Anda di halaman 1dari 6

SINTAKSIS

Dibuat oleh Kelompok 3


Nursalati Urfa (2120216320009)
Sanniawati (2120216320013)
Lisa Admiyanti (2120216320014)
Nagawati Limantara (2120216320018)
Dita Herlina Sari (2120216320020)
Aufa Rahmanis Satari (2120216320027)
Ratna Khairani (2120216320023)
Dita Tatiana Putri (2120216320028)
Khairiani Rahmah (2120216320029)
Rara Elysabhet (2120216320030)
Hamida (2120216320031)
Marliana Drakel (2120216320032)
Hikmah Rizkyanti Rahmat (2120216320034)

Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
kewenangan lainnya tertuang dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN, Bab I Pasal 1). Akta
notaris merupakan dokumen autentik negara. Akta yang dibuat notaris menjadi alat bukti yang
autentik dalam setiap perbuatan hukum (salah satunya bukti kepemilikan). Akta yang dibuat
notaris ini memiliki kekuatan hukum yang jelas karena telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan atau peraturan hukum yang baku. Akta notaris berupa teks tertulis. Teks akta notaris/
PPAT merupakan teks frozen yang tidak dapat diganggu gugat baik bentuk maupun isinya.

Ragam bahasa frozen adalah ragam bahasa yang sangat formal dan kaku dan tidak boleh
sembarangan merubahnya, contohnya terdapat pada Undang Undang Dasar. Dasar penggunaan
bahasa Indonesia sebagai sumber rujukan dalam penulisan akta notaris dan PPAT, mengingat akta
yang dibuat merupakan dokumen resmi negara dengan segala risikonya, yang juga tertuang dalam
Undang-Undang tentang Jabatan Notaris (UUJN), yakni: (1) Keharusan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar pada akta autentik tertuang pada UU Nomor 24 Tahun 2009 Pasal
26 Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan; Pasal 27 Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi negara. (2) UU 2/2014 Pasal 43: (1) Akta wajib
dibuat dalam bahasa Indonesia. Penjelasan: Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam ketentuan ini
adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia yang baku; (6) Dalam hal
terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang
digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Dengan demikian, antara bahasa dan hukum merupakan dua hal yangsaling berkaitan dan
saling berpengaruh satu dengan lainnya. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Gibbons (1993:
3) yang menyatakan bahwa

―Language is the control to the law, and the law as we know it is inconceivable
without language.

Sejalan dengan pernyataan Gibbons tentang hubungan bahasa danhukum, Maley (1993:
11) menyatakan seperti berikut.

―The greater parts of different legal processes is realised primarily through language.
Language is medium, process, and product in the various arenas of the law where legal
texts, spoken or written are generated in the service or regulating social behaviour.

Tidak ada satupun kegiatan hukum yang dapat dilaksanakan tanpa keterlibatan bahasa
sebagai media penyampai pesan. Penggunaan bahasa yang bersistem dan berstandar oleh para
pencipta hukum tertulis merupakan syarat utama untuk merumuskan produk hukum. Bahkan,
untuk membangkitkan dan memupuk kesadaran warga negara dan masyarakat untukmenciptakan
dan menegakkan hukum diperlukan bahasa sebagai media yang praktis dan efektif dalam
berhukum, termasuk di dalam teks notariat berupa akta-akta notaris.

Dalam UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan pada pasal 26 juga menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
peraturan perundang – undangan. Penggunaan bahasa dalam bidang hukum dipertegas dalam UU
Nomor 2 tahun 20, tentang Ragam Bahasa Pembentukan Peraturan Perundang Undangan,
Lampiran 2 yangmana menyatakan bahwa, “Bahasa peraturan perundang undangan pada dasarnya
tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan
kalimat, teknik penulisan maupun pengerjaannya. Namun, bahasa peraturan perundang undangan
mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan,
kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum, baik dalam perumusan
maupun cara penulisannya.”
Pernyataan tersebut mengimplikasikan bahwa bahasa hukum, termasuk dalam bahasa
peraturan perundang-undangan tidak hanya harusmenggunakan kaidah tata bahasa baku, tetapi
juga harus memperhatikan atau mengikuti prinsip keefektifan kalimat (Sasangka, 2010). Meskipun
begitu, bahasa hukum juga memiliki karakteristiknya sendiri sebagai salah satu ragam dalam
bahasa Indonesia. Bahasa dalam bidang hukum atau akta notaris dan PPAT berfungsi sangat
vital karena setiap produk hukum tulis itu harus dapat dijelaskan dandipahami oleh masyarakat
pengguna. Masyarakat akan dapat memahami produk hukum dan mematuhinya jika bahasa yang
digunakan dalam produk hukum tulis itu jelas, pasti, berstandar, dan eka arti (monosemantik).

Berbeda dengan jenis teks yang lain, teks hukum sering hanya merupakan kumpulan
kalimat yang panjang tanpa kata penghubung, dan sering pula informasi yang dituangkan dalam
teks hukum seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain. Dalam hal ciri leksikalnya, istilah teknik
hukum dan penggunaan ekspresi yang sudah jarang dipakai lagi justru menjadi salah satu
karakteristik penggunaan bahasa dalam teks hukum. Bahasa dalam teks hukum memerlukan
kejelasan, kecermatan, dan keefektivan bahasa bagi para pembacanya, baik pembaca yang berada
di dalam lingkup wacana hukum (hakim, pengacara, notaris, dsb.) maupun pembaca yang berada
di luar lingkup wacana hukum atau masyarakat pada umumnya.

Dalam mempelajari bahasa hukum, dirasa sangat perlu mempelajari terkait sintaksis
sebagai salah satu unsur penting dalam linguistic, terkhususnya dalam pembahasan terkait bahasa
hukum. Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani (Sun + tattein) yang berarti mengatur bersama-
sama. Chaer menjelaskan bahwa analisis sintaksis membicarakan penataan dan pengaturan kata-
kata itu dalam satuan-satuan yang lebih besar, yang disebut satuan-satuan sintaksis, yakni kata,
frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Selain dari bahasa Yunani, sintaksis juga berasal dari bahasa
Belanda yaitu syntaxis. Sintaksis juga berasal dari bahasa Inggris yaitu syntax. Istilah sintaksis
(Belanda, Syntaxis) ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk
wacana, kalimat, klausa dan frase. Secara etomologi istilah ini berarti menempatkan bersama-sama
kata-kata menjadi kelompok-kelompok kata atau kalimat.

Sintaksis, dilihat dari sudut pandang linguistik, sebenarnya memiliki cakupan kajian yang
sama dengan analisis morfologi. Keduanya sama-sama mengkaji mengenai tata bahasa.
Perbedaannya adalah, morfologi mengkaji dengan melihat hubungan gramatikal yang ada pada
kata-kata hingga kalimat. Sementara sintaksis mengkaji hubungan gramatikal di luar batas kata
dalam satuan kalimat.

Menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, oleh
Balai Pustaka halaman 946: Sintaksis adalah :

a. cabang linguistik tentang susunan kalimat dengan bagian-bagiannya atau ilmu tata kalimat.
b. pengaturan hubungan kata dengan kata atau satuan lain yang lebih besar.
c. subsistem bahasa yang mencakup hal tersebut (sering dianggap bagian dari gramatikal; bagian
lain ialah morfologi).

Adapun pengertian Sintaksis dari para ahli sebagai berikut :

1. Gleason (1955)
"Syntax maybe roughly defined as the principles of arrangement of the construction (word) into
large constructions of various kinds.”
Artinya adalah sintaksis mungkin dikaitkan dari definisi prinsip aransemen konstruksi (kata) ke
dalam konstruksi besar dari bermacam-macam variasi.
2. Robert (1964:1)
Berpendapat bahwa arti sintaksis adalah bidang tata bahasa yang menela'ah hubungan kata-kata
dalam kalimat dan cara-cara menyusun kata-kata itu untuk membentuk sebuah kalimat.
3. Ramlan (1976:57)
Menyebutkan bahawa definisi sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang membicarakan
struktur frase dan kalimat.
4. Fromkin dan Rodman (1983:200)
Sintaksis adalah bagian dari pengetahuan linguistik yang menelaah struktur kalimat.
5. Kridalaksana (1993)
Berpendapat bahwa sintaksis adalah subsistem bahasa yang mencakup tentang kata yang sering
dianggap bagian dari gramatika, yaitu morfologi dan cabang linguistik yang mempelajari
tentang kata. Selain itu, beliau juga mendefinisikan sintaksis sebagai pengaturan dan hubungan
antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Satuan
terkecil dalam bidang ini adalah kata. Menurut aliran struktural, sintaksis diartikan sebagai
subdisiplin linguistik yang mempelajari tata susun frasa sampai kalimat.

Melihat dari pengertian sintaksis di atas bisa dikatakan bahwa kajian utama dari sintaksis
adalah kalimat. Di dalam kalimat sendiri terdapat beberapa unsur di dalamnya seperti kata, frasa
dan klausa. Unsur di dalam kalimat inilah yang termasuk ke dalam objek kajian sintaksis atau
satuan sintaksis.

Unsur-unsur Kalimat ialah:

1. Kata
Kata merupakan satuan terkecil dalam sintaksis yang memiliki peran sebagai pengisi
fungsi sintaksis, memberikan tanda kategorisasi sintaksis serta sebagai perangkai dalam
satuan atau bagian sintaksis di atasnya (frasa, klausa, kalimat). Kata sebagai pengisi satuan
sintaksis, dapat terbagi menjadi dua macam, yaitu kata penuh dan kata tugas.
Kata penuh adalah kata yang secara leksikal memiliki makna, merupakan kelas terbuka
serta dapat berdiri sendiri sebagai sebuah kosakata. Kategori kata yang termasuk ke dalam
kata penuh adalah nomina, verba, adjektiva, adverbia dan numeralia. Misalnya seperti kata
“rumah” yang termasuk ke dalam kategori nomina dan memiliki arti: bangunan untuk tempat
tinggal.
Sementara kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak memiliki makna, tidak
mengalami proses morfologi serta secara aturan tidak dapat berdiri sendiri. Contoh dari kata
tugas adalah kata preposisi seperti di, pada, ke, dari, dsb., dan kata konjungsi (kata hubung)
seperti dan, tetapi, bahwa, dsb. Biarpun tidak memiliki makna secara leksikal, kata tugas
memiliki fungsi untuk menggabungkan atau menambahkan dua kata.
2. Frasa
Menurut Chaer, frasa dapat diartikan sebagai gabungan dua kata atau lebih yang bersifat
nonpredikatif—tidak berstruktur subjek, predikat, objek—dan mengisi salah satu fungsi
sintaksis di dalam sebuah kalimat. Sederhananya, frasa dapat diartikan sebagai gabungan kata
yang tidak memiliki predikat.
3. Klausa
Klausa merupakan satuan sintaksis yang terdiri dari dua kata atau lebih dan memiliki
unsur predikat di dalamnya (bersifat predikatif). Menurut M. Ramlan klausa dapat diartikan
sebagai satuan gramatik dan terdiri atas predikat, dapat disertai subjek, objek, pelengkap, dan
keterangan, maupun tidak.
Klausa memiliki potensi untuk menjadi sebuah kalimat tunggal mengingat di dalamnya
sudah memiliki fungsi sintaksis wajib yakni subjek dan predikat.
4. Kalimat
Kalimat dapat diartikan sebagai susunan kata atau ujaran yang berfungsi sebagai alat
untuk mengungkapkan konsep pikiran atau perasaan secara utuh. Kalimat terbentuk dari
beberapa klausa dan dapat berdiri sendiri serta memiliki pola intonasi yang tuntas.
M. Ramlan menyebutkan bahwa kalimat dapat diartikan sebagai satuan gramatikal yang
dibatasi dengan adanya jeda panjang serta disertai oleh nada akhir (intonasi) turun atau naik.
Intonasi kalimat inilah yang kemudian menentukan satuan kalimat bukan oleh banyaknya kata
yang ada di dalamnya.

Disisi lain, konstituen kalimat adalah klausa, penanda hubungan atau konjungsi (bila
diperlukan) dan pola-pola intonasi final. Intonasi final inilah yang kemudian menjadi salah satu
ciri utama dari kalimat. Terdapat tiga intonasi final yang dapat digunakan dalam pembentukan
kalimat yaitu intonasi deklaratif yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik (.),
intonasi interogatif, dilambangkan dengan tanda tanya (?), dan intonasi seru yang dilambangkan
dengan tanda seru (!).

Hal-hal itulah yang mendasari betapa pentingnya seorang calon notaris maupun seorang
notaris memiliki pengetahuan terkait bahasa hukum terkhususnya yang berhubungan dengan
sintaksis linguistic, sehingga dapat menunjang kemampuan yang bersangkutan dalam
pengolahan dan pengelolaan akta itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai