Anda di halaman 1dari 10

BAB I

TANTANGAN BEKERJA SEBAGAI PERAWAT

1.1 PELUANG KERJA PERAWAT YANG SEMAKIN MINIM

Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari


pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan
adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia pun tidak terlepas dari
partisipasi tenaga perawat.

Perawat adalah tenaga kesehatan dengan poporsi terbesar di Indonesia, yaitu


sebesar 173.948 orang (44%) di ikuti oleh bidan dengan proporsi sebesar kurang
lebih setengah dari jumlah perawat dengan 93.889 orang (23%) sampai dengan
tahun 2009 (Ditjen Dikti, 2011). Perawat juga paling sering berinteraksi dengan
klien 24 jam terus – menerus. Akan tetapi jika di kaji lebih dalam, sebenarnya
sudah menjadi hak perawat untuk mendapatkan kebijakan strategis pemerintah
yang berpihak kepada tenaga perawat Indonesia.

Kebijakan pemerintah Indonesia saat ini dalam mempersiapkan sumber daya


perawat dalam menyongsong era globalisasi tidaklah sesuai harapan. Kebijakan
tersebut sungguh memprihatinkan. Hal tersebut terlihat dari visi dan misi
pemerintah dalam pengelolaan sumber daya perawat yang tidak jelas tujuannya.

Di satu sisi pemerintah memberikan kemudahan pendirian Akademi


Keperawatan (AKPER) dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES). Namun di
sisi lain, pemerintah tidak mengontrol kualitas keluaran pendidikan tersebut.
Selain itu, tidak nampak upaya mengerem kuantitas perawat. Sehingga perawat
lulusan AKPER dan STIKES semakin banyak yang tidak dapat bekerja alias
menjadi pengangguran terdidik.

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi melaporkan bahwa pada tahun 2011


terdapat 308 Prodi S1 Keperawatan dan 288 Prodi D3 Keperawatan di seluruh
Indonesia (Ditjen Dikti,2011). Bila rata-rata program studi meluluskan 40 orang
mahasiswa setiap tahun, maka jumlah lulusan perawat minimal mencapai 25.560
orang pertahun. Bila jumlah perawat pada 2011 mencapai 500 ribu orang, maka
diperkirakan pada 2015, Indonesia akan mengalami kelebihan stok perawat.

Namun masalahnya saat ini, hanya 4-10 persen diantara mereka yang dapat
diserap dunia kerja pada bidangnya baik di lembaga kesehatan pemerintah
maupun swasta (Ditjen Dikti,2011). Sebagian perawat yang tidak tertampung
seleksi dunia kerja kemudian menjadi perawat luar negeri. Bahkan rela menjadi
pegawai honorer di sejumlah rumah sakit dan puskesmas pemerintah.

Hal tersebut dikarenakan ketatnya persaingan di dunia kerja perawat untuk


mendapatkan pekerjaan yang sesuai harapan dengan jumlah lapangan pekerjaan
yang tersedia dan menjanjikan sangat terbatas. Contohnya seperti menjadi perawat
praktisi di rumah sakit, perawat pendidik di institusi pendidikan, pegawai
pemerintah di instansi kesehatan, dan lain-lain. Selain itu, terbatasnya anggaran
pemerintah dalam merekrut pegawai negeri melalui kebijakan moratorium
perekrutan pegawai negeri semakin memperkecil penyerapan tenaga kerja
perawat.

Sebenarnya kebutuhan perawat dalam negeri masih sangatlah baanyak.


Sebagai contoh, Jepang dengan penduduk 130 juta jiwa memiliki 1,3 juta perawat,
sedangkan Indonesia dengan penduduk 240 juta jiwa hanya memiliki perawat
sejumlah 624 ribu perawat. Jumlah perawat pun setiap tahun akan mengalami
peningkatan sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Namun jika pertumbuhan
penduduk dan perawat berjalan sesuai prediksi maka setiap tahun persentase
kesenjangan akan semakin berkurang secara bertahap. Pada tahun 2015 di prediksi
terdapat kesenjangan sebesar 26,1% dan diprediksi terjadi keseimbangan antara
supply dan demand jumlah perawat di Indonesia pada tahun 2030 (Ditjen
Dikti,2011)

Di sisi lain, kebutuhan perawat di luar negeri juga masih tinggi seperti Kuwait,
Uni Emirat Arab, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia membutuhkan
ribuan perawat setiap tahunnya. Akan tetapi rendahnya daya saing tenaga perawat
indonesia menyebabkan banyaknya perawat yang tidak terserap oleh bursa kerja
yang ada. Selain itu, tergendalanya akintabilitas sistem pemnjamin mutu lulusan
dan registrasi perawat dalam negeri yang banyak dipertanyksn pihak asing .

Pada akhirnya, peluang miliaran rupiah dari remittance tersebut tidak bisa
negara terima. Sehingga harus direlakan kepada negara lain yang lebih siap untuk
menyuplai tenaga perawat ke negara-negara maju tersebut. Sejauh ini pemerintah
Indonesia baru mengirimkan 208 perawat pada tahun 2009 dan 149 perawat pada
tahun 2010 ke Jepang. Padahal negara-negara maju tersebut masih kekurangan
perawat hingga mencapai 2 juta orang hingga tahun 2015 (Ditjen Dikti,2011).

1.2 BEBAN KERJA Vs KESEJAHTERAAN PERAWAT

Keperawatan sebagai bagian integral pelayanan kesehatan merupakan suatu


bentuk pelayanan profesional yang di dasarkan pada ilmu keperawatan. Setiap
masyarakat berhak mendapat pelayanan kesehatan dengan kinerja yang terbaik
dari perawat. Tenaga keperawatan yang berkualitas mempunyai sikap propesional
yang dapat memberikan kepuasan pada pasien sebagai penerima pelayanan.

Namun, pelayanan keperawatan yang berkualitas akan sulit dilaksanakan jika


suplai tenaga kesehatan yang tidak memadai, serta sistem kesehatan yang tidak di
perhatikan. Selain itu, kita pun tidak pungkiri bahwa di tengahbesarnya tuntutan
terhadap perawat agar memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat serta
beratnya resiko yang di hadapi, sebagian besar tatanan pelayanan kesehatan tidak
memberikan lingkungan kerja yang kondusif bagi perawat. Masalah yang
dihadapi pun bermacam-macam.
Beberapa tatanan pelayanan keperawatan yang memperkerjakan perawat
dengan beban kerja yang berlebih (overload). Pengaturan shift kerja yabg diatur
hanya berdasarkan tenaga perawat yang tersedia, sehingga dapat terjadi kurangnya
jumlah perawat saat jumlah angka pasien angka pasien sedang tingginya. Belum
lagi kondisi pasien yang memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi
sehingga keluarga merasa sangat perlu untuk mendampingi pasien selama 24 jam.

Bahkan penghasilan juga merupakan faktor yang penting dalam terciptanya


kepuasan kerja perawat menjadi masalah yang sensitif dalam pelayanan
keperawatan berkualitas.

“Perawat sebagai suatu profesi, idealnya diberikan penghasilan sesuai


dengan pendidikan, beban, dan resiko kerja.”

Semakin tinggi pendidikan, beban dan resiko pekerjaan maka semakin tinggi
penghasilan yang harus diterimanya.

Namun, harapan meningkatnya kesejahteraan perawat masih jauh dari


kenyataan. Bahkan, saat ini ada sejumlah perawat di beberapa kabupaten di
sejumlah provinsi menjadi tenaga honorer dengan gaji tidak layak. Bahkan
beberapa perawat dengan sukarela bekerja tanoa diberikan gaji. Hal tersebut
memang tidak rasional, tetapi fakta yang terjadi di banyak daerah masih banyak di
temui perawat sukarela.

Tingginya angka lulusan perawat dan terbatasnya dunia kerja perawat di


Indonesia menyebabkan masih ada saja gaji perawat dibawah Upah Minimum
Regional (UMR), bahkan saat ini pengangguran perawat masih tinggi. Realitas
kerja yang terjadi pun memperlihatkan adanya kesenjangan kesejahteraan antara
perawat dengan tenaga kesehatan lainnya.

Sektor swasta seperti rumah sakit swasta atau klinik swasta, juga ikut
menekan kesejahteraan perawat. Sistem perekrutan perawat dengan biaya murah
dengan mempertimbangkan cost and benefit perusahaan. Oleh karena itu, akibat
terbatasnya lapangan pekerjaan, perawat sarjana (S1) lulusan STIKES/PSIK/FIK
yang tidak dapat pekerjaan, mau tidak mau menerimanya daripada menganggur
serta tidak adanya pendapatan, akhirnya bersedia diberikan gaji dengab standar
lulusan D4 atau D3. Perawat lulusan D4 juga demikian, bersedia diberikan gaji
dengan standar D3 atau SPK. Lalu bagaimana dengan perawat lulusan SPK.
Apakah tidak diberikan gaji. Sungguh memprihatinkan.

1.3 KETIDAKJELASAN PENJENJANGAN KARIR PROFESIONAL


PERAWAT

Tenaga perawat sebagai tenaga profesional akan menentukan kualitas


pelayanan yang diberikan. Peningkatkan kualitas pelayanan tersebut dapat dicapai
melalui sistem pengembangan jenjang karir. Hal tersebut seharusnya dapat dengan
mudah dilaksanakan dikarenakan sangat bervariasinya kualifikasi tenaga perawat
saat ini di Indonesia.

Jenjang karir merupakan suatu sistem untuk meningkatkan kinerja dan


profesionalisme perawat sesuai bidang pekerjaannya melalui peningkatan
kompetensi. Pengembangan jenjang karir ini sangat dibutuhkan karena dapat
menempatkan perawat sesuai keahlian dan potensinya. Selain itu, pengembangan
jenjang karir memberikan kesempatan bagi perawat untuk berkembang dan
meningkatkan kualitas kerjanya. Sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi
kepuasan kerja yang diterima klien.

Penjenjangan karir profesional perawat secara umum meliputi perawat klinik,


perawat manajer, perawat pendidik, serta perawat peneliti. Namun, realitas
penjenjangan karir perawar di berbagai pelayanan kesehatan, saat ini tidaklah
berjalan sebagaimana mestinya.

“idealnya suatu pekerjaan memiliki jenjang karir dari tingkat rendah sampai
tingkat tinggi yang didasarkan pada skill, tingkat pendidikan, serta sertifikasi
pelatihan seseorang.”

Kenyataan yang terjadi pada semua perawat apapun pendidikannya dan


berapa lama pun bekerja, mereka mengerjakan pekerjaan yang sama dengan
penghasilan yang sama sedikitnya pula. Sehingga banyak yang merasa bahwa
pendidikan yang mereka tempuh dengan segala pengorbanannya terasa sia-sia tak
bearti. Bahkan, untuk jabatan struktural saja yang membidangi pelayanan
keperawatan pun kadangkala pihak manajemen rumah sakit menunjuk profesi lain
sebagai kepala bidang keperawatan, sehingga tidak ada yang mampu mengayomi
dan memperjuangkan perawat.

Pertanyaan mendasar yang harus kembali di tanyakan ialah apakah perawat


tidak mampu. Sungguh kondisi yang memprihatinkan. Oleh karena itu, sekarang
sudah saatnya perawat memperjuangkan penataan jenjang karirnya sesuai
kompetensi yang dipersyaratkan.

Jenjang karir profesional berbasis kompetensi hanya dicapai melalui


pendidikan formal dan pendidikan berkelanjutan. Prinsip pengembangan karir
meliputi kualifikasi, penjenjangan, fungsi utama, kesempatan, standar profesi, dan
komitmen pimpinan. Penjenjangan mempunyai makna tingkatan kompetensi
untuk melaksanakan asuhan keperawatan yang akuntabel dan etis sesuai batas
kewenangan.

Sistem promosi karir perawat pun harus berdasarkan kualifikasi


(credentialing) harus memenuhi persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut
idealnya sebagai berikut pendidikan dasar keperawatan minimal DIII (diploma
III), pengalaman kerja di area klinik, program sertifikasi, uji komptensi nasional,
serta penataan job value/reward system pada proses penilaian kerja (Nursalam &
Ferry, 2008). Bahkan, di negara-negara maju pun yang membutuhkan perawat
Indonesia.

Negara-negara maju seperti Jepang, Amerika, Kanada, Inggris, Kuwait, Arab


Saudi, Australia, New Zealand, Malaysia, Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, Jerman,
Belanda, Swiss, dan Singapura, sudah memiliki proses pengembangan karir
perawat. Proses tersebut tidaklah mudah untuk bisa mencapainya. Namun bukan
sesuatu yang sulit untuk dicapai kalau persiapan sudah matang dimana perawat
harus mengikuti dan melalui serangkaian tes seperti NCLEXRN, IELTS, CGFNS.
1.4 PENGAKUAN PERAWAT INDONESIA

“Nursing is a noble profession that requires dedication, compassion, love,


and care to patients.”

-Adelani Ogunrinade-

Senada dengan Adelani Ogunrinade, penulis meyakini bahwa keperawatan


merupakan profesi mulia yang memerlukan dedikasi, kasih sayang, cinta, serta
perawatan kepada pasien. Perawat selalu setia menemani orang yang sedang sakit,
walaupun itu bukan keluarganya bahkan orang yang tidak dikenalnya, tidak peduli
siang ataupun malam, serta lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada
dirinya sendiri. Ataupun malam serta lebih mengutamakan kepentingan orang lain
daripada dirinya sendiri.

Hal tersebut hanyalah sebagian kecil pengorbanan seorang perawat. Profesi


perawat merupakan pekerjaan yang mulia dan sudah seharusnya mendapatkan
balasan yang mulia juga. Namun kondisi pofesi perawat saat ini selalu menjadi
objek eksplotasi dan diskriminasi dalam berbagai aspek seperti gaji yang rendah,
pelanggaran hak asasi di tempat kerja, dan masih banyak lagi. Sungguh
memprihatinkan.

Realita yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa citra profesi perawat
cendrung rendah. Sebagian besar masyarakat mengenal profesi perawat sebagai
pembantu dokter dalam memenuhi kebutuhan pasien. Perawat yang senantiasa
dijumpai di setiap rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan dipandang hanya
berdiri disamping dokter, kemudian dokter memerintahkan sesuatu kepada
perawat, lalu pergi keluar kamar periksa.

Selain itu, profesi yang dikenal dengan pakaian serba putih ini, identik
dengan sifat sombong, tidak ramah, genit, dan sebagainya. Begitulah, citra
perawat yang ada dibenak masyarakat masih memandang profesi perawat dengan
stigma negatif.

Dunia perfilman di Indonesia pun ikut andil dalam membangun citra perawat
dengan stigma negatif. Saat ini perawat hanya dijadikan sebagai objek eksplotasi
dan komersialisasi. Para pekerja seni dalam perfilman di Indonesia akhir akhir ini
lebih senang mengekspos ikon perawat /suster dalam mendongkrak perjualan film
tersebut.

Berbagai film seperti film berjudul Suster Ngesot, Suster N, Suster Keramas,
dan beberapa judul lainnya yang menjadikan suster sebagai mahkluk pembunuh
dan pendendam semakin membuat citra perawat tercemar. Bahkan ada beberapa
film yang mengandung unsur pornogrfi seperti film berjudul Suster Keramas.
Film tersebut menyajikan banyak adegan porno yang diperankan sebagai seorang
perawat.

Film-film tersebut kini telah membuat citra perawat menjadi tercemar dan
rusaknya budi pekerti dan akhlak bangsa Indonesia. Paradigma masyarakat
mengenai profesi perawat pun akan menjadi lebih buruk lagi. Perawat itu hanya
dianggap menakutkan dan mengerikan, tetapi juga pornografi. oleh karena itu,
seluruh insan keperawatan masih harus memperjuangkan langkah-langkah
profesional dalan meng-counter stigma negatif tersebut dari berbagai pihak.
Agenda tersebut merupakan salah satu agenda terpenting dan mendesak yang
perlu didiskusikan lebih lanjut. Dalam konteks tersebut profesionalisme pelayan
keperawatan kepada masyarakat menjadi salah satu kunci penting dalam
memperbaiki citra perawat di tengah kehidupan masyarakat sendiri.

Beda halnya dengan citra perawat indonesia di dalam negeri. Pandangan


dunia internasional terhadap perawat indonesia berdasarkan objektivitas
profesinalisme. Perawat indonesia sebenarnya dipandang dunia sebagai perawat
yang berkualitas dan memiliki kompetensi yang tidak kalah dari luar negeri.

Pernyataan tersebut didasarkan pada sebuah referens bahwa perawat


indonesia banyak dibutuhkan diluar negeri. Sampai saat ini kebutuhan dunia
terhadap perawat indonesia semakin meningkat. Berikut negara yang
membutuhkan perawat indonesia, diantaranya Jepang membutuhkan 1.000 orang
untuk dua tahun, amerika 1 juta perawat, Kanada hampir 1 juta orang, Inggris
3.000 perawat, Kuwait 12.000 perawat, Arab Saudi, Australia, New Zealand,
Malaysia, Qatar, Oman, Uni emirat Arab, Jerman, Belanda , Swiss, dan Singapore
(BNP2TKI, 2009).

Namun disisi lain, akibat lemahnya sistem regulasi keperawatan di Indonesia,


banyak perawat di Indonesia yang bekerja diluar negeri merasa dirugikan
sehingga berdampak pada pelayanan kesehatan yang diberikan. April, 2008 dunia
keperawatan indonesia dikejutkan dengan isu 54 perawat Indonesia di Kuwait
yang terancam di Deportasi karena masalah pengakuan ijasah. Buntut dari
penolakan pengakuan ijasah, rumah sakit penggunan jasa di Kuwait, langsung
menonaktifkan perawat indonesia. Sekitar 700 perawat indonesia pun terancam
dipulangkan ke indonesia akibat ketidakjelasan lembaga penjamin kompentensi
lulusan, ijasah pendidikan, serta dalam registrasi perawat indonesia (Susilo,
2008).

Selain itu kabar 167 perawat indonesia yang dikirim ke Jepang dalam
kerangka Indonesia japan Economic Patnership dipertanyakan keabsahan
ijazahnya. Mereka terancam tidak diakui ijazah pendidikan perawat pada kategori
tingkat perawatan yang sesuai dengan tingkat pendidikan perawat indonesia. Hal
tersebut dikarenakan ketidakjelasan perbedaan bermacam-macam tingkat
pendidikan dan kategori perawat yang tidak sesuai dengan ketentuan Internasional
(BNP2TKI, 2009).

Lagi-lagi sebenarnya akar masalah tersebut ialah UU Keperawatan , Sebab


UU keperawatan tersebut berkaitan dengan sistem akreditasi lulusan institusi
kesehatan dalam negeri maupun luar negeri yang tidak ada kesamaan standarisasi.
Padahal begitu banyak pesyaratan kompentensi yang telah mereka penuhi saat
akan bekerja di luar negeri.

Dampak diberlakukan ASEAN Free Area (AFTA) sejak 1 januari 2010 pun
sangat terasa sekali bagi perawat Indonesia. Banyak perawat asing yang bekerja di
indonesia. Namun diberlakukan yang diterima mereka sungguh terbalik dengan
berbagai macam pesyaratan yang harus dipenuhi oleh perawat indonesia jika
bekerja di negara mereka.
Tidak ada peraturan di indonesia yang mengharuskan perawat asing
mengikuti tes tersebut, khususnya tes bahasa indonesia. Sungguh tidak adil. Hal
tersebut dikarenakan perawat asing hanya bekerja tersebut hanya dirumah sakit
internasional di indonesia yang menggunakan bahasa inggris dalam
kesehariannya.

Padahal perjanjian MUTUAL Recognition Agreement (MRA) pada tanggal 8


desember 2006 di Chebu, Filipina, yang membuka pasar bebas bagi perawat asing
keluar masuk Indonesia dan begitu juga sebaliknya telah ditandatangani dan
menyepakati sebuah sistem yang standar untuk perawat. Namun hanya Indonesia
dan Laos yang belum memilki sistem regulasi perawat yaitu dalam bentuk UU
Keperawatan.

UU keperawatan itu diharapkan yang akan melahirkan KONSIL Keperawatan


(Auto Regulatory Body). Konsil tersebutlah yang dapat menjamin adanya
perlindungan hukum bagi keperawatan . selain itu, konsul keperawatan akan
menjadikan perawat yang diakui dan mampu bersaing di mata Internasional.

Dengan telah resmi disahkanya UU Keperawatan oleh Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) pada tanggal 25 september 2014, diharapakan tidak ada lagi
masalah-masalah yang telah disebutkan sebelumnya kepada perawat indonesia .
tidak akan ada lagi ancaman deportasi perawat indonesia karena ketidaklegagalan
profeisonal. Tidak akan ada eksplotasi tenaga kerja perawat profesional. Tidak
akan ada lagi pendirian institusi keperawatan yang tidak berkualitas. Bahkan
ancaman hukum seperti malpraktek keperawatan, kesalahan wewenang tindakan
medis bukan lagi menjadi hal yang harus ditakuti.

Anda mungkin juga menyukai