Dosen Pengampu :
I Wayan Rindra Hanjaswara, SE, M.Si
DISUSUN OLEH
Kelompok 5 :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, karena atas rahmat-nya kami dapat menyelesaikan makalah Sistem Pengendalian
Manajemen yang berjudul “ Unit Usaha, Pusat Laba lainnya, Pengukuran Kinerja Pusat
Laba dan Permasalahan Dalam Pengukuran Kinerja Pusat Laba ”.
Dalam menyelesaikan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis temui namun
berkat bimbingan dan arahan dari berbagi pihak,maka hambatan itu dapat diatasi. ” ini dapat
terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada :
Kami menyadari bahwa dalam penulisan usulan penelitian ini tidak luput dari
kesalahan dan belum sempurna karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Maka
diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi terciptanya hasil yang lebih baik
lagi.
Hormat Kami,
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................................1
1.4 Manfaat..........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................15
Daftar Pustaka...................................................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Organisasi fungsional adalah satu tipe organisasi dimana masing masing fungsi utama
perusahaan (produksi dan pemasaran) dilakukan oleh unit organisasi yang terpisah. Apabila
suatu perusahaan memberikan wewenang kepada suatu bagian/unit usaha untuk menjalankan
seluruh aktivitas produksi maupun pemasaran sebuah produk atau lini produk, maka proses
sepertiini disebut proses divisionalisasi. Umumnya suatu perusahaan membentuk satu
divisi/unit usaha dengan maksud untuk mendelegasikan wewenang yang lebih banyak kepada
manajer operasi.
Beberapa bentuk organisasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Semua perusahaan diatur menurut fungsinya pada beberapa tingkatan.
2. Perbedaan antara organisasi fungsional dan organisasi divisi adalah satu rangkaian.
Perbedaan mendasar struktur fungsional dan struktur divisi adalah semua tipe ini
merupakan kombinasi dari keduanya.
3. Wewenang penuh untuk menghasilkan laba tidak bisa didelegasikan secara penuh ke
satu unit usaha. Tingkat pendelegasian berbeda untuk masing-masing perusahaan.
3
• Divisionalisasi memudahkan seorang manajer puncakmemperoleh informasi tentang
profitabilitas komponen komponen perusahaan. Pusat laba dimaksudkan untuk
meningkatkan prestasi kompetitif.
5
Unit pemasaran bisa dijadikan sebagai pusat laba dengan cara membebankan harga
pokok penjualan kepada unit ini. Harga ini menyediakan informasi yang relevan untuk
manajer pemasaran dengan keseimbangan antara pendapatan dan biaya.Karena prestasi
manajer diukur dengan laba, maka ada motivasi untuk menghasilkan keputusan yang terbaik,
yang dengan sendirinya akan termotivasi untuk memaksimalkan laba. Harga yang
dibebankan seharusnya atas dasar harga standar, bukan harga sesungguhnya. Penggunaan
harga standar akan memisahkan prestasi bagian pemasaran dari bagian produksi.
UNIT ORGANISASI PRODUKSI.
Unit produksi dalam perusahaan manufaktur membutuhkan masukan berupa bahan baku,
tenaga kerja langsung, dan overhead pabrik, kemudian memprosesnya untuk menghasilkan
keluaran berupa unit produk jadi. Karena unit produksi tidak mempunyai wewenang dan
tanggung jawab langsung terhadap penjualan, unit produksi ini biasanya digolongkan sebagai
pusat biaya.
Sebagai pusat biaya, dalam hal ini pusat biaya teknis, prestasi unit produksi diukur
berdasarkan besarnya biaya yang terjadi. Biaya tersebut lalu dibandingkan dengan anggaran
biaya. Efisiensi menjadi faktor utama penilaian terhadap prestasi manajer produksi. Efisiensi
berarti dengan tingkat keluaran yang sama diperlukan masukan yang lebih kecil atau dengan
jumlah masukan yang sama dihasilkan keluaran yang lebih banyak.
Penilaian berdasarkan efisiensi dapat mendorong manajer produksi untuk melakukan
penekanan biaya. Hal ini akan menimbulkan konflik antara unit produksi dan unit pemasaran
bila penekanan biaya tersebut mengakibatkan penurunan kualitas produk. Kualitas produk
yang jelek akan menyebabkan penurunan penjualan yang selanjutnya akan
mempengaruhitingkat laba perusahaan. Prestasi manajer pemasaran (sebagai pusat
pendapatan) yang dinilai berdasarkan anggaran penjualan ikut terpengaruh.
Masalah lain yang timbul sehubungan dengan perlakuan unit produksi sebagai pusat
laba adalah bila terjadi pesanan khusus.¹ Adanya pesanan khusus mengakibatkan
penyimpangan dari anggaran biaya. Unit produksi mungkin menolak memproduksi suatu
pesanan khusus, meskipun secara keseluruhan menguntungkan perusahaan, bila hal tersebut
mempengaruhi kinerja biayanya.
Masalah-masalah tersebut di atas ikut menjadi faktor pendorong diperlakukannya unit
produksi sebagai pusat laba. Unit produksi sebagai pusat laba berarti keluarannya, yaitu
produk jadi dinyatakan dalam satuan moneter dan prestasi unit produksi diukur berdasarkan
laba yang diperoleh. Salah satu cara menjadikan unit produksi sebagai pusat laba adalah
dengan mengakui pendapatan sebesar perkalian antara produk yang terjual dengan harga jual
dikurangi dengan biaya penjualan dan distribusi. Sedangkan biaya yang dikeluarkan diukur
dengan biaya standar. Masalahnya terjadi karena harga pokok standar tidak mengukur secara
baik prestasi yang telah dilakukan oleh seorang manajer produksi.
Dengan dinilai prestasi unit produksi berdasarkan laba maka manajer produksi akan
mempertimbangkan masalah penjualan. Fokus perhatian manajer produksi tidak lagi sekedar
minimisasi biaya produksi.
Seperti halnya unit pemasaran yang diperlakukan sebagai pusat laba, unit produksi
yang diperlakukan sebagai pusat laba juga disebut sebagai pusat laba semu (pseudo profit
center). Hal ini dilihat dari sudut pandang bahwa pembentukan pusat pertanggungjawaban
mensyaratkan adanya pendelegasian wewenang dan tanggung jawab. Dari sudut ini, manajer
6
suatu pusat laba seharusnya mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap laba.
Manajer produksi yang bertanggung jawab terhadap laba unit produksi tidak memiliki
wewenang langsung untuk mempengaruhi pendapatannya.
Kegiatan produksi biasanya diukur prestasinya dengan biaya standar. Masalahnya
terjadi karena harga pokok standar tidak mengukur secara baik prestasi yang telah dilakukan
oleh seorang manajer produksi. Misalnya manajer produksi akan segan untuk mengganggu
jadwal produksi agar memproduksipesanan khusus dari seorang pelanggan. Akibatnya,
apabila prestasi diukur dengan harga standar, perlu dilakukan juga pengawasan mutu produk,
penjadwalan produksi, keputusan membeli atau membuat, dan pembuatan standar
pengawasan secara terpisah.
UNIT PENDUKUNG DAN JASA.
Bagian pemeliharaan, pemrosesan data, transportasi, pelayanan pelanggan, dan unit
pendukung lainnya bisa dijadikan sebagai pusat laba. Bagian-bagian ini bisa merupakan
divisi pelayanan di kantor pusat, atau bisa juga merupakan unit yang sejajar dengan pusat
laba. Mereka membebani langganan atas jasa yang telah diberikan dengan tujuan untuk
memperoleh penghasilan yang cukup sehingga dapat diseimbangkan dengan biaya. Biasanya
bagian yang menerima jasa mempunyai alternatif pelayanan dari pihak luar yang mungkin
saja bisa lebih murah. Manajer unit yang ada akan termotivasi untuk mengendalikan biaya,
sebaliknya langganan akan pindah ke lain tempat.
ORGANISASI LAINNYA
Suatu perusahaan yang mempunyai cabang dan bertanggung jawab terhadap pemasaran
produk perusahaan apalagi cabang tersebut berbeda tempat, secara alamiah dianggap sebagai
pusat laba. Walaupun manajer cabang tidak melakukan kegiatan produksi, pengukuran
prestasinya adalah tingkat laba yang dihasilkan. Pengukuran prestasi dengan cara ini menjadi
yang terbaik untuk memotivasi mereka menghasilkan laba yang tinggi. Contohnya adalah
bisnis eceran, jaringan hotel, jaringan restauran dan lain-lain.
2.3 PENGUKURAN KINERJA PUSAT LABA.
Ada dua cara pengukuran tingkat profitabilitas pusat laba. Pertama, adalah dengan
mengukur kinerja manajemen (management performance), seberapa baiknya seorang manajer
dalam memimpin unit atau pusat pertanggungjawaban, sehingga prestasi manajer diukur
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Pengukuran seperti ini biasa digunakan
untuk perencanaan, koordinasi, dan pengawasan aktivitas harian dari pusat laba
bersangkutan. Kedua, dengan mengukur kinerja ekonomi (economic performance) pusat laba,
yaitu sejauh mana pusat laba sebagai unit kegiatan ekonomi dapat mencapai atau memenuhi
anggaran labanya. Kinerja ekonomi diukur sebagaimana mengukur kinerja sebuah kesatuan
usaha.
Pengukuran kinerja suatu pusat laba digunakan untuk prosès perencanaan,
pengkoordinasian dan pengendalian kegiatan harian pusat laba dan juga sebagai alat untuk
merangsang motivasi kerja para manajernya. Kinerja suatu unit organisasi dinilai berdasarkan
tujuan atau standar yang telah ditetapkan. Sebuah perusahaan diasumsikan bertujuan
memperoleh laba yang memuaskan. Keberhasilan untuk memperoleh laba dapat dinilai secara
kuantitatif maupun secara kualitatif.
Laba suatu divisi dinilai berdasarkan wewenang terhadap keputusan produk (product
decision), keputusan pendanaan (sourcing decision), dan keputusan pemasaran (marketing
7
decision). Laba dari suatu pusat laba unit fungsional dapat juga diukur melalui metode atau
cara yang sama dengan pusat laba divisi, tetapi mengingat terpisahnya produk, pendanaan,
dan pemasaran diantara pusat laba maka dapat diusahakan untuk mengukur kontribusi
masing-masing pusat laba terhadap produk secara adil. Demikian pula halnya laba, sebagai
hasil akhir pengukuran kinerja pusat laba unit fungsional, harus diinterpretasikan secara
khusus. Laba tersebut dinilai dengan mempertimbangkan "keterbatasan" unit organisasi
dalam melakukan ketiga jenis keputusan.
Dalam proses pengukuran prestasi pusat laba dibutuhkan elemen-elemen sebagai
berikut:
•
Tersedianya anggaran atau rencana.
•
Pemahaman dan penerimaan logika pengukuran oleh manajer divisi.
•
Delegasi pengendalian yang konsisten dengan tanggungjawab yang
dibebankan. Adanya konsistensi pengukuran di antara divisi-divisi dalam
perusahaan.
A. ANGGARAN LABA SEBAGAI STANDAR KINERJA.
Salah satu tolok ukur kuantitatif adalah laba. Penggunaan anggaran laba sebagai suatu
standar prestasi pusat laba mengandung beberapa kelemahan. Pertama, keberhasilan
mencapai anggaran belum menjamin kinerja sebenarnya. Pencapaian anggaran dipengaruhi
oleh penetapan anggaran yang terlalu tinggi atau rendah serta kemampuan memprediksi.
Kedua, laba itu sendiri belum mencerminkan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Efektivitas anggaran laba sebagai suatu standar kinerja tergantung pada sifat
pendelegasian wewenang dan tanggung jawab. Ada dua jenis pendelegasian wewenang yaitu
pendelegasian ketat dan pendelegasian longgar. Pendelegasian ketat (tight delegation)
didasarkan pada filosofi bahwa manajer pusat laba akan bekerja efektif untuk memenuhi
target jangka pendek dan diperlukan campur tangan manajemen puncak dalam operasi pusat
laba sehari-hari. Sebaliknya dengan pendelegasian longgar (loose delegation), tidak
ditetapkan target jangka pendek dan manajemen puncak tidak banyak terlibat dalam
pengambilan keputusan pusat laba sehari-hari.
Dalam pendelegasian ketat, setiap bulan prestasi manajer dikaji dan prestasi yang
diharapkan pada tahun itu dianalisis secara rinci, selisih yang terjadi diselidiki, dan dilakukan
tindakan koreksi bila ada kemungkinan target laba tidak tercapai. Pendelegasian jenis ini
mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, manajer pusat laba cenderung mengambil
tindakan yang mempunyai pengaruh menguntungkan dalam jangka pendek. Kedua, selisih
laba yang terjadi mungkin tidak ada hubungannya dengan efektivitas tindakan manajer dalam
tahun itu. Hal ini karena banyak tindakan penting manajer yang tidak segera tercermin dalam
prestasi laba periode itu.
Dalam pendelegasian longgar, anggaran laba terutama sebagai alat komunikasi dan
pengendalian. Tidak ada tekanan terhadap tindakan jangka pendek untuk meningkatkan laba.
Penilaian dilakukan dalam jangka waktu yang mencukupi untuk setiap pusat laba. Diadakan
penilaian terminal/akhir bila seorang manajer meninggalkan sebuah pusat laba. Hal ini untuk
melindungi manajer baru dari permasalahan yang ditinggalkan oleh manajer sebelumnya.
B. PRESTASI NON LABA SEBAGAI STANDAR KINERJA.
Tujuan jangka panjang sebuah perusahaan umumnya tidak hanya mengejar laba yang
memuaskan. Dengan satu tolak ukur saja, pencapaian tujuan tidak dapat dinilai secara
8
memuaskan. Beberapa tolak ukur prestasi perlu dikembangkan sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai. ini contoh pendekatan untuk mengukur prestasi dengan beberapa alat ukur:
1. Profitability
2. Market position
3. Productivity
4. Product leadership
5. Personal development
6. Employee attitudes
7. Public responsibility
8. Balance between long-range and short-range goals.
Namun pengembangan tolak ukur non laba menimbulkan masalah dalam mengukur
prestasi pusat laba. Pertama, tolak ukur tersebut sulit atau hampir tidak mungkin dikuantifisir.
Hal ini menyebabkan kinerja antarpusat laba sulit untuk dibandingkan secara obyektif. Untuk
mengatasi hal itu, manajemen puncak lebih cenderung mengukur kinerja dengan
membandingkan input (biaya) yang sesungguhnya dengan input yang dianggarkan. Kedua,
tolak ukur atau tujuan yang satu mungkin tidak konsisten dengan tolak ukur yang lain.
Ketidakkonsistenan tolak ukur ini diatasi dengan menetapkan kinerja minimum untuk setiap
dimensi kinerja.
Kinerja minimum tersebut perlu ditetapkan secara formal. Bila tidak, maka
pencapaian tujuan tersebut akan sangat bergantung pada respon manajemen puncak terhadap
masing masing tolak ukur prestasi. Manajer pusat laba berusaha mengidentifikasikan prioritas
implisit manajemen puncak terhadap keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan tersebut.
Dengan demikian tujuan non laba hanya dapat dicapai bila manajemen puncak memang
menghendaki dan bereaksi positif terhadap keberhasilan pencapaian tujuan itu.
C. TUJUAN PENGUKURAN PRESTASI PUSAT LABA.
Fremgen dalam buku Accounting for Managerial Analysis menyebutkan tiga tujuan
sistem pengukuran pusat laba, yaitu:
1. Untuk menentukan kontribusi sebuah pusat laba, sebagai suatu kesatuan, terhadap
tujuan organisasi.
2. Untuk memberikan dasar dalam mengevaluasi kinerja manajer pusat laba.
3. Untuk memotivasi manajer pusat laba dalam mengoperasikan unitnya agar konsisten
dengan tujuan umum perusahaan secara keseluruhan.
Dari sudut pandang pengambilan keputusan, Alfred Rappaport mengatakan: "Thus
profit measurements of past peri ods are useful for decision-making purposes only to the
extent that they provide a better understanding of profits likely to be realized in future
periods." Pengukuran kinerja masa lalu dapat berguna dalam pengambilan keputusan bila
pengukuran tersebut dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai realisasi laba
di masa yang akan datang. Pengukuran kinerja seharusnya dapat mengukur pengaruh
keputusan yang diambil saat ini terhadap laba di masa yang akan datang. Rappaport
menyebutkan 3 tujuan utama pengukuran kinerja pusat laba, yaitu:
1. Sebagai petunjuk pengambilan keputusan ex ante bagi manajer divisi.
2. Sebagai evaluasi ex post oleh manajemen puncak terhadap prestasi manajemen divisi.
3. Sebagai evaluasi ex post oleh manajemen puncak terhadap prestasi divisi sebagai
sebuah kesatuan ekonomi.
9
Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan tujuannya,
setidaknya ada dua jenis kinerja pusat laba yaitu kinerja manajemen dan kinerja ekonomi.
Seorang manajer pusat laba dimungkinkan mempunyai kinerja manajemen yang lebih baik
sementara kinerja ekonomi pusat laba itu sendiri tidak begitu baik.
Dari sudut pandang analisis biaya, pertimbangan utama dalam pengukuran kinerja
manajemen adalah keandalan (con trollability). Alat ukur kinerja manajemen seharusnya
memperhitungkan semua elemen yang dapat dikendalikan atau dipengaruhi oleh manajer.
dalam pengukuran kinerja ekonomi yang menjadi pertimbangan utama adalah keterkaitan
antara biaya yang terjadi dengan aktivitas pusat laba tertentu. Alat ukur kinerja ekonomi
seharusnya mencerminkan semua pendapatan, biaya, keuntungan, dan kerugian yang
berkaitan dengan kegiatan pusat laba.
Pengukuran kinerja dapat menjadi motivator bila dikaitkan dengan sistem
penghargaan (reward system) perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari model Porter-Lawler,
dimana hasil pengukuran kinerja akan mendapat umpan balik dari persepsi manajer tentang
hubungan usaha dan imbalan (efford-re ward probability). Selanjutnya imbalan yang
diperoleh atas kinerja, mendapat umpan balik dari persepsi manajer tentang imbalan yang
layak diperoleh (perceived equitable reward).
2.4 PERMASALAHAN DALAM PENGUKURAN KINERJA PUSAT LABA.
Dalam mengukur prestasi pusat laba, ada empat masalah yang memerlukan perhatian
khusus, yaitu:
Masalah alokasi pendapatan bersama (common revenues).
Masalah alokasi biaya bersama (common cost).
Masalah penentuan harga transfer (transfer price).
Masalah pemilihan tolok ukur laba (type of profitability measure).
10
langsung adalah biaya yang tidak dapat diidentifikasikan secara khusus pada suatu produk,
departemen atau proses tertentu. Beberapa jenis biaya bersama yang perlu dialokasikan antara
lain meliputi:
Biaya overhead pabrik tetap. Biaya ini harus dialokasikan kepada setiap produk untuk
menghitung harga pokok penjualan demi tujuan pelaporan keuangan eksternal.
Biaya departemen jasa. Biaya operasi departemen jasa dialokasikan kepada
departemen produksi secara individual.
Joint cost. Biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang secara bersama
memproduksi beberapa produk secara simultan dialokasikan kepada setiap produk
untuk penilaian persediaan.
Biaya kantor pusat. Biaya yang terjadi di kantor pusat dialokasikan kepada divisi atau
pusat pertanggungjawaban (pusat laba atau pusat investasi).
Salah satu tujuan pengalokasian biaya adalah untuk evaluasi prestasi pusat
pertanggungjawaban.Prestasi suatu pusat pertanggungjawaban harus dinilai dengan ikut
memper timbangkan biaya yang dinikmati dari pusat pertanggung jawaban lain.
Sehubungan dengan pengalokasian biaya bersama yaitu mengevaluasi prestasi pusat
pertanggungjawaban, Anthony dan Govindarajan mengatakan:
Services that are furnished by staff units and other costs, if charged at all, should be charged
to profit centers on a basis that reflects the actual consumtion of the service and on the basis
of spesific requests made by the responsibility center that wants the service, to the extent that
this is feasible.
Dalam hal ini timbul konsep controllability (keterandalan). Biaya terkendali
mempunyai dua aspek yaitu biaya tersebut mengacu pada suatu pusat pertanggungjawaban
tertentu dan biaya itu dapat dipengaruhi secara signifikan, tidak perlu secara penuh, oleh
manajer pusat pertanggungjawaban. Satu hal yang perlu diingat dalam menentukan biaya
terkendali adalah bahwa biaya terkendali selalu merupakan biaya langsung sedangkan biaya
langsung belum tentu merupakan biaya terkendali.Langkah-langkah pengalokasian biaya
bersama secara umum terdiri dari tiga tahap yaitu:
1. Mengakumulasikan biaya yang berhubungan dengan produk, departemen, atau divisi.
2. Mengidentifikasikan penerima biaya yang dialokasikan mungkin produk, departemen,
atau divisi.
3. Memilih metode atau dasar untuk menghubungkan biaya pada langkah ke-1 dan
penerima biaya pada langkah ke-2 secara logis.
Langkah ke-3 merupakan tahap yang paling sulit. Karena bila dasar pengalokasian
kurang tepat, tidak mempunyai hubungan logis dengan biaya yang terjadi, evaluasi prestasi
pusat laba menjadi bias. Usaha mencari dasar pengalokasian yang logis sering dilakukan
dengan metode kuantitatif matematik atau statistik. Namun dalam praktiknya penentuan dasar
pengalokasian lebih sering ditentukan dengan campur tangan (arbitrary).
3. MASALAH PENENTUAN HARGA TRANSFER.
Kita telah mencatat beberapa kesulitan yang timbul jika unit organisasi yang
didesentralisasi harus berinteraksi satu sama lain. Tidak ada tempat yang memiliki potensi
konflik yang lebih besar pada interaksi seperti itu jika barang yang dihasilkan oleh satu unit
(unit penjual) ditransfer ke unit lainnya (unit pembeli). Jika kedua unit tersebut
diorganisasikan sebagai pusat laba, maka harga transfer yang ditetapkan tersebut akan
11
berpengaruh terhadap pendapatan bagi pusat laba penjual dan biaya bagi pusat laba pembeli.
Jika harga transfer ditetapkan terlalu besar maka konsekuensinya bagi divisi pembeli akan
dibebani dengan biaya yang terlalu besar. Sebaliknya jika harga transfer ditetapkan terlalu
rendah, tentu akan merugikan divisi penjual. Karenanya, harga transfer mempengaruhi
tingkat keuntungan bagi kedua divisi, sehingga manajer kedua divisi mempunyai kepentingan
bagaimana harga tersebut ditentukan.
Bila sebuah pusat laba hanya menjual atau membeli secara ekslusif pada pusat laba
lainnya maka prestasi pusat laba tersebut sangat ditentukan pusat laba yang lain. Unit
organisasi yang harus menjual secara eksklusif kepada unit tertentu lainnya disebut captive
supplier. Unit organisasi yang membeli secara eksklusif pada unit tertentu disebut captive
consumer. Dalam organisasi fungsional, captive supplier dapat berupa unit produksi dan
captive consumer berupa unit pemasaran. Unit produksi tidak mempunyai tanggung jawab
pemasaran langsung. Dengan demikian besarnya laba unit produksi ditentukan oleh jumlah
unit yang terjual. Atau dengan kata lain prestasi unit produksi sangat ditentukan oleh tindakan
unit pemasaran.
Harga transfer mempunyai dua peran yang bisa saja mengakibatkan konflik. Pertama,
sebagai harga, harga transfer merupakan pedoman bagi pembuatan keputusan lokal, harga
tranfer membantu divisi penjual memutuskan bagaimana produk tersebut akan dikirim dan
bagi divisi pembeli, bagaimana produk tersebut diperoleh. Kedua, harga dan pengukuran laba
membantu manajemen puncak mengevaluasi pusat laba sebagai entitas yang terpisah. Namun
suatu perangkat harga transfer yang menimbulkan motivasi yang menghasilkan laba
maksimum bagi perusahaan mungkin menyebabkan satu divisi beroperasi dalam keadaan
merugi. Sebaliknya satu perangkat harga transfer yang memuaskan bagi pengevaluasian
prestasi divisi mungkin membawa divisi tersebut membuat keputusan suboptimal (keputusan
yang mementingkan diri sendiri). Konflik pembuatan keputusan dan evaluasi prestasi
merupakan hal yang sering terjadi pada proses penetapan harga transfer. Konflik yang lebih
jauh terjadi jika manajer menekankan prestasi jangka pendek dalam negosiasi harga
transfernya tanpa memperhatikan tingkat keuntungan jangka panjang divisi mereka maupun
perusahaan.
4. MASALAH PEMILIHAN TOLAK UKUR LABA.
Laba sebagai salah satu alat ukur dalam menilai prestasi pusat laba diharapkan dapat
mencerminkan tujuan pengukuran prestasi. Konsep laba sebagai alat ukur prestasi dapat
dilihat pada contoh format laporan rugi laba pusat laba pada conoh format laporan rugi laba
pusat laba pada Gambar 5.1
Untuk bisa mengukur prestasi ekonomis dari suatu pusat laba seseorang harus melihat
laba bersih setelah dialokasikan ke semua biaya termasuk porsi yang wajar untuk biaya
overhead kantor pusat. Ada lima konsep laba yang biasa digunakan sebagai dasar untuk
menilai prestasi pusat laba berikut ini:
MARGIN KONTRIBUSI (Contribution Margin).
Alasan utama penerapan margin kontribusi adalah biaya tetap merupakan biaya yang
tidak dapat dikendalikan oleh manajer, sehingga fokus perhatiannya adalah bagaimana
memaksimalkan margin kontribusi, yaitu dengan memperbesar jarak antara pendapatan
dengan biaya variabel. Masalahnya ada beberapa biaya tetap.
12
GAMBAR 5.1.CONTOH BENTUK LAPORAN KINERJA PUSAT LABA
Pendapatan............................................................ Rp 10.000.000.00
dapat dikendalikan sepenuhnya maupun sebagian oleh manajemen pusat laba. Apabila
manajemen pusat laba hanya memfokuskan diri untuk memperbesar selisih pendaptan dan
biaya variabel, maka biaya tetap yang sebenarnya dapat dikendalikan terabaikan.
Konsep laba ini memasukkan semua biaya yang terjadi ke pusat laba tanpa
mempertimbangkan apakah unsur biaya tersebut dapat dikendalilkan atau tidak pleh manajer
pusat laba. Biaya kantor pusat merupakan biaya tidak terkendalikan bagi pusat laba; sehingga
tidak dimasukkan dalam menghitung laba divisi. Dengan konsep ini, semua biaya dapat
ditelusuri langsung ke divisi. Kelemahan mendasar dari cara ini adalah pengukuran seperti ini
13
tidak mengakui keuntungan motivasi dari pembebanan biaya kantor pusat. Konsep laba ini
tidak dapat diandalkan untuk mengukur kinerja ekonomi
Biaya kantor pusat dapat dibagi menjadi dua kategori; terkendali dan tidak
terkendali. Biaya adalah semua biaya yang dapat dikendalikan dan ditelusuri pada divisi yang
bersangkutan oleh manajer pusat laba. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya tidak
langsung,biaya bahan tidak langsung, dan utilitas. Kelemahaan dari sistem ini pada kesulitan
pemisahaan biaya yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan. Terkendalinya dan
tidaknya suatu biaya akan tergantung seberapa besarnya seorang manajer pusat laba diberi
tanggung jawab untuk mengontrol biaya tersebut. Misalnya biaya asuransi yang dikeluarkan
akan dihentikan oleh manajer pusat laba kalau dianggap biaya tersebut tidak memberi
manfaat secara sempurna kepada pusat laba tersebut. Kalau seorang manajer pusat laba diberi
wewenang maka ia akan meghentikan biaya tersebut.
Dengan cara ini seluruh biaya overhead kantor pusat dialokasikan kepada pusat laba. Dasar
pegalokasikan ini meunjukan jumlah relatif biaya yag teradi pada masing-masing pusat laba.
Ada dua alasan penerapan alokasi seperti ini. Pertama biaya yang teradi oleh kantor pusat,
seperti biaya pada bagian akuntasi, dan administratif tidak dapat diawasi oleh manajer pusat
laba. Oleh karena itu biaya tersebut tidak dimasukan karena tidak dapat dikontrol. Kedua,
kesulitan dalam hal meemukan metode yag tepat untuk pengalokasian biaya kontor pusat
yang benar-benar berhubungan dengan pusat laba.
Tujuan dalam penerapan cara ini adalah untuk menyadarkan kepada manajer pusat laba
bahwa biaya yang dialokasikan tersebut untuk mendukung operasional perusahaan secara
keseluruhan, sehingga tanpa adanya kontribusi laba dari pusat laba maka perusahaan tidak
bisa mengoprerasikan perusahaan. Dengan sendirinya, untuk meghasilkan laba yang tinggi
diperlukan kontribusi laba yang besar dari pusat laba.
Dengan cara ini, perusahaan mengukur prestasi pusat laba dari jumlah pedapatan bersih
setelah paak. Ada dua alasan kenapa cara ini digunakan ;
a. Pada banyak situasi , laba setelah pajak ini merupakan persentase yag tetap dari laba
sebelum pajak sehingga tidak mempunyai pengaruh pada pajak perusahaan.
b. Pada banyaknya kondisi, banyak keputusan yang mempunyai pengaruh terhadap
pajak penghasilan dibuat oleh kantor pusat, dandiyakini bahwa maajer pusat laba
hendaknya tidak mempertimbangkan hal ini dalam pengambilan keputusannya
14
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Suatu unit usaha biasanya adalah pusat laba. Untuk keadaan-keadaan tertentu,
fungsi produksi atau fungsi pemasaran bisa dianggap sebagai pusat laba. Namun diperlukan
pertimbangan dalam mendesain unit fungsional untuk dijadikan pusat laba, seperti pemasaran
atau produksi.
Pengukuran laba dalam pusat laba juga melibatkan penilaian yang berkaitan
dengan bagaimana pendapatan dan laba diukur. Dalam hal pendapatan, pilihan pengakuan
pendapatan sangatlah penting. Dalam hal biaya, pengukuran bisa menyangkut biaya variabel
yang terjadi pada pusat laba termasuk biaya overhead yang secara penuh dialokasikan pada
pusat laba termasuk pajak penghasilan. Pertimbangan dalam pengukuran pendapatan dan
biaya seharusnya tidak hanya melibatkan pertimbangan teknik akuntansi tetapi yang lebih
penting pertimbangan perilaku dan motivasi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Halim. (2013). Sistem Pengendalian Manajemen. Yogyakarta: UPP AMP YPKN
16