Anda di halaman 1dari 29

PERPAJAKAN

DOSEN PENGEMPU:

Ni Nyoman Ayu Suryaningsih.SE.MM

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 2

09. NI WAYAN PUSPITA SARI 1902612011128


18. KADEK TRESNAWATI 1902612011137
37. DEWA GDE AGUNG SURYA DHARMA 1902612011156

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, karena atas rahmat-nya kami dapat menyelesaikan makalah PERPAJAKAN
Dalam menyelesaikan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis temui namun
berkat bimbingan dan arahan dari berbagi pihak,maka hambatan itu dapat diatasi. ini dapat
terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Ni Nyoman Ayu Suryaningsih.SE.MM

Kami menyadari bahwa dalam penulisan usulan penelitian ini tidak luput dari kesalahan
dan belum sempurna karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Maka diharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi terciptanya hasil yang lebih baik lagi.

Gianyar, 11 April 2022


Hormat Kami,

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................2
1.3 Tujuan ................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perpajakan Di Indonesia..............................................................................3
2.2 Struktur Pajak............................................................................................................5
2.3 Peran Dan Fungsi Pajak............................................................................................7
2.4 Pengertian Pajak........................................................................................................9
2.5 Devinisi PPh Pasal 4 Ayat 2.....................................................................................10
2.6 Subyek PPh Pasal 4 Ayat 2.......................................................................................12
2.7 Obyek PPh Pasal 4 Ayat 2........................................................................................14
2.8 Mendeskripsikan Jatuh Tempo PPh Pasal 4 Ayat 2..................................................14
2.9 Pemungut PPh Pasal 4 Ayat 2...................................................................................15
2.10 Menghitung PPh Pasal 4 Ayat 2.............................................................................17
2.11 Kasus ................................................................................................................20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh


Soekarno dan Mohammad Hatta pajak menjadi salah satu opsi penting yang dibahas
pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah yang baru seumur jagung kala itu paham betul
kalau negara tanpa sumber pembiayaan tidak akan bisa mandiri dan berdiri setara dengan
bangsa lainnya di dunia. Maka dari itu para pendiri bangsa ini menuangkannya pada Undang-
Undang Dasar 1945 yang sudah sejak tanggal 14 Juli 1945. Yaitu pada saat sidang BPUPKI.
Walhasil masuklah pajak dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 dengan kalimat
«Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang». Ini menjadi tonggak
awal era baru pajak di Indonesia serta cikal bakal diperingatinya tanggal 14 Juli sebagai Hari
Pajak.
Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 Kementerian Keuangan dibentuk sebagai bagian
dari pemerintah yang mengurus tentang keuangan negara. Antara lain Ordonansi Pajak
Pendapatan 1944 serta membentuk beberapa suborganisasi dalam melaksanakan pemungutan
pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada
Direktorat Jenderal Moneter.
Pada masa itu pemerintah menerapkan sistem official assesment dalam pengenaan pajak
kepada masyarakat yaitu sistem pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus.
Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat
Ketetapan Pajak dikeluarkan. Pada masa itu sistem ini dirasa pemerintah masih
mengakomodir pemungutan pajak di Indonesia. Mengingat negara ini baru berdiri dan
permasalahan mengenai pajak belum serumit seperti sekarang ini. Tapi meskipun pada
kenyataanya pajak di masa itu menjadi sumber utama penerimaan negara dan menggunakan
sistem official assesment tetap saja negara masih dalam kondisi miskin. Perekonomian tidak
stabil dengan inflasi mencapai 600%. Kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya terbukti
gagal menghadapi perkembangan zaman. Tanpa pikir panjang Presiden Soeharto langsung
mengambil langkah sakti yaitu menekan inflasi dengan utang luar negeri. Agaknya pada saat
itu hanya utang luar negeri yang dirasa logis ketimbang melaksanakan pembaharuan atau
optimalisasi dari pajak.
Meskipun begitu pada tahun 1965 rezim ini berhasil memberi terobosan baru di bidang fiskal
yaitu desentralisasi pajak atas Pajak Hasil Bumi kepada pemerintah daerah dan mengubah
namanya menjadi IPEDA serta dimulailah pembangunan kantor IPEDA di berbagai daerah.
Di sini pembagian wewenang antara pajak yang dikelola pusat dan daerah mulai terlihat.
Juga awal mula penggunaan sistem self asssesment mulai terlihat. Terbitnya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 tentang perubahan
mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan

1
Pajak Perseroan 1925 menjadi cikal bakal pemungutan pajak dengan menggunakan sistem
self asssesment.

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan Sejarah Perpajakan Di Indonesia?
2. Jelaskan Apa Pengertian Struktur Pajak?
3. Jelaskan Peran Dan Fungsi Pajak?
4. Jelaskan Pengertian Pajak?
5. Jelaskan Devinisi PPh Pasal 4 Ayat 2?
6. Jelaskan Apa Subyek PPh Pasal 4 Ayat 2?
7. Jelaskan Apa Obyek PPh Pasal 4 Ayat 2?
8. Jelaskan Mendeskripsikan Jatuh Tempo PPh Pasal 4 Ayat 2?
9. Jelaskan Apa yang dimaksud Pemungut PPh Pasal 4 Ayat 2?
10. Jelaskan Apa yang dimaksud Pemungut PPh Pasal 4 Ayat 2?
11. Jelaskan Menghitung PPh Pasal 4 Ayat 2?
12. Jelaskan Kasus?

1.3 Tujuan

1. Untuk Mengetahui Sejarah Perpajakan Di Indonesia


2. Untuk Mengetahui Struktur Pajak
3. Untuk Mengetahui Peran Dan Fungsi Pajak
4. Untuk Mengetahui Pengertian Pajak
5. Untuk Mengetahui Devinisi PPh Pasal 4 Ayat 2
6. Untuk Mengetahui Subyek PPh Pasal 4 Ayat 2
7. Untuk Mengetahui Obyek PPh Pasal 4 Ayat 2
8. Untuk Mengetahui Mendeskripsikan Jatuh Tempo PPh Pasal 4 Ayat 2
9. Untuk Mengetahui Pemungut PPh Pasal 4 Ayat 2
10. Untuk Mengetahui Pemungut PPh Pasal 4 Ayat 2
11. Untuk Mengetahui Menghitung PPh Pasal 4 Ayat 2
12. Untuk Mengetahui Kasus

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH PERPAJAKAN DI INDONESIA

Era Pasca Kemerdekaan Sampai Era Reformasi Perpajakan

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh


Soekarno dan Mohammad Hatta pajak menjadi salah satu opsi penting yang dibahas pemerintah
Republik Indonesia. Pemerintah yang baru seumur jagung kala itu paham betul kalau negara
tanpa sumber pembiayaan tidak akan bisa mandiri dan berdiri setara dengan bangsa lainnya di
dunia. Maka dari itu para pendiri bangsa ini menuangkannya pada Undang-Undang Dasar 1945
yang sudah sejak tanggal 14 Juli 1945. Yaitu pada saat sidang BPUPKI. Walhasil masuklah
pajak dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 dengan kalimat “Segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Ini menjadi tonggak awal era baru pajak di
Indonesia serta cikal bakal diperingatinya tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak.

Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 Kementerian Keuangan dibentuk sebagai


bagian dari pemerintah yang mengurus tentang keuangan negara. Di dalam organisasi
Kementerian Keuangan tersebut terdapat Pejabatan Pajak yaitu bagian yang mengurusi tentang
pengenaan pajak di Indonesia. Tidak lama setelah pemerintah baru ini berdiri ternyata Agresi
Militer Belanda Pertama yang dibonceng oleh NICA berhasil menguasai ibukota Jakarta.
Sehingga pemerintah memindahkan ibukotanya ke Yogyakarta. Begitupun Kementerian
Keuangan dan Pejabatan Pajak ikut pindah ke sekitar Yogyakarta tepatnya di daerah Magelang.
Itulah mengapa sering kita mendengar cerita kalau kantor pajak pertama ada di Magelang.

Karena hal itu pula pemerintah belum dapat mengeluarkan undang-undang khusus yang
mengatur tentang pajak meskipun Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 pada saat itu
mengamanatkan demikian. Padahal roda pemerintahan dan pembiayaan pengeluaran negara
harus tetap dijalankan. Maka, pemerintah mengadopsi beberapa aturan tentang pajak peninggalan
pemerintahan kolonial. Antara lain Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 serta membentuk beberapa
suborganisasi dalam melaksanakan pemungutan pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan
Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter.

Pada masa itu pemerintah menerapkan sistem official assesment dalam pengenaan pajak
kepada masyarakat yaitu sistem pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus.
Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat

3
Ketetapan Pajak dikeluarkan. Pada masa itu sistem ini dirasa pemerintah masih mengakomodir
pemungutan pajak di Indonesia. Mengingat negara ini baru berdiri dan permasalahan mengenai
pajak belum serumit seperti sekarang ini. Tapi meskipun pada kenyataanya pajak di masa itu
menjadi sumber utama penerimaan negara dan menggunakan sistem official assesment tetap saja
negara masih dalam kondisi miskin. Kondisi ini semakin parah ketika Presiden Soekarno
mengubah haluan politiknya lebih ke arah paham sosialisme Karl Max versi Indonesia.
Akibatnya adalah kampanye politik luar negeri yang ekspansif dilakukannya sehingga
menimbulkan dampak pengeluaran negara yang lebih besar. Sedangkan penerimaan negara dari
pajak cenderung stagnan.

Puncaknya adalah ketika di tahun 1960an rezim Orde Lama (sebutan untuk rezim
Soekarno) sedang gencar-gencarnya melaksanakan kampanye “Ganyang Malaysia” dan
menggalakan proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan Senayan dan Monumen Nasional.
Akibatnya adalah inflasi yang meroket pada saat itu mencapai 500%. Imbas lanjutannya yaitu
ketika rezim berikutnya berkuasa mulai terjadi gejolak ekonomi. Tepatnya pada saat masa
pemerintahan Presiden Soeharto.

Rezim baru ini mewarisi dampak dari pemerintah sebelumnya. Perekonomian tidak stabil
dengan inflasi mencapai 600%. Kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya terbukti gagal
menghadapi perkembangan zaman. Tanpa pikir panjang Presiden Soeharto langsung mengambil
langkah sakti yaitu menekan inflasi dengan utang luar negeri. Agaknya pada saat itu hanya utang
luar negeri yang dirasa logis ketimbang melaksanakan pembaharuan atau optimalisasi dari pajak.

Meskipun begitu pada tahun 1965 rezim ini berhasil memberi terobosan baru di bidang
fiskal yaitu desentralisasi pajak atas Pajak Hasil Bumi kepada pemerintah daerah dan mengubah
namanya menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) serta dimulailah pembangunan kantor
IPEDA di berbagai daerah. Di sini pembagian wewenang antara pajak yang dikelola pusat dan
daerah mulai terlihat. Juga awal mula penggunaan sistem self asssesment mulai terlihat.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
1967 tentang perubahan mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak
Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925 menjadi cikal bakal pemungutan pajak dengan
menggunakan sistem self asssesment.

Sistem pemungutan pajak baru yang dicetuskan oleh Orde Baru ini pada saat itu dikenal
dengan MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain). Sistem ini
muncul setelah evaluasi pemerintah terhadap kegagalan sistem pemungutan pajak yang lama
dimana peran penghitungan pajak dilakukan sepihak oleh fiskus. Sedangkan di sistem baru ini
sebagian besar penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak. Wajib pajak diberi kewenangan
untuk menghitung pendapatan dan kekayaannya sendiri kemudian diberikan kewenangan pula
untuk menghitung pajaknya sendiri.

4
Sistem ini telah diterapkan di Amerika serta beberapa negara Eropa lainnya dan terbukti
efektif dalam melakukan pemungutan pajak. Angin segar kembali menerpa bangsa Indonesia
masa itu. Kebijakan ekonomi pemerintah mulai terarah dan lebih baik ketimbang rezim
sebelumnya. Namun, di masa yang akan datang kembali beberapa masalah muncul dan
menjadikan aturan yang baru ini tidak lagi relevan dan berdampak pada perombakan besar
terhadap aturan ini pada tahun 1983.

Berikut ini beberapa dasar hukum pajak yang digunakan di Indonesia pada era
kemerdekaan :

1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur dalam UU
No.6/1983 dan diperbaharui oleh UU No. 16/2000.
2. Undnag-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur dalam UU No. 7/1983 dan
diperbaharui oleh UU No. 17/2000.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan yang diatur oleh UU No.
8/1983 dan diganti menjadi UU No. 18/2000.
4. Undang-Undang Penagihan Pajak dan Surat Paksa yang diatur dalam UU No. 19/1997
dan diganti menjadi UU No. 19/2000.
5. Undang-Undang Pengadilan Pajak yang diatur dalam UU No. 14/2002.

2.2 STRUKTUR PAJAK


Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
Pajak Negara dan Pajak Daerah

a. Pajak Negara.
Pajak Negara yang hingga saat ini masih berlaku yaitu:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar hokum pengenaan pajak Penghasilan adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. Undang-
Undang Pajak Penghasilan berlaku mulai tahun 1984 dan merupakan pengganti UU Pajak

Perseroan 1925, UU Pajak Pendapatan 1944, UU PBDR 1970.


2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Atas Barang Mewah (PPN & PPnBM)
Dasar hokum pengenaan pajak ini adalah Undang-Undang No.8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.42 Tahun 2009. Undang-
Undang PPN dan PPnBm efektif mulai berlaku sejak 1 April 1985 dan merupakan
pengganti UU Pajak Penjualan 1951.
3. Bea Meterai

5
Dasar hokum pengenaan pajak Bea Meterai adalah Undang-Undang No. 13 Tahun 1985.
Undan-Undang ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986 menggantikan peraturan
Undang-Undang Bea Meterai yang lama (Aturan Bea Meterai 1921).
4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dasar hokum pengenaan Pajak Bumi dan Bnagunan adalah Undang-Undang No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang N0. 12 Tahun 1994.
Undang-Undang PBB mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986 dan merupakan pengganti
dari Ordonasi Pajak Rumah Tangga tahun 1908, Ordonasi Verponding Indonesia, tahun
1923, Ordonasi Pajak Kekayaan tahun 1932, Ordonasi Verponding tahun 1942, Undang-
Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 khususnya pasal 14 huruf j, k, l. dan Undang-
undang nomor 11 Prp. Tahun 1959 Pajak Hasil Bumi.
5. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dasar Hukum Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Undang-
Undang No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2000. Undang-Undang ini berlaku sejak Tanggal 1 Januari 1998
menggantikan Ordonasi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 No. 291.

b. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.

Beberapa pengertian atau istilah Pajak Daerah antara lain:

1. Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hokum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan, secara langsung dan digunakan untuk
kepentingan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3. Badan, adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, baikn yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN, atau BUMD dengan nama dan dalam
bentuk apapun firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi masa, organisasi politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
lainnya termasuk investasi nkolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Subjek Pajak, adalah orang pribadi vatau badan yang dapat dikenakan pajak.
5. Wajib Pajak, adalah orang pribadi atau Badan meliputi pembayaran pajak, pemotongan
pajak, dan pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakn daerah.

6
2.3 PERAN DAN FUNGSI PAJAK

 Peran Pajak
1. Sebagai Anggaran (Budgeter)
Pungutan pajak merupakan salah satu sumber pemasukan untuk keuangan negara yang
kemudian digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran dan pembangunan
negara tersebut. Penerimaan keuangan oleh negara dari sector perpajakan tersebut
kemudian dimasukan dalam anggaran pendapatan negara serta belanja negara ke
komponen penerimaan di dalam negeri.
2. Sebagai Regulator
Peranan pajak yang kedua adalah untuk mengatur. Maksudnya, pajak digunakan sebagai
sebuah alat untuk mengatur serta melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah dalam bidang-bidang khusus, seperti bidang ekonomi serta bidang sosial.
Peranan ini disebut pula sebagai fungsi tambahan serta fungsi pelengkap dari peran
penerimaan sebelumnya. Peran pajak yang kedua ini dapat digunakan oleh pemerintah
untuk dijadikan sebagai alat guna mencapai tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan
yang telah ditetapkan dan diberlakukan oleh pemerintah. Contohnya adalah pajak untuk
barang mewah serta minuman keras biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan pajak
untuk barang-barang yang biasa ditemui dan tidak dijual dengan harga yang mahal.
3. Menstabilkan kondisi ekonomi dari suatu negara
Pajak dapat berperan pula sebagai stabilitas, artinya pajak dapat membantu menstabilkan
kondisi ekonomi dari suatu negara. Dalam peranan yang ketiga ini, pajak memiliki fungsi
yang dapat digunakan pula sebagai stabilitas keuangan negara. Peranan pajak yang ketiga
ini dapat dicapai dengan cara mengatur peredaran uang yang ada di masyarakat melalui
pungutan serta penggunaan pajak yang digunakan menjadi lebih efisien serta lebih
efektif. Contoh peran pajak sebagai stabilitas adalah dengan mengerahkan kebijakan
stabilitas harga untuk mencapai tujuan dari menekan inflasi yang terjadi di negara
tersebut.
4. Sebagai redistribusi pendapatan

Peranan pajak yang terakhir adalah sebagai redistribusi pendapatan, artinya pajak
memiliki peran sebagai penerimaan negara melalui pajak yang telah digunakan untuk
membiayai pengeluaran serta pembangunan negara tersebut. Sehingga, dapat membuka
kesempatan kerja guna meningkatkan pendapatan masyarakat yang tinggal di negara itu.

7
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pajak merupakan sumber pendapatan terbesar yang
dapat diperoleh suatu negara. Oleh karena itu, pajak ini digunakan sebagai modal guna
membuka lapangan pekerjaan yang baru. Sehingga kecil masyarakat pengangguran yang
bertempat tinggal di negara tersebut. Sehingga dari pengeluaran yang digunakan untuk
membuka lapangan kerja serta membayar gaji karyawan tersebut berputar secara terus
menerus. Dari masyarakat kembali lagi untuk masyarakat.

 Fungsi Pajak
1. Fungsi Anggaran atau Budgeter
Fungsi pertama dari pajak adalah untuk dapat menjalankan tugas rutin negara serta untuk
melaksanakan pembangunan. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, maka negara
membutuhkan pembiayaan. Sumber pembiayaan yang dapat diperoleh pemerintah untuk
mencapai tujuan pembangunan tersebut salah satunya adalah melalui pungutan pajak.
Singkatnya, fungsi pajak sebagai budgeter adalah pajak digunakan sebagai alat maupun
sumber pemasukan dana yang kemudian dimasukan ke dalam kas negara itu dan
digunakan secara rutin untuk dapat membiayai pengeluaran negara tersebut. Pemerintah
dapat menggunakan pendanaan dari pajak sebagai investasi pemerintah apabila terdapat
sisa atau surplus dari pengeluaran rutin negara. Namun apabila sisa atau surplus tersebut
tidak cukup untuk membiayai pembangunan negara, maka negara tersebut dapat
berhutang dari pihak luar negeri sebagai salah satu alternatif untuk membiayai
pendanaan.
2. Fungsi Mengatur atau Regulator
Fungsi utama pajak dalam pembangunan ekonomi yang kedua adalah sebagai regulating
atau memiliki fungsi mengatur. Maksudnya, pajak digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan tertentu. Pajak memiliki peranan yang penting dalam fungsi satu ini,
yaitu untuk mendorong penyaluran dana dari simpanan pribadi menjadi investasi pribadi.
Fungsi mengatur ini dapat disebut pula sebagai fiscal policy atau kebijakan fiskal, dalam
fungsi mengatur ini terdapat fungsi fiskal yang terdiri dari tiga fungsi utama, yaitu fungsi
alokasi, fungsi distribusi serta fungsi stabilisasi.
Berikut adalah penjelasan dari ketiga fungsi fiskal tersebut.
a. Fungsi alokasi
Fungsi alokasi ini merupakan fungsi untuk melakukan alokasi sumber dana yang akan
atau telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat negara tersebut Contohnya,
pajak dapat digunakan untuk menambah jumlah polisi yang terkadang tidak memadai
apabila melihat dari pertumbuhan jumlah penduduk pada negara tersebut. Fungsi alokasi
ini digunakan oleh pemerintah apabila pasar tidak memproduksi barang maupun jasa,
sehingga pemerintah perlu melakukan intervensi dengan cara menyediakan barang

8
publik, contohnya seperti membangun jembatan, Pelabuhan maupun pembangunan lain
dan pengeluaran yang dilakukan demi kepentingan publik. Dalam fungsi alokasi ini,
pungutan pajak merupakan sumber dana yang dinilai paling efektif untuk membiayai
pengadaan barang publik. Selain itu pengadaan barang publik yang didanai oleh pajak
memiliki kelebihan-kelebihan, seperti cetak uang, pinjaman dari luar negeri, pinjaman
dari dalam negeri serta dapat menjual cadangan devisa negara.
b. Fungsi distribusi
Fungsi fiskal yang kedua adalah fungsi distribusi, maksudnya pajak ini dapat melakukan
penyeimbangan pembagian pendapatan dari masyarakat serta kesejahteraan
masyarakatnya. Karena terkadang ketidaksempurnaan yang ada di pasar dapat
menyebabkan kesenjangan antar golongan menjadi semakin lebar dan dapat
menyebabkan kecemburuan sosial. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, negara
kemudian mengatur melalui undang-undang agar dapat memaksa masyarakat dari
golongan kaya untuk menyisihkan beberapa penghasilannya dengan cara mewajibkan
golongan tersebut untuk membayar pajak sesuai kemampuan.
c. Fungsi Stabilisasi
Fungsi ketiga dan terakhir dari fungsi fiskal adalah fungsi stabilisasi. Maksudnya,
pungutan pajak ini dapat digunakan oleh pemerintah yang berwenang untuk menstabilkan
keadaan ekonomi negaranya. Contohnya adalah dengan membuat pungutan pajak yang
tinggi, sehingga dapat mengatasi inflasi. Selain itu pemerintah juga dapat mengatasi
deflasi dengan cara menurunkan pajak, dengan menurunkan pajak, maka jumlah uang
yang beredar di masyarakat dapat ditambah hingga deflasi tersebut dapat diatasi.

2.4 PENGERTIAN PAJAK

Pajak merupakan pembayaran atau dapat dikatakan pula sebagai iuran oleh perseorangan
(individu atau pribadi) maupun oleh suatu kelompok usaha yang dibayarkan kepada negara dan
dapat dihitung sebagai hutang serta dapat dilakukan dengan paksaan.

Pajak telah diatur dalam undang-undang dan akan diwajibkan kepada orang tertentu yang
kategorinya masuk dalam peraturan undang-undang tersebut, dapat disebut pula sebagai wajib
pajak. Di Indonesia sendiri, tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak mencapai
sekitar 12 hingga 13 persen. Angka tersebut menunjukan bahwa tingkat kepatuhan membayar
pajak masyarakat Indonesia berada di angka rendah, bahkan berada di peringkat terendah di Asia
Tenggara.

Pajak digunakan oleh negara untuk membiayai pembangunan serta membiayai pengeluaran
pemerintah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di negara
tersebut.

9
Di Indonesia sendiri, tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak mencapai sekitar 12
hingga 13 persen. Angka tersebut menunjukan bahwa tingkat kepatuhan membayar pajak
masyarakat Indonesia berada di angka rendah, bahkan berada di peringkat terendah di Asia
Tenggara. Pajak digunakan oleh negara untuk membiayai pembangunan serta membiayai
pengeluaran pemerintah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
ada di negara tersebut.

Brotodiharjo mengemukakan bahwa ada lima ciri yang melekat pada pengertian pajak, apa saja
kelima ciri tersebut?

1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah kepada masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang
telah diatur dan ditetapkan dalam undang-undang.
2. Dalam pembayaran pajak tersebut, tidak ada kontraprestasi yang dapat ditunjukan kepada
individu oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai pihak berwenang
yang dapat memungut pajak.
3. Pajak hanya dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
domisili individu tersebut.
4. Pajak digunakan untuk memenuhi pembiayaan pengeluaran pemerintah. Apabila telah
digunakan untuk pengeluaran pemerintah dan masih ada surplus atau sisa dana, maka
surplus tersebut dapat digunakan untuk membiayai investasi publik.
5. Pajak juga dapat digunakan untuk alat mengatur atau regulerend

2.5 DEVINISI PPH PASAL 4 AYAT 2

PPh Pasal 4 ayat 2 (Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2) atau disebut juga PPh final adalah
pajak yang dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi atas beberapa jenis
penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final.

Ketentuan PPh Pasal 4 ayat 2

Jika itu adalah transaksi antara perusahaan dan individu, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2
ditanggung penerima penghasilan yang dalam hal ini adalah perusahaan. Lain halnya jika itu
adalah transaksi yang melibatkan dua perusahaan. Pembayar (perusahaan yang satu) diharuskan
untuk mengumpulkan dan menyelesaikan pajak. Sementara penerima (perusahaan yang lain)
bebas dari kewajiban PPh Pasal 4 Ayat 2.

Berdasarkan ketentuan, penghasilan terdiri dari penghasilan sebagai objek pajak dan penghasilan
yang bukan objek pajak. Ada dua cara yang digunakan untuk pengenaan PPh atas penghasilan
yang sebagai objek pajak. Yang pertama, PPh secara umum dikenakan dengan memakai tarif
umum (tarif Pasal 17) dan pengenaannya tersebut dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT). Sementara yang kedua adalah dikenakan PPh yang bersifat final.

10
Pengenaan PPh yang bersifat final berarti penghasilan yang diterima ataupun diperoleh akan
dikenakan PPh dalam tarif tertentu. PPh yang dikenakan, baik itu yang dipotong pihak lain
maupun yang sudah disetor sendiri, bukanlah pembayaran di muka atas PPh terutang, melainkan
sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan itu.

Berdasarkan hal tersebut, penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak akan dihitung PPh-
nya pada SPT lagi untuk dikenakan tarif umum bersamaan dengan penghasilan lainnya. Begitu
pula, PPh yang telah dipotong ataupun dibayar tersebut juga bukanlah kredit pajak pada SPT.

Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 ini berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilannya

Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2) dikenakan pada jenis tertentu dari
penghasilan/pendapatan, dan berupa:

 Peredaran bruto (omzet penjualan) sebuah usaha di bawah Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun
masa pajak;
 Bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi negara,
dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing
 Hadiah berupa lotere/undian;
 Transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima oleh
perusahaan modal usaha;
 Transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan/atau bangunan; dan
 Pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan
Pemerintah.

Tarif PPh Pasal 4 Ayat (2) berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilan.

Sebagai contoh, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), wiraswasta atau pengusaha
online dengan omzet kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak, maka tarif pajaknya
adalah 0,5% dari total omzet (peredaran bruto) penjualan dalam 1 bulan.

Tarif tersebut sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Pada akhir Maret setiap tahunnya, WP OP harus melaporkan PPh Final yang didapatnya
dan memasukkannya dalam lampiran SPT Tahunan 1770.

Sedangkan WP badan harus melampirkan pembayaran dan pelaporan pajak finalnya pada
SPT Tahunan Badan yang dilaporkan pada akhir April setiap tahunnya.

11
Berikut ini macam-macam objek pajak dengan tarifnya masing-masing yang telah diatur
pemerintah:

1. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 0-20%


Tarif ini merupakan bunga dari kewajiban. Penjelasan lebih rinci termaktub dalam PP
No. 16 Tahun 2009.
2. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 0,1%
Tarif pajak sebesar 0,1% ini dikenakan pada transaksi dari penjualan saham atau
pengalihan ibu kota mitra perusahaan yang telah diterima oleh modal usaha, sebagaimana
telah diatur di dalam PP No. 4 Tahun 1995.
3. Tarif PPh Paasl 4 ayat 2 sebesar 0,5%
Tarif pajak ini untuk transaksi penjualan saham pendiri (0,5%) dan saham bukan pendiri
(non-founder) sebesar 0,1%
Ketentuan ini tercantum dalam PP No. 14 Tahun 1997 serta turunannya Keputusan
Menteri Keuangan No. 282/KMK.04/1997, SE-15/PJ.42/1997 dan SE-06/PJ.4/1997.
4. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 2-6%
Tarif pajak ini untuk jasa konstruksi. Penjelasan lebih lanjutnya bisa ditemukan pada PP
No. 51 Tahun 2008 serta turunannya PP No. 40 Tahun 2009.
5. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 2,5%
Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 2,5% ini untuk transaksi derivatif berjangka panjang
yang telah diperdagangkan di bursa sebagaimana telah diatur PP No. 17 Tahun 2009.
6. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 5%
Tarif sebesar ini dikenakan pada pengalihan hak atas tanah atau bangunan (dalam hal ini
termasuk usaha real estate), seperti yang tercantum dalam PP No. 71 Tahun 2008
7. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 10%
Besar tarif PPh Pasal 4 ayat 2 ini dikenakan pada bunga simpanan yang dibayarkan
koperasi kepada para anggotanya masing-masing sebagaimana telah diatur pada Pasal 17
Ayat 7 serta turunannya PP No. 15 Tahun 2009.
Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 10% ini juga diperuntukkan pada dividen yang diterima
WP OP di dalam negeri seperti diatur dalam Pasal 17 Ayat 2C.
Tarif pajak 10% ini juga untuk sewa atas tanah atau bangunan. Hal ini diatur dalam PP
No. 29 Tahun 1996 dan juga turunannya PP No. 5 Tahun 2002.
8. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 20%
Tarif ini untuk bunga deposito serta jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), dan diskon jasa giro sesuai PP No. 131 Tahun 2000 serta turunannya Keputusan
Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001.
9. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 25%
Tarif ini diberlakukan pada hadiah, lotre atau undian seperti diatur dalam PP No. 132
Tahun 2000.

12
2.6 SUBYEK PPH PASAL 4 AYAT 2

Subjek PPh adalah orang atau pihak yang bertanggungjawab atas pajak penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam tahun pajak maupun bagian tahun pajak.

Subjek pajak penghasilan artinya orang yang harus membayar pajak penghasilan dan disebut
sebagai Wajib Pajak (WP).

Status sebagai WP ini ditetapkan dengan cara yang bersangkutan mendaftarkan diri terlebih
dahulu ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).

Pendaftaran diri sebagai WP dilakukan di KPP tersebut harus sesuai dengan wilayah domisili
yang bersangkutan.

 Jenis Subjek PPh


Merujuk pada UU PPh, subjek pajak penghasilan terbagi menjadi beberapa jenis, di
antaranya:
1. Subjek PPh Orang Pribadi
Wajib Pajak Orang pribadi adalah subjek pajak penghasilan bagi yang mencakup orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Subjek PPh Orang Pribadi (OP) ini terdiri terdiri dari:
a) Subjek PPh OP Dalam Negeri
Subjek PPh OP Dalam Negeri ini berlaku bagi yang telah menerima atau memperoleh
penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
b) Subjek PPh OP Luar Negeri
Subjek PPh OP Luar Negeri ini berlaku bagi yang menerima atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia maupun melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
c) Subjek PPh Warisan yang belum terbagi
Masih merujuk pada UU PPh No. 36/2008, yang dimaksud warisan belum terbagi sebagai
subjek pajak PPh di sini agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal warisan
tersebut tetap dilaksanakan.
Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Jika warisan itu telah dibagi, maka
kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Sedangkan warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, maka tidak dianggap sebagai subjek pajak
pengganti.
2. Subjek PPh Badan

13
Badan adalah subjek pajak yang merupakan orang dan/atau modal sebagai satu kesatuan,
baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Badan bisa berupa
Perseroan Terbatas (PT), perseroan komanditer (CV), perseroan lainnya, firma, kongsi,
koperasi, dan lainnya.
Subjek PPh Badan adalah sebagai subjek pajak penghasilan ini terdiri dari:
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
3. Subjek PPh Badan Usaha Tetap (BUT)
Subjek PPh BUT adalah subjek pajak penghasilan yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak padan badan dalam negeri.
BUT ini merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri, baik
orang pribadi maupun badan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia. BUT wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk mendapatkan NPWP.
Kemudian menyampaikan SPT sebagai sarana pelaporan besarnya pajak terutang dalam
satu tahun pajak. Selain itu, pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena
pajak dengan menggunakan tarif umum seperti yang berlaku pada subjek pajak badan
dalam negeri.

2.7 OBYEK PPH PASAL 4 AYAT 2

Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) dikenakan pada penghasilan atau pendapatan
tertentu, yang di antaranya berupa:

a) Bunga deposito/obligasi
Objek PPh 4 ayat 2 seperti penghasilan dari bunga deposito dan jenis-jenis tabungan,
bunga dari obligasi dan obligasi negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh
koperasi pada anggotanya
b) Hadiah
Objek PPh Final 4 ayat 2 berikutnya adalah penghasilan dari hadiah seperti menang lotre
atau undian.
c) Transaksi saham/surat berharga
Berikutnya, objek PPh 4 ayat 2 adalah penghasilan dari transaksi saham dan surat
berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan bursa, dan transaksi penjualan saham
atau pengalihan ibu kota mitra perusahaan yang diterima oleh perusahaan modal usaha.
d) Pengalihan aset/sewa tanah/bangunan
Objek PPh Pasal 4 ayat 2 selanjutnya adalah penghasilan dari transaksi atas pengalihan
aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan meliputi penjualan, tukar-menukar,
perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau
cara lain yang disepakati.

14
Kemudian objek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 dari sewa tanah dan/atau bangunan
berupa tanah, rumah, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan
termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, bangunan industri.
Selain itu, objek PPh final 4 ayat 2 juga untuk usaha jasa konstruksi (kontraktor), usaha
real estate dan penghasilan dari perencanaan/pengawasan konstruksi (konsultan.
e) Pendapatan lainnya
Penghasilan yang juga sebagai objek Pajak Penghasilan Final 4 ayat 2 adalah pendapatan
lainnya yang spesifik seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2.8 MENDESKRIPSIKAN JATUH TEMPO PPH PASAL 4 AYAT 2

1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling
lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
3. PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
yang dipotong/dipungut atau yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, harus disetor
sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

1.9 PEMUNGUT PPH PASAL 4 AYAT 2

 Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)

Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 4 ayat (2)
adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan antara lain melalui pemotongan atau
pemungutan pajak yang bersifat final atas penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak atas penghasilan
sebagai berikut:

1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

15
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

 PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

1. Objek PPh Final adalah sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah
susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan
termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, bangunan industri.
2. Besarnya PPh Final yang dipotong adalah 10%dari jumlah bruto nilai persewaan, baik
yang menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan.
3. Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/terutang oleh penyewa
termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya, dan service charge
(baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).

 PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

1. Objek PPh final adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
meliputi penjualan, tukar- menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati.
2. Besarnya PPh Final yang dipungut adalah 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
3. Pembebasan PPh Final dapat diberikan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
kepada :
a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang jumlah bruto
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunannya kurang dari Rp60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
Pembebasan diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh
Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
b. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek
jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan
lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum
seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan
fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
c. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan yang tidak termasuk subjek pajak (seperti: pemerintah dan perwakilan
negara asing). Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam angka 2) dan 3)
diberikan tanpa melalui penerbitan SKB.

16
 JASA KONSTRUKSI

1. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan


dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
2. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
3. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi
terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction)
serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
4. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai selesai dan diserahterimakan.

 PENGHASILAN DARI USAHA YG DITERIMA/DIPEROLEH WP YANG


MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

1. Wajib Pajak yang dikenai PPh Final adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap;
dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tertentu tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
1. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari
usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. Usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

17
2. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan
dasar pengenaan pajak berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat
kegiatan usaha.
3. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan
dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/ atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain melalui Surat Keterangan Bebas yang diterbitkan oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.

2.10 MENGHITUNG PPH PASAL 4 AYAT 2

 Jenis Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2

Sedikitnya ada 5 kategori penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2/PPh Final, yakni:

 Penghasilan berupa hadiah undian.

 Penghasilan bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari hasil obligasi dan
obligasi negara, serta bunga simpanan dari tabungan yang dibayarkan koperasi kepada
anggotanya.

 Penghasilan dari transaksi saham maupun transaksi sekuritas lainnya, transaksi derivatif
(baik kontrak maupun perjanjian) yang diperdagangkan bursa, transaksi penjualan saham
atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura.

 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate,  dan persewaan tanah atau bangunan.

 Penghasilan tertentu lainnya yang diatur khusus oleh Peraturan Pemerintah (PP).

 Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2

Besaran tarif PPh pasal 4 ayat 2 berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilan yang dikenakan
pajak. Berikut daftar tarif PPh pasal 4 ayat 2 menurut jenis penghasilannya.

 Tarif sebesar 25% untuk penghasilan berupa hadiah undian (PP No. 132 Tahun 2000).

 Tarif sebesar 20% untuk penghasilan berupa bunga deposito serta jenis-jenis tabungan
dan obligasi negara (PP No. 131 Tahun 2000).

18
 Tarif sebesar 10% untuk penghasilan berupa bunga tabungan yang dibayarkan koperasi
kepada para anggota (PP No. 15 Tahun 2009).

 Tarif masing-masing 0,1% dan 0,5% untuk penghasilan dari transaksi penjualan saham
pendiri dan saham bukan pendiri (PP. No 14 Tahun 1997).

 Tarif sebesar 2,5% untuk penghasilan berupa transaksi derivatif yang telah
diperdagangkan bursa (PP No. 17 Tahun 2009).

 Tarif sebesar 0,1% untuk penghasilan dari transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal (PP No. 4 Tahun 1995).

 Tarif sebesar 5% untuk penghasilan dari transaksi pengalihan hak atas tanah atau
bangunan dan usaha real estate (PP No. 71 Tahun 2008).

 Tarif sebesar 10% untuk penghasilan berupa persewaan tanah atau bangunan (PP No. 5
Tahun 2002).

 Tarif sebesar 2% hingga 6% untuk penghasilan berupa jasa konstruksi (PP No. 51 Tahun
2008).

 Tarif sebesar 10% untuk penghasilan atas dividen yang diterima oleh wajib pajak orang
pribadi dalam negeri (Pasal 17 ayat 2C).

 Tarif sebesar 0 hingga 20% untuk penghasilan berupa bunga dari kewajiban (PP No. 16
Tahun 2009).

 Cara Menghitung PPh Pasal 4 Ayat 2

1. Tabungan:

Bila kamu memiliki tabungan di bank dengan saldo rata-rata bulan Januari 2019 adalah
Rp. 450.000.000. Bunga yang diberikan oleh bank yakni 9% per tahun. Bunga yang kamu terima
pada bulan Januari 2019 adalah Rp. 3.375.000. Berapa pungutan PPh?

Pajak PPh pasal 4 ayat 2 = 20% x bunga bulan Januari 2019

= 20% x Rp. 3.375.000

= Rp. 675.000

Kemudian, pajak PPh pasal 4 ayat 2 itu kamu dikalikan sebanyak jumlah bulan dalam
satu tahun untuk mendapatkan pajak tabungan per tahun.

Pajak tabungan per tahun = PPh pasal 4 ayat 2 x 12 bulan

19
= Rp. 675.000 x 12

= Rp. 8.100.000

Maka pajak tabungan per tahun yang harus kamu bayarkan adalah Rp. 8.100.000

2. Undian Hadiah:

Bila kamu mendapatkan hadiah dari brand X senilai Rp 10.000.000 atas hadiah tersebut kamu
harus membayar pajak sebesar 25%. Berapa pungutan PPh?

Pajak PPh pasal 4 ayat 2 = 25% x nilai hadiah

= 25% x Rp. 10.000.000

= Rp 2.500.000

Maka, pajak PPh yang harus kamu bayarkan senilai Rp 2.500.000, dan uang tunai yang dapat
kamu miliki dari hadiah tersebut senilai Rp 7.500.000.

2.11 KASUS

1. Bunga Deposito:

 Aditya menyimpan uang di Bank ABC dalam bentuk deposito sebesar Rp100.000.000
dengan tingkat bunga 12% per tahun. Atas deposito tersebut, Aditya menerima bunga
setiap bulan sebesar Rp1.000.000. Berapa besaran pajak yang harus dibayarkan atas
bunga deposito Aditya?

Jawaban :

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong Bank ABC adalah 20% x Rp1.000.000 = Rp200.000

Pajak deposito per tahun = Rp200.000 x 12 bulan = Rp2.400.000

 Andhika menyimpan uang di Bank AAA dalam bentuk deposito sebesar Rp7.000.000
dengan tingkat bunga 12% per tahun. Atas deposito tersebut, Andhika merima bunga
setiap bulan sebesar Rp70.000. Berapa besaran pajak yang harus dibayarkan atas
bunga deposito Aditya?

Jawab:

Atas bunga Rp70.000 tidak dipotong PPh Pasal 4 (2) karena nilai deposito kurang
dari Rp7.500.000.

2. Tabungan:

20
Alice Key memiliki tabungan di Bank Moneytalk Indonesia dengan saldo rata-rata bulan
Juni 2017 adalah Rp450.000.000. Bunga yang diberikan oleh Bank Moneytalk Indonesia adalah
9% per tahun. Bunga yang diterima Alice Key pada bulan Juni 2017 adalah Rp3.375.000.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh Bank Moneytalk Indonesia pada Juni 2017 adalah

20% x Rp3.375.000 = Rp675.000.

Pajak tabungan per tahun = Rp675.000 x 12 bulan = Rp8.100.000.

3. Diskonto SBI:

Dana Pensiun Solusi Abadi yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari Bank Indonesia dengan nominal Rp1.000.000.000
dengan memperoleh diskonto sebesar Rp20.000.000. Pada tanggal 1 April 2017, Dana Pensiun
Solusi Abadi menjual SBI tersebut kepada PT Rosa Sentosa dengan harga Rp980.000.000 dan
dibayarkan pada saat yang sama. Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas
transaksi tersebut?

Jawaban:

Besarnya diskonto SBI yang diperoleh PT Rosa Sentosa adalah ;

Rp1.000.000.000 – Rp 980.000.000 = Rp 20.000.000.

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh Dana Pensiun Solusi Abadi adalah

20% x Rp 20.000.000 = Rp 4.000.000.

4. Bunga Obligasi:

Pada tanggal 1 Juli 2011, PT ABC (emiten) menerbitkan obligasi dengan kupon (interest
bearing bond) dengan nilai nominal Rp10.000.000 per lembar. Jangka waktu Obligasi 5 tahun
(jatuh tempo tanggal 1 Juli 2016). Bunga tetap sebesar 16% per tahun, jatuh tempo bunga setiap
tanggal 30 Juni dan 31 Desember. Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

PT MNO (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar Obligasi dengan harga di
bawah nilai nominal (at discount) dengan harga Rp9.000.000 per lembar. Berapa besaran pajak
yang harus dibayarkan atas bunga obligasi tersebut?

Jawab:

21
PPh Pasal 4 ayat 2 yang harus dipotong oleh PT ABC pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31
Desember 2011 adalah sebagai berikut:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000) x 10 lembar = Rp8.000.000


PPh Pasal 4 ayat 2 = 15% x Rp8.000.000 = Rp1.200.000

Apabila dalam contoh di atas investor atau pembeli obligasi adalah wajib pajak reksadana maka
penghitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo tanggal 31
Desember 2011 adalah sebagai berikut:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000) x 10 lembar = Rp8.000.000


PPh Pasal 4 ayat 2 = 5% x Rp8.000.000 = Rp400.000

5. Simpanan Koperasi:

Koperasi Sumber Rezeki membagikan bunga simpanan koperasi kepada anggotanya setiap bulan
yang dibayarkan setiap tanggal 25, anggota koperasi yang memperoleh bunga simpanan antara
lain Rahmawati dan Koperasi Kasih Rezeki(bukan merupakan koperasi simpan pinjam).
Berdasarkan data yang ada Rahmawati mendapatkan bunga simpanan sebagai berikut:

Januari 2016 Rp350.000

Februari 2016 Rp200.000

Maret 2016 Rp500.000

April 2016 Rp240.000

Mei 2016 Rp250.000

Juni 2016 Rp300.000

Sedangkan Koperasi Kasih Rezeki mendapatkan bunga simpanan sebagai berikut:

Januari 2016 Rp1.000.000

Februari 2016 Rp600.000

Maret 2016 Rp1.300.000

April 2016 Rp650.000

22
Mei 2016 Rp700.000

Juni 2016 Rp850.000

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga simpanan
tersebut?

Jawab:

Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga simpanan koperasi yang dibayarkan kepada orang pribadi
adalah sebagai berikut:

 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000 per bulan; atau

 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari
Rp240.000 per bulan.

Penghitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga simpanan koperasi yang diperoleh Rahmawati
adalah:

Januari 2016 10% x Rp350.000 = Rp35.000

Februari 2016 0% x Rp200.000 = Rp0

Maret 2016 10% x Rp500.000 = Rp50.000

April 2016 0% x Rp240.000 = Rp0

Mei 2016 10% x Rp250.000 = Rp25.000

Juni 2016 10% x Rp300.000 = Rp30.000

Sedangkan atas penghasilan yang diterima oleh Koperasi Kasih Rezeki dari pembagian
bunga simpanan koperasi tersebut tidak termasuk yang dikenai PPh yang bersifat final, tetapi
termasuk dalam pengertian bunga yang wajib dipotong PPh Pasal 23.

6. Perhitungan PPh atas Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya

Tuan Galan menjual 1000 lembar saham dengan harga Rp3.000 per lembar. Berapa pajak yang
harus dikenakan atas transaksi penjualan saham tersebut?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 atas penjualan saham adalah 0,1% x Rp3.000 x 1000 = Rp3.000.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pajak merupakan pembayaran atau dapat dikatakan pula sebagai iuran oleh perseorangan
(individu atau pribadi) maupun oleh suatu kelompok usaha yang dibayarkan kepada negara dan
dapat dihitung sebagai hutang serta dapat dilakukan dengan paksaan.
Pajak telah diatur dalam undang-undang dan akan diwajibkan kepada orang tertentu yang
kategorinya masuk dalam peraturan undang-undang tersebut, dapat disebut pula sebagai wajib
pajak. Di Indonesia sendiri, tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak mencapai
sekitar 12 hingga 13 persen. Angka tersebut menunjukan bahwa tingkat kepatuhan membayar
pajak masyarakat Indonesia berada di angka rendah, bahkan berada di peringkat terendah di Asia
Tenggara. Adapun Struktur Pajak yaitu Pajak Negara dan Pajak Daerah dan retribusi daerah.

PPh Pasal 4 ayat 2 (Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2) atau disebut juga PPh final adalah pajak
yang dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi atas beberapa jenis
penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final.
Ketentuan PPh Pasal 4 ayat 2
Jika itu adalah transaksi antara perusahaan dan individu, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2
ditanggung penerima penghasilan yang dalam hal ini adalah perusahaan. Lain halnya jika itu
adalah transaksi yang melibatkan dua perusahaan. Pembayar (perusahaan yang satu) diharuskan
untuk mengumpulkan dan menyelesaikan pajak. Sementara penerima (perusahaan yang lain)
bebas dari kewajiban PPh Pasal 4 Ayat 2.
Berdasarkan ketentuan, penghasilan terdiri dari penghasilan sebagai objek pajak dan penghasilan
yang bukan objek pajak. Ada dua cara yang digunakan untuk pengenaan PPh atas penghasilan

24
yang sebagai objek pajak. Yang pertama, PPh secara umum dikenakan dengan memakai tarif
umum (tarif Pasal 17) dan pengenaannya tersebut dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT). Sementara yang kedua adalah dikenakan PPh yang bersifat final.
Pengenaan PPh yang bersifat final berarti penghasilan yang diterima ataupun diperoleh akan
dikenakan PPh dalam tarif tertentu. PPh yang dikenakan, baik itu yang dipotong pihak lain
maupun yang sudah disetor sendiri, bukanlah pembayaran di muka atas PPh terutang, melainkan
sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan itu.

Subjek PPh adalah orang atau pihak yang bertanggungjawab atas pajak penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam tahun pajak maupun bagian tahun pajak. Subjek pajak penghasilan
artinya orang yang harus membayar pajak penghasilan dan disebut sebagai Wajib Pajak
(WP).Status sebagai WP ini ditetapkan dengan cara yang bersangkutan mendaftarkan diri
terlebih dahulu ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).

Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) dikenakan pada penghasilan atau pendapatan tertentu,
yang di antaranya berupa Bunga Deposito atau Obligasi, hadiah, transaksi saham atau surat
berharga, pengalihan asset atau sewa tanah atau sewa bangunan dan pendapatan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.pajak.go.id/artikel/menengok-sejarah-perpajakan-di-indonesia-bagian-
kedua(diakses pada tanggal 11 april 2022)

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/17792/05.2%20bab%202.pdf?
sequence=6&isAllowed=y

https://www.gramedia.com/literasi/peran-dan-fungsi-pajak-dalam-pembangunan-ekonomi/

https://taxcenter-ipb.org/2021/04/21/1783/

https://klikpajak.id/blog/pph-pasal-4-ayat-2/#:~:text=Objek%20PPh%20Pasal
%204%20ayat,atau%20cara%20lain%20yang%20disepakati

https://klikpajak.id/blog/pajak-penghasilan-jenis-pph-objek-subjek-tarif-perhitungan/
#Apa_Saja_Objek_Pajak_Penghasilan

http://kppnmetro.org/pph-pasal-4-ayat-2/?fdx_switcher=true

https://www.tokopedia.com/blog/dig-pph-pasal-4-ayat-2/

https://news.ddtc.co.id/contoh-soal-perhitungan-pph-pasal-4-ayat-2-bag-1-10564

https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2014/242~PMK.03~2014Per.HTM#:~:text=PPh
%20Pasal%204%20ayat%20

25
26

Anda mungkin juga menyukai