IKTERUS NEONATORUM
Disusun Oleh:
Nada Dian Sejati 42200410
Herose Cendrasilvinia 42200411
Mega Indahsari K 42200412
Evinola Windy A 42200413
Pembimbing Klinik:
dr. Margareta Yuliani, Sp.A
YOGYAKARTA
2022
A. DEFINISI
Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar
bilirubin darah 5-7 mg/dL. Bilirubin terbentuk ketika komponen heme sel darah
merah dipecah di limpa menjadi biliverdin dengan istilah lain adalah bilirubin tak
terkojugasi, kondisi terjadinya peningkatan tersebut menyebabkan muncul tanda dan
gejala kuning pada bayi. Ikterik adalah warna kuning yang dapat terlihat pada sklera,
selaput lender, kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin.
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total ≥5 mg/dL
(86 μmol/L). Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang sering ditemukan baik
pada bayi cukup bulan (5070%) maupun bayi prematur (80-90%). Sebagian besar
hiperbilirubinemia adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi
karena potensi toksik dari bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat.
B. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data yang diambil dari Rumah Sakit Dr. Sarditjo melaporkan
kejadian ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebanyak 85% yang mana
memiliki kadar bilirubin di atas 5 mg/dl dan 23,80% memiliki kadar bilirubin di atas
13 mg/dl. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang melaporkan
bahwa insiden ikterus fisiologis paling sering terjadi jika dibandingkan ikterus
patologis dengan angka kematian terkait hiperbilirubin sebesar 13,10%. Insiden
ikterus neonatorum di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya sebesar 13% dan 30%
(Hafizah & Imelda, 2013). Penelitian di RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung oleh
Putri & Rositawati (2016) angka kejadian bayi ikterus neonaotum tahun 2013 yaitu
4,77%. Angka kejadian ikterus neonatorum tahun 2014 yaitu 11,87%.
Adanya risiko tambahan yang terjadi setelah bayi tersebut lahir yang
menyebabkan bayi tersebut lebih mudah mengalami toksisitas bilirubin (Tabel 1) Hal
tersebut membuat bayi tersebut memiliki ambang batas dimulainya fototerapi maupun
transfusi tukar lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang lain (risiko tinggi vs
risiko standar). Faktor risiko tersebut diantaranya.
· Atresia biliaris
· Hipoplasia biliaris
Intrahepatik
A. Idiopatik
· Byler’s disease
· Trihydroxycoprostanic academia
· Disfungsi mikrofilamen
Gangguan Metabolisme
c. Wolman’s disease
d. Niemann-Pick disease
e. Gauchers’s disease
- Fibrosis Kistik
- Hipopituarisme idiopatik
- Hipotiroid
j. Hepatitis
- Cytomegalovirus (CMV)
- Virus hepatitis B
- Virus Rubela
- Virus varisela
- Coxsackievirus
- Echovirus
- Parvovirus B19
- Toksoplasmosis
- Sifilis
- Tuberkulosis
- Listeriosis
k. Toksik
- Sepsis
- Trisomi E
- Sindrom Down
- Sindrom Donahue
m. Lain-lain
- Histiositosis X
- Obstruksi intestinal
- Sindrom polisplenia
- Lupus neonatal
Pembentukan
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi
bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin
bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
Jika tubuh mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg
bilirubin dan sisanya (25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
hemoglobin karena eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan
yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan
heme bebas.
Transportasi Bilirubin
Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya
merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis,
hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan
peningkatan jumlah bilirubin bebas dan berisiko pula untuk keadaan nerotoksisitas
oleh bilirubin. Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
Konjugasi Bilirubin
Ekskresi Bilirubin
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dengan orang dewasa. Pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang
tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru
lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah
menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi).
Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilriubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan
didalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk
mengurangi bilurubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool
bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa.
Peningkatan hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas
β-glukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi.
Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat
mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin dalam tinja dan mengurangi
kadar bilirubin serum. Hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi
enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru lahir.
IKTERUS FISIOLOGIS
Ikterus fisiologis ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan
yang mendapatkan susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar
10mg/dL pada hari ke tiga kehidupan dan kemudian akan menurun secara cepat
selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama satu
sampai dua minggu. Sedangkan pada bayi cukup bulan yang diberikan air susu ibu
(ASI) kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi yaitu 7-14
mg/dL dan penurunan akan lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu,
bahkan sampai 6 minggu.
Penelitian in vivo tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan
defisiensi aktifitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktifitas enzim ini
meningkat melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin
serum akan menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa pada
hari ke-4 kehidupan. Pada periode bayi baru lahir, konjugasi monoglukoronida
merupakan konjugat pigmen empedu yang lebih dominan.
Dasar Penyebab
a. Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir dan
tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari kesepuluh.
b. Kadar billirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dlpada neonatus kurang bulan
dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar billirubin tidak lebih dari 5mg/dl per hari.
IKTERUS PATOLOGIS
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus yang
kemungkinan menjadi patologik atau dapat dianggap sebagai hiperbilirubinemia adalah:
a) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
c) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10mg% pada neonatus kurang bulan dan 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan
d) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim C6PD
dan sepsis)
e) Ikterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 200 gram yang disebakan
karena usia ibu dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun dan kehamilan pada remaja,
masa gestasi kurang dari 35 minggu, asfiksia, hipoksia, syndrome gangguan
pernapasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkopnia, hiperosmolitas.
Kern Ikterus
Kern ikterus adalah sindrom neurologik akibat dari akumulasi bilirubin indirek di
ganglia basalis dan nuklei di batang otak. Faktor yang terkait dengan terjadinya sindrom
ini adalah kompleks yaitu termasuk adanya interaksi antara besaran kadar bilirubin
indirek, pengikatan albumin, kadar bilirubin bebas, pasase melewati sawar darah-otak,
dna suseptibilitas neuron terhadap injuri.
Ikterus Hemolitik
Ikterus hemolitik atau ikterus prahepatik adalah kelainan yang terjadi sebelum
hepar yakni disebebakan oleh berbagai hal disertai meningkatnya proses hemolisis
(pecahnya sel darah merah) yaitu terdapat pada inkontabilitas golongan darah ibu-bayi,
talasemia, sferositosis, malaria, sindrom hemolitik uremik, sindrom Gilbert, dan sindrom
Crigler-Najjar. Pada ikterus hemolitik terdapat peningkatan produksi bilirubin diikuti
dengan peningkatan urobilinogen dalam urin tetapi bilirubin tidak ditemukan di urin
karena bilirubin tidak terkonjugasi tidak larut dalam air. Pada neonatus dapat terjadi
ikterus neonatorum karena enzim hepar masih belum mampu melaksanakan konjugasi
dan ekskresi bilirubin secara semestinya sampai ± umur 2 minggu. Temuan
laboratorium adalah pada urin didapatkan urobilinogen, sedangkan bilirubin adalah
negatif, dan dalam serum didapatkan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, dan
keadaan ini dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia dan kernikterus (ensefalopati
bilirubin).
· Inkompabitilitas Rhesus
Bayi dengan Rh positif dari ibu Rh negatif tidak selamanya menunjukkan gejala-
gejala klinik pada waktu lahir (15-20%). Gejala klinik yang dapat terlihat ialah ikterus
tersebut semakin lama semakin berat, disertai dengan anemia yang semakin lama
semakin berat juga. Bilamana sebelum kelahiran terdapat hemolisis yang berat, maka
bayi dapat lahir dengan edema umum disertai ikterus dan pembesaran hepar dan lien
(hidropsfoetalis). Terapi ditunjukkan untuk memperbaiki anemia dan mengeluarkan
biliruin yang berlebihan dalam serum agar tidak terjadi kernikterus.
· Inkompabilitas ABO
Ikterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua dan biasanya bersifat ringan.
Bayi tidak tampak skait, anemia ringan, hepar dan lien tidak membesar. Kalau
hemolisisnya berat, seringkali diperlukan juga transfuse tukar untuk mencegah
terjadinya kernikterus. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kadar
bilirubin serum sewaktu.
Ikterus Hepatik
Ikterus hepatic atau ikterus hepatoseluler disebabkan karena adanya kelainan pada
sel hepar (nekrosis) maka terjadi penurunan kemampuan metabolisme dan sekresi
bilirubin sehingga kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah menjadi meningkat.
Terdapat pula gangguan sekresidari bilirubin terkonjugasi dan garam empedu ke dalam
saluran empedu hingga dalam darah terjadi peningkatan bilirubin terkonjugasi dan
garam empedu yang kemudian diekskresikan ke urin melalui ginjal. Transportasi
bilirubin tersebut menjadi lebih terganggu karena adanya pembengkakan sel hepar
dan edema karena reaksi inflamasi yang mengakibatkan obstruksi pada saluran
empedu intrahepatik. Pada ikterus hepatik terjadi gangguan pada semua tingkat
proses metabolisme bilirubin, yaitu mulai dari uptake, konjugasi, dan kemudian
ekskresi. Temuan laboratorium urin ialah bilirubin terkonjugasi adalah positif karena
larut dalam air, dan urobilinogen juga positif > 2 U karena hemolisis menyebabkan
meningkatnya metabolisme heme. Peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum
tidak mengakibatkan kernikterus.
Ikterus Obstruktif
Ikterus obstruktif atau ikterus pasca hepatik adalah ikterus yang disebabkan
oleh gangguan aliran empedu dalam sistem biliaris. Penyebab utamanya yaitu batu
empedu dan karsinoma pankreas dan sebab yang lain yakni infeksi cacing Fasciola
hepatica, penyempitan duktus biliaris komunis, atresia biliaris, kolangiokarsinoma,
pankreatitis, kista pankreas, dan sebab yang jarang yaitu sindrom Mirizzi. Bila obstruktif
bersifat total maka pada urin tidak terdapat urobilinogen, karena bilirubin tidak terdapat
di usus tempat bilirubin diubah menjadi urobilinogen yang kemudian masuk ke sirkulasi.
Kecurigaan adanya ikterus obstruktif intrahepatik atau pascahepatik yaitu bila dalam
urin terdapat bilirubin sedang urobilinogen adalah negatif. Pada ikterus obstruktif juga
didapatkan tinja berwarna pucat atau seperti dempul serta urin berwarna gelap, dan
keadaan tersebut dapat juga ditemukan pada banyak kelainan intrahepatik. Untuk
menetapkan diagnosis dari tiga jenis ikterus tersebut selain pemeriksaan di atas perlu
juga dilakukan uji fungsi hati, antara lain adalah alakli fosfatase, alanin transferase, dan
aspartat transferase.
Ikterus Retensi
Ikterus retensi terjadi karena sel hepar tidak merubah bilirubin menjadi bilirubin
glukuronida sehingga menimbulkan akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi di dalam
darah dan bilirubin tidak terdapat di urin.
Ikterus Regurgitasi
Ikterus regurgitasi adalah ikterus yang disebabkan oleh bilirubin setelah konversi
menjadi bilirubin glukuronida mengalir kembali ke dalam darah dan bilirubin juga
dijumpai di dalam urin.
Beberapa kondisi jaundice pada neonatus yang harus waspadai sebagai non
fisiologis jaundice, yaitu:
1. Jaundice yang terjadi sebelum usia 24 jam
2. Peningkatan bilirubin serum yang sangat tinggi sehingga memerlukan fototerapi
3. Peningkatan bilirubin serum >0,5 mg/dL/jam
4. Tanda-tanda penyakit dasar yang meyertai (muntah, letargis, malas menyusu,
apnea, takipnea, kehilangan berat badan yang ekstrem, atau suhu yang tidak stabil)
Anamnesis
Dalam anamnesis, diagnosis hiperbilirubinemia dapat digunakan untuk mencari faktor
risiko penyebab hiperbilirubinemia sehingga dapat diklasifikasikan apakah bayi yang
lahir ini termasuk dalam kategori risiko tinggi atau risiko rendah. Anamnesis tersebut
mencakup:
a) Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa
6-fosfatdehidrogenase (G6PD)
b) Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia,deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
c) Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinaninkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
d) Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma
e) Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada
bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
f) Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan
atauhemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang
disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat
perdarahan intrakranial.
g) Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
direkberkepanjangan
h) Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breasfeeding jaundice dan breastmilk
jaundice.
2) Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI).
Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi,
kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus
naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan,
bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka
bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi
tampak sehat dengan menunjukkan kemampuan minum yang baik, aktif, lincah,
produksi ASI cukup. Yang diiringi dengan pertambahan berat badan yang baik, fungsi
hati normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang
(70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan
breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat terhambatnya
uridine diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil
metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3- alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI
sebagian ibu.
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit
setelah dilakukan penenkanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan
menggunakan cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara
sefalokaudal. Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang
andal untuk memprediksi kadar bilirubin serum, terutama pada bayi dengan kulit yang
gelap. Pemeriksaan visual hanya dapat digunakan untuk melihat bahwa bayi tersebut
menderita ikterus atau menyingkirkan bahwa bayi tersebut sudah tidak menderita
ikterus. Pemeriksaan visual dianjurkan untuk dilakukan oleh semua orang tua yang
memiliki bayi baru lahir dan melihat progresivitasnya. Petugas kesehatan seyogyanya
tidak menggunakan visual estimation sebagai sarana dalam diagnosis
hiperbilirubinemia sebelum dilakukan pemeriksaan TSB.
Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang dapat dicari antara lain :
1. Tanda-tanda prematuritas
2. Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia
3. Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masakehamilan
4. Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom, subgaleal hematom
5. Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
6. Ptekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
7. Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakii
hati
8. Omfalitis
9. Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
10. Tanda hipotiroid
11. Perubahan warna tinja, pengamatan warna tinja harian dengan mengumpulkan tinja 3
porsi (porsi pertama antara jam 06.00 – 14.00) porsi kedua jam 14.00 22.00, dan porsi
ketiga antara jam 22.00 – 06.00) dalam wadah yang transparan dan disimpan di dalam
kantong plastik yang berwarna gelap. Tindakan ini dapat digunakan sebagai
penyaring tahap pertama, karena kolestasis ekstrahepatik terutama atresia biliaris
hampir selalu menyebabkan tinja yang akolis pada semua porsi tinja. Bila ketiga porsi
tinja tetap berwarna dempul selama beberapa hari, maka kemungkinan besar adalah
kolestasis ekstra hepatik (atresia biliaris). Pada kolestasis intrahepatik, warna tinja
kuning atau dempul berfluktuasi dan pada keadaan lanjut tinja dapat pula seperti
dempul terus-menerus.
Diagnosis ikterus karena ASI
Semua penyebab ikterus harus disingkirkan. Orangtua dapat ditanyakan apakah
anak sebelumnya juga mengalami ikterus. Sekitar 70% bayi baru lahir yang saudara
sebelumnya mengalami ikterus karena ASI akan mengalami ikterus pula. Beratnya ikterus
bergantung pada kematangan hati untuk mengkonyugasi kelebihan bilirubin indirek ini.
Untuk kepastian diagnosis apalagi bila kadar bilirubin telah mencapai di atas 16 mg/dl
selama lebih dari 24 jam adalah dengan memeriksa kadar bilirubin 2 jam setelah menyusu
dan kemudian menghentikan pemberian ASI selama 12 jam (tentu bayi mendapat cairan
dan kalori dari makanan lain berupa ASI dari donor atau pengganti ASI dan ibu tetap
diperah agar produksi ASI tidak berkurang). Setelah 12 jam kadar bilirubin diperiksa
ulang, bila penurunannya lebih dari 2 mg/dl maka diagnosis dapat dipastikan.
Bila kadar bilirubin telah mencapai < 15 mg/dl, maka ASI dapat diberikan
kembali. Kadar bilirubin diperiksa ulang untuk melihat apakah ada peningkatan kembali.
Pada sebagian besar kasus penghentian ASI untuk beberapa lama akan memberi
kesempatan hati mengkonyugasi bilirubin indirek yang berlebihan tersebut, sehingga
apabila ASI diberikan kembali kenaikannya tidak akan banyak dan kemudian berangsur
menurun. Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian pemberian ASI
dilanjutkan sampai 18-24 jam dengan mengukur kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila
kadar bilirubin tetap meningkat setelah penghentian pemberian ASI selama 24 jam maka
jelas penyebabnya bukan karena ASI. ASI boleh diberikan kembali sambil mencari
penyebab ikterus lainnya. Masih terdapat kontroversi untuk tetap melanjutkan pemberian
ASI atau dihentikan sementara pada keadaan ikterus karena ASI. Biasanya kadar bilirubin
akan menurun drastis bila ASI dihentikan sementara.
G. PEMERIKSAAAN PENUNJANG
· Pemeriksaan laboratorium
· Pencitraan
· Biopsi hati
Pemeriksaan laboratorium
o Kadar bilirubin
o Darah lengkap: jumlah trombosit dan retikulosit bila ada anemia
o Fungsi hati : transaminase (SGOT, SGPT), gama glutamil transpeptidase (γGT),
alkali fosfatase (AF), Waktu protombin dan tromboplastin
o Elektroforesis protein, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, kolesterol, asam
empedu serum dan urin serta asam empedu dalam tinja.
Peningkatan SGOT dan SGPT yang lebih dari 10 kali nilai normal atau > 800
U/L terutama yang disertai peningkatan γGT yang kurang dari 5 x normal, lebih
mendukung kelainan hepatoselular (kolestasis intrahepatik). Sebaliknya bila
peningkatan SGOT atau SGPT kurang dari 5 x nilai normal dengan peningkatan γGT
lebih dari 5 x normal atau > 600 U/L, lebih mengarah kepada atresia biliaris atau
obstruksi duktus biliaris lainnya.
Bila AF tinggi dan γGT rendah (< 100 U/L), penderita mungkin mengidap
suatu kolestasis familial progesif atau gangguan sintesis garam empedu. Dengan cara
pemeriksaaan spektrometri terhadap urin penderita. Kelainan metabolisme asam
empedu seperti defisiensi 3-β- hidroksisteroid-dehidrogenase/isomerase yang
bermanifestasi sebagai penyakit hati yang berat dapat dideteksi pula.
Pemeriksaan lain yang dilakukan pada kecurigaan kolestasis intrahepatik
adalah pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi TORCH, petanda hepatitis B
(bayi dan ibu) dan kadar a-1-antitripsin serta fenotipenya. Sementara pemeriksaan
khusus seperti hormon tiroid, asam amino serum dan urin, kultur darah dan urin, zat
reduktor dalam urin, galaktosa- 1 fosfat uridil-transferase, uji klorida keringat dan
pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu bila ada gejala klinis lainnya
yang mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut.
Pemeriksaan oftalmologis dilakukan pada kolestasis intrahepatik untuk mencari
korioretinitis (infeksi CMV, toksoplasmosis, rubela), embriotokson posterior (pada
sindrom Alagille), katarak (pada galaktosemia) atau cherry-red spot (pada lipid
storage disease).
Utrasonografi
Cholangiography
Saat ini MRCP merupakan gold standar untuk atresia biliaris dengan akurasi 100%.
Namun pemeriksaan ini memerlukan sedasi dalam atau general anestesia.
Diperlukan
keahlian dan pengalaman klinis khusus untuk menerapkan MRCP pada anak.
Karena itu pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin.
3. Intraoperative Cholangiography (IOC)
Biopsi hepar
H. TATALAKSANA
1. Pencegahan hiperbilirubinemia
a. Pencegahan primer
Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat
ASI yang cukup dengan beberapa pertanyaan:
4) Apakah BB bayi tidak turun > 10% dalam 5 hari pertama kehidupan?
Tidak perlu memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan sekunder
Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam
jam (Gambar 3).
3) Evaluasi laboratorium
TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan.
Kemudian hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi
tukar. Pemeriksaan TcB dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika
terdapat alat TcB, maka pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat
progresivitas ikterus berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi
setiap harinya. Jika kadar TcB yang terukur ± 2-3mg/dL atau 70% dari ambang batas
fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSB. Pemeriksaan estimasi secara visual
tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat ikterus, terutama pada bayi dengan
kulit gelap.
4) Penyebab ikterus
a) Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin serum total sebelum
keluar RS, secara individual atau kombinasi untuk pengukuran yang sistimatis terhadap
risiko.
Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua, serta memperagakan
bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya.
a) Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
b) Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan yang
cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
c) Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.
d) Jika orang tua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan.
a) Perkembangan ikterus
b) Kecukupan ASI
c) Ada tidaknya dehidrasi
d) Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain
Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan tindak lanjut dilakukan dalam
kurun waktu paling tidak 2-3 hari setelah bayi dipulangkan. Hal ini berguna untuk melihat
progresivitas ikterus dan kadar puncak bilirubin serum yang sering terlihat pada usia 4-6
hari setelah kelahiran.
I. TERAPI
Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi
dilakukan transfusi tukar atau jika kadar bilirubin total sebesar 25mg/dL atau lebih
tinggi pada setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera
masuk dan mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus
dirujuk melalui bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi (penjelasan
lebih lengkap lihat di bagian transfusi tukar). Transfusi tukar harus dilakukan hanya
oleh personel yang terlatih di ruangan NICU dengan observasi ketat dan mampu
melakukan resusitasi.
3) Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk
melakukan fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan
pilihan untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih
rendah untuk bayi-bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin
total serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.
Jika kadar TSB mendekati atau melewati batas transfusi tukar (gambar 4),
maka sisi dari keranjang bayi, inkubator, atau infant warmer dapat dilapisi dengan
aluminium foil atau material reflektor. Hal ini akan meningkatkan luas permukaan
paparan sehingga meningkatkan efikasi fototerapi.Bila kadar TSB tidak menurun
atau tetap meningkat pada bayi yang sedang mendapatkan fototerapi intensif, maka
diduga kuat adanya hemolisis.
6) Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko sedang) transfusi
tukar yang hendak dilakukan bersifat individual berdasarkan usia kehamilan saat ini.
a. Fototerapi
1) Konsep fototerapi
1) Definisi
Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor
dengan cara mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali
dalam periode waktu yang singkat.
2) Indikasi
b) Penyakit hemolisis alloimun pada bayi baru lahir (HDN) untuk koreksi
anemia berat dan hiperbilirubinemia
f) Leukemia kongenital
g) Toksin metabolik
(1) Hiperammonemia
3) Kontraindikasi
b) Ketika pasien tidak stabil dan risiko dari prosedur transfusi tukar melebihi
keuntungan
c) Pada pasien dengan anemia berat, dengan gagal jantung atau hipervolemia,
transfusi tukar secara parsial lebih berguna untuk menstabilkan kondisi pasien
sebelum transfusi tukar secara lengkap atau secara double volume dilakukan
● Mengedukasikan kepada ibu bayi untuk sering menyusui. Memberikan ASI yang
cukup merupakan bagian penting dari pencegahan dan pengobatan kondisi ikterus
karena membantu pembuangan bilirubin melalui tinja dan urin
● Mengedukasikan kepada ibu/keluarga pasien tentang kecukupan pemberian ASI
dengan melihat frekuensi buang air kecil sebanyak minimal 6 kali dalam 24 jam
● Mengedukasikan untuk tetap menyusui selama fototerapi. Penting bagi bayi yang
menerima fototerapi untuk minum cairan yang cukup (idealnya ASI) karena bilirubin
dikeluarkan melalui urin dan tinja. Ibu dapat memerah ASI dan memberikannya
kepada petugas kesehatan di rumah sakit. Penggunaan air glukosa oral tidak
diperlukan
● Hindari menjemur bayi di bawah sinar matahari secara langsung. Sebaiknya
menjemur bayi menggunakan filtered sunlight. Dokter dapat memberitahukan cara
membuat filtered sunlight pada keluarga pasien, yaitu dengan cara menggunakan
window tinting films (dimana mampu mengalihkan sejumlah UV yang berbahaya dan
infrared) sehingga metode ini aman dan efektif mengurangi bilirubin total
K. KOMPLIKASI
L. PROGNOSIS
Pada sirosis hepatis, prognosis dapat ditentukan dengan menggunakan Model for
End-Stage Liver Disease (MELD) yang dapat menentukan persentase mortalitas dalam 3
bulan. Child-Pugh score dapat menentukan mortalitas terkait tindakan operatif, dan
mortalitas dalam 1 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Joseph A, Samant H. Jaundice. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544252/
Suradi and Letupeirissa. Sari Pediatri : Air Susu Ibu dan Ikterus. 2013. Diakses
darihttp://www.idai.or.id
Tsoris A, Marlar CA. Use Of The Child Pugh Score In Liver Disease. 2021 Mar 22.
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan–. PMID:
31194448.
Usman F, Diala UM, Shapiro SM, Le Pichon JB, Slusher TM. Acute bilirubin
encephalopathy and its progression to kernicterus: current perspectives. Research and
Reports in Neonatology. 2018;8:33-44 https://doi.org/10.2147/RRN.S125758