Anda di halaman 1dari 27

FESITVAL REBO BONTONG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER DAN

PENANAMAN JIWA ADIWIYATA PADA GENERASI MUDA SUKU SASAK DI


KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Evi Febriana

M. yusril haqqi

M. Istiqlal Nasir

Madrasah Aliyah Negeri Selong


2016
ABSTRAK

JUDUL : Fesitval Rebo Bontong Sebagai Media Pendidikan Karakter dan


Penanaman Jiwa Adiwiyata pada Generasi Muda Suku Sasak di
Kabupaten Lombok Timur

BIDANG : IPS dan Humaniora

KATEGORI : Budaya

NAMA : Evi Febriana

SEKOLAH : MAN Selong


DAFTAR ISI

Halaman cover i

Abstrak ii

Daftar isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Penelitian 1


1.2 Identifikasi Masalah 3
1.3 Batasan Masalah 4
1.4 Rumusan Masalah 4
1.5 Tujuan Penelitian 4
1.6 Manfaat Penelitian 5

BAB II Tinjauan Pustaka 6

2.1 Masyarakat dan Kebudayaan 6


2.2 Masyarakat dan Budaya Suku Sasak 7
2.3 Ritual Rebo Bontong 8
2.4 Pendidikan Karakter 11
2.5 Konsep Adiwiyata 12
2.6 Generasi Muda 14

BAB III Metode Penelitian 16


3.1 Pendekatan/ jenis penelitian 16
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 17
3.3 Data dan Sumber Data 17
3.4 Teknik Pengumpulan Data 18
3.5 Teknik Analisis Data 18
3.6 Peta Jalan Penelitian 18
DAFTAR PUSTAKA 19
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia pada era globalisasi ini sedang menghadapi tantantangan yang kian
berat, baik yang muncul dari akibat kemajuan teknologi maupun dari keanekaragaman
budaya, ras, suku, adat istiadat. Keberagaman budya, adat istiadat, dan keyakinan sering kali
melatarbelakangi terjadinya konflik sosial dalam kehidupan masyarakat. Munculnya konflik
budaya dan sosial di tengah-tengah masyarakat Indonesia menjai indikasi melemahnya
karakter bangsa. Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (dalam Sudiyana,
2013:1) mengemukakan bahwa ada tiga permasalahan yang dirasakan dan patut disoroti yang
mengakibatkan lemahnya karakter bangsa, antara lain: (a) lemahnya kemampuan bangsa
dalam mengelola keragaman budaya, (b) melemahnya jati diri (identitas) nasional saat terjadi
kritis, dan (c) kemampuan bangsa dalam mengelola kekayaan budaya yang tangible dan
intangible. Krisis karakter yang telah menggerogoti generasi bangsa ini diakibatkan karena
melemahnya nilai-nilai luhur yang telah diwairskan oleh nenek moyang kita dulu. Selama ini,
masyarakat modern berpandangan bahwa kearifan yang telah diwariskan oleh nenek moyang
terdahulu dianggap sebagai suatu yang kuno atau ketinggalan zaman. Mereka tidak
menyadari nilai-nilai yang terkandung di dalam keraifan lokal tersebut.
Rusaknya karakter anak bangsa dapat juga berimplikasi terhadap kerusakan
lingkungan karena disebabkan oleh ketidaksadaran generasi bangsa untuk merawat dan
menjaga lingkungan mereka. Jadi, terdapat hubungan antara rusaknya generasi bangsa
dengan rusaknya lingkungan alam. Sebagai contoh, dalam media massa baik elektronik
maupun cetak sering diberitakan tentang maraknya kebakaran hutan, penggundulan hutan,
penangkapan ikan dengan bahan peledak, banjir dan perusakan biota-biota laut yang dapat
mengakibatkan kepunahan. Ini sebagian dari contoh kecil kerusakan alam yang diakibatkan
karena lemahnya karakter generasi bangsa. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk
membangkitkan kembali nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Salah satu kebudayaan yang masih berkembang di Desa Pringga Baye Kabupaten Lombok
Timur yang dipercaya dapat dijadikan sebagai upaya pelestarian lingkungan yakni tradisi
Rebo Bontong.
Dalam setiap suku, ras, dan kebudayaan diyakini atau tidak pasti memiliki cara
tersendiri untuk menghindari mara bahaya baik yang berupa bencana alam maupun
gangguan-gangguan yang datang dari roh-roh jahat serta memiliki cara tersendiri dalam
mendidik generasi mudanya. Demikian juga dengan Suku Sasak memiliki ciri khas dengan
suku-suku yang lain dalam menghindari bencana. Salah satu tradisi yang diyakini oleh
sebagian Suku Sasak yang tinggal di daerah Peringga Bayae untuk menolak bala yakni tradisi
perayaan Rebo Bontong.
Rebo Bontong merupakan nama salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh Suku Sasak
dan masih dilestarikan oleh penduduk Desa Peringga Baya Kabupaten Lombok Timur.
Dalam Kampungmedia.com edisi 1 Juni 2015 dikemukakan bahwa Rebo Bontong merupakan
tradisi tahunan yang diadakan oleh masyarakat Peringga Baya dengan tujuan untuk tolak
bala (Menolak Marabahaya) dan sebagai salah satu event wisata tahunan di Pantai Ketapang
dan Pantai Tanjung Menangis di Kecamatan Peringga Baya. Kegiatan ini dilaksanakan
melalui upacara ritual yang didahuluai dengan berbagai ritual yang lain seperti: tetulaq desa,
tetulaq gubuk, dan tetulak otak reban. Setiap ritual yang diadakan dalam pelaksanaan Rebo
Bontong memiliki pesan dan makna yang sayarat dengan nilai-nilai moral yang dapat
dikembangkan untuk membentuk karakter generasi bangsa agar sadar terhadap lingkungan
alam.
Untuk mempertegas pentingnya memiliki kesadaran dalam perayaan Rebo Bontong,
mantan Bupati Lombok Timur, Sukiman Azmi sebagaimana yang dikutip dalam
rumahlahir.or.id (2012) menyampaikan bahwa ketika kita bersahabat dengan alam, maka
alam juga akan bersahabat dengan kita, begitupun sebaliknya, jika kita tidak bersahabat
dengan alam, maka siap-siaplah untuk menerima bencana. Selain itu, Sukiman juga
menambahkan bahwa Ritual Rebo Bontong adalah upaya untuk melahirkan kedamaian,
ketenangan dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, ia mengajak seluruh
masyarakat untuk menyeimbangkan kehidupan dengan alam agar tetap lestari. Ia menilai
bahwa alam selama ini disalah artikan, hanya dianggap sebagai ladang eksplorasi, yang
hanya diambil isinya, tapi tidak dilestarikan. Munculnya berbagai bencana alam akibat
perubahan iklim, disadari sebagai akibat dari rusaknya keseimbangan alam, sehingga ia
berkali-kali mengajak masyarakat yang hadir untuk menghindari segala bentuk tindakan yang
dapat merusak keseimbangan alam. Apa yang disampaikan oleh Mantan Bupati Lombok
Timur periode 2013-2018 tersebut membuktikan bahwa perayaan festival ReboBontong
syarat dengan nilai-nilai yang berupa pendidikan karakter dan sebagai jalan untuk mecintai
alam.
Namun, belum ada bukti ilmiah yang dapat dijadikan sebagai bukti bahwa festival
Rebo Bontong dapat dijadikan sebagai media pendidikan karakter dan penanaman jiwa
adiwiyata pada generasi muda Suku Sasak. Oleh sebab itu, penelitian ini sangat penting
untuk dilakukan untuk mengetahui bagaimana peran budaya Rebo Bontong sebagai media
pendidikan karakter dan penanaman jiwa adiwiyata di kalangan generasi suku Sasak. Selain
itu, penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan kebudayaan suku Sasak kepada
masyarakat secara luas melalui pemikiran yang logis sehingga dapat diterima oleh berbagai
kalangan. Urgensi yang ketiga kenapa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan yakni
untuk melestarikan kebudayaan leluhur yang hampir punah dan kalah saing dengan
kebudayan-kebudayaan barat. Maka atas dasar itulah peneliti mengangkat penelitian tentang
Festival Rebo Bontong sebagai Media Pendidikan Karakter dan Upaya menanamkan jiawa
adiwiyata di kalangan generasi Suku Sasak yang ada di Kabupaten Lombok Timur.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Keragaman budaya, suku, ras, dan adat istiadat seringkali memicu konflik sosial dan
budaya di kalangan masyarakat dan menjadi indikasi penyebab melemahnya karakter
bangsa.
b. Melemahnya karakter bangsa diakibatkan oleh lemahnya kemampuan bangsa dalam
mengelola keragaman budaya, melemahnya jati diri (identitas) nasional saat terjadi
kritis, dan lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola kekayaan budaya yang
tangible dan intangible.
c. Krisis karakter yang telah menggerogoti generasi bangsa ini diakibatkan karena
melemahnya nilai-nilai luhur yang telah diwairkan oleh nenek moyang kita dulu.
d. Rusaknya karakter anak bangsa dapat juga berimplikasi terhadap kerusakan lingkungan
karena disebabkan oleh ketidaksadaran generasi bangsa untuk merawat dan menjaga
lingkungan mereka.
e. Maraknya kebakaran hutan, penggundulan hutan, penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak, terjadinya banjir dan perusakan biota-biota laut yang dapat
mengakibatkan kepunahan. Ini sebagian dari contoh kecil kerusakan alam yang
diakibatkan karena lemahnya karakter generasi bangsa. Oleh karena itu, perlu ada upaya
untuk membangkitkan kembali nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh generasi
sebelumnya.
f. Desa Pringga Baye Kabupaten Lombok Timur mempercayai festival Rebo Bontong dapat
dijadikan sebagai upaya pelestarian lingkungan dan penanaman pendidikan karakter bagi
generasi bangsa.
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peneliti perlu membatasi masalah yang
menjadi objek dalam penelitian ini karena keterbatasan waktu dan biaya. Maka penelitian ini
hanya difokuskan pada melemahnya pendidikan karakter dan kerusakan alam akibat dari
hilangnya kebudayaan-kebudayaan yang sudah diwariskan oleh leluhur sebelumnya atau
hilangnya kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat khususnya di Suku Sasak.
Selanjutnya, batasan tentang kebudayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
perayaan budaya Rebo Bontong yang dimiliki Suku Sasak.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana peran festival budaya Rebo Bontong sebagai media pendidikan karakter di
kalangan generasi Suku Sasak?
b. Bagaimana Peran festival budaya Rebo Bontong dalam menanamkan jiwa Adiwiyata pada
generasi muda Suku Sasak?
c. Apa bentuk-bentuk makna dan nilai-nilai moral yang terdapat pada setiap ritual
pelaksanaan Rebo Bontong?
d. Bagaimana mengimplikasikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam setiap ritual
budaya Rebo Bontong ke dalam pendidikan karakter?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan peran festival budaya Rebo Bontong sebagai media pendidikan
karakter di kalangan generasi Suku Sasak.
2. Untuk mendeskripsikan peran festival budaya Rebo Bontong dalam menanamkan jiwa
Adiwiyata di kalangan generasi Suku Sasak.
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk makna dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam
setiap ritual pelaksanaan festival Rebo Bontong.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara mengimplikasikan nilai-nilai moral yang terkandung
dalam setiap ritual budaya rebi Bontong k e dalam pendidikan generasi muda Suku Sasak.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua bagian yakni manfaat secara
teoretis dan manfaat secara praktis.
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah kahazanah penelitian tentang
budaya lokal. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan terutama dalam memposisikan budaya sebagai media penanaman karakter
generasi muda khusunya generasi muda Suku Sasak.
Selanjutnya, manfaat praktis yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk melestasrikan kebudayaan lokal yang hampir punah di setiap daerah yang ada di
Indonesia.
b. Menanamkan pendidikan karakter bagi generasi muda mulai dari SD, SMP, SMA melalui
pembelajaran muatan lokal dengan memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung dalam
kearipan lokal budaya Rebo Bontong.
c. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya untuk menyukseskan program Adiwiyata
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada generasi muda agar
memiliki kesadaran alam.
d. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah destinasi pariwisata budaya oleh pemerintah.
e. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai peningkatan ekonomi kreatif di kalangan
masyarakat pesisir.
f. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menanamkan nilai-nilai solidaritas dan semangat
kesetiakawanan dalam masyarakat.
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Masyarakat dan Kebudayaan


Masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja
sama sehingga dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batasan-batasan tertentu, Linton (dalam Saebani, 2012:137). Dalam
buku yang sama Maclever mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem cara kerja dan
prosedur, dari otoritas dan saling membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan
pembagian-pembagian sosial lain, sistem pengawasan tingkah laku manusia dan kebahasaan,
sistem yang kompleks dan selalu berubah , atau jaringan realisasi sosial.
Selanjutnya Saebani (2012) mengemukakan bahwa ada dua tipe masyarakat, yaitu (1)
masyarakat sederhana yang belum kompleks, belum mengenal pembagian kerja , belum
mengenal tulisan dan teknologinya masih sederhana, masyarakat struktur dan
aspek-aspeknya masih dapat dipelajari sebagai satu kesatuan, (2) masyarakat kompleks yang
sudah jauh menjalankan spesialisasi dalam segala bidang karena ilmu pengetahuan modern,
sudah mengenal tulisan, dan teknologi sudah maju.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah
sekelompok orang yang memiliki tatanan sosial yang mengatur mereka di dalam hidup
berkelompok dan sebagai sistem pengawasan tingkahlaku. Masyarakat tradisional dianggap
sebagai masyarakat sederhana sedangkan masyarakat yang modern dianggap sebagai
masyarakat kompleks.
Sementara itu, budaya menurut Koentjaraningrat (2000:181) adalah hasil cipta, karsa dan
nuansa manusia. Sedangkan Sultan Takdir Alisyahbana (dalam Saebani, 2012:161)
mengemukakan bahwa kebudayaan adalah pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung
dorongan-dorongan hidup yang mendasar, insting, perasaan, pikiran, kemauan, dan fantasi
yang dinamakan budi. Budi adalah dasar segala kehidupan kebudayaan manusia. Oleh karena
itu, perbedaan tingkah laku manusia dan hewan binatang ditentukan oleh akal budinya atau
kehidupannya. Kajian budaya memandang kebudayaan terkait dengan pertanyaan tentang
makna sosial yang dimiliki bersama, yakni berbagai cara kita memahami dunia ini, (Santoso,
TT:3).
Budaya yang berkembang dalam masyarakat memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan.
Menurut Koentjaraningrhat (2000:203-204) bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat berupa (a)
peralatan dan perlengkapan hidup manusia sehari-hari misalnya pakian, perumahan, alat
rumah tangga, senjata, dan sebagainya; (b) sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi,
misalnya pertanian, peternakan, dan sistem produksi; (c) sistem kemasyarakatan, misalnya
kekerabatan, sistem perkawinan, dan sistem warisan; (d) bahasa sebagai media komunikasi,
bahasa lisan dan tulisan; (e) ilmu pengetahuan; (f) kesenian, misalnya seni suara, seni rupa,
seni garabah, dan sistem religi atau kepercayaan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya dalam penelitian ini adalah
segala bentuk cipta, karsa, dan rasa yang dimiliki oleh manusia yang di dalamnya terdapat
unsur-unsur pemenuhan kebutuhan manusia, sistem pencaharian, sistem kemasyarakatan,
sistem komunikasi, pengetahuan, dan kesenian.
2.1 Masyarakat dan Budaya Suku Sasak
Nenek moyang Suku Sasak berasal dari campuran penduduk asli Lombok dengan para
pendatang dari Jawa Tengah yang terkenal dengan julukan Mataram, pada jaman Raja yang
bernama Rakai Pikatan dan permaisurinya Pramudhawardani. Kata sasak itu sendiri berasal
dari kata sak-sak yang artinya sampan. Karena moyang orang Lombok pada jaman dulu
berjalan dari daerah bagian barat Lomboq (lurus) sampai kearah timur terus menuju sebuah
pelabuhan di ujung timur pulau yang sekarang bernama Pelabuhan Lombok. Mereka banyak
menikah dengan penduduk asli hingga memiliki anak keturunan yang menjadi raja sebuah
kerajaan yang didirikan yang bernama Kerajaan Lombok yang berpusat di Pelabuhan
Lombok. Setelah beranak pinak, sebagai tanda kisah perjalanan dari Jawa memakai sampan
(sak-sak), mereka menamai keturunannya menjadi suku Sak-sak, yang lama-kelamaan
menjadi Sasak, Febrianan (2007:4-5).
Hal senada dengan apa yang dikemukakan oleh Rasyidi (2008) bahwa Suku Sasak
adalah penduduk asli Pulau Lombok yang sebagian besar beragama Islam yang sangat
religius. Karena itu dalam menjalankan kehidupan sehari-hari selain berpedoman pada adat
istiadat yang sudah diwariskan secara turun temurun, juga berpedoman pada nilai-nilai yang
terdapat dalam ajaran agama Islam; sehingga sekarang ini adat istiadat atau sistem nilai
budaya yang dijalankan masyarakat. Salah satu bentuk tardisi yang kerab diadakan oleh suku
Sasak adalah perayaan Rebo Bontong.
Berbagai produk budaya suku Sasak diperkenalkan beberapa hari sebelum Ritual Rebo
Buntung dan Tetulak Tamperan. Kegiatan itu meliputi pertunjukan wayang kulit sasak,
gendang beleq, serta aneka lomba seperti lomba mewarnai bagi anak-anak. Pementasan
wayang kulit sasak biasanya mengambil lakon Serat Menak, yaitu kisah perjuangan
menegakkan agama Islam. Banyak hal yang bisa dipetik dari ritual Rebo Buntung dan
Tetulak Tamperan. Beberapa diantaranya, yaitu terjalinnya tali silturrahmi dan adanya
kegiatan berbagi antar sesama serta peduli terhadap lingkungan sekitar. Setidaknya, Rebo
Buntung merupakan tradisi masyarakat Lombok Timur yang bisa diperkenalkan untuk
memahami Indonesia. (Duta Selaparang.com, 2016)
2.2 Rebo Bontong
Rebo Bontong mengandung arti : “Rebo “dan “Bontong” /”Buntung”  yang berarti
putus sehingga bila diberi awalan pe menjadi pemutus. Upacara Rebo Bontong dimakusdkan
untuk menolak bala' (bencana/penyakit), dilaksanakan setiap tahun sekali tepat pada hari
Rabu minggu terakhir pada bulan Safar (kalender Hijriah). Menurut kepercayaan masyarakat
Sasak bahwa pada hari Rebo Bontong adalah merupakan puncak terjadi bala
(bencana/penyakit), sehingga sampai sekarang masih dipercaya untuk tidak memulai suatu
pekerjaan pada hari Rebo Bontong, rebo bontong ini juga dijadikan untuk perayaan
menyambut bulan Rabi`ul Awal, bulan kelahirannya nabi Muhammad SAW. (Sumber:
http://mjalaluddinjabbar.blogspot.com/2013/01/ritual-rebo-buntung-antara-adat-dan.html
diunduh pada tanggal 14 Maret 2016).
Rebo Buntung yang merupakan salah satu Adat Gumi, dalam penanggalan hijriah,
bagi masyarakat Sasak bermakna bulan Safar yang berakhir pada hari Rabu ba’da Ashar
(sebelum maghrib tiba) yang langsung disambut oleh masuknya awal bulan Rabi’ul Awal.
Sehingga, hal itu nampak sebagai hari Rabu yang terpotong (buntung : Sasak). Kondisi
tersebut dipercaya akan menurunkan bala berupa penyakit. Itulah sebabnya, pada saat itu
masyarakat diingatkan untuk berserah diri kepada Allah SWT dengan peningkatan ibadah
dan amal shaleh. Para tokoh masyarakat Islam (pesisir pantai) kemudian melakukan kegiatan
yang dikenal sebagai ritual Rebo Buntung. Persiapannya dimulai sehari sebelumnya atau hari
Selasa ba’da Ashar,  yang ditandai dengan pembacaan Takepan Tapel Adam (bahasa Kawi
yang tertulis pada daun lontar) oleh para pemaca hikayat. Naskah ini berisikan asal kejadian
manusia, sejarah kehidupan dan peradabannya mulai dari Nabi Adam dan seterusnya. Pada
saat yang sama dilakukan pula pembuatan sajian sonsonan tujuh serta ancak sesaji secara
bergotong royong. Sonsonan tujuh itulah yang dibawa ke masjid. (Sumber:
Dutaselaparang.com)
Tradisi Rebo Buntung merupakan kegiatan andalan Suku Sasak yang mendiami Desa
Pringgabaya sebab selain sebagai upacara yang berbau ritual, tradisi ini juga dijadikan
sebagai salah satu event wisata tahunan Pantai Ketapang dan Pantai Tanjung Menangis
Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur.
Gambar 1: Iring-Iringan Masyarakat Peringga Baye yang Membawa Sesajen Ke
Laut
(Sumber: rumahhilir.or.id)

Menurut keterangan beberapa orang tokoh sebagaimana yang dikutip dalam


rumahhilir.or.id, tradisi Rebo Buntung telah dilaksanakan sejak dahulu kala dan diwariskan
serta terus dilestarikan sebagai event tahunan masyarakat Pringgabaya. Dijelaskan pula
bahwa tradisi Rebo Buntung awalnya dilaksanakan oleh Raja Sandubaya (pemimpin
Kerajaan Sandubaya) dengan tujuan untuk memohon keselamatan kepada sang penguasa
alam semesta. Dikisahkan bahwa pada pada masa lampau, Raja Sandubaya membawa
rakyatnya bermigrasi dari Labuhan Lombok ke Pringgabaya. Migrasi yang dilakukannya itu
disebabkan oleh banyaknya gangguan bajak laut terhadap masyarakat kerajaan Sandubaya
yang berpusat di sekitar Labuhan Lombok (Labuhan Kayangan sekarang). Raja Sandubaya
membawa rakyatnya bermigrasi ke Pringgabaya, di sekitar pantai Ketapang dan Pantai
Tanjung Menangis (Dusun Ketapang Desa Pringgabaya saat ini) mereka membuka
perkampungan dan pada saat membuka perkampungan itulah dilaksanakan ritual di sekitar
pantai yang ditujukan untuk memohon keselamatan kepada tuhan Yang Maha Kuasa dan
supaya mereka terhindar dari mara bahaya dan gangguan makhluk halus.
Gambar 2: Masyarakat Suku Sasak Berkumpul di Tepi Pantai dalam Perayaan
Rebo Bontong (Sumber: dutaselaparang.com)

Dalam prosesinya, segenap lapisan masyarakat, termasuk tokoh adat berkumpul di Pantai
Tanjung Menangis, Ketapang, untuk melarung atau melepas kepala sapi – di awal-awal
pelaksanaannya menggunakan kepala kerbau – ke tengah laut. Selain kepala sapi, ada juga
pesaji/sesaji lainnya yang dipersiapkan. Pesaji/sejaji berupa hasil bumi seperti padi,
buah-buahan, daun sirih, ayam hidup dan lainnya. Kepala sapi dan seluruh sesaji lainnya itu
kemudian di buang ke laut menggunakan perahu. Setelah itu, masyarakat yang sudah
mengikuti rangkaian acara dari pagi beramai-ramai mandi ke laut yang dipercaya sebagai
cara untuk membersihkan diri dari sikap negatif, serta melahirkan kedamaian dalam
kehidupan bermasyarakat. (Sumber:
http://www.infolombok.net/rebo-buntung-ritual-menjaga-keseimbangan-alam/ diunduh pada
tanggal 21 Maret 2016 pukul 18.30 Wita.)

Gambar 2: Prosesi Penenggalaman Kepala Kerbau di Tengah Laut


(Sumber: www.radiokancanta.com)

Dalam pelaksanaannya, acara Rebo Bontong, diwarnai ritual adat selamat laut dengan
melarungkan berbagai bahan makanan sebagai wujud rasa syukur masyarakat nelayan yang
telah mendapatkan manfaat besar dari hasil laut dan berharap di tahun-tahun berikutnya juga
demikian dan kalau perlu semakin bertambah. (sumber:
http://www.kancantaradio.com/rebo-buntung-tetulak-tamperan-wisata-budaya-yang-tak-terlu
pakan/ diunduh pada tanggal 21 Maret 2016).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perayaan Rebo Buntung memiliki pesan-pesan moral yang
bertujuan untuk mengeratkan manusia dengan alam. Dalam setiap ritual yang dilakukan
dalam prosesi perayaan Rebo Bontong mengandung pesan-pesan yang dapat diaktualisasikan
dalam pendidikan karakter generasi bangsa agar sadar terhadap alam atau lingkungan.
Perayaan ini termasuk ke dalam ritual yang berkembang pada masyarakat Suku Sasak
khusunya yang mendiami Desa Peringga Baye Kabupaten Lombok Timur. Oleh sebab itu,
kegiatan ini diajdikan sebagai program tahunan untuk Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok
Timur.
2.4 Pendidikan Karakter
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan
karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum
dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi
Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang
digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga
merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000).
Adapun secara terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values
(nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang
melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu
penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar
persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal
ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau
etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai
menjadikan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu siswa
mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti”
(Curriculum Corporation, dalam Samsuri, 2011).
Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan
Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global
(Muchlas dalam Samsuri, 2004: 211). Lickona (dalam Suyatno, 2010) menjelaskan beberapa
alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling
melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral
pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran
sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak
memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan,
(4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian,
kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus
untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh
masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan
pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun
tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus
menjadi guru yang baik, dan (7) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih
beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang
meningkat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah cerminan nilai yang melekat
pada suatu budaya masyarakat atau etnis. Pendidikan karakter tidak muncul begitu saja pada
kalangan masyarakat namun perlu ada pembinaan dan pengembangan melalui berbagai
media. Salah satu media yang sangat efektif untuk mengembangkan pendidikan karakter
generasi muda adalah melalui budaya atau kearifan lokal.
2.5 Konsep Adiwiyata
Kata Adiwiyata berasal dari 2 kata Sansekerta”ADI”dan”WIYATA”. ADI
mempunyai makna: besar, agung, baik, ideal atau sempurna.Wiyata mempunyai makna:
tempat dimana seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan, norma dan etika dalam
berkehidupan sosial. Bila kedua kata tersebut digabung, secara keseluruhan ADIWIYATA
mempunyai pengertian atau makna “Tempat yang baik dan ideal dimana dapat diperoleh
segala ilmu pengetahuan dan berbagai norma serta etika yang dapat menjadi dasar manusia
menuju terciptanya kesejahteraan hidup kita dan menuju kepada cita-cita pembangunan
berkelanjutan”. Tujuan Program Adiwiyata adalah menciptakan kondisi yang baik bagi
sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah, sehingga
dikemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggungjawab dalam upaya-upaya
penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan utama Program
Adiwiyata adalah mewujudkan kelembagaan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan
bagi sekolah dasar dan menengah di Indonesia. Norma Dasar Program Adiwiyata yaitu
program dan kegiatan yang dikembangkan harus berdasarkan norma-norma dasar dan
berkehidupan yang meliputi antara lain: Kebersamaan, Keterbukaan, Kejujuran, Keadilan,
dan Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Prinsip-prinsip Dasar
Program Adiwiyata antaralain: Partisipatif (Komunitas sekolah terlibat dalam manajemen
sekolah yang meliputi keseluruhan proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi sesuai
tanggungjawab dan peran) dan berkelanjutan (Seluruh kegiatan harus dilakukan secara
terencana dan terus menerus secara komprehensif). Adapun Keuntungan mengikuti Program
Adiwiyata adalah meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan operasional sekolah
dan penggunaan berbagai sumber daya, meningkatkan penghematan sumber dana melalui
pengurangan konsumsi berbagai sumber daya dan energi, meningkatkan kondisi belajar
mengajar yang lebih nyaman dan kondusif bagi semua warga sekolah, menciptakan kondisi
kebersamaan bagi semua warga sekolah , meningkatkan upaya menghindari berbagai resiko
dampak lingkungan negatif dimasa yang akan datang, menjadi tempat pembelajaran bagi
generasi muda tentang nilai- nilai pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik
dan benar, dan mendapat penghargaan Adiwiyata.
(Sumber: http://www.tanjabbarkab.go.id. 2011. Pengertian dan tujuan Adiwiyata. Diunduh
pada tanggal 20 Maret 2016 Pukul 17.00 Wita).
2.6 Generasi Muda

Generasi muda adalah penduduk Indonesia usia produktif yang aktif dan tentunya
energik. Era reformasi telah berjalan selama 10 tahun lebih. Namun, harapan tentang adanya
perubahan sendi-sendi kenegaraan dan perbaikan tingkat kesejahteraaan belum juga terwujud.
Harkat dan martabat bangsa Indonesia semakin terpuruk. Korupsi melanda disetiap meja
birokrasi, kemiskinan merajalela, hukum bisa dibeli dan berbagai kebobrokan/penyakit sosial
mewabah dimana-mana. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang mampu mewujudkan harapan
reformasi, yaitu dari kalangan generasi muda yang progresif, agamis dan nasionalis yang
digembleng dan dididik dengan mental kewirausahaan. Membangun mental kewirausahaan
untuk mewujudkan kepemimpinan generasi muda dapat dimulai sejak dini melalui pendidikan,
yaitu pendidikan informal dan formal secara berkesinambungan. Dan ini merupakan tanggung
jawab bersama berbagai elemen bangsa, keluarga, sekolah dan lingkungan harus membentuk
suatu kondisi bagi tumbuh suburnya mental dan semangat kewirausahaan yang mandiri dan
percaya diri. Generasi muda harapannya berorientasi pada tugas dan hasil, berani mengambil
resiko, orisinil dan mampu berfikir ke arah hasil (manfaat) sehingga dapat menjadi pemimpin
masa depan yang mampu mengangkat harkat dan martabat Bangsa Indonesia. Kata Kunci :
Kepemimpinan Generasi muda, kewirausahaan (Wiwin Siswantini, Soekiyono Dosen
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Terbuka wiwin@ut.ac.id soekiyono@ut.ac.id). Arah pembinaan dan pengembangan
generasi muda).

1. Berorientasi pada Tuhan YME, nilai-nilai kerohanian dan falsafah hidup pancasila.
2. Orientasi kedalam terhadap dirinya sendiri, mengembangkan bakat-bakat kemampuan
jasmaniah dan rohaniah dalam dirinya agar dapat memberikan prestasi semaksimal
mungkin.
3. Orientasi keluar terhadap lingkungan (budaya,sosialdan moral) dan masa depannya.
Sumber orientasi keluar ini dibagi atas :
- Pengembangan sebagai insan sosial budaya
- Pengembangan sebagai insan sosial politik dan sebagai insan patriot.
- Pengembangan sebagai insan sosial ekonomi, termasuk sebagai insan kerja dan
insan profesi yang mempunyai kemampuan untuk mendayagunakan sumber alam
dan menjaga kelestariannya.
- Pengembangan pemuda terhadap masa depannya. Kepekaan terhadap masa depan
akan menumbuhkan kemampuan untuk mawas diri, kreatif, kritis, (Mawar dalam
gunadarma.ac.id.tanpa tahun).
BAB III

Metode Penelitian
3.1 Pendekatan/ Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena data yang dihasilkan dalam
penelitian ini berupa kata-kata atau deskripsi tentang budaya Suku Sasak bukan dalam bentuk
angka-angka. Selain itu, alasan menggunakan pendekatan kualitatif yakni karena objek kajian
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah fenomena kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bogdan Taylor (dalam Moleong, 2010:4)
bahwa metodedologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deksriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara utuh. Dalam artian tidak
boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kecamatan Peringga Baya Desa Peringga Baya
khusunya di sekitar masyarakat pesisir Pantai Ketapang dan Pantai Tanjung Menangis
Kabupaten Lombok Timur. Alasan mengambil tempat tersebut karena festival Rebo Bontong
selalu diadakan di daerah tersebut. Selanjutnya mengenai waktu penelitian, penelitian ini
akan diadakan selama 4 bulan mulai dari bulan Mei-Agustus 2016. Untuk lebih jelasnya
berikut akan diuraikan detail waktu penelitian.
BULAN
No Kegiatan
Maret April Mei Juni Juli Agus
1 Persiapan
2 Observasi
3 Penelitian di Lapangan
4 Analisis Data
5 Penulisan Laporan
6 Pengiriman data
3.2 Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data, yaitu data primer dan data skunder. Adapun
yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan yang diamati
atau diwawancarai melalui masyarakat Peringga Baye yang melaksanakan tradisi Rebo
Bontong. Data utama dalam penelitian ini dicatat melalui catatan tertulis atau perekaman
berupa video, audio, dan foto. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Lofland dan
Lofland (dalam Moleong, 2010:157) bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif
adalah kata-kata dan tidakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain.
Sumber data skunder dalam penelitian ini adalah diluar kata atau tindakan, jadi sumber
data skunder adalah sumber tertulis seperti jurnal ilmiah, koran, internet, buku, dan refrensi
yang relevan dengan tradisi Suku Sasak yang berkaitan dengan perayaan festival Rebo
Bontong.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik berikut:
a. Wawancara
Teknik wawancara bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang budaya Rebo
Bontong melalui masyarakat secara langsung. Adapun kriteria responden yang akan
diwawancarai untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah orang yang mengetahui
seluk beluk atau sejarah tentang Rebo Bontong yang terdiri dari pemimpin desa, kepala
dusun, ketua adat, dan masyarakat umum yang ada di Desa Pringga baya. Sedangkan
jenis wawancara yang diggunakan yakni wawancara baku terbuka dengan tujuan agar
pertanyaan sesuai dengan data yang ingin diperoleh. Selain itu tujuan menggunakan
wawancara baku terbuka adalah untuk mengurangi sedapat mungkin variasi yang biasa
terjadi antara terwawancara dengan yang lain.
b. Dokumentasi
Teknik dokumentasi bertujuan untuk mencatat data yang relevan dengan
permasalahan yang dikaji dan untuk mencatat bentuk-bentuk ritual dalam pelaksanaan
Rebo Buntung . Mils dan Huberman (dalam Sosiowati, 2013:129) menegaskan bahwa
dokumentasi dijabarkan menjadi pengumpulan data, reduksi data, verifikasi data, dan
data yang dihasilkan.
c. Observasi.
Teknik observasi bertujuan untuk melakukan pengamatan langsung ke lapangan,
yakni peneliti secara langsung terjun ke masyarakat Pringga Bayauntuk memperoleh data
secara lengkap mengenai prosesi perayaan Rebo Bontong.

3.4 Teknik Analisis Data


Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode deskriptif karena
mendeskripsikan atau memberikan gambaran tentang festival ReboBuntung sebagai upaya
pendidikan karakter peserta didik dan membangun semangat adiwiyata pada kalangan
remaja. Data yang diperoleh dalam penelitian akan dianalisis dengan cara yang dikemukakan
oleh Janice Mc Drury. Adapaun tahap analsisis tersebut adalah sebagai berikut:
a. Membaca/mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data.
b. Mempelajari kata-kata kunci dan berupaya menemukan nilai-nilai dan makna yang
terkandung dalam perayaan Festival Rebo Bontong yang akan dijadikan sebagai media
pendidikan karakter untuk generasi muda Suku Sasak.
c. Data yang berupa nilai-nilai yang mengandung pelestarian alam dalam festival Rebo
Bontong akan dijadikan materi dalam menanmkan jiwa adiwiyata di kalangan Suku
Sasak.
d. Setelah itu, dilakukan tahap interpretasi data untuk memperoleh arti dan makna perayaan
Rebo Bontong secara mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan.
e. Pembahasan hasil penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis
dengan teori yang relevan dan informasi yang akurat dari lapangan.
3.6 Peta Jalan Penelitian
Daftar Pustaka

Buku:

Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Moleing, Alexy J. 2010. Metodeologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Saebani, Beni Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi.Bandung: Pustaka Setia.

Sosiowati, I Gusti Ayu Gede.2013. Kesantunan Berbahasa Politisi dalam Talk Show di
Metro TV. Dempasar: Universitas Udayana.
Makalah/Jurnal:

Febrina, Cynthina. 2007. Daerah Kebudyaan Lombok: Suku Sasak. London School of
Public Relation:Jakarta.

Mawar. Tt . Pemuda dan Sosialisasi. gunadarma.ac.id.

Samsuri. 2011. Mengapa (Perlu) Pendidikan Karakter? Kaji Ulang Pengalaman di FISE
Universitas Negeri Yogyakarta. Makalah

Samsuri. (2004). “Civic Virtues dalam Pendidikan Moral dan Kewarganegaraan di


Indonesia Era Orde Baru” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 2, Desember.

Santoso, Anang. Tanpa Tahun. Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya. Fakultas
Sastra; UNM. Makalah.

Suyatno, H. 2010. Makalah ini disampaikan dalam Sarasehan Nasional “Pengembangan


Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” oleh Kopertis Wilayah 3 DKI
Jakarta, 12 Januari 2010.

Rasyidi,M.2008. Studi Nilai Budaya Pada Lembaga Adat Suku Sasak Sebagai Kekuatan
Dalam Membangun Nilai Luhur Budaya Bangsa. Jurnal Agroteksos vol.8.No
1-3, 2008. Universitas Mataram.

Wiwin Siswantini, Soekiyono Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka


Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka wiwin@ut.ac.id
soekiyono@ut.ac.id). Arah pembinaan dan pengembangan generasi muda)

Internet:

Helmi. 2012. http://rumahalir.or.id/rabu-buntung-ritual-menjaga-keseimbangan-alam/.


Http://www.tanjabbarkab.go.id. 2011. Pengertian dan tujuan Adiwiyata.
Http://www.dutaselaparang.com
Jabbar, M. Jalaludin. 2013.
http://mjalaluddinjabbar.blogspot.com/2013/01/ritual-rebo-buntung-antara-
adat-dan.html.
Kis. 2015.
http://www.kancantaradio.com/rebo-buntung-tetulak-tamperan-wisata-budaya
-yang-tak-terlupakan/.
Nugraha, Panca. 2015.
http://www.kompasiana.com/pancanugraha/rebo-buntung-tradisi-laut-harmon
isasi-manusia-dan-alam_550dc5848133116d2cb1e554.
BIODATA PESERTA

Ketua Tim
Nama : EVI PEBRIANA
Sekolah : MAN SELONG
Alamat Sekolah : Jalan Hasanuddin no. 02 Selong
Alamat Rumah : Lenting
Tempat Lahir : Lenting
Tanggal Lahir : 09 Februari 1998
Jenis Kelamin : Perempuan
Kelas : XI IPS 3
Nomor HP : 085339079324
Email : evipebriana9@gmail.com

Anggota Tim (bila tidak ada dapat dihapus)


Nama : MUHAMMAD ISTIQLAL NASIR
Sekolah : MAN SELONG
Alamat Sekolah : Jalan Hasanuddin no. 02 Selong
Alamat Rumah : Pancor
Tempat Lahir : Pancor
Tanggal Lahir : 12 Februari 1999
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kelas : XI IPS 4
Nomor HP : 085333013337
Email : Istiqlalnasir@gmail.com

Data Guru Pembimbing


Nama : Bukhori Muslim, M. Pd
Sekolah : MAN Selong
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Alamat Rumah : Penyangkar Desa Pringga Jurang Utara Kec. Montong
Gading-Lotim
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Nomor HP : 087864313361
Email : bukhorimuslim079@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai