Anda di halaman 1dari 73

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH TERAPI BEKAM KERING


TERHADAP HIPERTENSI
PADA LANSIA

Studi Dilakukan di Desa Sukawati Wilayah Kerja UPT Kesmas Sukawati I

Oleh :

NI LUH EVAYANI
NIM: 21.322.1278

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH TERAPI BEKAM KERING


TERHADAP HIPERTENSI
PADA LANSIA

Studi Dilakukan di Desa Sukawati Wilayah Kerja UPT Kesmas Sukawati I


Diajukan kepada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika Bali untuk memenuhi
salah satu persyaratan menyelesaikan Program Sarjana Keperawatan

Oleh :

NI LUH EVAYANI
NIM: 21.322.1278

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan program kesehatan dan program pembangunan sosial

ekonomi pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan Usia Harapan Hidup

(UHH) penduduk dari suatu negara (Badan Pusat Statistik, 2014). Semakin

meningkatnya Usia Harapan Hidup (UHH) maka persentase jumlah penduduk

lanjut usia (lansia) setiap tahunnya akan mengalami peningkatan. Peningkatan

jumlah penduduk (lanjut usia) lansia pada dasarnya merupakan dampak positif

dari derajat kesehatan masyarakat. Peningkatan kesehjatraan baik fisik maupun

psikis akan meningkat usia harapan hidup lansia. Peningkatan usia harapan hidup

mengindikasikan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dari tahun ke tahun

semakin meningkat sehingga membawa pengaruh besar dalam pengelolaan

masalah kesehatan (Koswara, 2015).

Indonesia mulai memasuki periode aging population, dimana terjadi

peningkatan umur harapan hidup yang diikuti dengan peningkatan jumlah lansia,

hal ini terkait peningkatan pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2018

telah naik 0,58 poin dari sebelumnya. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya

usia harapan hidup di Indonesia yang saat ini rata-rata adalah 71,2 tahun (Badan

Pusat Statistik, 2018). Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk lansia

dari 18 juta jiwa (7,56%) pada tahun 2010, menjadi 25,9 juta jiwa (9,7%) pada

tahun 2019, dan diperkirakan akan terus meningkat dimana tahun 2035 menjadi

48,2 juta jiwa (15,77%) (Kemenkes RI, 2019). Kenaikan jumlah penduduk lansia
diperkirakan akan terus terjadi untuk beberapa tahun kedepan, walaupun jumlah

serta komposisi penduduk sebenarnya sangat dinamis dan tergantung pada tiga

proses demografi yang tidak dapat diprediksi secara pasti yaitu kelahiran,

kematian, dan migrasi. Perubahan ini juga tentu akan berdampak pada pergeseran

struktur umur penduduk dan akan mempengaruhi berbagai lini kehidupan Negara.

Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien lanjut usia

tidak hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi juga bergantung dari

perhitungan terhadap keadaan sosial, ekonomi, cultural, dan psikologis pasien

tersebut (Depkes RI, 2018).

Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang

yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur

pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya.

Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut

aging process atau proses penuaan.

Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-

tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin

rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan

kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan,

pencernaan, endokrin dan Penyakit Tidak Menular (PTM) lainya. Hal tersebut

disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur

dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya

mengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan

berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia, sehingga secara umum akan

2
berpengaruh pada activity of daily living (Fatmah, 2010). Berdasarkan data

Riskesdas tahun 2018, penyakit yang terbanyak pada lansia adalah untuk penyakit

tidak menular antara lain: hipertensi, masalah gigi, penyakit sendi, masalah mulut,

diabetes mellitus, penyakit jantung dan stroke, dan penyakit menular antara lain

seperti ISPA, diare, dan pneumonia.

Penyakit Tidak Menular (PTM) secara global telah menjadi salah satu

target dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 khususnya pada Goal

3: Ensure healthy lives and well-being SDGs 2030 (Kemenkes RI, 2017). Salah

satu kasus PTM adalah hipertensi. Hipertensi adalah suatu keadaan yang ditandai

dengan peningakatan tekanan sistol >140 mmHg dan diastol >90 mmHg yang

didapat lewat pengukuran dua kali secara berurutan dengan selang waktu lima

menit dalam keadaan cukup istirahat (PERHI, 2019). Sekitar 20% populasi

dewasa mengalami hipertensi lebih dari 90-95% diantara mereka menderita

hipertensi primer (esensial), sisanya mengalami kenaikan tekanan darah dengan

penyebab tertentu (hipertensi sekunder) (Kemenkes RI, 2014).

Hipertensi atau dikenal dengan peningkatan tekanan darah merupakan

permasalahan besar dalam masyarakat secara global dan berkontribusi dalam

berbagai komplikasi penyakit seperti gagal jantung, stroke, gagal ginjal serta

penyakit degeneratif lainnya yang sering mengakibatkan kematian (Sudoyo,

2015). Hipertensi membuka peluang 12 kali lebih besar untuk menderita stroke

dan 6 kali lebih besar untuk seragan jantung, serta 5 kali lebih besar untuk

mengalami gagal ginjal (Triyanto, 2014).

3
Prevalensi hipertensi di dunia pada tahun 2016 menurut World Health

Organization (WHO) pada penduduk umur >18 tahun mencapai 1 miliar orang,

dengan kasus hipertensi tertinggi berada di Amerika yaitu 35% (Widodo, 2017).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018

menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran

pada penduduk umur ≥18 tahun cenderung meningkat, dimana tahun 2013

prevalensi hipertensi yaitu 25,8% meningkat menjadi 34,11% atau dengan kasus

tertimbang 658,201 pada tahun 2018 (Kemenkes RI, 2018). Menurut Riskesdas

2018 prevalensi hipertensi di Bali menempati peringkat keenam terbanyak kasus

hipertensi yaitu sebanyak 29,1% (Depkes RI, 2018). Data dari Dinas Kesehatan

Provinsi Bali tahun 2018 menunjukkan prevalensi hipertensi yang didapat melalui

pengukuran pada umur ≥ 15 tahun, kasus hipertensi tertinggi pertama di Bali

terdapat di Kabupaten Gianyar yaitu sebanyak 284,744 kasus dan data dari Dinas

Kesehatan Kabupaten Gianyar pasien lansia (umur 60-69) yang mengidap

hipertensi di Kabupaten Gianyar yaitu sebanyak 39.100 kasus tahun 2018 dan

40.591 kasus tahun 2019 dimana kasus terbanyak terdapat di wilayah kerja UPT

Kesmas Sukawati I dengan 4.391 kasus pada tahun 2019.

Penanganan hipertensi seharusnya dilakukan secara komprehensif.

Tujuannya adalah untuk menurunkan tekanan darah yang meliputi terapi

farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologis merupakan pengelolaan

hipertensi dengan pemberian obat-obatan antihipertensi, sedangkan

penatalaksanaan nonfarmakologi melalui modifikasi gaya hidup: penurunan BB,

4
retriksi garam, aktivitas fisik, adopsi pola makan DASH, dan terapi komplementer

seperti bekam kering (Muhadi, 2016).

Bekam kering adalah tindakan non invasif, menggunakan cupping pada

titik-titik meridian dan berfungsi memperbaiki mikrosirkulasi pembuluh darah

(Sharaf, 2019). Mekanisme penyembuhan bekam pada hipertensi didasarkan atas

teori aktivasi organ, dimana bekam akan mengaktivasi organ yang mengatur aliran

darah seperti hati, ginjal, dan jantung agar organ-organ ini tetap aktif dalam

mengatur peredaran darah sehingga tekanan darah tetap terjaga. Umumnya tubuh

mampu menurunkan tekanan darah dengan cara alami. Namun apabila tekanan

darahnya sangat tinggi, mekanisme alami proses penurunan darah tidak mampu

dilakukan sehingga perlu dibantu dengan bekam (Umar, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Purwadinata, Y., dkk. (2016), dengan

teknik total sampling dengan 31 orang. Hasil penelitian menunjukkan terapi

bekam dapat menurunkan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi yang

ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,000 lebih kecil dari 0,025. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Pratama YB, dkk. (2018), dengan sampel berjumlah 22 orang

yang didapatkan secara simple random sampling menunjukkan terapi bekam

kering berpengaruh dalam menurunkan tekanan darah sistol pada lansia dengan

hipertensi.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di UPT Kesmas Sukawati

I dari hasil wawancara dengan pihak petugas UPT Kesmas Sukawati I yang

membidangi lansia didapatkan informasi data jumlah kasus hipertensi pada lansia

terbanyak berada di Desa Sukawati Gianyar, dimana jumlah lansia di Desa

5
Sukawati sebanyak 971 lansia dengan kasus hipertensi sebanyak 325 lansia.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengukuran tekanan darah dengan 10 lansia

hipertensi yang berada di Desa Sukawati, sebanyak 7 orang didapatkan hasil

pengukuran tekanan darah diatas 160/100 mmHg dimana upaya yang sudah biasa

dilakukan untuk mengontrol tekanan darah diantaranya dengan kontrol rutin ke

Puskesmas, mengkonsumsi obat anti hipertensi, melakukan aktivitas olahraga

seperti senam, dan sebanyak 3 orang didapatkan hasil pengukuran tekanan darah

140/90 mmHg adapun upaya yang biasa dilakukan lansia untuk mengontrol

tekanan darahnya, diantaranya dengan kontrol ke Puskesmas, mengkonsumsi obat

anti hipertensi, melakukan aktivitas senam, dan rutin meminum jamu tradisional,

sedangkan untuk terapi bekam kering dari 10 orang yang diwawancarai hanya 2

orang yang mengatakan pernah melihat namun belum pernah mencoba sedangkan

sisanya mengatakan sama sekali belum mengetahui tentang terapi bekam kering.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti tertarik untuk meneliti

penelitian tentang pengaruh terapi bekam kering terhadap hipertensi pada lansia di

Desa Sukawati Wilayah Kerja UPT Kesmas Sukawati I.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut: apakah ada pengaruh terapi bekam kering terhadap

hipertensi pada lansia?.

1.3 Tujuan Penelitian

6
1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi

bekam kering terhadap hipertensi pada lansia.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi hipertensi sebelum diberikan terapi bekam kering pada

lansia di Desa Sukawati wilayah kerja UPT Kesmas Sukawati I

2. Mengidentifikasi hipertensi setelah diberikan terapi bekam kering pada lansia

di Desa Sukawati wilayah kerja UPT Kesmas Sukawati I

3. Menganalisis pengaruh terapi bekam kering sebelum dan sesudah intervensi

pada lansia di Desa Sukawati wilayah kerja UPT Kesmas Sukawati I

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat teoritis dari penelitian ini, yaitu :

1. Bagi institusi pendidikan

Dapat mengembangkan dan menambah wawasan di keperawatan gerotik

tentang pengaruh terapi bekam kering terhadap lansia dengan hipertensi sehingga

diharapkan dapat bermanfaat bagi pengetahuan tentang keperawatan gerontik.

2. Penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengalaman

penelitian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan mengenal pengaruh terapi

bekam kering terhadap lansia dengan hipertensi

1.4.2 Manfaat praktis dari penelitian ini, yaitu :

7
1. Perawat Puskesmas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan oleh perawat puskesmas

sebagai alternatif terapi untuk menangani lansia dengan hipertensi

2. Bagi lansia

Diharapkan lansia dapat mempergunakan terapi bekam kering sebagai

salah satu alternatif atau pilihan intervensi bagi lansia untuk mengatasi hipertensi

dalam rangka meningkatkan kualitas hidup.

1.5 Keaslian Penelitian

1. Susi Susanah, Ani Sutriningsih, & Warsono (2017), tentang pengaruh terapi

bekam terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di

Poliklinik Trio Husada Malang. Desain penelitian ini adalah quasi

experimental dengan one group pretest-posttest design. Jumlah sampel

sebanyak 23 responden sesuai kriteria inklusi yaitu tahap 2 hipertensi dengan

melakukan 1 kali intervensi sebelum dan sesudah terapi bekam. Hasil uji

statistik ditemukan adanya perubahan pada tekanan darah yaitu terjadi

penurunan dengan selisih nilai mean pada sistole (11,74) dan diastole (7,39).

Uji statistik yang digunakan yaitu uji wilcoxon pada sistole dan diastole

menunjukan nilai (p = 0,000) yang berarti nilai p < 0,50 sehingga H1 diterima

yang artinya terdapat pengaruh terapi bekam terhadap penurunan tekanan

darah pada penderita hipertensi di Poliklinik Trio Husada Malang. Perbedaan

dari penelitian ini adalah tempat penelitian, waktu penelitian, jumlah titik dan

cupp yang digunakan yaitu 13 titik dan metode penelitiannya menggunakan

pra experimental dengan one group pretest-posttest design.

8
2. Muflih Muflih & Mohamad Judha (2019), tentang efektivitas jumlah cop,

durasi dan lokasi titik terapi bekam dengan penurunan nilai tekanan darah

pada pasien di Klinik Keperawatan Sehat Migoenani Klaten. Metode

penelitian ini menggunakan metode Quasy experimental one group pre post

test. Sampel berjumlah 40 orang, yang terdiri dari 20 laki-laki dan 20

perempuan. Data hasil analisa pengukuran tekanan darah pada pasien yang

menjalani terapi bekam dilakukan pengukuran dengan tensi digital dan

dilakukan uji hipotesisi secara statistik. Teknik sampel menggunakan quota

sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi bekam efektif

menurunkan rerata 20 mmHg tekanan darah sistolik dan diastolik dengan

jumlah lokasi titik bekam 1-3 lokasi, jumlah kop 18-24 dan selama 25-30

menit terapi melalui proses stimulasi zat nitritoksida yang menyebabkan

terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer. Kesimpulan penelitian ini

diperoleh bahwa variasi penurunan tekanan darah pada terapi bekam daapt

ditentukan dari jumlah kop, durasi dan lokasi titik bekam. Perbedaan dari

penelitian ini adalah variabel, tempat penelitian, waktu penelitian dan jumlah

sampelnya.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia (Lansia)

2.1.1 Pengertian Lanjut Usia

Lanjut usia (lansia) adalah tahap lanjut suatu proses kehidupan yang

dijalani setiap individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk

beradaptasi dengan stress lingkungan (Azizah, 2011). Lansia merupakan suatu

tahap akhir dari siklus kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses

sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai

sejak permulaan hehidupan dan menjadi tua merupakan proses alamiah (Nugroho,

2014).

Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat

menjadi seorang yang lemah dan rentan. Berkurangnya sebagian besar cadangan

sistem fisiologis dan meningkatkan kerentanan terhadap berbagai penyakit dan

kematian. Menua juga didefinisikan sebagai penurunan seiring waktu yang terjadi

pada sebagian besar makhluk hidup, yang berupa kelemahan, meningkatnya

kerentanan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan, serta perubahan

fisiologis yang terkait usia (Maryam, 2010).

2.1.2 Pembagian Lanjut Usia

WHO (1969) dalam Nugroho (2014) menyampaikan ada empat tahap

batasan umur yaitu :

1. Usia pertengahan (middle age) (45-59 tahun)

2. Lanjut usia (eldery) (60-74 tahun)


3. Lanjut usia tua (old) (75-90 tahun)

4. Usia sangat tua (very old) (diatas 90 tahun)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan

lanjut usia. Pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2, yang disebut dengan lanjut usia adalah

seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas, baik pria maupun wanita.

2.1.3 Masalah-Masalah pada Lanjut Usia

Masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia yang terjadi pada orang

dewasa, yang menurut artikel (Siburian, 2011) sering disebut dengan istilah 14 I

yaitu:

1. Immobility (kurang bergerak)

Kurang bergerak yaitu gangguan fisik, jiwa dan faktor lingkungan dapat

menyebabkan lansia kurang bergerak. Penyebab yang paling sering adalah

gangguan tulang, sendi dan otot, gangguan saraf, penyakit jantung, dan pembuluh

darah

2. Instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh)

Instability adalah penyebab terjatuh pada lansia dapat berupa faktor

instrinsik (hal-hal yang berkaitan dengan keadaan tubuh menderita) baik karena

proses menua, penyakit maupun faktor ekstrinsik (hal-hal yang berasal dari luar

tubuh) seperti obat-obatan dan faktor lingkungan. Akibat yang paling sering dari

terjatuh pada lansia adalah kerusakan bagian tertentu dari tubuh yang

mengakibatkan rasa sakit, patah tulang, cedera kepala, luka bakar karena air panas

akibat terjatuh kedalam tempat mandi. Terjatuh menyebabkan lansia tersebut

sangat membatasi menyebabkan kematian atau gangguan fisik yang berat, tetapi

11
kejadian ini haruslah dianggap bukan merupakan peristiwa yang ringan. Terjatuh

pada lansia dapat menyebabkan gangguan psikologi, berupa hilangnya harga diri

dan perasaan takut akan terjatuh lagi.

3. Incontinence (BAK dan atau BAB)

Buang Air Kecil (BAK) merupakan salah satu masalah yang sering terjadi

pada lansia, dengan keluarnya air seni tanpa disadari, hal ini cukup

mengakibatkan maslah kesehatan atau social. BAK merupakan masalah yang

seringkali terjadi dan dianggap wajar dan normal pada lansia. Lansia dengan BAK

sering mengurangi minum dengan harapan keluhan tersebut. Sehingga lansia

mengalami kekurangan cairan dan berkurangnya kemampuan kandung kemih.

4. Intellectual impairment (gangguan intelektual/demensia)

Gangguan intelektual merupakan kumpulan gejala klinis yang meliputi

gangguan fungsi ingatan. Kejadian ini meningkatkan dengan cepat mulai usia 60

sampai 85 tahun atau lebih.

5. Infection (Infeksi)

Infeksi merupakan masalh kesehatan yang penting pada lansia. Beberapa

faktor risiko yang menyebabkan lansia mudah mendapat penyakit infeksi karena

daya tahan tubuh yang sangat berkurang, kekurangan gizi, kekebalan tubuh yang

menurun dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi.

6. Impairment of vision hearing, taste, smell, communication, convelescense skin

integrity (gangguan panca indera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit)

Gangguan panca indera, komunikasi, peyembuhan, dan kulit akibat dari

proses menua semua panca indera fungsinya berkurang, serta gangguan pada otak,

12
saraf dan otot-otot yang digunakan untuk berbicara dapat menyebabkan

terganggunya komunikasi, sedangkan kulit pada lansia lebih kering, rapuh, dan

mudah rusak dengan trauma yang minimal.

7. Impaction (sulit buang air besar)

Sulit buang air besar (konstipasi) beberapa faktor yang mempermudah

terjadinya konstipasi, seperti kurangnya gerakan fisik, asupan makanan yang

kurang mengandung serat, kurang minum, akibat pemberian obat-obatan tertentu.

Pada konstipasi, kotoran di dalam usus menjadi keras dan kering, lebih beratnya

dapat terjadi penyumbatan pada usus serta rasa sakit.

8. Isolation (depresi)

Depresi merupakan suatu keadaan yang menekan, berbahaya dan

memerlukan perawatan aktif yang dini. Depresi diartikan kehilangan minat atau

kesenangan terhadap semua aktifitas. Bertambahnya penyakit dan berkurangnya

kemandirian pada lansia menjadi pemicu munculnya depresi. Gejala-gejala

depresi dapat berupa perasaan sedih, tidak bahagia, mudah lelah dan menurunnya

aktivitas, merasa rendah diri, merasa tidak berguna, tidak ingin hidup bahkan

bunuh diri dan gejala fisik lainnya. Lanjut usia sering timbul depresi terselubung,

berdebar, nyeri punggung, gangguan pencernaan dan lain-lain.

9. Inantion (kurang gizi)

Kurang gizi pada lansia dapat disebabkan perubahan lingkungan maupun

kondisi kesehatan. Faktor lingkungan berupa ketidaktahuan untuk memilih

makanan yang bergizi. Isolasi social, terutama karena gangguan panca indera,

13
sedangkan faktor kesehatan berupa penyakit fisik, mental, gangguan tidur,

alkoholis, dan obat-obatan.

10. Impecinity (tidak memiliki uang)

Tidak memiliki uang dengan semakin bertambahnya usia, maka

kemampuan fisik dan mental akan berkurang secara perlahan-lahan, yang

menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau menyelesaikan

pekerjaan sehingga tidak dapat memberikan penghasilan.

11. Iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan)

Penyakit akibat obat-obatan merupakan salah satu yang sering didapati

pada lansia adalah menderita penyakit lebih dari satu jenis sehingga

membutuhkan obat yang lebih banyak. Sebagian lansia sering menggunakan obat

dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan dokter dapat menyebabkan

timbulnya penyakit akibat pemakaian obat-obatan yang digunakan.

12. Insomnia (gangguan tidur)

Gangguan tidur merupakan keadaan seseorang tidak bisa tidur dalam

waktu yang cukup. Dua proses normal yang paling penting didalam kehidupan

manusia adalah makan dan tidur. Sehingga keduanya sangat penting dan sangat

rutin, tetapi manusia sering melupakan akan proses itu, dan baru setelah adanya

gangguan pada kedua proses tersebut. Jadi dalam keadaan normal (sehat), maka

pada umumnya manusia dapat menikmati makan enak dan tidur nyenyak.

Berbagai keluhan gangguan tidur yang sering dilaporkan oleh para lansia, yakni

sulit untuk masuk proses tidur. Stadium dari tidurnya tidak dalam dan mudah

14
terbangun, tidurnya memiliki banyak mimpi, jika terbangun sulit untuk tertidur

kembali, terbangun dini hari, lesu setelah bangun di pagi hari.

13. Immune deficiency (daya tahan tubuh menurun)

Daya tahan tubuh yang menurun pada lansia merupakan salah satu fungsi

tubuh yang terganggu dengan bertambahnya umur seseorang walaupun tidak

selamanya hal ini disebabkan oleh proses menua, dapat pula karena berbagai

keadaan seperti penyakit yang sudah lama diderita (menahun) maupun penyakit

yang baru saja diderita (akut) dapat menyebabkan penurunandaya tahan tubuh

seseorang. Penggunaan berbagai obat, keadaan gizi yang kurang, penurunan

fungsi organ-organ tubuh, dan lain-lain dapat menyebabkan penurunan daya tahan

tubuh.

14. Impotence (impotensi)

Impotensi merupakan ketidakmampuan untuk mencapai dan

mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan senggama yang memuaskan

yang terjadi paling sedikit 3 bulan. Menurut Masschusetts Male Aging Study

(MMAS), bahwa penelitian yang dilakukan pada pria usia 40-70 tahun yang

diwawancarai ternyata 52% menderita disfungsi ereksi, yang terdiri dari disfungsi

ereksi total 10%, disfungsi ereksi sedang 25% dan minimal 17%. Penyebab

disfungsi ereksi pada lansia adalah hambatan aliran darah ke dalam alat kelamin

sebagai adanya kekakuan pada dinding pembuluh darah (arterioklerosis) baik

karena proses menua maupun penyakit, dan berkurangnya sel-sel otot polos yang

terdapat pada alat kelamin, serta berkurangnya kepekaan dari alat kelamin pria

terhadap rangsangan.

15
2.1.4 Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lansia

2.1.4.1 Perubahan Fisik dan Fungsi

Constantinides (1994) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu

proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga

tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita

(Nugroho, 2008).

Perubahan fisik pada lansia mencakup perubahan sel, sistem indera, sistem

musculoskeletal, sistem kardiovaskuler dan respirasi, pencernaan dan

metabolisme, perkemihan, sistem saraf dan sistem reproduksi ( Azizah, 2011.)

1. Sistem Sel

Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, berkurangnya

jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler, menurunnya proporsi

protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati, jumlah sel otak menurun,

terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofi, beratnya

berkurang 5-10% (Nugroho, 2008).

2. Sistem persarafan

Terjadi penurunan berat otak sebesar 10-20%, cepatnya menurun

hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya

stres, mengecilnya saraf panca indra, serta kurang sensitifnya terhadap sentuhan.

Pada sistem pendengaran terjadi presbiakusis (gangguan dalam pendengaran)

hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap bunyi-

bunyi atau nada-nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata,

16
otosklerosis akibat atrofi membran timpani, serta biasanya pendengaran

bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/ stress

(Nugroho, 2008).

3. Sistem pendengaran

Gangguan pendengaran. Hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam,

terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit

mengerti kata-kata, 50% lebih terjadi pada usia diatas umur 65 tahun. Membrane

timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis. Terjadinya pengumpulan

serumen, dapat mengeras karena meningkatnya keratin. Pendengaran menurun

pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/ stress (Untari, 2016).

4. Sistem penglihatan

Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih

terbentuk sferis (bola), kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak,

meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih

lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi,

menurunnya lapangan pandang, serta menurunnya daya membedakan warna biru

atau hijau (Nugroho, 2008).

5. Sistem pengaturan

Temperatur tubuh terjadi hipotermi secara fisiologis akibat metabolisme

yang menurun, keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi

panas akibatnya aktivitas otot menurun (Nugroho, 2008).

6. Sistem kardiovaskuler

17
Terjadi penurunan elastisitas aorta, katup jantung menebal dan menjadi

kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun, kurangnya elastisitas

pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi,

perubahan posisi dari tidur ke duduk atau dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan

tekanan darah menurun, mengakibatkan pusing mendadak, serta meningginya

tekanan darah akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (Nugroho,

2008).

7. Sistem respirasi

Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya

aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat,

kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun,

ukuran alveoli melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, kemampuan untuk

batuk berkurang, serta kemampuan kekuatan otot pernafasan menurun (Nugroho,

2008).

8. Sistem gastrointestinal

Terjadi kehilangan gigi akibat periodontal disease, kesehatan gigi yang

buruk dan gizi yang buruk, indra pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf

pengecap di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit, esofagus melebar,

rasa lapar menurun, asam lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya

timbul konstipasi, serta melemahnya daya absorbsi (Nugroho, 2008).

9. Sistem reproduksi

Terjadi penciutan ovari dan uterus, penurunan lendir vagina, serta atrofi

payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi spermatozoa

18
meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur, kehidupan seksual dapat

diupayakan sampai masa lanjut usia asal kondisi kesehatan baik (Nugroho, 2008).

10. Sistem perkemihan

Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, otot-

otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan

terkadang menyebabkan retensi urin pada pria (Nugroho, 2008).

11. Sistem endokrin

Terjadi penurunan semua produksi hormon, mencakup penurunan aktivitas

tiroid, BMR, daya pertukaran zat, produksi aldosteron, progesteron, estrogen, dan

testosteron (Nugroho, 2008).

12. Sistem integumen

Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan

kulit kasar dan bersisik kerana kehilangan proses keratinisasi, serta perubahan

ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis, rambut menipis berwarna kelabu, rambut

dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunya

cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras

dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya, serta kelenjar keringat yang berkurang

jumlah dan fungsinya (Nugroho, 2008).

13. Sistem musculoskeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh, kifosis, pergerakan

pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan menjadi kaku,

tendon mengerut dan mengalami sclerosis, sertaatrofiserabut otot (Nugroho,

2008).

19
2.1.4.2 Perubahan Kognitif

Lansia mengalami penurunan daya ingat, yang merupakan salah satu

fungsi kognitif. Ingatan jangka panjang mengalami perubahan, sedangkan ingatan

jangka pendek memburuk. Lansia akan kesulitan mengungkapkan kembali cerita

atau kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya (Azizah, 2011).

2.1.4.3 Perubahan Spiritual

Agama atau kepercayaan makin berintegrasi dalam kehidupan lansia

(Maslow, 2003 dalam Azizah, 2011). Nugroho (2014) menyatakan lansia makin

teratur dalam menjalankan rutinitas kegiatan keagamaannya sehari-hari. Lansia

juga cenderung tidak terlalu takut terhadap konsep dan realitas kematian.

2.1.4.4 Perubahan Psikososial

Perubahan psikososial yang dialami oleh lansia, yaitu masa pension,

perubahan aspek kepribadian, dan perubahan dalam peran social di masyarakat.

Pensiun adalah tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan

perubahan peran yang menyebabkan stress psikososial. Respon yang ditujukan

oleh lansia, yaitu perilaku regresi (Stanley & Beare, 2006 dalam Silvanasari,

2016).

2.1.4.5 Perubahan Fungsi dan Potensi Seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia seringkali berhubungan

dengan berbagai gangguan fisik. Menurut Kontjoro (2002) dalam Silvanasari

(2012) faktor psikologis yang menyertai lansia berkaitan dengan seksualitas,

yaitu: rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.

20
Sikap keluarga dan masyarakat juga kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi

dan budaya.

2.1.4.6 Perubahan Pola Tidur dan Istirahat

Perubahan pada otak akibat proses penuaan menghasilkan inhibisi dan

eksitasi dalam sistem saraf. Bagian korteks dapat berperan sebagai inhibitor pada

sistem terjaga dan fungsi inhibisi ini menurun seiring dengan bertambahnya usia.

Korteks frontal juga mempengaruhi alat regulasi tidur. Penurunan aliran darah dan

perubahan pada mekanisme neurotransmitter dan sinapsis yang berperan penting

dalam pengaturan tidur dan terjaga yang dikaitkan dengan faktor pertambahan

usia. Faktor ekstrinsik juga dapat mempengaruhi yaitu seperti pensiun, perubahan

pada kebutuhan beraktivitas dan kebutuhan energi sehari-hari serta mengarah pada

perubahan yang tiba-tiba pada kebutuhan tidur. Keadaan social dan psikologis

yang terkait dengan faktor kehilangan dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya

depresi pada lansia, yang kemudian dapat mempengaruhi pola tidur terjaga lansia.

Pola tidur dapat dipengaruhi oleh lingkungan, bukan seluruhnya akibat proses

penuaan (Garcia-Garcia & Drucker-Colin, 2009, dalam Silvanasari, 2012).

2.2 Konsep Hipertensi

2.2.1 Pengertian

Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan

pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplay oksigen dan nutrisi,yang di

bawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan.

Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana

21
seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang ditujukan

oleh angka sistolik bagian atas dan bagian bawah diastolik pada pemeriksaan

tekanan darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa cuff

air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital lainnya (Pujiastuti, 2013).

tekanan darah tinggi atau yag dikenal dengan hipertensi merupakan suatu

meningkatnya tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan

suatu keadaan tanpa gejala, dimana dimana tekanan darah abnormal tinggi di

dalam arteri menywbabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisme, gagal

jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal.

Pada umumnya, tekanan darah memang akan berubah sesuai dengan

aktifitas fisik dan emosi seseorang. Tekanan darah adalah tenaga yang digunakan

untuk memompa darah keseluruh tubuh. Tentunya agar setiap bagian tubuh

mendapat oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah. Besarnya tekanan darah

yang dibuthkan akan sesuai dengan mekanisme tubuh jika tidak ada gangguan.

Namun, tekanan akan meningkat jika terjadi hambatan atau gangguan dalam

proses tersebut seseorang dikatakan mengalami hipertensi atau penyakit tekanan

darah tinggi jika pemeriksaan pemeriksaan tekanan darah menunjukkan hasil

diatas 140/90 mmHg atau lebih dalam keadaaan istirahat dengan dua kali

pemeriksaan, dan selang waktu lima menit. Dalam hal ini, 140 nilai diatas

menunjukkan tekanan sistolik, sedangkan 90 atau nilai bawah menunjukkan

tekanan diastolik. Tekanan sistolik adalah tekanan ketika jantung berkontraksi

atau berdetak memompa darah. Sementara itu, tekanan diastolic adalah tekanan

darah ketika jantung berelaksasi. Pada saat beristirahat, istolik dikatakan normal

22
jika berada pada nilai 60-90 mmHg (Sari, 2017). Berdasarkan beberapa pengertian

diatas, dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah suatu keadaaan dimana

seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yaitu tekanan

sistolik lebih dari dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih lebih dari 90

mmHg.

2.2.2 Klarifikasi

2.2.2.1 Klarifikasi tekanan darah berdasarkan derajat hipertensi

Menurut Potter dan Perry (2007), hipertensi sistolik adalah tekanan

diastolik mencapai 140 mmHg atau lebih sedangkan tekanan diastolik mencapai

90 mmHg atau lebih. Oleh karena, hipertensi dapat dikategorikan berdasarkan

MAP (Mean Arterial Presure). MAP adalah tekanan darah antara sistolik dan

diastolik, karena diastolic berlangsung lebih lama daripada sistolik maka MAP

setara dengan 40% tekanan sistolik ditambah 60% tekanan diastolic (Woods,

Froelicher, Motzer, & Bridges, 2009). Adapun rumus MAP adalah tekanan darah

sistolik ditambah dua kali tekanan darah diastolik dibagi 3. Rentang normal MAP

adalah 70 mmHg-99 mmHg.

Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi orang dewasa berusia diatas 18 tahun
berdasarkan nilai Mean Arterial Presure

Klasifikasi Nilai MAP


Normal 70-99 mmHg
Normal Tinggi 100-105 mmHg
Stadium 1 (hipertensi ringan) 106-119 mmHg
Stadium 2 (hipertensi sedang) 120-132 mmHg
Stadium 3 (hipertensi berat) 133-149 mmHg
Stadium 4 (hipertensi maligna / sangat berat) 150 mmHg atau lebih
Sumber : Journal of hypertension JNC-8

23
2.2.2.2 Klasifikasi berdasarkan etiologi :

Selain klasifikasi di atas, hipertensi juga dapat dilasifikasikan berdasarkan

penyebabnya, yaitu hipertensi primer/ hipertensi esensial dan hipertensi

sekunder/hipertensi non esensial.

1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer

Hipertensi ini didefinisikan sebagai hipertensi yang tidak disebabkan oleh

adanya organ lain, seperti faktor keturunan, pola hidup yang tidak seimbang,

keramaian, stress, dan pekerjaan. Sikap yang dapat menyebabkan hipertensi,

seperti konsumsi tinggi lemak, garam, aktivitas yang rendah, kebiasaan merokok,

alkohol, dan kafein. Sebagian besar hipertensi primer disebabkan oleh faktor

stress (Shyanti, 2014).

2. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder, yaitu hipertensi yang disebabkan oleh gangguan

ginjal, endokrin, dan kekakuan aorta (Shanty, 2014). Hipertensi sekunder meliputi

5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain: hipertensi

akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat,

obat-Taobatan dan lainnya (Syamsudin, 2011). Hipertensi sekunder didefinisikan

sebagai peningkatan tekanan darah karena suhu kondisi fisik yang ada

sebelumnya sperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid (Udijanti, 2011).

Hipertensi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuknya, yaitu

hipertensi diastolik atau diastolic hypertension merupakan hipertensi yang biasa

ditemukan pada anak-anak atau dewasa muda. Hipertensi ini disebut hipertensi

diastolik karena terjadi peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti oleh

24
peningkatan tekanan sistolik. Hipertensi sistolik atau isolated systolic

hypertension adalah peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan

tekanan diastolik. Sementara itu, hipertensi campuran adalah suatu keadaan medis

yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru

saat beraktivitas. Hal ini menyebabkan terjadinya sesak napas, pusing, bahkan

pingsan. Berdasarkan National Institute Of Health dalam Kementerian Kesehatan

RI (2014), seseorang dikatakan penderita hipertensi pulmonal jika memiliki

tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau “mean” tekanan arteri

pulmonalis lebih dari 25 mmHg saat keadaan istirahat, atau lebih dari 30 mmHg

saat beraktifitas serta tidak ditemukan adanya kelainan katup pada jantung kiri,

kelaian paru, penyakit jantung kongenital dan penyakit myocardium. Hipertensi

pulmonal primer biasanya menyerang usia muda atau usia pertengahan,

sertavlebih sering ditemukan pada perempuan. Hipertensi jenis ini dapat menjadi

penyakit berat yang ditanfdai dengan penurunan toleransi dalam melakukan

aktivitas dan timbulnya gagal jantung kanan (Sari, 2017).

2.2.3 Etiologi

Etiologi Menurut Arita Murwani (2011) penyebab hipertensi ada 2 jenis

diantaranya:

1. Faktor yang tidak dapat dirubah:

1) Ras

Amerika Serika, hipertensi paling banyak dialami oleh oorang berkulit

hitam keturunan Afrika-Amerika dibandingkan dengan kelompok ras lain.

2) Usia

25
Perubahan usia dapat meningkatkan risiko terjadi hipertensi. Walaupun

hipertensi bisa terjadi pada segala usia, tetapi paling sering mmenyerang orang

dewasa berusia 35 tahun atau lebih. Kejadian hipertensi cenderung meningkat

seiring dengan pertabahan usia. Jenis hipertensi yang dijumpai pada kelompok

lansia adalah hipertensi sistolik terisolasi.

3) Riwayat keluarga

Jika salah satu orangtua kita menderita hipertensi, sepanjang hidup kita

memiliki risiko terkena hipertensi sebesar 25%. Jika kedua orang tua kita

menderita hipertensi kemungkinan kita terkena hipertensi sebesar 60%.

4) Jenis kelamin

Diantara orang dewasa dan setengah baya, kaum laki-laki lbih banyak

menderita hipertensi dibandingkan dengan kaum wanita. Namun hal ini akan

terjadi sebaliknya setelah umur 55 tahun ketika sebagian wanita mengalami

menopause. Hipertensi lebih banyak dijumpai pada wanita.

2. Faktor yang dapat dirubah :

1) Obesitas

Kelebihan berat badan meningkatkan risiko seorang terserang hipertensi.

Semakin besar indeks masa tubuhnya, semakin banyak darah yang dibuutuhkan

untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Berarti volume darah

26
yang beredar melalui pembuluh darah meningkat sehingga akan memberi tekanan

lebih besar ke dinding arteri. Selain itu, obesitas dapat meningkatkan frekuensi

denyut jantung dan kadar insulin dalam darah.

2) Sindrom resistensi insulin (sindrom metabolik)

3) Kurang gerak

Kurang melakukan aktifitas fisik dapat mengakibatkan risio seseorang

terserang hipertensi.

4) Merokok

Zat kimia dalam tembakau dapat merusak lapisan dinding arteri sehingga

arteri lebih rentan terhadap penumpukan plak. Nikotin dalam tembakau dapat

membuat jantung bekerja lebih keras karena terjadi penyempitan pembuluh darah

sementara. Selain itu juga dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dan

tekanan darah. Keadaan ini terjadi karena adanya peningkatan produksi hormone

selama kita menggunakan tembakau, termasuk hormone epinefrin (adrenalin).

Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan oksigen dalam darah.

Akibatnya, tekanan darah meningkat karena jantung dipaksa bekerja lebih keras

untuk memaso oksigen ke seluruh organ dan jaringan tubuh.

5) Sensitifitas natrium

Tubuh membutuhkan sejumlah mineral dan natrium untuk

mempertahankan kimia sel secara baik. Sumber utama natrium adalah garam meja

yang terdiri dari 40% natrium dan 60% klorida. Orang yang lebih sensitive

terhadap natrium akan lebih mudah menahan natrium dalam tubuhnya sehingga

27
terjadi retensi air dan peningkatan tekanan darah. Semakin tua usia seseorang

semakin sensitivitas terhadap natrium semakin tinggi.

6) Kadar kalium rendah

Kalium berfungsi sebagai penyimpan jumlah natrium dalam cairan sel.

Kelebihan natrium dalam sel dapat dibebaskan melalui filtrasi lewat ginjal dan

dilkeluarkan bersama urine. Juka makanan yang dikunsumsi kurang mengandung

kalium atau tubuh tidak mempertahankannya dalam jumlah yang cukup, jumlah

natrium akan menumpuk dan keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya penyakit

hipertensi.

7) Minum minuman beralkohol secara berlebihan

Penyalahgunaan alkoho dapat menyebabkan meningkatnya masalah-

masalah yang disebabkan oleh konsumsi alkohol tersebut.

8) Stress

Stress tidak menyebabkan hipertensi permanen (menetap) namun, stress

berat dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah menjadi sangat tinggi untuk

sementara waktu. Jika sering mengalami stress, akan terjadi kerusaan pada

pembuluh darah, jantung, dan ginjal seperti hipertensi permanen.

2.2.4 Patofisiologi

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak di vasomotor, pada medulla di otak, dari saraf pusat vasomotor bermula

jarak saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari

kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan

28
pusat vasomotor dihantarkan daam bentuk impuls yang bergerak kebawah melalui

sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis, pada titik vasomotor neuron

preganglion melepaskan asetilkolin, yang merangsang serabut saraf pasca

ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepineprin

mengakibatkan kontriksi pembuluh darah. Berbagai faktor kecemasan dan

ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan

vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepineprin,

meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut terjadi (Guyton &

Hall, 2012).

Kemampuan ginjal untuk mengatur tekanan arteri melalui perubahan

volume cairan ekstrasel, ginjal juga memiliki mekanisme yang kuat lainnya untuk

mengatur tekanan. Mekanisme ini adalah system rennin-angiotensin. Renin adalah

suatu enzim protein yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat

rendah. Enzim ini meningkatkan tekanan arteri melalui beberapa cara, jadi

membantu mengoreksi penurunan tekanan (Guyton & Hall, 2012).

Hipertensi mengakibatkan penyempitan pembuluh darah yang bisa

menyebabkan pengatupan pembuluh darah (vasokontriksi) karena stress atau

penyempitan pembuluh darah yang permanen seperti pada aterosklerosis dan

kerusakan organ diujung aliran darah yang menghalangi aliran tersebut seperti

pada penyakit ginjal kronis. Kerusakan pada jaringan ginjal menghasilkan zat

yang disebut renin. Renin akan mengaktifkan pelepasan angiotensin dan

aldosterone yang pada gilirannya menaikkan pembuluh darah, karena tekanan

darah yang besar terjadi mendadak dalam keadaan stress baik emosional maupun

29
fisik dapat membawa akibat stroke maka pasien hipertensi, semua faktor

cenderung mencetus keadaan hipertensi untuk pertimbangan gerontology,

perubahan struktur dan fungsional pada system pembuluh darah ferifer

bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah. Perubahan tersebut meliputi

aterosklerosis hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi

otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi

dan daya rangsang pembuluh darah. Tekanan darah sangat mempengaruhi

terhadap tingginya desakan darah. Tekanan ini terjadi pada pembuluh darah

ferifer, tahanan terbesar dialami oleh arteri sehingga perbedaan desakan besar bila

arteri menyempit dan akan menaikkan desakan darah meningkat dan elastisitas

pembuluh darah menurun sesuai umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan

elastisitas aorta dan pembuluh darah besar dan mengakibatkan peningkatan

tekanan darah sistolik (Murwani, 2011).

1. Sistem baroreseptor arteri

Baroreseptor arteri terutama ditemukan disinus carotid, tapi juga dalam

aorta dan dinding ventrikel kiri. Baroreseptor ini memonitor derajat tekanan arteri.

Sistem baroreseptor meniadakan peningkatan tekanan arteri melalui mekanisme

pelambatan jantung oleh respon vagal (stimulus parasimppatis) dan vasodilatasi

dengan penurunan tonus simpatis (Udijanti, 2011).

2. Pengaturan volume cairan tubuh

Tekanan darah meningkat melalui mekanisme fisiologis kompleks yang

merubah aliran balik vena ke jantung dan mengakibatkan peningkatan curah

30
jantung. Bila ginjal berfungsi secara adekuat, peningkatan arteri mengakibatkan

dieresis dan peningkatan tekanan darah (Udijanti, 2011).

3. Sistem renin angiotensin

Mekanisme adalah renin-angiotensin, renin adalah suatu enzim protein

yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Renin bekerja

sebagai enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang disebut

substrat renin (angiotensinogen), untuk melepaskan peptide asam amino 10,yaitu

angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi

tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsionl yang bermakna dalam

fungsi sirkulasi (Guyton & Hall, 2012).

4. Autoregulasi vascular

Autoregulasi vascular merupakan mekanisme lain yang terlibat dalam

hipertensi. Autoregulasi vesicular adalah suatu proses yang mempertahankan

perfusi jaringan dalam tubuh relative konstan. Ketika aliran berubah, proses-

proses autoregulasi akan menurunkan tekanan vascular dan mengakibatkan

pengurangan aliran, sebaliknya akan mengakibatkan tekanan vaskular tampak

menjadi mekanisme penting dalam menimbulkan hipertensi berkaitan dengan

overlood garam dan air (Udijanti, 2011).

2.2.5 Manifestasi Klinis

Menurut TIM POKJA (2015) mengemukakan bahwa manifestasi klinik

sering tidak nampak. Pada beberapa sistem mengeluh sakit kepala,pusing, lemas,

sesak nafas, dan kelelahan, kesadaran menurun, mual, gelisah, muntah, kelemahan

otot, bahkan ada yang mengalami perubahan mental.

31
2.2.6 Penatalaksanaan Hipertensi

2.2.6.1 Non farmakologis

1. Salah satu penanganan non farmakologis dalam menyembuhkan penyakit

hipertensi yaitu dengan terapi komplementer. Menurut The national institute

of health (NIH) terapi komplementer dibagi menjadi lima kategori menurut

Cahyono (2011) yaitu:

1) Terapi biologi: dengan herbal, diet khusus, dan vitamin

2) Metode manipulasi tubuh: akupresur, pijat dan refleksiologi

3) Mind-body medicine: meditasi, hypnosis, doa, musik, dan humor

4) Aromaterapi

5) Pendekatan medis yang berbasis sistem: akupuntur, bekam dan ayur weda

Bekam merupakan istilah yang dikenal dalam bahasa Melayu, bahasa Arab

mengenalnya sebagai Hijamah, dalam bahasa Inggris dikenal sebagai cupping,

sedangkan orang Indonesia mengenalnya sebagai cantuk atau kop. Terapi bekam

diyakini oleh masyarakat Islam di Indonesia sebagai metode yang dianjurkan oleh

Rasulullah untuk mengobati berbagai kondisi penyakit (Ridho, 2012). Penelitian

yang dilakukan Anees (2015) menyebutkan bahwa selama dilakukan

pembekaman, tubuh akan memproduksi nitrit oksida yang berfungsi untuk

melancarkan peredaran darah sehingga tekanan darah menjadi normal. Jika nitrit

oksida tidak normal dapat menyebabkan gangguan tubuh yang disebabkan karena

terganggunya peredaran darah seperti hipertensi.

Tekanan negative yang diberikan terapi bekam menyebabkan peregangan

pada kulit dan jaringan yang mendasari serta peleburan kapiler, hal ini dapat

32
merangsang peningkatan aliran darah jaringan . pelebaran pembuluh darah dapat

menyebabkan penurunan tekanan darah (Ting Li, dkk., 2017., lowe, 2017).

2. Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan

darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan resiko

permasalahan kardiovaskuler. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat I,

tanpa faktor resiko kardiovaskuler lain, maka strategi pola hidup sehat

merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4-6

bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut tidak didapatkan penurunan tekanan

darah yang diharapkan atau didapatkan factor resiko kardiovaskuler yang lain,

maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi non farmakologi.

Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines

menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI, 2015)

diantaranya:

1) Penurunan berat badan

Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran

dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan

darah, seperti diabetes dan dislipidemia.

2) Mengurangi asupan garam

Di Negara kita makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan

tradisional pada kebanyakan daerah, tidak jarang pula pasien tidak menyadari

kandungan garam pada makanan kaleng, daging olahan, dan sebagainya. Tidak

jarang diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat

33
anthihipertensi pada penderita hipertensi derajat 2 dianjurkan untuk asupan garam

tidak melebihi 2 gr/hari.

3) Olahraga

Olahraga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30-60 menit/hari,

minimal 3 hari/minggu dapat menolong penurunan tekanan darah terhadap pasien

yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, ebaiknya harus tetap

dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam

aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.

4) Mengurangi konsumsi alkohol

Walaupun konsumsi alkohol belum menjadi pola hidup yang umum di

Negara kita, namun konsumsi alkohol semakin hari semakin meningkat seiring

dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar.

5) Berhenti merokok

Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat

menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu factor resiko

utama penyakit kardiovaskuler dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti

merokok.

2.2.6.2 Terapi farmakologi

Secara umum terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien

hipertensi derajat I yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah <6

bulan menjadi pola hidup sehat pada pasien dengan hipertensi derajat 2 beberapa

34
prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga

kepatuhan dan meminimalisir efek samping yaitu :

1. Bila memungkinkan obat dosis tunggal

2. Berikan obat generik (non paten) bila sesuai dapat mengurangi biaya

3. Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 lanjut) seperti pada usia

55-80 tahun dengan memperhatikan faktor komoroid

4. Berikan dukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi

5. Lakukan penentuan efek samping obat secara teratur

Terapi obat pada penderita hipertensi dimulai dengan salah satu obat

berikut (Wijaya, 2013):

1. Diuretik (Hindroklorotizid)

Mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan di tubuh berkurang yang

mengakibatkan daya pompa jantunng menjadi lebih ringan.

2. Penghambat simpatik (Medildopa, Klonidin, dan Reserpin) menghambat

aktivitas saraf

3. Betabloker (Metoprolol, Propanolol, Atenolol)

4. Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)

5. Obat antihipertensi ACE Inhibitor (Captropil)

1) Menghambat pembentukan zat Angiotensin II pada reseptor sehingga

memperingan daya pompa jantung

2) Efek samping: batuk kering, pusing

6. Penghambat reseptor Angiotensin II (Valsaltran)

35
Menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptor sehingga

memperingan daya pompa jantung.

7. Antagonis kalsium (Diltiasem,Verapamil, Nifedipine)

Waktu paruh obat nifedipine yaitu 4 jam dengan dosis pemberian 8 jam. Obat

ini bekerja sebagai penghambat kontraksi jantung (kontraktilitas).

2.2.7 Komplikasi

Tekanan dara tinggi apabla tidak ditanagni dan ditanggulangi, maka dalam

jangka panjang akan menyebabkan kerusakan arteri di dalam tubuh sampai orang

yang mendapat suplai dari darah arteri tersebut. Komplikasi hipertensi dapat

terjadi pada organ-organ menurut (Wijaya,2013) adalah sebagai berikut:

1. Jantung

Tekanan darah tinggi dapat menyebabkanterjadinya gagal jantung dan

penyakit jantung koroner. Pada penderita hipertensi, beban jantung akan

meningkat, otot jantung akan mengendor dan berkurang elastisnya, yang disebut

dekompensasi. Akibatnya, jantung tidak mampu lagi memompanya sehingga

banyak cairan tertahan di paru namun jaringan tubuh lain ang dapat menyebabkan

sesak atau edema, kondisi ini disebut gagal jantung.

2. Otak

Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan resiko stroke, apabila tidak

diobati resiko terkena stroke 7 kali lebih besar.

3. Ginjal

Tekanan darah tinggi juga menyebabkan keruakan ginjal, tekanan darah

tinggi juga menyebabkan kerusakan penyaringan di dalam ginjal akibat lambat

36
laun ginjal tidak mampu membuang zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh yang

masuk melalui aliran darah dan terjadi penumpukan di dalam tubuh.

4. Mata

Pada mata hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati hipertensi

dan dapat menimbulkan kebutaan.

2.3 Konsep Bekam

2.3.1 Pengertian Bekam

Terapi bekam adalah suatu pengobatan komplementer dengan

menggunakan cup yaitu alat membekam yang menghisap kulit dan jaringan di

bawah kulit, sehingga komponen darah dapat mengumpul di bawah kulit. Terapi

bekam ada dua yaitu bekam kering dan bekam basah. Bekam kering merupakan

terapi menghisap permukaan kulit dan menjepit tempat sekitar tanpa

mengeluarkan darah kotor, sedangkan bekam basah yaitu bekam yang dilakukan

dengan sayatan atau tusukan dengan mengeluarkan darah statis atau darah kotor.

(Umar, 2010)

2.3.2 Klasifikasi Bekam

Dalam beberapa buku banyak klasifikasi bekam. Salah satu yang mulai

dikembangkan pada tahun 2013 adalah mengelompokkan bekam ke dalam enam

kategori:

37
1. Berdasarkan tipe, teknis, atau modelnya: bekam basah, bekam kering, bekam

pijat, bekam tarik, dam bekam luncur.

2. Berdasarkan kekuatan isapan atau sedotannya. Ini beberapa bekam ringan,

sedang, kuat, dan pulsativ. Disebut bekam ringan jika tekanan negatifnya

antara 100-300 milibar, bekam sedang antara 300 sampai kurang dari 500

milibar, dan bekam kuat jika 500 milibar atau lebi, dan bekam pulsativ jika

tekanan negatifnya bervariasi antara 100 dan 200 milibar, pada interval 2

detik.

3. Berdasarkan cara penyedotan (vakumisasi)-nya. Metode ini meliputi bekam

(dengan penyedotan) api, bekam dengan vakumisasi manual, bekam dengan

elektrik, dan mesin penyedot (vacum therapy machine).

4. Berdasarkan bahan yang ada dalam kop, yang meliputi herbal, air ozon, moxa,

jarum, bekam magnetic, bekam injeksi, bekam laer, dan bekam infra red.

5. Berdasarkan area yang di bekam, yang meliputi bekam wajah, bekam perut,

bekam wanita, bekam pria, dan bekam ortopedi.

6. Berdasarkan tipe khusus, yang meliputibekam olahraga, bekam kosmetik, dan

bekam cupping akuatik.

Klasifikasi berdasarkan bahan dan alat yang dipakai, ada yang membagi

bekammenjadi 2 kelompok:

1. Bekam tradisional, jika memakai bahan tradisional seperti: bamboo, tanduk,

kayu dan gelas minum..

2. Bekam modern, jika memakai bahan modern seperti: plastic, gelas, karet,

jarum dan lancet.

38
Menurut dr. Wadda (2019) menyatakan bekam secara umum

dikelompokkan kedalam 3 kelompok:

1. Bekam kering model Cina (traditional chinese dry cupping therapy)

Disebut juga metode C (cupping) atau S (suction). Metode ini dilakukan

penyedotan (suction/cupping) subkutan dengan tekanan negative tertentu. Tidak

dilanjutkan dengan tindakan berikutnya.

2. Bekam basah model Cina (traditional chinese wet cupping therapy)

Disebut juga metode PC (puncturing-cupping) atau 2S

(scarification/puncturing) kulit dengan tusukan. Kemudian dilakukan penyedotan

(suction/cupping) sehingga keluar dara.

3. Bekam basah model tibbun (wet cupping therapy of prophetic medicine) yang

disebut denngan al-hijamah.

Disebut juga metode CPC (cupping-puncturing-cupping). Yang lain

berpendapat metode 3S (suction-scarification-suction). Metode ini diawali dengan

penyedotan kulit (suction/cupping) dengan tekanan negatif tertentu. Kemudian

kop dibiarkan mnyedot kulit sampai terjadi hipoksia jaringan subkutan.

Diteruskan dengan melukai kulit (scarification/puncturing) dengan sayatan atau

tusukan. Dilakukan penyedotan subkutan yang kedua kali sehingga darah atau

cairan keluar. Dilakukannya suction sebelum skarifikasi ini yang membedakan

bekam basah al-hijamah dengan bekam basah mode Cina.

2.3.3 Manfaat Bekam

Adapun beberapa manfaat dari terapi bekam, yaitu mengeluarkan angina,

toksin, dan kolesterol yang berbahaya dari tubuh, menghilangkan rasa sakit,

39
memulihkan fungsi tubuh, melancarkan peredaran darah, menajamkan

penglihatan, meningkatkan daya ingat dan kecerdasan, meningkatkan system

imun. (Zaki, 2012). Selain itu manfaat terapi bekam berkhasiat melepaskan

neurotransmitter (rasa nyeri) atau digunakan untuk meringankan nyeri, antara lain

menghilangkan nyeri seluruh badan (pegal-pegal) karena masuk angin, nyeri pada

sendi, nyeri punggung, nyeri leher, mengurangi rasa sakit kepala, migrene, kaku

leher, kaku pundak karena masuk angina, dan melenturkan otot-otot yang tegang

seperti kaku otot (Widada, 2011).

2.3.4 Indikasi Bekam

Menurut Kasmui (2006), indikasi tempat untuk melakukan bekam yaitu

pada daerah :

1. Di bagian atas kepala (ummu mughits), caranya dengan mencukur rambut

pada bagian yang akan dibekam. Bekam di kepala sangat efektif untuk terapi

penyakit migrain, vertigo, sakit kepala menahun, darah tinggi, stroke, suka

mengantuk, sakit gigi, sakit mata, melancarkan peredaran darah, perbaikan

sistem kekebalan tubuh. Disekitar urat leher, titik ini untuk mengobati

penyakit seperti: sakit kepala, wajah, kedua telinga, mata, polip (hidung) dan

tenggorokan, gigi seri lidah, kanker darah, melancarkan peredaran darah.

2. Di bawah kepala, sekitar empat jari di bawah (tulang tengkorak paling bawah),

bermanfaat menyembuhkan radang mata (pada anak-anak), tumor pada

telinga, berat kepala, bintik-bintik di wajah, jerawat.

40
3. Daerah antara dua pundak, merupakan titik paling sentral untuk mengatasi

berbagai macam penyakit.

4. Daerah sekitar pundak kiri dan kanan, yaitu daging lembut di pundak yang

tegang ketika merasa takut. Bekam pada titik ini dapat bermanfaaat untuk

menetralisir keracunan dan penyakit liver.

5. Daerah punggung (di bawah tulang belikat).

6. Daerah punggung bagian bawah dan tulang ekor untuk penyakit pegal/nyeri di

pinggang dan wasir.

7. Pangkal telapak kaki untuk mengatasi nyeri di kaki, asam urat, kaku, dan

pegal-pegal.

8. Di tempat-tempat yang dirasakan sakit.

2.3.5 Kontraindikasi Bekam

Terapi bekam dilakukan dengan menghisap permukaan kulit tanpa

mengeluarkan darah sehingga menimbulkan bendungan (congesti) darah selama 5

menit. Sesuai dengan prinsip kerja bekam tersebut sebaiknya bekam tidak

dianjurkan pada keadaan seperti penderita infeksi kulit yang merata atau pada area

kulit yang mengalami luka karena dapat menyebabkan keluarnya darah dari kulit

yang infeksi atau kulit yang luka sehingga menyebabkan timbulnya luka yang

baru, pada pengerajin yang menderita Diabetes Militus dengan kadar glukosa

yang tidak normal karena dapat menyebabkan melepuhnya kulit pasien, pada

penderita diabetes yang lebih dari 60 tahun dikarenakan lamanya kondisi fisik dan

penurunan elastisitas kulit, wanita hamil pada tiga bulan pertama karena dapat

menimbulkan kontraksi pada bagian perut akibat menahan nyeri saat dibekam,

41
pada penderita dengan radang sendi dalam pembekaman jangan sampai gelas

bekam dipasang pada daerah yang sakit melainkan disekitarnya, pasien yang

menderita kanker tidak boleh dilakukan bekam karena mempercepat metastase,

pengerajin yang sedang demam, pengerajin yang mempunyai riwayat anemia dan

pengerajin yang memiliki penyakit gangguan pembekuan darah (Widada 2011).

Bagian tubuh lain yang tidak boleh dibekam menurut Perkumpulan Bekam

Indonesia (PBI) yaitu: tepat dibagian varises, lubang tubuh alami (bagian kelamin,

mata, telinga, anus, hidung, mulut, putting susu), bagian leher depan dan samping

(vena jugularis), pada semua daerah lipatan, tepat pada permukaan kulit yang

luka/infeksi, pada penderita yang seluruh tubuhnya bengkak, penderita kencing

manis yang tidak terkontrol.

2.3.6 Efek Bekam Terhadap Organ Tubuh

Menurut Dr. Ahmad Razak Sharaf (2019), efek bekam terhadap organ

tubuh diantaranya:

2.3.6.1 Efek bekam terhadap kulit

1. Bekam berperan menstimulasi folikel rambut dengan meningkatkan sirkulasi

darah ke kulit sehingga meningkatkan suplai nutrisi yang baik untuk rambut

dan akar rambut.

2. Suhu kulit meningkat dan sebuah kawasan berwara merah tebentuk. Ini

menunjukkan terjadinya peningkatan metabolisme makanan di kulit dan

kemanfaatan yang diperoleh sel-sel kulit dari darah yang sampai kepadanya.

3. Aktivitas kelenjar keringat dan kelenjar lemak meningkat, pori-pori kulit

membuka setelah dilakukan pembekaman.

42
4. Peranan bekam tidak terbatas pada pembersih darah yang mengendap (stagnat

blood) dari kulit, namun juga menghilangkan zat-zat berbahaya yang

mengendap di bawah permukaan kulit.

2.3.6.2 Efek bekam terhadap otot

1. Bekam berperan menstimulasi sirkulasi darah di otot sehingga menghilangkan

kekejangan otot.

2. Isapan bekam mengeluarkan gumpalan darah yang terdapat di dalam otot

sebagai akibat memar di kulit.

3. Bekam berperan mengantarkan oksigen yang dibutuhkan oleh serat- serat otot,

meningkatkan penyerapan oksigen oleh sel-sel setelah pembekaman, sehingga

menguatkan dan memperbaiki fungsi otot.

4. Bekam berperan mengeluarkan zat asam laktat (lactic acid) dari otot sehingga

menghilangkan kelelahan dan sumbatan otot.

2.3.6.3 Efek bekam terhadap darah

1. Bekam menstimulasi sirkulasi darah di tubuh secara umum melalui zat nitrit

oksida (NO) yang berperan meluaskan pembuluh darah. Profesor Kentaro

Takagi, dosen di Universitas Nagoya, menegaskan bahwa semua terapi yang

menstimulasi dan mengaktifkan sirkulasi darah di kulit, bermanfaat untuk

meningkatkan respon sistem peredaran darah dan pembuluh darah di dalam

tubuh secara umum. Efek serupa juga ditimbulkan oleh kuatnya isapan yang

ditimbulkan oleh bekam terhadap bagian yang diterapi.

2. Bekam berperan mengurangi darah dan cairan yang menyertai proses

peradangan dengan cara mengeluarkan cairan-cairan ini dari celah-celah

43
antarsel. Begitu pula zat-zat pemicu peradangan juga ikut dikeluarkan,

misalnya zat histamine.

3. Bekam juga berperan:

1) Meningkatkan jumlah sel darah merah.

2) Meningkatkan jumlah sel darah putih.

3) Mengubah darah yang terlalu asam menjaddi proporsional.

4) Membersihkan darah

2.3.7 Efek Samping Bekam

Efek samping yang ditimbulkan dari terapi bekam tidak memiliki efek

yang berarti, hanya berupa ketidaknyamanan minimal akibat intervensi pada kulit

pasien. Beberapa dari pasien juga merasakan kulitnya sedikit hangat setelah

dibekam. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari pelebaran pembuluh darah atau

vasodilatasi dan sedikit berkeringat. Terapi bekam juga dapat mengakibatkan kulit

memerah atau gatal disekitar area kulit yang dibekam dan akan menghilang

dengan sendirinya (Widada, 2011).

2.3.8 Prinsip Bekam

Pengobatan dengan bekam dapat merangsang titik saraf tubuh seperti

halnya pengobatan pada akupuntur. Terapi dalam pengobatan akupuntur yang

dihasilkan adalah hanya perangsangan, sedangkan pada bekam selain dirangsang

juga terjadi pergerakan aliran darah (Widada, 2011).

Menurut ilmu kedokteran tradisional, bahwa dibawah kulit, obat, maupun

fascia terdapat suatu poin atau titik lainnya saling berhubungan, membujur dan

44
melintang membentuk seperti jarring-jaring atau jala. Jala ini dapat disamakan

dengan titik meredien menurut tradisional Chinese medicine. Dengan adanya

jalan ini, maka terdapat hubungan yang erat antara bagian tubuh sebelah atas

dengan sebelah bawah, antara bagian tubuh bagian dalam dengan bagian luar,

antara bagian tubuh kiri dengan tubuh kanan, antara organ – organ tubuh dengan

jaringan bawah kulit, antara organ satu dengan organ lain, antara oegan tangan

dan kaki, antara organ padart dan organ berongga dan lain sebagainya sehingga

membentuk satu kesatuan yang yang tidak terpisahkan dan dapat bereaksi

serentak. Kelainan yang terjadi pada satu poin ini dapat ditularkan dan

mempengaruhi poin lainnya. Sebaliknya, pengobatan pada satu titik akan

menyembuhkan titik lainnya (Umar, 2010).

2.3.9 Titik Bekam Untuk Hipertensi

Titik bekam pada hipertensi ada 14 titik. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

1. Ummu Mughits (puncak kepala), bermanfaat untuk penyakit vertigo, pening,

sakit kepala menahun, hipertensi.

2. Akhda’aini (di sekitar vena jugularis interna), titk ini berada di kedua sisi

leher, tepatnya di bawah garis batas rambut pada belakang kepala, manfaat

dari titik ini adalah untuk mengatasi pusing, hipertensi, stroke, muka bengkak,

punggung dan leher kaku.

3. Al kahil ( terletak di sekitar processus spinosus vertebrae cervicalis VII), titik

ini bermanfaat untuk mengatasi meningitis, influenza, sakit kepala, batuk.

4. Terletak diantara 2 skapula, titik ini bermanfaat untuk masalah paru-paru,

jantung, stroke, saluran pernafasan, masuk angin

45
5. Terletak di atas aspek medial scapula kanan

6. Terletak di tengah di kedua tepi kolomna vertebralis yaitu lateral ke batas

bawah dari proses spinosus vertebra toraks ke 12

7. Terletak diantara vertebra lumbal ke-4 dan ke-5 (bagian bawah punggung)

8. Terletak sedikit lebih tinggi dan di kedua sisi posisi area 7 sekitar 6 cm

Pada penelitian ini karena permasalahan etika dan budaya di tempat

peneliti maka akan diambil 13 titik kecuali titik ummu mughits (puncak kepala).

Gambar 2.1
Lokasi titik bekam pada Hipertensi

2.3.10 Prosedur Terapi Bekam Kering

Teknik pelaksanaan bekam adalah dengan menggunakan alat kop khusus

(vacuum pump) yang digunakan dengan cara menarik udara di dalam gelas

sehingga kulit yang ada dibawahnya akan terangkat ke dalam gelas hampa udara

tersebut. Kondisi ini akan menyebabkan bendungan (congesti) darah selama 5-10

menit yang diharapkan sebagai rangsangan pada titik-titik meridian. berikut ini

prosedur terapi bekam antara lain (Widada, 2011).

2.3.10.1 Tahap persiapan:

46
1. Persiapan pasien:

1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan,

2) Kaji riwayat penyakit dan keluhan paien

3) Periksa tekanan darah pasien.

2. Persiapan Alat;

1) Sediakan kop bekam,

2) Tissue,

3) Minyak zaitun

4) Sphygmomanometer dan stetoskop

Gambar 2.2
Alat dan Bahan Untuk Bekam

2.3.10.2 Tahap kerja

1. Cuci tangan,

2. Atur posisis pasien tengkurap atau duduk menunduk

3. Area yang dibekam diberi minyak zaitun,

4. Lakukan bekam seluncur selama 3 menit

5. Tentukan titik utama bekam kering,

47
6. Tutup dengan cup kemudian dipompa tiga kali tarikan,

7. Lama bekam: wanita 5-7 menit dan laki-laki 7-10 menit,

8. Lepas cup bekam

9. Lakukan massage punggung

10. Bersihkan area yang dibekam dengan tissue,

11. Rapikan klien dan alat.

2.3.10.3 Tahap terminasi

1. Kaji respon pasien,

2. Ukur tekanan darah klien dan catat pada lembar observasi TD

2.3.11 Durasi Pembekaman

Lama atau durasi yang dianjurkan untuk terapi bekam adalah 4-10 menit

karena tidak disertai dengan pengeluaran darah dan penghisapan hanya dilakukan

satu kali pada satu titik. Biarkan 7-10 menit bagi pria, 5-7 menit bagi wanita.

Terapi bekam akan efektif jika dilakukan 4 kali dalam sebulan tetapi tergantung

tingkat keparahan penyakit yang dialami klien (Widada, 2011).

2.3.12 Mekanisme Kerja Terapi Bekam Untuk Hipertensi

Mekanisme penyembuhan bekam pada hipertensi didasarkan atas teori

aktivasi organ, bekam mengaktivasi organ yang mengatur aliran darah seperti hati,

ginjal dan jantung agar organ-organ dalam mengatur peredaran darah (Akbar,

2012). Efek terapi bekam menurut Dr. Ahmad Razak Sharaf (2019), terhadap

hipertensi diantaranya:

1. Bekam berperan menenangkan sistem saraf simpatik (simpatic nervous

system). Pergolakan pada sistem saraf simpatik ini menstimulasi sekresi enzim

48
yang berperan sebagai sistem angiotensin renin. Setelah sistem ini tenang dan

aktivitasnya berkurang, tekanan darah akan turun.

2. Zat nitrit oksida (NO) berperan dalam vasodilatasi (proses perluasan

pembuluh darah) sehingga menyebabkan turunnya tekanan darah.

3. Bekam melalui zat nitrit oksida (NO), berperan meningkatkan suplai nutrisi

dan darah yang dibutuhkan oleh sel-sel dan lapisan-lapisan pembuluh darah

arteri maupun vena, sehingga menjadikannya lebih kuat dan elastis serta

mengurangi tekanan darah.

4. Bekam berperan menstimulasi reseptor-reseptor khusus yang terkait dengan

penciutan dan peregangan pembuluh darah (baroreseptor) sehingga pembuluh

darah bisa merespon berbagai stimulus dan meningkatkan kepekaanya

terhadap faktor-faktor penyebab hipertensi.

2.4 Kerangka konsep

Penatalaksanaan Hipertensi
1. Farmakologi
2. Non Farmakologi:
a. Modifikasi gaya hidup:
penurunan berat badan, retriksi
garam, aktivitas fisik,adopsi pola
makan DASH
b. Terapi Komplementer
Sistem perasimpatis
Lansia Hipertensi Terapi Bekam merangsang
neurotransmitter

Penghambatan
aktivitas sistem saraf
Faktor yang mempengaruhi simpatis
hipertensi:
Faktor yang tidak dapat dirubah:
gen, jenis kelamin, umur,
49 Vasodilatasi
keturunan
Faktor yang dapat dirubah:
stress, nutrisi, dan penggunaan
zat Penurunan tekanan
darah
;

Gambar 2.3
Kerangka konseptual Pengaruh Terapi Bekam Kering Terhadap
Hipertensi Pada Lansia di wilayah kerja
UPT Kesmas Sukawati I Gianyar

Keterangan :

: Variabel diteliti

: Variabel tidak diteliti

: Alur Pikir

2.5 Hipotesis

Hipotesis didalam penelitian merupakan jawaban sementara penelitian

yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Nursalam, 2013).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ada pengaruh terapi bekam kering terhadap

tekanan darah pada penderita hipertensi di Desa Sukawati wilayah kerja UPT

Kesmas Sukawati.

50
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah metode pra experimental dengan

menggunakan rancangan one grup pre test post test design. Rancangan penelitian

ini berupaya mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkkan

satu kelompok subjek. Kelompok subjek yang diobservasi sebelum dilakukan

intervensi kemudian diobservasi lagi setelah dilakukan intervensi (Sugiyono,

2016). Penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh terapi bekam kering

terhadap hipertensi pada lansia di Desa Sukawati wilayah kerja UPT Kesmas

Sukawati I. Desain penelitian dapat dijelaskan pada gambar 3.1 :

Pre test Perlakuan Post test

01 X 02

Gambar 3.1

51
Desain penelitian Pra Experimental One Grup Pre test Design

Keterangan:
01 = Tekanan darah sebelum diberikan bekam kering
X = Pemberian bekam kering 1 kali seminggu selama 4 kali
02 = Tekanan darah setelah diberikan bekam kering

3.2 Kerangka Kerja

Kerangka kerja penelitian merupakan langkah-langkah dalam aktivitas

ilmiah, mulai dari penetapan populasi, sampel, dan seterusnya, yaitu kegiatan

sejak awal dilaksanakannya penelitian (Nursalam, 2017). Adapun kerangka kerja

pada penelitian ini adalah sebagai berikut:


Populasi
Semua penderita hipertensi di Desa Sukawati wilayah kerja
Puskesmas Sukawati I sebanyak 325 lansia

Teknik sampling
Non Probability sampling yaitu dengan purposive sampling

Kriteria inkusi Kriteria eksklusi

Sampel
12 orang sesuai dengan kriteria inklusi

Pre test
Pengukuran tekanan darah menggunakan spignomanometer dan stetoskop

Intervensi
Pemberian terapi bekam kering dengan memakai cupp sebanyak 13 cupp
diberikan selama 7 menit setiap satu kali dalam seminggu selama empat
minggu
52
Post test
Pengukuran tekanan darah menggunakan spignomanometer dan stetoskop

Analisa Data
Data tidak berdistribusi normal sehingga data diuji dengan menggunakan
uji wilcoxon

Penyajian hasil

Gambar 3.2
Kerangka kerja Pengaruh Terapi Bekam Kering
Terhadap Hipertensi Pada Lansia
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Sukawati Gianyar wilayah kerja

UPT Kesmas Sukawati I. Penelitian ini dilakukan selama 4 minggu yaitu pada

bulan April s.d Mei tahun 2022.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

3.4.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti, dapat berupa orang,

benda, gejala, atau wilayah yang ingin diketahui oleh peneliti (Nursalam, 2016).

Populasi dalam penelitian ini adalah lansia penderita hipertensi di Desa Sukawati

wilayah kerja UPT Kesmas Sukawati I Sebanyak 325 lansia.

3.4.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu

untuk bisa memenuhi atau mewakili populasi (Nursalam, 2016). Sampel dalam

penelitian ini adalah lansia penderita hipertensi di Desa Sukawati wilayah kerja

53
UPT Kesmas Sukawati I. Sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :

3.4.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2017). Sampel

penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel dalam penelitian ini memiliki

kriteria inklusi yaitu:

1. Lansia usia 60-74 tahun penderita hipertensi yang mampu beraktivitas mandiri

2. Penderita hipertensi yang bersedia menjadi responden

3.4.2.2 Kriteria Ekslusi

Kriteria eksklusi yaitu menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang

tidak memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam,

2017). Kriteria eksklusi dari penelitian ini yaitu:

1. Penderita yang menderita infeksi kulit pada punggung yang merata atau pada

area punggung yang mengalami luka

2. Penderita yang menderita diabetes mellitus

3. Penderita dengan radang sendi dan kanker

3.4.3 Teknik Sampling

Sampling adalah teknik penyelesaian porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan

keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2017). Cara pengambilan sampel dapat

digolongkan menjadi dua yaitu probability sampling (semua subjek dalam

54
populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih sebagai sampel) dan non

probability sampling (tidak semua subjek dapat memiliki kesempatan yang sama

untuk terpilih menjadi sampel) (Nursalam, 2017).

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah non probability

sampling yaitu dengan metode purposive sampling. Purposive sampling yaitu

teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi yang

dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut mewakili karakteristik populasi

yang sudah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2017).

Sampel diambil dengan menggunakan teknik non probability sampling

yaitu dengan metode purposive sampling, dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Melakukan pencacahan terhadap setiap lansia di wilayah kerja UPT Kesmas

Sukawati I untuk mendapatkan jumlah subjek yang diperlukan. Data yang

diambil sebagai populasi adalah lansia yang mengidap hipertensi.

2. Sebelum menentukan sampel, terlebih dahulu ditentukan kriteria inklusi dan

eksklusi dari penelitian. Sampel yang diambil secara purposive sampling yaitu

seluruh lansia yang memenuhi kriteria inklusi hingga sampel yang diperlukan

mencukupi.

3. Sampel diambil dengan pertimbangan tenaga peneliti, waktu, dan dana, maka

sampel diambil dari lansia Desa Sukawati. Diasumsikan lansia desa yang rutin

melakukan kegiatan senam lansia setiap dua kali dalam seminggu dapat

mewakili populasi untuk dilakukan penelitian terkait pengaruh terapi bekam

kering terhadap hipertensi pada lansia.

55
3.4.4 Besar Sampel

Penentuan besarnya sampel pada penelitian ini diambil menurut Sugiono

(2014), jumlah sampel tergantung dari jenis penelitian yang dilakukan, untuk

penelitian ekperimen yang sederhana maka jumlah sampel yang digunakan adalah

10-20 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 10 orang.

Menurut Murti (2015), menyatakan untuk mengantisipasi adanya sampel yang

drop out, maka jumlah sampel bisa direvisi dengan asumsi jumlah sampel yang

drop out (L) 10% dengan menggunakan

n
n’ =
(1−f )

10
n’ =
( 1−10 % )

10
n’ =
( 1−0,1 )

10
n’ =
0,9

n’ = 11,1

n’ = 12

Keterangan rumus :

n’= besar sampel setelah dikoreksi

n = jumlah sampel berdasarkan estimasi sebelumnya

f = prediksi presentase sampel drop out

Berdasarkan perhitungan rumus diatas, jumlah sampel dalam penelitian ini

adalah 12 orang. Pada saat pelaksanaan penelitian jumlah sampel secara

keseluruhan adalah 12 orang, tetapi yang akan dianalisis hanya 10 responden.

56
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.5.1 Variabel Penelitian

Menurut (Nursalam, 2017) Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang

dimiliki anggota suatu kelompok (orang, benda, situasi) yang berbeda dengan

yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Variabel juga merupakan konsep dari

berbagai level dari abstrak yang didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk

pengukuran atau manipulasi suatu penelitian (Nursalam, 2016).

3.5.1.1 Variabel Independen (Bebas)

Variabel independen adalah variable yang mempengaruhi atau yang

menjadi sebab perubahan atau timbulnya variable terikat (Sugiono, 2018).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian terapi bekam kering .

3.5.1.2 Variabel Dependen (Terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2018). Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah hipertensi pada lansia.

3.5.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dan suatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2016). Definisi operasional ini

dibuat berdasarkan pemikiran peneliti seperti tabel dibawah ini

Tabel 3.1

57
Definisi operasional Pengaruh Terapi Bekam Kering Terhadap Hipertensi pada
Lansia di Desa Sukawati Wilayah Kerja UPT Kesmas Sukawati I

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur


1 2 3 4 5
Independen Proses penghisapan SOP - -
t variabel permukaan kulit dengan Bekam
(variabel menggunakan 13 cup Kering
bebas): tanpa mengeluarkan
Terapi darah yang diberikan
bekam satu minggu sekali
kering selama empat minggu
dititik lokal sekitar
punggung dengan
frekuensi tiga kali hisap
pada setiap titik dengan
pembekaman diberikan
dengan durasi 7 menit.
Dependent Pengukuran systole dan Spignoma Ordinal Tekanan darah
variabel diastole responden nometer 1. Normal 70-99 mmHg
(variabel hipertensi yang diukur dan 2. Normal tinggi 100-105 mmHg
terikat): sebelum dan sesudah stetoskop 3. Stadium ringan 106-119 mmHg
Hipertensi pemberian tindakan 4. Stadium sedang 120-132 mmHg
pada lansia terapi bekam kering 5. Hipertensi berat 133-149
pada lengan kanan 6. Hipertensi sangat berat 150 mmHg
3.6 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

3.6.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu data yang diperoleh

langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat

pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari

(Nursalam, 2013).

3.6.1.1 Data Primer

Data primer merupakan sumber data yang langsung memberikan data

kepada pengumpul data (Sugiyono, 2016). Data diperoleh dengan menggunakan

alat pengukuran atau alat pengambil data langsung pada subjek sebagai sumber

informasi yang dicari. Penelitian ini menggunakan data primer yang didapatkan

58
dari hasil pengukuran tekanan darah dengan menggunakan spigmomanometer dan

stetoskop sebelum dan sesudah pemberian terapi bekam.

3.6.1.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dengan cara

membaca, mempelajari, dan memahami melalui media lain yang bersumber dari

literature, buku-buku, serta dokumen (Sugiyono, 2016). Data sekunder dalam

penelitian ini yaitu data dari studi pendahuluan yang dilakukan di UPT Kesmas

Sukawati I berupa jumlah kasus hipertensi tahun 2019, serta gambaran umum

lokasi penelitian yang diperoleh dari UPT Kesmas Sukawati I dan kantor

pemerintah.

3.6.2 Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepala subjek dan

proses pengumpulan data yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam,

2016). Langkah-langkah pengumpulan data dalam penulisan ini yaitu:

3.6.2.1 Secara Administratif

1. Mengurus surat ijin penelitian ke Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira

Medika Bali yang ditandatangani oleh Bidang Pusat Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat (PPPM) yang ditunjukkan kepada Badan Penanaman

Modal dan Perijinan Provinsi Bali

59
2. Mengirimkan surat ijin penelitian dari kantor Badan Penanaman Modal dan

Perijinan Provinsi Bali ke kantor Badan Kesatuan Kebangsaan Politik dan

Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Kabupaten Gianyar

3. Mengirimkan surat ijin penelitian dari kantor Badan Kesatuan Kebangsaan

Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Kabupaten Gianyar

ke Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, UPT kesmas Sukawati I serta Kantor

Kepala Desa Sukawati

4. Setelah ijin dikeluarkan, kemudian dilakukan pengumpulan data.

3.6.2.2 Secara Teknis

Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Persepsi dengan ekspert bekam kering terkait instrument (SOP bekam kering)

2. Pada saat pelaksanaan penelitian, peneliti dibantu oleh 1 orang petugas

(ekspert) dan 3 orang enumerator yaitu 3 orang mahasiswa STIKes Wira

Medika Bali.

3. Melakukan persamaan persepsi dengan petugas dan enumerator mengenai

prosedur pemberian terapi bekam kering, titik-titik bekam, durasi waktu dan

alat ukur yang digunakan. Peneliti menjelaskan tiap item prosedur terapi

bekam kepada enemulator, kemudian dilakukan diskusi sehingga persepsi

petugas, enumulator sama dengan peneliti.

5. Setelah mendapatkan responden yang dikehendaki langkah selanjutnya

peneliti meminta persetujuan dengan menjelaskan maksud dan tujuan

penelitian. Responden yang setuju menjadi sampel dalam penelitian diminta

untuk mengisi form persetujuan untuk menjadi sampel penelitian dan

60
menandatangani informed consent kemudian diberikan penjelasan secara jelas

dan santun tentang cara pelaksanaan penelitian, kemudian di lakukan pre test

dengan cara melakukan pegukuran tekanan darah menggunakan

sphygmomanometer dan stetoskop.

6. Melakukan anamnesa untuk menentukan 13 titik bekam

7. Mengoleskan minyak pelumas dengan minyak zaitun

8. Melakukan proses pemanasan sebelum dilakukan bekam kering dengan

metode bekam seluncur selama 3 menit

9. Memberikan terapi bekam kering pada titik hipertensi yaitu 13 titik

10. Pengukuran tekanan darah setelah intervensi (post test)

Setelah sampel diberikan perlakuan berupa pemberian terapi bekam kering

selama 4 kali dalam 4 minggu, selanjutnya kembali melakukan pengukuran

tekanan darah kepada responden pada minggu ke 4 setelah perlakuan ke 4

menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop.

11. Mengecek kelengkapan data, didapatkan data terisi lengkap

12. Melakukan tabulasi data dan analisa data

13. Menyajikan hasil penelitian.

3.6.3 Istrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data merupakan suatu alat yang digunakan untuk

mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati dalam penelitian

(Sugiyono, 2016). Instrumen atau alat penelitian yang digunakan pada penelitian

ini adalah sphygmomanometer, stetoskop, minyak, tisu dan alat bekam. Tata cara

61
pengukuran tekanan darah sesuai dengan SOP pengukuran tekanan darah ke

empat orang dalam selang waktu 2 jam dan didapatkan hasil yang sama.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1 Teknik Pengolahan Data

Data hasil pengamatan akan diolah dengan beberapa tahapan. Menurut

Hidayat (2014), tahapan pengolahan data antara lain:

3.7.1.1 Editing

Editing merupakan upaya untukmemeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh dari responden. Teknik editing digunakan untuk menghindari terjadinya

kekeliruan atau keaslahan data. Data yang diperoleh dari responden yaitu data

karakteristik responden dan data tekanan darah pre test dan post test tidak

diketahui kelengakapan data sehingga hasil yang diperoleh tidak bisa atau eror

dengan cara mengecek nama, umur dan kelengkapan identitas responden dan

mengecek kelengkapan data.

3.7.1.2 Coding

Coding adalah proses mengklarifikasikan data sesuai dengan

klasifikasinya dengan cara membentuk kode tertentu. Klasifikasi data dilakukan

atas pertimbangan peneliti sendiri. Semua data diberikan kode untuk memudahkan

proses pengolahan data. Pada penelitian ini data yang dicoding adalah:

Jenis Kelamin

1. Laki-laki : kode 1

2. Perempuan : Kode 2

62
Adanya pengaruh terhadap hipertensi

1. Jika ada : kode 1

2. Jika tidak ada : kode 2

Nilai Tekanan darah

1. Normal 70-99 mmHg : kode 1

2. Normal tinggi 100-105 mmHg : kode 2

3. Stadium ringan 106-119 mmHg : kode 3

4. Stadium sedang 120-132 mmHg : kode 4

5. Hipertensi berat 133-149 : kode 5

6. Hipertensi sangat berat ≥150 mmHg : kode 6

3.7.1.3 Entry

Entry yaitu peneliti memasukan data yang telah diedit dang dinilai

menggunakan fasilitas komputer dengan menggunakan SPSS.

3.7.1.4 Cleaning

Cleaning yaitu peneliti melakukan pemberian data melalui pengecekan

kembali data yang telah di entry apakah data sudah benar atau belum. Data yang

telah di entry dicocokkan dan diperiksa kembali dengan data yang didapatkan.

Bila ada perubahan dan perbedaan hasil, segera dilakukan pengecekan ulang.

3.7.1.5 Tabulating

Tabulasi merupakan pengelompokan data sesuai dengan tujuan peneliti

kemudian memasukkannya ke dalam tabel. Pada tahap ini dilakukan kegiatan

63
memasukkan data dalam tabel. Setiap hasil pengukuran tekanan darah sebelum

dan sesudah diberikan terapi bekam dimasukkan ke dalam tabel. Penyajian data

ditampilkan dalam bentuk tabel distibusi frekuensinya dilengkapi dengan diagram

dan bentuk lainya sesuai judul penelitian. Selanjutnya data yang diperoleh akan

diolah dan dilakukan analisis statistik.

3.7.2 Analisa Data

Analisis data adalah analisis yang dilakukan secara sistematis terhadap

data yang telah dikumpulkan dengan tujuan supaya trend dan relationship bisa

dideteksi (Nursalam, 2016).

1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang digunakan pada setiap tabel dari

hasil penelitian dan pada umumnya dalam analisis ini dapat menghasilkan nilai

minimum, maksimum, mean, range, standar, deviasi distibusi frekuensi dari setiap

variabel. Analisis dimaksudkan untuk mengetahui distribusi dari variabel-variabel

yang diamati sehingga dapat mengetahui gambaran tiap variabel. Adapun data

yang dianalisis secara univariat meliputi tekanan darah sebelum pemberian terapi

bekam meliputi mean, median, modus, minimum dan maximum.

2. Analisis Bivariat

Analisi bivariat adalah analisis untuk mengetahui interaksi dua variabel,

baik berupa komparatif, asosiatif maupun koleratif (Sugiyono, 2016). Proses data

pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan komputer. Uji analisis digunakan

pada penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh variabel bebas

terhadap variabel terikat. Penelitian ini menggunakan uji normalitas dengan

64
menggunakan uji Shapiro-wilk dikarenakan jumlah sampel kurang dari 50.

Berdasarkan uji normalitas data per test sistolik didapatkan hasil p = 0,014 dan

post test sistolik p = 0,001 dan data pre test diastolik didapatkan hasil p = 0,000

dan data post test diastolik didapatkan hasi p = 0,000 diperoleh data dalam

penelitian tidak didistribusi normal maka di uji dengan uji Wilcoxom.

3.8 Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan

langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat,

2014). Masalah etika yang diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Informend Consent (Lembar Persetujuan Menjadi Responden)

Informend consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan sebelum penelitian

yang bertujuan agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta

dampak yang yang diteliti selama pengumpulan data (Hidayat, 2014). Pada

penelitian ini, peneliti memberikan, informed consent kepada responden sebelum

penelitian. Responden yang bersedia diteliti menandatangani lembar persetujuan

dan yang tidak bersedia menjadi responden, maka peneliti tidak memaksa dan

tetap menghormati haknya.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Anonimity (tanpa nama) merupakan salah satu etika penelitian yang

memberikan jaminan penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan

65
hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

akan disajikan (Hidayat, 2014). Anonimity pada penelitian ini, peneliti menjaga

kerahasiaan identitas responden dengan tidak mengenai kerahasiaan identitas

responden penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama

responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode 1-23 pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Confidentiality (kerahasiaan) adalah salah satu etika penelitian dengan

memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun

masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan oleh peneliti

dalam penelitian ini dijamin kerahasiaanya oleh peneliti dan dan hanya kelompok

data tertentu yang dilaporkan pada hasil riset (Hidayat, 2014).

Confidentiality (Kerahasiaan) dalam penelitian ini yaitu peneliti tidak

boleh menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasiaan identitas

responden, peneliti cukup menggunakan coding sebagai pengganti identitas

responden.

4. Justice (Keadilan)

Prinsip keterbukaan dan keadilan perlu dijaga oleh peneliti dengan

kejujuran, keterbukaan dan kehati-hatian serta lingkungan peneliti perlu

dikondisikan sehingga menemui prinsip keterbukaan, yakni dengan menjelaskan

proseedur penelitian (Notoatmojo, 2012).

Justice dalam penelitian ini adalah semua responden mendapatkan

perlakuan yang sama tanpa membedakan agama, ras, budaya, kaya dan miskin

66
serta memenuhi prinsip keterbukaan yaitu dengan menjelaskan prosedur

penelitian.

5. Benefience (Azas Kemanfaatan)

Peneliti secara jelas mengetahui manfaat dan resiko yang terjadi,

dilakukan karena manfaat yang diperoleh lebih besar dibandingkan resiko atau

dampak negatif yang akan terjadi, penelitian yang dilakukan tidak membahayakan

dan menjaga kesehjatraan manusia, peneliti melaksanakan sesuai dengan prosedur

penelitian untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi subjek penelitian dan

dapat digeneralisasikan di tingkat populasi (Notoatmojo, 2012).

Benefience dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian dengan

melibatkan responden untuk mendapatkan suatu konsep baru untuk kebaikan

responden, puskesmas dan masyarakat serta peneliti meminimalkan dampak yang

merugikan bagi responden.

67
DAFTAR PUSTAKA

Akbar Z. dkk. 2012. Panduan pengajaran bekam asosiasi bekam Indonesia (ABI).
Jakarta: Arum Global Mandiri.

Anees, S. 2015. Hijamah (Cuping Therapy) As A Preventive Medicine- A Retro-


Prospective

Azizah. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu

Badan Pusat Statistik. 2014. Data Statistik Indonesia tahun 2014. BPS : Jakarta

. 2018. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2018. BPS : Jakarta

Bidang Diklat Litbang PBI. 2018. Panduan Pengajaran Bekam Perkumpulan


Bekam Indonesia. Cetakan Keempat. Jakarta: Perkumpulan Bekam
Indonesia

Cahyono, J.S. 2011. Meraih Kekuatan Penyembuhan Diri yang tak Terbatas.
Jakarta: Gramedia Pustaka Umum

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2019. Profil Kesehatan Provinsi Bali 2018.
Available: http://www.dinkes.baliprov.go.id (2 Desember 2019)

Dinkes Kabupaten Gianyar. 2019. Profil Kesehatan Kabupaten Gianyar. Gianyar:


Dinas Kesehatan

Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga

Guyton, A.C & Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Hidayat, A. A., 2014. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.

Jansen, S., Karim, D., & Misrawati. 2012. Efektivitas Terapi Bekam Terhadap
Penurunan Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi Primer.

JNC 7. 2016. The Seventh Joint National Committee on Prevention Detection


Evaluation and Treatment of Hight Blood Pressure

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Infodatin Hipertensi. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI.
Kementrian Kesehatan RI. 2018. Badan Penelitaian dan Pengembangan
Kesehatan. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Sekretariat Badan
Litbang.

Koswara. 2015. Psikologi Usia. Availabel: Http://www.e-Psikologi/usia/2.htm.

Lowe, D.T. 2017. Cuppin therapy: An analysis of the effects of suction on skin
and the possible influence on human health, Complementary Therapies in
Clinical Practice. doi: 10.1016/j.ctcp.2017.09.008

Maryam. 2010. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba


Medika

Muflih, M., & Judha, M. 2019. Effectiveness of Blood Pressure Reduction


Reviewed from Amount of Kop, Duration And Location of Point of Bekam
Therapy. Nurse Line Journal, 4(1), 46.

Muhadi. JNC 8: Evidence-based Guidline penanganan pasien Hipertensi dewasa.


Jakarta: Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 2016. (43).1

Murwani, A. 2011. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta: Gosyen


Publising.

Notoatmodjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho, W. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Jakarta: EGC.

. 2014. Keperawatan Gerontik dan Geriatri. Edisi 3. Jakarta: EGC

Nursalam. 2013. Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu


Keperawatan, Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan, Edisi 2, Jakarta: Salemba Medika

. 2017. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,


Pedoman Sekripsi, Tesis, dan Instrument Penelitian Keperawatan. Jakarta:
Edisi 4 Salemba Medika

PERHI. 2019. Konsensus penatalaksanaan Hipertensi 2019. Jakarta

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular.


Edisi 1. Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

PerMenKes No.5 Tahun 2017. Rencana aksi nasional penanggulangan penyakit


tidak menular tahun 2015-2019. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. 2017
Potter & Perry. 2007. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan
Praktik. Edisi 4. Volume 2. Jakarta: EGC.

Pratama YB, dkk. 2018. Pengaruh Terapi Bekam Kering Terhadap Tekanan
Darah Pada Lansia Dengan Hipertensi Di Pstw Jember. The Indonesian
Journal Of Health Science, 94–101.

Pujiastuti, Ratna Dewi. 2013. Herbal dan Keperawatan Komplementer.


Yogyakarta: Nuha Medika

Ridho, Ahmad Ali. 2012. Bekam Sinergi : Rahasia Sinergi Pengobatan Medis,
Modern dan Traditional Chinese Medicine. Solo: Aqwamedika

Sari, Y.N.I. 2017. Berdamai dengan Hipertensi. Jakarta: Bumi Medika

Shanty, M. 2014. Sillent Killer Disease. Jogjakarta: Javalitera.

Sharaf, AR. 2019. Penyakit dan Terapi Bekamnya Dasar Dasar Ilmiah Terapi
Bekam. Cetakan XI. Surakarta: Thibbia

Siburian, P. 2011. Penyakit yang sering diderita lansia. Jakarta

Sudoyo. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V jilid II. Jakarta: Internal
Publising

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:


Alfabeta

. 2018. Metode Penelitian. CV Alfabeta.

Susanah S, dkk. 2017. Pengaruh Terapi Bekam Terhadap Penurunan Tekanan


Darah Pada Penderita Hipertensi Di Poliklinik Trio Husada Malang.
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017. 2, 281–291.

Syamsudin. 2011. Buku Ajar Farmakoterapi Kardiovaskular dan Renal. Jakarta:


Salemba Medika Pp 31.

Ting Li, dkk. 2017. Significant and sustaining elevation of blood oxygen induced
by Chinese cupping therapy as assessed by near-infared spectroscopy.
Biomedical Optics Express. 8(1)

Triyanto. 2014. Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secara


Terpadu. Jakarta: Graha Ilmu

Udjianti, W.J. 2011. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika


Umar, W.A. 2010. Bebas Strok Dengan Bekam. Surakarta: Thibbia

. 2012. Sembuh dengan Satu Titik 2 Bekam Untuk 7 Penyakit Kronis. Solo:
Thibbia.
Untari, I. 2018. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Terapi Tertawa & Senam
Cegah Pikun. Jakarta: EGC.

Wadda, A.U. 2019. Bekam Medik; hijamah dalam perspektif kedokteran modern
prosedur bekam sayat sesuai standar tindakan medis. Sukoharjo: Thibbia.

Woods, S. L., Froelicher, E. S., Motzer, S. U., & Bridges, J. E. 2009. Cardiac
Nursing. Philadelphia: Wolters Kluwer Health.

Widada. 2011. Terapi Bekam Sebagai Solusi Cerdas Mengatasi Radikal Bebas,
Makasar: Universitas Hasanudin; 2011.

Widodo. 2017. Pengaruh mengkonsumsi Jus Semangka Terhadap Perubahan


Tekanan Darah Penderita Hipertensi Dengan Obesitas Di Desa Srimulyo
Wilayah Puskesmas Piyungan Bantul Yogyakarta 2014. Jurnal Kesehatan
“Samodra Ilmu” Vol. 06 No. 01 Januari 2017

Wijaya, dkk. 2013. Keperawatan Medikal Bedah (1sted). Yogyakarta: Nuha


Medika.

Zaki, M. 2015. 5 Terapi Sehat. Jakarta: PT Gramedia

Anda mungkin juga menyukai