Anda di halaman 1dari 49

REFERAT

IKTERUS NEONATORUM

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Bethesda
pada Program Pendidikan Dokter tahap Profesi
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh:
Nada Dian Sejati 42200410
Herose Cendrasilvinia 42200411
Mega Indahsari K 42200412
Evinola Windy A 42200413

Pembimbing Klinik:
dr. Margareta Yuliani, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2022
A. DEFINISI

Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar
bilirubin darah 5-7 mg/dL. Bilirubin terbentuk ketika komponen heme sel darah
merah dipecah di limpa menjadi biliverdin dengan istilah lain adalah bilirubin tak
terkojugasi, kondisi terjadinya peningkatan tersebut menyebabkan muncul tanda dan
gejala kuning pada bayi. Ikterik adalah warna kuning yang dapat terlihat pada sklera,
selaput lender, kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin.
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total ≥5 mg/dL
(86 μmol/L). Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang sering ditemukan baik
pada bayi cukup bulan (5070%) maupun bayi prematur (80-90%). Sebagian besar
hiperbilirubinemia adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi
karena potensi toksik dari bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat.

B. EPIDEMIOLOGI

Kejadian ikterus neonatorum menjadi penyebab yang paling banyak terjadi


pada kelahiran neonatal. 30-50% bayi baru lahir mengalami ikterus neonatorum.
Ikterus neonatorum terjadi 3-5 hari setelah kelahiran. Ikterus neonatorum pada bayi
saat lahir biasa terjadi saat 25-50% neonatus yang sudah cukup bulan dan sangat
meninggi lagi untuk neonatus belum cukup bulan.

Data dari WHO ( World Health Organization) (2015) menjelaskan bahwa


sebanyak 4,5 juta (75%) dari semua kematian bayi dan balita terjadi pada tahun
pertama kehidupan. Data kematian bayi terbanyak dalam tahun pertama kehidupan
ditemukan di wilayah afrika, yaitu 55/1000 kelahiran. Di wilayah eropa ditemukan
10/1000 dari kelahiran. Hiperbilirubinemia di Indonesia merupakan masalah yang
sering ditemukan pada bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan, hiperbilirubinemia
terjadi sekitar 25-50% bayi cukup bulan dan lebih tinggi pada bayi kurang bulan
(Depkes 2017). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas 2015) menunjukan
angka kejadian hiperbilirubinemia/ikterus neonatorum pada bayi baru lahir di
Indonesia sebesar 51,47% dengan faktor penyebab yaitu asfiksia 51%, BBLR 42,9%,
sectio cesarea 18,9%, premature 33,3% kelainan congenital 2,8 %, sepsis 12 %.

Berdasarkan data yang diambil dari Rumah Sakit Dr. Sarditjo melaporkan
kejadian ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebanyak 85% yang mana
memiliki kadar bilirubin di atas 5 mg/dl dan 23,80% memiliki kadar bilirubin di atas
13 mg/dl. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang melaporkan
bahwa insiden ikterus fisiologis paling sering terjadi jika dibandingkan ikterus
patologis dengan angka kematian terkait hiperbilirubin sebesar 13,10%. Insiden
ikterus neonatorum di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya sebesar 13% dan 30%
(Hafizah & Imelda, 2013). Penelitian di RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung oleh
Putri & Rositawati (2016) angka kejadian bayi ikterus neonaotum tahun 2013 yaitu
4,77%. Angka kejadian ikterus neonatorum tahun 2014 yaitu 11,87%.

C. FAKTOR RISIKO HIPERBILIRUBINEMIA

Adanya risiko tambahan yang terjadi setelah bayi tersebut lahir yang
menyebabkan bayi tersebut lebih mudah mengalami toksisitas bilirubin (Tabel 1) Hal
tersebut membuat bayi tersebut memiliki ambang batas dimulainya fototerapi maupun
transfusi tukar lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang lain (risiko tinggi vs
risiko standar). Faktor risiko tersebut diantaranya.

- Inkompabilitas ABO dan Rhesus


- Hemolisis (G6PD defisiensi, sferositosis herediter, dan lain-lain)
- Asfiksia (Nilai Apgar 1 menit< 5)
- Asidosis (pH tali pusat< 7,0)
- Bayi tampak sakit dan kecurigaan infeksi
- Hipoalbuminemia (kadar serum albumin < 3 mg/dL
D. ETIOLOGI

Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi


karena peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia)
dan bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia). Ditinjau dari letaknya,
penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum
diklasifikasikan menjadi 2 golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik serta kelainan
ekstrahepatik :
Ekstrahepatik

· Atresia biliaris

· Hipoplasia biliaris

· Stenosis duktus biliaris

· Anomalies choledochopancreaticoductal junction

· Perforasi spontan duktus biliaris

· Massa (neoplasma, batu)

Intrahepatik

A. Idiopatik

a) Hepatitis neonatal idiopatik

b) Kolestasis intrahepatik persisten

· Displasia arteriohepatik (sindrom Allagile)

· Byler’s disease

· Trihydroxycoprostanic academia

· Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal)

· Nonsyndromic paucity of intrahepatic ducts

· Disfungsi mikrofilamen

c) Kolestasis intrahepatik rekurens

· Familiar benign recurrent cholestasis

· Kolestasis herediter dengan limfedema


Anatomi

a. Fibrosis hepatik kongenital/polikistik infantil pada hati dan ginjal

b. Caroli’s disease (dilatasi kistik duktus intrahepatik)

Gangguan Metabolisme

a. Gangguan metabolisme asam amino, tirosin dan hipermetionin

b. Gangguan metabolisme lemak

c. Wolman’s disease

d. Niemann-Pick disease

e. Gauchers’s disease

f. Gangguan metabolisme karbohidrat

- Galaktosemia, Fruktosemia, Glikogenosis IV

h. Gangguan metabolisme asam empedu

- 3β-hidroksisteroid dehidrogenase/isomeras, 4-3 oksosteroid 5β-reduktase

i. Gangguan metabolik yang tidak khas

- Defisensi alfa-1 antitripsin

- Fibrosis Kistik

- Hipopituarisme idiopatik

- Hipotiroid

- Neonatal iron storage disease

- Infantile copper overload

- Multiple acyl-coA dehydrogenation deficiency


- Familiar erytrophagocytic lymphohistiocytosis

j. Hepatitis

- Infeksi (hepatitis pada neonatus)

- Cytomegalovirus (CMV)

- Virus hepatitis B

- Virus Rubela

- Reovirus tipe 3 Virus herpes

- Virus varisela

- Coxsackievirus

- Echovirus

- Parvovirus B19

- Toksoplasmosis

- Sifilis

- Tuberkulosis

- Listeriosis

k. Toksik

- Kolestasis akibat nutrisi perenteral

- Sepsis

l. Gangguan genetik atau kromosom

- Trisomi E

- Sindrom Down
- Sindrom Donahue

m. Lain-lain

- Histiositosis X

- Syok atau hiperperfusi

- Obstruksi intestinal

- Sindrom polisplenia

- Lupus neonatal

E. FISIOLOGI METABOLISME BILIRUBIN

Pembentukan

Proses metabolisme pemecahan


heme sangatlah kompleks.
Setelah kurang lebih 120 hari,
eritrosit diambil dan didegradasi
oleh sistem RES
(reticuloendothelial system)
terutama di hati dan limpa.
Sekitar 85% heme yang
didegradasi berasal dari eritrosit
dan 15% berasal dari jaringan
ekstraeritroid.

Bilirubin adalah pigmen


kristal berwarna jingga yang
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi
oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari
heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar
terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang
digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO)
yang diekskresikan kedalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi
bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.

Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi
bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin
bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
Jika tubuh mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg
bilirubin dan sisanya (25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
hemoglobin karena eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan
yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan
heme bebas.

Transportasi Bilirubin

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya


dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir
mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena
konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang.

Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya
merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis,
hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan
peningkatan jumlah bilirubin bebas dan berisiko pula untuk keadaan nerotoksisitas
oleh bilirubin. Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:

a. Bilirubin tak terkonjugasi (binded albumin) yaitu bilirubin tak terkonjugasi


dan membentuk sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.

b. Bilirubin tak terkonjugasi (free bilirubin), yaitu bilirubin tak terkonjugasi


yang tidak terikat oleh albumin. Bilirubin inilah yang sangat berbahaya dan
menyebabkan neurotoksisitas. Semakin tinggi kadar free bilirubin, maka semakin
beresiko mengalami neurotoksisitas bilirubin. Adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi ikatan bilirubin dan albumin seperti hipoalbuminemia, hemolisis, bayi
kurang bulan, hipoksia, asidosis, sepsis, asfiksia serta penggunaan obat-obatan
tertentu (ceftriaxone) dan meningkatkan kadar free-bilirubin yang berdampak pada
peningkatan risiko neurotoksisitas.

c. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (α- bilirubin).

d. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu


bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.

Intake Bilirubin ke Hati

Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit,


albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel
membran yang berkaitan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein
ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke
sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar
jaringan, pengambulan bilirubin oleh sel hati, dan konjugasi bilirubin akan
menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan
normal ataupun tidak normal.

Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan


berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini
terjadi karena adanya defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting
dibandingkan dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer
bilirubin dari darah ke empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan. Walaupun
demikian, defisiensi ambilan ini dapat menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi
ringan pada minggu kedua kehidupan saat konjugasi bilirubin hepatik mencapai
kecepatan normal yang sama dengan orang dewasa.

Konjugasi Bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang


larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridin difosfat
glukuronosil transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan meruban formasi
menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi
bilirubin diglukoronida. Substrat yang digunakan untuk transglukoronidase
kanalikuler adalah bilirubin monoglukoronida. Enzim ini akan memindahkan satu
molekul asam glukoronida dari satu molekul bilirubin monoglukoronida ke yang lain
dan menghasilkan pembentukan satu molekul bilirubin diglukoronida.

Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu.


Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum
endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin
yang dihantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya
pada keadaan hemolisis kronis yang berat dimana pigmen yang tertahan adalah
bilirubin monoglukoronida.

Ekskresi Bilirubin

Setelah megalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan kedalam


kandung empedu, kemudian memasukisaluran cerna dan diekskresikan melalui feses.
Proses ekskresi sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada
dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali
jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-
glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna
dan kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.

Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dengan orang dewasa. Pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang
tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru
lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah
menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi).

Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilriubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan
didalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk
mengurangi bilurubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool
bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa.
Peningkatan hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas
β-glukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi.
Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat
mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin dalam tinja dan mengurangi
kadar bilirubin serum. Hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi
enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru lahir.

IKTERUS FISIOLOGIS

Neonatus akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB per hari, sedangkan


orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB per hari. Produksi bilirubin yang meningkat pada
neonatus disebabkan masa hidup eritrosit neonates lebih pendek (70-90 hari)
dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn
over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang
meningkat (siklus enterohepatik). Peningkatan kadar bilirubin serum ini dapat
bersifat fisiologis dan patologis. Keadaan ini dapat menyebabkan ikterus baik
fisiologis maupun patologis. Apabila kadar bilirubin tidak terkontrol dapat
menyebabkan terjadinya kernikterus, defek neurologis yang menetap bahkan
kematian pada neonatus. Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada neonatus
yang ditandai dengan pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Secara klinis akan tampak pada neonatus
bila kadar bilirubin 5-7 mg/dL. Kadar bilirubin neonatus akan menurun setelah 10-14
hari kelahiran. Neonatus yang sehat dan yang diidentifikasi tanpa faktor risiko ikterus
patologis memiliki kadar bilirubin serum≤ 12 mg/dL.

Ikterus fisiologis ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan
yang mendapatkan susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar
10mg/dL pada hari ke tiga kehidupan dan kemudian akan menurun secara cepat
selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama satu
sampai dua minggu. Sedangkan pada bayi cukup bulan yang diberikan air susu ibu
(ASI) kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi yaitu 7-14
mg/dL dan penurunan akan lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu,
bahkan sampai 6 minggu.

Penelitian in vivo tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan
defisiensi aktifitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktifitas enzim ini
meningkat melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin
serum akan menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa pada
hari ke-4 kehidupan. Pada periode bayi baru lahir, konjugasi monoglukoronida
merupakan konjugat pigmen empedu yang lebih dominan.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis yaitu:

Dasar Penyebab

Peningkatan bilirubin yang tersedia: Peningkatan sel darah merah

a. Peningkatan produksi bilirubin Penurunan umur sel darah merah

Peningkatan early bilirubin

b. Peningkatan resirkulasi melalui Peningkatan aktifitas β-glukoronidase


enterohepatik shunt
Tidak adanya florabakteri

Pengeluaran meconium yang


terlambat

Penurunan bilirubin clearance:

a. Penurunan clearance dari plasma Defisiensi protein karier

b. Penurunan resirkulasi melalui Penurunan aktivitas UDPG-T


enterohepatic shunt

Ikterus fisiologis memiliki tanda-tanda sebagai berikut :

a. Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir dan
tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari kesepuluh.

b. Kadar billirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dlpada neonatus kurang bulan
dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar billirubin tidak lebih dari 5mg/dl per hari.

d. Kadar billirubin direk tidak lebih dari 1 mg/dl.

e. Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologis yang berpotensi menjadi


kern ikterus (ensefalopati billiaris adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan
billirubin indirek pada otak)

IKTERUS PATOLOGIS

Meningkatnya kadar bilirubin dapat juga disebabkan produksi yang berlebihan.


Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang menua. Pada neonatus 75%
bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg
bilirubin indirek (free billirubin) dan sisanya 25% disebut early labeled bilirubin yang
berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritropoesis yang tidak efektif di dalam
sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme dan heme bebas.
Pembentukan bilirubin diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin.
Setelah mengalami reduksi biliverdin menjadi bilirubin bebas, yaitu zat yang larut dalam
lemak yang bersifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melewati membran
biologik seperti plasenta dan sawar otak.

Di dalam plasma, bilirubin tersebut terikat/bersenyawa dengan albumin dan


dibawa ke hepar. Dalam hepar menjadi mekanisme ambilan sehingga bilirubin terikat
oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin
akan terikat dan bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation S-
tranferase membawa bilirubin ke reticulum endoplasma hati. Dalam sel hepar bilirubin
kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide dan sebagian kecil dalam bentuk
monoglukoronide. Ada 2 enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronide yaitu
uridin difosfat glukoronide transferase (UDPGT) yang mengkatalisasi pembentukan
bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi diglukoronide terjadi di membran
kanalikulus.

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus yang
kemungkinan menjadi patologik atau dapat dianggap sebagai hiperbilirubinemia adalah:
a) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran

b) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam

c) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10mg% pada neonatus kurang bulan dan 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan

d) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim C6PD
dan sepsis)

e) Ikterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 200 gram yang disebakan
karena usia ibu dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun dan kehamilan pada remaja,
masa gestasi kurang dari 35 minggu, asfiksia, hipoksia, syndrome gangguan
pernapasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkopnia, hiperosmolitas.

Kern Ikterus

Kern ikterus adalah sindrom neurologik akibat dari akumulasi bilirubin indirek di
ganglia basalis dan nuklei di batang otak. Faktor yang terkait dengan terjadinya sindrom
ini adalah kompleks yaitu termasuk adanya interaksi antara besaran kadar bilirubin
indirek, pengikatan albumin, kadar bilirubin bebas, pasase melewati sawar darah-otak,
dna suseptibilitas neuron terhadap injuri.

Ikterus Hemolitik

Ikterus hemolitik atau ikterus prahepatik adalah kelainan yang terjadi sebelum
hepar yakni disebebakan oleh berbagai hal disertai meningkatnya proses hemolisis
(pecahnya sel darah merah) yaitu terdapat pada inkontabilitas golongan darah ibu-bayi,
talasemia, sferositosis, malaria, sindrom hemolitik uremik, sindrom Gilbert, dan sindrom
Crigler-Najjar. Pada ikterus hemolitik terdapat peningkatan produksi bilirubin diikuti
dengan peningkatan urobilinogen dalam urin tetapi bilirubin tidak ditemukan di urin
karena bilirubin tidak terkonjugasi tidak larut dalam air. Pada neonatus dapat terjadi
ikterus neonatorum karena enzim hepar masih belum mampu melaksanakan konjugasi
dan ekskresi bilirubin secara semestinya sampai ± umur 2 minggu. Temuan
laboratorium adalah pada urin didapatkan urobilinogen, sedangkan bilirubin adalah
negatif, dan dalam serum didapatkan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, dan
keadaan ini dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia dan kernikterus (ensefalopati
bilirubin).

· Inkompabitilitas Rhesus

Bayi dengan Rh positif dari ibu Rh negatif tidak selamanya menunjukkan gejala-
gejala klinik pada waktu lahir (15-20%). Gejala klinik yang dapat terlihat ialah ikterus
tersebut semakin lama semakin berat, disertai dengan anemia yang semakin lama
semakin berat juga. Bilamana sebelum kelahiran terdapat hemolisis yang berat, maka
bayi dapat lahir dengan edema umum disertai ikterus dan pembesaran hepar dan lien
(hidropsfoetalis). Terapi ditunjukkan untuk memperbaiki anemia dan mengeluarkan
biliruin yang berlebihan dalam serum agar tidak terjadi kernikterus.

· Inkompabilitas ABO

Ikterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua dan biasanya bersifat ringan.
Bayi tidak tampak skait, anemia ringan, hepar dan lien tidak membesar. Kalau
hemolisisnya berat, seringkali diperlukan juga transfuse tukar untuk mencegah
terjadinya kernikterus. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kadar
bilirubin serum sewaktu.

· Inkompabilitas Golongan Darah

Ikterus hemolitik karena inkompatibilitas golongan darah lain, pada neonatus


dengan ikterus hemolitik dimana pemeriksaan kearah inkompatibilitas Rh dan ABO
hasilnya negatif sedangkan coombs test positif, kemungkinan ikterus akibat hemolisis
inkompatibilitas golongan darah lain harus dipikirkan.

· Kelainan Eritrosit Congenital

Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang menyerupai


eritroblastosis fetalis akibat iso-imunitas. Pada penyakit ini biasanya coombs testnya
negatif.

· Defisiensi Enzim G6PD

G6PD (glukosa 6 phosphate dehidrogenase) adalah enzim yang menolong


memperkuat dinding sel darah merah, ketika mengalami kekurangan maka sel darah
merah akan lebih mudah pecah dan memproduksi bilirubin lebih banyak. Defisiensi
G6PD ini merupakan salah satu penyebab utama ikterus neonatorum yang memerlukan
tranfuse tukar. Ikterus yang berlebihan dapat terjadi pada defisiensi G6PD akibat
hemolisis eritrosit walaupun tidak terdapat faktor eksogen misalnya obat-obatan sebagai
faktor lain yang ikut berperan, misalnya faktor kematangan hepar.

Ikterus Hepatik

Ikterus hepatic atau ikterus hepatoseluler disebabkan karena adanya kelainan pada
sel hepar (nekrosis) maka terjadi penurunan kemampuan metabolisme dan sekresi
bilirubin sehingga kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah menjadi meningkat.
Terdapat pula gangguan sekresidari bilirubin terkonjugasi dan garam empedu ke dalam
saluran empedu hingga dalam darah terjadi peningkatan bilirubin terkonjugasi dan
garam empedu yang kemudian diekskresikan ke urin melalui ginjal. Transportasi
bilirubin tersebut menjadi lebih terganggu karena adanya pembengkakan sel hepar
dan edema karena reaksi inflamasi yang mengakibatkan obstruksi pada saluran
empedu intrahepatik. Pada ikterus hepatik terjadi gangguan pada semua tingkat
proses metabolisme bilirubin, yaitu mulai dari uptake, konjugasi, dan kemudian
ekskresi. Temuan laboratorium urin ialah bilirubin terkonjugasi adalah positif karena
larut dalam air, dan urobilinogen juga positif > 2 U karena hemolisis menyebabkan
meningkatnya metabolisme heme. Peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum
tidak mengakibatkan kernikterus.

Ikterus Obstruktif

Ikterus obstruktif atau ikterus pasca hepatik adalah ikterus yang disebabkan
oleh gangguan aliran empedu dalam sistem biliaris. Penyebab utamanya yaitu batu
empedu dan karsinoma pankreas dan sebab yang lain yakni infeksi cacing Fasciola
hepatica, penyempitan duktus biliaris komunis, atresia biliaris, kolangiokarsinoma,
pankreatitis, kista pankreas, dan sebab yang jarang yaitu sindrom Mirizzi. Bila obstruktif
bersifat total maka pada urin tidak terdapat urobilinogen, karena bilirubin tidak terdapat
di usus tempat bilirubin diubah menjadi urobilinogen yang kemudian masuk ke sirkulasi.
Kecurigaan adanya ikterus obstruktif intrahepatik atau pascahepatik yaitu bila dalam
urin terdapat bilirubin sedang urobilinogen adalah negatif. Pada ikterus obstruktif juga
didapatkan tinja berwarna pucat atau seperti dempul serta urin berwarna gelap, dan
keadaan tersebut dapat juga ditemukan pada banyak kelainan intrahepatik. Untuk
menetapkan diagnosis dari tiga jenis ikterus tersebut selain pemeriksaan di atas perlu
juga dilakukan uji fungsi hati, antara lain adalah alakli fosfatase, alanin transferase, dan
aspartat transferase.

Ikterus Retensi

Ikterus retensi terjadi karena sel hepar tidak merubah bilirubin menjadi bilirubin
glukuronida sehingga menimbulkan akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi di dalam
darah dan bilirubin tidak terdapat di urin.

Ikterus Regurgitasi

Ikterus regurgitasi adalah ikterus yang disebabkan oleh bilirubin setelah konversi
menjadi bilirubin glukuronida mengalir kembali ke dalam darah dan bilirubin juga
dijumpai di dalam urin.

Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer

Skor 1 jika kuning pada daerah muka dan


leher. Skor 2, jika kuning tampak meluas
ke area dada. Skor 3, jika kuning meluas
sampai ke perut bagian bawah dan lipatan
paha. Skor 4, jika kuning meluas sampai
ke kaki dan tangan. Skor 5, jika kuning
meluas sampai ke telapak tangan dan kaki.
F. DIAGNOSIS
Peningkatan bilirubin pada neonatus sering terjadi akibat :
● Selama masa janin, bilirubin diekskresi (dikeluarkan) melalui plasenta ibu,
sedangkan setelah lahir harus diekskresi oleh bayi sendiri dan memerlukan waktu
adaptasi selama kurang lebih satu minggu
● Jumlah sel darah merah lebih banyak pada neonatus
● Lama hidup sel darah merah pada neonatus lebih singkat dibanding lama hidup sel
darah merah pada usia yang lebih tua
● Jumlah albumin untuk mengikat bilirubin pada bayi prematur (bayi kurang bulan)
atau bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intrauterin (dalam kandungan)
sedikit.
● Uptake (ambilan) dan konyugasi (pengikatan) bilirubin oleh hati belum sempurna,
terutama pada bayi prematur
● Sirkulasi enterohepatik meningkat

Beberapa kondisi jaundice pada neonatus yang harus waspadai sebagai non
fisiologis jaundice, yaitu:
1. Jaundice yang terjadi sebelum usia 24 jam
2. Peningkatan bilirubin serum yang sangat tinggi sehingga memerlukan fototerapi
3. Peningkatan bilirubin serum >0,5 mg/dL/jam
4. Tanda-tanda penyakit dasar yang meyertai (muntah, letargis, malas menyusu,
apnea, takipnea, kehilangan berat badan yang ekstrem, atau suhu yang tidak stabil)

Dalam menentukan diagnostik kolestasis yang paling penting adalah


menetapkan apakah intrahepatik atau ekstrahepatik, terutama atresia biliar yang
prognosisnya tergantung usia pada saat dioperasi. Pada usia kurang 8 minggu angka
keberhasilan bisa mencapai 80%, sedangkan setelah 12 minggu angka keberhasilan
tinggal 20% karena telah terjadi sirosis. Membedakannya dengan kolestasis
intrahepatik tidaklah mudah, karena semua bentuk kolestasis menimbulkan sindrom
klinis ikterik yang sama, yaitu disertai pruritus, peningkatan transaminase dan alkali
fosfatase dan gangguan ekskresi zat warna kolesistografi. Beberapa pemeriksaan
dapat dilakukan untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik,
namun tidak ada cara yang dapat digunakan secra tunggal dengan akuarasi diagnostik
100%, oleh karena itu memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat dan
pemeriksaan penunjang yang memadai.
Pada anamnesis harus ditanyakan tentang riwayat prenatal, perinatal dan riwayat
mulai timbulnya sindrom kolestasis, ras serta riwayat keluarga yang menyeluruh dan
bagaimana perjalanan penyakitnya pada saudara kandung untuk menyingkirkan
kolestasis hepatik akibat kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai
riwayat morbitias ibu selama kehamilan, misalnya infeksi Toksoplasma, others, rubela,
cytomegalovirus dan Herpes (TORCH), hepatitis B serta infeksi lainnya dan riwayat
kelahiran (adanya infeksi intrapartum, berat lahir), riwayat pemberian nutrisi parenteral,
transfusi darah serta penggunaan obat hepatotoksik.

Anamnesis
Dalam anamnesis, diagnosis hiperbilirubinemia dapat digunakan untuk mencari faktor
risiko penyebab hiperbilirubinemia sehingga dapat diklasifikasikan apakah bayi yang
lahir ini termasuk dalam kategori risiko tinggi atau risiko rendah. Anamnesis tersebut
mencakup:
a) Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa
6-fosfatdehidrogenase (G6PD)
b) Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia,deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
c) Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinaninkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
d) Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma
e) Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada
bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
f) Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan
atauhemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang
disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat
perdarahan intrakranial.
g) Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
direkberkepanjangan
h) Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breasfeeding jaundice dan breastmilk
jaundice.

1) Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan


ASI.
Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum
banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir
rendah), hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak
coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam.
Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang
disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus
pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja
merupakan hiperbilirubinemia fisiologis. Breastfeeding jaundice seringkali terjadi
pada bayi-bayi yang mendapatkan ASI eksklusif namun tidak diiringi dengan
manajemen laktasi yang baik. Bayi akan mengalami beberapa tanda sebagai akibat
kekurangan cairan, seperti demam, penurunan berat badan > 10%, dan berkurangnya
produksi kencing. Frekuensi buang air besar dapat juga berkurang pada kasus ini.

2) Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI).
Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi,
kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus
naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan,
bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka
bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi
tampak sehat dengan menunjukkan kemampuan minum yang baik, aktif, lincah,
produksi ASI cukup. Yang diiringi dengan pertambahan berat badan yang baik, fungsi
hati normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang
(70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan
breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat terhambatnya
uridine diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil
metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3- alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI
sebagian ibu.
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit
setelah dilakukan penenkanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan
menggunakan cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara
sefalokaudal. Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang
andal untuk memprediksi kadar bilirubin serum, terutama pada bayi dengan kulit yang
gelap. Pemeriksaan visual hanya dapat digunakan untuk melihat bahwa bayi tersebut
menderita ikterus atau menyingkirkan bahwa bayi tersebut sudah tidak menderita
ikterus. Pemeriksaan visual dianjurkan untuk dilakukan oleh semua orang tua yang
memiliki bayi baru lahir dan melihat progresivitasnya. Petugas kesehatan seyogyanya
tidak menggunakan visual estimation sebagai sarana dalam diagnosis
hiperbilirubinemia sebelum dilakukan pemeriksaan TSB.
Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang dapat dicari antara lain :
1. Tanda-tanda prematuritas
2. Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia
3. Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masakehamilan
4. Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom, subgaleal hematom
5. Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
6. Ptekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
7. Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakii
hati
8. Omfalitis
9. Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
10. Tanda hipotiroid
11. Perubahan warna tinja, pengamatan warna tinja harian dengan mengumpulkan tinja 3
porsi (porsi pertama antara jam 06.00 – 14.00) porsi kedua jam 14.00 22.00, dan porsi
ketiga antara jam 22.00 – 06.00) dalam wadah yang transparan dan disimpan di dalam
kantong plastik yang berwarna gelap. Tindakan ini dapat digunakan sebagai
penyaring tahap pertama, karena kolestasis ekstrahepatik terutama atresia biliaris
hampir selalu menyebabkan tinja yang akolis pada semua porsi tinja. Bila ketiga porsi
tinja tetap berwarna dempul selama beberapa hari, maka kemungkinan besar adalah
kolestasis ekstra hepatik (atresia biliaris). Pada kolestasis intrahepatik, warna tinja
kuning atau dempul berfluktuasi dan pada keadaan lanjut tinja dapat pula seperti
dempul terus-menerus.
Diagnosis ikterus karena ASI
Semua penyebab ikterus harus disingkirkan. Orangtua dapat ditanyakan apakah
anak sebelumnya juga mengalami ikterus. Sekitar 70% bayi baru lahir yang saudara
sebelumnya mengalami ikterus karena ASI akan mengalami ikterus pula. Beratnya ikterus
bergantung pada kematangan hati untuk mengkonyugasi kelebihan bilirubin indirek ini.
Untuk kepastian diagnosis apalagi bila kadar bilirubin telah mencapai di atas 16 mg/dl
selama lebih dari 24 jam adalah dengan memeriksa kadar bilirubin 2 jam setelah menyusu
dan kemudian menghentikan pemberian ASI selama 12 jam (tentu bayi mendapat cairan
dan kalori dari makanan lain berupa ASI dari donor atau pengganti ASI dan ibu tetap
diperah agar produksi ASI tidak berkurang). Setelah 12 jam kadar bilirubin diperiksa
ulang, bila penurunannya lebih dari 2 mg/dl maka diagnosis dapat dipastikan.
Bila kadar bilirubin telah mencapai < 15 mg/dl, maka ASI dapat diberikan
kembali. Kadar bilirubin diperiksa ulang untuk melihat apakah ada peningkatan kembali.
Pada sebagian besar kasus penghentian ASI untuk beberapa lama akan memberi
kesempatan hati mengkonyugasi bilirubin indirek yang berlebihan tersebut, sehingga
apabila ASI diberikan kembali kenaikannya tidak akan banyak dan kemudian berangsur
menurun. Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian pemberian ASI
dilanjutkan sampai 18-24 jam dengan mengukur kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila
kadar bilirubin tetap meningkat setelah penghentian pemberian ASI selama 24 jam maka
jelas penyebabnya bukan karena ASI. ASI boleh diberikan kembali sambil mencari
penyebab ikterus lainnya. Masih terdapat kontroversi untuk tetap melanjutkan pemberian
ASI atau dihentikan sementara pada keadaan ikterus karena ASI. Biasanya kadar bilirubin
akan menurun drastis bila ASI dihentikan sementara.

G. PEMERIKSAAAN PENUNJANG
· Pemeriksaan laboratorium
· Pencitraan
· Biopsi hati

Pemeriksaan laboratorium
o Kadar bilirubin
o Darah lengkap: jumlah trombosit dan retikulosit bila ada anemia
o Fungsi hati : transaminase (SGOT, SGPT), gama glutamil transpeptidase (γGT),
alkali fosfatase (AF), Waktu protombin dan tromboplastin
o Elektroforesis protein, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, kolesterol, asam
empedu serum dan urin serta asam empedu dalam tinja.

Whitington, menyampaikan beberapa pemeriksaan laboratorium awal yang dapat


mendukung diagnosis kolestasi ekstrahepatik atau intrahepatik.

Tabel 1. Data Laboratoris Awal Kolestasis Bayi

Uji Fungsi hati Kolestasis Kolestasis


Ekstrahepati Intrahepatik
k

Bilirubin total (mg/dl) 10,2 ± 4,5 12,1± 9,6

Bilirubin direk (mg/dl) 6,2 ± 2,6 8,0 ± 6,8

SGOT < 5 x normal >10x normal/>800u/L

SGPT < 5 x normal >10x normal/>800u/L

γGT > 5 x normal/> 600 U/L < 5 x normal atau


normal

Sumber : Whitington 1996

Peningkatan SGOT dan SGPT yang lebih dari 10 kali nilai normal atau > 800
U/L terutama yang disertai peningkatan γGT yang kurang dari 5 x normal, lebih
mendukung kelainan hepatoselular (kolestasis intrahepatik). Sebaliknya bila
peningkatan SGOT atau SGPT kurang dari 5 x nilai normal dengan peningkatan γGT
lebih dari 5 x normal atau > 600 U/L, lebih mengarah kepada atresia biliaris atau
obstruksi duktus biliaris lainnya.
Bila AF tinggi dan γGT rendah (< 100 U/L), penderita mungkin mengidap
suatu kolestasis familial progesif atau gangguan sintesis garam empedu. Dengan cara
pemeriksaaan spektrometri terhadap urin penderita. Kelainan metabolisme asam
empedu seperti defisiensi 3-β- hidroksisteroid-dehidrogenase/isomerase yang
bermanifestasi sebagai penyakit hati yang berat dapat dideteksi pula.
Pemeriksaan lain yang dilakukan pada kecurigaan kolestasis intrahepatik
adalah pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi TORCH, petanda hepatitis B
(bayi dan ibu) dan kadar a-1-antitripsin serta fenotipenya. Sementara pemeriksaan
khusus seperti hormon tiroid, asam amino serum dan urin, kultur darah dan urin, zat
reduktor dalam urin, galaktosa- 1 fosfat uridil-transferase, uji klorida keringat dan
pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu bila ada gejala klinis lainnya
yang mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut.
Pemeriksaan oftalmologis dilakukan pada kolestasis intrahepatik untuk mencari
korioretinitis (infeksi CMV, toksoplasmosis, rubela), embriotokson posterior (pada
sindrom Alagille), katarak (pada galaktosemia) atau cherry-red spot (pada lipid
storage disease).

Utrasonografi

Ultrasonografi (USG) mempunyai peran yang sangat penting untuk skrining


kolestasis pada bayi. Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan pada semua penderita
kolestasis karena tekniknya sederhana dan non invasif. Melalui USG ini kista
(duktus koledokus atau intrahepatik), batu kandung empedu atau biliary sludge
akibat nutrisi parenteral atau penyakit hemolitik serta tumor dapat dideteksi. Untuk
kista duktus koledokus dan batu, akurasi pemeriksaan ini mencapai 90−95%. Tetapi
untuk biliary sludge atau inspissated bile akurasinya buruk. Pada pemeriksaan USG
juga dapat diukur panjang dan kontraktilitas gall bladder. Pada atresia biliaris dapat
ditemukan panjang gall bladder <1,5 cm, kolaps, tidak berlumen, atau bahkan gall
bladder tidak terlihat sama sekali. Selain itu, pada atresia biliaris didapatkan nilai
kontraktilitas gall bladder rendah atau tidak terdapat kontraktilitas sama sekali.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah penderita dipuasakan minimal 3-4 jam dan
diulang kembali setelah bayi minum. Akurasi diagnostik pemeriksaan USG ini untuk
kolestasis hanya 80%. Namun dengan USG dapat ditemukan gambaran Triangular
cord sign (gambaran masa fibrotik membentuk kerucut atau tubular pada bagian
cranial dan bifurkasio vena porta) yangv sangat membantu untuk mendiagnosis
atresia biliaris. Triangular cord sign dengan ketebalan> 4 mm dengan memberikan
kepastian diagnosa atresia biliaris dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 100%.
Scintigraphy
Disida Tc99m (Tc99m yang berikatan dengan 2.6-diisopropyliminodiacetic
acid) adalah radioisotope yang paling sering digunakan pada pemeriksaan cholestasis
jaundice karena memiliki waktu paruh yang pendek, konsentrasi yang tinggi di dalam
hepar, dan dieksresikan melalui hepar dan ginjal. Disida Tc99m tidak boleh dilakukan
bila kadar blirubin direk >20mg/dl. Satu minggu sebelum pemeriksaan, penderita
diberikan phenobarbital oral dengan dosis 5-10mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis.
Bila terdapat ekskresi isotope pada usus halus dalam 24 jam setelah pemeriksaan,
menunjukkan patensi dari sistem duktus biliaris. Hasil scan yang negatif belum pasti
dapat menyingkirkan penyebab kolestatsis jaundice lainnya, karena sekitar 40%
penderita dengan hepatitis neonatal yang lanjut menunjukkan hasil scan yang negatif
akibat terjadinya disfungsi hepar, oleh karena itu pemeriksaan scintigraphy dapat
diulang 2 minggu kemudian. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan dicida untuk
diagnosa atresia biliaris menghasilkan sensitivitas 100% dan spesifitas 43%.

Cholangiography

Cholangiography dilakukan setelah dengan semua pemeriksaan diatas


diagnosis masih meragukan. Terdapat 3 pemeriksaan cholangiography yang dapat
dilakukan untuk memastikan diagnosis prolonged jaundiced, terutama untuk
memastikan adanya atresia biliaris, yaitu :
1. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP adalah endoskopi ke duktus biliaris melalui ampula vateri, dengan


memasukkan kontras untuk memvisualisasikan duktus biliaris. Sensitivitas dan
spesifitasnya 100%. Namun ERCP memerlukan general anestesia dan merupakan
pemeriksaan operator dependen, yang membutuhkan keahlihan dan pengalaman
klinis. Karena itu pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan
rutin.
2. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

Saat ini MRCP merupakan gold standar untuk atresia biliaris dengan akurasi 100%.
Namun pemeriksaan ini memerlukan sedasi dalam atau general anestesia.
Diperlukan
keahlian dan pengalaman klinis khusus untuk menerapkan MRCP pada anak.
Karena itu pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin.
3. Intraoperative Cholangiography (IOC)

Langkah akhir untuk menegakkan diagnosis adalah dengan melakukan laparotomy


diagnostik dengan persiapan intraoperative cholangiography (IOC), wedge biopsy
hepar, dan jika atresia biliaris ditemukan maka dilakukan Kasai prosedur
(portoenterostomy).

Biopsi hepar

Terdapat beberapa parameter yang dapat membedakan cholestasis jaundice


antara intrahepatik dan ekstrahepatik. Parameter yang merupakan tanda cholestasis
ekstrahepatik walaupun tidak terdapat patognomoni, tetapi spesifik terhadap atresia
biliaris yaitu proliferasi duktus pada porta hepatis, thrombus di daerah porta hepatis,
proses inflamasi dan fibrosis pada porta hepatis, dan lymphedema. Biopsi hepar
memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%.

H. TATALAKSANA

1. Pencegahan hiperbilirubinemia

a. Pencegahan primer

Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat
ASI yang cukup dengan beberapa pertanyaan:

1) Apakah bayi minum 8-12x per hari?

2) Apakah BAB > 3x per hari?

3) Apakah BAK > 6x per hari?

4) Apakah BB bayi tidak turun > 10% dalam 5 hari pertama kehidupan?

5) Apakah bayi demam?

Tidak perlu memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan sekunder

Dilakukan penilaian secara berkesinambungan untuk risiko terjadinya


hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal. Tata cara melakukan penilaian ini
dimulai dengan pemeriksaan secara visual untuk progresivitas hiperbilirubinemia secara
sefalokaudal yang diikuti dengan pemeriksaan TcB /TSB.
1. Pemeriksaan golongan darah
Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi atau bidan untuk
melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada setiap wanita hamil. Bila golongan darah
ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibody direk (tes Coombs),
golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Bila golongan darah ibu O, Rh
positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes Coombs pada darah
tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian
terhadap risiko sebelum keluar Rumah Sakit (RS) dan tidak lanjut yang memadai.
2. Penilaian klinis
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
progresivitas ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda vital bayi. Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui
oleh seluruh staf perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak
tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar bilirubin
(contoh alat TcB di Gambar 2).

Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam
jam (Gambar 3).
3) Evaluasi laboratorium

TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan.
Kemudian hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi
tukar. Pemeriksaan TcB dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika
terdapat alat TcB, maka pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat
progresivitas ikterus berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi
setiap harinya. Jika kadar TcB yang terukur ± 2-3mg/dL atau 70% dari ambang batas
fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSB. Pemeriksaan estimasi secara visual
tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat ikterus, terutama pada bayi dengan
kulit gelap.

4) Penyebab ikterus

Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan penyebab


ikterus pada bayi yang menerima fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi yang mengalami
peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin.
Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila
terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi sakit dan ikterus
pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk
atau bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu, dapat
dilakukan pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan direk
bilirubin dapat diidentifikasi denga pemeriksaan FT4, TSH, dan screening inborn error
metabolism (paper test). Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat,
dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis.

Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phospatase dehydrogenase (G6PD)


direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat
keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD
atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.
5) Pemeriksaan klinis sebelum pulang dari rumah sakit. Sebelum pulang dari
rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko berkembangnya hiperbilirubinemia
berat, dan semua perawatan harus menerapkan protocol untuk menilai risiko ini.
Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam.Sebelum
pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB atau TSB dan diplot di kurva
yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria fototerapi, disarankan untuk
kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.

Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu:

a) Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin serum total sebelum
keluar RS, secara individual atau kombinasi untuk pengukuran yang sistimatis terhadap
risiko.

b) Penilaian faktor risiko klinis.

6) Kebijakan dan prosedur rumah sakit

Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua, serta memperagakan
bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya.

Cara memeriksa ikterus adalah:

a) Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
b) Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan yang
cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
c) Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.
d) Jika orang tua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan.

(7) Tindak lanjut

Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan professional yang


berkualitas beberapa hari setelah keluar RS untuk menilai keadaan bayi dan ada
tidaknya kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan
berdasarkan lamanya perawatan, ada atau tidaknya faktor risiko untuk
hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal lainnya. Penilaian yang harus
dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya adalah:

a) Perkembangan ikterus
b) Kecukupan ASI
c) Ada tidaknya dehidrasi
d) Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain

(8) Jadwal kunjungan ulang

Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan tindak lanjut dilakukan dalam
kurun waktu paling tidak 2-3 hari setelah bayi dipulangkan. Hal ini berguna untuk melihat
progresivitas ikterus dan kadar puncak bilirubin serum yang sering terlihat pada usia 4-6
hari setelah kelahiran.

I. TERAPI

1. Fototerapi dan transfusi tukar

Rekomendasi terapi terdapat pada tabel 4, gambar 4, dan gambar 5.


Untuk menentukan bayi memerlukan fototerapi atau transfusi tukar, maka
kadar bilirubin yang diplot di normogram adalah total serum bilirubin.Penghentian
fototerapi dilakukan pada kondisi dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari
bilirubin total, segera rujuk ke NICU level 3. Semua fasilitas perawatan dan pelayanan
bayi harus memiliki peralatan untuk fototerapi intensif yang dilengkapi dengan
intensitimeter untuk mengukur secara periodik lampu fototerapi yang dimiliki
minimal 1 bulan sekali.

Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi
dilakukan transfusi tukar atau jika kadar bilirubin total sebesar 25mg/dL atau lebih
tinggi pada setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera
masuk dan mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus
dirujuk melalui bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi (penjelasan
lebih lengkap lihat di bagian transfusi tukar). Transfusi tukar harus dilakukan hanya
oleh personel yang terlatih di ruangan NICU dengan observasi ketat dan mampu
melakukan resusitasi.

Pada penyakit isoimun hemolitik, pemberian intravenous immunoglobulin


(0.5-1g/kgBB) direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat walaupun
telah mendapat fototerapi intensif atau kadar TSB berkisar 2-3mg/dL dari kadar
transfusi tukar. Jika diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam.
a. Kadar serum albumin dan rasio bilirubin/albumin
Disarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar serum albumin. Kadar albumin
yang kurang dari 3 mg/dL meningkatkan risiko terjadinya bilirubin ensefalopati akut
sehingga ambang batas fototerapi untuk bayi tersebut harus diturunkan(kelompok risiko
tinggi). Jika dipertimbangkan transfusi ganti, kadar albumin serum harus diukur dan
digunakan rasio bilirubin/albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan
faktor-faktor lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi tukar.
b. Bilirubin ensefalopati akut
Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi tukar pada setiap bayi
hiperbilirubinemia dengan tanda hemolisis disertai manifestasi akut bilirubin ensefalopati
(hipertonia, arching, retrocollis, opistotonus, demam, menangis, menangis melengking)
meskipun kadar bilirubin total serum masih di bawah batas transfusi tukar.
c. Manajemen rawat jalan bayi dengan breastfeeding jaundice Pada bayi yang menyusu yang
memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa, jika memungkinkan, menyusui
harus diteruskan. Hal ini dapat mengurangi kadar bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas
fototerapi. Pada bayi ASI eksklusif yang mendapat fototerapi, suplementasi dengan
pemberian ASI perah atau formula adalah pilihan yang tepatterutama jika asupan bayi dirasa
tidak adekuat, berat badan turun berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi.
Keterangan :

1) Gunakan TSB. Jangan mengurangi TSB dengan bilirubin direk.

2) Faktor risiko: isoimmune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis,


suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin <3g/dl

3) Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk
melakukan fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan
pilihan untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih
rendah untuk bayi-bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin
total serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.

4) Diperbolehkan melakukan fototerapi dengan dosis standard (8-10 μW/cm2 per


nm) baik di rumah sakit atau di rumah pada kadar bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah
garis yang ditunjukkan, namun pada bayi-bayi yang memiliki faktor risiko fototerapi
sebaiknya tidak dilakukan di rumah. Bayi dikategorikan sebagai risiko tinggi karena
adanya efek potensial negatif dari kondisi yang tercatat pada ikatan albumin
bilirubin, sawar darah otak, dan kerentanan sel otak terhadap bilirubin.

Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green


spectrum (panjang gelombang kira-kira 430-490 nm) dengan kekuatan minimal 30
μW/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi secara langsung dibawah titik tengah dari
unit fototerapi) dan dipancarkan sebanyak mungkin pada permukaan tubuh bayi.
Perlu dicatat bahwa radiasi yang diukur dibawah titik tengah dari submer cahaya
lebih tinggi daripada yang diukur di perifer. Pengukuran harus dilakukan dengan
radiometer spesifik sesuai dengan pabrikan sistem fototerapi.

Jika kadar TSB mendekati atau melewati batas transfusi tukar (gambar 4),
maka sisi dari keranjang bayi, inkubator, atau infant warmer dapat dilapisi dengan
aluminium foil atau material reflektor. Hal ini akan meningkatkan luas permukaan
paparan sehingga meningkatkan efikasi fototerapi.Bila kadar TSB tidak menurun
atau tetap meningkat pada bayi yang sedang mendapatkan fototerapi intensif, maka
diduga kuat adanya hemolisis.

Bayi yang mendapatkan fototerapi dan mengalami peningkatan kadar


bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi (kolestasis) bisa berkembang menjadi
bronze-baby syndrome.
Keterangan :

1) Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan


pasti, karena terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap
fototerapi.

2) Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala


ensefalopati akut (hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry,
demam) atau bila kadar bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas garis patokan.

3) Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis,


suhu tidak stabil, sepsis, asidosis.

4) Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin.

5) Gunakan TSB. Jangan mengurangkan dengan bilirubin direk atau bilirubin


terkonjugasi

6) Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko sedang) transfusi
tukar yang hendak dilakukan bersifat individual berdasarkan usia kehamilan saat ini.

a. Fototerapi

Tidak ada metode standart dalam memberikan fototerapi. Unit fototerapi


memiliki variasi yang sangat banyak, termasuk juga jenis lampu yang digunakan.
Efektivitas fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal
yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi,
intensitas lampu fototerapi, jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan
paparan, serta kondisi klinis pasien sendiri.

1) Konsep fototerapi

Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul


bilirubin menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan
tidak membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Fotoisomer sebagian besar
di ekskresikan dalam empedu dan produk oksidasi sebagian besar dieksresikan dalam
urin. Fototerapi akan mengekspos kulit bayi melalui cahaya dengan panjang gelombang
tertentu, dimana mampu menurunkan total bilirubin dengan beberapa mekanisme
berikut ini:

a) Pembentukan isomer menjadi lumirubin, fototerapi merubah bilirubin menjadi


lumirubin melalui struktur isomerase yang bersifat irreversible. Lumirubin bersifat lebih
larut daripada bilirubin lalu di ekskresikan menuju empedu dan urin.

b) Fotoisomer kurang toksik daripada isomer bilirubin, fototerapi merubah isomer


bilirubin 4Z, 15Z menjadi isomer 4Z, 15E dimana lebih polar dan kurang toksik
dibandingkan 4Z, 15Z. seperti lumirubin, isomer 4Z, 15E dieksresikan kedalam empedu
tanpa dikonjugasi. Tidak seperti struktur isomerase menjadi lumirubin, fotoisomer
bersifat reversible, tapikliren isomer 4Z, 15E sangat pelan, dan fotoisomer menjadi
reversible. Beberapa isomer 4Z,15E dalam empedu dikonversi kembali menjadi 4Z,15Z,
hasilnya pada alur ini sedikit berefek terhadap bilirubin total.

c) Foto-oksidasi molekul polar. Reaksi Foto-oksidasi menjadi bilirubin tidak berwarna,


komponen polar diekskresikan terutama dalam urin.
TRANSFUSI TUKAR

1) Definisi

Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor
dengan cara mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali
dalam periode waktu yang singkat.

2) Indikasi

a) Adanya peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugas yang signifikan pada


bayi baru lahir karena sebab apapun, ketika fototerapi intensif gagal, atau ada risiko
terjadinya kernikterus. Transfusi tukar sesegera mungkin direkomendasikan jika
terdapat tanda awal gejala bilirubin ensefalopati akut. Gambar 5 menunjukkan batas
kadar TSB pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu yang direkomendasikan untuk
dilakukan transfusi tukar.

b) Penyakit hemolisis alloimun pada bayi baru lahir (HDN) untuk koreksi
anemia berat dan hiperbilirubinemia

c) Anemia berat dengan gagal jantung kongestif atau hipervolemia


d) Polisitemia. Walaupun transfusi tukar secara parsial dengan kristaloid atau
koloid mengurangi PCV dan hiperviskositas pada bayi dengan polisitemia, namun
ternyata tidak ada bukti mengenai keuntungan jangka panjang dari prosedur tersebut

e) Disseminated Intravascular Coagulation(DIC)

f) Leukemia kongenital

g) Toksin metabolik

(1) Hiperammonemia

(2) Asidemia organik

(3) Keracunan timbal

h) Overdosis atau intoksikasi obat-obatan

i) Eliminasi antibodi atau protein abnormal

j) Sepsis neonatorum atau malaria

3) Kontraindikasi

a) Ketika alternatif seperti transfusi sederhana atau fototerapi sama efektifnya


dengan transfusi tukar namun dengan risiko yang lebih rendah

b) Ketika pasien tidak stabil dan risiko dari prosedur transfusi tukar melebihi
keuntungan

c) Pada pasien dengan anemia berat, dengan gagal jantung atau hipervolemia,
transfusi tukar secara parsial lebih berguna untuk menstabilkan kondisi pasien
sebelum transfusi tukar secara lengkap atau secara double volume dilakukan

d) Ketika kontraindikasi untuk memasang jalur pemberian transfusi tukar


melebihi indikasi untuk dilakukan transfusi tukar. Akses alternatif harus dicari jika
transfusi tukar memang dibutuhkan.
J. EDUKASI

● Mengedukasikan kepada ibu bayi untuk sering menyusui. Memberikan ASI yang
cukup merupakan bagian penting dari pencegahan dan pengobatan kondisi ikterus
karena membantu pembuangan bilirubin melalui tinja dan urin
● Mengedukasikan kepada ibu/keluarga pasien tentang kecukupan pemberian ASI
dengan melihat frekuensi buang air kecil sebanyak minimal 6 kali dalam 24 jam
● Mengedukasikan untuk tetap menyusui selama fototerapi. Penting bagi bayi yang
menerima fototerapi untuk minum cairan yang cukup (idealnya ASI) karena bilirubin
dikeluarkan melalui urin dan tinja. Ibu dapat memerah ASI dan memberikannya
kepada petugas kesehatan di rumah sakit. Penggunaan air glukosa oral tidak
diperlukan
● Hindari menjemur bayi di bawah sinar matahari secara langsung. Sebaiknya
menjemur bayi menggunakan filtered sunlight. Dokter dapat memberitahukan cara
membuat filtered sunlight pada keluarga pasien, yaitu dengan cara menggunakan
window tinting films (dimana mampu mengalihkan sejumlah UV yang berbahaya dan
infrared) sehingga metode ini aman dan efektif mengurangi bilirubin total

K. KOMPLIKASI

Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan komplikasi bilirubin induced neurologic


damage (BIND), terutama pada neonatus dan sindrom Crigler-Najjar tipe 1.
Hiperbilirubinemia juga dapat menyebabkan terbentuknya batu empedu bila terjadi
supersaturasi dengan garam kalsium atau kolesterol.

Hiperbilirubinemia pada neonatus dapat menyebabkan ensefalopati bilirubin atau


kernikterus, terutama pada hiperbilirubinemia berat (>20 mg/dl). Secara klinis, acute
bilirubin encephalopathy (ABE) dapat menyebabkan penurunan kewaspadaan, nafsu
makan menurun, hipotonus, dan refleks Moro yang lemah. Pada fase lebih lanjut, dapat
terjadi iritabilitas, penurunan kesadaran, opistotonus, retrocollis, dan tangisan bernada
tinggi. Tanda-tanda lain yang dapat ditemukan adalah koma, sun-setting eyes, sulit
makan, demam, dan apnea. Toksisitas bilirubin kronik akan menyebabkan kernicterus
spectrum disorders, yang akan berlangsung selama beberapa tahun, dengan tanda-tanda
seperti hipotonus, hiperrefleks, gangguan pendengaran sensorineural, gangguan
penglihatan, hipoplasia enamel, noda kehijauan pada gigi, dan gangguan ekstrapiramidal.

L. PROGNOSIS

Prognosis hiperbilirubinemia ditentukan oleh etiologinya. Prognosis yang baik


terutama pada hiperbilirubinemia fisiologis neonatus, breast milk jaundice, sindroma
Gilbert, dan koledokolitiasis. Sementara itu, keganasan dengan obstruksi bilier dan sirosis
hepatis memiliki prognosis yang lebih buruk.

Pada sirosis hepatis, prognosis dapat ditentukan dengan menggunakan Model for
End-Stage Liver Disease (MELD) yang dapat menentukan persentase mortalitas dalam 3
bulan. Child-Pugh score dapat menentukan mortalitas terkait tindakan operatif, dan
mortalitas dalam 1 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Das S, van Landeghem. Clinicopathological Spectrum of Bilirubin


Encephalopathy/Kernicterus. Diagnostics (Basel). 2019;9(1):24. Published 2019 Feb 28.
doi:10.3390/diagnostics9010024

Joseph A, Samant H. Jaundice. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544252/

Martiza Iesje. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1: Bab XV Ikterus. IDAI.


Jakarta. 2015.

Pudjadi Antonius, Hegar Badriul, Handrayastuti Setyo, dkk. Pedoman


Pelayanan Medis Edisi II, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta. 2011.

Standar Pelayanan Medik (SPM) Kesehatan Anak. Departemen Ilmu


Kesehatan Anak FK-UNHAS. SMF Anak RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo. Makassar.
2013.

Sukadi Andurahman. Buku Ajar Neonatologi Edisi pertama : Hiperbilirubinemia.


IDAI. Jakarta. 2014.

Suradi and Letupeirissa. Sari Pediatri : Air Susu Ibu dan Ikterus. 2013. Diakses
darihttp://www.idai.or.id

Tsoris A, Marlar CA. Use Of The Child Pugh Score In Liver Disease. 2021 Mar 22.
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan–. PMID:
31194448.

Usman F, Diala UM, Shapiro SM, Le Pichon JB, Slusher TM. Acute bilirubin
encephalopathy and its progression to kernicterus: current perspectives. Research and
Reports in Neonatology. 2018;8:33-44 https://doi.org/10.2147/RRN.S125758

Wahidayat Iskandar. Naskah Lengkap Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu


Kesehatan Anak ke-IX FKUI : Ikterus pada Neonatus. FKUI. Jakarta. 2014

Anda mungkin juga menyukai