Kerja Sama
Antara
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Nusa Tenggara Barat
Dengan
Fakultas Peternakan Universitas Mataram
Mataram, 2013
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR
Prof. Ir. Yusuf Akhyar Sutaryono, Ph.D Prof. Dr. Ir. Soekardono, S.U
NIP 196110251985031003 NIP 195111111977021001
SUSUNAN TIM PENELITI
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Populsi ternak di NTB ………………………………………… 6
3.2 Populasi ternak menurut jenis kelamin ……………………….. 8
3.3 Populasi ternak menurut struktur umur ………………………. 9
3.4 Populasi ternak betina menurut umur ………………………… 9
3.5 Populasi ternak besar menurut kabupaten ……………………. 10
3.6 Populasi ternak kecil menurut kabupaten …………………….. 11
3.7 Populasi ternak pemakan hijauan dalam UT ………………….. 12
3.8 Luas lahan sumber pakan di P. Lombok ……………………… 13
3.9 Luas lahan sumber pakan di P. Sumbawa ……………………... 13
3.10 Daya tamping ternak pemakan hijauan di p. Lombok ………… 14
3.11 Daya tamping ternak pemakan hijauan di p. Sumbawa ……….. 15
3.12 Potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di NTB ……… 16
3.13 Populasi sapid an kerbau menurut ST-2013 dan PSPK-2011 … 16
4.1. Luas lahan menurut penggunaannya di NTB .............................. 18
4.2 Umur sapi betina pertama dikawinkan ........................................ 20
4.3 Jarak beranak ternak sapi di NTB ............................................... 21
4.4 Umur penyapihan pedet di NTB .................................................. 22
4.5 Umur sapi induk diafkir .............................................................. 24
4.6 Sistem perkawinan ternak sapi ................................................... 25
4.7 Asal pejantan pemacek yang digunakan ..................................... 26
4.8 Asal usul pejantan pemacek ........................................................ 27
4.9 Waktu perkawinan ternak sapi ................................................... 28
4.10 Kematian pedet di bawah 1 tahun dan di atas 1 tahun ................ 29
4.11 Pola pemeliharaan ternak sapi ..................................................... 30
4.12 Sistem perkandangan yang digunakan ........................................ 31
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T, karena limpahan rahmat dan taufiq Nya
maka laporan akhir kajian “Analisis Koefisien Teknis Ternak Sapi Guna Penyusunan
Parameter Teknis Peternakan dan Kesehatan Hewan di NTB” ini dapat diselesaikan
sesuai dengan rencana. Laporan ini merupakan pertanggung-jawaban Fakultas
Peternakan Unram sebagai pihak pelaksana kegiatan sesuai dengan perjanjian kerja
sama antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB dengan Fakultas
Peternakan Universitas Mataram. Hal-hal pokok yang dibahas dalam laporan ini
meliputi kondisi terkini peternakan sapi dan koefisien teknis ternak sapi di NTB.
Dengan telah selesainya laporan ini, tim menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB yang telah
memberikan kepercayaan kepada Fakultas Peternakan Unram untuk melaksanakan
kegiatan kajian ini;
2. Dekan Fakultas Peternakan Unram yang telah menugaskan kepada kami sebagai tim
pelaksana kegiatan kajian ini;
3. Para dosen dan alumni Fakultas Peternakan Unram yang telah membantu dalam
pengumpulan data lapangan.
Akhirnya, semoga laporan ini bermanfaat bagi pengembangan peternakan sapi di
NTB.
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
5%. Calving Interval yang semula 18 bulan, pada tahun 2012 diasumsikan menurun
menjadi 14 bulan. Oleh karena parameter-parameter tersebut merupakan asumsi,
tentu akan menyebabkan kesalahan dalam perhitungan trend populasi apabila
asumsi tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Oleh karena itu,
parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan trend pertumbuhan ternak
sapi seharusnya bukan berdasarkan asumsi melainkan berdasarkan hasil kajian
lapangan secara periodik.
Program NTB-BSS tahap I (2009-2013) akan segera berakhir. Berdasarkan
data perkembangan populasi, program tersebut dapat dikatakan berhasil, dengan
ditandai telah dapat dicapai populasi pada tahun 2012 sebanyak 916.560 ekor lebih
tinggi dari pada target program BSS sebanyak 897.832 ekor. Namun, disadari
bahwa realitas di lapangan sering terjadi kontradiksi. Sebagai contoh, masih
terdapat kesulitan mencari sapi potong berat di atas 300kg untuk di potong pada
RPH dalam NTB sendiri atau untuk diantar pulaukan. Hal ini mengindikasikan
bahwa produksi sapi potong di NTB masih rendah, yang salah satu penyebabnya
adalah rendahnya populasi. Oleh karena itu, kajian tentang parameter-parameter
yang digunakan dalam perhitungan perubahan populasi, perhitungan produksi, dan
perhitungan konsumsi perlu dilakukan.
2
3
BAB II
METODE KAJIAN
3
Tabel 1. Kabupaten dan Kecamatan sampel serta responden menurut strata
Responden
No Kabupaten Kecamatan
S-I S-II S-III Jumlah
1 Dompu 1. Manggalewa 25 20 15 60
2. Pekat 25 20 15 60
2 Sumbawa 1. Moyo Hulu 25 20 15 60
2. Lopok 25 20 15 60
P. Sumbawa 100 80 60 240
3 Lombok Timur 1. Aikmel 25 20 15 60
2. Pringgesile 25 20 15 60
4 Lombok Tengah 1. Pringgerate 25 20 15 60
2. Pujut 25 20 15 60
P. Lombok 100 80 60 240
NTB 200 160 120 480
4
9. Umur induk diafkir
10. Jarak beranak
11. Umur pedet disapih
12. Kematian pedet
13. Kematian ternak muda dan dewasa
5
BAB III
KEADAAN UMUM PETERNAKAN SAPI DI NTB
Dalam analisis pengembangan ternak sapi, perlu juga diketahui kondisi ternak kerbau,
kuda, kambing, dan domba karena ternak-ternak ini bersifat bersaing dengan ternak
ternak pemakan hijauan di NTB selama lima tahun terakhir tertera pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Perkembangan populasi ternak pemakan hijauan di NTB periode 2008-2012
Tahun r
Jenis ternak
2008 2009 2010 2011 2012 (%)
Kuda 77.997 77.837 76.622 72.909 77.520 -4
Sapi 546.114 592.875 695.951 784.019 916.560 10
Kerbau 161.450 155.307 155.904 141.511 144.261 -2
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa sapi, kambing, dan domba mengalami perkembangan
positif sedangkan kuda dan kerbau mengalami penurunan. Populasi ternak kerbau dan
kuda menurun kemungkinan karena nilai manfaat bagi peternak tergeser oleh ternak
sapi. Lebih-lebih sejak tahun 2009 NTB lebih berkonsentrasi pada pengembangan
ternak sapi melalui program unggulan Bumi Sejuta Sapi (BSS). Oleh karena itu kedua
jenis ternak ini, ke depan juga perlu mendapat perhatian, minimal untuk menjaga
kestabilan populasinya.
Untuk lebih mudah membaca data perkembangan populasi ternak pemakan
hijauan, berikut ini disajikan grafik perkembangan populasi ternak besar dan ternak
kecil periode tahun 2008-2012 seperti tertera pada Gb. 3.1 dan 3.2. Gambar. 3.1
menunjukkan bahwa populasi sapi terus meningkat cukup besar setiap tahunnya,
6
terutama mulai tahun 2009. Peningkatan populasi demikian sesuai dengan tujuan
program BSS-NTB untuk mencapai populasi sekitar satu juta ekor pada tahun 2013.
1,000,000
900,000
800,000
700,000
600,000
Kuda
500,000
400,000 Sapi
300,000 Kerbau
200,000
100,000
0
2008 2009 2010 2011 2012
700,000
600,000
500,000
400,000
Kambing
300,000
Domba
200,000
100,000
0
2008 2009 2010 2011 2012
7
Pada Gb. 3.2 terlihat bahwa grafik perkembangan populasi ternak kambing menaik
relatif besar sedangkan perkembangan populasi ternak domba datar cenderung naik.
Ternak kambing perlu mendapat perhatian karena sangat besar peranannya dalam
peningkatan pendapatan rumah tangga kurang mampu di pedesaan. Ternak kambing
lebih cepat menghasilkan uang dibandingkan dengan ternak besar (sapi dan kerbau)
sehingga lebih cocok diusahakan oleh rumah tangga kurang mampu. Dengan demikian
usaha ternak kambing lebih cocok untuk program pengentasan kemiskinan di
pedesaan.
Perkembangan populasi ternak sangat dipengaruhi oleh perbandingan antara
populasi ternak jantan dan betina. Untuk menghasilkan perkembangan populasi yang
maksimal, harus diupayakan agar perbandingan antara jumlah pejantan dan betina
induk optimal. Sebagai contoh, apabila program pengembangan sapi dilakukan dengan
sistem perkawinan alam, maka perbandingan antara jumlah induk dan jumlah pejantan
sebaiknya sekitar 20 : 1. Dalam Tabel 3.2 disajikan data jumlah ternak di NTB
menurut jenis kelaminnya.
Tabel 3.2. Populasi ternak menurut jenis kelamin tahun 2012
Jantan Betina Jantan & Betina
Jenis Ternak
(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Sapi 331.061 36,12 585.499 63,88 916.560
Kerbau 50.448 34,97 93.813 65,03 144.261
Kuda 35.907 46,32 41.613 53,68 77.520
Kambing 212.272 33,84 415.010 66,16 627.282
Domba 9.196 24,28 28.679 75,72 37.875
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Dalam Tabel 3.2 terlihat bahwa baik ternak besar maupun ternak kecil proporsi ternak
betina lebih besar dari pada ternak jantan. Kecuali ternak kuda proporsi ternak betina
di atas 60%. Kondisi ini cukup ideal karena untuk perkembangan ternak diperlukan
ternak betina yang lebih banyak terutama sebagai induk produktif.
Disamping proporsi populasi berdasarkan jenis kelamin, proporsi berdasarkan
umur sngat penting untuk program perkembangan ternak pemakan hijuan. Dalam
Tabel 3.3 disajikan data populasi ternak pemakan hijauan berdasarkan struktur umur.
Tabel 3.3 menunjukkan bahwa ternak dewasa menempati proporsi terbanyak, yaitu
sekitar 50%, sedangkan ternak muda dan anak relatif sama, masing-masing sekitar
8
25%. Khusus pada sapi, ternak dewasa 48,55%; muda 26, 29%; dan anak 25,17%.
Struktur umur ini cukup ideal untuk perkembangan populasi ternak pada tahun-tahun
mendatang.
Tabel 3.3. Populasi ternak menurut struktur umur di NTB tahun 2012
Anak Muda Dewasa Jumlah
Jenis Ternak
(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Sapi 230.698 25,17 240.964 26,29 444.990 48,55 916.560
Kerbau 32.834 22,76 35.632 24,7 75.795 52,54 144.261
Kuda 11.868 15,31 13.721 17,7 51.938 67,00 77.520
Kambing 184.484 29,41 170.307 27,15 272.429 43,43 627.282
Domba 8.245 21,77 8.333 22 21.297 56,23 37.875
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Data proporsi populasi menurut umur khusus untuk ternak betina menentukan
dalam perkembangan ternak. Semakin besar proporsi ternak betina dewasa semakin
banyak pula anak beranaknya yang dihasilkan. Proporsi populasi ternak pemakan
hijauan menurut umur tertera dalam Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Populasi ternak betina menurut umur di NTB tahun 2012
Anak Muda Dewasa Jumlah
Jenis ternak (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Sapi 119.886 20,47 114.662 19,58 351.042 59,95 585.590
Kerbau 17.441 18,59 19.908 21,22 56.464 60,19 93.813
Kuda 6.163 14,81 7.093 17,05 28.357 68,15 41.613
Kambing 105.509 25,42 103.188 24,86 206.313 49,71 415.010
Domba 4.776 16,65 6.700 23,36 17.203 59,98 28.679
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Tabel 3.4. menunjukkan bahwa proporsi populasi ternak betina dewasa adalah
terbanyak, yaitu sekitar 60%, ternak betina muda sekitar 20% , dan betina anak sekitar
20%. Populasi ternak betina anak sebaiknya mendekati 40% dari populasi ternak
induk. Proporsi demikian cukup baik untuk perkembngan populasi ke depan, dengan
catatan ternak muda yang berkuallitas diprioritaskan sebagai ternak bibit pengganti
induk atau pengganti pejantan. Oleh karena itu, kebijakan pengendalian pengeluaran
ternak betina bibit perlu mendapat perhatian.
9
Keadaan populasi ternak pemakan hijauan berdasarkan Pulau dan
Kabupaten/Kota sangat diperlukan untuk penyusunan perencanaan pengembangan
ternak sesuai dengan daya tampung wilayah. Populasi ternak besar dan ternak kecil,
menurut Pulau dan Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut (Tabel 3.5 dan 3.6).
Tabel 3.5. Populasi ternak besar menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012
No Kab./Kota/Pulau Sapi (ekor) Kerbau (ekor) Kuda (ekor)
1 Mataram 1.994 22 754
2 Lombok Barat 80.881 8.564 4.026
3 Lombok Utara 76.086 435 612
4 Lombok Tengah 137.200 18.894 2.361
5 Lombok Timur 110.979 4.864 5.277
Jumlah P. Lombok 407.140 32.779 13.030
6 Sumbawa Barat 54.393 13.264 5.787
7 Sumbawa 197.141 54.022 39.660
8 Dompu 96.205 20.411 8.119
9 Bima 148.089 23.072 8.483
10 Kota Bima 13.592 713 2.441
Jumlah P. Sumbawa 509.420 111.482 64.490
TOTAL 916.560 144.261 77.520
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Dalam Tabel 3.5 terlihat bahwa populasi ternak besar di P.Sumbawa lebih banyak dari
pada di P. Lombok. Populasi ternak sapi di P. Sumbawa sebanyak 509.420 ekor
(55,58%) sedangkan di P. Lombok sebanyak 407.140 ekor (44,42%). Ternak kerbau di
P. Sumbawa sebanyak 111.482 ekor (77,28%) sedangkan di P. Lombok sebanyak
32.779 ekor (22,72%). Ternak kuda juga jauh lebih banyak di P. Sumbawa 64.490 ekor
(83,19%) dari pada di P. Lombok 13.030 ekor (16,81%). Hal ini menunjukkan bahwa
P. Sumbawa memiliki keunggulan komparatif untuk pengembangan ternak besar di
NTB karena masih terdapat padang penggembalaan yang luas.
Populasi ternak kecil (kambing dan domba) menurut Pulau dan
Kabupaten/Kota di NTB adalah sebagai berikut (Tabel 3.6). Seperti halnya pada ternak
besar, populasi ternak kecil (kambing dan domba) di P. Sumbawa juga lebih banyak
10
dari pada di P. Lombok. Populasi kambing di P. Sumbawa tercatat 403.093 ekor
(64,26%) sedangkan di P. Lombok tercatat 224.190 ekor (3574%). Demikian pula
populasi domba di Kabupaten Sumbawa juga lebih banyak dari pada di P. Lombok. Di
P. Sumbawa populasi domba tercatat 25.435 ekor (69,16%) sedangkan di P. Lombok
tercatat 11.221 ekor (29,63%). Dari sisi populasi, menunjukkan bahwa Pulau
Sumbawa memiliki potensi lebih besar dari pada Pulau Lombok untuk pengembangan
ternak pemakan hijauan.
Tabel. 3.6. Populasi ternak kecil menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012
No Kab./Kota/Pulau Kambing (ekor) Domba (ekor)
1 Mataram 2.346 11
2 Lombok Barat 40.297 2.955
3 Lombok Utara 28.208 -
4 Lombok Tengah 76.076 632
5 Lombok Timur 77.263 7.623
Jumlah di P. Lombok 224.190 11.221
6 Sumbawa Barat 16.149 1.711
7 Sumbawa 38.368 1.617
8 Dompu 62.889 78
9 Bima 270.332 21.458
10 Kota Bima 15.355 571
Jumlah di P. Sumbawa 403.093 25.435
TOTAL (NTB) 627.282 37.875
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Data populasi ternak pemakan hijauan perlu dikonversikan ke dalam satuan
Unit Ternak (UT) karena Unit Ternak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan
dalam perencanaan usaha peternakan, salah satunya untuk menghitung daya tampung
wilayah (carryng capacity). Populasi ternak pemakan hijauan dalam satuan Unit
Ternak tertera dalam Tabel 3.7). Dalam Tabel 3.7 terlihat bahwa perbandingan
populasi di NTB dalam UT antara sapi, kerbau, kuda, dan kambing-domba adalah
73,80%, 11,96%, 7,16%, dan 7,09%. Proporsi ini menunjukkan bahwa ternak sapi
merupakan ternak yang memiliki potensi pengembangan terbesar di NTB, sehingga
sangat tepat jika ternak sapi menjadi ternak unggulan di NTB. Proporsi populasi antara
P. Lombok dan P. Sumbawa adalah sebagai berikut: untuk sapi adalah 44,5% dan
55,6%, kerbau 23% dan 77%, kuda 17% dan 83%, kambing dan domba 35% dan
65%.
11
Apabila dibuat klasifikasi berdasarkan populasi pada masing-masing
Kabupaten/Kota, maka Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Bima, dan Sumbawa
dapat dikategorikan ke dalam kabupaten yang memiliki potensi besar, yaitu dengan
populasi ternak pemakan hijauan di atas 100.000 UT; kabupaten Lombok Barat,
Lombok Timur, Lombok Utara, Sumbawa Barat, dan Dompu, masuk dalam kategori
sedang, dengan populasi di atas 50.000 sampai 100.000 UT; dan kota Bima dan kota
Mataram masuk kategori kecil, dengan populasi di bawah 50.000 UT.
Tabel 3.7. Populasi ternak pemakan hijauan dalam Unit Ternak (UT) 2012
Kab./Kota/
No Sapi Kerbau Kuda Kb+Db Jumlah
Pulau
1 Mataram 1.356 15 588 212 2.413
2 Lombok Barat 54.999 5.995 3.140 3.893 69.137
3 Lombok Utara 51.738 305 477 2.539 55.009
4 Lombok Tengah 93.296 13.226 1.842 6.904 116.419
5 Lombok Timur 75.466 3.405 4.116 7.640 93.505
Jumlah P. Lombok 276.855 22.945 10.163 21.187 336.483
6 Sumbawa Barat 36.987 9.285 4.514 1.607 54.363
7 Sumbawa 134.056 37.815 30.935 3.599 209.269
8 Dompu 65.419 14.288 6.333 5.667 94.424
9 Bima 100.701 16.150 6.617 26.261 148.289
10 Kota Bima 9.243 499 1.904 1.433 13.479
Jumlah P. Sumbawa 346.406 78.037 50.302 38.568 519.825
TOTAL 623.261 100.983 60.466 59.864 856.308
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2012)
Dalam Tabel 3.7 juga menunjukkan bahwa populasi ternak pemakan hijauan (sapi,
kerbau, kuda, kambing, dan domba) adalah sebanyak 856.308 UT, tepat sama
dengan populasi tahun 2011. Namun ternak sapi meningkat dari 597.266 UT menjadi
623.261 UT atau naik sekitar 6%.
3.2. Daya Tampung Wilayah NTB untuk Ternak Pemakan Hijauan dan Potensi
Pengembangan Ternak Sapi
12
penggembalaan. Jenis dan luas penggunaan lahan di NTB adalah sebagai berikut
(Tabel 3.8 dan Tabel 3.9).
Tabel 3.8. Luas Lahan Sumber Pakan Ternak di P.Lombok menurut Penggunaannya
Kabupaten/Kota
Jenis Penggunaan
Lobar Loteng Lotim KLU Mtr P. Lombok
Lahan Sawah (Ha) 16.836 51.189 45.350 8.301 2.095 123.771
Irigasi 15.632 39.977 44.708 8.185 2.095 110.597
Tadah Hujan 1.204 11.212 642 116 - 13.174
Lahan Kering (Ha) 67.169 41.392 91.997 61.985 148 262.691
Tegal/ Kebun 22.908 20.576 22.677 16.720 83 82.964
Ladang/ Huma 9.094 1.058 6.178 4.105 - 20.435
Padang Pengembalaan 160 - 556 160 - 876
Lahan tidak diusahakan - - 20 - - 20
Hutan rakyat 6.616 2.260 3.476 6.000 - 18.352
Hutan negara 20.310 17.021 55.927 27.000 - 120.258
Perkebunan 8.081 477 3.163 8.000 65 19.786
Jumlah 84.005 143.186 137.347 70.286 2.243 386.462
Keterangan: Data Lombok Barat dan KLU, untuk padang penggembalaan, hutan dan
perkebunan merupakan hasil pendekatan.
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB (2010)
13
Apabila diasumsikan bahwa lahan sawah dapat menampung ternak 1,5 UT per
ha; ladang/huma, tegal/kebun, hutan rakyat, perkebunan, lahan tidak diusahakan, dan
padang penggembalaan dapat menampung ternak 1 UT per ha dan lahan hutan negara
0,25 UT per ha , maka dapat diperhitungkan daya tampung ternak pemakan hijauan,
untuk wilayah P. Lombok seperti terlihat pada Tabel 3.10 dan untuk P. Sumbawa pada
Tabel 3.11.
Tabel 3.10. Daya tampung ternak pemakan hijauan per kabupaten/kota di P. Lombok
(Unit Ternak =UT)
Kabupaten/Kota
Jenis Penggunaan
Lobar Loteng Lotim KLU Mtr P. Lombok
Lahan Sawah 25.254 76.784 68.025 12.452 3.143 185.657
Lahan Kering 51.937 28.626 50.052 41.735 148 172.498
Tegal/ Kebun 22.908 20.576 22.677 16.720 83 82.964
Ladang/ Huma 9.094 1.058 6.178 4.105 0 20.435
Padang
160 0 556 160 0 876
Pengembalaan
Lahan tidak
0 0 20 0 0 20
diusahakan
Hutan rakyat 6.616 2.260 3.476 6.000 0 18.352
Hutan negara 5.078 4.255 13.982 6.750 0 30.065
Perkebunan 8.081 477 3.163 8.000 65 19.786
Jumlah 77.191 105.410 118.077 54.187 3.291 358.154
Dalam Tabel 3.10 terlihat bahwa wilayah P. Lombok memiliki daya tampung ternak
pemakan hijauan sebanyak 358.154 UT, yang tersebar di Kabupaten Lombok Barat
77.191 UT, Lombok Tengah 105.410 UT, Lombok Timur 118.077 UT, Lombok Utara
54.187 UT, dan Kota Mataram 3.291 UT. Daya tampung tersebut sebagian besar
berasal dari lahan sawah (sekitar 52%) dan lainnya berasal dari lahan kering (sekitar
48%). Daya tampung lahan kering, sebagian besar berupa tegal/kebun, yaitu sekitar
48% dari luas lahan kering, lainnya berupa ladang/huma 12%, hutan rakyat 11%, hutan
negara 17%, dan perkebunan sekitar 11%. Padang penggembalaan dan lahan yang
tidak diusahakan sangat kecil daya tampungnya. Oleh karena daya tampung ternak
pemakan hijauan di wilayah P. Lombok sebagian besar berasal dari lahan sawah maka
14
sebagian besar bahan pakan ternak berupa limbah pertanian dan hasil sisa produksi
pertanian.
Tabel 3.11. Daya tampung ternak pemakan hijauan per kabupaten/kota di P. Sumbawa
(Unit Ternak = UT)
Kabupaten/Kota
Jenis Penggunaan Kota
Sbw KSB Dompu Bima P. SBW
Bima
Lahan Sawah 72.291 28.865 47.574 46.115 3.383 198.227
Lahan Kering 287.317 60.654 143.557 216.620 19.417 727.564
Tegal/ Kebun 59.000 16.473 70.731 65.538 8.896 220.638
Ladang/ Huma 9.883 2.598 9.047 7.570 4.069 33.167
Padang
3.773 2.445 6.526 15.326 0 28.070
Pengembalaan
Lahan tidak
25.937 1.905 3.838 22.108 215 54.003
diusahakan
Hutan rakyat 91.336 1.850 20.905 40.375 2.840 157.306
Hutan negara 69.539 32.066 24.068 54.926 2.457 183.055
Perkebunan 27.849 3.317 8.442 10.777 940 51.325
Jumlah 359.608 89.518 191.131 262.734 22.799 925.790
Dalam Tabel 3.11 terlihat bahwa wilayah Pulau Sumbawa dapat menampung 925.790
UT. Kebalikan dari wilayah P. Lombok, daya tampung tersebut sebagian besar berasal
dari lahan kering sekitar 79%, sisanya berasal dari lahan sawah sekitar 21%. Lahan
tegal/kebun memiliki daya tampung terbanyak, disusul oleh lahan hutan negara, hutan
rakyat, lahan yang tidak diusahakan, perkebunan, ladang/huma, dan padang
penggembalaan.
Dengan membandingkan daya tampung lahan sumber pakan dengan populasi
ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau, kuda, kambing/domba) dalam Unit Ternak
(UT) dapat dihitung potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di NTB, seperti
tertera pada Tabel 3.12. Dalam Tabel 3.12 terlihat bahwa pada tahun 2012 potensi
pengembangan ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau, kuda, kambing, domba) di NTB
sebesar 427.636 UT , tersebar di P. Lombok sebanyak 21.671 UT dan di P. Sumbawa
sebanyak 405.965 UT. Apabila seluruh potensi ini digunakan untuk pengembangan
ternak sapi maka NTB masih dapat menampung tambahan ternak sapi sebanyak
427.636 UT atau sekitar 598.691 ekor. Terdapat dua kabupaten di P. Lombok yang
telah melebihi kapasitas daya tampungnya, yaitu Lombok Tengah dan Lombok Utara.
Kabupaten lainnya masih memiliki potensi pengembangan yang cukup besar.
15
Tabel 3.12. Potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di NTB
Potensi
Daya Tampung Populasi TPH
No Kab./Kota/Pulau Pengembangan
(UT) (UT)
(UT)
1 Mataram 3.291 2.413 878
2 Lombok Barat 77.191 69.137 8.054
3 Lombok Utara 54.187 55.009 (823)
4 Lombok Tengah 105.410 116.419 (11.009)
5 Lombok Timur 118.077 93.505 24.572
Jumlah P. Lombok 358.154 336.483 21.671
6 Sumbawa Barat 89.518 54.363 35.155
7 Sumbawa 359.608 209.269 150.339
8 Dompu 191.131 94.424 96.707
9 Bima 262.734 148.289 114.445
10 Kota Bima 22.799 13.479 9.320
Jumlah P. Sumbawa 925.790 519.825 405.965
TOTAL (NTB) 1.283.944 856.308 427.636
16
BAB IV
KOEFISIEN TEKNIS TERNAK SAPI
17
ekor. Sistem pemeliharaan di P. Sumbawa berbeda dengan di P. Lombok.
Pemeliharaan sapi di P. Sumbawa umumnya dilakukan secara ekstensif, sapi dilepas
pada padang penggembalaan atau di kawasan hutan terus menerus, sewaktu-waktu
diambil untuk dikontrol dan dijual. Disamping itu telah banyak berkembang
pemeliharaan semi ekstensif, pada siang hari sapi dilepas di tegal/kebun, ladang/huma,
lahan yang tidak diusahakan, atau di padang penggembalaan umum, dan pada malam
hari dikandangkan. Oleh karena itu, jumlah pemeliharaan rata-rata per peternak di P.
Sumbawa lebih banyak dari pada di P. Lombok, yaitu lebih dari 5 ekor, bahkan banyak
yang memelihara ratusan ekor.
Hasil penelitian terhadap 558 orang responden, menunjukkan bahwa pemilikan
ternak sapi rata-rata per peternak adalah sebagai berikut (Tabel 4.2 dan 4.3).
Tabel 4.2. Pemilikan ternak sapi per peternak menurut umur di NTB
Dewasa Muda Anak
Kabupaten Jml
Ekor % ek % ek %
KLU 2,53 71,13 0,73 20,42 0,30 8,45 3,55
Lobar 2,33 65,49 0,54 15,14 0,69 19,37 3,55
Loteng 2,33 59,62 0,73 18,59 0,85 21,79 3,90
Lotim 2,23 57,42 0,59 15,16 1,06 27,42 3,88
P.Lbk 2,35 63,19 0,64 17,31 0,73 19,50 3,72
KSB 8,58 53,26 5,10 31,68 2,43 15,06 16,10
Sumbawa 7,35 42,75 5,36 31,19 4,48 26,07 17,19
Dompu 4,48 48,79 2,37 25,81 2,33 25,40 9,19
Bima 7,01 45,42 3,95 25,59 4,48 28,99 15,44
P. Sbw 6,85 47,34 4,20 28,98 3,43 23,68 14,48
18
Dalam Tabel 4.2 dan 4.3 terlihat bahwa pemilikan ternak sapi di P. Sumbawa lebih
banyak dari pada di P. Lombok. Pemilikan rata-rata per peternak di P. Sumbawa
sebanyak 14,48 ekor terdiri atas 9,7 ekor betina dan 4,72 jantan sedangkan di P.
Lombok rata-rata 3,72 ekor terdiri atas 2,19 ekor betina dan 1,53 ekor jantan. Jika
diperinci menurut umur, di P. Sumbawa terdiri atas 6,85 ekor dewasa (47,34%), 4,2
ekor muda (28,98%), dan 3,4 ekor anak ( 23,68%) sedangkan di P. Lombok terdiri atas
2,35 ekor dewasa (63,19%), muda 0,64 ekor (17,31%), dan 0,73 ekor anak (19,50%).
Sapi betina pertama dikawinkan berdasarkan pada kondisi tubuh ternak, yaitu
sudah mengalami dewasa kelamin dan dewasa tubuh. Umur sapi pertama kali
dikawinkan tertera pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Umur Sapi Bali dikawinkan Pertama
Umur sapi dikawinkan pertama kali
Lokasi Jumlah
1 - 1,5 th 1,5 – 2 th > 2 th
responden
P. Lombok
Lombok Barat 1 28 44 73
Lombok Utara 0 10 31 41
Lombok Tengah 2 19 60 81
Lombok Timur 5 49 26 80
Jumlah 9 116 161 279
Persentase 3,32 41,58 49,90 100
P. Sumbawa
Sumbawa Barat - - 40 40
Sumbawa - 29 46 75
Dompu - 1 27 28
Kab. Bima - 12 30 42
Jumlah - 42 143 185
Persentase 22,70 77,30 100
NTB (%) 1,94 34,05 65,52 100
19
Pada Tabel 4.4, terlihat bahwa umur sapi betina pertama kali dikawinkan di Pulau
Lombok umumnya di atas 2 tahun. Dari 280 responden di wilayah P. Lombok,
sebanyak 3,32% menyatakan umur sapi betina pertama dikawinkan adalah umur 1-1,5
tahun; sebanyak 41,58% menyatakan pada unmr 1,5-2 tahun; dan sebesar 49,90%
menyatakan di atas 2 tahun. Dari 278 responden di wilayah kabupaten Sumbawa,
sebanyak 22.70% menyatakan sapi betina pertama dikawinkan pada umur 1,5 – 2
tahun, dan lainnya (77.30%) menyatakan pada umur di atas 2 tahun. Di wilayah NTB,
sebagian besar sapi betina pertama kali dikawinkan pada umur di atas 2 tahun.
Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa sapi-sapi dara di pulau Sumbawa
termasuk masak lambat, sedangkan sapi-sapi dara di pulau Lombok tergolong masak
dini. Penyebabnya adalah perbedaan sistem pemeliharaan dan ketersediaan pakan di
pulau Lombok lebih memadai bila dibandingkan di pulau Sumbawa.
Umur sapi dikawinkan pertama tidak terlepas dari umur pubertas sapi. Umur
pubertas pada sapi Bali merupakan aspek penting dikaitkan dengan kapasitas
reproduksinya. Menurut hasil survey yang telah dilakukan Arman dkk. (1996), bahwa
sapi Bali jantan akan mencapai pubertas rataan pada umur 20,40±4,07 bulan dan umur
perkawinan pertama yang mampu menghasilkan kebuntingan adalah 23,49±4,91 bulan.
Sedangkan ternak betina akan mencapai pubertas pada umur 18,55±2,91 dan
perkawinan pertama yang menghasilkan kebuntingan akan terjadi pada umur
21,19±3,60 bulan. Menurut Fordyce et al. (2002), umur pubertas sapi bali baik jantan
maupun betina pada umur 12 – 24 bulan dengan berat badan berkisar antara 100 – 150
kg. Kebuntingan pada ternak betina tersebut dapat terjadi pada siklus birahi kedua
sejak pubertas dicapai.
20
12,92 bulan. Hal ini mungkin karena sapi di P. Sumbawa lebih banyak digembalakan
sehingga secara alami sapi betina dapat lebih intensif ketemu pejantan pemacek ketika
masa birahi. Jarak beranak rata-rata 12,7 bulan dapat diartikan bahwa dalam
sekelompok induk produktif, dalam satu tahun akan dapat diperoleh angka kelahiran
sekitar 94% dari jumlah induk produktif. Jadi, dalam program pengembangan sapi
perbibitan, faktor yang sangat penting diperhatikan adalah produktifitas induk.
Tabel 4.5. Jarak beranak ternak sapi induk di NTB
Rata-rata Terkecil Terbesar
N0 Kabupaten
(bulan) (bulan) (bulan)
1 Bima 12,6 12 16
2 Dompu 12,51 12 16
3 Sumbawa 12,07 12 13
4 Sumbawa Barat 12,75 12 14
P. Sumbawa 12,48 12 14,75
5 Lombok Timur 13,36 12 18
6 Lombok tengah 12,76 12 15
7 Lombok Barat 12,78 12 16
8 Lombok utara 12,79 12 14
P. Lombok 12,92 12 15,75
NTB 12,70 12 15,25
Hasil ini juga terkait dan erat hubungannya dengan perkawinan kembali setelah
melahirkan, dan juga bunting kembali setelah melahirkan. Perkawinan kembali setelah
sapi beranak baik di pulau Lombok maupun di pulau Sumbawa terjadi setelah 2
sampai 4 bulan. Ternak sapi induk mengalami kebuntingan kembali setelah beranak
baik di pulau Lombok maupun di Sumbawa sekitar 3,5 bulan. Secara umum kondisi di
P. Sumbawa sedikit lebih baik dibandingkan dengan di P. Lombok. Hal ini mungkin
disebabkan oleh perbedaan dalam sistem pemeliharaannya. Di Pulau Lombok
pemeliharaan sapi umumnya dilakukan secara intensif yaitu sapi-sapi baik jantan
maupun betina dikandangkan atau diikat secara terus menerus ditempat yang berbeda
oleh pemiliknya sehingga sapi-sapi tersebut selalu terpisah dan tidak bisa melakukan
percumbuan ataupun perkawinan secara bebas. Sedangkan sapi-sapi dipulau Sumbawa
dipelihara secara ekstensip dimana sapi-sapi tersebut digembalakan secara bersama-
sama dalam satu areal penggembalaan baik dipadang rumput, pinggiran hutan, diatas
bukit ataupu di areal lahan pertanian yang sedang tidak ditanami, sehingga sapi jantan
dan betina lebih intensif ketemu pada masa-masa sapi betina birahi. Hasil penelitian
21
yang dilakukan peneliti terdahulu (Thalib et al., 2002 ) menunjukkan bahwa
terjadinya pubertas pada sapi bali di NTB yaitu pada umur 2,5 tahun, umur beranak
pertama pada umur 36 bulan, jarak antar beranak 16 bulan, angka kelahiran 51,7%,
sedangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wirdhayati (1994) dan Thalib
(2001) mengungkapkan bahwa calving rate sapi bali di NTB berkisar antara 63 – 78
%. Calving interval dan calving rate sangat penting diperhatikan dalam pengembangan
sapi perbibitan. Oleh karena itu program seleksi bibit calon induk dan peningkatan
produktivitas ternak induk sangat penting dilakukan secara terus menerus sehingga
terjaga kualitas induk sapi sebagai pabrik ternak sapi.
Penyapihan pedet dapat dilakukan pada waktu pedet umur 3 atau 4 bulan. Namun,
umumnya para peternak rakyat menyapih pedet dari induknya lebih dari 6 bulan,
dengan alasan kasihan. Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa rata-rata penyapihan pedet di
NTB adalah 6,9 bulan. Penyapihan pedet di Pulau Sumbawa lebih lama (7,33 bulan)
dibandingkan dengan di Pulau Lombok (6,6 bulan). Banyak pula peternak yang
menyapih pedetnya sampai umur satu tahun, bahkan secara alamiah disapih oleh
induknya sendiri. Umur sapih paling muda tercatat 4 bulan. Dalam program
22
pengembangan ternak sapi perbibitan sebaiknya umur penyapihan diprogramkan
antara 3 – 4 bulan agar induknya lebih baik kondisinya. Setelah disapih, pedet-pedet
tersebut selain diberikan hijauan yang berkualitas perlu diberikan pakan tambahan
konsentrat yang mencukupi untuk pertumbuhan optimal.
Umumnya peternak di Pulau Lombok melakukan penyapihan dengan cara
mengikat atau menaruh anak sapi di kandang yang terpisah dari induknya. Pada
awalnya anak sapi dilatih untuk berhenti menyusui dengan cara dibatasi untuk
menyusui kepada induknya, dalam sehari diberikan 3 kali sehari, selanjutnya 2 kali
sehari kemudian 1 kali sehari dan setelah 2 minggu kemudian anak sapi diberhentikan
sepenuhnya untuk tidak menyusui lagi dari induknya. Sedangkan peternak di
Sumbawa penyapihan agak sulit dilakukan karena sistem penggembalaan yang selalu
bersama anatara induk dan pedetnya. Sistem ini menyebabkan lamanya waktu untuk
anak sapi berhenti menyusui. Penyapihan dapat dilakukan dengan cara tidak mengikut
sertakan anak sapi untuk di gembalakan yang dapat dilakukan pada anak sapi yang
sudah besar (umur 5-6 bulan). Metode yang lain untuk penyapihan yaitu dengan
mengolesi puting susu induk dengan daun-daun tumbuhan yang terasa pahit dengan
tujuan agar anak sapi tidak suka menyusu.
Jumlah Kelahiran
Umur Sapi Diafkir/ Diganti
Kabupaten Untuk Penggantian Induk
(tahun)
(kali)
Lombok Barat 11,14 8,94
Lombok Utara 11,10 9,40
Lombok Tengah 11,17 8,24
Lombok Timur 11,09 7,58
P. Lombok 11,12 8,54
Sumbawa Barat 12,20 11,01
Sumbawa 12,99 10,04
Dompu 8,00 5,00
Kab. Bima 8,00 5,00
P. Sumbawa 10.30 7,76
NTB 10,71 8,15
23
Dalam pengembangan sapi perbibitan, produktivitas sapi induk sangat penting. Salah
satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi induk adalah umur. Oleh karena itu,
umur sapi induk diafkir secara keseluruhan akan mempengaruhi produktivitas ternak
sapi. Dalam Tabel 4.7 terlihat bahwa rata-rata sapi induk di NTB diafkir pada umur
10,71 tahun, di P. Lombok 11,12 tahun, dan di P. Sumbawa 10,30 tahun. Umur sapi
induk diafkir dikedua wilayah Pulau tersebut tidak berbeda nyata, yaitu antara 10 – 11
tahun atau setelah melahirkan sekitar 8 kali. Kondisi ini tergolong sudah cukup baik
untuk pengembangan sapi perbibitan rakyat.
Sistem perkawinan ternak sapi umumnya terdiri atas dua macam, yaitu kawin
alam atau kawin suntik. Pada daerah-daerah yang pemeliharaan ternak sapinya
dilakukan secara intensif telah banyak dikembangkan kawin suntik, tetapi pada daerah-
daerah dengan pemeliharaan secara ekstensif, perkawinan sapi masih dengan kawin
alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (98%) peternak di P.
Sumbawa mengawinkan ternak sapinya secara kawin alam, hanya 2% yang
mengawinkan dengan kawin suntik. Peternak di P. Lombok sudah banyak yang
menggunakan kawin suntik, mencapai 30%, 70% peternak lainnya masih
menggunakan kawin alam. Keberhasilan kebuntingan dari masing-masing sistem
perkawinan tersebut tertera pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Sistem perkawinan ternak sapi di NTB
Lokasi Sistem Perkawinan
Kawin Alam (Kali) Kawin Suntik (Kali)
Lombok Barat 2 2,04
Lombok Utara 1,00 2,11
Lombok Tengah 1,15 1,50
Lombok Timur 1.35 2,00
P. Lombok 1,38 1,91
Sumbawa Barat 1,21 1,00
Sumbawa 1,26 2,67
Dompu 1,34 0,00
Kab.Bima 1,00 0,00
P. Sumbawa 1,2 0,92
NTB 1,27 1,45
24
Data dalam Tabel 4.8 terlihat bahwa di P. Lombok untuk kawin alam kebuntingan
terjadi rata-rata setelah sapi dikawinkan sebanyak 1,38 kali dengan pejantan pemacek
sedangkan dengan kawin suntik rata-rata 1,91 kali. Di pulau Sumbawa, dengan kawin
alam terjadi kebuntingan setelah rata-rata dikawinkan sebanyak 1,27 kali, sedangkan
pada kawin suntik setelah diinseminasi sebanyak rata-rata 1,45 kali. Perkawinan
dengan Inseminasui buatan frekuensi pengulangannya lebih tinggi dibandingkan
dengan kawin alam, hal ini berkaitan dengan tingkat keterampilan inseminator dan
waktu melakukan inseminasi buatan. Bila inseminator kurang mahir dalam melakukan
inseminasi dan waktu yang kurang tepat akan menyebabkan tingginya tingkat
kegagalan menghasilkan kebuntingan. Petani responden di pulau Sumbawa tidak
mengawinkan ternak sapinya dengan inseminasi, walaupun sebenarnya di pulau
Sumbawa juga sudah diterapkan program inseminasi tetapi terbatas pada lokasi lokasi
tertentu. Kebijakan pemerintah NTB untuk menjadikan pulau Sumbawa sebagai daerah
pemurnian genetik sapi bali juga berdampak terhadap pelarangan kegiatan inseminasi
buatan dengan tujuan untuk mencegah masuknya jenis-jenis bibit sapi selain sapi bali
masuk ke pulau Sumbawa melalui pengiriman semen dalam bentuk straw untuk IB.
Perkawinan alam biasanya dilakukan dengan pejantan yang tersedia dikelompok
ternak yang dibayar sesuai dengan hasil kesepakatan kelompok biasanya berkisar
antara Rp 15.000 - 25.000 untuk sekali perkawinan. Hasil pembayaran sebagian
dimasukkan menjadi KAS kelompok dan sebagiannya sebagai upah bagi yang
memelihara pejantan, sedangkan untuk kawin suntik peternak membayar antara Rp
100 000 -125 000 untuk satu kali kawin suntik. Pejantan pemacek yang digunakan
umumnya berasal dari berbagai sumber, ada yang dari milik sendiri, ada yang milik
tetangga, ada yang milik kelompok, dan ada pula yang berasal dari padang
penggembalaan umum. Secara rinci, asal pejantan pemacek dapat dilihat pada Tabel
4.9. Dalam Tabel 4.9 terlihat bahwa sebagian besar asal pejantan pemacek adalah milik
kelompok. Di P. Lombok, 64% pejantan pemacek yang digunakan adalah milik
kelompok, 24% milik sendiri, dan 12% milik tetangga. Di P. Sumbawa, 49% pejantan
pemacek adalah milik kelompok, 35% milik sendiri, 9% milik tetangga, dan 7%
berasal dari padang penggembalaan umum. Pada peternakan rakyat, termasuk yang
dilakukan oleh para peternak di NTB, pencatatan tentang perkembangbiakan ternaknya
atau recording masih jarang dilakukan, apalagi mencatat tentang perkawinan
ternaknya.
25
Tabel 4.9. Asal pejantan pemacek yang digunakan
Kepemilikan Pejantan
Kabupaten Pejantan di
Milik Milik
Milik sendiri padang
Tetangga Kelompok
penggembalaan
Lombok Barat 28 7 59 -
Lombok Utara 29 4 9 -
Lombok Tengah 6 16 65 -
Lombok Timur 3 6 43 -
P. Lombok 66 33 176 -
Persentase 24 12 64 -
Sumbawa Barat 11 4 22 6
Sumbawa 40 2 30 0
Dompu 16 11 0 6
Kab.Bima 0 0 42 0
P. Sumbawa 67 17 94 12
Persentase 35 9 49 7
Data yang ditunjukkan pada Tabel 4.9, mengindikasikan bahwa pengetahuan peternak
tentang inbreeding masih rendah, hal ini dapat dilihat dari penggunaan pejantan untuk
mengawinkan ternaknya. Banyak diantara peternak yang memelihara anak sapi jantan
sampai umur dewasa dan membiarkannya kawin dengan kerabat terdekatnya yaitu
saudara sebapak atau saudara seibu bahkan mengawini induknya sendiri. Kondisi ini
menyebabkan koefisien inbreeding terhadap populasi sapi yang ada di masyarakat
masih tinggi. Seleksi untuk memperoleh pejantan pemacek unggul juga masih jarang
dilakukan oleh peternak.
Dari mana asal pejantan pemacek diperoleh, secara tidak langsung juga
mempengaruhi kualitas keturunan ternak sapi di suatu wilayah. Tabel 4.10
menunjukkan asal pejantan pemacek yang digunakan oleh peternak. Dalam Tabel 4.10
terlihat bahwa di pulau Lombok 31,95% pejantan pemacek yang digunakan berasal
dari dalam desa, 9,4% dari luar desa, 46,40% diperoleh dari pasar hewan, 9,40%
menggunakan pejantan milik kelompok, dan 2,63% dari bantuan Dinas Peternakan.
Besarnya tingkat pemakaian pejantan yang berasal dari dalam desa secara genetik akan
menyebabkan tingkat inbreeding (kawin keluarga) yang tinggi. Peternak di desa-desa
pada umumnya mengawinkan ternaknya dengan pejantan yang ada ditempat yang
26
terdekat bila pejantan tersebut sering dipakai secara bergantian dan berulangkali yang
menyebabkan terjadinya kawin antar keluarga dekat.
Tabel 4.10. Asal usul Pejantan Pemacek
Asal Pejantan Yang Digunakan
Kabupaten Dalam Dari pasar Milik Bantuan
Luar Desa
Desa hewan Kelompok Dinas
Lombok Barat 34 0 30 11 2
Lombok Utara 32 1 8 0 0
Lombok Tengah 13 24 50 7 1
Lombok Timur 6 0 36 7 4
P. Lombok 85 25 124 25 7
% 31.95 9.40 46.62 9.40 2.63
Sumbawa Barat 25 12 0 4 1
Sumbawa 45 27 0 1 0
Dompu 27 2 0 0 0
Kab.Bima 42 0 0 0 0
P. Sumbawa 139 41 0 5 1
% 74.73 22.04 0 2.69 0.35
Pejantan Pemacek biasanya diperoleh dari anak sapi jantan yang diperoleh dari
kelahiran sebelumnya yang dibesarkan hingga dewasa dan menjadi pejntan pemacek.
Kondisi ini menyebabkan anak sapi yang sudah dewasa akan mengawini induk-induk
sapi yang ada disekitarnya yang kemungkinan adalah induknya sendiri atau saudara
sebapak atau saudara seinduknya. Perkawinan antar keluarga dekat pada suatu
populasi ternak akan menyebabkan tingkat homozigositas yang tinggi terhadap genetik
ternak. Tingginya tingkat homozigositas menyebabkan rendahnya nilai heterosis pada
pertumbuhan keturunan ternak tersebut. Kondisi yang sama juga terjadi di pulau
Sumbawa.
Waktu perkawinan ternak sangat penting diperhatikan karena sangat
berkorelasi dengan waktu kelahiran dan kematian pedet. Ketika waktu kelahiran terjadi
pada musim kemarau, di mana terjadi kekurangan pakan, pada waktu itu banyak terjadi
kematian pedet. Waktu perkawinan sapi yang umum terjadi tertera dalam Tabel 4.11.
Dalam Tabel 4.11 terlihat bahwa perkawinan ternak sapi di pulau Lombok
terdistribusi secara merata sepanjang tahun. Ini berarti bahwa di pulau Lombok tidak
27
terdapat musim kawin dan musim lahir pedet. Kondisi ini tidak terlepas dari sistem
pemeliharaan, terutama dalam penyediaan pakan.
Tabel 4.11. Waktu Perkawinan Ternak Sapi
Bulan Kawin
Kabupaten J F Mt A Mi Jn Jl Ag S O N D
Lobar 2 2 3 1 2 8 5 1 4 1 4 2
KLU 13 4 4 14 9 4 2 2 5 2 4 17
Loteng 3 9 1 - - 2 8 4 12 2 1 3
Lotim 1 - - - - 1 - - - 4 - 1
P. Lbk 19 15 8 15 11 15 15 7 21 9 9 23
% 11.4 11 6 11 8.0 11 11 5.1 15.3 6.6 6.6 16.8
KSB - - 2 - - - - 8 16 11 1 -
Sumbawa - 1 - - - 25 38 3 8 6 2 3
Dompu 1 5 12 4 7 7 9 2 0 1 0 0
Bima - - - - - - 35 41 - 4 2 3
P. Sbw 1 6 14 4 7 32 82 54 24 23 5 6
% 0,39 2,33 5,43 1,55 2,71 12,40 31,78 20,93 9,30 8,91 1,94 2,33
Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor penting dalam peternakan sapi,
karena akan menyebabkan turunnya produksi dan produktivitas ternak, bahkan
mengakibatkan kematian ternak, yang pada gilirannya akan merugikan peternak.
Kematian ternak sapi sebagian besar terjadi ketika masih pada umur di bawah 1 tahun
(pedet) (Tabel 4.12).
28
Tabel 4.12. Kematian Pedet dibawah 1 tahun dan 1 tahun ke atas
Kematian
Kab Jml (ekor)
<1th (ek) >1th (ek) Jml (ek) %
KLU 142 7 4 11 7,75
Lobar 284 15 6 21 7,39
Loteng 312 16 4 20 6,41
Lotim 310 27 13 40 12,90
P.Lbk 1.048 65 27 92 8,61
KSB 644 52 30 82 12,73
Sumbawa 1.289 71 25 96 7,45
Dompu 744 35 35 70 9,41
Bima 1.266 99 39 138 10,90
P. Sbw 3.943 257 129 386 10,12
NTB 4.991 322 156 478 9,37
Dalam Tabel 4.12 terlihat bahwa kematian ternak sapi rata-rata di NTB sebanyak
9,37% per tahun, sebagaian besar (67%) mati ketika masih umur kurang dari 1 tahun
(pedet) dan 33% mati setelah umur 1 tahun. Terdapat sedikit perbedaan antara
persentase kematian sapi di P. Lombok dan di P. Sumbawa. Di P. Lombok sebesar
8,61% sedangkan di P. Sumbawa 10,12%. Penyebab kematian pedet umumnya adalah
mencret, cacingan, premature, kurang perawatan, tidak mau menyusui, dan tergelincir.
29
Tabel 4.13. Pola pemeliharaan ternak sapi di NTB
Digembalakan
Dikandangkan
Kabupaten Terus Menerus Campuran
(Intensif)
(Ekstensif)
Lombok Barat 77 - -
Lombok Utara 40 - -
Lombok Tengah 73 -
Lombok Timur 80 -
P. Lombok 270
Persentase 100
Sumbawa Barat 4 16 20
Sumbawa - 43 30
Dompu 1 20 7
Kab. Bima - 0 42
P. Sumbawa 5 95 99
Persentase 2,51 47,74 49,75
Pola Pemeliharaan ternak sapi dalam hal ini dikategorikan ke dalam sistem intensif,
ekstensif, dan semi intensif (campuran intensif dan ekstensif). Pemeliharaan secara
intensif yaitu pemeliharaan sapi yang sepenuhnya dilakukan dengan cara
dikandangkan, sehingga kebutuhan pakan dan minum disediakan oleh peternak yang
memeliharanya. Pola pemeliharaan ekstensif yaitu pemeliharaan ternak dengan sistem
penggembalaan (grazing) di padang penggembalaan atau areal pertanian yang tidak
ditanamai dengan tanaman produktif, sehingga pakan dan minum dipenuhi saat
pengembalaan ternak. Sistem pemeliharan campuran adalah pemeliharaan sapi ketika
siang hari sapi dilepas mencari pakan sendiri dan ketika malam hari sapi
dikandangkan. Di pulau Lombok seluruh responden (100%) memelihara sapi dengan
cara intensif yaitu dikandangkan terus menerus. Di pulau Sumbawa, pemeliharaan
ternak sapi sebagian besar dilakukan secara ekstensif dan campuran, hanya 2,51%
yang dilakukan secara intensif.
Sistem pemeliharaan sapi dapat pula digambarkan melalui sistem
perkandangan yang digunakan. Tabel 4.14 menggambarkan sistem perkandangan yang
digunakan para peternak di NTB. Tabel 4.14 memperlihatkan adanya perbedaan yang
signifikan pemeliharaan ternak sapi antara di P. Lombok dan di P. Sumbawa. Di P.
Lombok, sebagian besar peternak (86%) menggunakan kandang kolektif, hanya 14%
30
yang menggunkan kandang individual. Penggunaan kandang kolektif tersebut lebih
ditujukan untuk pengamanan ternak dari pencurian. Sebaliknya, di P. Sumbawa para
peternak lebih banyak menggunakan kandang individual (61%), lainnya yang 39%
menggunakan kandang individual.
Tabel 4.14. Sistem perkandangan yang digunakan pemeliharaan sapi
Sistem Perkandangan
Lokasi
Kandang Kolektif Individual
Lombok Barat 64 14
Lombok Utara 28 12
Lombok Tengah 78 11
Lombok Timur 76 4
P. Lombok 246 41
Persentase ( %) 85,71 14,29
Sumbawa Barat 13 27
Sumbawa 62 -
Dompu - 75
Kab. Bima 3 25
P. Sumbawa 78 127
Persentase (%) 38,94 61,06
Bentuk kandang sapi di pulau Lombok juga berbeda dengan kandang sapi di
pulau Sumbawa, di mana di Pulau Lombok bangunan kandang lebih permanen dengan
konstruksi kayu atau tiang beton dengan bahan atap dari alang-alang, asbes, atau
genteng. Lantai kandangnya berupa campuran tanah pasir dan kerikil yang sudah
dipadatkan bahkan lantai beton. Kandang sapi di pulau Sumbawa umumnya hanya
berupa pagar keliling sekedar sebagai tempat mengumpulkan sapi pada malam hari
atau pada saat siang hari sewaktu istirahat digembalakan. Pagar keliling kandang
biasanya terbuat dari tanaman pagar hidup seperti kayu banten atau bambu yang
dikelilingi dengan kawat berduri.
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah:
a. Menurut data sementara Sensus Pertanian tahun 2013 (ST-2013), populasi sapi
dan kerbau di NTB tercatat 726.900 ekor atau setara dengan sekitar 508.830 UT.
Jika populasi kuda 60.466 UT dan kambing/domba 59.864 UT maka populasi
ternak pemakan hijauan di NTB sebanyak sekitar 629.160 UT.
b. Berdasarkan luas lahan sumber pakan yang tersedia, daya tampung wilayah NTB
untuk pemeliharaan ternak pemakan hijauan mencapai 1.283.944 UT. Dengan
demikian, jika dibandingkan dengan populasi yang ada maka potensi
pengembangan ternak pemakan hijauan di wilayah NTB masih sekitar 654.784
UT atau setara dengan sekitar 916.697 ekor sapi.
c. Jumlah pemeliharaan ternak sapi rata-rata per peternak, untuk NTB sebanyak 9,10
ekor terdiri atas 3,12 ekor jantan dan 5,97 ekor betina; untuk Pulau Sumbawa rata-
rata 14,48 ekor terdiri atas 4,72 ekor jantan dan 9,76 ekor betina; untuk Pulau
Lombok rata-rata 3,72 ekor terdiri atas 1,53 ekor jantan dan 2,19 ekor betina.
d. Koefisien teknis ternak sapi perbibitan yang terkait dengan produksi dan
reproduksi adalah sebagai berikut:
1). Sapi betina dikawinkan pertama di wilayah NTB umumnya di atas 2 tahun;
2). Jarak beranak di NTB rata-rata 12,7 bulan; terpendek 12 bulan dan terpanjang
15,25 bulan. Jarak beranak di wilayah P. Sumbawa (12,48 bulan) relatif lebih
baik dari pada di wilayah P. Lombok (12,92 bulan).
3). Umur penyapihan pedet rata-rata di NTB 6,9 bulan. Umur penyapihan di
wilayah P. Lombok (6,6 bulan) relatif lebih baik dari pada di P. Sumbawa
(7,33 bulan).
4). Umur sapi induk diafkir di NTB rata-rata 10,71 tahun atau ketika sudah
melahirkan 8-9 kali. Tidak banyak berbeda umur pengafkiran sapi induk antara
di wilayah P. Sumbawa dan di P. Lombok.
5). Perkawinan ternak sapi di wilayah P. Sumbawa umumnya (98%) meng-
gunakan sistem kawin alam. Di wilayah P. Lombok telah berkembang
perkawinan ternak dengan kawin suntik, yaitu mencapai 30%, lainnya masih
32
dengan kawin alam. Baik dengan kawin alam maupun kawin suntik umumnya
berhasil bunting 1-2 kali perkawinan/suntik.
6). Pejantan pemacek yang digunakan dalam perkawinan ternak sapi pada
umumnya milik kelompok. Di wilayah P. Lombok penggunaan pejantan milik
kelompok mencapai 64% dan di P. Sumbawa 49%. Kemudian disusul oleh
milik sendiri, di P. Sumbawa mencapai 35% dan di P. Lombok 24%.
Selebihnya menggunakan pejantan milik tetangga dan pejantan yang ada di
padang penggembalaan.
7). Masa perkawinan ternak sapi berbeda antara di P. Lombok dan di P. Sumbawa.
Di P. Lombok, perkawinan ternak terjadi merata sepanjang tahun atau dapat
dikatakan tidak ada masa kawin. Di P. Sumbawa perkawinan ternak sapi
banyak berlangsung pada bulan Juli dan Agustus yang umumnya terjadi pada
padang penggembalaan umum.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil kajian di atas dapat disarankan hal-hal berikut:
a. Oleh karena umur penyapihan pedet umumnya masih tinggi, sekitar 7 bulan, maka
perlu dilakukan penyuluhan intensif kepada para peternak agar mereka bersedia
menyapih pedetnya lebih awal, yaitu pada umur 3 s/d 4 bulan. Dalam kaitan ini
tentu harus dibarengi dengan perbaikan manajemen pemeliharaan pedet setelah
disapih.
b. Perlu perbaikan manajemen perkawinan ternak sapi, terutama yang menggunakan
sistem kawin alam harus diupayakan tidak terjadi inbreeding dan diupayakan
menggunakan pejantan unggul. Manajemen kawin suntik juga perlu diperbaiki
baik yang terkait dengan sarana-prasarana maupun kualitas inseminatornya.
c. Walaupun calving interval hasil kajian cukup baik dan tingkat kematian pedet juga
tergolong rendah, tetapi dalam menggunakannya dalam analisis perubahan
populasi sebaiknya data tersebut digunakan sebagai data optimis. Artinya, perlu
disusun analisis perubahan populasi dengan data calving interval dan kematian
pedet yang lebih tinggi sebagai analisis perubahan yang pesimis. Dengan
demikian dalam analisis perubahan populasi ada dua skenario, yaitu skenario
optimis dan skenario pesimis.
33