Evi Febriana
M. yusril haqqi
M. Istiqlal Nasir
KATEGORI : Budaya
Halaman cover i
Abstrak ii
BAB I PENDAHULUAN 1
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah
sekelompok orang yang memiliki tatanan sosial yang mengatur mereka di dalam hidup
berkelompok dan sebagai sistem pengawasan tingkahlaku. Masyarakat tradisional dianggap
sebagai masyarakat sederhana sedangkan masyarakat yang modern dianggap sebagai
masyarakat kompleks.
Sementara itu, budaya menurut Koentjaraningrat (2000:181) adalah hasil cipta, karsa dan
nuansa manusia. Sedangkan Sultan Takdir Alisyahbana (dalam Saebani, 2012:161)
mengemukakan bahwa kebudayaan adalah pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung
dorongan-dorongan hidup yang mendasar, insting, perasaan, pikiran, kemauan, dan fantasi
yang dinamakan budi. Budi adalah dasar segala kehidupan kebudayaan manusia. Oleh karena
itu, perbedaan tingkah laku manusia dan hewan binatang ditentukan oleh akal budinya atau
kehidupannya. Kajian budaya memandang kebudayaan terkait dengan pertanyaan tentang
makna sosial yang dimiliki bersama, yakni berbagai cara kita memahami dunia ini, (Santoso,
TT:3).
Budaya yang berkembang dalam masyarakat memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan.
Menurut Koentjaraningrhat (2000:203-204) bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat berupa (a)
peralatan dan perlengkapan hidup manusia sehari-hari misalnya pakian, perumahan, alat
rumah tangga, senjata, dan sebagainya; (b) sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi,
misalnya pertanian, peternakan, dan sistem produksi; (c) sistem kemasyarakatan, misalnya
kekerabatan, sistem perkawinan, dan sistem warisan; (d) bahasa sebagai media komunikasi,
bahasa lisan dan tulisan; (e) ilmu pengetahuan; (f) kesenian, misalnya seni suara, seni rupa,
seni garabah, dan sistem religi atau kepercayaan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya dalam penelitian ini adalah
segala bentuk cipta, karsa, dan rasa yang dimiliki oleh manusia yang di dalamnya terdapat
unsur-unsur pemenuhan kebutuhan manusia, sistem pencaharian, sistem kemasyarakatan,
sistem komunikasi, pengetahuan, dan kesenian.
2.1 Masyarakat dan Budaya Suku Sasak
Nenek moyang Suku Sasak berasal dari campuran penduduk asli Lombok dengan para
pendatang dari Jawa Tengah yang terkenal dengan julukan Mataram, pada jaman Raja yang
bernama Rakai Pikatan dan permaisurinya Pramudhawardani. Kata sasak itu sendiri berasal
dari kata sak-sak yang artinya sampan. Karena moyang orang Lombok pada jaman dulu
berjalan dari daerah bagian barat Lomboq (lurus) sampai kearah timur terus menuju sebuah
pelabuhan di ujung timur pulau yang sekarang bernama Pelabuhan Lombok. Mereka banyak
menikah dengan penduduk asli hingga memiliki anak keturunan yang menjadi raja sebuah
kerajaan yang didirikan yang bernama Kerajaan Lombok yang berpusat di Pelabuhan
Lombok. Setelah beranak pinak, sebagai tanda kisah perjalanan dari Jawa memakai sampan
(sak-sak), mereka menamai keturunannya menjadi suku Sak-sak, yang lama-kelamaan
menjadi Sasak, Febrianan (2007:4-5).
Hal senada dengan apa yang dikemukakan oleh Rasyidi (2008) bahwa Suku Sasak
adalah penduduk asli Pulau Lombok yang sebagian besar beragama Islam yang sangat
religius. Karena itu dalam menjalankan kehidupan sehari-hari selain berpedoman pada adat
istiadat yang sudah diwariskan secara turun temurun, juga berpedoman pada nilai-nilai yang
terdapat dalam ajaran agama Islam; sehingga sekarang ini adat istiadat atau sistem nilai
budaya yang dijalankan masyarakat. Salah satu bentuk tardisi yang kerab diadakan oleh suku
Sasak adalah perayaan Rebo Bontong.
Berbagai produk budaya suku Sasak diperkenalkan beberapa hari sebelum Ritual Rebo
Buntung dan Tetulak Tamperan. Kegiatan itu meliputi pertunjukan wayang kulit sasak,
gendang beleq, serta aneka lomba seperti lomba mewarnai bagi anak-anak. Pementasan
wayang kulit sasak biasanya mengambil lakon Serat Menak, yaitu kisah perjuangan
menegakkan agama Islam. Banyak hal yang bisa dipetik dari ritual Rebo Buntung dan
Tetulak Tamperan. Beberapa diantaranya, yaitu terjalinnya tali silturrahmi dan adanya
kegiatan berbagi antar sesama serta peduli terhadap lingkungan sekitar. Setidaknya, Rebo
Buntung merupakan tradisi masyarakat Lombok Timur yang bisa diperkenalkan untuk
memahami Indonesia. (Duta Selaparang.com, 2016)
2.2 Rebo Bontong
Rebo Bontong mengandung arti : “Rebo “dan “Bontong” /”Buntung” yang berarti
putus sehingga bila diberi awalan pe menjadi pemutus. Upacara Rebo Bontong dimakusdkan
untuk menolak bala' (bencana/penyakit), dilaksanakan setiap tahun sekali tepat pada hari
Rabu minggu terakhir pada bulan Safar (kalender Hijriah). Menurut kepercayaan masyarakat
Sasak bahwa pada hari Rebo Bontong adalah merupakan puncak terjadi bala
(bencana/penyakit), sehingga sampai sekarang masih dipercaya untuk tidak memulai suatu
pekerjaan pada hari Rebo Bontong, rebo bontong ini juga dijadikan untuk perayaan
menyambut bulan Rabi`ul Awal, bulan kelahirannya nabi Muhammad SAW. (Sumber:
http://mjalaluddinjabbar.blogspot.com/2013/01/ritual-rebo-buntung-antara-adat-dan.html
diunduh pada tanggal 14 Maret 2016).
Rebo Buntung yang merupakan salah satu Adat Gumi, dalam penanggalan hijriah,
bagi masyarakat Sasak bermakna bulan Safar yang berakhir pada hari Rabu ba’da Ashar
(sebelum maghrib tiba) yang langsung disambut oleh masuknya awal bulan Rabi’ul Awal.
Sehingga, hal itu nampak sebagai hari Rabu yang terpotong (buntung : Sasak). Kondisi
tersebut dipercaya akan menurunkan bala berupa penyakit. Itulah sebabnya, pada saat itu
masyarakat diingatkan untuk berserah diri kepada Allah SWT dengan peningkatan ibadah
dan amal shaleh. Para tokoh masyarakat Islam (pesisir pantai) kemudian melakukan kegiatan
yang dikenal sebagai ritual Rebo Buntung. Persiapannya dimulai sehari sebelumnya atau hari
Selasa ba’da Ashar, yang ditandai dengan pembacaan Takepan Tapel Adam (bahasa Kawi
yang tertulis pada daun lontar) oleh para pemaca hikayat. Naskah ini berisikan asal kejadian
manusia, sejarah kehidupan dan peradabannya mulai dari Nabi Adam dan seterusnya. Pada
saat yang sama dilakukan pula pembuatan sajian sonsonan tujuh serta ancak sesaji secara
bergotong royong. Sonsonan tujuh itulah yang dibawa ke masjid. (Sumber:
Dutaselaparang.com)
Tradisi Rebo Buntung merupakan kegiatan andalan Suku Sasak yang mendiami Desa
Pringgabaya sebab selain sebagai upacara yang berbau ritual, tradisi ini juga dijadikan
sebagai salah satu event wisata tahunan Pantai Ketapang dan Pantai Tanjung Menangis
Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur.
Gambar 1: Iring-Iringan Masyarakat Peringga Baye yang Membawa Sesajen Ke
Laut
(Sumber: rumahhilir.or.id)
Dalam prosesinya, segenap lapisan masyarakat, termasuk tokoh adat berkumpul di Pantai
Tanjung Menangis, Ketapang, untuk melarung atau melepas kepala sapi – di awal-awal
pelaksanaannya menggunakan kepala kerbau – ke tengah laut. Selain kepala sapi, ada juga
pesaji/sesaji lainnya yang dipersiapkan. Pesaji/sejaji berupa hasil bumi seperti padi,
buah-buahan, daun sirih, ayam hidup dan lainnya. Kepala sapi dan seluruh sesaji lainnya itu
kemudian di buang ke laut menggunakan perahu. Setelah itu, masyarakat yang sudah
mengikuti rangkaian acara dari pagi beramai-ramai mandi ke laut yang dipercaya sebagai
cara untuk membersihkan diri dari sikap negatif, serta melahirkan kedamaian dalam
kehidupan bermasyarakat. (Sumber:
http://www.infolombok.net/rebo-buntung-ritual-menjaga-keseimbangan-alam/ diunduh pada
tanggal 21 Maret 2016 pukul 18.30 Wita.)
Dalam pelaksanaannya, acara Rebo Bontong, diwarnai ritual adat selamat laut dengan
melarungkan berbagai bahan makanan sebagai wujud rasa syukur masyarakat nelayan yang
telah mendapatkan manfaat besar dari hasil laut dan berharap di tahun-tahun berikutnya juga
demikian dan kalau perlu semakin bertambah. (sumber:
http://www.kancantaradio.com/rebo-buntung-tetulak-tamperan-wisata-budaya-yang-tak-terlu
pakan/ diunduh pada tanggal 21 Maret 2016).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perayaan Rebo Buntung memiliki pesan-pesan moral yang
bertujuan untuk mengeratkan manusia dengan alam. Dalam setiap ritual yang dilakukan
dalam prosesi perayaan Rebo Bontong mengandung pesan-pesan yang dapat diaktualisasikan
dalam pendidikan karakter generasi bangsa agar sadar terhadap alam atau lingkungan.
Perayaan ini termasuk ke dalam ritual yang berkembang pada masyarakat Suku Sasak
khusunya yang mendiami Desa Peringga Baye Kabupaten Lombok Timur. Oleh sebab itu,
kegiatan ini diajdikan sebagai program tahunan untuk Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok
Timur.
2.4 Pendidikan Karakter
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan
karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum
dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi
Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang
digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga
merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000).
Adapun secara terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values
(nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang
melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu
penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar
persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal
ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau
etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai
menjadikan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu siswa
mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti”
(Curriculum Corporation, dalam Samsuri, 2011).
Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan
Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global
(Muchlas dalam Samsuri, 2004: 211). Lickona (dalam Suyatno, 2010) menjelaskan beberapa
alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling
melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral
pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran
sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak
memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan,
(4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian,
kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus
untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh
masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan
pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun
tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus
menjadi guru yang baik, dan (7) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih
beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang
meningkat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah cerminan nilai yang melekat
pada suatu budaya masyarakat atau etnis. Pendidikan karakter tidak muncul begitu saja pada
kalangan masyarakat namun perlu ada pembinaan dan pengembangan melalui berbagai
media. Salah satu media yang sangat efektif untuk mengembangkan pendidikan karakter
generasi muda adalah melalui budaya atau kearifan lokal.
2.5 Konsep Adiwiyata
Kata Adiwiyata berasal dari 2 kata Sansekerta”ADI”dan”WIYATA”. ADI
mempunyai makna: besar, agung, baik, ideal atau sempurna.Wiyata mempunyai makna:
tempat dimana seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan, norma dan etika dalam
berkehidupan sosial. Bila kedua kata tersebut digabung, secara keseluruhan ADIWIYATA
mempunyai pengertian atau makna “Tempat yang baik dan ideal dimana dapat diperoleh
segala ilmu pengetahuan dan berbagai norma serta etika yang dapat menjadi dasar manusia
menuju terciptanya kesejahteraan hidup kita dan menuju kepada cita-cita pembangunan
berkelanjutan”. Tujuan Program Adiwiyata adalah menciptakan kondisi yang baik bagi
sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah, sehingga
dikemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggungjawab dalam upaya-upaya
penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan utama Program
Adiwiyata adalah mewujudkan kelembagaan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan
bagi sekolah dasar dan menengah di Indonesia. Norma Dasar Program Adiwiyata yaitu
program dan kegiatan yang dikembangkan harus berdasarkan norma-norma dasar dan
berkehidupan yang meliputi antara lain: Kebersamaan, Keterbukaan, Kejujuran, Keadilan,
dan Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Prinsip-prinsip Dasar
Program Adiwiyata antaralain: Partisipatif (Komunitas sekolah terlibat dalam manajemen
sekolah yang meliputi keseluruhan proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi sesuai
tanggungjawab dan peran) dan berkelanjutan (Seluruh kegiatan harus dilakukan secara
terencana dan terus menerus secara komprehensif). Adapun Keuntungan mengikuti Program
Adiwiyata adalah meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan operasional sekolah
dan penggunaan berbagai sumber daya, meningkatkan penghematan sumber dana melalui
pengurangan konsumsi berbagai sumber daya dan energi, meningkatkan kondisi belajar
mengajar yang lebih nyaman dan kondusif bagi semua warga sekolah, menciptakan kondisi
kebersamaan bagi semua warga sekolah , meningkatkan upaya menghindari berbagai resiko
dampak lingkungan negatif dimasa yang akan datang, menjadi tempat pembelajaran bagi
generasi muda tentang nilai- nilai pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik
dan benar, dan mendapat penghargaan Adiwiyata.
(Sumber: http://www.tanjabbarkab.go.id. 2011. Pengertian dan tujuan Adiwiyata. Diunduh
pada tanggal 20 Maret 2016 Pukul 17.00 Wita).
2.6 Generasi Muda
Generasi muda adalah penduduk Indonesia usia produktif yang aktif dan tentunya
energik. Era reformasi telah berjalan selama 10 tahun lebih. Namun, harapan tentang adanya
perubahan sendi-sendi kenegaraan dan perbaikan tingkat kesejahteraaan belum juga terwujud.
Harkat dan martabat bangsa Indonesia semakin terpuruk. Korupsi melanda disetiap meja
birokrasi, kemiskinan merajalela, hukum bisa dibeli dan berbagai kebobrokan/penyakit sosial
mewabah dimana-mana. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang mampu mewujudkan harapan
reformasi, yaitu dari kalangan generasi muda yang progresif, agamis dan nasionalis yang
digembleng dan dididik dengan mental kewirausahaan. Membangun mental kewirausahaan
untuk mewujudkan kepemimpinan generasi muda dapat dimulai sejak dini melalui pendidikan,
yaitu pendidikan informal dan formal secara berkesinambungan. Dan ini merupakan tanggung
jawab bersama berbagai elemen bangsa, keluarga, sekolah dan lingkungan harus membentuk
suatu kondisi bagi tumbuh suburnya mental dan semangat kewirausahaan yang mandiri dan
percaya diri. Generasi muda harapannya berorientasi pada tugas dan hasil, berani mengambil
resiko, orisinil dan mampu berfikir ke arah hasil (manfaat) sehingga dapat menjadi pemimpin
masa depan yang mampu mengangkat harkat dan martabat Bangsa Indonesia. Kata Kunci :
Kepemimpinan Generasi muda, kewirausahaan (Wiwin Siswantini, Soekiyono Dosen
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Terbuka wiwin@ut.ac.id soekiyono@ut.ac.id). Arah pembinaan dan pengembangan
generasi muda).
1. Berorientasi pada Tuhan YME, nilai-nilai kerohanian dan falsafah hidup pancasila.
2. Orientasi kedalam terhadap dirinya sendiri, mengembangkan bakat-bakat kemampuan
jasmaniah dan rohaniah dalam dirinya agar dapat memberikan prestasi semaksimal
mungkin.
3. Orientasi keluar terhadap lingkungan (budaya,sosialdan moral) dan masa depannya.
Sumber orientasi keluar ini dibagi atas :
- Pengembangan sebagai insan sosial budaya
- Pengembangan sebagai insan sosial politik dan sebagai insan patriot.
- Pengembangan sebagai insan sosial ekonomi, termasuk sebagai insan kerja dan
insan profesi yang mempunyai kemampuan untuk mendayagunakan sumber alam
dan menjaga kelestariannya.
- Pengembangan pemuda terhadap masa depannya. Kepekaan terhadap masa depan
akan menumbuhkan kemampuan untuk mawas diri, kreatif, kritis, (Mawar dalam
gunadarma.ac.id.tanpa tahun).
BAB III
Metode Penelitian
3.1 Pendekatan/ Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena data yang dihasilkan dalam
penelitian ini berupa kata-kata atau deskripsi tentang budaya Suku Sasak bukan dalam bentuk
angka-angka. Selain itu, alasan menggunakan pendekatan kualitatif yakni karena objek kajian
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah fenomena kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bogdan Taylor (dalam Moleong, 2010:4)
bahwa metodedologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deksriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara utuh. Dalam artian tidak
boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kecamatan Peringga Baya Desa Peringga Baya
khusunya di sekitar masyarakat pesisir Pantai Ketapang dan Pantai Tanjung Menangis
Kabupaten Lombok Timur. Alasan mengambil tempat tersebut karena festival Rebo Bontong
selalu diadakan di daerah tersebut. Selanjutnya mengenai waktu penelitian, penelitian ini
akan diadakan selama 4 bulan mulai dari bulan Mei-Agustus 2016. Untuk lebih jelasnya
berikut akan diuraikan detail waktu penelitian.
BULAN
No Kegiatan
Maret April Mei Juni Juli Agus
1 Persiapan
2 Observasi
3 Penelitian di Lapangan
4 Analisis Data
5 Penulisan Laporan
6 Pengiriman data
3.2 Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data, yaitu data primer dan data skunder. Adapun
yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan yang diamati
atau diwawancarai melalui masyarakat Peringga Baye yang melaksanakan tradisi Rebo
Bontong. Data utama dalam penelitian ini dicatat melalui catatan tertulis atau perekaman
berupa video, audio, dan foto. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Lofland dan
Lofland (dalam Moleong, 2010:157) bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif
adalah kata-kata dan tidakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain.
Sumber data skunder dalam penelitian ini adalah diluar kata atau tindakan, jadi sumber
data skunder adalah sumber tertulis seperti jurnal ilmiah, koran, internet, buku, dan refrensi
yang relevan dengan tradisi Suku Sasak yang berkaitan dengan perayaan festival Rebo
Bontong.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik berikut:
a. Wawancara
Teknik wawancara bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang budaya Rebo
Bontong melalui masyarakat secara langsung. Adapun kriteria responden yang akan
diwawancarai untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah orang yang mengetahui
seluk beluk atau sejarah tentang Rebo Bontong yang terdiri dari pemimpin desa, kepala
dusun, ketua adat, dan masyarakat umum yang ada di Desa Pringga baya. Sedangkan
jenis wawancara yang diggunakan yakni wawancara baku terbuka dengan tujuan agar
pertanyaan sesuai dengan data yang ingin diperoleh. Selain itu tujuan menggunakan
wawancara baku terbuka adalah untuk mengurangi sedapat mungkin variasi yang biasa
terjadi antara terwawancara dengan yang lain.
b. Dokumentasi
Teknik dokumentasi bertujuan untuk mencatat data yang relevan dengan
permasalahan yang dikaji dan untuk mencatat bentuk-bentuk ritual dalam pelaksanaan
Rebo Buntung . Mils dan Huberman (dalam Sosiowati, 2013:129) menegaskan bahwa
dokumentasi dijabarkan menjadi pengumpulan data, reduksi data, verifikasi data, dan
data yang dihasilkan.
c. Observasi.
Teknik observasi bertujuan untuk melakukan pengamatan langsung ke lapangan,
yakni peneliti secara langsung terjun ke masyarakat Pringga Bayauntuk memperoleh data
secara lengkap mengenai prosesi perayaan Rebo Bontong.
Buku:
Sosiowati, I Gusti Ayu Gede.2013. Kesantunan Berbahasa Politisi dalam Talk Show di
Metro TV. Dempasar: Universitas Udayana.
Makalah/Jurnal:
Febrina, Cynthina. 2007. Daerah Kebudyaan Lombok: Suku Sasak. London School of
Public Relation:Jakarta.
Samsuri. 2011. Mengapa (Perlu) Pendidikan Karakter? Kaji Ulang Pengalaman di FISE
Universitas Negeri Yogyakarta. Makalah
Santoso, Anang. Tanpa Tahun. Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya. Fakultas
Sastra; UNM. Makalah.
Rasyidi,M.2008. Studi Nilai Budaya Pada Lembaga Adat Suku Sasak Sebagai Kekuatan
Dalam Membangun Nilai Luhur Budaya Bangsa. Jurnal Agroteksos vol.8.No
1-3, 2008. Universitas Mataram.
Internet:
Ketua Tim
Nama : EVI PEBRIANA
Sekolah : MAN SELONG
Alamat Sekolah : Jalan Hasanuddin no. 02 Selong
Alamat Rumah : Lenting
Tempat Lahir : Lenting
Tanggal Lahir : 09 Februari 1998
Jenis Kelamin : Perempuan
Kelas : XI IPS 3
Nomor HP : 085339079324
Email : evipebriana9@gmail.com