Anda di halaman 1dari 61

PENGARUH PEMBERIAN HEAD UP 300 UNTUK MENURUNKAN

TEKANAN INTRAKRANIAL PADA PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG


DI UGD RSUD KABUPATEN KLUNGKUNG

PROYEK INOVASI NERS

PUTU EVA LINGGANUARI

PEMINATAN RUANG UNIT GAWAT DARURAT

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2022
PENGARUH PEMBERIAN HEAD UP 300 UNTUK MENURUNKAN
TEKANAN INTRAKRANIAL PADA PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG
DI UGD RSUD KABUPATEN KLUNGKUNG

PROYEK INOVASI NERS


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Usada Bali

PUTU EVA LINGGANUARI


NIM. C2221156

PEMINATAN RUANG UNIT GAWAT DARURAT

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

PENGARUH PEMBERIAN HEAD UP 300 UNTUK MENURUNKAN


TEKANAN INTRAKRANIAL PADA PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG
DI UGD RSUD KABUPATEN KLUNGKUNG

Diajukan oleh:

PUTU EVA LINGGANUARI


NIM. C2221156

Mangupura,

Telah Disetujui oleh Dosen Pembimbing:

Mengetahui, Dosen Pembimbing

Program Studi Profesi Ners

Ketua

Ns. I Putu Artha Wijaya, S.Kep.,M.Kep Ns. Ni Made Ririn Sri Wulandari, S.Kep., M.Kep
NIDN: 0821058603 NIDN: 0809119002
HALAMAN PENGESAHAN

PENGARUH PEMBERIAN HEAD UP 300 UNTUK MENURUNKAN


TEKANAN INTRAKRANIAL PADA PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG
DI UGD RSUD KABUPATEN KLUNGKUNG
Tanggal :

Diajukan Oleh:

PUTU EVA LINGGANUARI


NIM. C2221156

Disahkan oleh Tim Penguji terdiri dari:

Penguji I Penguji I

Ns. IGAA. Sherlyna Prihandhani, S.Kep., M.Kes Ns. Ni Made Ririn Sri Wulandari, S.Kep., M.Kep
NIDN: 0809119002
NIDN. 0801038801

Mengetahui,

Program Studi Profesi Ners

Ketua

Ns. I Putu Artha Wijaya, S.Kep.,M.Kep


NIDN: 0821058603
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
BINA USADA BALI PROGRAM STUDI PROFESI NERS

Karya Proyeksi Inovasi,

Putu Eva Lingganuari

Pengaruh Pemberian Head Up 300 Untuk Menurunkan Tekanan Intrakranial Pada


Pasien Cedera Kepala Sedang Di Ugd Rsud Kabupaten Klungkung

ABSTRAK
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan fungsi normal otak, dimana kerusakan
otak diakibatkan oleh menurunnya suplai oksigen ke otak. otak mempunyai
kemampuan menyimpan oksigen sekitar 10 detik, jika pasien cedera kepala sedang
tidak diberikan oksigen dengan cepat dapat menyebabkan terjadinya hipoksia.
Masalah keperawatan yang sering muncul pada kasus cedera kepala sedang yaitu
risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak, sehingga penulis melakukan proyeksi
inovasi head up 300. Perfusi jaringan otak dapat diperbaiki dengan terapi non
farmakologi, berupa posisi semi fowler, high fowler, atau posisi elevasi kepala
sebagai intervensi yang dapat mempengaruhi proses pertukaran gas didalam tubuh.
Pemberian posisi head up sangat bermanfaat dalam perubahan hemodinamik dengan
memperlancar aliran darah menuju otak dan meningkatkan oksigenasi ke serebral
sehingga mencegah terjadinya peningkatan tekanan intracranial.

Kata Kunci : Cedera Kepala, Heap Up 300, tekanan intracranial

Daftar Pustaka : 2012-2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa
karena berkat Asung Kerta Wara Nugraha penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
akhir ners dengan judul Pengaruh “Pemberian Head Up 300 Untuk Menurunkan
Tekanan Intrakranial Pada Pasien Cedera Kepala Sedang Di Ugd Rsud Kabupaten
Klungkung” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Karya Ilmiah Akhir Ners ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
untuk memperoleh gelar profesi Keperawatan pada Program Studi Keperawatan,
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Usada Bali.
Karya Ilmiah Akhir Ners ini dapat diselesaikan bukanlah semata-mata usaha
sendiri, melainkan berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak untuk itu melalui
kesempatan ini dengan segala hormat dan kerendahan hati peneliti menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Putu Santika, MM. selaku Ketua STIKES Bina Usada Bali yang telah yang

telah memberikan kesempatan mengikuti pendidikan Program Ilmu Keperawatan

di STIKES Bina Usada Bali.

2. dr. I Nyomankesuma, M.Ph selaku Direktur RSUD Kabuapten Klungkung atas ijin

yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan dan ijin sebagai lokasi penelitian

3. Ns. I Putu Artha Wijaya, S. Kep., M.Kep. selaku Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan STIKES Bina Usada Bali yang telah banyak memberikan saran dan

dorongan dalam menyelesaikan proyek inovasi KIAN ini.


4. Ns. Pande Nyoman Sri Widnyani,S.Kep selaku preseptor klinik yang telah banyak

memberikan masukan, pengetahuan dan bimbingan dalam menyelesaikan karya

ilmiah akhir ners ini.

5. Ns. Made Ririn Sri Wulandari, S. Kep., M.Kep selaku preseptor akademik yang

telah banyak memberikan masukan, pengetahuan dan bimbingan dalam

menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini.

6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah akhir ners ini

yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah akhir ners ini masih kurang sempurna,

oleh karena itu peneliti sangat mengharapkan segala saran serta kritik yang sifatnya

membangun dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan karya ilmiah akhir

ners ini. Semoga karya ilmiah akhir ners ini bermanfaat bagi semua pihak. Akhir kata

peneliti mengucapkan terimakasih.

Mangupura, 31 Januari 2022

Luh Desy Suandari,S.Kep

Penulis
DAFTAR ISI
Cover
Halaman Judul
Halaman Pengesahan
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan
d. Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
a. Konsep Dasar Penyakit
1) Definisi
2) Anatomi Fisiologi
3) Etiologi
4) Klasifikasi
5) Manifestasi Klinis
6) Patifisiologi
7) Pathway
8) Komplikasi
9) Pemeriksaan Penunjang
10) Penatalaksanaan
b. Tindakan Penatalaksanaan
1) Definisi
2) Tujuan
3) Prosedur penggunaan
c. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teori
1) Pengkajian
2) Analisa Data
3) Diagnose Keperawatan
4) Intervensi Keperawatan
1) Evaluasi
BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN
a. Profile Lahan Praktik
b. Ringkasan Asuhan Keperawatan
5) Pengkajian
6) Analisa Data
7) Diagnose Keperawatan
8) Intervensi Keperawatan
9) Evaluasi
BAB IV Hasil Analisis dan Pembahasan
a. Analisis Karakteristik Pasien
b. Analisis Masalah Keperawatan
c. Analisis Intervensi
d. Analisis Implementasi
e. Analisis Evaluasi
BAB V Simpulan dan Saran
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala menjadi masalah kesehatan yang serius, dimana angka

mortalitas dan morbiditas yang tinggi (Christanto et al., 2015). Cedera kepala

merupakan gangguan fungsi normal otak karena trauma, baik trauma tumpul maupun

trauma tajam (Basuki et al., 2015). Pasien dengan cedera kepala berisiko terjadinya

perdarahan (hemoragic) dan pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera

(Ratnasari, et al, 2015). Masalah tersebut sering terjadi pada kasus cedera kepala

sedang, yang memicu terjadinya kerusakan otak, akibat dari gangguan suplai oksigen
ke otak (Clarinta dan Iyos, 2016). Otak yang mengalami kerusakan tidak dapat

menyimpan oksigen dan glukosa, sedangkan sel-sel otak membutuhkan suplai darah

secara terus menerus untuk memperoleh nutrisi (Satyanegara et al., 2020). Otak

mempunyai kemampuan menyimpan oksigen sekitar 10 detik, jika tidak diberikan

oksigen dengan segera akan menyebabkan hipoksia (Musliha, 2010). Hipoksia yang

terlalu lama dan tidak diatasi dengan pemberian oksigen akan berakibat pada

kematian. Kasus cedera kepala masih menjadi masalah dalam dunia kesehatan yang

memiliki angka kejadian yang cukup tinggi.

Di Amerika Serikat, lebih dari 1,7 juta orang mengalami cedera kepala setiap

tahunnya dan sekitar 290 ribu orang menjalani perawatan, 51.000 orang meninggal

serta 80.000 orang mengalami cacat permanen (Basuki et al., 2015). Cedera kepala di

Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin

Bandung, pada tahun 2019, kejadian cedera kepala 2.509 orang yang terdiri atas

1.856 orang cedera kepala ringan, 438 orang cedera kepala sedang, dan 215 orang

mengalami cedera kepala berat (Satyanegara et al., 2020). Berdasarkan hasil studi

kasus yang dilakukan di RSUD terdapat 46 orang mengalami cedera kepala terhitung

dari bulan Desember sampai Januari 2020, sedangkan 6 orang meninggal di Instalasi

Gawat Darurat.

Insiden cedera kepala pada umumnya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas

(Clarinta & Iyos, 2016). Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan

otak. Pada kasus cedera kepala sering diakibatkan oleh trauma tajam maupun trauma

tumpul yang mengenai bagian kepala (Ratnasari et al., 2015). Trauma tersebut
menyebabkan cedera pada jaringan kranial sehingga menimbulkan laserasi (Setiawan

& Mauilda, 2010). Laserasi dapat menimbulkan perdarahan baik di daerah epidural,

subdural, subaraknoid dan intraserebral (Kowalak et al., 2011). Adanya perdarahan di

epidural, subdural, subaraknoid dan intraserebral menyebabkan otak mengubah aliran

darah dan produksi cairan serebrospinal untuk mengakomodasi caiaran yang berlebih

didalam otak. Bila proses ini gagal, maka menyebabkan terjadinya tekanan

intrakranial (Nayduch, 2014). Jika tekanan intrakranial semakin meningkat, otak akan

tergeser karena tekanan yang keras akibatnya otak mengalami herniasi. Herniasi

disebabkan oleh pasokan darah berkurang ke otak yang mengakibatkan keadaan

iskemia dan hipoksia (Kowalak et al., 2011). Saat otak mengalami hipoksia, tubuh

berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob. Proses ini

menyebakan dilatasi pembuluh darah dan penimbunan asam laktat akibat

metabolisme anaerob, sehingga keadaan ini menyebabkan asidosis metabolic

(Takadalide et al, 2017). Adanya asidosis metabolik ditandai dengan pernapasan

cepat dan dalam (pernapasan kussmaul), yang bertujuan untuk menurunkan PCO 2

darah (hipokarbia). Hipokarbia menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral

sehingga aliran darah ke otak menurun. Bila asidosis metabolik makin berat terjadi

depresi susunan saraf pusat yang menjurus ke arah koma dan kejang. Penurunan

resistensi pembuluh darah perifer dan kontraksi jantung disertai hipotensi, gagal

jantung dan fibrilasi ventrikel sebagai penyebab dari kematian (Romy et al., 2012).

Pasien cedera kepala berpotensi besar mengalami kematian bila tidak

dilakukan manajemen yang baik. Penatalaksanaan kegawat daruratan yang dapat


dilakukan oleh perawat yaitu: monitor kepatenan jalan napas (Airway),

mempertahankan pola napas (Breathing) dan status hemodinamika (Circulation), dan

pemeriksaan tingkat kesadaran GCS (Dissability) serta Exposure (ENA, 2010). Bila

terdapat fraktur servikal, harus dilakukan pemasangan neck collar untuk menecagah

keparahan dari fraktur servikal (Soertidewi, 2012). Tatalaksana awal pasien cedera

kepala sedang di ruang gawat darurat meliputi stabilisasi jalan napas, pernapasan dan

sirkulasi untuk mencegah terjadinya kerusakan otak sekunder. Salah satu pengelolaan

kegawat daruratan pada cedera kepala yaitu, dengan pemberian terapi oksigenasi

untuk menjaga kestabilan oksigen di jaringan tubuh dan otak. Oksigenasi yang

adekuat pada jaringan tubuh dapat dilihat dengan hasil pengukuran saturasi oksigen

yang diatas dari 97% (Takatelide et al., 2017). Pemberian oksigen pada pasien yang

mengalami cedera kepala kurang lebih 4-6 liter/menit untuk mencegah anoksia

serebri (Kristanty et al., 2009). Penurunan kesadaran paling sering dijumpai pada

kasus cedera kepala berat, maka dari itu untuk mempertahankan kepatenan jalan

napas dapat dilakukan intubasi endotrakeal (Neugebauer et al., 2012). Elevasi kepala

300-450 dapat diberikan pada pasien cedera kepala untuk mengurangi tekanan

intrakranial. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu CT-Scan untuk mendeteksi

letak dari perdarahan (Cullough et al., 2014).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa cedera kepala

merupakan gangguan fungsi otak akibat dari trauma tumpul maupun trauma tajam

pada kepala. Angka kejadian cedera kepala yang tinggi mencapai 46 orang dan 6

orang meninggal di IGD RSUD Kabuapten Klungkung pada tahun 2022. Pasien
dengan cedera kepala berisiko terjadinya kerusakan otak akibat perdarahan atau

pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera, sehingga dapat menurunkan

suplai darah ke otak. Pemberian posisi 300 pada kasus cedera kepala untuk mencegah

peningkatan tekanan intracranial , bila tidak ditangani akan berujung kematian. Maka

dari itu penulis tertarik mengangkat kasus cedera kepala dikarenakan tingkat kegawat

daruratannya lebih mengancam nyawa dibandingkan kasus trauma lainnya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah efektivitas pemberian head up 300 untuk menurunkan tekanan

intracranial pada pasien cedera kepala sedang di UGD RSUD Kabupaten Klungkung.

C. Tujuan Proyek Inovasi


1. Tujuan Umum

Mengatahui pengaruh pemberian head up 300 untuk menurunkan tekanan

intracranial pada pasien cedera kepala sedang di UGD RSUD Kabupaten Klungkung.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus pada pengaruh pemberian head up 30 0 untuk

menurunkan tekanan intracranial pada pasien cedera kepala sedang:

a. Mengidentifikasi pengaruh pemberian head up 30 untuk menurunkan tekanan

intrakranial pada pasien cedera kepala sedang

3. Manfaat
a. Pelayanan Keperawatan

Manfaat yang diharapkan penulis untuk pelayanan keperawatan agar

intervensi keperawatan bias menyimbangkan dengan tindakan kolaborasi

dalam menunjang penurunan tekanan intracranial pada pasien cedera kepala

sedang.

b. Masyarakat:

Manfaat yang diharapkan penulis terhadap masyarakat mengenai cedera

kepala yaitu masyarakat mampu mengenali tanda dan gejala dari cedera

kepala.

c. Bagi Pengembangan Ilmu:

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan dalam

penatalaksanaan untuk menurunkan tekanan intracranial pada pasien Cedera

Kepala Sedang.

d. Penulis:

Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,

khususnya studi kasus tentang penatalaksanaan untuk menurunkan tekanan

intracranial pada pasien Cedera Kepala Sedang.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat

kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau

benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah

kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

dan fungsi fisik (Rosjidi, 2012).


Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa atau

trauma yang menimpa struktur kepala yang disebabkan karena adanya

benturan di kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan

atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2012).

Cedera kepala merupakan kerusakan struktur kepala dan salah satu

penyebab kematian atau kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan

sebagain besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, masalah dapat berupa

luka ringan, memar di kulit kepala, bengkak, perdarahan, patah tulang

tengkorak atau sampai mengalami gegar otak (Moenadjat, 2014).

Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa

cedera kepala merupakan masalah pada struktur kepala akibat mengalami

benturan yang berpotensi menimbulkan gangguan pada fungsi otak, masalah

ini dapat berupa luka ringan, memar di kulit kepala, bengkak, perdarahan,

patah tulang tengkorak atau sampai mengalami gegar otak.

2. Anatomi Fisiologi Kepala


Gambar 1.1
Anatomi Kepala (Barbara, 2012)

a. Kulit Kepala, terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu skin atau

kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau

galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang

longgar dan pericranium

b. Tulang tengkorak, terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang

tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal

dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun

disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata

sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses

akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa,

yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis

dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

c. Meningen, selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan

terdiri dari 3 lapisan, yaitu:

1) Dura mater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan

endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput

yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada

permukaan dalam dari kranium. Terdapat suatu ruang potensial


(ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,

pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak

menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging

Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan

subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus

transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat

mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak

antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang

epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan

laserasi dan perdarahan epidural.

2) Selaput arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.

Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura

mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari

duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia

mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor

serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan

akibat cedera kepala.

3) Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,

meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.

Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan

epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga

diliputi oleh pia mater.

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang

dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian, yaitu

Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,

mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri

dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak

menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,

fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan

dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur

fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses

penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi

retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula

oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum

bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

e. Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)

Medula spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat yang

menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan embrio. Semula


ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis sentralis. Medulla

spinalis terdiri atas dua belahan yang sama dipersatukan oleh struktur

intermedia yang dibentuk oleh sel saraf dan didukung oleh jaringan

interstisial. Medula spinalis membentang dari foramen magnum sampai

setinggi vertebra lumbalis I dan II, ujung bawahnya runcing menyerupai

kerucut yang disebut konus medularis, terletak didalam kanalis

vertebralis melanjut sebagai benang-benang (filum terminale) dan

akhirnya melekat pada vertebra III sampai vertebra torakalis II.

3. Etiologi

Sastrodiningrat (2012), menyatakan bahwa etiologi dari cedera kepala

yaitu sebagai berikut:

a. Trauma oleh benda tajam yang menyebabkan cedera setempat

b. Trauma oleh benda tumpul yang menyebabkan cedera menyeluruh

4. Manifestasi Klinis/Tanda dan Gejala

Sastrodiningrat (2012), menyatakan bahwa tanda dan gejala dari

cedera kepala yaitu sebagai berikut:

a. Fase emergency

1) Tampak laserasi

2) Memar

3) Hematom
4) Keluar darah dari telinga

5) Fraktur tulang tengkorak

6) Gangguan sensori

7) Hipertensi/hipotensi

b. Fase akut

1) Cedera kepala ringan-sedang

2) Disorientasi ringan

3) Amnesia post trauma 

4) Sakit kepala

5) Gangguan pendengaran

6) Kelemahan motorik

7) Penurunan kesadaran

8) Cedera kepala sedang-berat

9) Tidak sadar dalam waktu lama (>24 jam)

10) Cedera otak

11) Gangguan akibat kerusakan saraf kranial

c. Fase penyembuhan

1) Sakit kepala, konsentrasi menurun

2) Gangguan memori

3) Insomnia

4) Penyembuhan dalam waktu lama

5) Epilepsy
6) Kerusakan permukaan

d. Fase post koma

1) Tidur lebih lama

2) Tidak berinisiatif

3) Bicara sedikit

5. Klasifikasi

Rosjidi (2012), menyatakan bahwa trauma kepala diklasifikasikan

menjadi derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale

a. Ringan

1) Nilai GCS 13-15

2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30

menit

3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur serebral dan

hematoma

b. Sedang

1) Nilai GCS 9-12

2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi

kurang dari 24 jam

3) Dapat mengalami fraktur tengkorak

c. Berat

1) Nilai GCS 3-8


2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam

3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, bahkan hematoma

intrakranial

6. Patofisiologi

Brunner & Suddarth (2012), menyatakan bahwa otak dapat berfungsi

dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, energi yang

dihasilkan di dalam sel-sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi.

Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke

otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula

dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh

kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa

sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila kadar oksigen

plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi

cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi

kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat

menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau

kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme

anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini

akan menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral

Blood Flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit 100 gr. Jaringan otak yang

merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan


perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan

tekanan vaskuler dan udema paru. Perubahan otonim fungsi ventrikel adalah

perubahan gelombang T dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta

takikardi. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan

vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh

darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan

parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar

(Brunner & Suddarth, 2012).

7. Pathway
Kecelakaan, jatuh, terbentur

Cedera kepala

Ekstra kranial Tulang kranial


Intrakranial

Terputusnya kontinuitas Terputusnya kontinuitas Jaringan otak rusak


jaringan kulit, otot dan jaringan tulang (komtusio, laserasi)
vaskuler
Perubahan autoregulasi

Perdarahan, hematoma Gangguan suplai darah Kejang


Peningkatan TIK Iskemia
kesadaran

Peregangan duramen Hipoksia Akumulasi cairan


dan pembuluh darah

Perubahan Perfusi Bersihan Jalan Napas


Nyeri Akut
Jaringan Serebral Tidak Efektif

Ketidakefektifan Pola
Napas

Sumber: (Brunner & Suddarth, 2012)

8. Pemeriksaan Penunjang

Syaifuddin (2013), menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan yaitu sebagai berikut:

a. CT- Scan (dengan tanpa kontras)

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan

perubahan jaringan otak.

b. MRI

Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

c. Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak

sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

d. Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

e. X – Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur garis

( perdarahan / edema ), fragmen tulang.

f. BAER

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

g. PET

Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.

h. CFS

Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.

i. ABGs

Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi )

jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.

j. Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan

intrakranial.

k. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan

kesadaran.

9. Penatalaksanaan

Syaifuddin (2013), menyatakan bahwa penatalaksanaan yang dapat

diberikan yaitu sebagai berikut:

a. Konservatif:

1) Bedres total

2) Pemberian obat-obatan

3) Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

b. Prioritas Masalah:

1) Memaksimalkan perfusi/fungsi otak

2) Mencegah komplikasi

3) Pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.

4) Mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga

5) Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana,

pengobatan dan rehabilitasi.

c. Tujuan :

1) Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/tetap

2) Komplikasi tidak terjadi

3) Kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh

orang lain
4) Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam

perawatan

5) Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti

oleh keluarga sebagai sumber informasi.

B. Tindakan Penatalaksanaan

1) Pengertian

Pengertian posisi Head Up 300 merupakan posisi untuk menaikkan

kepala dari tempat tidur dengan sudut sekitar 300 derajat dan posisi tubuh

dalam keadaan sejajar (Bahrudin, 2008). Posisi Head Up 300 ini

merupakan cara meposisikan kepala seseorang lebih tinggi sekitar 30 0

dari tempat tidur dengan posisi tubuh sejajar dan kaki lurus atau tidak

menekuk. Posisi Head Up 300 bertujuan untuk menurunkan tekanan

intrakranial pada pasien cedera kepala. Selain itu posisi tersebut juga

dapat meningkatkan oksigen ke otak.

Penelitian Aditya, (2018) menunjukkan bahwa posisi elevasi kepala 30

derajat dapat meningkatkan aliran darah ke otak dan memaksimalkan

aliran oksigen ke jaringan otak. Sedangkan menurut Bahrudin (2008)

posisi kepala 300 (elevasi) merupakan suatu posisi untuk menaikkan

kepala dari tempat tidur sekitar 30º dan posisi tubuh dalam keadaan

sejajar. Sedikit berbeda penelitian oleh Khandelwal (2016) posisi Head

Elevation adalah memposisikan pasien dengan punggung lurus dan


elevasi kepala yang bertujuan umtuk keamanan pasien dalam kelancaran

pemenuhan kebutuhan oksigen serta menurunkan tekanan intrakranial.

2) Prosedur Posisi Head Up 30 Derajat

Prosedur kerja pengaturan posisi Head Up 300 adalah sebagai berikut:

1) Meletakkan posisi pasien dalam keadaan terlentang

2) Mengatur posisi kepala lebih tinggidan tubuh dalam keadaan datar

3) Kaki dalam keadaan lurus dan tidak fleksi

4) Mengatur ketinggian tempat tidur bagian atas setinggi 30 derajat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalampengaturan posisi Head Up 30 0

adalah fleksi, ekstensi dan rotasi kepala akan menghambat venous

return sehingga akan meningkatkan tekanan perfusi serebral yang akan

berpengaruh pada peningkatan TIK (Dimitrios dan Alfred, 2012).

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Wijaya dan Putri (2013), menyatakan bahwa dalam memberikan asuhan

keperawatan pada pasien yang membutuhkan perawatan tidak terlepas dari

pendekatan dengan proses keperawatan, dimana proses keperawatan itu

merupakan suatu proses pemecahan yang dinamis dalam usaha untuk

memeperbaiki dan melihat pasien sampai ketingkat kesehatan yang optimal

melalui suatu pendekatan yang tersusun untuk mengenal, membantu memenuhi

kebutuhan sehari-hari dengan melalui langkah-langkah seperti perencanaan atau

intervensi, pelaksanaan tindakan atau implementasi dan evaluasi keperawatan


yang berkelanjutan. Pertolongan kepada pasien dilakukan dengan terlebih dahulu

melakukan pengkajian primary survey untuk mengidentifikasi masalah-masalah

yang mengancam hidup pasien, setelah itu dilakukan secondary survey.

1. Pengkajian

a. Primary Survey / Pengkajian Primer

Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis,

pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma

parah yang mengancam kehidupan. Tahapan pengkajian primary survey

meliputi ABCDE, yaitu Airway, Breathing, Circulation, Disability dan

Exposure. Tahapan pengkajian primary survey bertujuan untuk

mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien,

dilakukan dalam tempo waktu singkat kurang dari 10 detik (Brunner &

Suddarth, 2012).

1) Airway

Mengecek jalan napas dengan tujuan menjaga jalan napas disertai

kontrol servikal. Tindakan pertama yang harus dilakukan adalah

memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara

untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan napas atau

penumpukan sekret. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas

maka jalan napas pasien terbuka.

2) Breathing
Mengecek pernapasan dengan tujuan mengelola pernapasan agar

oksigenasi adekuat. Tindakan yang harus dilakukan menilai kepatenan

jalan napas dan keadekuatan pernapasan pada pasien. Jika pernapasan

tidak memadai, langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah

dekompresi dan drainase tension pneumothorax/hemathorax, serta

ventilasi buatan.

3) Circulation

Mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan. Syok

didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi

jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada

trauma.

4) Disability

Mengecek status neurologis, pada pengkajian disability dikaji dengan

menggunakan skala AVPU, yaitu:

a) Allert, yaitu merespon suara dengan tepat misalnya mematuhi

perintah yang diberikan

b) Vocalises, yaitu tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak

bisa dimengerti

c) Pain (responds to pain only), harus dinilai semua keempat

tungkai jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji

gagal untuk merespon


d) Unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus

nyeri maupun stimulus verbal

5) Exposure

Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.

Jika pasien diduga memiliki cedera kepala, leher atau tulang belakang,

imobilisasi penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika

melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Setelah semua

pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut

hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan

ulang. Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma

yang mengancam jiwa, maka rapid trauma assessment harus segera

dilakukan:

a) Lakukan pemeriksaan kepala, leher dan ekstremitas pada pasien

b) Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam

nyawa pasien dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang

berpotensi tidak stabil atau kritis.

b. Secondary Survey / Pengkajian Sekunder

Pengkajian secondary survey merupakan pemeriksaan secara

lengkap yang dilakukan dan pengkajian SAMPLE (Symptom, Allergy,

Medication, Past illnes, Last meal, Environment/Event). Secondary

survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian
tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik

(Brunner & Suddarth (2012).

1) SAMPLE

a) Symptom, yaitu tanda yang muncul

b) Allergy, yaitu apakah pasien memiliki riwayat alergi dengan

makanan, minuman dan obat-obatan.

c) Medication, yaitu obat yang dikonsumsi atau menjalani

pengobatan

d) Past illnes, yaitu riwayat penyakit pasien.

e) Last meal, yaitu makanan terakhir yang dimakan oleh pasien.

f) Environment/Event, yaitu hal yang menyebabkan cedera.

Pengkajian environment digunakan jika pasien dengan kasus non

trauma dan event untuk pasien trauma.

2) Data fokus yang perlu dikaji

a) Identitas pasien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,

pekerjaan, alamat dan status pernikahan.

b) Riwayat kesehatan

Meliputi keluhan utama, riwayat kesehatan yang lalu

c) Pemeriksaan fisik

Meliputi keadaan umum dan pemeriksaan persistem

d) Pola fungsi kesehatan


Meliputi pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan, pola aktivitas

dan latihan, pola nutrisi dan metabolisme, pola eliminasi, pola

tidur dan istirahat, pola kognitif dan perseptual, persepsi diri dan

konsep diri, pola toleransi koping stress, pola seksual dan

reproduksi, pola hbungan dan peran, serta pola nilai dan

keyakinan.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut buku NANDA oleh Herdman (2014), diagnosa keperawatan

yang mungkin muncul, yaitu sebagai berikut:

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi cairan

b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan adanya edema

atau hematoma dan perdarahan otak

c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik

d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan neurologis

3. Intervensi

Menurut Potter & Perry (2012), rencana atau intervensi keperawatan

adalah penyususunan rencana yang akan digunakan untuk mengatasi masalah

pasien sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan dengan

tujuan terpenuhinya kebutuan pasien. Intervensi keperawatan yang dapat


diberikan sesuai diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan cedera

kepala, yaitu (Gloria, 2016) :

DIAGNOSA NOC NIC


1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Manajemen jalan napas
bersihan jalan asuhan keperawatan 1. Buka jalan nafas
napas selama 3 x 24 jam dengan teknik chin lift
diharapkan jalan nafas atau jaw thrust
pasien bisa teratasi sebagaimana mestinya.
dengan kriteria hasil: 2. Instruksikan pada
Status pernafasan keluarga pasien untuk
1. Frekuensi memposisikan pasien
pernafasan untuk memaksimalkan
dipertahankan ventilasi.
pada 3 3. Auskultasi suara nafas
ditingkatkan ke 4. catat area yang
2. Irama pernafasan ventilasinya menurun
diperthankan pada atau tidak ada suara
2 ditingkatkan ke tambahan.
4. 4. Kelola udara atau
oksigen yang
lembabkan
sebagaimana mestinya.
5. Regulasi asupan cairan
untuk mengoptimalkan
keseimbangan cairan.
6. Instruksikan keluarga
pasien memposisikan
pasien semi fowler
untuk meringankan
sesak nafas.
7. Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi.
8. Monitor kecepatan,
irama, kedalaman dan
kesulitan bernafas.
9. Monitor suara nafas
tambahan seperti
ngorok atau mengi.
10. Monitor pola nafas
(misalnya bradipneu,
takipneu, hiperpetilasi,
pernafasan kusmaul,
pernafasan satu
banding satu,
upneustik, respirasi
diot).
2. Gangguan Setelah dilakukan Manajemen edema
perfusi jaringan asuhan keperawatan serebral
serebral selama 3x24 jam 1. Monitor adanya
diharapkan kecukupan kebingungan,
aliran darah melalui perubahan pikiran,
pembuluh darah otak keluhan pusing,
untuk pingsan
mempertahankan 2. Monitor status
fungsi otak, dengan neurologi dengan ketat
kriteria hasil: 3. Monitor tanda-tand
Perfusi jaringan vital
serebral 4. Monitor TIK pasien
1. Nilai rata-rata dan respon neurologi
tekanan darah terhadap aktivitas
dipertahankan perawatan
pada 3 ditingkatkn 5. Kurangi stimulus
ke 4 dalam lingkungan
2. Sakit kepala pasien
dipertahankan 6. Rencanakan asuhan
pada 3 keperawatan untuk
ditingkatkan ke 4 memberikan periode
istirahat
7. Catat perubahan pasien
dalam berespon
terhadap stimulus
8. Dorong keluarga atau
orang terdekat untuk
bicara kepada pasien
9. Monitor nilai-nilai
laboratorium
10. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian pengobatan
farmakologi
3. Nyeri Akut Setelah dilakukan Pain Management
asuhan keperawatan 1. Lakukan pengkajian
selama 3 x 24 jam, nyeri secara
diharapkan nyeri komperhensif termasuk
pasien berkurang. lokasi, karakteristik,
Dengan kriteria hasil: durasi, frekwensi,
Kontrol nyeri kualitas, dan faktor
1. Mampu presipitasi
mengontrol nyeri 2. Observasi reaksi non
(tahu penyebab verbal dari
nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan 3. Gunakan teknik
teknik non komunikasi terapeutik
farmakologi untuk untuk mengetahui
mengurangi nyeri, pengalaman nyeri
mencari bantuan) pasien
(4) tidak terganggu 4. Kaji kultur yang
2. Melaporkan bahwa mempengaruhi respon
nyeri berkurang nyeri
dengan 5. Kontrol lingkungan
menggunakan yang dapat
manajemen nyeri mempengaruhi nyeri
(4) tidak terganggu seperti suhu ruangan,
3. Mampu mengenali pencahayaan, dan
nyeri (skala, kebisingan
intensitas, 6. Kurangi faktor
frekwensi, dan presipitasi nyeri
tanda nyeri) 7. Kaji tipe dan sumber
4. Menyatakan rasa nyeri untuk
nyaman setelah menentukan intervensi
nyeri berkurang (4) 8. Ajarkan tentang tekhnik
tidak terganggu non farmakologi
9. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
10. Kolaborasi dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak
berhasil

4. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Airway Management


pola napas asuhan keperawatan 1. Monitor status
selama 1 x 2 jam pernapasan dan
diharapkan oksigenasi
ketidakefektifan pola 2. Buka jalan napas
napas dapat teratasi, dengan teknik chin
dengan kriteria hasil: lift atau jaw thrust
Respiratory status 3. Posisikan klien untuk
1. Menunjukkan jalan memaksimalkan
nafas yang paten ventilasi dan
(klien tidak merasa meringankan sesak
tercekik, irama napas
nafas, frekuensi 4. Auskultasi suara
pernafasan dalam napas, catat area yang
rentang normal, ventilasinya menurun
tidak ada suara 5. Kelola udara atau
nafas abnormal) di oksigen yang
tingkatkan ke 5 lembabkan
(tidak terganggu) sebagaimana
2. Tanda-tanda vital mestinya.
dalam rentang 6. Instruksikan keluarga
normal (tekanan pasien memposisikan
darah, nadi, pasien semi fowler
pernafasan) di untuk meringankan
tingkatkan ke 5 sesak nafas
(tidak terganggu) 7. Monitor suara nafas
tambahan seperti
ngorok atau mengi
8. Monitor kecepatan,
irama, kedalaman dan
kesulitan bernafas
9. Edukasi keluarga
klien tentang kondisi
klien
10. Kolaborasi dalam
pemberian terapi O2

4. Evaluasi
Menurut Potter & Perry (2012), evaluasi adalah suatu tahapan terakhir

dari pengkajian untuk mengetahui apakah tindakan yang dilakukan tercapai

atau tidak, evaluasi dapat dibagi menjadi dua:

a. Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setiap implikasi

b. Evaluasi promatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah keseluruhan

implikasi selesai dilakukan.

Evaluasi dilakukan untuk mengukur respon klien terhadap tindakan

keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Data evaluasi


dikumpulkan dengan dasar kontinuitas untuk mengetahui perubahan dalam

fungsi dan kehidupan sehari-hari untuk menyusun intervensi yang belum

tercapai. Evaluasi didokumentasikan ketika perawat selesai melakukan satu

tindakan berdasarkan diagnosa. Evaluasi didapatkan dari hasil perkembangan

klien setelah diberikan implementasi. Perawat mengevaluasi apakah respon

subjektif menunjukkan kemajuan atau kemunduran. Menurut Sue Moorhead,

dkk (2016), evaluasi terdiri dari beberapa komponen yaitu:

1. S (Subjektif)

Data subjektif berisi data dri pasien melalui wawancara yang merupakan

ungkapan langsung.

2. O (Objektif)

Data objetif data yang dari hasil observasi melalui pemeriksaan fisik.

3. A (Assesment)

Analisis dan interpretasi berdasarkan data yang terkumpul kemudian

dibuat kesimpulan, yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis atau

masalah potensial, serta perlu tidaknya dilakukan tindakan segera.

4. P (Planning)

Perencanaan merupakan rencana dari tindakan yang akan diberikan

termasuk asuhan mandiri, kolaborasi, diagnosis atau laboratorium, serta

konseling untuk tindak lanjut.

BAB III
LAPORAN KASUS KELOLAAN
A. Profil Lahan Praktik

Penelitian ini dilakukan di RSUD kabupaten Klungkung yang

beralamat di Jl. Flamboyan No. 40 Semarapura Kauh, Kecamatan Klungkung,

Kabupaten Klungkung. Seiring pemenuhan standar pelayanan kesehatan

rumah sakit maka pada 1 Desember 2016 RSUD Kabupaten Klungkung

diakui telah memenuhi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 dan

dinyatakan Lulus Tingkat Paripurna (Bintang Lima) oleh Komisi Akreditasi

Rumah Sakit (KARS). Selanjutnya pada tanggal 23 Januari 2017 melalui

Keputusan Gubernur No. 440/844.6/DPMPSP-H/2017 tentang Ijin

Operasional Rumah Sakit Umum kelas B RSUD Kabupaten Klungkung

dinaikkan kelasnya sebagai RSU Kelas B Non Pendidikan. Rumah sakit

Klungkung memiliki layanan Unit Gawat Darurat (UGD) dengan fasilitas

yang memadai. Di UGD memakai triage Australian, dengan fasilitas bed 16

bed terdiri dari 3 bed triage merah, 5 triage kuning, 4 triage hijau, 2 screening

serta 1 bed khusus isolasi. Menunjang pelayanan UGD sudah tersedia site

monitor, alat defibrillator, ekg, alat nebulizer, oksigen sentral serta alat

penunjang lainnya. Tenaga kesehatan yang bertugas di UGD terdiri dari

dokter umum, perawat serta bidan yang telah mempunyai Surat tanda

Registrasi (STR).

B. Ringkasan Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian pada Tn. K dilakukan pada hari Kamis tanggal 7 Januari 2022

pada pukul 11.35 wita. Tn K berumur 38 tahun diantar ke IGD RSUD

Klungkung menggunakan ambulance oleh tim KRIS Kabupaten

Klungkung. T. K masuk ke ruang triage bedah dengan kategori P1

(Merah) dengan diagnosa medis Cedera Kepala Sedang dan fraktur

mandibula. Pengkajian primer terdiri dari arway, pada airway terdapat

jalan napas tidak paten, terdapat cairan saliva dan terdengar suara

gurgling. Pengkajian breathing terdapat data pasien tampak sesak,

respirasi rate 28x/menit, irama napas cepat dan SPO2: 92%. Pengkajian

circulation terdapat data nadi teraba 96x/menit, tekanan darah

130/90mmHg, suhu 36.50C, CRT < 2 detik, peradarahn pada telinga ± 1

cc. Pengkajian disability terdapat data kesadaran delirium dengan GCS 10

(E3V3M4), pupil isokor, reflek cahaya masih ada. Pengkajian eksposure

terdapat fraktur mandubula. Pengkajian secondary terdiri dari keluhan

utama pasien tidak sadarkan diri. Mekanisme cedera Tim KRIS

Klungkung mengatakan pasien mengalami kecelakaan pada pukul 11.00

wita di raya Akah. Pasien menerobos lampu lalu lintas, sehingga pasien di

tabrak oleh kendaraan yang melintas dijalan tersebut. Kepala pasien

terbentur di stang motor. Di lokasi kejadian pasien sempat tidak sadarkan

diri selama 2 menit, kemudian pasien dilarikan ke UGD RSUD Kabupaten

Klungkung menggunakan ambulance KRIS untuk mendapat penanganan

selanjutnya. Pengkajian selanjutnya yaitu SAMPLE. Sign and Symptom


penurunan kesadaran, dengan GCS 10, terdapat cairan saliva pada jalan

napas, sesak napas, RR: 28x/menit, otorrhea, gelisah, hipoksia, SaO2:

92%, dispnea, irama napas cepat, contusio, laserasi pada kepala dan

telapak kaki bagian kanan, fraktur mandibula. Alergy keluarga

mengatakan pasien tidak memiliki alergi baik makanan, obat-obatan

maupun lingkungan. Medication keluarga pasien mengatakan pasien tidak

sedang mengonsumsi obat-obatan dan alkohol.

2. Analisa Data

Pasien terlihat sesak, terdapat cairan saliva, terdengar suara gurgling,

respirasi rate 28x/menit, dyspnea, dari data ini muncul diagnosa

ketidakefektifan bersihan jalan napas. Keluhan lain pasien tidak sadarkan

diri dengan GCS 10 (E3V3M4) setelah mengalami trauma kepala

sehingga muncul diagnosa risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak

(Nanda, 2021).

3. Diagnosa keperawatan

Diagnosa yang muncul berdasarkan Analisa data ada 2 yaitu :

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan benda

asing dalam jalan napas ditandai dengan dispnea, respirasi rate

28x/menit, terdengar suara gurgiling.

b. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan

cedera otak
Berdasarkan diagnosa yang muncul, penulis memfokuskan pada diagonsa

risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak.

4. Intervensi keperawatan

Berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul yaitu risiko

ketidakefektifan perfusi jaringan otal, dengan tujuan setelah dilakukan

asuhan keperawatan selama 1x2 jam diharapkan perfudi jaringan otak

efektif dengan kriteria hasil tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial,

kesadaran compos mentis.

Intervensi yang disusun meliputi peningkatan perfusi serebral :

monitor status pernapasan (seperti frekuensi, irama dan kedalaman),

monitor oksigenasi jaringan, auskultasi suara paru untuk mengetahui

adanya suara napas tambahan, monitor nilai laboratorium untuk perubahan

dari oksigenasi atau keseimbangan asama basa, monitor tingkat kesadaran

berikan head up 300 serta kolaborasi dalam pemberian oksigen. Posisi

head up tiga puluh derajat memiliki tujuan agar tekanan intracranial

menurun pada seseorang yang menderita trauma kepala, selain itu, posisi

head up 30° memiliki manfaat agar oksigen ke otak meningkat. (Adithya

Nugroho, 2018). Posisi Head up 30⁰ bertujuan untuk mengamankan

pasien dalam pemenuhan oksigenasi untuk menghindari hipoksia pada

pasie, dan tekanan intracranial dapat stabil dalam kisaran norma. Selain itu

posisi ini lebih efektif untuk menjaga tingkat kesadaran karena

mempengaruhi posisi anatomi tubuh manusia yang kemudian


mempengaruhi hemodinamik pasien. Posisi head up 30⁰ juga efektif

untuk homeostasis otak dan mencegah kerusakan otak sekunder dengan

stabilitas fungsi pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral yang

memadai (Pertami dkk,2017).

5. Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan dilakukan sudah sesuai dengan intervensi yang

disusun, dimana tindakan awal dilakukan mengecek kesadaran pasien,

didapatkan data E3V3M6 (somnolen), selanjutnya mengkaji frekuensi

pernapasan, didapatkan data pasien terlihat sesak, respirasi rate 28x/menit,

irama napas cepat. Impelemntasi selanjutnya yaitu mengauskultasi lapang

paru, dimana ditemukan suara vesikuler disemua lapang paru, mengambil

sampel darah AGD, dimana hasil AGD yaitu pH : 7.40 SaO2: 92%,

PaO2: 98 mmHg, PaCO2: 40 mmHg dan HCO3 : 25 mEq/L. Tindakan

delegasi dengan dokter dalam pemberian O2 mengggunakan NRM 15

lpm. Impleemenasi terkahir yaitu inovasi head up 300 dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut: pasien dibaringkan dalam keadaan

terlentang, mengatur ketinggian tempat tidur memposisikan kepala lebih

tinggi 300 serta posisi kaki lurus dan tidak menekuk (Insani, 2020). Pasien

terlihat dalam posisi head up 30 derajat.

6. Evaluasi
Hasil evaluasi didapatkan data subyektif: tidak ada respon dari

pasien, sedangkan data obyektif didapatkan data: pasien terlihat masih

sesak, respirasi rate 24x/menit, kesadaran somnolen dengan GCS

E3V3M4, tidak ada muntah proyektil, berdasarkan data ini, dapat

dismpulkan bahwa masalah belum terasi, sehingga intervensi perlu

dilanjutkan, seperti monitor status pernapasan, monitor oksigenasi

jaringan, kolaborasi pemberian oksigen, pemberian head up 300, monitor

tingkat kesadaran. Perawatan lebih lanjut pasien dipindahkan keruang

intensiv care unit (ICU).

BAB IV
HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Analisa Karakteristik Pasien

Pada pengkajian ditemukan data bahwa pasien mengalami penurunan

kesadaran dengan GCS 10 (E3V3M4), pada teori menyebutkan bahwa pasien

yang mengalami cedera kepala sedang meiliki rentang GCS 9-12 (Krisanty,

2016). Hal ini didukung oleh Aprilia dan Wreksoatmodjo (2015) yang

berpendapat bahwa kasus cedera kepala rentan mengalami perdarahan pada

otak, bila perdarahan ditemukan di subarachnoid dan arteri pecah sehingga

darah keluardari ruang subarachnoid yang dapat merusak korteks serebri

hingga merusak hemiparese dan ARAS sehingga tidak mampu mengirim

impuls ke korteks yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

Terdapat cairan saliva dan terdengar suara napas tambahan (gurgling), pada

teori di airway seharusnya ada munatahan, suara napas tambahan (snoring,

gurgling, dan stridor), akumulasi darah dan saliva pada saluran napas

(Setiawan dan Maulida, 2017). Hal ini didukung oleh Irmawan dan

Mufilihatin (2017) berpendapat bahwa pasien dengan penurunan kesadaran

menyebabkan menurunnya respon batuk menyebabkan cairan/secret menjadi

menumpuk dan mengakibatkan obstruksi jalan napas.

Hasil pengkajian pada breathing ditemukan irama napas cepat dispnea,

RR: 28x/menit, SaO2: 92%. Masalah yang muncul pada teori meliputi

hipoksia, takipnea, dispnea, pergerakan dada, perubahan sistem pernapasan

baik irama, kedalaman maupun frekuensi pernapasan (Krisanty, 2012). Hal ini
didukung dari Soertidewi (2012) yang berpendapat bahwa gangguan

pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer yang

disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan napas cepat,

perubahan frekuensi pernapasan dan penurunan angka SaO2.

B. Analisis Masalah Keperawatan

Masalah yang menjadi fokus penulis yaitu risiko krtidakeefektifan

perfusi jaringan otak, dimana pada pasien mengalami penurunan kesadaran

karena cedea kepala yang dialaminya, dengan GCS 10 (E3V3M4), kondisi

terkait yang muncul sudah sesuai dengan (Nanda, 2021).

C. Analisis Intervensi

Berdasarkan masalah yang didapat pada pasien, intervensi yang

diberikan sudah sesuai dengan teori, dimana pada masalah memiliki rencana

pencapaian kriteria 4x15 menit setiap tindakan dan diobservasi setiap 30

menit dalam 2 jam (Ginting, dkk, 2019). Intervensi yang diberikan

berdasarkan masalah keperawatn risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak

yaitu monitor status pernapasan, monitor oksigenasi jaringan, auskultasi suara

paru untuk mendengar adanya suara napas tambahan, monitor TIK pasien dan

respon neurologi teehadap aktivitas, kolaborasi dalam pemberian oksigen

serta berikan elevasi kepala 30 derajat untuk mencegah peningkatan tekanan

intrak kranial (Butcher, dkk,2018). Posisi head up 30 derajat ini merupakan

cara meposisikan kepala seseorang lebih tinggi sekitar 30 derajat dari tempat

tidur dengan posisi tubuh sejajar dan kaki lurus atau tidak menekuk (Kusuma
& Anggraeni, 2019). Posisi head up 30 derajat bertujuan untuk menurunkan

tekanan intrakranial pada pasien cedera kepala. Selain itu posisi tersebut juga

dapat meningkatkan oksigen ke otak. Penelitian Aditya N, dkk (2018)

menunjukkan bahwa posisi elevasi kepala 30 derajat dapat meningkatkan

aliran darah ke otak dan memaksimalkan aliran oksigen ke jaringan otak. Jika

aliran darah dan oksigen ke otak maksimal sehingga terjadi peningkatan status

kesadaran diikuti oleh tanda-tanda vital yang lain (Wahidin & Supraptini,

2020).

Soemarno, M (2018) menjelaskan bahwa pada pasien CKS

mempunyai masalah salah satunya adalah ketidakefektifan perfusi jaringan

serebral akibat situasi O2 di dalam otak dan nilai Gaslow Coma Scale (GCS)

mengalami penurunan. Keadaan ini mengakibatkan disorientasi pada pasien

cedera kepala. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral apabila tidak

tertangani dengan segera akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial,

dengan ini perlunya dilakukan tindakan pembebasan jalan nafas dan

mencegah terjadinya sel kematian otak yaitu dengan dilakukanya tindakan

head up 30°, (Dewi (2019) menjelaskan bahwa, memposisikan head up 30°

sangat efektif menurunkan tekanan intrakranial tanpa menurunkan nilai

Cerebral Perfusion Pressure (CPP) serta menganggu perfusi oksigen ke

serebral dan dapat memperbaiki tingkat kesadaran serta kestabilan

hemodinamik.
Indikasi pemberian elevasi kepala 30o mencegah peningkatan tekanan

intrakranial yang ditandai dengan adanya nyeri kepala akibat trauma pada

bagian otak, tekanan darah yang meningkat, mual muntah, perubahan

perilaku. Elevasi kepala 30 derajat akan meningkatkan aliran vena jugularis

yang tidak berkatup sehingga mampu menurunkan volume darah vena yang

menurunkan volume darah vena sentral yang dapat menurunkan tekanan

intrakranial sehingga nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, mual muntah,

dan perubahan perilaku dapat teratasi (Ginting, dkk, 2020).

D. Analisis Implementasi

Meletakkan posisi pasien dalam keadaan terlentang Mengatur posisi

kepala lebih tinggidan tubuh dalam keadaan datar Kaki dalam keadaan lurus

dan tidak fleksi Mengatur ketinggian tempat tidur bagian atas setinggi 30

derajat. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan posisi Head Up 30 0

adalah fleksi, ekstensi dan rotasi kepala akan menghambat venous return

sehingga akan meningkatkan tekanan perfusi serebral yang akan berpengaruh

pada peningkatan TIK (Dimitrios & Alfred, 2012). Hal ini didukung oleh

(Ginting, dkk, 2019) berpendapat bahwa elevasi 30 derajat yaitu memperbaiki

drainase vena serebral, dan menurunkan tekanan intrakranial. Elevasi kepala

dapat menurunkan tekanan intra kranial melalui beberapa cara, yaitu

menurunkan tekanan darah, perubahan komplians dada, perubahan ventilasi,

meningkatkan aliran vena melalui vena jugularis yang tak berkatup, sehingga
menurunkan volume darah vena sentral yang menurunkan tekanan intra

kranial.

Perpindahan CCS dari kompartemen intra kranial ke rongga sub

araknoid spinal dapat menurunkan tekanan intra kranial. Dampak yang akan

ditimbulkan pada kasus cedera kepala yaitu terganggunya sistem neurologis,

penurunan kesadaran, gegar otak, kejang-kejang, kelumpuhan serta

terganggunya kemampuan indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan

perasa atau pengecap dan kasus yang paling serius terjadi yaitu cedera otak

traumatik (Traumatic Brain Injury) (Aditya, 2018). Pada klien yang

mengalami peningkatan tekanan intrakranial terhadap perfusi jaringan yaitu

ada perbedaan nilai perfusi jaringan di setiap posisi dibandingkan dengan

keadaan datar 0°. Hal ini sejalan dengan penelitian Sands et al., (2020) bahwa

posisi kepala elevasi lebih tinggi dari 0° bisa digunakan dalam perbaikan nilai

SPO2. Dalam upaya pencegahan peningkatan resiko penurunan tekanan

perfusi serebral, tidak dianjurkan posisi melebihi 45°, karena dapat

memperburuk iskemia pada jaringan otak (Hasan, 2018).

E. Analisis Evaluasi

Evaluasi keperawatan yang dilakukan pada Pasien adalah 4x15 menit

setiap tindakan dan diobservasi setiap 30 menit dalam 2 jam diperoleh hasil

bahwa ketidakefektifan bersihan jalan napas teratasi karena sudah tidak

terdapat cairan darah pada jalan napas, tidak terdengar suara gurgling, RR:

20x/menit, Diagnosa risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak belum


teratasi karena pasien masih mengalami penurunan kesadaran dengan GCS 10

dan SPO2 95%. Pasien dipindahkan keruangan insentiv care unit untuk

mendapatkan perawatan intensiv dengan melanjutkan intervensi seperti,

pemberian elevasi 30 derajat, kolaborasi dalam pemberian oksigen, observasi

pernapasan dan monitor kesadaran pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Atoilah, E.M. & Kusnadi, E. (2013). Askep Pada Klien Dengan Gangguan
Kebutuhan Dasar Manusia. Garut: Penerbit In Media.
Aprilia, M. & Wreksoatmodjo, B.R. (2015). Pemeriksaan Neurologis
pada Kesadaran Menurun. CDK. Vol. 42 No. 10
Batticaca, F. B. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Basuki, W.S., Suryono, B., Saleh, S.C. (2015). Penatalaksanaan Perioperatif Cedera
Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Cushing. JNI. 4(1) 34-42.

Christanto, S., Rahardjo, S., Suryono, B., Saleh, S.C. (2015). Penatalaksanaan Pasien
Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang
Tertunda. JNI.4(3) 177-86.

Clarinta, U & Iyos, R.N. (2016). Cedera Kepala Berat dengan Perdarahan
Subaraknoid. Jurnal Medula Unila. 4(4), 188.

Christensen, P.J. & Kenney, J.W. (2009). Proses Keperawatan Aplikasi Model
Konseptual. Edisi 4. Jakarta: EGC.
.
Cole, Elaine. (2009). Trauma Caree Initial Assessment and Management In The
Emergency Departement. British Library: Blackwell Publising Ltd.

Cook, L.K. & Clements, S.L. (2011). Stroke Recognition and Management: Early
Identification and Treatment are the Key. AJN. 111(5).

Cullough, A.L.M., Haycock, J.C., Forward, D.P., Moran, C.G. 2014. Early
Management of the Severely Injured Major Trauma Patient. British
Journal of Anaesthesia. 113(2): 234–241.

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC

ENA. (2010). Emergency Nursing Principles and Praktice. (Ed.6th). St. Louis,
Missouri. Elseveir Inc.

Herdman , T.H. & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Inc. Diagnosis


Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC.

Hidayat, A.A.A. (2011). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknis Analisi Data.
Edisi 1 Jakarta: Salemba Medika.
Hutabarat, R.Y., & Putra, C. (2016). Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan.
Bogor: In Media.

Irmawan, B. & Muflihatin, S.K. (2017). Pengaruh Tindakan Suction Terhadap


Perubahan Saturasi Oksigen Perifer Pada Pasien Yang Di Rawat Di Ruang
ICU RSUD Abdul Wahab Sjahranie Hospital Samarinda. Jurnal Ilmiah
Sehat Bebaya. Vol.2. No.2.

Kartikawati, D. (2011). Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.


Jakarta: Salemba Medika.

Kaunang, A.W., Wilar, R., Rompis, R. (2015). Perbandingan Kadar Saturasi Oksigen
Hari Pertama Dan Hari Ketiga Pada Bayi Baru Lahir. Jurnal e-Clinic (eCl).
Volume 3, Nomor 1.

Kristnaty, P., Manurung, S., Suratum, Wartonak, Sumartini, M., Dalamai, E.,
Rohimah, Setiawati, S. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta: CV. Trans Info Medika.

Kowalak, J. P., Welsh, W., Mayer, B. (2011). Buku Aajar Patofiologi. Jakarta: EGC.

Kozier, B., Wahyuningsih, E., Widiarti, D. 2010. Buku Ajar Fundamental


Keperawatan: Konsep, Proses, & Praktik. Jakarta: EGC..

Lumbantobing, V.B.M. & Anna, A. (2015). Pengaruh Stimulasi Sensori Terhadap


Nilai Glaslow Coma Scale Pada Pasien Cedera Kepala Di Ruang
Neurosurgical Critical Care Unit Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal
Ilmu Keperawatan. Volume III, No. 2.

Manarisip, M.E.I., Oley, M.C., Limpeleh, H. (2014). Gambaran CT Scan Kepala


Pada Penderita Cedera Kepala Ringan Di BLU RSUP Prof. Dr. R.D.
Kandou Manado Periode 2012-2013. Jurnal e-Clinic. 2(2).

Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nayduch, Donna. (2014). Nurse to Nurse: Perawatan Trauma. Jakarta: Salemba


Medika.

Neugebauer, E.A.M., Waydhas C., Lendemans, S., Rixen D., Eikermann M.,
Pohlemann T. (2012). The Treatment of Patients With Severe and
Multiple Traumatic Injuries. Deutsches Ärzteblatt International. 109(6):
102–108.

Nurarif, A. H. & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi Jilid 3. Jogjakarta:
Mediaction.

Nurarif, A.H. & Kusuma, H. (2012). Handbook for Health Student. Yogyakarta:
Mediaction Publishing.

Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.


Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

Takatelide, F.W., Kumaat, L.T., Malara, R.T. (2017). Pengaruh Terapi Oksigenasi
Nasal Prong Terhadap Perubahan Saturasi Oksigen Pasien Cedera Kepala
Di Instalasi Gawat Darurat Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. e-
Jurnal Keperawatan. 5(1).

Tarwoto & Wartonah. (2013). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.

Ratnasari, D.Y., Susilo, C., Hamid, M.A. (2015). Hubungan Penanganan Oksigenasi
Pasien Gawat Dengan Peningkatan Kesadaran Kuantitatif Pada Pasien
Cedera Otak Sedang Di Igd Rsud Dr Abdoer Rahem Situbondo. Jurnal
Keperawatan Fikes UMJ.

Ringel, E. (2012). Buku Saku Hitam Kedokteran Paru. Jakarta: PT Indeks.

Romy, W. Suparyatha,I.B.G., Sidiartha I.G.L., Hartawan B.I.N. (2010). Mortalitas


Asidosis Metabolik Laktat dan Non-Laktat di Unit Perawatan Intensif
Pediatrik RSUP Sanglah. Sari Pediatri. 13(5).

Sartono, H., Masudik., Suhaeni, A.E. (2016). Basic Trauma Cardiac Life Support.
Bekasi: Gadar Medik Indonesia.

Saunders. (2007). Emergency Nursing Core Curriculum. St. Louis: Philadelphia.

Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. (Ed.2).


Yogyakarta: Graha Ilmu.
Satyanegara, Arifin, M. Z., Hasan, R. Y., Abubakar, S., Yuliatri, N., Prabowo, H.,
Sionno, Y., Widjaya, I. A., Rahardja, R. R. (2014). Ilmu Bedah Syarah
(Edisi 5). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Setiawan, I. & Maulida, I. (2010). Cedera Saraf dan Asuhan Keperawatan.


Yogyakarta: Nuha Medika.
Wahyudi, D. (2015). Head Up Inmanagement Intracranial For Head Injury. Jurnal
Kesehatan Komunitas Indonesia. 11(1).

Widyaswara, P.A., Wihastuti, T.A., Fathoni, M. (2016). Analisi Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Di IGD RSUD
Prof. Dr. Margono Soekardjo Porwokerto. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan. Vol.12.No.3.

Anda mungkin juga menyukai