Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KERAGAMAN JENIS, HOLOTHUROIDEA DAN ZONA


INTERTIDAL PANTAI LEUWEUNG SANCANG

A. Keragaman Jenis
Keragaman merupakan jumlah dan kelimpahan dari suatu species
dalam sebuah komunitas biologis (Campbell & Reece, 2008).
Keragaman berkaitan dengan kestabilan ekosistem, apabila keragaman
suatu ekosistem relatif tinggi, maka kondisi ekosistem tersebut
cenderung stabil. Namun, dalam menyatakan keragaman organisme
pada suatu komunitas, tidak cukup hanya dengan mengetahui jumlah
jenis atau species penyusunnya, tetapi harus dilengkapi juga dengan
banyaknya individu dari setiap jenis atau species penyusunnya
(Soetjipta, 1993). Berdasarkan organisasi biologis, keragaman jenis
merupakan suatu karakteristik tingkat komunitas, hal ini dapat
digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Adapun menurut
Odum (1993) yang menyatakan bahwa keragaman jenis merupakan
gabungan dari jumlah jenis dengan jumlah individu dari masing-masing
jenis dalam suatu komunitas. Keragaman jenis dikatakan tinggi apabila
suatu komunitas disusun oleh jumlah jenis dan kelimpahan suatu species
yang sama atau hampir sama. Selain itu, keragaman jenis yang tinggi
menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi,
karena didalam komunitas tersebut terjadi interaksi species yang tinggi
(Soegianto, 1994).
Menurut Magurran (1988), pada dasarnya keragaman jenis (species
diversity) disusun oleh dua komponen. Komponen pertama yaitu jumlah
species dalam suatu area atau disebut juga kekayaan jenis (species
richiness). Komponen kedua yaitu kemerataan (species evenness).
Kemudian dikembangkan lagi suatu indeks untuk mengkombinasikan
antara kekayaan jenis dan kemerataan ke dalam suatu nilai tunggal
dengan sebutan sebagai indeks kelimpahan jenis. Kekayaan jenis adalah
jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu. Kemerataan
menunjukkan kelimpahan individu pada setiap jenisnya dan dapat
digunakan sebagai indikator adanya dominansi diantara setiap jenis
dalam suatu komunitas. Kelimpahan jenis merupakan parameter
kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif suatu species dalam
komunitas yang berhubungan dengan kepadatan berdasarkan penaksiran
kualitatif (Magurran, 2004).

6
7

B. Holothuroidea
1. Morfologi dan Anatomi Holothuroidea
Echinodermata berasal dari bahasa Yunani (echinos artinya duri dan
derma artinya kulit), yang berarti hewan yang berkulit duri (Brusca &
Brusca, 2003). Kemampuan yang dimiliki oleh Echinodermata yaitu
autotomi serta regenerasi bagian tubuhnya yang hilang, putus bahkan
rusak (Jasin, 1984). Echinodermata terdiri dari 5 kelas, yaitu Asteroidea,
Ophiuroidea, Echinoidea, Crinoidea dan Holothuroidea. Semua hewan
dari phyllum Echinodermata memiliki bentuk tubuh simetri radial dan
sebagian besar mempunyai endoskeleton dari zat kapur dengan tonjolan
berupa duri (Jasin, 1984). Holothuroidea atau teripang atau yang sering
disebut juga mentimun laut (sea cucumber) merupakan salah satu hewan
invertebrata dan anggota dari phyllum Echinodermata. Namun tidak
semua jenis Holothuroidea memiliki duri pada kulitnya. Duri yang
dimaksud dari jenis Holothuroidea tersebut sebenarnya adalah kaki
tabung (tube feet/ podia), dimana kaki tabung tersebut tersusun dari zat
kapur yang terdapat didalam kulitnya (Martoyo & Winanto, 2000).
Holothuroidea bergerak dengan kaki tabung yang merupakan
bagian dari sistem saluran air ambulakral yang bekerja secara hidrolik.
Fungsi utama dari sistem saluran air tersebut, yaitu untuk mengatur
tekanan hidrolik, sehingga kaki tabung dapat bekerja atau digerakkan.
Pusat sistem saluran air tersebut merupakan saluran cincin (water ring
canal) yang terletak disekeliling faring. Saluran cincin ini bercabang ke
lima saluran radial, dimana masing-masing dihubungkan dengan kaki
tabung melalui cabang-cabang saluran lateral (Hyman, 1955; Nichols,
1966 dalam Darsono, 1998). Fungsi utama kaki tabung adalah sebagai
organ pergerakan yang berada disisi ventral tubuh dan disebut sebagai
“pedicel”. Namun sebagian dari kaki tabung termodifikasi sebagai organ
peraba dan respirasi, dimana organ tersebut berada disisi dorsal tubuh
dan disebut sebagai “papillae”. Kaki tabung dari beberapa jenis
Holothuroidea ada yang tereduksi atau hilang sama sekali, yaitu dari
ordo Apodida. Pergerakkan dari ordo Apodida dilakukan dengan
kontraksi peristaltik tubuh, yang dibantu oleh sifat kulitnya yang Iengket
(Cannon & Silver, 1986; Birtles, 1989 dalam Darsono, 1998).
Holothuroidea memiliki tubuh elastis dan lunak dengan bentuk
tubuh yang bervariasi, seperti membulat, silindris, segi empat, atau bulat
memanjang seperti ular (Darsono, 1998). Sekitar 80-90% berat tubuh
Holothuroidea terisi oleh air dan akan mengalir keluar tidak lama setelah
tubuhnya diangkat dari perairan. Bentuk tubuh Holothuroidea
merupakan ciri taksonomiknya pada tingkat ordo dan familia, khususnya
pada familia dari ordo Aspidochirotida (Canon & Silver, 1987 dalam
8

Darsono, 1998). Tubuh Holothuroidea dibagi menjadi bagian anterior-


posterior dan dorsal-ventral. Tubuh dari Holothuroidea memiliki
panjang sekitar 10-150 cm, dengan mulut pada salah satu ujungnya
(anterior) dan anus pada ujung lainnya (posterior) (Pechenik, 1996).
Mulut Holothuroidea dikelilingi oleh tentakel-tentakel atau lengan
peraba yang terkadang bercabang-cabang, fungsinya untuk
mengumpulkan dan memasukkan makanan. Tubuh Holothuroidea
berotot, dapat tipis atau tebal, lembek atau licin dan kulitnya dapat halus
atau berbintil-bintil. Holothuroidea merupakan hewan yang
pergerakannya lambat, hidup pada substrat pasir, lumpur, lingkungan
terumbu karang dan padang lamun yang sering dijumpai pada perairan
di Indonesia (Darsono, 2007).
Saluran pencernaan Holothuroidea berbentuk tabung memanjang,
terdiri dari tentakel, mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, kloaka,
dan anus (Pawson, 1970). Sistem pernafasan Holothuroidea ada dua
macam, yaitu pernapasan yang pertama berbentuk saluran yang
bercabang-cabang yang dikenal dengan nama pohon pernafasan
(respiratory tree), berfungsi untuk menghisap oksigen dan
menyalurkannya ke darah. Sistem pernapasan kedua berbentuk kaki
tabung yang letaknya berada didinding tubuh yaitu pada bagian dorsal
(papillae), berfungsi menghisap oksigen yang terlarut didalam air
(Johnson et al., 1977). Sistem saraf melingkar dekat pangkal tentakel
dan faring. Terdapat lima saraf radial melalui lekukan dalam radial plate
pada calcareous ring ke posterior di daerah ambulakral yang berdekatan
dengan coelom. Saraf akan mengirimkan rangsang ke bagian otot
melintang dan otot membujur, sehingga tubuh Holothuroidea dapat
berkontraksi menjulur atau mengkerut (Pechenik, 1996). Morfologi dan
anatomi Holothuroidea dapat dilihat pada Gambar 2.1.
9

dorsal palillae
body wall
cuvierian organ
intestine
madreporic body gonad
ambulacrum
stone canal

interambulacrum
water ring canal

calcareous ring anus


interradial plate
radial plate
anal papillae
oral disc polian vesicle

tentacle ventral pedicel


mouth tentacle ampulla respiratory tree

Gambar 2.1. Morfologi dan Anatomi Holothuroidea (Clark &


Rowe, 1971)

Tentakel merupakan modifikasi dari kaki tabung yang berada


disekitar mulut dengan bagian ujung distalnya yang sangat
terspesialisasi sebagai komponen sensor. Fungsi utamanya yaitu untuk
memasukkan makanan (kaya akan zat organik) ke dalam mulut
(Bouland et al., 1982; Pechenik, 1996). Fungsi lain dari tentakel yaitu
sebagai alat pergerakan dan sebagai organ sensor yang peka terhadap
rangsang kimia dan rangsang mekanik (Hyman, 1955). Jumlah dan
bentuk tentakel merupakan bagian tubuh yang penting untuk
mengidentifikasi Holothuroidea. Jumlah tentakel Holothuroidea
bervariasi, yaitu antara 8 hingga 30 tentakel, tergantung pada ordo. Pada
masing - masing jenis memiliki bentuk tentakel yang berbeda - beda.
Bentuk tentakel Holothuroidea tersebut bermacam-macam, yaitu bentuk
perisai (peltate), dendritik (dendritic), menyirip (pinnate), dan menjari
(digitate) (Roberts, 1982). Tipe-tipe tentakel Holothuroidea dapat dilihat
pada Gambar 2.2.
10

Gambar 2.2. Tipe Tentakel pada berbagai Jenis Holothuroidea : 1.


tipe dendritic; 2. tipe pinnate; 3. tipe digitate; 4. tipe digitate; 5. tipe
peltate; 6. tipe digitate (Roberts, 1982).

Pada dinding tubuh Holothuroidea tidak memiliki batas yang jelas


antara epidermis dan endodermis. Pada lapisan endodermis tersebut
mengandung jaringan fibrosa yang membungkus spikula, pigmen,
rongga coelom dan jaringan saraf. Spikula terbentuk dari skeleton dan
bentuk spikula pada setiap jenis Holothuroidea berbeda-beda (Conand,
1990 dalam Darsono, 1998). Holothuroidea memiliki endoskeleton
mikroskopis berupa spikula yang berfungsi untuk memperkokoh
tubuhnya (Pechenik, 1996). Spikula adalah tulang-tulang berukuran
mikroskopik yang terbenam dalam jaringan integumen. Spikula tersusun
atas zat kapur yang larut dalam larutan asam. Spikula pada
Holothuroidea berbeda-beda bentuk dan komposisinya. Spikula menjadi
ciri khas Holothuroidea pada tingkat genus dan species (Wulandari et
al., 2012). Spikula memiliki bentuk yang bervariasi yaitu bentuk batang
(rod), meja (table), roset (rosettes), roda (wheel), lempeng jangkar
(anchor plate), jangkar (anchor) dan granula (military granules)
merupakan spikula berukuran kecil (Clark & Rowe, 1971). Tipe-tipe
spikula Holothuroidea dapat dilihat pada Gambar 2.3.
11

Gambar 2.3. Tipe-Tipe Spikula Holothuroidea a dan a’ . table and


button, b. branched rod, c. rosset, d. C-shaped, e. rod, f. pseudo button,
g. knobbed button, h. basket, i. wheel, j. anchor plate, j’. anchor, j”.
military granule (Clark & Rowe, 1971).

2. Daur Hidup dan Reproduksi Holothuroidea


Holothuroidea merupakan hewan bersimetri bilateral saat larva dan
bersimetri radial saat dewasa. Kehidupan Holothuroidea di alam dimulai
dari larva hingga Holothuroidea dewasa yang hidup sebagai planktonik
dan sebagai bentik (Darsono, 1999). Planktonik hidup melayang-layang
di air, pada fase larva yakni pada stadia auricularia hingga doliolaria.
Kemudian sebagai bentik hidup melekat pada subtrat atau benda lainnya
yakni pada stadia pentactula yang mempunyai kebiasaan berada di
bawah permukaan air hingga akhirnya menjadi dewasa (Darsono, 1999).

d
a b

c e

Gambar 2.4. Siklus Hidup Holothuroidea di Perairan (Shokita et


al., 1991).
12

Keterangan:
Perkembangan tidak langsung: Telur yang telah dibuahi a-b-d-e-juvenil-
dewasa
Perkembangan langsung: Telur yang telah dibuahi a-c-d-e-juvenil-
dewasa
a. Tahapan gastrula
b. Larva auricularia
c. Taapan gastrula
d. Larva doliolaria
e. Larva pentactula
Informasi mengenai reproduksi Holothuroidea di daerah tropis,
khususnya di Indonesia sangatlah jarang. Jenis-jenis Holothuroidea di
daerah tropis pada umumnya cenderung memijah sepanjang tahun
(Bakus, 1973 dalam Aziz, 1996). Diduga siklus reproduksi tersebut
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, kelimpahan
makanan dan intensitas cahaya. Pemijahan pada Holothuroidea biasanya
dilakukan saat sore atau malam hari sesudah jam 17.00 (Yusron, 2004).
Proses pemijahan Holothuroidea diawali dengan mengeluarkannya
sperma ke air oleh Holothuroidea jantan, kemudian Holothuroidea
betina mengeluarkan sel telur yang dibantu oleh rangsangan feromon.
Sperma Holothuroidea jantan akan membuahi sel telur di dalam air, lalu
sel telur yang telah dibuahi akan tenggelam dan diangkat kembali oleh
Holothuroidea betina menggunakan tentakelnya, kemudian dimasukkan
ke dalam kantung pengeraman (Bakus, 1973 dalam Aziz, 1996). Kondisi
lingkungan yang baik saat pemijahan yaitu memiliki nilai pH 7, salinitas
32 0/00 dan suhu air sekitar 25,5-33oC (Yusron, 2004).
Holothuroidea bersifat dioecious, yaitu alat kelamin jantan dan
betina terdapat pada individu yang berbeda. Secara visual, kedua jenis
kelamin Holothuroidea cukup sulit untuk dibedakan. Perbedaan jenis
kelamin hanya dapat dilihat dengan melakukan pengamatan terhadap
gonadnya. Perbedaan tersebut akan tampak jelas bila dilihat dibawah
mikroskop, dengan menyayat bagian organ kelamin jantan dan betina.
Organ kelamin jantan berwarna bening keputihan, sedangkan organ
kelamin betina berwarna kekuningan dan berubah menjadi kecoklat-
coklatan bila sudah matang (Martoyo & Winanto, 2000). Gonad jantan
berisi spermatozoa, sedangkan gonad betina berisi sel telur (Darsono,
1999). Holothuroidea mempunyai gonad yang multitubular yang terletak
pada bagian anterior rongga tubuh. Secara morfologi, bentuk gonad
Holothuroidea menyerupai sikat dengan tabung-tabung halus yang
berhubungan dengan saluran tunggal pada bagian dorsal untuk
13

mengeluarkan telur yang matang keluar dari tubuh (Storer et al., 1979).
Reproduksi Holothuroidea ada 2 cara yaitu secara seksual dan aseksual.
Reproduksi seksual dilakukan dengan cara melepaskan gamet ke air,
sehingga dapat terjadi fertilisasi. Reproduksi aseksual dilakukan dengan
cara pembelahan melintang (Darsono, 1999).

3. Klasifikasi Holothuroidea
Secara taksonomi, klasisfikasi Holothuroidea menurut Hyman
(1955), adalah sebagai berikut (Tabel 2.1):
Tabel 2.1. Klasifikasi Holothuroidea
Phyllum Classis Ordo Familia Genus Species
Molpadia -
Molpadiidae
Caudina -
Cucumaria -
Dendrochirotae Thyone -
Psolus -
Actinopyga miliaris
Actinopyga mauritania
Actinopyga/
Actinopyga agassizi
Muelleria
Aspido- Muelleria lecanora
Echinoder- Holothuroi- chirotida Muelleria echinetes
mata dea
Holothuria scabra
Holothuriidae Holothuria nobilis
Holothuria Holothuria atra
Holothuria impatiens
Holothuria pervicax
Stichopus variegatus
Stichopus
Sticophus ananas
Bohadschia Bohadschia marmorata
Apodida Synaptidae Synapta Synapta maculata

Holothuroidea dikelompokkan menjadi 3 sub-classis, yaitu


Dendrochirotacea, Aspidochirotacea dan Apodacea. Pembagian sub-
classis tersebut berdasarkan ada atau tidaknya kaki tabung. Satu-satunya
sub-classis yang tidak memiliki kaki tabung, yaitu Apodacea (Arnold &
Birtles, 1989). Holothuroidea tersebut terdiri atas 6 ordo, yaitu
Dendrochirotida, Dactyllochirotida, Elasipodida, Aspidochirotida,
Apodida, Molpadiida (Clark & Rowe, 1971).
14

Identifikasi di tingkat ordo berdasarkan pada ada tidaknya kaki


tabung, respiratory tree, tipe dan jumlah tentakel, serta tipe spikula.
Ordo Apodida dan Molpadiida merupakan dua ordo yang tidak memiliki
kaki tabung. Kedua ordo tersebut menggunakan tentakel sebagai alat
geraknya dan untuk memasukkan makanan ke mulut, bentuk tentakelnya
digitate atau pinnate (Arnold & Birtles, 1989). Holotrhuroidea terdiri
dari 6 ordo, yaitu sebagai berikut (Hellal et al., 2002; Brusca & Brusca,
2003):
a. Ordo Dactylochirotida: memiliki tipe tentakel digitate berjumlah 8-
30, tubuhnya berbentuk seperti huruf U, memiliki kaki tabung yang
fleksibel dan spikula bentuk meja (table).
b. Ordo Dendrochirotida: memiliki tipe tentakel dendritic berjumlah
10-30, kaki tabung berada dibagian ventral, ambulakral atau
menutupi seluruh permukaan dan spikula bentuk batang (rod),
lempeng berlubang (plate perforated) atau meja (table).
c. Ordo Elasipodida: memiliki bentuk segi empat dengan papillae
besar berbentuk kerucut dan macam-macam alat tambahan lainnya,
mempunyai tipe tentakel peltate, tidak memiliki respiratory tree,
spikula bentuk roda (wheel) tetapi ada juga yang tidak memiliki
spikula, hampir semua ordo Elasipodida hidup di laut dalam.
d. Ordo Aspidochirotida: tipe tentakel peltate berjumlah 10-20,
memiliki kaki tabung, spikula berbentuk meja (table), tombol
(button) dan batang (rod), serta memiliki ukuran tubuh yang relatif
besar.
e. Ordo Molpadiida: tidak memiliki kaki tabung, memiliki tipe
tentakel digitate berjumlah 15, tubuhnya berbentuk silindris dengan
ujung tubuh meruncing dan spikula bentuk meja (table).
f. Ordo Apodida: tidak memiliki kaki tabung dan respiratory tree ,
memiliki bentuk seperti ular, memiliki tentakel berbentuk digitate
atau pinnate yang berjumlah 10-25 dan spikula berbentuk jangkar
(anchor) dan lempeng jangkar (anchor plate).

4. Habitat dan Persebaran, Macam Makanan dan Cara


Makan, Adaptasi, serta Peranan Holothuroidea
a. Habitat dan Persebaran Holothuroidea
Holothuroidea dapat ditemukan hampir diseluruh perairan pantai,
mulai dari zona pasang surut (zona intertidal) hingga laut yang dalam,
terutama di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Barat. Di perairan
Indonesia telah teridentifikasi sekitar 188 jenis Holothuroidea yang
meliputi genus Holothuria, Actinopyga, Bohadschia, Labiodemas,
Thelonata dan Stichopus (Darsono, 2007). Untuk kedalaman 0 meter
15

sampai dengan 20 meter di Indonesia dilaporkan terdapat sekitar 155


jenis Holothuroidea (Clark & Rowe, 1971). Holothuroidea menyukai
habitat dengan air yang tenang dan bersih, dikarenakan pergerakannya
yang lambat. Hewan ini selalu menempati habitat yang tergenang air
bahkan disaat air surut (Aziz, 1996). Habitat dari Holothuroidea yaitu
karang, padang lamun, bebatuan dan pasir (Veronica et al., 2015).
Beberapa diantaranya lebih menyukai perairan dengan dasar berbatu
karang, yang lainnya menyukai rumput laut atau dalam liang pasir dan
lumpur (Pawson, 1982 dalam Darsono, 2007). Holothuroidea dapat
tersebar diberbagai ekosistem perairan dangkal, yaitu pada ekosistem
padang lamun, ekosistem terumbu karang dan daerah lepas pantai.
Ekosistem padang lamun adalah suatu ekosistem yang khas untuk
perairan dangkal di daerah subtropis, sedangkan di daerah tropis, padang
lamun merupakan bagian dari ekosistem terumbu karang atau formasi
bagian depan dari tegakan mangrove. Padang lamun umumnya memiliki
substrat lunak yang bervariasi dari lumpur hingga pasir kasar. Beberapa
jenis Holothuroidea yang pernah ditemukan di daerah padang lamun
adalah Bohadschia marmorata, Holothuria atra, Holothuria edulis,
Holothuria leucospilota, Holothuria impatiens, Holothuria coluber,
Holothuria nobilis, Holothuria notabilis, Holothuria pardalis,
Holothuria scabra, dan Stichopus variegatus. Apabila di padang lamun
didapatkan juga koloni karang mati, maka kemungkinan didapatkan juga
Holothuroidea jenis Holothuria pervicax dan Holothuria arenicola
(Aziz, 1995).
Menurut Aziz (1995), ekosistem terumbu karang memiliki berbagai
macam zona, yaitu zona rataan pasir, zona lamun, zona pertumbuhan
algae, zona moats, goba, beting karang, tubir, dan lereng terumbu. Pada
zona pasir, zona lamun dan goba memiliki substrat lunak, sedangkan
zona pertumbuhan algae, tubir, dan lereng terumbu didominasi oleh
substrat keras. Pada zona rataan pasir hanya didapatkan 2 jenis
Holothuroidea, yaitu Holothuria atra dan Bohadschia marmorata.
Kedua jenis Holothuroidea tersebut dapat beradaptasi pada kondisi
kekeringan di saat surut terendah.
Pada zona lamun, di saat surut terendah biasanya masih tersisa air
setinggi 20 cm. Jenis-jenis Holothuroidea yang ditemukan sama seperti
ekosistem yang ada di padang lamun. Pada zona pertumbuhan algae,
substratnya relatif keras yaitu berupa campuran pasir dan pecahan
karang. Algae tumbuh pada koloni karang mati. Jenis Holothuroidea
yang biasanya terdapat di zona ini diantaranya Bohadschia argus,
Actinopyga miliaris, Actinopyga echinites, Holothuria atra, Holothuria
edulis, Holothuria coluber, Holothuria impatiens, Holothuria
16

leucospilota, Holothuria pervicax, dan Stichopus variegatus (Aziz,


1995).
Zona goba dan moats selalu terendam air kadang-kadang mencapai
kedalaman lebih dari 5 meter. Goba dan moats memiliki substrat
bervariasi dari lumpur sampai dengan pecahan karang. Jenis
Holothuroidea yang didapatkan di goba (lagoon) hampir sama seperti
yang ada pada zona lamun dan pertumbuhan algae. Zona lamun, zona
pertumbuhan algae dan moats atau goba merupakan zona yang paling
tinggi keanekargaman Holothuroideanya (Kerr et al., 1993).
Pada zona beting karang dan tubir, memiliki substrat keras berupa
pecahan karang, karang mati, karang hidup dan bongkah karang. Jenis
Holothuroidea yang hidup di zona ini diantaranya Stichopus
chloronotus, Stichopus horrens, Bohadschia argus, Holothuria nobilis,
Holothuria impatiens, Holothuria hilla, Holothuria pervicax, Holothuria
arenicola, dan berbagai jenis anggota dari genus Actinopyga. Pada zona
lereng terumbu, memiliki substrat keras yang terdiri dari pecahan karang
dan diantara koloni karang masih terdapat pasir kasar. Jenis
Holothuroidea yang hidup disini hampir sama dengan yang hidup di
daerah tubir. Di daerah lereng terumbu terdapat semacam kaloran atau
saluran (channel) yang menghubungkan laut lepas dan goba atau moats.
Arus disini relatif kuat, dipengaruhi oleh pergerakan ombak dan arus
pasang surut. Pada kaloran ini seringkali dijumpai jenis Holothuroidea
seperti Actinopyga mauritiana dan Holothuria cinerascens (Aziz, 1995).
Daerah lepas pantai tidak dipengaruhi oleh ketiga macam ekosistem
laut dangkal. Daerah lepas pantai bersifat oseanik, dengan batasan
salinitas dan suhu untuk daerah tropis berkisar antara 30 - 34 ‰, dan 28
°C - 31 °C. Jenis-jenis Holothuroidea yang sering didapatkan di daerah
lepas pantai adalah Actinopyga miliaris, Holothuria arenicola,
Holothuria erinaceus, Holothuria modesta, Holothuria notabilis, dan
Holothuria kurti (Aziz, 1995).
b. Macam Makanan dan Cara Makan Holothuroidea
Ada 3 macam sumber makanan bagi Holothuroidea, yaitu
kandungan zat organik dalam lumpur, detritus, dan plankton. Selain itu,
beberapa biota yang berukuran kecil dapat dimanfaatkan sebagai
makanan, seperti foraminifera, plankton dan potongan-potongan kecil
dari hewan ataupun tumbuhan laut lainnya (organik debris) (Pawson,
1966 dalam Aziz, 1996). Menurut Aziz (1996), dikenal 2 macam cara
makan pada kelompok Holothuroidea, pertama deposit feeder atau
pemakan endapan pada hampir sebagian besar anggota kelompok, yang
kedua suspension feeder atau pemakan materi tersuspensi (termasuk
plankton) hanya pada satu ordo, yaitu Dendrochirotida. Lebih lanjut
17

diketahui bahwa Holothuroidea pemakan endapan sangat tergantung


kepada kandungan zat organik yang ada dalam lumpur, detritus dan
organik debris. Holothuroidea pemakan materi tersuspensi, sangat
tergantung pada kemunculan adanya plankton dan partikel-partikel
melayang (seston). Cara makan Holothuroidea dengan menjulurkan
tentakel kedalam pasir di sekitar mulut Holothuroidea tersebut,
kemudian ditarik kedalam rongga mulut. Cara makan Holothuroidea
tersebut ditentukan oleh tipe tentakel.
Menurut Aziz (1996), pada kelompok Holothuroidea terdapat 5 tipe
tentakel. Tentakel tersebut terdapat di sekitar mulut dan merupakan alat
yang penting untuk menangkap makanan. Dari beberapa hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh para pakar diketahui 4 macam dari tipe
tentakel (peltate, digitate, pinnate, dan semidendrit atau peltato-dendrit)
merupakan ciri Holothuroidea pemakan endapan. Tentakel tipe
dendritic, termodifikasi untuk menangkap plankton. Tentakel tipe
dendritic ini hanya dimiliki oleh Holothuroidea dari ordo
Dendrochirotida. Dari sudut pandang sistematik, tipe tentakel dapat
dipakai sebagai pembeda pada tingkat ordo. Holothuroidea komersial
pada umumnya termasuk kedalam ordo Aspidochirotida, yang telah
dibuktikan sebagai pemakan endapan. Semua jenis Holothuroidea
komersil tersebut, khususnya pada daerah tropis, terdiri dari 2 familia
yaitu Holothuriidae dan Stichopodidae, meliputi genus Holothuria,
Actinopyga, Bohadschia, Thelenota dan Stichopus. Terdapat 25 jenis
Holothuroidea berpotensi komersil yang diidentifikasikan berasal dari
perairan karang di Indonesia (Pawson, 1982 dalam Darsono, 2007).
Bentuk tentakel yang paling primitif adalah tipe peltate (bentuk
seperti perisai) yang dimiliki oleh Holothuroidea ordo Aspidochirotida
dan Elasipoda yang merupakan jenis Holothuroidea pemakan endapan.
Kemudian perubahan bentuk tentakel tipe peltate menuju kearah tipe
pinnate yang dianggap sebagai arah kemajuan dimana terjadi
peningkatan efisiensi dalam pengumpulan partikel makanan,
sehubungan dengan bertambahnya luas permukaan tentakel tersebut.
Tentakel tipe pinnate dimiliki oleh Holothuroidea ordo Apodida.
Tentakel tipe digitate (bentuk seperti jari) dianggap sebagai
penyederhanaan secara sekunder dari tipe dendritic (bentuk seperti
pohon) dan secara simultan juga bisa dipandang sebagai modifikasi dari
tentakel tipe pinnate (Roberts, 1982; Aziz, 1996). Tentakel tipe digitate
dimiliki oleh Holothuroidea ordo Dactylochirotida dan sebagian
Holothuroidea ordo Apodida. Terjadinya perubahan bentuk tentakel
diduga memiliki hubungan dengan adanya perubahan pada habitat dan
perubahan macam makanan. Sebagai contoh beberapa anggota ordo
18

Aspidochirotida dengan tipe tentakel peltate termodifikasi menjadi


peltato-dendrit (modifikasi antara bentuk perisai dan bentuk pohon),
misalnya pada Holothuria cinerascens. Dalam hal ini pertambahan
jumlah percabangan dari ujung tentakel bukal dipandang sebagai
peningkatan efisiensi untuk menangkap partikel-partikel melayang
dalam medium air laut di sekitarnya. Hipotesis selanjutnya terjadi
perubahan dari peltato-dendrit ke arah tentakel dendritic. Dalam kondisi
ini, Holothuroidea tidak lagi bersifat sebagai pemakan endapan,
melainkan lebih bersifat sebagai pemakan partikel-partikel melayang
seperti plankton. Tentakel tipe dendritic dimiliki oleh Holothuroidea
ordo Dendrochirotida. Sebagian dari anggota ordo Dendrochirotida juga
beradaptasi untuk hidup melayang sebagai megalo plankton (Roberts,
1982; Aziz, 1996).
Massin (1982) dalam Aziz (1996), menyimpulkan adanya dua
macam aktifitas makan Holothuroidea yang mempengaruhi
lingkungannya. Pertama adalah merubah komposisi ukuran partikel
pasir (sedimen) melalui proses pencernaan. Hal ini terutama dilakukan
oleh kelompok Holothuroidea pemakan endapan. Efek kedua adalah
pengadukan partikel sedimen (bioturbation). Tetapi dari hasil penelitian
diketahui bahwa, baik daya "giling" ataupun reaksi kimiawi pada
Holothuroidea adalah sangat lemah sehingga tidak begitu jelas
dampaknya dalam merubah (memperkecil) ukuran partikel pasir yang
ditelannya.
c. Adaptasi Holothuroidea
Holothuroidea bersifat nokturnal, yaitu aktif bergerak dan mencari
makan pada malam hari dan membenamkan diri dalam pasir atau
dibawah batu dan karang pada siang hari ( Aziz, 1995). Namun tidak
semua jenis bersifat nokturnal. Holothuroidea yang selalu bersembunyi
di bawah batu diduga untuk menghindari dirinya dari serangan biota
pemangsa seperti ikan, burung laut, dan kepiting. Kebanyakan jenis
Holothuroidea mempunyai senyawa holothurin yang sangat beracun
terutama untuk kelompok ikan, sehingga ikan pada umumnya
menghindar dan tidak ingin memangsanya (Kropp, 1982). Namun,
senyawa holothurin ini tidak begitu efektif terhadap pemangsa dari
kelompok Crustacea. Beberapa jenis invertebrata dikenal sebagai
pemangsa Holothuroidea. Di belahan bumi utara jenis-jenis bintang laut
berukuran besar telah banyak dilaporkan sebagai pemangsa
Holothuroidea. Kepiting jenis Dardanus megistos, dan jenis Atergatis
floridus diketahui memangsa Holothuroidea (Kropp, 1982). Selain
bintang laut dan kepiting, pemangsa Holothuroidea yang paling umum
adalah Mollusca kelompok Gastropoda. Salah satu keong pemangsa
19

Holothuroidea adalah Tonna perdix. Jenis Holothuroidea yang di


mangsa oleh Tonna perdix adalah Stichopus horrens, Holothuria
cinerascens, Holothuria hilla dan Stichopus chloronotus. Berbeda pada
Holothuria atra yang mengeluarkan cairan berwarna merah (senyawa
holothurin), dengan adanya senyawa tersebut membuat predator (Tonna
perdix) membatalkan niat untuk menyerang lebih lanjut (Kropp, 1982).
Namun predator atau musuh utama dari Holothuroidea adalah manusia
(Bakus, 1968).
Holothuroidea juga merupakan hewan yang memiliki respon
terhadap gangguan disekitarnya. Pertahanan pertama saat Holothuroidea
merasa terganggu yaitu dengan mengerutkan badannya. Apabila
gangguan terus berlangsung, Holothuroidea juga dapat mempertahankan
diri dengan cara mengeluarkan atau menyemprotkan tubulus cuvier dari
anusnya (Gambar 2.5). Tubulus cuvier adalah sejenis getah atau benang-
benang putih yang bersifat lengket dan beracun. Sistem pertahanan ini
akan berfungsi ketika terjadi rangsangan atau gangguan secara mekanis
dari luar, sehingga dapat menjerat dan melumpuhkan predator (Aziz,
1996). Hanya beberapa jenis Holothuroidea yang dapat mengeluarkan
benang-benang lengket berwarna putih tersebut jika dirinya mendapat
gangguan baik fisik maupun kimia (Purwati & Syahailatua, 2008).
Selain itu, Holothuroidea juga melakukan eviserasi (evisceration), yaitu
mengeluarkan organ pencernaan, respiratory tree, dan gonadnya melalui
anus saat gangguan tidak juga berhenti (Pechenik, 1996). Keberadaan
jenis Holothuroidea berhubungan erat dengan faktor - faktor abiotik
(pasang surut, suhu, salinitas, susbtrat, gerakan ombak dan intensitas
cahaya) (Nybakken, 1988).

Gambar 2.5. Tubulus Cuvier dari Holothuria fuscocinerea


(Sumber: www.flickriver.com)
d. Peranan Holothuroidea
Holothuroidea memiliki nilai ekonomis, yaitu sebagai bahan
makanan yang berprotein tinggi (Aziz, 1996). Jenis Holothuroidea
dengan nilai ekonomis tinggi yaitu yang termasuk ke dalam familia
Holothuriidae dan Stichopodidae yang meliputi genus Holothuria,
20

Actinopyga, Bohadschia, Thelenota, dan Stichopus (Martoyo et al.,


2006). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa orang
menunjukan bahwa kandungan nutrisi Holothuroidea dalam kondisi
kering terdiri dari protein sebanyak 82%, lemak 1,7%, kadar air 8,9%,
kadar abu 8,6%, dan karbohidrat 4,8% (Martoyo et al., 2006).
Holothuroidea juga mengandung mineral yang cukup lengkap berupa
kalsium, natrium, fosfor, kromium, mangan, zat besi, kobal, seng, dan
vanadium (Kordi, 2010). Tingginya kadar nutrisi dalam tubuh
Holothuroidea inilah yang menyebabkan terjadinya pengambilan
berbagai jenis Holothuroidea secara besar-besaran tanpa memperhatikan
kelestariannya.
Populasi Holothuroidea di Indonesia diduga telah sangat menurun.
Artinya populasi alami saat ini berada jauh di bawah populasi alami
normalnya. Salah satu penyebab menurunnya populasi teripang di
perairan Indonesia adalah akibat telah terjadinya kasus eksploitasi atau
penangkapan secara berlebihan. Jenis-jenis Holothuroidea komersial
terus diburu tanpa memikirkan kemampuan repopulasi dari
Holothuroidea itu sendiri (Aziz, 1997). Apabila hal ini dilakukan secara
terus menerus tanpa adanya upaya budidaya untuk menjaga
kelangsungan hidup Holothuroidea, maka dapat dipastikan sumber alam
yang sangat potensial ini akan musnah. Perlu dilakukan berbagai upaya
untuk menjaga kelestarian Holothuroidea di perairan Indonesia yaitu
dengan tersedianya data biologi terkait keberadaan Holothuroidea di
perairan Indonesia. Informasi dasar yang perlu diketahui antara lain data
terkait jenis dan morfologi Holothuroidea yang memiliki nilai penting
ekonomis tersebut. Kemudian bisa juga dilakukan pembudidayaan
terhadap jenis Holothuroidea yang komersil atau yang bernilai
ekonomis.

C. Zona Intertidal Pantai Leuweung Sancang


1. Gambaran Umum Pantai Leuweung Sancang
Pantai Leuweung Sancang dikelilingi oleh Kawasan Cagar Alam
Leuweung Sancang (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa
Barat, 2016). Cagar Alam Leuweung Sancang memiliki luas sekitar
2.157 Ha terletak di pantai selatan Pulau Jawa, yang secara administrasi
terletak di Desa Sancang, Sagara, Maroko, Mekarsari, Karyamukti,
Simpang dan Karyasari Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa
Barat. Wilayah ini berada pada ketinggian 0-3 meter di atas permukaan
laut (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, 2016).
Cagar Alam Leuweung Sancang secara geografis terletak antara
7°40‟44”- 7°44‟47” Lintang Selatan dan 107°48‟17”-107°54‟44” Bujur
21

Timur dengan batas-batas kawasannya. Sebelah barat berbatasan dengan


Sungai Cisangiri, sebelah utara berbatasan dengan Perkebunan PTP XIII
Mira Mare, sebelah timur dengan Sungai Cikaengan dan sebelah selatan
dengan Samudera Hindia.
Secara umum kondisi topografi Cagar Alam Leuweung Sancang
sebagian besar merupakan daratan landai pantai dan di bagian timurnya
terdapat perbukitan dengan ketinggian mencapai 175 meter di atas
permukaan laut. Cagar Alam tersebut mempunyai beberapa jenis
ekosistem, antara lain ekosistem hutan dataran rendah, hutan pantai dan
hutan mangrove. Dalam rangka melestarikan terumbu karang dan
keragaman hayati di sepanjang pantai Cagam Alam Leuweung Sancang,
maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 682/Kpts-
II/90 tanggal 17 Nopember 1990, perairan pantai seluas 1.150 ha
didalamnya ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut (Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, 2016).

2. Zona Intertidal
Zona intertidal terletak paling pinggir dari bagian ekosistem pesisir
dan laut serta berbatasan dengan ekosistem darat. Zona intertidal
merupakan daerah pasang surut yang dipengaruhi oleh kegiatan pantai
dan laut. Kondisi komunitas di daerah pasang surut, tidak banyak
perubahan kecuali pada kondisi ekstrim tertentu dapat merubah
komposisi dan kelimpahan organisme tersebut. Daerah ini merupakan
daerah yang paling sempit namun memiliki keragaman dan kelimpahan
organisme yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan habitat-habitat
yang ada di laut. Hanya pada daerah inilah penelitian terhadap
organisme perairan dapat dilakukan secara langsung selama air sedang
surut dan tanpa harus menggunakan peralatan yang khusus (Nybakken,
1988).
Zona intertidal sering disebut juga zona pasang surut, merupakan
zona terkecil dari semua zona yang terdapat pada ekosistem laut dan
terletak di antara air pasang tertinggi dan surut terendah. Pasang surut
tersebut disebabkan oleh adanya gaya tarik bulan dan matahari. Zona ini
dipengaruhi pasang surut sebanyak dua kali dalam sehari, dipengaruhi
juga oleh faktor abiotik (suhu, salinitas, intensitas cahaya) dan faktor-
faktor lingkungan lainnya seperti pasang surut dan gerakan ombak
(Nybakken, 1988). Meskipun luas dari daerah ini sangat terbatas, tetapi
variasi faktor lingkungannya lebih besar dibandingkan dengan daerah
bahari lainnya. Dengan demikian bisa dipastikan organisme laut yang
mampu bertahan bidup di zona ini adalah yang mampu beradaptasi
terhadap perubahan kondisi fisik yang ekstrim. Salah satu organisme
22

laut yang dapat hidup di zona ini yaitu dari phyllum Echinodermata.
Hewan ini memiliki kemampuan autotomi serta regenerasi bagian
tubuhnya yang hilang, sehingga memiliki kemampuan adaptasi yang
lebih tinggi (Jasin, 1984).
Kelangsungan hidup Holothuroidea yang ada di zona intertidal,
dipengaruhi oleh faktor abiotik. Faktor abiotik yang berpengaruh
terhadap keberadaan Holothuroidea diantaranya suhu, intensitas cahaya,
salinitas, pH, susbtrat, dan gerakan ombak (Nybakken, 1988). Suhu
merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses
kimia dan biologi disuatu perairan. Reaksi kimia dan biologi meningkat
dua kali lipat setiap kenaikkan suhu 10˚C (Cholik et al., 1986). Menurut
Nybakken (1988), suhu merupakan salah satu faktor penting dalam
mengatur proses kehidupan dan persebaran suatu organisme.
Holothuroidea yang hidup di perairan karang daerah pantai mampu
menyesuaikan diri dengan rentangan suhu yang cukup luas.
Holothuroidea dapat mentolerir suhu air antara 25oC – 35oC. Apabila
suhu lebih dari 35oC, maka tubuh Holothuroidea akan mengalami inaktif
akan tetapi tentakelnya masih dapat bergerak (Bakus, 1973 dalam Aziz,
1996).
Cahaya sangat penting bagi organisme untuk dua alasan yang
berbeda. Pertama, cahaya umumnya digunakan sebagai stimulus waktu
harian dan ritme musiman untuk hewan dan tumbuhan. Kedua, cahaya
penting untuk organisme yang dapat melakukan fotosintesis (Krebs,
1978). Pada beberapa jenis Holothuroidea tubuhnya akan berkontraksi
dan menghindarkan diri jika ada cahaya yang kuat yang diarahkan pada
bagian tubuhnya. Cahaya ini sendiri membantu dalam pertumbuhan dan
perkembangan Holothuroidea (Pawson, 1996 dalam Aziz, 1996).
Salinitas merupakan faktor yang mempengaruhi distribusi dan
kelimpahan organisme perairan, termasuk Holothuroidea. Pergoyangan
salinitas air laut normal secara global berkisar antara 33 0/00 sampai
dengan 37 0/00 dengan nilai tengah sekitar 35 0/00 (Kinne, 1964 dalam
Aziz, 1877). Holothuroidea hidup pada batasan pergoyangan salinitas air
laut normal (30 - 34 0/00), tetapi beberapa jenis diantaranya bisa bertahan
sampai dengan salinitas sekitar 21 0/00 (Bakus, 1973 dalam Aziz, 1996).
Derajat keasaman (pH) merupakan suatu ukuran dari konsentrasi
ion hidrogen dan menunjukkan suasana air tersebut apakah dapat
bereaksi dengan asam atau basa. Air laut secara normal memiliki kisaran
pH sekitar 7,5 – 8,4, sedangkan Holothuroidea hidup dengan kisaran pH
6,5-8,5 (Pawson, 1970).
Jenis substrat pada suatu perairan sangat berpengaruh terhadap
komposisi dan distribusi dari organisme benthos, khususnya
23

Holothuroidea. Holothuroidea mencerna bahan organik yang terdapat


dalam partikel-partikel substrat tersebut. Holothuroidea mengeluarkan
sedikit energi dalam mencari dan mengumpulkan makanan, karena
organisme tersebut sudah memperoleh nutrisi yang cukup dengan cara
mengumpulkan partikel-partikel substrat (Hutabarat & Evans, 1985).
Pasang surut adalah naik dan turunnya permukaan air laut secara
periodik selama interval waktu tertentu. Nybakken (1988) menyatakan
bahwa, pasang surut terjadi karena adanya interaksi antara gaya gravitasi
matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang
ditimbulkan oleh rotasi bumi dan sistem bulan. Pasang surut merupakan
faktor abiotik yang mempengaruhi kehidupan organisme di zona
intertidal salah satunya Holothuroidea, karena mempengaruhi
penyebaran unsur hara dalam air.

Anda mungkin juga menyukai