Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Caring

1. Pengertian Caring

Milton mayeroff, dalam analisis tentang makna caring dalam

hubungan manusia (mayeroff, dalam caring & communicating 2009,

8), menggambarkan caring sebagai suatu proses yang memberikan

kesempatan kepada seseorang (baik pemberi asuhan (carer) maupun

penerima asuhan) untuk pertumbuhan pribadi. Aspek utama caring

dalam analisis, meliputi:

a) Pengetahuan.

b) Penggantian irama (belajar dari pengalaman).

c) Kesabaran.

d) Kejujuran.

e) Rasa percaya.

f) Kerendahan hati.

g) Harapan, dan

h) Keberanian

Tema umum disini adalah bahwa caring dapat mempengaruhi

kehidupan seseorang dalam cara bermakna dan memicu eksistensi

yang lebih memuaskan. Apa yang kita temukan dalam pertimbangan

mayeroff adalah prinsip caring yang luas. Masalahnya adalah bahwa

9
10

aspek tersebut mungkin tidak cukup spesifik untuk diterapkan pada

semua situasi caring. Pada poin ini, mungkin bermanfaat untuk

berhenti dan mencatat daftar kriteria anda tentang aspek utama dalam

hubungan caring dan membandingkannya dengan daftar diatas.

Mayeroof menfokuskan caring dalam makna yang paling umum.

Analisisnya tidak berarti dibatasi pada caring di sebuah klinik atau di

lingkungan perawatan kesehatan. Mayeroff memikirkan semua

hubungan caring; personal, interpersonal, keluarga, spiritual,

terapeutik, emosional dan seterusnya. Saat ini mungkin perlu untuk

beralih keanalisis tentang caring yang lebih dapat diterapkan seperti

yang ditawarkan oleh Alistair Campbell.

(Campbell, 2009, 9 dalam caring & communicating), telah

mendiskusikan pernyataan aneh tentang professional kesehatan yang

dibayar untuk care terhadap orang lain. Sebenarnya, mungkin dapat

dipertanyakan bisakah care di programkan atau dilakukan sebagai

tindakan professional yang telah direncanakan. Tampaknya bahwa

hubungan caring professional berbeda dari hubungan caring yang

lain.

2. Hubungan antara keperawatan dan Caring

Beberapa penulis telah mengartikan caring dalam keperawatan

sebagai sebuah cinta. Ray (1981) menemukan bahwa: “ analisis

caring secara konseptual dari perspektif berbeda diperkirakan sebagai


11

sebuah bentuk cinta “. Sementara analisis teologis Campbell (1984)

tentang asuhan professional, seperti telah dijelaskan diatas,

mengharuskan agar caring di persepsikan sebagai sebuah bentuk

“cinta sedang”. Istilah cinta sedang menunjukkan seperti kita ketahui,

bahwa hubungan caring secara professional terikat kuat (atau

sedang) oleh konvensi dan undang-undang. (Caring &

communicating, 2009, 12)

Bagaimanapun, McFarlane (1979) mengartikan keperawatan

sebagai proses “ menolong “, membantu, melayani, caring,

menunjukkan bahwa keperawatan dan caring adalah sesuatu yang

tidak terpisahkan dan pada saat yang sama mengindikasikan bahwa

beberapa aktivitas praktik dilakukan dalam proses caring

dilingkungan keperawatan. Sudut pandang ini di adopsi dan diperluas

oleh griffin (1983) yang membagi konsep caring ke dalam dua

domain utama. Salah satu konsep ini berkenaan dengan sikap dan

emosi perawat, sementara konsep caring yang lain terfokus pada

aktifitas yang dilakukan perawat saat melaksanakan fungsi

keperawatannya.

Griffin (1983) menggambarkan caring dalam keperawatan

sebagai sebuah proses interpersonal esensial yang mengharuskan

perawat melakukan aktifitas peran yang spesifik dalam sebuah cara

dengan menyampaikan ekspresi emosi-emosi tertentu kepada

resipien. Aktifitas tersebut menurut griffin meliputi; membantu,


12

menolong dan melayani orang yang mempunyai kebutuhan khusus.

Proses ini dipengaruhi oleh hubungan antara perawat dengan pasien.

Emosi “ menyukai “ dan “kasih sayang “ ditawarkan secara sementara

sebagai respon afektif penting yang diekspresikan dalam hubungan

ini.

Chapman (1983), menyatakan bahwa salah satu alasan utama

kenapa orang-orang masuk ke keperawatan adalah karena keinginan

mereka untuk membantu dan merawat orang lain yang paling

membutuhkan. Pratt (1980) berpendapat sama bahwa caring adalah

kekuatan pendorong utama yang memotivasi seseorang untuk masuk

ke dalam profesi keperawatan. Dalam alur serupa, seleksi wawancara

yang spesifik telah dikembangkan untuk mengidentifikasi kandidat

yang paling cenderung berhasil dalam karier keperawatan (Selection

Research limited, 1987). Caring adalah salah satu dari 11 atribut yang

diisolasi karena cenderung menjadi prediktor kesuksesan.

Akibatnya kita diberikan beberapa ide tentang karakteristik

caring dan hubungan caring. Apakah kita menerima pandangan dan

opini ini sebagai sesuatu yang signifikan. Terdapat tiga aspek penting

yang mendasari keharusan perawat untuk care terhadap orang lain,

aspek ini adalah; aspek kontrak, aspek etika, dan aspek spiritual

dalam caring terhadap orang lain yang sakit. Fry (1988) menyatakan

beberapa petunjuk tentang caring, diantaranya:


13

a) Caring harus dilihat sebagai nilai puncak atau nilai tertinggi

untuk membimbing tindakan seseorang.

b) Caring harus dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bernilai

universal.

c) Caring harus dipertimbangkan secara jelas karena perilaku

tertentu (empati, dukungan, simpati, perlindungan, dan lain-

lain) diutamakan.

d) Caring harus berkenaan dengan orang lain-harus berfikir untuk

menyejahterakan orang lain dan bukan menyejahterakan diri

sendiri.

Terdapat tiga aspek penting yang mendasari keharusan perawat

untuk care terhadap orang lain (Caring & communicating, 2009 hal

14 -19), aspek ini adalah;

1) Aspek kontrak

Telah diketahui bahwa, sebagai professional, kita berada

di bawah kewajiban kontrak untuk care. Radsma (1994)

mengatakan, “ perawat memiliki tugas professional untuk

memberikan care “. Dapat diperdebatkan bahwa menjadi

perawat melibatkan ide caring dan bahwa menawarkan klien

sebuah pelayanan keperawatan berarti menawarkan care

kepada mereka. Di lain pihak, tidak menawarkan care pada

mereka berarti tidak menawarkan keperawatan kepada mereka.


14

Dalam hal ini, keperawatan didefinisikan dalam kaitannya

dengan care. Maka merawat adalah memberikan care.

Pada tingkat yang lebih kongkrit, dapat dibahas bahwa

care ditawarkan sesuai dengan harapan klien atau konsumen.

Kita mungkin mengatakan bahwa pasien atau klien

mengharapkan care dari perawat sebagai bagian kontrak yang

telah mereka buat. Dalam hal ini, adalah berarti menawarkan

care. Perawat juga dipekerjakan untuk menawarkan care.

Disini, karakteristik kontrak antara perawat dan orang yang

mempekerjakannya didasarkan pada harapan bahwa perawat

akan menawarkan care. Namun, perlu dikatakan bahwa isu

kontrak tersebut lebih bersifat implisit dari pada eksplisit.

Jika caring adalah isu kontraktual, kita perlu

memperhitungkan dampaknya. Campbell (1984),

memperhatikan adanya kontradiksi yang jelas dalam peran

pemberi asuhan professional kesehatan diminta untuk care

tetapi juga dibayar untuk melakukan hal tersebut. Seakan-akan

professional kesehatan, sesuai dengan kontrak finansial

mereka, diminta untuk menghidupkan sikap care mereka.

Pernyataan tentang hal serupa ditemukan dalam konseling dan

psikoterapi, yaitu klien membayar professional untuk simpati,

empati, dan mendengarkan. Pertanyaan terbuka muncul;


15

dapatkah seseorang care secara professional dan sekaligus

demi uang?.

Bagaimanapun, dapat dibahas bahwa kita semua telah

belajar untuk berhubungan dengan orang lain dalam konteks

berbeda. Jika kita care, kita melakukannya karena kita telah

belajar untuk care dan karena care merupakan respon yang

tepat dalam konteks tersebut. Proses pembelajaran tersebut

mungkin terjadi dalam beberapa tahun. Misalnya, dapat

dibahas bahwa kita belajar untuk care karena kita telah

mendapatkan care dari orang tua, teman, kekasih dan

pasangan. Kita telah mengalami rasanya mendapatkan care dan

oleh karena itu mampu menunjukkan care kepada orang lain.

Jika kita kembali memperdebatkan pemberi asuhan

professional, kita mungkin menemukan bahwa kru kabin, staf

hotel dan yang lainnya juga telah belajar untuk care tetapi

melakukannya dalam cara yang sangat terstruktur dan memiliki

tujuan. Proses telah dipercepat dan, meskipun metode

pembelajaran mungkin berbeda, masih tetap dapat dibahas

bahwa staf tersebut telah belajar untuk care. Begitu juga

perawat. Tidak ada alasan mengapa kita harus secara otomatis

mengasumsikan bahwa caring juga tidak harus selalu spontan

dan berasal dari hati.


16

Terdapat elemen lain selain aspek kontrak dalam caring.

Homans (1961) mengajukan sebuah teori tentang pertukaran

sosial pada saat ia menyatakan bahwa; “ rahasia terbuka dalam

pertukaran manusia adalah memberikan kepada orang lain

perilaku yang lebih bernilai baginya daripada bagi anda dan

mendapatkan perilaku dari orang lain yang lebih bernilai bagi

anda daripada baginya ”.

Bagi Homans, kehidupan interpersonal adalah serangkaian

transaksi yang dilakukan setiap orang untuk dan dengan orang

lain sebagai antisipasi untuk menerima sesuatu. Contoh,

peraturan umum dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa

manusia biasanya memberi-menerima dalam hubungan mereka

dengan orang lain dalam cara yang saling disepakati. Dalam

konteks ini, hal tersebut berarti bahwa perawat care untuk

mendapatkan sesuatu mungkin kepuasan kerja, sensasi

pencapaian, kontrak dengan orang lain dan mendapatkan gaji di

akhir bulan. Semua hal ini dapat membuat pekerjaan

memuaskan dan pantas dinilai, serta mendorong kita untuk

mengintervensi suatu hal dalam diri kita di dalam sikap care

tersebut.

Hal lain dalam aspek kontrak mungkin ditemukan dalam

tulisan Martin Buber (1985), yang membandingkan dan

membedakan hubungan personal “ saya-itu ” dengan hubungan


17

personal “ saya-kamu ”. pada intinya, makna yang terkandung

dalam pernyataan Buber adalah; bahwa saat kita berhadapan

dengan orang lain berdasarkan hubungan “ saya-itu “, kita

menjadikan orang tersebut sebagai objek. Jenis objektifikasi ini

dapat dilihat pada saat kita menyebut orang lain sebagai “

apendiks di tempat tidur 6 “ dan efeknya adalah mengganti

manusia bernyawa menjadi apendiks-sebuah objek. Buber

berpendapat bahwa yang lebih manusiawi dan posisi yang lebih

dapat dibenarkan secara moral adalah menghadapi seseorang

dari sudut pandang hubungan “ saya-kamu “. Dalam hubungan

seperti itu, setiap orang memperlakukan orang lain sebagai

seorang manusia yang sadar, memiliki pengetahuan dan

perasaan yang harus dihargai.

Buber berpendapat bagian esensial dalam proses belajar

dengan orang lain adalah mengakui kemanusiaan mereka.

Bagian dari kontrak menjadi pemberi asuhan atau terapis

adalah bukan untuk mengubah mereka menjadi sebuah objek

tetapi membiarkan mereka tidak hanya sebagai manusia, tetapi

juga orang yang mempunyai kedudukan sejajar dengan kita.

Hal ini hanya dapat dicapai melalui kewaspadaan yang terus

menerus dan kerendahan hati yang besar. Jika kita

mempertahankan cara hubungan saya-kamu, kita harus

melepaskan setiap ambisi professional yang mungkin kita


18

miliki. Menghadapi orang lain dari sudut pandang professional

adalah dengan mengubah mereka menjadi suatu objek.

Hal tersebut hanyalah beberapa isu yang mempengaruhi

aspek kontrak dalam asuhan professional. Hubungan perawat-

klien dapat dilihat sebagai hubungan yang didefinisikan dan

dinegosiasikan secara beragam yang melibatkan tindakan

memberi dan menerima demi kepentingan kedua orang

partisipan. Dalam hubungan seperti itu, setiap partisipan dilihat

sebagai orang yang memiliki beberapa macam kebutuhan.

Perawatan professional membuat kontrak untuk care.

2) Aspek etika

Pertanyaan etika adalah pertanyaan tentang apa yang

benar atau salah, bagaimana membuat keputusan yang tepat,

bagaimana bertindak dalam situasi tertentu. Jenis pertanyaan

ini akan mempengaruhi cara perawat memberikan asuhan. Ada

beberapa cara dalam pendekatan isu etika. Dapat muncul kode

beberapa tindakan keagamaan yang menginstruksikan cara

bertindak penganutnya. Sebenarnya, harus diperhatikan bahwa

sebagian besar kode keagamaan mendorong penganutnya untuk

bertindak caring kepada orang lain. Kita bahkan tergoda untuk

memperdebatkan bahwa orang yang religius biasanya terikat

dengan kerja untuk bertindak dalam cara caring terhadap orang

lain. Namun, ironisnya kita juga tahu bahwa agama berada di


19

balik banyak kejadian internasional yang menunjukkan

bagaimana orang-orang saling tidak caring-pembersihan etnis,

pembunuhan sekelompok besar orang-orang yang berasal dari

etnik tertentu, dan perang sering kali berkaitan dengan

keyakinan agama yang ekstrem.

Kita perlu kembali ke pendekatan sekular/duniawi terkait

dengan etika caring. Dengan cara sekular, kita menggunakan

pendekatan yang tidak melibatkan kode keagamaan dalam

berperilaku-meskipun keduanya seringkali sesuai. Tidak

beralasan untuk menyangka bahwa pendekatan sekular

terhadap etika secara otomatis menyingkirkan kode keagamaan

tertentu.

Sumber pedoman yang dinyatakan secara luas dalam hal

etika adalah program Kant bahwa kita harus bertindak

meskipun perilaku kita mengilustrasikan hukum perilaku

universal. Dengan kata lain, saat kita bertindak, kita harus

meyakini bahwa perilaku tersebut dapat membuat orang lain

terlibat secara beralasan. Maka kemudian, tindakan yang benar

adalah tindakan yang benar secara universal. Ini merupakan

dasar kategori esensial Kant. Mungkin dari posisi ini kita dapat

memperdebatkan bahwa alasan kita harus care adalah karena

kita berharap untuk mendapatkan care. Kita juga akan berharap

bahwa care dapat diperluas ke semua orang yang kita kenal dan
20

kita cintai. Dengan cara ini, caring hampir menjadi perilaku

manusia yang penting karena ketiadaan care, dengan alasan

yang sama, tidak dapat diterima sebagai prinsip universal.

Kiranya, kita tidak akan ingin hidup dalam dunia yang tidak

ada seorangpun yang care terhadap orang lain, dengan

demikian caring menjadi sesuatu yang esensial.

Pendekatan lain untuk mempertimbangkan rasional etika

caring adalah utilitarisme, sebuah pendekatan yang pertama

kali di artikulasikan oleh Jeremy bentham. Utilitarisme sering

kali disimpulkan dengan slogan, atau sesuatu yang hampir

serupa dengannya, bahwa “sesuatu yang baik adalah sesuatu

yang menyebabkan kebahagian terbesar bagi orang terbanyak“.

Tampaknya beralasan untuk memperdebatkan bahwa caring

tidak mungkin menyebabkan perluasan ketidakbahagian dan

oleh karena itu caring dapat dijustifikasi sebagai tindakan yang

baik. Perspektif yang lebih positif menyatakan bahwa caring

akan menghasilkan perluasan kebahagiaan secara tepat dan,

sekali lagi, dapat dijustifikasi.

Pendekatan lain terhadap etika adalah melalui

eksistensialisme. Eksistensialisme adalah pendekatan yang

khusus dan berbeda terhadap filosofi. Orang yang paling

banyak mempopulerkan definisi eksistensialisme sebagai

sebuah pendekatan filosofi adalah Jean paul sartre pada


21

essaynya pada tahun 1949 yang berjudul “ Existentialism and

Humanism “ (Sartre, 1952). Sartre menyimpulkan inti

eksistensialisme melalui slogan “eksistensi mendahului

esensi“ dan, eksistensialisme tertentu mempengaruhi teori

keperawatan dan pendekatan asuhan yang berpusat pada

pasien, mungkin perlu mempertimbangkan eksistensialisme

dalam rincian yang sedikit lebih detail.

Posisi eksistensial didasarkan pada pernyataan ini bahwa

seseorang hadir ke dalam eksistensi dan bahwa esensi atau

kemanusiaan seseorang baru muncul kemudian. Esensi adalah

apapun yang dibuat seseorang. Ia adalah pencipta esensinya.

Bagi Sartre, seseorang itu bebas dan bertanggung jawab. Dia

bebas untuk menjadi apapun yang dia buat untuk dirinya

sendiri. Karena kebebasan itu, seseorang juga bertanggung

jawab untuk menjadi seperti apa ia. Kita tidak dapat bebas dan

tidak bertanggung jawab.

Meskipun seseorang bebas membuat keputusan, mereka

juga harus mempertimbangkan tanggung jawab yang terkait

dengan perilaku tersebut. Suka atau tidak, orang lain akan

dipengaruhi oleh tindakan kita; pasangan, anak, teman, rekan

kerja kita, dan lainnya.

Semua hal ini membimbing kita kembali ke proses

caring. Kita terus care karena kita menyatakan care sebagai


22

tindakan yang benar. Kita dapat merasa berbeda besok

sehingga keyakinan dan penilaian kita dapat berubah pada saat

kita berkembang sebagai manusia, tetapi untuk saat ini kita

percaya bahwa caring adalah sesuatu yang penting. Lebih dari

itu, kita berharap bahwa tindakan orang lain selama mereka

mempengaruhi kita akan juga melibatkan caring. Kita berharap

bahwa orang lain akan care terhadap kita, meskipun kita tidak

dapat menjamin bahwa mereka akan melakukannya.

3) Aspek spiritual

Keseluruhan isu tentang apa yang mungkin dimaksud

dengan spiritualitas adalah isu yang kompleks. Sementara kata

spiritual mengandung kata lain, spirit istilah spiritualitas

digunakan secara lebih luas dari pada istilah yang semata-mata

berkonotasi suatu keyakinan dalam pewarisan spirit seseorang.

Namun, spiritual paling sering berhubungan dengan agama dan

keyakinan keagamaan.

Kita telah menyebutkan sebelumnya bahwa tema umum

dalam banyak agama adalah kebutuhan para anggota keyakinan

tersebut untuk saling care satu sama lain. Di semua agama

besar di dunia, ide untuk saling caring satu sama lain adalah

ide utama. Sesungguhnya, sulit membayangkan adanya agama

yang menganjurkan sebaliknya yaitu untuk tidak saling care.


23

Oleh karena itu care telah menjadi peraturan esensial dalam

kepercayaan agama.

Oleh karena itu pembahasan di atas berarti bahwa perawat

yang religius adalah orang yang care, bukan karena dia seorang

perawat tetapi lebih karena dia adalah anggota suatu agama

atau kepercayaan. Sebagian besar agama mempunyai kode

perilaku biasanya tertulis dalam kitab suci yang

merekomendasikan untuk care kepada orang lain. Untuk care

dalam kasus ini adalah dengan mengikuti ajaran agama tersebut

dengan merujuk pada kode perilakunya. Dalam hal ini

pandangan agama tentang caring sangat terkait erat dengan

pandangan moral tentang caring.

Bagaimanapun tidak setiap perawat mempunyai komitmen

terhadap suatu bentuk agama yang mungkin membangkitkan

hasrat untuk care terhadap orang lain, dan dari sinilah asal

gagasan spiritual. Mungkin saja orang percaya bahwa caring

terhadap orang lain adalah tindakan benar meskipun mereka

tidak percaya agama.

Bagaimanapun pandangan tentang caring, tampaknya

caring merupakan fenomena yang hamper universal, sesuatu

yang terkait dengan proses menjadi dan sedang menjadi

seseorang. Jika hal tersebut adalah masalahnya , caring tetap

berada di bagian pusat dalam proses keperawatan. Jika bukan,


24

keperawatan terikat erat dengan semua aspek dalam diri

manusia.

3. Sikap caring

a) Karakter sikap

Sikap merupakan bagian penting dalam kehidupan.

Tanpa sikap kita akan mengetahui cara bereaksi terhadap

suatu hal yang terjadi pada kita sehari-hari, dan kita akan

merasa sangat sulit untuk mengambil keputusan. Kita juga

akan banyak menghabiskan waktu untuk mencoba

memahami dan menjelaskan perilaku manusia dengan

menghubungkannya ke motif yang melandasi perilaku

tersebut, kecenderungan atau sikap (Heider, 1958). Dalam

psikologi sosial, istilah sikap telah menjadi sumber dari

banyak penelitian yang mencoba untuk menggali

penjelasan terhadap hal-hal yang dilakukan manusia.

(caring & communicating, 2009, 54)

Pada dasarnya sikap adalah kecenderungan untuk

merespon secara menyenangkan atau tidak menyenangkan

terhadap suatu objek, orang, institusi, atau kejadian

(Azjen 1988, 4) dan yang relatif stabil dari waktu ke

waktu. Dalam teori, jika kita tahu kearah mana sikap

seseorang, katakanlah yang sesuai dengan agamanya,


25

mungkin kita dapat memprediksi apakah ia pergi ke rumah

ibadahnya secara teratur atau tidak, atau apakah perilaku

sehari-hari dipengaruhi oleh agamanya atau tidak.

b) Pembentukan sikap

Kita memperoleh sikap dalam berbagai cara yang

menarik. Pembelajaran adalah proses penting dalam

pembentukan sikap, khususnya tipe pembelajaran yang

terjadi saat kita disosialisasikan oleh orang tua kita,

anggota keluarga lain dan kawan-kawan. Keluarga

membekali kita dengan model peran untuk dapat bersaing,

dan untuk dapat bersaing secara efektif, kita tidak hanya

mengasimilasikan perilaku model peran inti tetapi juga

harus mengasimilasikan sikap yang mereka tunjukkan

kepada kita.

Selanjutnya, kita juga mengembangkan sikap kita

sendiri dari pajanan langsung terhadap pengalaman baru

yang menarik. Hanya setelah kita mencoba rasa alkohol

atau rokok, dan merasakan efeknya terhadap diri kita,

maka kita dapat membentuk sikap kita terhadap zat

tersebut. Sikap ini mungkin sedikit berbeda dari orang tua

dan sesepuh kita.

c) Model sikap ABC


26

Meskipun terdapat berbagai macam pendekatan

untuk meneliti sikap, kecenderungan pendekatan yang

umumnya dipakai adalah memikirkan sikap dalam tiga

bidang berbeda yaitu; bidang afektif, bidang perilaku, dan

bidang kognitif. Pendekatan ini juga dikenal sebagai

model sikap ABC (affective, behavior, cognitive)

(Breckler, 1984 dalam caring & communicating, 2009,

55).

Bidang afektif berfokus pada bagaimana perasaan

seseorang terhadap objek, sementara bidang perilaku

menghubungkan tindakan individu dengan

mempertimbangkan objek tertentu. Bidang kognitif

berfokus pada informasi, persepsi, dan keyakinan yang

dimiliki individu tentang objek.

d) Ilmu pengasuhan ( science of caring ) sebagai dasar

praktik keperawatan individual

Watson (1988) menawarkan teori asuhan

keperawatan berdasarkan pada tujuh asumsi (anggapan

dasar, premis) dan 10 faktor carative (upaya pengasuhan)

utama yang membentuk kerangka kerja bagi praktik

asuhan keperawatan individual. Asumsi atau premis itu

ialah sebagai berikut;


27

1) Asuhan (caring) dapat menjadi efektif dalam praktik

hanya melalui interpersonal (hubungan antar pribadi).

2) Asuhan mengandung faktor-faktor yang

menghasilkan kepuasan pemenuhan kebutuhan dasar

manusia.

3) Asuhan yang efektif berarti mempromosikan

kesehatan, pertumbuhan individu dalam konteks

keluarga.

4) Respon asuhan yang diterima oleh setiap orang bukan

hanya untuk sesaat, namun berlanjut/berkembang

untuk belajar menjadi “ to become a learner “

5) Lingkungan asuhan adalah sesuatu yang

memungkinkan/menawarkan perkembangan potensi

sebagai kebutuhan seseorang untuk memilih kegiatan

terbaik bagi dirinya dari suatu waktu tertentu

6) Upaya pengasuhan merupakan healthogenic (upaya

menumbuhkan potensi kesehatan) dari pada hanya

untuk upaya penyembuhan (curing) saja. Praktik

caring merupakan integrasi pengetahuan bio-fisik dan

perilaku manusia bertujuan menghasilkan promosi

kesehatan melalui layanan bagi setiap yang sakit.

Pengetahuan ilmiah asuhan (science of caring) adalah


28

komplementer (saling berkaitan) dengan pengetahuan

ilmiah untuk penyembuhan suatu penyakit (carative)

7) Asuhan adalah titik pusat kegiatan asuhan

keperawatan

Dewasa ini, keperawatan pada umumnya hanya

bereaksi pada berbagai kebutuhan menggunakan alat-alat

dan kurang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan

perorangan (terkait dengan penggunaan alat-alat canggih

dalam prosedur diagnostik). Suatu penyakit mungkin bisa

disembuhkan, namun masalah sakitnya (illness) tetap tidak

terpecahkan tanpa upaya asuhan sehingga kesehatan dalam

arti yang sebenarnya tidak tercapai. Asuhan adalah inti

keperawatan dengan kecenderungan agar perawat mampu

bereaksi terhadap kebutuhan perorangan. Bahwa asuhan

keperawatan harus dapat membantu seseorang agar

mampu mengontrol diri, menjadi knowledgeable dan

mampu meningkatkan kesehatannya. Sistem nilai yang

dikembangkan perawat perlu mempertimbangkan

kebebasan dan otonomi klien untuk memilih. Hal ini

memberikan pengaruh terhadap penekanan pada

pentingnya pengetahuan diri klien untuk mengontrol diri

sendiri dimana klien sebagai pribadi membutuhkan

asuhan.
29

Struktur pengetahuan ilmiah asuhan bagi perawat

harus dibangun atas 10 faktor pengasuhan sebagai prinsip-

prinsip kerja profesinya. 10 faktor pengasuhan

keperawatan itu ialah sebagai berikut;

a) Pembentukan pandangan humanistic dengan

mengembangkan sistem nilai altruistic. (the

formation of humanistic-altruistic system).

b) Penanaman kepercayaan atau keyakinan,

kemampuan memberikan harapan (hope). (the

instillation of faith).

c) Pengelolaan untuk mengusahakan kepekaan diri

terhadap orang lain/klien. (the cultivation of

sensitivity to one’s self to others).

d) Pengembangan bantuan melalui hubungan-hubungan

saling percaya. (trust relationship).

e) Peningkatan penerimaan melalui ekspresi perasaan

positif dan negatif . (the promotion and acceptance

of the expression of positive and negative feeling).

f) Penggunaan secara sistematik metode pemecahan

masalah secara ilmiah dalam mengambil keputusan.

(the systematic use scientific problem solving method

for decition making).


30

g) Peningkatan hubungan belajar mengajar perorangan.

(the promotion of interpersonal teaching learning).

h) Pandangan jauh kedepan untuk mendukung,

mencegah dan atau memperbaiki kondisi lingkungan;

mental, fisik, sosio-kultural dan spiritual. (the

provision for supportive, protective, or and

corrective mental, physical, sociocultural and

spiritual environment ).

i) Bantuan yang menyenangkan kebutuhan-kebutuhan

manusia. (assistance with the gratification of human

needs).

j) Mendorong kemungkinan timbulnya eksistensi

dengan kekuatan phenomenological. (the allowance

for existensial-phenomenological forces).

Tiga faktor pertama (1 s.d 3) dari 10 faktor upaya

pengasuhan keperawatan diatas merupakan landasan

filosofi bagi pengetahuan ilmiah dan praktik pengasuhan

keperawatan dalam pendidikan profesi keperawatan. Dan,

bahwa ners, sebagai perawat professional dengan

dukungan dan pembinaan khusus akan mampu

melaksanakan kesepuluh prinsip diatas, sehingga asuhan

kesehatan menjadi lebih bermutu dan komprehensif karena

titik berat orientasinya adalah pada sehat, melalui


31

implementasi konsep pencegahan primer, sekunder, dan

tersier. (Filasafat keilmuan dalam keperawatan dan

kesehatan, UNPAD, 2004, 199 s.d 201)

B. Kepuasan

1) Pengertian kepuasan

Kepuasan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah: puas;

merasa senang, perihal (hal yang bersifat puas, kesenangan, kelegaan

dan sebagainya). Kepuasan dapat diartikan sebagai perasaan puas, rasa

senang dan kelegaan seseorang dikarenakan mengkonsumsi suatu

produk atau jasa pelayanan.

Kepuasan dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau

membuat sesuatu memadai (Tjiptono dan Chandra, 2005, 195).

Sedangkan kotler (dalam marketing and management, 2003, 61)

mendefinisikan kepuasaan sebagai perasaan senang atau kecewa

seseorang yang dialami setelah membandingkan antara persepsi

kinerja atau hasil suatu produk dengan harapan-harapannya.

Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang

timbul sebagai akibat dari kinerja pelayanan kesehatan yang

diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan apa yang

diharapkan. (Jaminan mutu pelayanan kesehatan, 2003, 178).

2) Fenomena kepuasan pasien


32

Berdasarkan pendapat wexley dan yulk (1977), yang mengutip

kepuasan dari poter, dapat disimpulkan bahwa kepuasan adalah selisih

dari banyaknya sesuatu dari yang seharusnya ada dengan banyaknya

apa yang ada. Wexley dan yulk menegaskan bahwa seseorang akan

terpuaskan jika tidak ada selisih antara sesuatu atau kondisi yang

diinginkan dengan kondisi aktual. Semakin besar kekurangan dan

semakin banyak hal penting yang diinginkan, semakin besar rasa

ketidakpuasan. (Fenomena kepuasan, 2003, 3).

Asumsi teoritis diatas selaras pendapat Gibson (1987), yang

dapat disimpulkan bahwa kepuasan seseorang (pekerja, pasien atau

pelanggan) berarti terpenuhinya kebutuhan yang diinginkan dan

diperoleh dari pengalaman melakukan sesuatu, pekerjaan, atau

memperoleh perlakuan tertentu dan memperoleh sesuatu sesuai

kebutuhan yang diinginkan.

Berdasarkan studi literatur yang dilakukan taylor (1994), dapat

disimpulkan bahwa aspek mutu pelayanan rumah sakit sebagai

indikator kepuasan pasien cenderung merupakan suatu fenomena yang

diterima secara luas di kalangan para ahli. Hal terpenting adalah bahwa

kepuasan itu merupakan hasil dari suatu reaksi afeksi (penilaian)

sebagai wujud penegasan sikap pasien terhadap pelayanan di rumah

sakit.

Besarnya pengaruh karakteristik individu pasien pada aspek

kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dapat menimbulkan


33

perasaan puas atau tidak puas, menyebabkan berbagai konsepsi

kualitas pelayanan kesehatan. Menurut penilaian pasien yang telah

dirumuskan para ahli di berbagai daerah, belum tentu dapat

dimanfaatkan sepenuhnya sebagai input manajemen untuk

memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dengan

demikian penelusuran prioritas-prioritas indikator pelayanan kesehatan

dan rumusan tingkat kepuasan pasien berdasarkan indikator tersebut

sangat penting.

Karakteristik individu/pasien di Indonesia adalah ciri khas atau

identitas khusus yang melekat pada diri pengguna pelayanan kesehatan

atau pasien rumah sakit, yang dapat digunakan untuk menyamakan

atau membedakan pasien dengan pasien lainnya, dan diasumsikan

dapat menimbulkan reaksi afeksi yang sama atau berbeda diantara

pasien. Beberapa karakteristik individu yang diduga menjadi

determinan utama atau penentu prioritas indikator kualitas pelayanan

kesehatan, dan penentu prioritas tingkat kepuasan pasien adalah:

a) Umur, masa depan pasien, yang dinyatakan dalam satuan tahun

sesuai pernyataan pasien.

b) Jenis kelamin, yang dapat digunakan untuk membedakan antara

laki-laki dengan perempuan.

c) Lama perawatan, suatu periode waktu yang dihitung sejak pasien

terdaftar resmi.
34

d) Sumber biaya, sumber pembiayaan pasien untuk biaya pelayanan

di rumah sakit, seperti uang sendiri, asuransi, bantuan sosial, atau

kombinasi diantaranya dan gratis.

e) Diagnose penyakit, adalah kegiatan yang dilakukan oleh petugas

kesehatan untuk menentukan jenis, penyebab, dan cara

penyembuhan dari penyakit yang diderita pasien.

f) Pekerjaan, adalah status pekerjaan pasien.

g) Pendapatan, adalah jumlah gaji atau penghasilan dalam bentuk

uang dan barang (dikonversikan kenilai uang) rata-rata setiap

bulan dari pasien

h) Pendidikan, adalah status resmi tingkat pendidikan terakhir

pasien.

i) Suku bangsa, adalah identitas social budaya berdasarkan

pengakuan pasien sehingga dapat dikelompokkan pada

kelompok suku bangsa tertentu seperti; batak, jawa, melayu.

j) Tempat tinggal, adalah alamat rumah pasien, termasuk jarak

antara rumah dengan rumah sakit.

k) Kelas perawatan adalah tipe ruangan tempat perawatan yang

menunjukkan pada tingkat pelayanan kesehatan serta fasilitas

yang diperoleh dan dapat dinikmati pasien di rumah sakit.

l) Status perkawinan, adalah identitas pasien sehingga dapat

dikategorikan sebagai sudah kawin, belum kawin, janda atau

duda.
35

m) Agama, adalah identitas pasien yang dapat digunakan sebagai

dasar pengelompokkan sebagai pemeluk islam, Kristen protestan,

katholik, hindu dan budha.

n) Preferensi, adalah serangkaian alasan atau sebab mengapa pasien

memilih, menetapkan atau mengutamakan untuk dirawat di

rumah sakit tertentu.

Pasien dengan latar belakang dirinya sendiri, cenderung akan

menetapkan beberapa aspek dari berbagai aspek layanan kesehatan

yang dapat diterima atau dialami sebagai dasar penentuan ukuran

kepuasannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pasien cenderung

memilih atau menetapkan prioritas indikator pelayanan kesehatan,

sebagai dasar untuk memutuskan tingkat kepuasannya.

Prioritas indikator kualitas pelayanan kesehatan menurut

pasien, adalah suatu aspek utama yang menjadi petunjuk atau pedoman

ukuran yang penting, yang berbobot, atau yang semestinya berkaitan

dengan penyelenggaraan layanan kesehatan di rumah sakit. Indikator

pelayanan kesehatan yang dapat menjadi prioritas relatif sangat

banyak, diantaranya adalah:

1) Kinerja tenaga dokter, adalah kinerja atau penampilan dokter

rumah sakit dalam proses pelayanan kesehatan pada pasien,

meliputi ukuran; layanan medis, layanan non-medis, tingkat

kunjungan, sikap dan penyampaian informasi.


36

2) Kinerja tenaga perawat, perilaku atau penampilan perawat

dalam rangka pelayanan kesehatan pada pasien, yang meliputi

ukuran; layanan medis, layanan non-medis, tingkat kunjungan,

sikap dan penyampaian informasi.

3) Kondisi fisik, adalah keadaan sarana rumah sakit dalam bentuk

fisik seperti kamar rawat, jendela, pengaturan suhu, kasur, sprei,

dll.

4) Makanan dan menu, makanan adalah kualitas jenis atau bahan

yang dimakan atau dikonsumsi pasien setiap hari. Menu adalah

pola pengaturan jenis makanan yang dikonsumsi pasien.

5) Sistem administrasi pelayanan, adalah proses pengaturan atau

pengelolaan pasien di rumah sakit yang diikuti oleh pasien

(rujukan dan biasa), dari mulai pendaftaran sampai fase rawat.

6) Pembiayaan, adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan

kepada rumah sakit selaras dengan pelayanan yang diterima

pasien seperti; biaya dokter, perawatan, obat-obatan, makan dan

kamar.

7) Rekam medis, adalah catatan atau dokumentasi mengenai

perkembangan kondisi kesehatan pasien yang meliputi diagnosis

perjalanan penyakit, proses pengobatan dan tindakan medis, dan

hasil layanan
37

Indikator pelayanan kesehatan yang dipilih pasien sebagai

prioritas ukuran kualitas pelayanan, cenderung akan menjadi sumber

utama terbentuknya tingkat kepuasan.

Tingkat kepuasan pasien menunjuk pada prioritas indikator

kualitas pelayanan kesehatan. Selaras bahwa kepuasan merupakan

hasil penilaian perasaan yang lebih bersifat subjektif, maka hal ini

menunjuk pada dimensi abstrak yang relatif abstrak atau kurang eksak,

para ahli telah banyak mengembangkan model pengukuran yang dapat

digunakan untuk mengkuantifikasi dimensi abstrak dari suatu

fenomena (dimensi kepribadian, sikap dan perilaku) agar lebih mudah

dipahami.

Berpedoman pada skala pengukuran yang dikembangkan likert

(dikenal istilah dengan skala likert), kepuasan pasien dapat

dikategorikan dan dikuantifikasi menjadi, seperti;

a) Sangat puas (SP)

b) Puas (P)

c) Tidak puas (TP)

d) Sangat tidak puas (STP)

Kategori kualitatif dan definisi diatas dapat dikuantifikasi, (a)

sangat puas, bobot nilai 4; (b) puas, bobot nilai 3; (c) tidak puas, bobot

nilai 2, sangat tidak puas, bobot nilai 1. Penentuan kategori kepuasan

dan definisinya, serta pemberian bobot nilai terhadap kategori

kepuasan pasien dapat ditetapkan lazimnya dengan


38

mempertimbangkan antara lain; kondisi pasien, teori atau temuan para

ahli, model pengukuran yang digunakan, dan pertimbangan pribadi

yang berkepentingan.

3) Mutu pelayanan kesehatan

Zeithmalh (1990, 23 dalam agus hendroyono 2009, 1-3)

menyatakan bahwa dalam menilai kualitas pelayanan terdapat 10

penilaian kualitas jasa pelayanan jasa, yaitu:

a) Tangible (nyata, berwujud)

b) Reliability (keandalan)

c) Responsiveness (cepat tanggap)

d) Competence (kompetensi)

e) Access (kemudahan)

f) Courtesy (keramahan)

g) Communication (komunikasi)

h) Credibility (kepercayaan)

i) Security (keamanan)

j) Understandings the customer (pemahaman pelanggan)

Namun dalam perkembangannya dalam penelitian dirasakan

adanya dimensi mutu pelayanan yang saling tumpang tindih satu

dengan lainnya yang dikaitkan dengan kepuasan pelanggan/pasien.


39

Selanjutnya dimensi tersebut di fokuskan pada 5 dimensi (ukuran)

kualitas jasa/pelayanan yaitu:

1) Tangible (berwujud); meliputi penampilan fisik dari fasilitas,

peralatan, karyawan dan alat-alat komunikasi.

2) Realibility (keandalan) meliputi, kemampuan untuk

melaksanakan jasa yang telah dijanjikan secara konsisten dan

dapat diandalkan (akurat).

3) Responsiveness (cepat tanggap), yaitu kemauan untuk membantu

pelanggan (konsumen) dan menyediakan jasa pelayanan yang

cepat dan tepat.

4) Assurance (kepastian), mencakup pengetahuan dan keramah

tamahan para karyawan dan kemampuan mereka untuk

menimbulkan kepercayaan dan keyakinan, kesopanan dan sifat

dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko

dan keragu-raguan.

5) Emphaty (empati), meliputi pemahaman pemberian perhatian

secara individual kepada pelanggan, kemudahan dalam

melakukan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan

pelanggan.

Tjiptono (2000, 54), menyebutkan bahwa kualitas memiliki

hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas

memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan

hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang,


40

ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk memahami

dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka. Dengan

demikian perusahaan dapat meningkatkan kepuasaan pelanggan

dengan cara memaksimumkan pengalaman pelanggan yang

menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman

pelangggan yang kurang menyenangkan. Pada gilirannya kepuasaan

pelanggan dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas pelanggan

kepada perusahaan yang memberikan kualitas pelayanan/ jasa yang

memuaskan.
41

C. Kerangka Teori

Aspek Utama dalam Caring: Karakteristik individu penentu tingkat


kepuasan pasien:
1) Pengetahuan 1) Umur
2) Penggantian irama 2) Jenis kelamin
3) Kesabaran 3) Lama Perawatan
4) Kejujuran 4) Sumber biaya
5) Rasa percaya 5) Diagnosa penyakit
6) Kerendahan hati 6) Pekerjaan
7) Harapan 7) Pendapatan
8) Keberanian 8) Pendidikan Kepuasan
9) Tempat tinggal
10) Kelas perawatan tinggi
11) Status perkawinan
12) Preferensi

5 Dimensi (ukuran) kualitas jasa/pelayanan,


yaitu:
1) Tangible ( berwujud)
2) Realibility (keandalan)
3) Responsiveness (cepat tanggap)
4) Emphaty (empati)
5) Assurance (kepastian) Kepuasan
rendah

Indikator kualitas pelayanan kesehatan


1) Kinerja tenaga dokter
2) Kinerja tenaga perawat
3) Kondisi fisik
4) Makanan dan menu
5) Sistem administrasi
6) Pembiayaan
7) Rekam medis
42

Sumber: Caring & Communicating 2009, Paul Morrison & Philip Burnard

Anda mungkin juga menyukai