P ENY USUNA N K AJI A N DAN P ETA P OTENSI W I LAY A H TATA GUNA LAHAN
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan
Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota dan
Rencana Detail Tata Ruang, ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten
meliputi:
a. Ketentuan umum zonasi;
b. Penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang;
c. Ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. Arahan sanksi.
Konsep muatan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Pesisir Barat disusun
dengan kriteria:
a. Berdasarkan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah kabupaten;
b. Mempertimbangkan kawasan strategis kabupaten;
c. Mempertimbangkan permasalahan, tantangan, dan potensi yang dimiliki wilayah
kabupaten;
d. Terukur, realistis, dan dapat diterapkan;
e. Mempertimbangkan aspirasi Masyarakat dalam penetapannya;
f. Melindungi kepentingan umum; dan
g. Mengacu pada ketentuan perundang-undangan.
Ketentuan umum peraturan zonasi kabupaten adalah ketentuan umum yang mengatur
pemanfaatan ruang/kabupaten dan unsur-unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang
disusun untuk setiap klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten.
Ketentuan umum peraturan zonasi kabupaten berfungsi sebagai:
a. Landasan bagi penyusunan peraturan zonasi pada tingkatan operasional pengendalian
pemanfaatan ruang di setiap kawasan/zona kabupaten;
b. Dasar pemberian izin pemanfaatan ruang; dan
c. Salah satu pertimbangan dalam pengawasan pemanfaatan ruang.
Ketentuan umum peraturan zonasi ini memuat ketentuan mengenai:
a. Jenis kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan;
b. Intensitas pemanfaatan ruang;
c. Prasarana dan sarana minimum; dan
d. Ketentuan lain yang dibutuhkan.
Dalam penyusunan ketentuan umum zonasi Kabupaten Pesisir Barat dalam pekerjaan
Penyusunan Kajian dan Peta Potensi Wilayah Tata Guna Lahan dibagi menjadi:
a. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung; dan
b. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya.
Gambar 6.2 Skema Penilaian Pelaksanaan KKPR dan pernyataan mandiri pelaku UMK
(Sumber: PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang)
c. Kegiatan wisata tidak mengganggu atau mengubah sistem/siklus hidrologi yang ada;
d. Kegiatan wisata tidak merusak/membakar komponen hutan dan ekosistemnya,
memotong kayu atau vegetasi hutan, atau meninggalkan/membuang sampah atau
barang-barang lain yang mengganggu; dan
e. Kapasitas wisata diatur sedemikian rupa (berdasarkan luas kawasan dan jumlah satwa
yang dilindung) sehingga jumlah pengunjung yang dating tidak mengganggu habitat
satwa dan siklus hidupnya (tidak membuat satwa merasa terasing/terganggu).
7. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam blok pemanfaatan atau blok lainnya dengan
memperhatikan ketentuan kegiatan memungut hasil hutan yang diperbolehkan yaitu
mengambil rotan, madu, buah dan aneka hasil hutan lainnya, perburuan satwa liar yang
tidak dilindungi, dan dilaksanakan secara tradisional dengan syarat:
a. Tidak menebang pohon;
b. Tidak mengganggu kelestarian potensi yang dipungut; dan
c. Tidak mengunakan peralatan mekanis.
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan
bawahannya disusun dengan ketentuan:
1. Dapat digunakan untuk penyediaan sumur resapan atau waduk pada lahan terbangun
yang sudah ada;
2. Dapat digunakan untuk kegiatan hutan raya;
3. Dapat digunakan untuk permukiman yang sudah terbangun di kawasan resapan air
sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung dengan syarat:
a. Tidak menambah luasan atau tingkat kerapatan bangunan rendah dengan KDB
maksimum 20 (dua puluh) persen dan KLB maksimum 40 % (empat puluh persen);
b. Pembatasan perkerasan permukiman menggunakan bahan yang memiliki daya serap
tinggi; dan
c. Dalam kawasan resapan air apabila diperlukan disarankan dibangun sumur-summur
resapan dan/atau waduk sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Dapat dilakukan pemanfaatan untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki
kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
5. Pemanfaatan terbatas untuk budidaya terbangun di sekitar jalan arteri ruas Kota
Sukabumi – bts Cianjur dengan penerapan prinsip zero delta Q policy, dengan KDB
maksimum kurang dari 30 (tiga puluh) persen;
6. Pengajuan ijin pemanfaatan ruang budidaya terbangun pada kawasan resapan air harus
didukung kajian aspek keruangan untuk menjamin kegiatan tersebut tidak mengganggu
fungsi resapan air serta mendapatkan rekomendasi Forum Tata Ruang;
7. Kegiatan budidaya terbangun yang sudah ada di kawasan resapan air sebelum
berlakunya peraturan daerah ini dilakukan penataan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kegiatan berizin masih dapat dilaksanakan sepanjang tidak mengganggu fungsi
resapan air dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Kegiatan berizin yang terindikasi mengganggu fungsi resapan air dan/atau tidak
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan penertiban; dan
c. Kegiatan tidak berizin dilakukan penerbitan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
8. Dapat digunakan untuk wisata alam dengan syarat tidak mengubah bentang alam;
9. Dapat digunakan untuk kegiatan Pendidikan dan penelitian dengan syarat tidak
mengubah bentang alam;
10. Pelarangan untuk seluruh jenis kegiatan yang mengganggu fungsi resapan air;
11. Pelarangan tumbuhnya kegiatan ekonomi atau budidaya terbangun di sepanjang jalur
transportasi baru yang berada pada kawasan resapan air; dan
12. Pelarangan pembangunan kegiatan industri dan kawasan perumahan yang menyebabkan
kerusakan kawasan resapan air.
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat terdiri atas:
1. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai, meliputi:
a. Pengoptimalan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
b. Pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi;
c. Pemanfaatan untuk pelabuhan yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. Pendrian bangunan baru yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi
pantai, pelabuhan, bandar udara dan pembangkit tenaga listrik;
e. Kegiatan budidaya terbangun yang sudah ada di kawasan sempadan pantaii sebelum
berlakunya peraturan daerah ini dilakukan penataan dengan ketentuan sebagai
berikut:
(1) Kegiatan berizin masih dapat dilaksanakan sepanjang tidak mengganggu fungsi
sempadan pantai dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) Kegiatan berizin dan tidak berizin yang terindikasi mengganggu fungsi sempadan
pantai dan/atau tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan
penerbitan; dan
(3) Kegiatan tidak berizin sepanjang tidak mengganggu fungsi sempadan pantai dan
dapat memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dapat melaksanakan
kegiatan setelah memiliki izin.
f. Perhitungan batas sempadan pantai disesuaikan dengan karakteritik topografi, biofisik,
hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan biaya, serta ketentuan lain yang
terkait;
g. Kawasan sempadan pantai dapat dibuat zona pemanfaatan baru berdasarkan hasil
kajian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
h. Batas sempadan pantai dan zona pemanfaatan dapat ditetapkan dan diatur lebih
lanjut dalam peraturan Bupati;
i. Pelarangan pemanfaatan dan kegiatan pada kawasan yang mengurangi fungsi
kawasan;
j. Pelarangan membuang limbah secara langsung; dan
k. Lahan milik negara dan merupakan lahan bebas diperuntukkan bagi perluasan
kawasan lindung.
2. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai, meliputi:
a. Ketentuan lebar sempadan sungai sesuai ketentuan berlaku meliputi:
(1) Sekurang-kurangnya 5 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul di luar
kawasan perkotaan dan 3 meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul di dalam
kawasan perkotaan;
(2) Sekurang-kurangnya 100 meter di kanan kiri sungai besar dan 50 meter di kanan
kiri sungai kecil yang tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan;
(3) Sekurang-kurangnya 10 meter dari tepi sungai untuk sungai yang mempunyai
kedalaman tidak lebih dari 3 meter;
(4) Sekurang-kurangnya 15 meter dari tepi sungai untuk sungai yang mempunyai
kedalaman lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter;
(5) Sekurang-kurangnya 30 meter dari tepi sungai untuk sungai yang mempunyai
kedalaman lebih dari 20 meter; dan
(6) Sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi sungai untuk sugai yang terpengaruh
pasang surut air laut, dan berfungsi sebagai jalur hijau.
b. Pelarangan membuang limbah secara langsung limbah padat, limbah cair, limbah gas,
dan limbah B3 maupun limbah industri ke sungai;
c. Pengoptimalan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau;
d. Pelarangan pendirian bangunan selain bengunan pengelolaan badan air dan/atau
pemanfaatan air;
e. Dapat digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan air tawar; dan
f. Kegiatan yang diperbolehkan di sempadan sungai meliputi:
(1) Untuk permukiman perkotaan dan perdesaan sebelum peraturan daerah ini
ditetapkan dengan syarat tidak menambah intensitas bangunan sesuai izin dan
memenuhi persyaratan;
(2) Untuk aktivitas wisata alam petualangan dengan syarat tidak mengganggu
kualitas air sungai;
(3) Untuk kegiatan budidaya perikanan air tawar;
(4) Untuk budidaya pertanian dengan jenis tanaman yang diijinkan; dan
(5) Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan masyarakat
yang tidak menimbulkan dampak kerugian bagi kelestarian dan keamanan sungai.
3. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar waduk atau situ, meliputi:
a. Dapat digunakan untuk ruang terbuka hijau;
b. Tidak diperkenankan alih fungsi lindung yang menyebabkan kerusakan kualitas sumber
air;
c. Pelarangan membuang secara langsung limbah padat, limbah cair, limbah gas dan
limbah B3;
d. Dapat digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pariwisata dengan
menjaga kualitas tata air yang ada;
e. Pelarangan menggunakan lahan untuk mendirikan bangunan yang tidak berhubungan
dengan konservasi waduk;
f. Pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi;
g. Dapat digunakan untuk kegiatan penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang
berlaku;
h. Ketentuan lebar sempadan sungai dengan ketentuan meliputi:
(1) Kawasan sempadan waduk besar ditetapkan selebar 100 (seratus) meter diatas
permukaan laut di sekitar daerah genangan;
(2) Kawasan sempadan waduk kecil ditetapkan selebar 50 (lima puluh) meter di
sekitar genangan air dari air pasang tertinggi;
(3) Kriteria garis sempadan bangunan terhadap waduk paling sedikit 100 (seratus)
meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat;
(4) Pembuatan sabuk hijau dengan lebar 100 (seratus) meter; dan
(5) Penetapan kawasan penyangga di luar kawasan sempadan waduk dengan jarak
1.000 (seribu) meter.
4. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air, meliputi:
a. Digunakan untuk kegiatan preservasi dan konservasi seperti reboisasi lahan;
b. Pelarangan alih fungsi lindung yang menyebabkan kerusakan kualitas sumber air;
c. Sempadan mata air dapat dimanfaatkan untuk air minum atau irigasi;
d. Dapat digunakan untuk pariwisata dengan tidak mengurangi kualitas tata air yang
ada;
e. Pelarangan penggunaan lahan secara langsung untuk bangunan yang tidak
berhubungan dengan konservasi mata air;
f. Dapat digunakan untuk pemanfaatan ruang terbuka hijau;
g. Pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air; dan
h. Ketentuan kawasan perlindungan pada sekitar sumber mata air meliputi:
(1) Perlindungan setempat difokuskan pada badan air dari mata air;
(2) Perlindungan setempat kawasan sekitar sumber mata air di luar kawasan
permukiman ditetapkan minimal radius 200 (dua ratus) meter;
(3) Perlindungan setempat kawasan sekitar sumber mata air di kawasan permukiman
ditetapkan minimal radius 100 (serratus) meter; dan
(4) Kawasan dengan radius 16 (lima belas) meter dari sumber mata air harus bebas
dari bangunan kecuali bangunan penyaluran air.
5. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau perkotaan, meliputi:
a. Dapat digunakan untuk pemanfaatan ruang terbuka hijau sebagai konservasi
lingkungan, peningkatan keindahan kota, rekreasi, dan sebagai penyeimbang guna
lahan industri dan permukiman;
b. Dapat digunakan untuk pendirian bangunan yang menunjang kegiatan rekreasi dan
fasilitas umum lainnya;
c. Wajib menyediakan tanah pemakaman paling sedikit seluas 1 (satu) hektar pada
masing-masing desa/kelurahan;
d. Pelarangan seluruh kegiatan yang bersifat alih fungsi RTH;
e. Pelarangan pendirian bangunan yang bersifat permanen;
f. Kawasan ruang terbuka hijau dapat berada pada kawasan permukiman perkotaan,
permukiman perdesaan, pertanian pangan lahan basah, pertanian lainnya, dan
kawasan peruntukan industri; dan
g. Pemanfaatan kawasan hutan di kawasan perkotaan untuk ruang terbuka hijau.
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya
disusun dengan ketentuan:
1. Pelarangan adanya alih fungsi kawasan dan hanya dimanfaatkan untuk kegiatan
penelitian, pendidikan dan pariwisata;
2. Pelarangan melakukan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi
kawasan;
3. Dapat digunakan untuk pengembangan sarana dan prasarana pada kawasan situs-situs
yang dijadikan obyek wisata dengan syarat berada di luar situs; dan
4. Perlindungan untuk kawasan cagar budaya dengan menetapkan dengan kawasan
penyangga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam terdiri atas:
1. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan tanah longsor, disusun dengan
ketentuan:
a. Pengoptimal konservasi pada kawasan rawan longsor;
b. Dilarang membangun pada kawasan rawan gerakan tanah tinggi kecuali di
rekomendasikan berdasarkan hasil kajian dan memenuhi standar bangunan sesuai
ketentuan yang berlaku;
c. Ketentuan pembatasan pemanfaatan ruang dengan cara membatasi pendirian
bangunan hunian, meminimalkan jaringan infrastruktur dan kegiatan diarahkan untuk
hutan, pertanian, perkebunan, ruang terbuka hijau, wisata lam dan olahraga terbuka;
d. Pengendalian pembangunan secara ketat, memperhatikan teknis stabilitas lereng,
system drainase, tidak mengganggu kestabilan lereng, menjaga vegetasi berakar kuat
dan dalam, tidak berada di bantaran sungai, dan melakukan pemetaan detail gerakan
tanah, kajian geologi Teknik, dan analisis resiko bencana;
e. Disarankan untuk relokasi bangunan, tidak melakukan perluasan atau penambahan
bangunan, melakukan kajian geologi Teknik, membangun dinding penahan longsor,
pada daerah rawan longsor tinggi atau sering mengalami kejadian longsor;
f. Pemaangan papan informasi bahaya, rambu bahaya, dan jalur evakuasi;
(8) Dapat digunakan untuk kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian, dan
Pendidikan.
b. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian lahan kering, disusun dengan
ketentuan:
(1) Lahan pertanian kering tidak produktif dapat beralih fungsi menjadi peruntukan
lain secara selektif;
(2) Wajib melaksanakan konservasi lahan;
(3) Penggunaan lahan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
(4) Lahan pertanian lahan kering tidak produktif dapat di alihfungsikan dengan
syarat-syarat tertentu sesuai dengan mekanisme yang ada maupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
(5) Pengalihan fungsi lahan dari pertanian lahan kering tidak produktif (tingkat
kesuburan tanah) menjadi peruntukan lain harus dilakukan tanpa mengurangi
kesejahteraan masyarakat;
(6) Diperbolehkan dengan syarat membangun permukiman perdesaan bagi penduduk
yang bekerja disektor pertanian;
(7) Diperbolehkan dengan syarat mendirikan bangunan prasarana wilayah dan
bangunan pendukung kegiatan pertanian; dan
(8) Diperbolehkan dengan syarat mengadakan kegiatan wisata alam secara terbatas,
penelitian dan Pendidikan.
c. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian lainnya, meliputi:
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian tanaman pangan lahan
kering, disusun dengan ketentuan:
(a) Kawasan pertanian tanaman pangan lahan kering diarahkan berada pada
kawasan pertanian lainnya;
(b) Kawasan pertanian tanaman pangan lahan kering dapat beralih fungsi
menjadi peruntuka lain secara selektif;
(c) Pembataan alih fungsi lahan pertanian kering menjadi kegiatan non
pertanian;
(d) Wajib melaksanakan konservasi lahan;
(e) Penggunaan lahan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
(f) Kawasan pertanian lahan kering tidak produktif dapat dialihfungsikan
dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan mekanisme yang ada maupun
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(g) Pengalihan fungsi lahan dari pertanian lahan kering tidak produktif (tingkat
kesuburan tanah) menjadi peruntukan lain harus dilakukan tanpa mengurangi
kesejahteraan masyarakat;
(h) Kawasan pertanian lahan kering diperbolehkan dialihfungsikan dengan
syarat:
Ø Tidak merugikan masyarakat;
Ø Bermanfaat bagi orang banyak;
Ø Bermanfaat bagi Pendidikan dan penelitian; dan
Ø Bilamana dibutuhkan kajian khusus badan/orang tersebut berkewajiban
memfasilitasi kegiatan tersebut sesuai dengan kemampuan badan/orang
tersebut dan/atau terhadap kegiatan yang perlu kajian, badan/orang
yang berkaitan berkewajiban memfasilitasi kegiatan tersebut sesuai
dengan kemampuan badan/orang tersebut.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian holtikultura, disusun dengan
ketentuan:
(a) Kawasan pertanian holtikultura diarahkan berada pada kawasan pertanian
lainnya;
(b) Penggunaan lahan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
(c) Pertanian holtikultura dapat beralih fungsi untuk kegiatan peternakan dan
perikanan;
(d) Dapat digunakan untuk permukiman perdesaan bagi penduduk sekitar
dengan intensitas kepadatan rendah;
(e) Dapat digunakan untuk bangunan prasarana wilayah dan bangunan
pendukung kegiatan pertanian;
(f) Dapat digunakan untuk kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian, dan
Pendidikan; dan
(g) Diperbolehkan ialihfungsikan dengan syarat:
Ø Tidak merugikan masyarakat;
Ø Bermanfaat bagi orang banyak;
Ø Bermanfaat bagi pendidikan dan penelitian; dan
Ø Bilamana dibutuhkan kajian khusus badan/orang tersebut berkewajiban
memfasilitasi kegiatan tersebut sesuai dengan kemampuan badan/orang
tersebut dan/atau terhadap kegiatan yang perlu kajian, badan/orang
yang berkaitan berkewajiban memfasilitasi kegiatan tersebut sesuai
dengan kemampuan badan/orang tersebut.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan rakyat, disusun dengan
ketentuan:
(a) Wajib melaksanakan koservasi lahan;
(b) Perubahan, alih fungsi dan pengembangan usaha perkebunan kawasan
perkebunan besar Negara dan perkebunan besar swasta dilaksanakan
dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Ø Dengan memperhatikan prinsip pemanfaatan ruang yang efisien,
produktif, berkelanjutan dan berdaya saing pada kawasan perkebunan
dapat dilaksanakan perubahan atau penganekaragaman jenis tanaman
perkebunan, kayu-kayuan, agrowisata dan komoditas tanaman pertanian;
Ø Kawasan peruntukan perkebunan dapat dialih fungsi dan/atau
dilaksanakan kegiatan bersama dalam hal pemenuhan kebutuhan
penyediaan lahan untuk perkembangan sistem pusat peruntukan industri,
kawasan industri, pertambangan ramah lingkungan, lahan pertanian
pangan berkelanjutan, kawasan peternakan, dan kawasan pengembalaan
umum sesuai peraturan perundang-undangan;
Ø Pengembangan usaha perkebunan dapat dilaksanakan pada wilayah
kecamatan setempat dengan menggunakan pola kemitraan sesuai
peraturan perundang-undangan; dan
Ø Kawasan peruntukan perkebunan dapat di alih fungsi menjadi lahan
pengganti/tukar menukar/pinjam pakai hutan dalam hal pemenuhan
kebutuhan investasi di wilayah Kabupaten Pesisir Barat.
(c) Dapat dilaksanakan dengan kegiatan industri pengolahan produk hasil
perkebunan;
(d) Dapat dilakukan diversifikasi kegiatan sesuai peraturan perundang-
undangan;
(e) Dapat digunakan untuk permukiman perdesaan bagi penduduk sekitar;
5. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pemerintahan, disusun dengan ketentuan dapat
digunakan untuk mengembangkan aktivitas budidaya produktif dengan tidak mengganggu
aktivitas pemerintahan.
Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT) adalah izin untuk menggunakan tanah dalam
rangka penanaman modal. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah izin untuk melakukan
kegiatan pembangunan fisik bangunan yang diberikan kepada orang atau badan yang akan
mendirikan bangunan. Izin lain adalah izin usaha pengembangan sectoral yang disyaratkan
sesuai peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai izin-izin pemanfaatan ruang diatur
oleh Bupati.
Insentif kepada dunia usaha dan masyarakat dapat diberikan dalam bentuk:
a. Keringan retribusi Daerah;
b. Kompensasi;
c. Kerjasama pendanaan;
d. Penyediaan infrastruktur;
e. Kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
f. Penghargaan.
Untuk mewujudkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan, Pemerintah Daerah dapat
memberikan insentif. Insentif diberikan kepada masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah desa
atas ketersediaan menjadikan tanahnya sebagai lahan pertanian berkelanjutan. Pemberian
insentif diberikan dalam bentuk:
a. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan;
b. Keringanan Retribusi Daerah;
c. Pengalokasian bantuan program/kegiatan;
d. Pengembangan infrastruktur pertanian;
e. Pembiayaan penelitian serta pengembangan benih dan varietas unggul;
f. Penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian; dan
g. Penghargaan.
Untuk mewujudkan tercapainya tujuan penataan ruang dapat diberikan insentif kepada
masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah desa yang melaksanakan kegiatannya sesuai
dan/atau menyesuaikan secara sukarela dengan penataan ruang wilayaj. Pemberian insentif
kepada masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah desa diberikan dalam bentuk:
a. Pengembangan infrastruktur;
b. Penyediaan sarana dan prasarana;
c. Keringanan retribusi daerah;
d. Kemudahan dalam perizinan; dan
e. Penghargaan.
Disinsentif dibebankan kepada Pemerintah Desa, dunia usaha dan masyarakat yang dalam
melaksanakan pembangunan tidak sesuai dengan RTRW. Disinsentif kepada Pemerintah Desa
dapat diberikan dalam bentuk:
a. Penyediaan infrastruktur secara terbatas;
b. Pengenaan kompensasi; dan/atau
c. Pembatalan insentif.
Disinsentif kepada dunia usaha dan masyarakat dapat diberikan dalam bentuk:
a. Penyediaan infrastruktur secara terbatas;
b. Pengenaan kompensasi;
c. Pembatalan insentif;
d. Pencabutan izin; dan/atau
e. Sanksi administrasif.
f. Apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum melaksanakan pemulihan
fungsi ruang, pejabat melakukan tindakan paksa untuk melakukan pemulihan fungsi ruang;
dan
g. Apabila pelanggar tidak melaksanakan kegiatan pemulihan fungsi ruang, Pemerintah
Daerah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh
Pemerintah Daerah atas beban pelanggar.
Denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan
denda sebesar 10 (sepuluh) kali Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) ditambah seluruh biaya
kegiatan pemulihan. Batas waktu pengenaan sanksi administratif secara berjenjang paling lama
90 (sembilan puluh) hari.