserap dari mukosa hidung.

Obat bisa melintasi sepanjang jalur neuron olfaktori dengan transport axonal intraselular ke
olfactory. jalur olfaktori mengikuti saluran obat itu dibawa ke sel neuronal (terletak di nasal
epitel ) oleh endositosis, dengan pengangkutan berikutnya ke CNS. Rute ini tampaknya
dimanfaatkan oleh beberapa logam, 9 makromolekul, virus, 10 dan partikulat, termasuk
protein, 11 dan masuk jalur nasal ke otak dimana melewati jalur BBB.

Selanjutnya, masuk ke rute lamat, dan di tidak memperhitungkan kerapatan zat terlarut di
otak dan / atau mengikuti administrasi jalur nasal pada CSF.12 Mekanisme yang mengatur
pengiriman langsung dengan substrat ke otak (jaringan parenkim dan / atau CSF13) melalui
sel epitel nasal. Jalur ini mensyaratkan bahwa substrat memasuki epitel nasal pada suatu
titik selain neuron afeksi.14 Selanjutnya, senyawa aktif dapat berdifusi ke dalam saluran
mengelilingi otak dari ruang perineural.

Meskipun terkesan memaksakan, kemungkinannya tidak rute yang layak secara


farmakologis. Difusi dari obat melalui jalur CSF ke jaringan otak akan aliran CSF, 15 dan
jalur difusi harus mempertimbangkan omset cepat CSF.16 Perputaran CSF yang cepat ini
akan sangat mempengaruhi molekul besar (> 1000), padahal kemungkinan pengaruh yang
ditimbulkan sangat kecil, untuk difusi molekul. Selanjutnya, jalur ini merupakan jalur yang
merupakan satu rute masuk ke jaringan otak, 17 Hal ini bukan merupakan jalur utama.

Meski konsentrasi dosis obat sudah diuji melalui jalur di CSF setelah pemberian nasal
(misalnya cephalexin, 18 zidovudine19), tetaapi faktanya belum dijelaskan dan
konsekuensi farmakologisnya tidak jelas. Ada kedua hal yaitu hambatan fisik dan biokimia
hadir antara jalur CSF dan parenkim otak, dansehingga dengan demikian konsentrasi obat
antara otak dan CSF biasanya tidak akan setara.1 Jelas, pemahaman menyeluruh tentang

20 Universitas Indonesia
mekanisme yang mengatur jalur epitel langsung ini adalah diperlukan untuk menyelidiki
penggunaan administrasi jalur nasal dengan jalur reseptor menuju otak.

Gambar 4. Skema yang menggambarkan kemungkinan nasib obat melalui jalur intra nasal.
Garis putus-putus (---) menunjukkanpengiriman substrat terbatas melalui rute ini. tanda
tanya menunjukkan rute yang jalurnya tepat dan tidak jelas

Tabel 1. Formulasi Nasal Drug Delivery

21 Universitas Indonesia
IX. Mekanisme Sistemik Intranasal Untuk Efek Lokal dan Sistemik

22 Universitas Indonesia
Pengiriman nasal secara tradisional dibatasi pada zat akseptor topikal, biasanya
digunakan untuk mengobati alergi pilek dan hidung biasa. Baru-baru ini, peneliti yang
memiliki minat pada jalur nasal sebagai alternatif pemberian oral dan suntikan untuk
banyak obat sistemik dan vaksin. sifat vaskularisasi yang tinggi dan imunogenik mukosa
hidung menawarkan keuntungan potensial dalam hal tindakan cepat, bioavailibilitas dan
kepatuhan pasien serta peningkatan kekebalan tubuh respon untuk vaksin

Gambar 5. Bagan Alir Jalur Nasal Secara Sistemik

Untuk mengerahkan fungsi utamanya sebagai filter dan melindungi dari saluran
udara dingin, hidung memiliki geometri yang kompleks dilapisi oleh mukosa yang sangat

23 Universitas Indonesia
vaskularisasi. Akses mudah yang masuk ke permukaan vaskularisasi besar ini membuat
jalur nasal sangat menarik untuk penyerapan obat yang sulit diantarkan.

Metode konvensional dan biasanya membutuhkan injeksi. Penyerapan cepat dan onset
tindakan cepat sangat penting dalam perawatan intens, nyeri akut dan dalam penanganan
kejadian parah seperti serangan kardiovaskular, kejang, hipoglikemia, mual dan muntah.
Administrasi nasal membatasi masalah yang terkait dengan degradasi obat di perut dan di
hati, yang mana membuatnya sangat relevan bagi banyak rekombinan baru peptida dan
protein. Rute hidung memberikan akses yang menarik tanpa jarum yang dapat
meningkatkan kepatuhan pasien dan memungkinkan penggunaan obat sendiri secara
ekstensif untuk banyak penyakit kronis. Inilah sebabnya mengapa obat-obatan yang
bertindak secara sistemik seperti kalsitonin untuk pengobatan osteporosis, obat
kardiovaskular seperti desmopressin dan obat penghilang rasa sakit dan obat anti-migrain
sudah ada di pasaran dalam formulasi intranasal dan banyak lagi akan mengikuti.

a. Targeting Reseptor Otak

Penting untuk memeriksa jalur / mekanisme obat sebelum obat masuk dan di absorbsi
oleh otak dari jalur transnasal. Daerah olfaktori penciuman diketahui menjadi portal bagi
molekul obat untuk masuk dari hidung ke otak mengikuti penyerapan intranasal. Dengan
demikian, jalur transportasi obat melintasi epitel pada nasal adalah fokus utama pengiriman
intranasal ke otak. Lapisan mukosa hidung dan ruang subarachnoid; pleksus limfatik
terletak di antara mukosa hidung dan ruang subarachnoid bersama dengan selubung
perineural di olfactory. Filamen saraf dan ruang subarachanoid tampaknya memiliki jalur
penghubung. Pengiriman obat hidung ke CNS dianggap melibatkan intraneuronal atau jalur
ekstraneuronal. Obat bisa melewati jalur olfaktori satu atau lebih untuk mekanismenya. Ini
termasuk transportasi paracellular dengan pergerakan obat melalui ruang interstisial sel,
difusi transselular atau melintasi membrane atau reseptor / fluid phase menghubungkan
jalur endositosis dan transcytosis oleh vesikel pembawa dan transportasi neuronal.
Mekanisme / rute transportasi paracellular lambat dan pasif. Ini terutama menggunakan
moda transportasi berair. Biasanya, obat tersebut melewati persimpangan dan celah sel
epitel hadir pada lapisan mukosa hidung.

24 Universitas Indonesia
Ada korelasi log-log yang berbanding terbalik antara intranasal dan penyerapan dan berat
molekul senyawa yang larut dalam air. Senyawa, yang sangat hidrofilik dan / atau berat
molekul rendah paling sesuai untuk transportasi pararelular. Penurunan penyerapan yang
signifikan dan bioavailabilitas yang rendah diamati untuk obat-obatan yang memiliki
molekul berat lebih besar dari 1000 Dalton. Selebihnya, obat bisa juga melewati membran
sel oleh rute transport aktif yang dimediasi vesikel pembawa. Misalnya, chitosan,
biopolimer alami dari kerang, fungsinya membuka ruang dan memperlebar persimpangan
yang ketat antara jalur sel epitel untuk memudahkan pengangkutan obat.

Mekanisme transpor / transportasi transelluler [58-59] terutama mencakup transportasi


melalui rute lipoidal. Obat dapat diangkut melintasi mukosa nasal / epitelium oleh baik
reseptor yang dimediasi endositosis atau difusi pasif atau fase cairan endositosis Senyawa
lipofilik kecil atau Molekul yang lebih besar biasanya diangkut oleh rute transselular.
Pengangkutan melintasi mukosa hidung terutama merupakan fungsi dari sifat lipofilik dari
senyawa obat. Obat lipofilik yang sangat tinggi diharapkan memiliki laju transnasal yang
cepat / lengkap serapan. Pengangkutan neuronal obat dapat terjadi melalui transport axonal
antar sel. Sel neuron penciuman memudahkan pengangkutan obat terutama ke saluran
pencium. Jalur potensial yang diikuti oleh beberapa molekul obat tersebut dicatat pada
Tabel dan kemungkinan rute transportasi digambarkan di table berikut:

Tabel 2. Nose to Brain of Drug Molecul

25 Universitas Indonesia
Untuk beberapa waktu BBB telah menghambat perkembangan banyak kandidat obat CNS
karen adistribusi mereka yang buruk ke dalam SSP. Karena saluran perbatasan hidung dan
SSP memiliki jalur yang unik , rute intranasal bisa diberikan jalur obat terapeutik ke otak
yang melewati BBB. Penyerapan obat di daerah intranasal memberikan alasan yang kuat
untuk targetk obat ke otak. Bila diberikan secara nasal melalui uji ke tikus secara intranasal
untuk jalur reseptor otak lebih tinggi absorbsi nya dibandingkan pemberian melalui
intravena . Bukti adanya transportasi hidung ke otak telah dilaporkan oleh banyak ilmuwan
. Tabel memberikan gambaran beberapa studi terbaru yang dilakukan pada manusia.Banyak
kandidat obat CNS yang sebelumnya ditinggalkan untuk menjadi dibuat menjadi sediaan
injeksi secara i.v diubah rutenya melalui via pengiriman intranasal dengan memperhatikan
syarat-syarat pada formulasi.

seperti ergotamine (Novartis), sumatriptan (Glaxo SmithKline), dan zolmitriptan (Astra


Zeneca) telah dipasarkan.untuk mengobati migrain [1]. Para ilmuwan juga memfokuskan
penelitian mereka terhadap pemberian intranasal untuk pengiriman obat ke otak, terutama
untuk pengobatan penyakit, seperti,epilepsi, migrain, emesis, depresi dan disfungsi ereksi.

26 Universitas Indonesia
Penyelidikan sampai saat ini telah menarik perhatian peneliti Tempatkan pilihan
pengiriman obat intranasal di bawah mikroskop. Meskipun demikian, sangat penting untuk
memahami pengambilannya obat di seluruh mukosa hidung. Dari titik kinetik
Tampilannya, hidung adalah organ yang kompleks sejak tiga proses berbeda,seperti
disposisi, pembersihan, dan penyerapan obat, bersamaan terjadi di dalam rongga hidung.
Untuk penyerapan obat yang efektif di seluruh mukosa hidung, penting untuk memahami
anatomi hidung dan fisiologis terkait dari hidung (Cippola, 2014).

b. Vaksinasi Intranasal

Mukosa hidung juga sangat kaya akan sel-sel khusus dan Rumah bagi jaringan limfatik dan
terlibat dalam baris pertama pertahanan terhadap mikroorganisme udara. Vaksinasi hidung
menghindari ketidaknyamanan dan masalah yang terkait dengan injeksi, dan merangsang
pertahanan mukosa lokal serta respon imun sistemik. Selain itu, vaksinasi nasal
menginduksi proteksi di organ mukosa yang jauh dan tampak memberikan perlindungan
lebih luas daripada vaksin yang disuntikkan. Beberapa vaksin hidung masuk dalam saluran
sistemik dan diharapkan bisa masuk pasar dalam waktu dekat.

27 Universitas Indonesia
Gambar 6. Vaksinasi Intranasal

Dalam penelitian ini ada tiga macam formulasi vaksin dalam bentuk dry powder yang
mengandung model antigen ovalbumin dievaluasi untuk efek kekebalan tubuh mereka
setelah pemberian secaranasal pada pada sel adopsi model tikus C57Bl / 6 transfer
Formulasi tersebut adalah nanopartikel chitosan dalam matriks manitol, kitosan

28 Universitas Indonesia
mikropartikel dan nanopartikel agarose dalam matriks mannitol. Pemberian dry powder ke
tikus ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan reaksi efek samping. Tidak ada
translokasi dry powder Formulasi ke paru yang bisa dideteksi. Respon imun pada sel di
daerah lokal di dalam getah leher rahim dan hanya untuk mikropartikel chitosan dan
nanopartikel agarose ada di sana perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan injeksi
sub cutan ovalbumin di alum. Tidak ada respon humoral diukur setelah pemberian jalur
nasal. Hasilnya memberikan beberapa bukti bahwa pemberian sediaan nasal Formulasi dry
powder bisa merangsang respons imun, tapi responnya sederhana. Ini mungkin karena dosis
antigen rendah dan imunogenisitas rendah dari formulasi. Penelitian lebih lanjut akan
mengarah pada meningkatkan beban antigen dan meningkatkan aktivitas ajuvan (Li, 2014).

c. Gel insulin melalui jalur hidung: Diabetes melitus adalah penyakit kronis

Penyakit yang biasanya membutuhkan banyak suntikan insulin untuk mencapai kontrol
terhadap efek glikemik. Ini penyebab utama berkurangnya kepatuhan terhadap pengobatan.
Akibatnya, rute lain untuk pemberian insulin telah dieksplorasi Selama beberapa tahun
terakhir, banyak kemajuan dalam Perkembangan insulin yang dihirup telah dilakukan.
Sediaan inhalasi insulin memiliki sifat yang menguntungkan, seperti onset cepat tindakan,
peningkatan bioavailabilitas dan tolerabilitas yang baik, sehingga memberikan kepuasan
dan kemudahan dalam administrasi.

Namun, keamanan insulin inhalasi jangka panjang perlu dinilai karena resistensi mukosa
hidung, dan biayanya akan lebih tinggi dari sediaan intravena. Tujuan dari kajian ini adalah
untuk mendeskripsikan yang teknologi terbaru. Perkembangan di daerah rute ini bersifat
non-invasif untuk deliveri insulin. Sebagian besar penderita diabetes Di seluruh dunia
memerlukan insulin dengan dosis harian. jadi jalur intranasal sangat cocok untuk mertode
ini (Cipolla, 2013).

2. Pengobatan nyeri kanker melalui jalur hidung:

29 Universitas Indonesia
Perawatan nyeri kanker memerlukan penggunaan opioid saat sakit sedang atau parah.
Opioid perlu formulasi efektif dan keteraturan pemakaian pada pasien dan mungkin lebih
konduktif terhadap nyeri sementara;

Analgesik opioid digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat, terutama yang
pada bagian viseral. Penggunaan berulang dapat mengakibatkan ketergantungan dan
toleransi, tapi ini bukan alasan tidak digunakannya dalam mengatasi nyeri pada penyakit
terminal. Penggunaan opioid kuat mungkin sesuai untuk beberapa kasus nyeri kronis non-
keganasan; pengobatan sebaiknya diawasi oleh dokter spesialis dan kondisi pasien
sebaiknya dikaji setiap interval tertentu. Teknologi terbaru seperti formula untuk
administrasi transdermal, nasal dan nebulasi dan intravena.

d. Antibiotik dan imunolitik sediaan intranasal

Dekongestan, antibiotik dan mukolitik aksesnya melalui intranasal , reseptor target. Karena
aksesibilitasnya, luas permukaannya relatif besar 160 cm2 dan persediaan vaskular mukosa
yang banyak, jalur sangat menarik bagi jalur sistemik, termasuk protein dan peptida.

e. Terapi epilepsi dan skizofrenia

Zhang et al., mengusulkan mikroemulsi nimodipine dengan ukuran globul 30nm yang
diberikan melalui rute intranasal. Bioavailabilitas absolut dari obat dan jalur intranasal
sebesar tiga kali lipat lebih tinggi oleh serapan mikroemulsi di olfactory bulb dibandingkan
dengan injeksi intravena (i.v.). Selanjutnya, bagian hidung ciliotoxicity diamati. Temuan ini
menunjukkan bahwa mikroemulsi dengan terapi intranasal merupakan jalur untuk
pengobatan dan pencegahan kejang serebro vaskular, stroke dan migrain.

Vyas dkk., Pengembangan klonazepam yang memuat mikroemulsi mukoadhesif dan


dibandingkan dengan mikroemulsi konvensional. Studi distribusi otak mengindikasikan
peningkatan 2 kali lipat konsentrasi obat ke otak seperti ke i.v. injeksi. Kwatikar et al.,
membuat asam valproate dibuat dengan mikroemulsi yang menunjukkan efisiensi

30 Universitas Indonesia
bioavailabilitas ke otak yang lebih baik dan efisiensi. Hal ini menunjukkan peningkatan
pengiriman Neuroterapi ke otak dengan menggunakan mikroemulsi bisa menjadi hal yang
menjanjikan untuk pengobatan epilepsi. Shende dkk., mengembangkan mikroemulsi dari
senyawa lomotrigone untuk target ke otak. Pemberian lomotrigone secara intranasal
melewati BBB, sehingga membuat konsentrasi obat di otak lebih tiinggi dan onset aksi
yang lebih cepat. Florence dkk., telah merancang clobazam berdasarkan sifat mikroemulsi
mukoadhesif. Pemberian formulasi intra nasal pada kejang diinduksi oleh pentylene
tetrazole pada model tikus yang ditandai pengurangan yang signifikan dalam kejang dan
onset aksi yang lebih cepat karena efisiensi jalur penargetan otak. mukoadhesif
mikroemulsi Clobazam. Secara keseluruhan, itu bisa menjadi formulasi yang cocok untuk
pasien yang menderita kecemasan, epilepsi, skizofrenia.

Kumar et al., melaporkan bahwa nanoemulsion mukoadhesif dapat meningkatkan deliveri


risperidone ke otak melalui rute hidung, sehingga dapat mengurangi dosis dan frekuensi,
mengurangi efek samping dan biaya terapi terapi juga berkurang. Jumlah risperidone yang
meningkat signifikan dengan cepat dan efektif dikirim melalui jalur ke otak oleh
administrasi intranasal dengan sediaan nanoemulsi mukoadhesif yang diformulasi dari
risperidone. Studi Gamma skintigrafi juga mendukung bahwa otak tikus mengikuti
administrasi intra nasal mikroemulsi adalah indikasi hidung langsung ke transportasi otak
melewati BBB. Secara keseluruhan, itu Temuan menunjukkan jumlah risperidone yang
lebih cepat dan lebih tinggi diangkut oleh hidung risperidone dibandingkan dengan
risperidone nanoemulsion yang diberikan melalui intravena rute atau risperidone.

Penargetan otak dari hidroklorida buspirone menggunakan mikroemulsi melalui intranasal


juga menunjukkan peningkatan konsentrasi di otak yang signifikan. Pemberian buspirone
hidroklorida intranasal dari mukoadhesif mikroemulsi menunjukkan deliveri yang lebih
cepat dan tingkat pengiriman ke otak. Di sini, mikroemulsi HP-β-CD bersifat mukoadhesif
pada di mukosa hidung yang secara langsung memainkan peran penting dalam mengurangi
efek samping dengan menurunkan jumlah dosis hidroklorida buspirone dan frekuensi
pemberian dosis.

31 Universitas Indonesia
Dalam penelitian terbaru lainnya, paliperidone dibuat sediaan mikroemulsi untuk
pengiriman intranasal dikembangkan untuk pengobatan skizofrenia. Mikroemulsi telah
diformulasikan oleh metode emulsifikasi mikro spontan dan dikarakterisasi parameter
fisikokimianya . Evaluasi farmakodinamik dilakukan pada tikus menggunakan aktivitas
motorik spontan dan diinduksi apomorphine. Mikroemulsi menunjukkan enam hingga
delapan kali lebih tinggi sifat distribusi paliperidone ke otak. Selanjutnya, studi skintigrafi
pada otak kelinci juga menunjukan absorbs pada jalur intranasal paliperidone lebih tinggi
langsung masuk ke otak. Dengan demikian, hasil penelitian ini memberikan gambaran jalur
intranasal mikroemulsi mukoadhesif paliperidone lebih cepat dan lebih tinggi dari
transportasi paliperidone menuju ke otak dan memainkan peran penting dalam pengobatan
skizofrenia.

Muatan Olanzapine juga dievaluasi untuk penargetan otak. Otak / rasio darah pada diuji
semua sampling hingga 8 jam melalui intranasal menggunakan mikroemulsi olanzapine dan
dibandingkan dengan mikroemulsi Olanzapine melalui intravena. Hasilnya ditemukan lima
hingga enam kali lebih tinggi menandakan lebih besar tingkat distribusi Olanzapine di otak.
Efisiensi penargetan obat dan obat langsung transport ditemukan paling tinggi untuk
Olanzapine mikroemulsi intranasal, dibandingkan dengan jalur intravena mikroemulsi
olanzapine. Selain itu, skintigrafi otak kelinci juga menunjukkan intranasal yang lebih
tinggi serapan Olanzapine ke otak. Investigasi ini menunjukkan transportasi Olanzapine ke
otak melalui intranasal lebih tinggi di bandingkan Olanzapine mikroemulsi mukoadhesif,
yang mungkin terbukti bermanfaat untuk pengobatan skizofrenia .

Patel et al., melaporkan pembuatan carbamazepine berisi mikroemulsi (CMPME) untuk


administrasi intranasal. CMPME yang dikembangkan stabil menunjukkan ukuran globular
<100nm cocok untuk studi in vivo. Studi biodistribusi pada tikus swiss albino
menggunakan radiolabel carbamazepine dengan 99mTc (teketium) menunjukkan distribusi
karbamazepin yang lebih tinggi di otak. Solusi CMP berlabel 99mTc (CMPS) / CMPME /
CMP MUKO ADHESIF MIKRO EMULSI (CMPMME) ditemukan stabil dan rasio otak /
darah CMPMME dibandingkan dengan CMPME intravena ditemukan menjadi 2 hingga 3
kali lebih tinggi yang memastikan penetrasi karbamazepin yang lebih tinggi ke otak.

32 Universitas Indonesia
Selanjutnya,% Penargetan obat efisiensi dan transportasi obat langsung ditemukan menjadi
tertinggi untuk administrasi pasca-intranasal CMPMME dibandingkan dengan i.v.
carbamazepine. Dengan demikian, formulasi mikroemulsi menunjukkan keunggulan dalam
pengobatan epilepsi.

f. Terapi migrain

Sumatriptan adalah obat pilihan dalam terapi migrain. Namun, first metabolisme dan
penyerapan tidak lengkap setelah pemberian oral hanya menghasilkan 14% bioavailabilitas
oral. Vyas et al., Pengembangan sumatriptan dengan sifat mukoadhesif mikroemulsi yang
menunjukkan jalur transportasi lebih cepat dan lebih cepat ke otak dibandingkan dengan
mikropartikel dan penangguhan. Peningkatan dalam tingkat dan tingkat Sumatriptan di otak
setelah intranasal administrasi meningkatkan kualitas hidup. Shelke et al., telah melaporkan
bahwa Zolmitriptan mikroemulsi dari penyediaan hidung hingga otak keuntungan ganda
dari bioavailabilitas yang ditingkatkan dengan onset aksi yang cepat dalam pengobatan
migrain. Vyas et al., juga telah mengembangkan zolmitriptan bioadhesive mikroemulsi
untuk mengobati akut serangan migrain. Hasilnya menyarankan peningkatan zolmitripton
yang tergabung dalam mikroemulsi ke otak tikus setelah pemberian intranasal. Dengan
demikian, bisa dihipotesiskan bahwa itu memainkan peran yang menjanjikan dalam
pengobatan serangan akut migrain.

Bhanushali et al., mengembangkan intranasal mikroemulsi dan formulasi gel untuk


rizatriptan benzoat untuk aksi berkelanjutan. Diagram fase pseudo-terner digunakan untuk
mengembangkan mikroemulsi formulasi menggunakan surfaktan hidrofilik dan lipofilik
dan air. Brain targeting nanoemulsions (AUC = 302,52μgmin / g) lebih tinggi dibandingkan
dengan gel intra nasal (AUC = 115μgmin / g) dan pemberian IV (AUC = 109.63μgmin / g)
obat. Dengan demikian penargetan menuju otak melalui pengiriman intranasal memiliki
potensi besar untuk pengobatan migrain. Rasal et al., telah mengembangkan sumatriptan
suksinat dalam o / w mikroemulsi untuk obat otak penargetan. Penyerapan hidung
sumatriptan suksinat dari mikroemulsi mukoadhesif ini ditemukan cukup cepat, karena
diubah menjadi gel di dalam rongga hidung dan meningkatkan waktu tinggal dan bisa

33 Universitas Indonesia
meningkatkan bioavailabilitas obat. Hasilnya menunjukkan bahwa ini mukoadhesif
mikroemullsi mungkin merupakan pendekatan yang berguna untuk pengiriman sumatriptan
yang cepat suksinat selama pengobatan darurat serangan akut migrain.

g. Terapi antidepresan

Tiwari et al., telah melakukan riset intranasal minyak kayu putih mikroemulsi untuk
langsung menutu target ke otak. Studi ini menyimpulkan bahwa mikroemulsi dari minyak
kayu putih memberikan efek terapi yang lebih cepat untuk onset aksi dalam aksi stimulan
dan antidepresan. Mz dari Diazepam, Lorazepam dan Alprazolam disiapkan dengan diuji
dengan metode titrasi. Diazepam, Lorazepam dan Alprazolam secara jelas memiliki ukuran
tetesan rata-rata lebih sedikit dari 150nm dan zeta potensial di kisaran -2.205to -0.111mV.
Mikroemulsi yang disiapkan menunjukkan toksisitas nasal yang buruk dan reversibel.
Onset tidur dan durasi tidur diamati di urutan berikut: Lorazepam> Alprazolam>
Diazepam. Lebih cepat onset tidur diamati dari formulasi Mikroemulsi ketika diberikan
melalui rute intranasal (<20 menit). Intranasal administrasi formulasi berdasarkan
Mikroemulsi mengakibatkan onset tidur yang lebih cepat (<12min) dengan Mukosa
mukoadhesif intranasal menghasilkan onset tidur yang cepat (<9mnt). Mukoadhesion
memperbaiki durasi tidur. Dengan demikian, hasil investigasi ini menunjukkan lebih cepat
dan rilis diperpanjang Neuroterpi ke otak tikus yang pada akhirnya memperpanjang durasi
tidur pada tikus setelah pemberian intranasal.

h. Angina Pectoris dan terapi neurologis

Yao et al., telah menyiapkan asam hyaluronic berbasis chitosan yang mengandung nobiletin
untuk menentukan distribusi melalui uji in vivo pada pengamatan otak tikus dan
dibandingkan dengan administrasi i.v.. Berdasarkan AUC0–t, MRT dan C max,
Mikroemulsi kitosan asam hyaluronic dapat mendeliveri nobiletin ke otak lebih
dibandingkan untuk solusi nobiletin. Hasil ini menunjukkan bahwa asam hyaluronic kitosan

34 Universitas Indonesia
Mikroemulsi mungkin disajikan sebagai kandidat potensial untuk mengirimkan lebih
banyak obat ke otak.

i. Terapi amnesia dengan Mikroemulsi mukoadhesif

Jogani et al., telah mempelajari mukoadhesif ME / MIKROEMULSI dari tacrine dan


dibandingkan dengan solusi tacrine. Senyawa ini dinilai sifat farmakokinetik dan
farmakodinamiknya menunjukan penargetan otak dan perubahan hasil peningkatan memori
pada tikus amnestic yang diinduksi senyawa skopolamin. Biodistribusi larutan tacrine dan
formulasi setelah intravena dan administrasi intranasal dievaluasi menggunakan 99mTc
sebagai penanda. Studi ini mengungkapkan lebih tinggi pengangkutan tacrine ke otak tikus
dan lebih cepat mendapatkan kembali kehilangan ingatan pada tikus-tikus amina
skopolamin yang diinduksi setelah pemberian I intranasal.

j. Pengobatan terhadap virus HIV-1

CNS adalah tempat penampungan khusus imunologi yang menyediakan reservoir untuk
virus HIV-1. Obat anti-HIV saat ini, meskipun efektif dalam mengurangi tingkat viral
plasma, tidak bisa membasmi virus sepenuhnya dari tubuh. Permeabilitas obat anti-HIV
yang rendah di BBB menyebabkan konsentrasi deliveri rendah. Oleh karena itu, diperlukan
pengembangan pendekatan metode baru untuk meningkatkan deliveri obat anti-HIV dari
CNS diperlukan untuk pengobatan neuro-AIDS. Mahajan et al., mengembangkan
nanoemulsi intranasal untuk meningkatkan bioavailabilitas dan target SSP dari saquinavir
mesylate. Saquinavir mesylate adalah sebuah protease inhibitor yang merupakan obat yang
sulit larut yang banyak digunakan sebagai obat antiretroviral, dengan bioavailabilitas oral
sekitar 4%. Metode emulsifikasi spontan digunakan untuk menyiapkan sifat o / w yang
mengandung nanoemulsi obat, yang dikarakterisasi oleh ukuran tetesan, potensi zeta, pH,
kandungan obat. Selain itu, studi permeasi ex-vivo dilakukan menggunakan mukosa hidung
domba. Hasilnya, Neuroemulsi (NE) menunjukkan peningkatan optimal yang signifikan
dalam tingkat permeasi obat dibandingkan dengan bentuk obat suspensi. Penelitian

35 Universitas Indonesia
toksisitas silia pada mukosa hidung domba menunjukkan tidak ada efek samping yang
signifikan pada efek saquinavir mesylate - NE dimuat. Hasil studi biodistribusi in vivo
menunjukkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di otak setelah pemberian intranasal NE
daripada intravena disampaikan mesylate saquinavir. Persentase yang lebih tinggi dari
efisiensi penargetan obat (% DTE) dan persentase transport obat langsung dari hidung ke
otak (% DTP) untuk indikasi NE yang dioptimalkan penargetan SSP efektif dari saquinavir
mesylate melalui rute intranasal. Skintigrafi Gamma pencitraan otak tikus secara
meyakinkan menunjukkan pengangkutan obat di CNS pada yang lebih besar luasnya
setelah pemberian intranasal sebagai ME.

k. Terapi antikanker

Paclitaxel adalah obat kemoterapi terapi anti tumor yang ampuh. Kombinasi paclitaxel dan
C6 Ceramide dalam formulasi nanoemulsi dan diberikan secara inhalasi menunjukkan
peningkatan efek sitotoksik di otak sel tumor. Dengan demikian, dapat digunakan bersama
untuk menambah aktivitas terapeutik, terutama di model tumor agresif seperti glioblastoma
[76].

X. Modifikasi obat konvensional menjadi sediaan intranasal

Obat dengan Teknik Formulasi liposom

Sediaan intranasal dengan fungsi antibiotik umumnya larut dalam air dan dapat
diabsorb ke dalam sirkulasi sistemik sebagian terdegradasi oleh enzim. Untuk menjaga
konsentrasi obat di atas MIC (Minimum Inhibitory Concentracions) dalam saluran
intranasal, digunakan formulasi liposom dengan tujuan menjaga pelepasan obat,
memperpanjang aksi obat di tempat infeksi dan meningkatkan fungsi sitemik. Salah satunya
fungsinya dalam pelepasan zat antibiotic, dapat mengurangi dosis dan frekuensi sehingga
meningkatkan kepatuhan pasien. Selain itu, teknologi formulasi liposom berpotensi
membuat persentase keberhasilan deliveri aktivitas fungsi obat pada sel yang ditargetkan

36 Universitas Indonesia
(Kelly et al., 2011). Saat dikirim ke saluran intranasal, liposom dapat di tempel dengan gel
atau di buat dalam sediaan nasal spray (Kelly et al., 2011) dan mekanisme ini dapat
dieksploitasi untuk menargetkan infeksi intraseluler. Penelitian lain yang serupa dapat
diambil pendekatan metode dengan modifikasi liposom dengan mannose yang dapat
memfasilitasi penargetan makrofag aktif dengan reseptor mannose (Chono et al., 2010).

1 Amikacin

Arikace® adalah merk formulasi intranasal liposomik amikasin, yang terdiri dari obat yang
dienkapsulasi dalam muatan netral terdiri dari dipalmitoylphosphatidylcholine dan
kolesterol. Dalam percobaan klinis Tahap II, Arikace® (280 mg atau 560 mg) dengan
nebulizer dengan frekuensi sekali sehari untuk pasien fibrosis kistik terinfeksi oleh P.
aeruginosa selama 28 hari menggunakan nebuliser eFlow® (Clancy, 2013). Hasil penelitian
menunjukan mengurangi toleransi akut, onset yang cepat, dan meningkatkan desposisi
konsentrasi obat. Dalam penelitian lain yang juga menggunakan alat nebuliser yang sama,
Li et al. melaporkan 30-35% kehilangan amikasin yang terperangkap dengan FPF sebesar
32,5% setelah nebulisasi Arikace® (Li et al., 2008)]. Degradasi obat yang dienkapsulasi
dari Liposom perlu diselidiki lebih lanjut ketika menggunakan perangkat nebulizer
sehingga dapat memahami peran nebulizer.

2 Ciprofloxacin

Formulasi liposom memungkinkan pelepasan ciproflooksasin secara terus-menerus


(Bhavane, 2007) menyebabkan frekuensi dan menurunkan dosis sehingga memperbaiki
kenyamanan pasien dan mengurangi efek samping (Serisier et al., 2013). Data klinis
menunjukkan formulasi liposom ciprofloxacin (Lipoquin ™) untuk sediaan nebulasi
(Bruinenberg et al.,2010) dan Liposom ciprofloxacin (Pulmaquin ™) (Serisier et al., 2013)
berkhasiat dengan dan meningkatkan tolerabilitas pada pasien CF dan non-CF bronchitis.
Karakterisasi in vitro dari formulasi liposom ciprofloxacin dengan menggunakan jet
nebulisasi dapat meningkatkan distribusi karena menurunkan ukuran vesikula rata-rata obat
(Cipolla et al, 2013). Penambahan surfaktan (0,4% polisorbat 20) pada formulasi ini

37 Universitas Indonesia
menghasilkan pelepasan pada uji in vitro yang lebih cepat (Cipolla et al, 2014). Selain itu,
sifat fisikokimia dari formulasi liposom tetap ada sehingga harus berada dalam
penyimpanan pada suhu 2-8 ° C dan dapat bertahan sampai dua tahun (Cipolla et al, 2014).
Metode yang mudah juga dikembangkan dikembangkan untuk menghasilkan formulasi
liposom intranasal ciprofloxacin dengan mendispersikan campuran bubuk micronized obat
dan eksipien dalam garam. Setelah itu, lebih dari 90% dari obat dapat dienkapsulasi dalam
liposom untuk formulasi yang optimal. Bubuk micronised tersebut ditunjukan dilihat dani
nilai relatif tinggi pada FPF N50% saat di aerosolisis oleh rig deaglomerasi pada 60 L/
menit. Efisiensi enkapsulasi bubuk aerosolisis adalah sekitar 35% untuk ciprofloxacin
(Desai et al., 200). Dalam studi selanjutnya, Efisiensi enkapsulasi formulasi dilarutkan
ditingkatkan menjadi 93,5% dalam garam isotonik, 80% pada mucin sapi, 75% pada lendir
babi dan 73% pada pasien fibrosis cystic ex vivo lima kali lipat dahak (Desai et al., 200).
Selain itu teknik pelepasan obat dengan liposom ciprofloxacin juga menunjukkan
peningkatan aktivitas anti-mikroba. Gubernur et al. melaporkan bahwa formulasi
ciprofloxacin liposom kationik memiliki 2-4 kali lebih rendah MICs pada bakteri strain P.
aeruginosa, Klebsiella pneumoniae dan Escherichia coli, termasuk penurunan dua kali lipat
MIC melawan strain yang resisten P. aeruginosa. Efek anti-mikroba yang disempurnakan
dari formulasi liposom kationik dikaitkan dengan interaksi muatan positif ikatan liposom
dengan membran sel bakteri bermuatan negatif. Akibatnya, aktifitas antibiotik liposom di
periplasma lebih tinggi, menyebabkan lebih banyak molekul anti-mikroba yang menyebar
ke dalam sitoplasma (DrulisKawa et al., 2009). Berikut ini review aktivitas obat anti bakteri
dengan intranasal:

38 Universitas Indonesia
Testing
Production Testing
Drug Formulation Major excipient FPF flow rate Comments
method device
(l/min)
30–35% loss of
Nebulisation
Amikacin N/A N/A eFlow 32.50% N/A entrapped amikacin
(Arikace®)
after nebulisation
63.5 (of Drug encapsulation,
Hydrogenated soy the vesicle size and in
Membrane Pari
Ciprofloxacin Nebulisation phosphatidylcholine, emitted 12.5 vitro release are
extrusion eFlow
cholesterol aerosol, stable upon
b4.95 μ nebulization
olysorbate 20, 0.4%
(w/v), hydrogenated
Membrane Pari VMD of
Ciprofloxacin Nebulisation soy 12.5
extrusion eFlow 3.74 μm
phosphatidylcholine,
cholesterol aster release rate
1,2-Dioleoyloxy-3-
2–4 times lower
trimethylammonium-
MICs against many
propane
reference and
(DOTAP), 1,2-
clinical strains of
Thin film dioleoyl-sn-glycero-
Ciprofloxacin Wet N/A N/A N/A Pseudomonas
method 3-
aeruginosa,
phosphoethanolamine
Klebsiella
(DOPE),
pneumoniae and
phosphatidyl-choline
Escherichia coli
(PC), cholesterol
Fast release with
Dry film Dioleoylphosphatidyl
Colistin Wet N/A N/A 50% of colistin
method choline
N/A dissolved in 10 min
l-α soybean
Dispersion
Proliposomes phosphatidylcholine 15–35%
device
Isoniazid Dry powder by spray (SPC) cholesterol (b4.4 60 Low FPF
made in-
drying from lanolin, μm)
house
mannitol
Proliposomes
Soya
Rifapentine Dry powder by spray Rotahaler 92.50% 60 High FPF
phosphatidylcholine
drying

3 Polymyxins

Beberapa penelitianmelakukan penelitian dan menghasilkan formulasi liposom


polymyxin B dengan teknik hidrasi film tipis, dengan dimyristoyl fosfatidilgliserol dan

39 Universitas Indonesia
surfaktan Tween 80 dan Span 20 (Desai et al., 2003). Formulasi dioptimalkan untuk
mencapai efisiensi enkapsulasi yang sangat tinggi mendekati 100% dan disiapkan untuk
dinebulisasi. Namun, hal itu menarik untuk dicatat, formulasi liposom memiliki MIC yang
jauh lebih tinggi (31,3 μg / l) terhadap P. aeruginosa (ATCC 27853) dari pada polymyxin B
murni (3,9- 7,8 μg / l) (Desai et al., 2003). Kemungkinan penyebab berkurangnya aktivitas
antimikroba bisa jadi muatan partikel negatif dari liposom. Mekanisme anti bakterisida
polymyxins bermuatan positif yang dilapisi lipopolisakarida bertemu bermuatan negative
dari membran luar bakteri dan menyebabkan pecahnya sel bakteri (Velkov et al., 2013).
Pengikatan lipopolisakarida dapat menyebabkan liposom bermuatan negatif, menyebabkan
aktivitas antimikroba berkurang. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk memahami
masalah ini oleh membandingkan liposom positif dan negatif.

Dengan menggunakan metode dry film, Wallace dkk. kolistin yang dienkapsulasi sulfat
dan kolistin metanasulfonat dalam liposom dioloylfosfatidilkolin dengan ukuran sekitar 180
nm dan mencapai efisiensi sekitar 50% (Wallace et al., 2012). Berlawanan dengan
ekspektasi, pelepasan kolistin dari liposom sangat cepat, dengan 50% kolistin larut selama
10 menit dan tidak ada pelepasan lebih lanjut yang diamati pada 72 jam. Tetapi riset ini
berlawanan dengan profil pelepasan liposom kolistin yang dapat bertahan lama dilaporkan
oleh Wang et al. (Wang et al., 2009). Wallace berhipotesis bahwa tidak seperti tipikal obat
hidrofilik, colistin amphipathic mungkin telah meningkat permeabilitas bilayer liposom,
memungkinkan pelepasan yang lebih cepat kolistin yang dienkapsulasi dari inti liposom.
Selanjutnya studi, menggabungkan kolistin dalam liposom azitromisin juga meningkatkan
pelepasan azitromisin secara in vitro dan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas
liposom oleh kolistin. Studi lebih lanjut diperlukan untuk membuka peluang penelitian baru
dalam penerapan liposom formulasi untuk pengiriman antibiotik kombinasi melalui
intranasal (Wang et al., 2009).

40 Universitas Indonesia
4 Proliposom untuk agen anti-tuberkulosis

Proliposom adalah dry-spray yang bisa membentuk liposom kontak dengan air baik
sebelum atau sesudah pemberian ke dalam tubuh (Rojanarat et al., 2011). Rojanarat dkk.
mengembangkan proliposom dari semprotan kering isoniazid (Rojanarat et al., 2011). Data
menunjukkan bahwa proliposom memiliki FPF rendah 15-35% (b4.4 μm) karena
aglomerasi partikel (Rojanarat et al., 2011). Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa
proflosidrokolin kedelai dari rifapentin diproduksi dengan menggunakan pengeringan
semprotan satu langkah, memiliki median massa diameter aerodinamis 1,56 ± 0,16 μm dan
dipamerkan secara mengejutkan Kinerja nasal spray yang baik dengan FPF 92,5 ± 1,5%
diukur pada 60 l / menit (Patil, 2014). Makanya, pilihannya Bahan proliposom tidak hanya
mempengaruhi profil pelepasan obat tapi juga kinerja nasal spray.

Salah satu tantangan dalam penilaian teknologi lepas lambat intranasal berkaitan dengan
formulasi pada uji in vitro yang tepat salah satunya metode disperse. Sampai saat ini, tidak
ada pedoman peraturan pengujian disperse produk yang intranasal yang pasti untuk yang
mampu menirukan lingkungan nasal manusia (Riley et al., 2012). Hal ini menciptakan
hambatan untuk cepat mengerjakan riset kinerja dan perkembangan produk liposom
generik. Pada bulan Mei 2014, FDA telah mendapathibah penelitian aplikasi untuk
mengevaluasi berbagai uji in vitro release untuk mendeteksi perbedaan formulasi dan
prediksi pelepasan produk liposom in vivo secara in vivo. Baru-baru ini, Cipolla
mengembangkan metode disperi untuk mengevaluasi inaktif secara in vitro formulasi
ciprofloxacin liposom di paru-paru (Cipolla et al., 2014). Serum bovine terpilih sebagai
agen pelepas yang akan memicu pelepasan obat dari liposom. Metode ini memiliki rentang
parameter pelepasan dari beberapa aspek yaitu zat pelepas, konsentrasi liposom, suhu
inkubasi, dan pH penyangga (Cipolla et al., 2014). Uji in vitro Model sel Calu-3 juga
dikembangkan oleh Ong et al. untuk mengevaluasi pelepasan obat dan pengangkutan obat
secara intraselular dari formulasi ciprofloxacin liposom pada garis sel epitel manusia
(Cipolla et al., 2014). Tantangan lain untuk evaluasi formulasi liposom meliputi kerusakan
integritas liposom pada saat diaplikasikan pada nebulisasi (Cipolla et al., 2014), Studi

41 Universitas Indonesia
fundamental lebih lanjut perlu dipahami pemberian obat dan tindakan terapeutik dari
formulasi liposom.

Formulasi Polimer

Investigasi formulasi polimer antibiotik untuk intranasal telah dilakukan untuk mengatasi
karakteristik pelepasan zat antibiotik yang bersifat hidrofilik. Meskipun polivinil alkohol
(PVA) dan PLGA telah diperiksa sebagai polimer yang berfungsi dalam teknologi
pelepasan obat, banyak penelitian yang menginvestigasi penggunaannya biokompatibilitas
dan toksisitas dalam penelitian in vitro dan in vivo (Salama et al., 2009. Oleh karena itu,
studi in vivo dan klinis pada keamanan dan kemanjuran formulasi polimer intranasal sangat
dibutuhkan untuk mengisi gap pengetahuan ini.

Testing
Formulatio
Drug Production method Major excipient Testing device FPF flow rate
n
(l/min)

25.9% for
Ciprofloxacin
Dry ciprofloxacin
and Co-spray drying PVA Aerolizer 60
powder and 5.8% for
doxycycline
doxycycline
Lipid-coated
nanoparticles via an PLGA, PVA,
Dry
Levofloxacin emulsificationsolvent- phosphatidylcholin N/A N/A N/A
powder
evaporation method e, Lleucine
followed by spray drying
Nanoparticle suspension
PLGA, PVA,
Dry by the emulsion/solvent
Tobramycin chitosan, alginate, Turbospin 38–52% 60
powder diffusion method
lactose
followed by spray drying
Chitosan,
Dry Chitosan microspheres
Isoniazid tripoliphosphate, Cyclohaler 60–70% 28.3
powder followed by spray drying
lactose, L-leucine
Chitosan,
7–45% (b5.8
Chitosan nanoparticles tripolyphosphate,
Dry μm), 7.8–
Isoniazid by ionic gelation method lactose, mannitol or Cyclohaler 60
powder 11% (b3.3
followed by spray drying maldextrose, L-
μm)
leucin
Recrystallization and
Dry coating with PLGA/PLA
Rifampicin PLGA/PLA Aerolizer 26–45% 60
powder followed by spray
coating
Dry Amorphous matrix
Rifampicin PLGA/PLA Aerolizer 23–33% 60
powder followed by spray drying

42 Universitas Indonesia
Poly-(ethylene oxide)-
block-distearoyl
phoaphatidylethanolamin
Dry e (mPEG-DSPE) Pari LC Plus
Rifampicin mPEG-DSPE w/v) 40% 30
powder nanoparticles followed nebulizer
by lyophilization for
rehydration and
nebulisation
Solvent evaporation of
single (w/o) and double
emulsion (w/o/w) with A model DP-4
Dry
Rifampicin premix membrane PLGA, PVA dry powder 33–70% 30
powder
homogenization insufflator™
followed by freeze-
drying
Microspheres using A model DP-4
Dry single emulsion (o/w) PLGA, sucrose dry
Rifampicin 52% 30
powder followed by freeze- palmitate powderinsufflato
drying r
PLGA nanoparticle
containing mannitol Jethaler dual
Dry
Rifampicin microspheres followed PLGA, mannitol chamber type 35% 28.3
powder
by four-fluid nozzle inhalation device
spray drying

Dry Spray drying PLGA-drug


Rifampicin PLGA Cyclohaler 22–32% 28.3
powder solution
Dry Spray drying PLA-drug
Rifampicin PLA Cyclohaler 55–70% 28.3
powder solution

1. Ciprofloxacin

Ciprofloxacin adalah antibiotik yang digunakan untuk menangani berbagai jenis


infeksi akibat bakteri, misalnya infeksi saluran kemih, infeksi pada saluran pencernaan,
infeksi pada mata, dan infeksi menular seksual. Jenis obat ini bekerja dengan cara
membunuh atau mencegah perkembangan bakteri yang menjadi penyebab infeksi. Karena
ditujukan untuk infeksi bakteri, maka ciprofloxacin tidak akan efektif untuk mengobati
infeksi virus, seperti flu atau pilek. Serbuk ciprofloxacin dan doksisiklin menggunakan
teknologi co-spray drying hydrochloride salt dari dengan menggunakan pro-polimer PVA
(Adi et al., 2010). Ditemukan bahwa penggabungan prolimer PVA dapat memperlambat
penurunan pelepasan kedua antibiotik hidrofilik, dengan persentase kurang dari 50% dari
obat terlarut dalam buffer pH 7,4 fosfat. Untuk formulasi PVA dalam 6 jam diukur dengan

43 Universitas Indonesia
sel difusi Franz yang dimodifikasi (Adi et al., 2010). Pada studi penelitiannya juga
dilakukan uji in vivo.Studi terhadap binatang percobaan memperlihatkan adanya efek
samping pada janin. Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan
melebihi besarnya risiko terhadap janin.

2. Levofloxacin

Dilanjutkannya studi intranasal teknologi liposom levofloksasin yaitu menggunakan


metode enkapsulasi antibiotik dalam poli (kaprolakton) dan nanopartikel PLGA. Metode
ini ditujukan untuk menembus sawar bbb dan mempersar konsentrasi pada jaringan target.
Melalui metode penguapan dan nasal spray (Cheow et al., 2010). Pelepasan levofloxacin
dengan polimer (caprolactone) dan PLGA nanopartikel diuji selama 6 hari. Hasilnya
peningkatan yang signifikan untuk teknologi intranasal. Persentase 80% dari obat yang
dimuat dalam satu hari dalam bentuk nanopartikel polimer berlapis lipid.

Pada penelitian nebulasi intranasal Levofloxacin dengan terapi ini diberikan 2 kali
sehari, disimpan pada suhu ruangan, dan memiliki waktu paruh yang pendek. Studi
dilakukan pada penyakit Cystic fibrosis (CF) merupakan penyakit genetik langka yang
mengancam nyawa dan menyerang sekitar 75.000 pasien di seluruh dunia. CF disebabkan
oleh mutasi pada gen cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR) gene.
Protein CFTR yang hilang atau cacat mempengaruhi aliran garam dan air ke dalam atau
keluar sel pada beberapa organ, termasuk paru. Hal ini menyebabkan menumpuknya
sekresi yang tebal dan abnormal yang dapat menyebabkan infeksi paru kronik dan
kerusakan paru progresif yang pada banyak pasien dapat menyebabkan kematian.

Pemberian levofloxacin inhalasi dengan sistem nebulizer menghantarkan obat aktif


dengan konsentrasi tinggi langsung ke area infeksi dalam waktu 5 menit. Levofloxacin
inhalasi dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif terhadap levofloxacin, riwayat
gangguan tendon terkait fluoroquinolone, epilepsi, dan juga wanita hamil dan ibu
menyusui. Keamanan levofloxacin inhalasi dievaluasi dalam 2 studi tersamar ganda,
kontrol plasebo, dan sebuah studi dengan pembanding aktif, di mana efek samping yang

44 Universitas Indonesia
paling sering dilaporkan adalah batuk, batuk berdahak, disgeusia (gangguan pengecapan),
dan kelelahan/ asthenia. (AGN).

3. Tobramycin

Komposisi nanopartikel PLGA yang dimodifikasi dengan chitosan dan dikonjugasi dengan
senyawa tobramycin disiapkan dengan metode difusi emulsi / pelarut (Ungaro et al, 2012).
Obramycin adalah obat golongan antibiotik aminoglikosida yang digunakan untuk
mengobati infeksi akibat bakteri. Misalnya infeksi pada mata, infeksi saluran kemih, infeksi
saluran gastrointestinal, infeksi tulang dan sendi, infeksi sistem saraf pusat, infeksi saluran
pernapasan bawah, dan infeksi kulit. Pelepasan obat yang berkelanjutan dicapai secara in
vitro pada pH fosfat buffer 7,2 sampai 30 hari. MIC dari suspensi nanopartikel melawan P.
aeruginosa sepuluh kali lipat lebih tinggi dari pada tobramycin murni, dan berat
sitotoksisitas in vitro nanosuspensi pada epitel alveolar manusia sel (A549) diamati.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari MTT pengujian, kira-kira pengurangan 82% dalam
kelangsungan hidup sel diamati suspensi nanopartikel chitosan yang dimodifikasi
dibandingkan dengan Pengurangan 50% untuk nanopartikel tobramycin pada konsentrasi 1
mg / ml (Ungaro et al, 2012).

4. Agen anti tuberkulosis

Partikel polimer berukuran mikro dan nano yang mengandung rifampisin yang
dienkapsulasi, obat anti-tuberkulosis pertama, telah diteliti secara ekstensif. Partikel
rifampisin dilapisi dengan polimer PLGA atau polylactide (PLA) menggunakan Teknik
nebulasi yang dilengkapi dengan nosel multichannel untuk mengurangi pelepasan obat awal
dan melindungi mikrokristal dari dekomposisi kimia (Son et al., 2009). Metode penguapan
pelarut emulsi juga telah digunakan untuk menghasilkan partikel PLGA-rifampisin (Diab et
al., 2012). Efisiensi pemuatan obat dan ukuran partikel ditemukan sangat tergantung pada
kekuatan geser dan parameter formulasi semacam itu sebagai volume fasa berair dan
konsentrasi polimer (Budhian et al., 2007).

45 Universitas Indonesia
Formulasi nanopartikel

Formulasi nanopartikel intranasal menguntungkan karena dapat meningkatkan kelarutan


dan tingkat disolusi obat-obatan yang mudah larut dalam air serta meminimalkan
pembukaan mukosiliar lambat (Zhang et al., 2011). Hambatan pada intranasal dapat diatasi
dengan memakai teknologi nano partikel. Masalah ini telah diselesaikan dengan
merumuskan nanopartikel menjadi mikroagregat terhirup melalui pengeringan semprot
(D'Addio, 2013)] dengan batuan mannitol (Cheow et al., 2011), PVA, atau leusin sebagai
bahan matriks. Itu agregat berukuran mikro yang dihasilkan oleh pengeringan semprot beku
dipamerkan Kinerja nasal spray yang superior dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh
pengeringan semprot (Cheow et al., 2011) dan ini dikaitkan dengan struktur berpori dan
kepadatan rendah partikel. Namun toksisitasnya terhirup nanopartikel layak diselidiki lebih
lanjut.

1. Amikacin

Pada penelitianVarshosaz dengan studi untuk mengoptimalkan teknik difusi pelarut untuk
produksi nanopartikel lipid padat kira-kira Ukuran 150 nm dengan efisiensi pemuatan obat
yang tinggi sebesar 88% (Varshosaz, 2010). Tujuan penelitiannya untuk digunakan untuk
memperbaiki stabilitas jangka panjang nanopartikel. Hasil penelitian menunjukkan
pemberian teknologi nanointranasal pada MIC dan konsentrasi bakteri minimum dari
nanopartikel amikasin terhadap P. aeruginosa kurang dari separuh nilai amikasin
konvensional, menunjukkan peningkatan aktivitas anti mikroba (Varshosaz et al, 2010).

2. Ciprofloxacin

Suspensi partikel ciproflooksasin dihasilkan oleh menstimulasikan penyebaran obat koloid


dalam aseton dengan L-leusin ditambahkan ke dalam suspensi sebagai bahan matriks.
Agregat nebulasi intranasal dibuat dengan Teknik p pengeringan beku dicirikan oleh a
jumlah FPF tinggi (b5,8 μm) sebesar 81% diukur melalui nebulizer Monodose pada a laju

46 Universitas Indonesia
alir 30 l / menit (El-Gendy et al., 2009). Selanjutnya, aglomerat nanopartikel memamerkan
profil disperse yang cepat dan dibandingkan ciprofloxacin konvensional (El-Gendy et al.,
2009).

3. Tobramycin

Nanopartikel tobramycin disiapkan dengan teknik homogenisasi tekanan tinggi dengan


adanya surfaktan (sodium glycocholate) untuk memperbaiki dispersi. Aglomerat yang
terbentuk dengan pengeringan semprot nanosuspensi obat, dalam FPF (b5 μm relatif
terhadap dosis yang dimuat) sebesar 61% saat ditentukan pada laju alir 100 l / menit. Ini
secara signifikan lebih tinggi dari pada micronized tobramycin yang ditemukan menjadi
36%.

4. Vancomycin

Savara Pharmaceuticals telah mengembangkan Teknik nebulasi vancomycin hydrochloride


(AeroVanc ™) (Backman et al, 2014). Itu perumusan AeroVanc ™ belum diungkapkan
namun data dari Studi klinis fase pada sukarelawan yang sehat melaporkan tolerabilitas
yang sangat baik dan profil farmakokinetik yang menguntungkan.

Kombinasi formulasi antibiotik

Terapi mono antibiotik dapat menyebabkan perkembangan resistensi antibiotik (Li et al.,
2006). Sehingga terapi kombinasi mengandung berbagai jenis antibiotik telah banyak
digunakan untuk mencegah munculnya resistensi obat (Li et al., 2006). Kombinasi obat
harus dipilih dengan cermat untuk memanfaatkan potensi sinergisme atau bahkan
antagonisme dalam aktivitas anti bakteri. Sebuah studi awal tentang aktivitas antimikroba
dari kombinasi ciprofloxacin dan kombinasi co-spray-dried doksisiklin hidroklorida (1: 1)
dilakukan berdasarkan difusi cakram Metode menunjukkan perubahan minimal pada zona
hambatan zona Kombinasi terhadap Staphylococcus aureus, P. aeruginosa dan
Streptococcus pyrogenes (Adi et al., 2008). Namun, efek penindasan telah terjadi
dilaporkan untuk kombinasi ini melawan E. coli (Yeh et al., 2009). Oleh karena itu,

47 Universitas Indonesia
keduanya Metode pengukuran dan target strain bakteri sangat penting dalam Pemilihan
kombinasi sinergis antibiotik.

1. Formulasi cair

Kombinasi tobramycin dengan antibiotik lainnya seperti fosfomisin telah menghasilkan


efek anti bakteri yang sinergis S. aureus dan P. aeruginosa baik dalam model in vitro
maupun in vivo (MacLeod dkk., 2012) menemukan bahwa fosfomisin meningkatkan
penyerapan tobramycin di P. aeruginosa dengan cara tergantung dosis (MacLeod dkk.,
2012). Pemberian tugas bersama tobramycin dengan klaritromisin dan colistin juga
menunjukkan peningkatan aktivitas anti-biofilm. Hasil dari percobaan klinis Tahap II pada
nebulasi tobramycin / fosfomycin pada pasien CF mengkonfirmasi kemanjuran anti-
mikroba klinis terhadap P. aeruginosa (Tre-Hardy, 2009).

Formulasi kombinasi mengandung adjuvant non-antibiotik

Selain kombinasi berbagai antibiotik, penggabungan adjuvant non-antibiotik dalam


formulasi antibiotik berpotensi terjadi meningkatkan efek anti-mikroba mereka. Kation
logam (misalnya zat besi, kalsium dan magnesium) sangat penting untuk pertumbuhan
bakteri, kepatuhan microbial dan pembentukan biofilm. Kisi-kisi ion logam sangat
bermanfaat melawan bakteri yang resistan terhadap banyak obat dengan mengikat ion ini
(Raad et al., 2008). Formulasi kombinasi terdiri dari chelator ion, sitrat dan taurolidin
terbukti menghambat pertumbuhan biofilm P. aeruginosa. Kunyit ion lain, lactoferrin,
dilaporkan memblokir biofilm pengembangan P. aeruginosa (Singh et al, 2002).

Agen osmotik seperti manitol juga dapat ditambahkan sebagai bahan pembantu. Di Pasien
CF, patogen dapat tinggal di lendir tebal yang membentuk batas yang tak dapat ditembus
mencegah masuknya antibiotik. Menggunakan sebuah model lendir buatan in vitro, Yang et
al. melaporkan bahwa kombinasi manitol dengan ciprofloxacin meningkatkan efek anti-
mikroba melawan P. aeruginosa (Singth et al., 2002). Efek seperti itu disebabkan

48 Universitas Indonesia
kehadirannya dari manitol yang meningkatkan masuknya air ke lendir buatan dan kemudian
meningkatkan penetrasi ciprofloxacin melalui lender lapisan. Namun, dosis ciprofloxacin
dalam proporsinya (5% w / w) yang diteliti dalam kombinasi dengan manitol rendah. Jika
dosis aktual ciprofloxacin seperti yang digunakan dalam percobaan klinis sebelumnya (32,5
mg) (Yang, 2011). dikombinasikan dengan manitol dengan rasio yang sama, Total massa
bubuk menggunakan nebulasi masing-masing dosis bisa mencapai total 650 mg.
Pengoptimalan lebih lanjut dalam formulasi dapat mengurangi dosis total bubuk. Manfaat
potensial lain untuk menambahkan manitol ke yang terhirup Formulasi antibiotik meliputi
pemberantasan sel-sel persisten bakteri, perbaikan saluran napas yang berhubungan dengan
CF dan bronkiektasis non-CF . Komponen non-antibiotik lain yang dilaporkan termasuk
deoxyribonuclease (DNase, mucolytic) dengan efek anti-mikroba yang disempurnakan
pada P. aeruginosa dalam sputum buatan dan beklometason dipropionat untuk pengobatan
infeksi intranasal pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik. Nitrat oksida donor
dan asam D-amino juga telah ditunjukkan secara in vitroefek penyebaran biofilm.

Formulasi Bacteriophage

Terapi fag mewakili pendekatan unik untuk pengobatan infeksi berdasarkan mekanisme
anti bakteri yang seluruhnya Berbeda dengan antibiotik tradisional. Bakteriofag adalah
sejenis Virus yang menginfeksi dan mereplikasi dirinya sendiri di dalam sel bakteri. Phages
juga telah memperoleh mekanisme untuk melawan pertahanan bakteri (Burrowes, 2011).
Selanjutnya, dalam banyak kasus bakteri di lokasi infeksi terlindungi Dari penetrasi
antibiotik oleh penghalang biofilm. Phages mampu Menembus biofilm, bereplikasi secara
lokal untuk membunuh bakteri dan bisa juga berpotensi mengembalikan khasiat antibiotik
(Donlan, 2009).

Merumuskan bakteriofag sebagai serbuk kering yang terhirup umumnya lebih disukai untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dan stabilitas produk. Pembuatan fasa yang stabil secara
biologis karena serbuk kering sangat penting sebagai dampak stabilitas pada biaya dan
kemanjuran pengobatan. Teknologi bubuk konvensional seperti penggilingan mekanik

49 Universitas Indonesia
tidak sesuai dengan energi dan tekanan diproduksi diketahui menyebabkan kerusakan pada
biofarmasi seperti protein . Sebuah kelompok penelitian aerosol Kanada yang dipimpin
oleh Finlay dan Vehring telah melakukan studi perintis tentang perumusan fag sebagai
bubuk untuk intranasal . Bubuk yang dapat dihirup bakteriofag KS4-M dan ΦKZ dengan
laktosa / laktoferin (60:40, b / b) dihasilkan oleh liofilisasi yang diikuti penggilingan. Itu
Proses lyophilisation menunjukkan hilangnya titer yang dapat diterima dengan c. 2 log10
untuk KS4-M (dari 2,3 ± 0,5 × 1010 sampai 1,1 ± 0,5 × 108) dan c. 1 log10 untuk ΦKZ
(dari 1,7 ± 0,4 × 109 sampai 7,8 ± 3,3 × 108). Namun, Total FPF yang diukur pada 60 l /
menit melalui Aerolizer® relatif rendah, di kisaran 32-34% dari dosis yang dimuat.
Perbaikan hilangnya titer dan nasal spraytelah terjadi dicapai dengan pengeringan semprot
suhu rendah dengan pelindung eksipien.

Formulasi dry-spray bakteriofag KS4-M, KS14 dan koktail dari fag ΦKZ / D3 dan ΦKZ /
D3 / KS4-M, telah diproduksi melalui semprotan pengeringan pada suhu masuk 75 ° C dan
suhu outlet mulai dari 40-45 ° C. Kalsine sodium garam dan α-trehalose ditambahkan
sebagai zat pelindung, surfaktan seperti Tyloxapol dan Pluronic F68 sebagai basah agen
pendispersi dan L-leusin sebagai penambah aerosolisis serbuk. Formulasi yang
dioptimalkan memiliki massa paru total kira-kira 70% ditentukan melalui Aerolizer® pada
suhu 90 l / menit dan kehilangan titernya kurang dari 0,5 log Studi in vivo masa depan
diperlukan untuk mengkonfirmasi lebih lanjut khasiat terapi anti-mikroba intranasal baru
ini.

Testing
Major Testing
Drug Formulation Production method FPF flow rate Comments
excipient device
(l/min)
Enhanced
antimicrobial
Lipid nanoparticles
Sucrose, effects against
by solvent diffusion
Amikacin Dry powder dextrose, N/A N/A N/A Pseudomonas
technique followed
mannitol aeruginosa
by freeze-drying
compared to pure
drug
Sonicating a colloidal
dispersion of drug in Monodose Accelerated
Ciprofloxacin Dry powder L-leucine 0.81 30
acetone followed by nebulizer dissolution profile
freezedrying

50 Universitas Indonesia
High-pressure Improved
homogenization Sodium dispersion
Tobramycin Dry powder Aerolizer 0.61 100
followed by spray glycocholate compared to
drying micronised drug
A capsule-
Low density
based
nanoparticle-clusters
Vancomycin Dry powder N/A device 0.8 N/A N/A
with rough and
similar to
porous surfaces
Aerolizer

Formulasi nebulasi antivirus

1. Zanamivir

Dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia kesehatan terpusat kepada semakin
meluasnya penularan Avian Influenza (H5N1). Meningkatnya kasus infeksi H5N1 yang
menyebabkan kematian pada manusia dapat berkembang menjadi wabah pandemi yang
berbahaya. Avian Influenza sebenarnya adalah penyakit pada hewan dan tidak menular ke
manusia. Namun dalam perkembangannya, beberapa subtipe dari virus Avian Influenza
telah mengalami mutasi genetik sehingga dapat menginfeksi manusia (Depkes, 2007).
Berbagai variasi mutasi subtipe virus influenza A yang dapat menyerang manusia dan telah
menyebabkan pandemi sehingga tidak mengherankan jika kewaspadaan global terhadap
wabah pandemi flu burung mendapatkan perhatian yang serius. zanamivir dan oseltamivir
merupakan inhibitor neuraminidase, enzim yang diperlukan oleh virus H5N1 untuk lepas
dari sel inang pada fase budding sehingga membentuk virion yang infektif. Bila
neuraminidase ini dihambat oleh oseltamivir atau zanamivir, maka replikasi virus tersebut
dapat dihentikan. Secara in vitro telah diketahui bahwa virus H5N1 sensitif terhadap
oseltamivir dan zanamivir, oleh sebab itu dianjurkan bagi penderita yang diduga terinfeksi
virus H5N1 untuk diberikan obat yang mengandung oseltamivir atau zanamivir. Namun
demikian, belakangan ini telah ditemukan bahwa Virus H5N1 clade 2.3.2 yang diisolasi
dari beberapa kasus penderita flu burung di Vietnam menunjukkan penurunan sensitivitas
terhadap oseltamivir, sehingga dibutuhkan adanya senyawasenyawa aktif baru yang dapat
digunakan untuk mengobati infeksi virus H5N1.

Hanya zanamivir yang disetujui untuk penggunaan intranasal (Relenza®,


GlaxoSmithKline, Middlesex, Inggris). Di Relenza® Rotadisk®, obat ini mengandung

51 Universitas Indonesia
campuran 5 mg zanamivir dan 20 mg laktosa (Hedrick et al, 2000). Pasien melakukan
nebulasi dengan frekuensi dua kali sehari selama lima hari. Penurunan yang signifikan pada
median waktu untuk menghilangkan gejala influenza dilaporkan menjadi 1,25 hari pada
pasien (5-12 tahun) . Diskhaler® adalah perangkat dengan daya tahan rendah (0,022 kPa1 /
2 / (l / menit)) yang menghasilkan laju alir 90 l / menit pada Tekanan 4 kPa turun di
nebulizer (Kamiya et al., 2009). Penelitian in vitro dengan menggunakan Impactor Next
Generation mengungkapkan FPF kurang dari 30% bahkan pada laju alir tinggi 90 l / menit
dengan sebagian besar retensi (45,4 ± 5,0%) dan perangkat (20,9 ± 5,2%) (Kamiya et al.,
2009).

2. Laninamivir

Laninamivir oktanoat (LANI) adalah penghambat neuraminidase terbaru yang saat ini
hanya disetujui di Jepang (Inavir®, Daiichi Sankyo Company Ltd, Tokyo, Jepang dan
Biota Pharmaceuticals, Alpharetta, USA).

Laninamivir terbukti mampu menginhibisi aktivitas neuroaminidase virus influenza A dan


B, termasuk subtype N1 sampai N9 dan virus resistan terhadap oseltamivir. Penelitian
dilakukan drug design berbasis lanimivir, hal ini disebabkan lanamivir dapat menghambat
kerja neuraminidase secara efektif, sehingga hasil modifikasi dari lanimivir dapat
menghambat kerja neuraminidase lebih efektif daripada laminamivir itu sendiri.

Ini adalah sebuah Obat antiretroviral yang memiliki daya tahan lama selama lebih
dari 5 hari (Sunagawa et al., 2013). Dalam studi hewan, t1/2 (waktu untuk setengah
konsentrasi LANI segera setelah pemberian) adalah 41,4 jam dan bahkan pada dosis pasca
120 jam. Durasi kesembuhan rata-rata yang dibutuhkan yang disebabkan demam dan gejala
flu tiga sampai empat hari (termasuk hari administrasi) pada pasien yang memiliki
influenza tipe A dan B (Kashiwagi et al., 2013).

Virus influenza A subtype H5N1 menjadi perhatian kesehatan global karena memiliki
patogenitas yang tinggi disebabkan gen penyusunnya berupa RNA yang mudah mengalami
mutase. Pengobatan dengan antiviral adalah salah satu upaya untuk mmencegah pandemic
influenza namun terjadi resistansi terhadap obat antiviral tersebut.

52 Universitas Indonesia
3. Obat anti-influenza sedang dikembangkan

Selain tiu dalam beberapa jurnal terdapat beberapa obat influenza yang akan dikembangkan
dan masih menjadi riset. Data tersebut disajikan pada table berikut:

API Target virus Formulation Delivery method Deposited lung dose Dosing regime Model and
reference
DAS181 (a Human 1.0 mg Nebulasi with FPF (1–5 μm) = Once daily for 5 18 month
recombinant parainfluenza DAS181/ml Aerogen Pro X 68.2% Total DAS181 days. old infant
protein with virus 3 water deposited = 6.1 mg Nebulisation
sialidase activity) time:
8 min

Stock solution FPF (1– 5 μm) = once daily for 5 47 year old
of 10.0 mg 68.2% Total DAS181 days. female.
DAS181/ml deposited = 7.9 m Nebulisation
water is time: 4 min (1st
diluted in day), 7 min (2nd
saline to give day), 7–14 min
1.3 mg/ml (3rd–5th days)

Dry powder Aerolizer® 65–70% ne capsule daily 7 and 59


composition for 5 days. 10 year old
is not mg DAS181 in men and
specified. each capsule 64 year old
woman.

High dose H3N2 100 mg Nebulasi with 0.4 mg ribavirin/ Once daily for 4 Mice
ribavirin to influenza ribavirin/ml Aerotech II kg body weight days. model.
shorten virus water (CISUSA, Bedford, Nebulisation
treatment time MA) time: 30 min

Recombinant H1N1 RHC in saline Nebulasi (type of N/A Twice a day for Mice
human catalase influenza (33,000 nebuliser is not 4 days model.
(RHC) virus U/ml). specified) Dose 1.5 ml/kg

53 Universitas Indonesia
Cidovir Smallpox Micronised Rotating brush N/A Once daily for 3 Rabbit
virus Cidovir powder generator days. Three model.
(Palas, Karlsruhe, different
Germany) doses: 0.5, 1.0,
and 1.75 mg/kg.
Corresponding
survival rate:
50, 83, 100%

Formulasi anti jamur

Pasien yang tidak dapat diobatikarena faktor hematologis penyakit, HIV, kanker dan
transplantasi organ sangat rentan untuk infeksi jamur paru invasif. Infeksi ini menyebabkan
tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi (40-90%) dan menjadi masalah kesehatan
yang memprihatinkan (Pitman, 2011). Salah satunya pengembangan obat antiretroviral.
Terapi antiretroviral (ART) berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena
HIV adalah retrovirus, obat ini biasa disebut sebagai obat antiretroviral (ARV). ARV tidak
membunuh virus itu. Namun, ART dapat melambatkan pertumbuhan virus. Waktu
pertumbuhan virus dilambatkan, begitu juga penyakit HIV. Sebagian besar Kasus yang
terinfeksi disebabkan oleh Candida spp. dan Aspergillus spp. Administrasi obat
antiretroviral oral dan / atau intravena, seperti amfoterisin B, flucytosine dan sudah tersedia
sangat banyak, tetapi intranasal belum banyak (Limper et al., 2011).

Namun, perawatan invasive konvesional sudah tidak dapat dilakukan karena factor
toksisitas sistemik yang berbeda. Dalam dua dekade terakhir, perhatian meningkat telah
ditarik untuk pengiriman anti-jamur untuk pencegahan infeksi jamur paru noninvasif
(Schiller, 2010). Namun, administrasi dari Agen antijamur secara nebulasi masih terbatas
pada studi kasus karena kekurangannya data klinis yang memadai mengenai profil
kemanjuran dan keamanannya (Schiller, 2010). Beberapa data tersebut dapat dirangkum
pada table berikut:

Production Test
Drug Formulation Major excipient FPF
method Device flow

54 Universitas Indonesia
rate (l/
min)

Commercially
Liposom Hydrogenated soy phosphatidylcholine Atomis
available as
formulation for (48%), cholesterol (24%), 0.185 er 15
AmBisome for
nebulisation distearoylphosphatidylglycerol (19%) NL9M
injection
Chitosan–
stearic acid
Amphoteric Air-jet
Suspension for conjugate hitosan–stearic acid with 17 or 60%
in B 0–52% nebulis 60
nebulisation nanomicelles by substitution degree (60–95% w/w
er
solvent
evaporation
Hydroxypropyl-γ- cyclodextrin: amphotericin
Buxco
Non-ionic B = 100:1 w/w, lipids including Mono-n-
Suspension for nebulis
surfactant hexadecyl ether tetraethylene glycol, 4–21% 60
nebulization ation
vesicles cholesterol, and dicetyl phosphate (30 and
system
150 mM)
Crystalline
nanoparticles by
wet-milling and
Suspension for aggregated by Aerone
Mannitol (30%), leucine (12%) 47–54% 28.3
nebulisation ultra-rapid b
freezingamorph
ous
nanostructured
Pari
LC
Itraconazol
Plus,
e
Medel
Crystalline Jet
Suspension for
nanoparticles by Polysorbate 80 (14%) N/A Basic, N/A
nebulisation
wet-milling Multis
onic
and
Pari
eFlow
Chitosan-based
nanoparticle by
ionic gelation, Lactose (2.5–20% w/w), mannitol (2.5–20% Cycloh
Dry powder 16–43% 60
then spray w/w), leucine (0–10% w/w) aler
drying
nanosuspension

55 Universitas Indonesia
Crystalline
nanoparticles by
high-pressure
TPGS (3.2%), mannitol (64.5%), sodium Axahal
Dry powder homogenization 46–63% 100
taurocholate (0.3–0.9%) er
, then spray
drying
nanosuspension
Spray drying
Mannitol (61–90%), phospholipid (0.36–
Dry powder drug solution 47−67% Axahal 100
3.47%)
with excipients er
Crystalline
microparticles
in the absence
Dry powder by of excipients
spray drying and amorphous
Voriconazo Handih
micro- nanostructured PVP K12 (33%), PVP K30 (25–33%) 5–43% 60
le aler
nanosuspension aggregated in
s the presence of
excipients by
thin film
freezing

1. Amfoterisin B

Amfoterisin B, yang merupakan membran giald makrolida aktif senyawa antijamur, telah
menjadi terapi yang paling umum digunakan untuk pengobatan infeksi jamur paru yang
mengancam jiwa dan paling banyak dipelajari untuk administrasi intranasal (Klepser,
2011). Formulasi liposom amfoterisin B kering dikembangkan oleh Shah dan Misra (Shah,
2004). Namun, sebagian besar penelitian dimaksudkan untuk menunjukkan kelayakan
nebulising secara komersial dengan pengembangan formulasi, termasuk Fungizone®
(formulasi deoksikolat), Ambisome® (formulasi berbasis liposom), Abelect® dan
Amphotec® (formulasi berbasis lipid). Profil sifat dan keamanan farmakokinetik yang
sesuai telah dirangkum dalam Kuiper dan Ruijgrok (Kuiper, 2015). Singkatnya, formulasi
liposom dan lipid nebulasi lebih baik dengan konsentrasi obat lokal yang lebih tinggi dan
tidak ada efek negatif pada surfaktan paru bila dibandingkan dengan formulasi deoksikolat.

56 Universitas Indonesia
Karena itu, penelitian terbaru difokuskan untuk mempelajari liposom atau formulasi yang
dienkapsulasi. Fauvel dkk. menyelidiki kinerja in vitro liposom amfoterisin B dialirkan
oleh nebuliser Atomiser NL9M dengan kompresor AOBOX dan memastikan kemampuan
untuk mengirimkan formulasi liposom kelokasi target. Selain itu diuji juga serapan obat
dan toksisitas obat pada konsentrasi yang dapat dicapai oleh nebulisasi pada sel epitel
A549. Obat konsentrasi di atas MIC sebagian besar spesies Aspergillus dilaporkan, namun
amfoterisin mendekati kadar yang berpotensi menjadi sitotoksik pada sel. Temuan mereka
mungkin bisa menjelaskan ketidak konsistenan dalam profil keselamatan diamati dalam
berbagai studi klinis bila berbeda alat nebulasinya (Fauvel, 2012). Gilani dkk. khusus
diformulasikan amfoterisin B untuk jet nebulisasi menggunakan asam nano chitosan-stearic
konjugat sebagai pembawa. Teknik penguapan pelarut digunakan untuk menggabungkan
obat (Gilani et al,. 2012).

2. Itraconazole

Itraconazole adalah azole anti jamur yang sangat hidrofobik dan lemah dasar yang tersedia
sebagai formulasi oral dan intravena. (misalnya Sporanox®). traconazole adalah obat yang
digunakan untuk mengobati berbagai infeksi jamur, terutama infeksi jamur sistemik seperti
aspergillosis, kandidiasis, dan kriptokokosis, di mana obat antijamur lain tidak lagi efektif.
Obat ini termasuk golongan triazole yang memiliki spektrum yang lebih luas
dari fluconazole.

Ada kepentingan kuat untuk mengembangkan formulasi itraconazole yang non invasive
melalui intranasal karena kelarutannya yang rendah (1 ng / ml pada pH 7), ditambah
dengan kebutuhan konsentrasi terapeutik tinggi (0,5 μg / g jaringan paru atau 0,5 μg / ml
darah), absorbs yang rendah (Rundeldt et al., 2013). Meski begitu, memperbaiki sifat
disperse dan atau kelarutan obat tetap menjadi tantangan Itrakonazol untuk pengobatan non
invasif. Strategi untuk meningkatkan tingkat disolusi obat yang larut dalam air adalah
memperkcil partikel obat ke skala nanometer, yang hasilnya di area permukaan spesifik
yang sangat besar untuk disolusi. Teknik partikel, termasuk presipitasi di skalana nano

57 Universitas Indonesia
(100-500 nm), nebulasi nano (20-50 nm) dan pembekuan ultra cepat (20-50 nm), telah
digunakan dalam dekade terakhir untuk siapkan dispersi itrakonazol terstruktur nano untuk
nebulisasi.

Tingkat itrakonazol, dampak potensial polimorf pada kelarutan obat juga diakui. Yang dkk.
membandingkan bioavailabilitas formulasi itrakonazol nano-kristal dan amorf. Suspensi
dosis tunggal (20 mg / ml dalam 5 ml) Nebulasi untuk tikus Sprague-Dawley menggunakan
preparat dan teknologi nebulasi. Mereka menemukan bahwa bioavailabilitas sistemik dari
partikel amorf formulasi (konsentrasi puncak 180 ng / ml pada 4 jam setelah pemberian
dosis) adalah 3,8 kali lebih tinggi dari pada pasangan kristal, meskipun memiliki kinerja
aerodinamis dan pengendapan paru yang sama dari kedua formulasi tersebut. Ini
disebabkan oleh pembubaran cepat nanopartikel amorf dan tingkat supersaturasi yang lebih
tinggi yang didefinisikan sebagai rasio konsentrasi obat sampai kelarutan ekuilibrium (4,7
kali dari formulasi kristal). Sebuah nanosuspension itrakonazol giling yang mengandung
polisorbat 80 (itrakonazol: polisorbat 80 = 86,14, 10% padatan total konten) ditunjukkan
untuk meningkatkan bioavailabilitas pada model tikus (Andrade et al., 2013). SEBUAH
dosis 22,5 mg / kg nebulasi dan konsentrasi puncak sistemik 104 ng / ml 4 jam setelah
dosis tercapai. Formulasi ini bisa terjadi dalam paparan jaringan paru yang lebih lama
terhadap itrakonazol (14,3 μg / g jaringan paru-paru 24 jam setelah pemberian dosis). Fitur
seperti itu penting untuk air yang tidak larut dalam air obat untuk meningkatkan khasiatnya,
namun dosis obat harus dipertimbangkan dengan cermat untuk menghindari toksisitas
sistemik.

58 Universitas Indonesia
Daftar Pustaka

Aulton ME, Taylor K. Aulton's Pharmaceutics: the design and manufacture of medicines,
Edinburgh, Churchill Livingstone. 2013.
Arora P, Sharma S, Garg S. Permeability issues in nasal drug delivery. Drug Discov Today,
7(18), 2002, 967-975.
Alagusundaram M, Deepthi N, Ramkanth S, Angalaparameswari S, Gnanaprakash K,
Thiruvengadarajan VS, Madhusudhana CC.Dry Powder Inhalers - An Overview . Int.
J. Res. Pharm. Sci, 1(1), 2010, 34-42.
Ando T, Maitani Y, Yamamoto T, Takayama K, & Nagai T. Nasal insulin delivery in
rabbits using soybean-derived sterylglucoside and sterol mixtures as novel enhancers
in suspension dosage forms. Biological and Pharmaceutical Bulletin, 21(8), 1998,
862-865.
Aikawa K, Matsumoto K, Uda H, Tanaka S, Shimamura H, Aramaki Y & Tsuchiya S.
Prolonged release of drug from o/w emulsion and residence in rat nasal cavity.
Pharmaceutical Development & Technology, 3(4), 1998, 461-469.
Aulton ME. Pharmaceutics – The science of dosage form design. Churchill Livingston,
2002, 494.
Beht CR, Romeo VD .Optimization of systemic nasal drug delivery with pharmaceutical
excipients. Adv. Drug. Del. Rev, 29, 1998, 117-133.
Chein YW , Su KSE and Chang SF.Nasal systemic drug delivery. Dekker, 1989, 1-77.
Chajed S, Sangle S, and Barhate S. Advantagious nasal drug delivery system: A review.
International journal of pharmaceutical science and research, 2(6), 2011, 1322-
1336.
Chaturvedi M, Kumar M, & Pathak K. A review on mucoadhesive polymer used in nasal
drug delivery system. Journal of Advanced Pharmaceutical Technology and
Research, 4, 2011, 215-222.
Chien YW, & Chang SF. Intranasal drug delivery for systemic medications. Critical
Reviews In Therapeutic Drug Carrier ystems, 4 (2), 1987, 67-194.
Duvvuri S, Majumdar S, & Mitra AK. Drug delivery to the retina: challenges and
opportunities. Expert opinion on biological therapy, 3(1), 2003, 45-56.
Junginger . Bioadhesive polymer system for peptide delivery. Acta. Pharma. Tech, 36,
1990, 110-126.

59 Universitas Indonesia
Knoester PD, Jonker DM, Hoeven RTMVD, Vermeij TAC, Edelbroek PM, Brekelmans
GJ. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of midazolam administered as a
concentrated intranasal spray. A study in healthy volunteers. British Journal of
Clinical Pharmacology, 53, 2002, 501-507.
Kublik H. & Vidgren MT .Nasal delivery systems and their effect on deposition and
absorption. Advanced Drug Delivery Reviews, 29, 1998, 157-177.
Knoch M & Finlay WH. "Nebulizer Technologies”, Chapter 71 in Modified-Release Drug
Delivery Technology, ed.
Rathbone/Hadgraft/Roberts. Marcel Dekker, 2002, 849-856. Mundlia J & Mukesh K. Nasal
drug delivery: An overview. 951-956.

DAFTAR PUSTAKA

60 Universitas Indonesia
Kelly, C. Jefferies, S.-A. Cryan, Targeted liposomal drug delivery to monocytes
and macrophages, J. Drug Deliv. 727241 (2011).

Blanchard, L. Danelishvili, I. Gonda, L. Bermudez, Liposomal ciprofloxacin


preparation is active against Mycobacterium avium subsp hominissuis and
Mycobacterium abscessus in macrophages and in biofilm, 2014 American
Thoracic Society Conference, A6677, San Diego, 2014.

Chono, K. Kaneko, E. Yamamoto, K. Togami, K. Morimoto, Effect of


surfacemannose modification on aerosolized liposomal delivery to alveolar
macrophages, Drug Dev. Ind. Pharm. 36 (2010) 102–107.

Clancy, L. Dupont, M.W. Konstan, J. Billings, S. Fustik, C.H. Goss, J. Lymp, P.


Minic, A.L. Quittner, R.C. Rubenstein, K.R. Young, L. Saiman, J.L.
Burns, J.R.W. Govan, B. Ramsey, R. Gupta, G. Arikace Study, Phase II
studies of nebulised Arikace in CF patients with Pseudomonas aeruginosa
infection, Thorax 68 (2013) 818–825.

Bhavane, E. Karathanasis, A.V. Annapragada, Triggered release of ciprofloxacin


from nanostructured agglomerated vesicles, Int. J. Nanomedicine 2 (2007)
407–418.

Serisier, D. Bilton, A. De Soyza, P.J. Thompson, J. Kolbe, H.W. Greville, D.


Cipolla, P. Bruinenberg, I. Gonda, Inhaled, dual release liposomal
ciprofloxacin in non-cystic fibrosis bronchiectasis (ORBIT-2): a
randomised, double-blind, placebo-controlled trial, Thorax 68 (2013) 812–
817.

Bruinenberg, J. Blanchard, D. Cipolla, F. Dayton, S. Mudumba, I. Gonda, Inhaled


liposomal ciprofloxacin: once a day management of respiratory infections,
Respiratory, Drug Delivery, 2010, pp. 73–82.

Cipolla, F. Dayton, S. Fulzele, E. Gabatan, S. Mudumba, H. Wu, D. Yim, R.


Zwolinski, Inhaled liposomal ciprofloxacin: in vitro properties and aerosol
performance, Respiratory Drug Delivery Orlando, FL, 2010. [70] D.
Cipolla, H. Wu, J. Chan, H.-K. Chan, I. Gonda, Liposomal ciprofloxacin
for inhalation retains integrity following nebulization, Respiratory Drug
Delivery Europe 2013, Berlin, Germany, 2013.

Cipolla, H. Wu, I. Gonda, H.-K. Chan, Aerosol performance and long-term


stability of surfactant-associated liposomal ciprofloxacin formulations with
modified encapsulation and release properties, AAPS Pharmscitech (2014)
1–10.

Desai, R.E.W. Hancock, W.H. Finlay, Delivery of liposomes in dry powder form:
aerodynamic dispersion properties, Eur. J. Pharm. Sci. 20 (2003) 459–467.

1 Universitas Indonesia
DrulisKawa, A. Dorotkiewicz-Jach, J. Gubernator, G. Gula, T. Bocer, W.
Doroszkiewicz, The interaction between Pseudomonas aeruginosa cells
and cationic C:Chol:DOTAP liposomal vesicles versus outer-membrane
structure and envelope properties of bacterial cell, Int. J. Pharm. 367
(2009) 211–219.

Desai, G. Tyrrell, T. Ng, W. Finlay, In vitro evaluation of nebulization properties,


antimicrobial activity, and regional airway surface liquid concentration of
liposomal polymyxin B sulfate, Pharm. Res. 20 (2003) 442–447.

Velkov, K.D. Roberts, R.L. Nation, P.E. Thompson, J. Li, Pharmacology of


polymyxins: new insights into an ‘old’ class of antibiotics, Future
Microbiol 8 (2013) 711–724.

Wallace, J. Li, R.L. Nation, R.J. Prankerd, B.J. Boyd, Interaction of colistin and
colistin methanesulfonate with liposomes: colloidal aspects and
implications for formulation, J. Pharm. Sci. 101 (2012) 3347–3359.

Wang, L. Kong, J. Wang, X. He, X. Li, Y. Xiao, Polymyxin E sulfate-loaded


liposome for intravenous use: preparation, lyophilization, and toxicity
assessment in vivo, PDA J. Pharm. Sci. Technol. 63 (2009) 159–167.

Rojanarat, N. Changsan, E. Tawithong, S. Pinsuwan, H.K. Chan, T. Srichana,


Isoniazid proliposome powders for inhalation–preparation,
characterization and cell culture studies, Int. J. Mol. Sci. 12 (2011) 4414–
4434.

Patil Gadhe, V. Pokharkar, Single step spray drying method to develop


proliposomes for inhalation: a systematic study based on quality by design
approach, Pulm. Pharmacol. Ther. 27 (2014) 197–207.

Cipolla, H. Wu, S. Eastman, T. Redelmeier, I. Gonda, H.-K. Chan, Development


and characterization of an in vitro release assay for liposomal
ciprofloxacin for inhalation, J. Pharm. Sci. 103 (2014) 314–327.

Salama, D. Traini, H.K. Chan, A. Sung, A.J. Ammit, P.M. Young, Preparation
and evaluation of controlled release microparticles for respiratory protein
therapy, J. Pharm. Sci. 98 (2009) 2709–2717.

Adi, P.M. Young, H.K. Chan, R. Salama, D. Traini, Controlled release antibiotics
for dry powder lung delivery, Drug Dev. Ind. Pharm. 36 (2010) 119–126.

Ungaro, I. d'Angelo, C. Coletta, R.D.D. Bianca, R. Sorrentino, B. Perfetto, M.A.


Tufano, A. Miro, M.I. La Rotonda, F. Quaglia, Dry powders based on
PLGA nanoparticles for pulmonary delivery of antibiotics: modulation of
encapsulation efficiency, release rate and lung deposition pattern by
hydrophilic polymers, J. Control. Release 157 (2012) 149–159.

2 Universitas Indonesia
Diab, J. Brillault, A. Bardy, A.V.L. Gontijo, J.C. Olivier, Formulation and in vitro
characterization of inhalable polyvinyl alcohol-free rifampicin-loaded
PLGA microspheres prepared with sucrose palmitate as stabilizer:
efficiency for ex vivo alveolar macrophage targeting, Int. J. Pharm. 436
(2012) 833–839.

Budhian, S.J. Siegel, K.I. Winey, Haloperidol-loaded PLGA nanoparticles:


systematic study of particle size and drug content, Int. J. Pharm. 336
(2007) 367–375.

Yang, Study on Rifapentine-sodium Alginate Microspheres for Lung Targeting


Drug Delivery(PhD thesis) Beijing Tuberculosis and Thoracic Tumor
Research Institute, Beijing, China, 2011.

Zhang, L. Wu, H.-K. Chan, W. Watanabe, Formation, characterization, and fate


of inhaled drug nanoparticles, Adv. Drug Deliv. Rev. 63 (2011) 441–455.

Cheow, M.L.L. Ng, K. Kho, K. Hadinoto, Spray-freeze-drying production of


thermally sensitive polymeric nanoparticle aggregates for inhaled drug
delivery: effect of freeze-drying adjuvants, Int. J. Pharm. 404 (2011) 289–
300.

D'Addio, J.G.Y. Chan, P.C.L. Kwok, B.R. Benson, R.K. Prud'homme, H.-K.
Chan, Aerosol delivery of nanoparticles in uniform mannitol carriers
formulated by ultrasonic spray freeze drying, Pharm. Res. 30 (2013) 2891–
2901.

Varshosaz, S. Ghaffari, M.R. Khoshayand, F. Atyabi, S. Azarmi, F. Kobarfard,


Development and optimization of solid lipid nanoparticles of amikacin by
central composite design, J. Liposome Res. 20 (2010) 97–104.

Varshosaz, S. Ghaffari, M.R. Khoshayand, F. Atyabi, A.J. Dehkordi, F.


Kobarfard, Optimization of freeze-drying condition of amikacin solid lipid
nanoparticles using D-optimal experimental design, Pharm. Dev. Technol.
17 (2012) 187–194. [120] S. Ghaffari, J. Varshosaz, A. Saadat, F. Atyabi,
Stability and antimicrobial effect of amikacin-loaded solid lipid
nanoparticles, Int. J. Nanomedicine 6 (2010) 35–43.

El-Gendy, V. Desai, C. Berkland, Agglomerates of ciprofloxacin nanoparticles


yield fine dry powder aerosols, J. Pharm. Innov. 5 (2010) 79–87. [122] G.
Pilcer, F. Vanderbist, K. Amighi, Preparation and characterization of
spray-dried tobramycin powders containing nanoparticles for pulmonary
delivery, Int. J. Pharm. 365 (2009) 162–169.

Backman, H. Adelmann, G. Petersson, C.B. Jones, Advances in inhaled


technologies: understanding the therapeutic challenge, predicting clinical
performance, and designing the optimal inhaled product, Clin. Pharmacol.
Ther. 95 (2014) 509–520.

3 Universitas Indonesia
Savara, Inc., Savara Pharmaceuticals' AeroVanc granted U.S. orphan drug
designation for the treatment of MRSA lung infection in cystic fibrosis
patients, http://savarapharma.com/savara-pharmaceuticals-aerovanc-
granted-u-s-orphan-drugdesignation-for-the-treatment-of-mrsa-lung-
infection-in-cystic-fibrosis-patients/
2012.

Li, C.R. Rayner, R.L. Nation, R.J. Owen, D. Spelman, K.E. Tan, L. Liojios,
Heteroresistance to colistin in multidrug-resistant Acinetobacter
baumannii, Antimicrob. Agents Chemother. 50 (2006) 2946–2950.

Adi, P.M. Young, H.-K. Chan, P. Stewart, H. Agus, D. Traini, Cospray dried
antibiotics for dry powder lung delivery, J. Pharm. Sci. 97 (2008) 3356–
3366.

MacLeod, J. Velayudhan, T.F. Kenney, J.H. Therrien, J.L. Sutherland, L.M.


Barker, W.R. Baker, Fosfomycin enhances the active transport of
tobramycin in Pseudomonas aeruginosa, Antimicrob. Agents Chemother.
56 (2012) 1529–1538.

Tre-Hardy, H. Traore, N. El Manssouri, F. Vanderbist, M. Vaneechoutte, M.J.


Devleeschouwer, Evaluation of long-term co-administration of tobramycin
and clarithromycin in a mature biofilm model of cystic fibrosis clinical
isolates of Pseudomonas aeruginosa, Int. J. Antimicrob. Agents 34 (2009)
370–374.

Lee, J. Teo, D. Heng, W.K. Ng, H.-K. Chan, R.B.H. Tan, Synergistic combination
dry powders for inhaled antimicrobial therapy: formulation,
characterization and in vitro evaluation, Eur. J. Pharm. Biopharm. 83
(2013) 275–284.

Cannefax, A.W. Hanson, Ineffectiveness of lysozyme therapy in experimental


syphilis in the rabbit, Br. J. Venereal Dis. 39 (1963) 192–194.

Tsifansky, Y. Yeo, O.V. Evgenov, E. Bellas, J. Benjamin, D.S. Kohane,


Microparticles for inhalational delivery of antipseudomonal antibiotics,
AAPS J. 10 (2008) 254–260.

Pilcer, V. De Bueger, K. Traina, H. Traore, T. Sebti, F. Vanderbist, K. Amighi,


Carrier-free combination for dry powder inhalation of antibiotics in the
treatment of lung infections in cystic fibrosis, Int. J. Pharm. 451 (2013)
112–120.

Gowda, V. Datta, S. Meenakshi, V.K. Gupta, Formulation and evaluation of dry


powders containing anti tuberculosis drugs for pulmonary delivery, Indo
Am. J. Pharm. Res. 3 (2013) 1239–1248.

4 Universitas Indonesia
Seifart, D.P. Parkin, and P.R. Donald, Stability of isoniazid, rifampin and
pyrazinamide in suspensions used for the treatment of tuberculosis in
children, Pediatr. Infect. Dis. J. 10 (1991) 827–831.

Raad, X. Fang, X.M. Keutgen, Y. Jiang, R. Sherertz, and R. Hachem, The role of
chelators in preventing biofilm formation and catheter-related bloodstream
infections, Curr. Opin. Infect. Dis. 21 (2008) 385–392.

Singh, M.R. Parsek, E.P. Greenberg, M.J. Welsh, A component of innate


immunity prevents bacterial biofilm development, Nature 417 (2002) 552–
555.

Yang, M.D. Tsifansky, S. Shin, Q. Lin, Y. Yeo, Mannitol-guided delivery of


ciprofloxacin in artificial cystic fibrosis mucus model, Biotechnol. Bioeng.
108 (2011). 1441–1449.

Burrowes, D.R. Harper, J. Anderson, M. McConville, M.C. Enright,


Bacteriophage therapy: potential uses in the control of antibiotic-resistant
pathogens, Expert Rev. Anti-Infect. Ther. 9 (2011) 775–785.

R.M. Donlan, Preventing biofilms of clinically relevant organisms using


bacteriophage, Trends Microbiol. 17 (2009) 66–72.

Hedrick, A. Barzilai, U. Behre, F.W. Henderson, J. Hammond, L. Reilly, O.


Keene, Zanamivir for treatment of symptomatic influenza A and B
infection in children five to twelve years of age: a randomized controlled
trial, Pediatr. Infect. Dis. J.19 (2000) 410–417.

Kamiya, M. Sakagami, P.R. Byron, Cascade impactor practice for a high dose
dry powder inhaler at 90 L/min: NGI versus modified 6-stage and 8-stage
ACI, J. Pharm. Sci. 98 (2009) 1028–1039.

Delvadia, M. Hindle, P. Worth Longest, P.R. Byron, In vitro tests for aerosol
deposition II: IVIVCs for different dry powder inhalers in normal adults, J.
Aerosol Med. 26 (2013) 138–144.

Bérard, E. Lesniewska, C. Andrès, D. Pertuy, C. Laroche, Y. Pourcelot, Dry


powder inhaler: influence of humidity on topology and adhesion studied
by AFM, Int. J. Pharm. 232 (2002) 213–224.

Sunagawa, F. Higa, H.L. Cash, M. Tateyama, T. Uno, J. Fujita, Single-dose


inhaled laninamivir: registered in Japan and its potential role in control of
influenza epidemics, Influenza Other Respi. Viruses 7 (2013) 1–3.

Kiatboonsri, C. Kiatboonsri, P. Theerawit, Fatal respiratory events caused by


zanamivir nebulization, Clin. Infect. Dis. 50 (2010) 620.

5 Universitas Indonesia
Steel, A.F. Peppercorn, Fatal respiratory events caused by zanamivir
nebulization, Clin. Infect. Dis. 51 (2010) 121.

Sunagawa, F. Higa, H.L. Cash, M. Tateyama, T. Uno, J. Fujita, Single-dose


inhaled laninamivir: registered in Japan and its potential role in control of
influenza epidemics, Influenza Other Respir. Viruses 7 (2013) 1–3.

Yamashita, Laninamivir and its prodrug, CS-8958: long-acting neuraminidase


nhibitors for the treatment of influenza: a review, Antivir. Chem.
Chemother. 21 (2010) 71–84.

Kashiwagi, S. Yoshida, H. Yamaguchi, N. Mitsui, M. Tanigawa, K. Shiosakai, N.


Yamanouchi, T. Shiozawa, F. Yamaguchi, Clinical efficacy of long-acting
neuraminidase inhibitor laninamivir octanoate hydrate in postmarketing
surveillance, J. Infect. Chemother. 19 (2013) 223–232.

Itoh, K. Shinya, M. Kiso, et al., In vitro and in vivo characterization of new


swineorigin H1N1 influenza viruses, Nature 460 (2009) 1021–1025.

Wong, M.E. Christopher, X. Dai, G. Schnell, E.R. Stephen, D. Van Loon, S.


Viswanathan, Aerosol and nasal delivery of vaccines and antiviral drugs
against seasonal and pandemic influenza, Expert Rev. Respir. Med. 4
(2010) 171–184.

Gilbert, M.T. McLeay, Megaribavirin aerosol for the treatment of influenza A


virus infections in mice, Antivir. Res. 78 (2008) 223–229.

Shi, Z.H. Shi, H. Huang, H.G. Zhu, P. Zhou, D. Ju, Therapeutic effect of
recombinant human catalase on H1N1 influenza-induced pneumonia in
mice, Inflammation 33 (2009) 166–172.

Pitman, R.H. Drew, J.R. Perfect, Addressing current medical needs in invasive
fungal infection prevention and treatment with new antifungal agents,
strategies and formulations, Expert Opin. Emerg. Drugs 16 (2011) 559–
586.

Limper, K.S. Knox, G.A. Sarosi, N.M. Ampel, J.E. Bennett, A. Catanzaro, S.F.
Davies, W.E. Dismukes, C.A. Hage, K.A. Marr, C.H. Mody, J.R. Perfect,
D.A. Stevens, G. Amer, Thoracic soc fungal working, an official American
Thoracic Society statement: treatment of fungal infections in adult
pulmonary and critical care patients, Am. J. Respir. Crit. Care Med. 183
(2011) 96–128.

Schiller, Aerosolised delivery of antifungal agents, Curr. Fungal Infect. Rep. 4


(2010) 96–102.

6 Universitas Indonesia
Klepser, Use of aerosolised antifungals for the prophylaxis against and treatment
of invasive pulmonary aspergillosis: climbing it because it is there? Pharm.
Anal. Acta S1 (2011) e001.

Shah, A. Misra, Development of liposomal amphotericin B dry powder inhaler


formulation, Drug Deliv. 11 (2004) 247–253.

Kuiper, E.J. Ruijgrok, A review on the clinical use of inhaled amphotericin B, J.


Aerosol Med. Pulm. Drug Deliv. 22 (2009) 213–227. 98 Q.(T.) Zhou et al.
/ Advanced Drug Delivery Reviews 85 (2015) 83–99

Gilani, E. Moazeni, T. Ramezanli, M. Amini, M.R. Fazeli, H. Jamalifar,


Development of respirable nanomicelle carriers for delivery of
amphotericin B by jet nebulisation, J. Pharm. Sci. 100 (2011) 252–259.

Rundfeldt, H. Steckel, H. Scherliess, E. Wyska, P. Wlaz, Inhalable highly


concentrated itraconazole nanosuspension for the treatment of
bronchopulmonary aspergillosis, Eur. J. Pharm. Biopharm. 83 (2013) 44–
53.

Andrade, D. Rafael, M. Videira, D. Ferreira, A. Sosnik, B. Sarmento,


Nanotechnology and pulmonary delivery to overcome resistance in
infectious diseases, Adv. Drug Deliv. Rev. 65 (2013) 1816–1827.

Yang, N.P. Wiederhold, R.O. Williams 3rd, Drug delivery strategies for
improved azole antifungal action, Expert Opin. Drug Deliv. 5 (2008)
1199–1216.

Jafarinejad, K. Gilani, E. Moazeni, M. Ghazi-Khansari, A.R. Najafabadi, N.


Mohajel, Development of chitosan-based nanoparticles for pulmonary
delivery of itraconazole as dry powder formulation, Powder Technol. 222
(2012) 65–70.

Duret, N. Wauthoz, T. Sebti, F. Vanderbist, K. Amighi, New inhalation-


optimised itraconazole nanoparticle-based dry powders for the treatment of
invasive pulmonary aspergillosis, Int. J. Nanomedicine 7 (2012) 5475–
5489.

7 Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai