Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

TP DENGAN FRAKTUR ZYGOMA

DI RUANG ANGSOKA 3 RSUP SANGLAH DENPASAR

NAMA : HILARIA PAJO

NIM : 21203010

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG
2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. TP DENGAN

DIAGNOSA CHRONIC KIDNEY DISEASE

DIRUANGAN ANGSOKA 3

CI Lahan

Ns. Ni Komang Kusuma Dewi, S.Kep

NIP 197904141999032001

CI Institusi

Ns. Yohana Hepilita, M. Kep

830018802
BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah, yaitu tulang frontal,
temporal, orbito zigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.
Fraktur zigoma merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi.
Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih
menonjol. Zigoma mempunyai peran yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan
disrupsi dari posisi zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena
itu trauma pada zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat.
B. Anatomi fisiologi
Tulang- tulang tengkorak pada wajah dapat dibedakan menjadi bagian kranium dan
bagian wajah. Kranium terdiri dari sejumlah tulang yang menyatu pada sendi yang tidak
bergerak yang disebut sutura. Mandibula adalah suatu perkecualian karena menyatu
dengan kranium melalui artikulosio temporomandibularis yang mobil. Tulang wajah
terdiri dari :
 Os zygomaticum 2 buah
 Maksila 2 buah
 Os nasale 2 buah
 Os lacrimale 2 buah
 Os vomer 1 buah

Os frontale melengkuh kebawah, membentuk margo superior orbita. Di bagian medial, os


frontale berartikulasi dengan procesus frontalis maksila dan os nasale. Dibagian lateral,
berartikulasi dengan os zygomatikum margo orbitalis superior dibentuk oleh os frontale,
oleh os zygomatikum, inferior oleh maksila dan medila oleh procecus maksilaris dan os
frontale. Kedua os nasale membentuk batang hidung. Tepi bawahnya bersama maksila
membentuk apertura nasalis anterior.

C. Etiologi
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat
terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga,
kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi
penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas. Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini
biasanya sering terjadi pada pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya
perhatian tentang keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan
raya, seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya
kesadaran tentang beretika lalu lintas.
D. Patofisiologi
Gaya yang menyebabkan cidera dapat dibedakan jadi 2, yaitu high impact atau
low impact. Keduanya dibedakan apakah lebih besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya
gravitasi. Setiap region pada wajah membutuhkan gaya tertentu hingga menyebabkan
kerusakan dan masing masing region berbeda – beda. Margo Supraorbital, maxilla, dan
mandibula (bagian syimphisis dan angulus) dan frontal membutuhkan gaya yang high
impact agar bias mengalami kerusakan. Sedangkan os zygoma dan os nasal dapat
mngalami kerusakan hanya dengan terkena gaya yang low impact. Fraktur kompleks
zygomaticomaxilla : fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung. Garis fraktur meluas
melalui sutura zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, zygomaticomaxlla dan artikulasi
dengan ala magna os sphenoid. Garis fraktur biasanya meluas hingga foramen intraorbita
dan lantai orbita. Cidera ocular yang bersamaan juga sering terjadi.
E. Manifestasi klinik
a. Fraktur Kompleks Zigomatikum
 Depersi malar
 Pendataran tulang pipi
 Nyeri tekan penonjolan zygoma.
 Flame sign : kerusakan dan depresi tendon canthal lateral, pendarahan sub
conjunctival, paresthesi pada sisi lateral hidung dan bibir bagian atas,
diplopia akibat m. rectus inferior, intraoral ecchimosis
b. Arkus Zigomatikum
 Nyeri saat palpasi
 Keterbatasan gerak mandibula disebabkan interferensi pergerakan
processus coronoideus mandibula pada pemeriksaan fisik
F. Pemeriksaan diagnostik
 Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
 Foto rontgen
 CT- Scan
 MRI
G. Komplikasi
 Perdarahan sekunder
 Infeksi
 Trismus : karena fiksasi dan imobilisasi menyebabkan otot mulut menjadi kaku
 Molunion : waktu dilakukan reposisi, oklusi gigi tidak diperhatikan atau penderita
banyak bergerak, alat fiksasi menjadi kendor.

BAB 11
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. Pengkajian
a) Data Demografi Klien Yang termasuk data demografi yaitu, nama, umur,
jenis kelamin,alamat, pekerjaan.
b) Keluhan utama : biasanya nyeri dan pembengkakan pada wajah serta
penonjolan tulang wajah.
c)  Airway maintenance with cervical spine control/ protection
 Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
 Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen
fraktur wajah untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
 Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan
fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas atas.
d) Breathing and adequate ventilation

Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan


fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan
nafas pada pasien yang sadar.

e) Circulation with control of hemorrhage


 Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk
meningkatkan jalan nafas dan mengontrol perdarahan.
 Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan
perdarahan di kepala.
 Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi
wajah yang meluas dan perdarahan kepala.
f) Disability: neurologic examination
 Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil,
dan reaksi.
 Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara
langsung maupun tdak langsung yang dapat dilihat dari ukuran
pupil, kontur, dan respon yang dapat mengaburkan pemeriksaan
neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh.
 Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan
sensoris (alkohol atau obat) yang tidak berhubungan dengan
trauma intrakranial.
g) Exposure/ enviromental control
 Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.
 Menghilangkan lensa kontak.
h) Penilaian GCS
Pada umumnya, Glasgow coma scale (GCS) digunakan untuk
memeriksa kesadaran yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan neurologis pada saat pertama kali terjadi trauma maksilofasial.
Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu respon membuka
mata, respon verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan
berdasarkan skor yang diperoleh berdasarkan tabel berikut.
i) Riwayat penyakit, Keluhan utama dan pemeriksaan klinis
Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit
pasien penderita fraktur maksilofasial ialah:
 Bagaimana kejadiannya?
 Kapan kejadiannya?
 Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah
terkena, dan alat yang kemungkinan dapat
menyebabkannya?
 Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
 Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien,
termasuk nyeri, sensasi, perubahan penglihatan, dan
maloklusi?
2. Diagnosa keperawatan
1) Nyeri akut
2) Resiko perfusi perifer tidak efektif
3) Gangguan mobilitas fisik
4) Resiko syok

3. Rencana keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


. keperawatan
1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan Manajemen nyeri
keperawatan selama....jam, Observasi :
diharapkan tingkat nyeri menurun 1. Identifikasi lokasi,
dan control nyeri meningkat dengan karaakteristik,
kriteria hasil durasi, frekuensi,
1. Tidak mengeluh nyeri kualitas, intensitas
2. Tidak meringis nyeri.
3. Tidak bersikap protektif 2. Identifikasi skala
4. Tidak gelisah nyeri
5. Tidak mengalami kesulitan 3. Identifikasi respon
tidur nyeri non verbal
6. Frekuensi nadi membaik 4. Identifikasi faktor
7. Tekanan darah membaik yang memperberat
8. Melaporkan nyeri terkontrol dan memperingan
9. Kemampuan mengenali onset nyeri
nyeri meningkat 5. Identifikasi
10. Kemampuan mengenali pengetahuan dan
penyebab nyeri meningkat keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikais
pengaruh budaya
terhadap respon
nyeri
7. Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
8. Monitor
keberhasilan terapi
komplememter
yang sudah
diberikan
9. Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik
Terapeutik
10. Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
11. Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (suhu
ruangan,
pencahayaan
kebisingan)
12. Pertimbangkan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan startergi
meredahkan nyeri
Edukasi
13. Jelaskan penyebab
periode, dan
pemicu nyeri
14. Jelaskan startegi
meredahkan nyeri
Kolaborasi
15. pemberaian
anlagetik

2. Resiko syok Setelah dilakukan tindakan Observasi


keperawatan .... jam di harapkan syok  Monitor status
menurun dengan kriteria hasil : kardiopulmonal
 Kekuatan nadi ( frekuensi dan
meningkat kekuatan nadi,
 Output urine frekuensi napas, TD,
meningkat MAP)
 Tingkat kesadaran  Monitor status
menurun oksigenasi
 Saturasi oksigen (oksimetri nadi,
meningkat AGD)
 Akral dingin menurun  Monitor status
 Pucat menurun cairan ( masukan

 Tekanan darah dan haluaran, turgor

sistolik dan diastolik kulit, CRT)

membaik  Monitor tingkat

 Pengisian kapiler kesadaran dan

membaik respon pupil

 Frekuensi nadi Terapeutik


membaik  Berikan oksigen

 Frekuensi napas untuk

membaik mempertahankan
saturasi oksigen
>94%
 Persiapkan intubasi
dan ventilasi
mekanisme, jika
perlu
 Pasang jalur iv, jika
perlu
 Pasang kateter urine
untuk menilai
produksi urine, jika
perlu
Edukasi
 Jelaskan penyebab/
faktor resiko syok
 Jelaskan tanda dan
gejala awal syok
 Anjurkan untuk
memperbanyak
cairan oral
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian iv, jika
perlu
 Kolaborasi transfusi
darah, jika perlu
 Kolaborasi
antiinflamasi, jika
perlu.

Anda mungkin juga menyukai