Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Informasi Umum partisipan

A. Identitas Anak

1. Nama Anak : Dikky Eza


2. Jenis Kelamin : Laki- Laki
3. Tempat/ Tanggal Lahir : Madiun,23-05-2002
4. Pendidikan : D4/B
5. Alamat : Ds. Pulerejo Rt.04 ,Rw.01Kec.Pilang Kenceng
6. Status : Anak Kandung
7. Kondisi Umum Anak : Secara fisik anak terlihat seperti anak umum
Nya dengan kondisi fisik yang lengkap
8. Catatan : Anak termasuk ke dalam tipe ABK tuna rungu

B. Identitas Orang Tua

1. Nama : Supadiran
2. Agama : Islam
3. Pendidikan Terakir : SMA sederajat
4. Pekerjaan : Swasta
5. Alamat : Ds. Pulerejo Rt.04 ,Rw.01 Kec.Pilang Kenceng

4.2. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di SLB Al- Hidayah yang beralamat di Jalan Muri Nomor

20 Desa Mejayan Kabupaten Madiun. Terdapat salah satu siswa yaitu DE yang

merupakan ABK tipe tuna rungu. Untuk kegiatan sehari-hari DE tidak menggunakan

alat bantu dengar karena tidak disediakan oleh orang tua nya. DE termasuk ke dalam

kategori tuna rungu berat yang mana hal ini membuat DE lemah dalam kemampuan

artikulasi nya.
4.3. Pembahasan

1. Interaksi Sosial Anak Tunarungu

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa anak tunarungu memiliki kemampuan


interaksi sosial yang berbeda-beda. Berdasarkan data yang didapatkan melalui
wawancara, observasi, dan dokumentasi, interaksi sosial anak tunarungu dapat
dijabarkan sebagai berikut.

a. Interaksi Sosial Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu

DE memiliki sifat yang relatif berbeda dengan teman-teman nya


namun komunikasi dan kontak sosial di antara mereka tetap dapat terjalin.
Beberapa teman dari DE memiliki sifat mudah tersinggung, marah, dan curiga.
Sedangkan As sudah mandiri dan memiliki kedewasaan yang cukup baik
untuk anak seusianya dan dengan kekurangan yang dia miliki. Temuan ini
juga diperkuat oleh pernyataan dari guru pendamping sebagai berikut.

“Kalau DE itu bergaulnya tidak pilih-pilih. Dia itu mempunyai sifat yang lebih
mudah bergaul , karena anaknya juga sudah mandiri. Dia bisa bergaul dengan
siapa saja, tidak pilih-pilih, dan sifatnya lebih dewasa. Jadi interaksinya sudah
bagus. Dibanding dengan teman sekelas nya yang sifat mudah tersinggung,
juga emosinya sangat tinggi..” (Selasa, 25 Mei 2022)

Perbedaan sifat ini sangat berpengaruh pada hubungan yang DE jalin


di dalam kelas.. Hal ini diperkuat dengan temuan pada saat kegiatan observasi
berlangsung diamana

“Teman sebangku DE yang berinisial AY marah kepada DE karena


menggunakan pensil milik AY yang mana itu membuat AY spontan memukul
DE namun DE justru dapat menanggapinya dengan tenang dan sabar, dan
malah memberitahu AY jika itu tidak boleh memukul teman nya”.
Interaksi sosial mereka dapat ditunjukkan dengan DE dengan teman
kelas lain nya yang merupakan ABK tuna rungu dan dapat memahami
percakapan satu sama lain, Komunikasi antara DE dan teman-teman sekelas
nya memang tergolong sering terjalin. Mereka sudah terbiasa berkomunikasi
dengan bahasa isyaratnya. Mereka suka bercerita beragam hal dan tak jarang
sampai tertawa bersama.
Jadi dapat disimpulkan interaksi sosial anak tunarungu dengan sesama
anak tunarungu pada salah satu kelas ABK tuna rungu ini ditunjukkan dengan
DE menjalin percakapan menggunakan dengan teman -teman nya
menggunakan bahasa isyarat , menunjukkan sikap kepedulian, serta bermain
bersama sesama anak tunarungu. Sedangkan Ay ditunjukkan dengan menjalin
percakapan dengan bahasa verbal dan isyarat, menunjukkan sikap berbagi,
serta bermain bersama sesama anak tunarungu.

b. Interaksi Sosial Anak Tunarungu dengan Guru Kelas

DE mampu menjalin interaksi sosial dengan guru kelas, DE biasa


berkomunikasi dengan guru kelas menggunakan bahasa isyarat maupun tulis.
DE juga mampu memahami bahasa isyarat yang guru berikan serta mampu
dan mau menerima setiap instruksi dan arahan yang diberikan oleh guru
kelas, yaitu ketika diminta menulis, mengerjakan tugas, mengoreksi jawaban
teman, atau maju mengerjakan soal di papan tulis. Fakta yang dimiliki DE ini
tentu tidak sejalan dengan temuan Edja Sadjaah (2005: 32) yang
menyebutkan bahwa gangguan dalam pendengaran yang berdampak pada
hambatan berbahasa, menjadikan hambatan pula bagi anak tunarungu dalam
interaksi sosialnya. Berbeda dengan beberapa teman kelas DE, yang mana
tidak mau ketika diminta mengerjakan soal di papan tulis karena malu dan
tidak percaya diri.
Untuk mengikuti setiap instruksi dan kegiatan KBM pun sangat
tergantung pada suasana hatinya. Terkadang jika DE sedang senang dan
semangat maka dia mau mengikuti KBM dengan baik, namun jika sedang
malas atau ngambek maka DE biasanya hanya duduk saja. Temuan tersebut
sejalan dengan pendapat Mufti Salim dan Soemargo Soemarsono (1984: 15)
bahwa anak tunarungu tidak mampu mengikuti dan memahami kejadian
secara menyeluruh sehingga menimbulkan emosi yang tidak stabil, perasaan
curiga, dan kurang percaya pada diri sendiri.
Emosi DE yang terkadang membuat Guru kelas terkadang tidak dapat
memahami apa yang disampaikan atau diinginkan DE terlebih dalam kondisi
marah atau ngambek. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunardi dan Sunaryo
(2007: 250) bahwa orang lain akan sulit memahami perasaan dan pikiran
anak tunarungu sebagai akibat dari kemiskinan bahasa dan kemampuan
dalam situasi sosialnya yang tidak terlibat secara baik.
Jadi dapat disimpulkan interaksi sosial DE terhadap guru kelas
ditunjukkan dengan menjalin komunikasi melalui bahasa isyarat dan tulis,
serta mampu dan mau menerima setiap instruksi dan arahan. serta sangat
tergantung suasana hati untuk menerima setiap instruksi dan arahan

2. Upaya Guru Kelas IVB untuk Meningkatkan Kemampuan Interaksi Sosial


Anak Tunarungu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru kelas di SLB AL-Hidayah


telah melakukan beberapa upaya dalam rangka meningkatkan kemampuan
interaksi sosial anak tunarungu di kelasnya. Upaya yang dilakukan oleh guru
kelas yaitu melibatkan anak tunarungu dalam KBM serta senantiasa
memberikan pujian dan motivasi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Sunardi dan Sunaryo (2007: 277) bahwa
menekankan pentingnya kasih sayang dan kepercayaan dalam pembelajaran
dan belajar, mendorong anak untuk bersikap terbuka dan dilakukan melalui
penciptaan iklim yang tidak otoriter. Selain itu guru kelas juga memberikan
arahan pada sesama anak-anak tuna rungu agar dapat berteman dengan baik.
Hal ini juga sangat berpengaruh DE . Lingkungan yang dibangun oleh guru
dan siswa sangat mempengaruhi kemampuan interaksi sosial tunarungu.
Agar siswa dapat berinteraksi dengan baik maka siswa memerlukan
dukungan dari lingkungannya (Tutik Faricha: 2008).
Lingkungan psikososial yang dikembangkan secara positif dapat
membantu anak tunarungu merasa lebih nyaman dan percaya diri untuk
melaksanakan proses interaksi sosial dengan teman-temannya.
Jadi dapat disimpulkan upaya guru di SLB AL-Hidayah untuk
meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak tunarungu yaitu melibatkan
anak tunarungu dalam KBM, senantiasa memberikan pujian dan motivasi
kepada anak tunarungu, memberikan arahan pada sesama anak-anak tuna
rungu agar dapat berteman dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai