Namun masalahnya saat ini, hanya 4-10 persen diantara mereka yang dapat
diserap dunia kerja pada bidangnya baik di lembaga kesehatan pemerintah
maupun swasta (Ditjen Dikti,2011). Sebagian perawat yang tidak tertampung
seleksi dunia kerja kemudian menjadi perawat luar negeri. Bahkan rela menjadi
pegawai honorer di sejumlah rumah sakit dan puskesmas pemerintah.
Di sisi lain, kebutuhan perawat di luar negeri juga masih tinggi seperti Kuwait,
Uni Emirat Arab, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia membutuhkan
ribuan perawat setiap tahunnya. Akan tetapi rendahnya daya saing tenaga perawat
indonesia menyebabkan banyaknya perawat yang tidak terserap oleh bursa kerja
yang ada. Selain itu, tergendalanya akintabilitas sistem pemnjamin mutu lulusan
dan registrasi perawat dalam negeri yang banyak dipertanyksn pihak asing .
Pada akhirnya, peluang miliaran rupiah dari remittance tersebut tidak bisa
negara terima. Sehingga harus direlakan kepada negara lain yang lebih siap untuk
menyuplai tenaga perawat ke negara-negara maju tersebut. Sejauh ini pemerintah
Indonesia baru mengirimkan 208 perawat pada tahun 2009 dan 149 perawat pada
tahun 2010 ke Jepang. Padahal negara-negara maju tersebut masih kekurangan
perawat hingga mencapai 2 juta orang hingga tahun 2015 (Ditjen Dikti,2011).
Semakin tinggi pendidikan, beban dan resiko pekerjaan maka semakin tinggi
penghasilan yang harus diterimanya.
Sektor swasta seperti rumah sakit swasta atau klinik swasta, juga ikut
menekan kesejahteraan perawat. Sistem perekrutan perawat dengan biaya murah
dengan mempertimbangkan cost and benefit perusahaan. Oleh karena itu, akibat
terbatasnya lapangan pekerjaan, perawat sarjana (S1) lulusan STIKES/PSIK/FIK
yang tidak dapat pekerjaan, mau tidak mau menerimanya daripada menganggur
serta tidak adanya pendapatan, akhirnya bersedia diberikan gaji dengab standar
lulusan D4 atau D3. Perawat lulusan D4 juga demikian, bersedia diberikan gaji
dengan standar D3 atau SPK. Lalu bagaimana dengan perawat lulusan SPK.
Apakah tidak diberikan gaji. Sungguh memprihatinkan.
“idealnya suatu pekerjaan memiliki jenjang karir dari tingkat rendah sampai
tingkat tinggi yang didasarkan pada skill, tingkat pendidikan, serta sertifikasi
pelatihan seseorang.”
-Adelani Ogunrinade-
Realita yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa citra profesi perawat
cendrung rendah. Sebagian besar masyarakat mengenal profesi perawat sebagai
pembantu dokter dalam memenuhi kebutuhan pasien. Perawat yang senantiasa
dijumpai di setiap rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan dipandang hanya
berdiri disamping dokter, kemudian dokter memerintahkan sesuatu kepada
perawat, lalu pergi keluar kamar periksa.
Selain itu, profesi yang dikenal dengan pakaian serba putih ini, identik
dengan sifat sombong, tidak ramah, genit, dan sebagainya. Begitulah, citra
perawat yang ada dibenak masyarakat masih memandang profesi perawat dengan
stigma negatif.
Dunia perfilman di Indonesia pun ikut andil dalam membangun citra perawat
dengan stigma negatif. Saat ini perawat hanya dijadikan sebagai objek eksplotasi
dan komersialisasi. Para pekerja seni dalam perfilman di Indonesia akhir akhir ini
lebih senang mengekspos ikon perawat /suster dalam mendongkrak perjualan film
tersebut.
Berbagai film seperti film berjudul Suster Ngesot, Suster N, Suster Keramas,
dan beberapa judul lainnya yang menjadikan suster sebagai mahkluk pembunuh
dan pendendam semakin membuat citra perawat tercemar. Bahkan ada beberapa
film yang mengandung unsur pornogrfi seperti film berjudul Suster Keramas.
Film tersebut menyajikan banyak adegan porno yang diperankan sebagai seorang
perawat.
Film-film tersebut kini telah membuat citra perawat menjadi tercemar dan
rusaknya budi pekerti dan akhlak bangsa Indonesia. Paradigma masyarakat
mengenai profesi perawat pun akan menjadi lebih buruk lagi. Perawat itu hanya
dianggap menakutkan dan mengerikan, tetapi juga pornografi. oleh karena itu,
seluruh insan keperawatan masih harus memperjuangkan langkah-langkah
profesional dalan meng-counter stigma negatif tersebut dari berbagai pihak.
Agenda tersebut merupakan salah satu agenda terpenting dan mendesak yang
perlu didiskusikan lebih lanjut. Dalam konteks tersebut profesionalisme pelayan
keperawatan kepada masyarakat menjadi salah satu kunci penting dalam
memperbaiki citra perawat di tengah kehidupan masyarakat sendiri.
Selain itu kabar 167 perawat indonesia yang dikirim ke Jepang dalam
kerangka Indonesia japan Economic Patnership dipertanyakan keabsahan
ijazahnya. Mereka terancam tidak diakui ijazah pendidikan perawat pada kategori
tingkat perawatan yang sesuai dengan tingkat pendidikan perawat indonesia. Hal
tersebut dikarenakan ketidakjelasan perbedaan bermacam-macam tingkat
pendidikan dan kategori perawat yang tidak sesuai dengan ketentuan Internasional
(BNP2TKI, 2009).
Dampak diberlakukan ASEAN Free Area (AFTA) sejak 1 januari 2010 pun
sangat terasa sekali bagi perawat Indonesia. Banyak perawat asing yang bekerja di
indonesia. Namun diberlakukan yang diterima mereka sungguh terbalik dengan
berbagai macam pesyaratan yang harus dipenuhi oleh perawat indonesia jika
bekerja di negara mereka.
Tidak ada peraturan di indonesia yang mengharuskan perawat asing
mengikuti tes tersebut, khususnya tes bahasa indonesia. Sungguh tidak adil. Hal
tersebut dikarenakan perawat asing hanya bekerja tersebut hanya dirumah sakit
internasional di indonesia yang menggunakan bahasa inggris dalam
kesehariannya.