Pasien dengan nama Nn. S berusia 18 tahun masuk ke rumah sakit dengan melanjutkan kemoterapi pada tanggal 13 Oktober
2021 dengan diagnosa Acute Lymphoblastic Leukimia (ALL). Saat masuk rumah sakit pasien mengeluhkan sakit kepala dibagian dahi
hingga sekitar mata. Selain itu pasien juga mengalami keluhan sakit kepala setelah bangun tidur. Sakit kepala yang diderita oleh
pasien terjadi sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien didiagnosa ALL dari tahun 2019 dan sudah menjalankan protokol
kemoterapi dari tahun 2019 hingga tahun 2020. Pada tahun 2021 pasien kembali ke rumah sakit untuk mejalani kemoterapi karena
dibulan Agustus 2021 pasien melakukan pemeriksaan sumsum tulang dan hasil menyatakan bahwa pasien mengalami Acute
Lympoblastic Leukimia type L1 (ALL-L1)-Relaps sehingga pasien menjalankan protokol kemoterapi kembali dari tanggal 14
September 2021 dan sampai sekarang masih menjalani kemoterapinya.
SUBJECTIVE
Anamnesis / Keluhan :
Sakit kepala dibagian dahi hingga sekitar mata
Sakit kepala setelah bangun tidur
Sakit kepala yang diderita oleh pasien terjadi sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Skala nyeri 8
Perkembangan Kondisi Pasien selama Rawat Inap
No Tanggal Kondisi
1. 13/10/2021 Sakit kepala dibagian dahi hingga sekitar mata
Sakit kepala setelah bangun tidur
Sakit kepala yang diderita oleh pasien terjadi sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Pasien sedang menstruasi
Skala nyeri 8
2. 14/10/2021 Wajah pucat
3. 15/10/2021 Wajah pucat dan nyeri punggung
4. 16/10/2021 Sakit kepala
5. 17/10/2021 Pusing, sakit kepala, batuk berdahak dan mual muntah
6. 18/10/2021 Nyeri kepala, mual muntah dan batuk
7. 19/10/2021 Mual muntah, sakit kepala berkurang dan batuk berdahak
8. 20/10/2021 Sakit kepala berkurang dan batuk
9. 21/10/2021 Nyeri kepala
10. 22/10/2021 Nyeri kepala dan wajah pucat
OBJECTIVE
1. Pemeriksaan Tanda Vital Pasien
Tanda-tanda Vital Tanggal
Pemeri Nilai 13/10/ 14/10/ 15/10/ 16/10/ 17/10/ 18/10/ 19/10/ 20/10/ 21/10/ 22/10/
Satuan
ksaan Rujukan 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21
TD Mm Hg <120/80 90/60 - - - 120/80 - - - - -
Nadi x/menit 60-100 93 100 102 104 108 102 104 100 88 100
Temper
C 36.5-37.5 36,9 36,7 36,5 36,5 36,5 36,5 36,8 36,5 36,7 36,0
atur
Pernafa
san x/menit 14-20 22 - 24 22 24 21 22 30 20 20
(RR)
SPO2 % - 98 98 - 97 99 - - - -
2. Monitoring Data Laboratorium Pasien
HASIL
PEMERIKSAAN NILAI RUJUKAN SATUAN
13/10/2021 17/10/2021 20/10/2021
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.0 – 16.0 g/dl 9.5 10.2 11.4
Leukosit 4.0 – 10.5 ribu/ul 11.1 7.1 2.0
Eritrosit 4.00 – 5.30 juta/ul 3.08 3.36 3.77
Hematokrit 37.0 – 47.0 % 29.5 31.8 35.1
Trombosit 150 – 450 ribu/ul 234 210 241
RDW-CV 12.1 – 14.0 % 19.7 18.6 18.6
MCV,MCH,MCHC
MCV 75.0 – 96.0 fl 95.8 94.6 93.1
MCH 28.0 – 32.0 Pg 30.8 30.4 30.2
MCHC 33.0 – 37.0 % 32.2 32.1 32.5
HITUNG JENIS
Basofil% 0.0 – 1.0 % 0.2 0.1 1.0
Eosinofil% 1.0 – 3.0 % 0.2 0.0 1.5
Neutrofil% 50.0 – 81.0 % 80.4 85.8 61.7
Limfosit% 20.0 – 40.0 % 10.1 9.0 31.3
Monosit% 2.0 – 8.0 % 9.1 5.1 4.5
Basofil# <1.00 ribu/ul 0.02 0.01 0.02
Eosinofil# <3.00 ribu/ul 0.02 0.00 0.03
Neutrofil# 2.50 – 7.00 ribu/ul 8.94 6.10 1.22
Limfosit# 1.25 – 4.00 ribu/ul 1.12 0.64 0.62
Monosit# 0.30 – 1.00 ribu/ul 1.01 0.36 0.09
KIMIA
FAAL LEMAK DAN JANTUNG
LDH <480.00 U/L 445 550 157
HATI DAN PANKREAS
SGOT 5 – 34 U/L 179 166 216
SGPT 0 – 55 U/L 373 222 351
GINJAL
Ureum 0 – 50 mg/dl 17 17
Kreatinin 0.57 – 1.11 mg/dl 0.59 0.61
Asam urat 2.6-6.0 mg/dl
ELEKTROLIT
Kalsium 8.4 – 10.0 mg/dl 8.6
Natrium 136 – 145 Meq/L 133 130
Kalium 3.5 – 5.1 Meq/L 3.5 3.1
Chlorida 98 – 107 Meq/L 104 101
HASIL
PEMERIKSAAN NILAI RUJUKAN SATUAN
14/10/2021
KIMIA
ELEKTROLIT 3. Hasil Pemeriksaan
Natrium 136 – 145 Meq/L 140 Sumsum Tulang (8
Agustus 2021)
Kalium 3.5 – 5.1 Meq/L 2.6 Sumsum tulang
Chlorida 98 – 107 Meq/L 112 nampak hiperseluler.
CAIRAN TUBUH Aktifitas ketiga system
ANALISA CAIRAN OTAK hematopoiesis menurun
MAKROSKOPIS dengan rasio M:E nya
Warna Tidak berwarna Tidak Berwarna 1:1. Didapatkan
Kejernihan Jernih Jernih peningkatan sel blas
Bau - Tidak Berbau dengan morfologi kecil-
Bekuan Tidak ada bekuan - Tidak ada Bekuan kecil, monoton,
MIKROSKOPIS sitoplasma sedikit,
Jumlah Sel Leukosit Dewasa : < 5 /ul 50 warna biru necleotil 1-3
Anak 5-18 tahun : <10 buah, kromatin kasar,
Anal 1 – 4 tahun : <20 smudge cell (+),
Bayi <1 tahun : <30 mengesankan limfoblast
HITUNG JENIS LEUKOSIT type L1 (94% lebih dari
Sel Polimorfonuklear % 30 30%) di dalam sumsum
Sel Mononuklear % 70 tulang.
Jumlah Sel Polimorfunuklear /ul 15 Kesimpulan:
Jumlah Sel Mononuklear /ul 35
KIMIA
Total Protein Cairan Otak 15 – 45 mg/dl 33
Glukosa Cairan Otak 50-80 mg/dl 60
Gambaran sumsum tulanh seperti ini mengesankan suatu Acute Lymphoblastic Leukimia type L1 (ALL-L1)-Relaps
KONSOLIDASI
OBAT (Minggu) Dosis
8 9 10 11 12
Mtx + Methotrexate
Dexamethasone : it intartekal = 15 mg
Dexamethasone
intratekal = 1 mg
Methotrexate : 1000 High-Dose MTX
mg/m2 1000 mg/m2 (1000
mg x 1,2 m2 1.200
mg dalam dosis
terbagi 4 yaitu 300
mg tiap 6 jam
pemberian).
Cyclophospamide : Cyclophosphamide
1000 mg/m2 1000 mg/m2 (1000
mg x 1,2 m2 = 1.200
mg.
6-MP: 50 mg/m2 po Mercaptopurine 50
mg x 1.2 m2 = 60 mg
= 62.5 mg 1 ¼ tablet
per hari
Blass CSS
Tgl terapi 14/10/2021 21/10/2021
BB 34
TB 148
LPB 1,2
TERAPI SELAMA RAWAT INAP
Monitoring efektivitas :
Monitoring efektivitas :
Monitoring efektivitas:
Monitoring efektivitas:
Monitoring efektivitas dengan mengamati
mual muntah.
18/10/2021 Mual Muntah Inj. Omeprazol 40mg Tidak ada DRP Terapi dilanjutkan. penambahan omeprazole
sd (1 x 1) ke ondansetron dalam pengelolaan mual dan
22/10/2021 muntah akibat kemoterapi lebih efektif
daripada (atau lebih unggul) dari ondansetron
saja. Kemoterapi menyebabkan gejala mual
dan muntah yang berhubungan dengan
sindrom dyspepsia. Distensi yang terjadi di
lambung merangsang reseptor tegang yang
akhirnya merangsang sekresi asam lambung
oleh sel parietal. Omeprazol merupakan
golongan obat PPI. Golongan obat PPI
digunakan untuk penekanan sekresi asam
lambung. mengurangi frekuensi asam
lambung dan simptom GI yang disebabkan
kemoterapi. Kemoterapi juga mengakibatkan
kerusakan pada mukus gastrointestinal,
peningkatan sekresi hormon gastrin dan
menghambat prostaglandin, pengosongan
lambung yang tertunda menyebabkan
distensi lambung,dan stres (psikologis), yang
pada akhirnya menyebabkan peningkatan
asam lambung (Simbolon et al., 2018).
Dosis Omeprazol : 1mg/kg/day (Simbolon et
al., 2018).
Monitoring efektivitas:
Monitoring efektivitas dengan mengamati
mual muntah.
14/10/2021 Sakit kepala (PCT 350 mg + CPZ Terdapat interaksi Pasien kanker dengan skala nyeri moderate
sd 10mg + Codein 10mg) obat (skala nyeri 4-7) hingga severe (skala nyeri ≥
22/10/2021 (3 x 1 bungkus tiap 8 (CPZ dan Codein) 8), disarankan untuk menggunakan opioid
jam sesudah makan) ditambah dengan non opioid (analgesic
ringan seperti PCT atau NSAID) serta
adjuvant (NCCN, 2019).
Pemberian terapi Cancer Pain dapat
dilanjutkan dengan pemberian Parasetamol
sebagai analgesik non opioid yang memiliki
mekanisme aksi perifer. Dosis paracetamol
500 – 1000mg tiap 4-6 jam. Monitoring efek
samping yaitu toksisitas hati dan ginjal
(WHO, 1986 ; WHO 1996).
Pemberian terapi Codein yang merupakan
golongan opioid. Dosis oral 30-60 mg kodein
dengan kombinasi 300 mg parasetamol setiap
4-6 jam (MD Anderson, 2020). Monitoring
efek samping : Sembelit adalah efek samping
utama dan dapat dicegah dengan penggunaan
pencahar (misalnya, senna). Mual dan
muntah juga mungkin terjadi (WHO, 1986).
Pemberian CPZ sebagai adjuvant yang
memiliki efek sebagai anti emetic, anticemas
dan muscle relaxant. CPZ bukan analgesik
dan tidak memberikan tambahan analgesik
bila dikombinasikan dengan obat opioid.
CPZ memiliki efek anti cemas dan mungkin
berguna dalam mengurangi kecemasan yang
dapat memperburuk rasa sakit (WHO, 1986).
Monitoring efek samping : Hipotensi,
penglihatan kabur, kering mulut, takikardia,
retensi urin, konstipasi, dan efek piramidal
ekstr. Dosis CPZ : 10-25 tiap 4-8 jam (WHO,
1986).
(NCCN, 2021)
a. Methotrexate 15 mg + Dexamethasone 1 mg Intratekal
Metotrexat (MTX) merupakan antimetabolite yang paling umum digunakan
dalam pengobatan Acute Lymphoblastic Leukimia (ALL) efektivitasnya tergantung
pada kecepatan siklus sel. Mekanisme kerja dari Metotrexat adalah penghambatan
DNA dengan memiliki sitokin terbesar atau efek toksik selama fase S dari siklus sel.
Metotreksat merupakan antifolat antimetabolite yang menghambat dihidrofolate
reduktase (DHFR) menyebabkan reduksi folat yang merupakan kofaktor yang terlibat
dalam sintetis timidat dan purin. Selain itu poliglutamasi MTX dalam limfoblas
kemungkinan mengarah pada penghambatan langsung enzim yang berkaitan dengan
folat yang bertanggung jawab dalam sintetis purin dan timidat. Sehingga dapat
terjadinya penghambatan sintetis DNA dan sel yang bereplikasi mengarah ke
apoptosis. Sitotoksisitas disebabkan karena durasi dari paparan obat. Efektivitas
metotrexat berhubungan dengan waktu penggandaan yang cepat dari pertumbuhan sel
limfoblas yang memasuki fase S dari sintetis DNA. (Adult Acute Lymphpoblastic
Leukimia, 2011).
Ketika diberikan dengan rejimen dosis tinggi, selama 12-24 jam pertama, waktu
paruhnya adalah 2-3 jam yang sebagian besar ditentukan oleh kecepatan eksresi
ginjal. Dengan demikian, pasien dengan gangguan ginjal tidak dapat menerima MTX
karena eliminasi berkepanjangan dan dapat menyebabkan toksisitas hematologi dan
gastrointestinal. Setelah 24 jam waktu paruh memanjangn menjadi 8-10 jam karena
cairan bertindak sebagai reservoir MTX. Sehingga dihindari penggunaannya pada
pasien efusi pleura, asites, atau edema perifer. MTX dimetabolisme dihati tetapi
tampaknya berkontribusi minimal terhadap farmakokinetik dalam keadaan normal.
Sehingga, penyesuaian dosis untuk disfungsi hati tidak diperlukan. (Adult Acute
Lymphpoblastic Leukimia, 2011).
Farmakokinetik metotreksat (MTX) berbeda untuk administrasi Intratekal dan
administrasi sistemik. Eiminasi MTX dari CSF (Cerebrospinal Fluid) tergantung
terutama pada aliran CSF (karena tidak ada transportasi aktif dari CSF ke darah, dan
MTX tidak dimetabolisme di CSF); ia memiliki waktu paruh eliminasi awal (t½) 4,5
jam, dan t akhir 14 jam, dan dikurangi menjadi konsentrasi sub-terapeutik 4 hari
administrasi Intratekal.
Meskipun Intratekal MTX banyak digunakan, dosis optimalnya belum ditetapkan
dengan jelas; tetapi telah ditunjukkan bahwa perhitungan dosis berdasarkan berat
badan atau permukaan tubuh tidak memadai. Bleyer and kol membuktikan bahwa
pemberian dosis Intratekal MTX berdasarkan permukaan tubuh meningkatkan
neurotoksisitas pada pasien remaja dan dewasa, karena konsentrasi MTX yang sangat
tinggi tercapai di CSF. alasan untuk ini, seperti yang telah kami sebutkan, adalah
bahwa ada peningkatan cepat dalam volume CSF selama tahun-tahun pertama
kehidupan, dan volume pada anak-anak berusia 3 tahun setara dengan volume pada
orang dewasa. Oleh karena itu, ditentukan dengan jelas bahwa perhitungan dosis
MTX harus dilakukan sesuai dengan usia, tetapi dosis IT MTX dalam penelitian yang
berbeda umumnya berkisar antara 10 hingga 15 mg dan lebih rendah pada pasien
berusia < 2 tahun.
Pemberian intratekal metotreksat dapat menyebabkan neurotoksisitas akut,
subakut atau jangka panjang. Efek samping yang paling sering adalah sakit kepala,
mual, muntah dan kekakuan pada leher. Pemberian kortikosteroid digunakan untuk
mengobati semua peran integral dalam pengobatan ALL. Penggunaan kortikosteroid
(Deksametason 1 mg intratekal) secara bersamaan dapat mengurangi resiko
perkembangannya). Selain itu dapat meningkatlan efektivitas terapi intratekal dan
mengurangi kejadian iritasi meningeal. Akan tetapi penggunaan kortikosteroid
dengan kemoterapi secara intratekal bervariasi antara kortikosteroid yang digunakan
dan dosis sesuai dengan protokol dari kelompok studi yang berbeda (Practical
aspects of the use of intrathecal chemotherapy, 2016).
Monitoring efektivitas:
Plan
Terapi dapat dilanjutkan karena berdasarkan protokol Nasional Kemoterapi
Limfoblastik Akut 2018 pada pasien denga Resiko Tinggi SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Ulin Banjarmasin pemberian methotrexate bersamaan dengan dexamethasone
secara intratechal diberikan pada fase konsolidasi dapat diberikan pada minggu ke-8,
10, dan 12. Pemberian methotrexate 15 mg dan dexamethasone 1 mg secara intratekal
dapat diberikan pada leukosit pasien > 100.000 dan usia pasien > 10 tahun maka
dosis yang diberikan sudah sesuai yaitu 15 mg methotrexate dan dexamethasone 1
mg secara intrathecal (Protokol ALL, 2018).
Dosis baku :
Pelarut :
Stabilitas : 24 jam suhu kamar 20-25C
Sumber:
Monitoring efektifitas:
Sebelum melakukan HD-MTX pastikan creatinine clearance dalam batas normal
sesuai usia dan kadar SGOT/SGPT tidak lebih dari > 5 kali batas normal. Selain itu untuk
memulai terapi dengan HD-MTX disarankan kadar Neutrofil > 0.2x109 /L dan Platelet > 50
x109 /L. Hari 15 (setiap sebelum pemberian kemoterapi dosis tinggi) disarankan kadar
Neutrofil ≥ 1 x109 /L dan Platelet ≥ 80 x109 /L (Protokol ALL, 2018).
Plan
Terapi dapat dilanjutkan karena berdasarkan protokol Nasional Kemoterapi
Limfoblastik Akut 2018 pada pasien denga Resiko Tinggi SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Ulin Banjarmasin pasien mendapatkan High-Dose MTX 1000 mg/m2 (1000 mg x
1,2 m2 1.200 mg dalam dosis terbagi 4 yaitu 300 mg tiap 6 jam pemberian). Penggunaan
Leucovurin (Calcium Folinate) 10 mg/m2 (10 x 1,2 m2 = 12 mg) diberikan 24 jam setelah
selesai pemberian MTX drip/dosis. Diberikan setiap 6 jam sebanyak 5 dosis (Protokol
ALL, 2018).
Sumber:
c. Mercaptipurine (6-MP)
Merkaptopurin merupakan antineoplastik yang bekerja spesifik terhadap siklus sel
dengan aktivitas utama pada fase S. Merkaptopurin merupakan parent drug yang
tidak aktif sehingga perlu aktivasi dengan fosforilasi intraselular oleh hypoxanthine-
guanine phosphoribosyltransferase (HGPRT) menjadi bentuk monofosfat kemudian
dimetabolisme menjadi bentuk trifosfat. Merkaptopurin bekerja menghambat sintesis
purin de novo dengan menghambat 5-fosforibosil-1 pirofosfat (PRPP)
amidotransferase. Bergabungnya nukleotida metabolit trifosfat mercaptopurin ke
rantai DNA menyebabkan terhambatnya sintesis dan fungsi DNA. Sedangkan
bergabungnya metabolit trifosfat ke dalam RNA akan mengubah pemrosesan RNA
dan/atau translasi mRNA (Protokol ALL, 2018).
Monitoring efektivitas:
Monitoring efek samping:
Monitoring terjadinya efek samping berupa mylosupresi kekurangan TMPT
karena metabolisme 6-MP terjadi di hepar dengan metilasi oleh thiopurine
methyltransferase (TPMT) menjadi metabolit inaktif yakni 6-metil thiopurin.
Aktivitas TPMT sangat bervariasi antarindividu karena adanya polimorfisme pada
gen TPMT. Pasien dengan aktivitas enzim TPMPT yang rendah hingga tidak
terdeteksi dapat mengalami akumulasi nukleotida tioguanin sehingga meningkatkan
toksisitas. Selain metilasi, 6-MP juga mengalami oksidasi oleh xanthine oxidase
menjadi metabolit inaktif asam 6-thiourat. dapat meningkatkan mylosupresi,
mucositis, hepatotoksisitas akibat peningkatan serum bilirubin dan transaminase
dengan klinis icterus, mual muntah, kulit kering, imunosupresi sehingga terjadi
peningkatan resiko infeksi bakteri, jamur dan parasite (Protokol ALL, 2018).
Sumber :
Protokol ALL 2018.pdf
d. Cyclophosphamide 1000 mg/m2
Siklofosfamid memiliki aktifitas imunosupresi yang kuat. Perlu diaktivasi oleh
sitokrom p450 hepar menjadi metabolit mustar fosforamid dan acrolein yang
memiliki sifat sitotoksik. Metabolit siklofosfamid tersebut akan membentuk ikatan
silang (cross–link) dengan DNA sehingga dapat meghambat sintesis dan fungsi DNA.
Merupakan agen non–spesifik terhadap siklus sel dan aktif di semua fase siklus sel.
(Protokol ALL, 2018). Eliminasi terutama melalui urin menjafi produk oksidasi tidak
aktif. Pengurangan dosis pada pasien gagal ginjal telah disarankan berdasarkan
ekskresi metabolit yang berkepanjangan (Adult Acute Lymphpoblastic Leukimia,
2011).
Tindakan profilaksis termasuk mendorong pasien untuk minum banyak cairan
selama terapi. Pasien harus terhidrasi dengan baik sebelum maupun selama – jam
setelah pengobatan. Penggunaan siklofosfamid dengan IV dosis besar biasaya hidrasi
dianjurkan. Diuretik dapat diindikasikan apabila produksi urin menurun hingga <100
ml/m2. Penggunaan MESNA dan hiperhidrasi sama-sama efektif dalam mencegah
sistitis yang diinduiksi oleh siklofosfamid. (BC Cancer Agency Cancer Drug Manual
Cyclophosphamide, 2013).
Monitoring efektivitas :
Monitoring efek samping :
Monitoring efek samping terkait mylosupresi, leukopenia paling sering terjadi
pada 7-14 hari penggunaan, dan trombositopenia dapat terjadi dengan terapi dosis
tinggi, mual muntah, alopecia (2-3 minggu setelah memulai terapi ditandai dengan
kulit dan kuku hiperpegmentasi), toksisitas ginjal dan kandung kemih. Pemberian
dosis tinggi menunjukkan penundaan ekskresi yang berkepanjangan sehingga
membutuhkan 2-mercaptopiurine sulfonat (MESNA) untuk mencegah sistitis (Adult
Acute Lymphpoblastic Leukimia, 2011).
Plan :
Terapi dapat dilanjutkan karena berdasarkan protokol Nasional Kemoterapi
Limfoblastik Akut 2018 pada pasien denga Resiko Tinggi SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Ulin Banjarmasin pasien mendapatkan Cyclophosphamide 1000 mg/m 2 (1000
mg x 1,2 m2 = 1.200 mg. Bolus: siklofosfamid dosis <1000 mg bisa diberikan secara
bolus lambat selama 15–20 menit dengan infusion pump. Drip: umumnya diberikan
drip selama 1–2 jam dengan pelarut NS atau D5W ad 200 ml. Dosis <1000 mg bisa
diberikan drip selama 30 menit. Konsentrasi larutan obat 20–25 mg/ml. Penggunaan
MESNA 250 mg intavena tiap 6 jam pemberian. Pemberian cyclophosphamide dan
MESNA diberikan pada fase konsolidasi dapat diberikan pada minggu ke-9 dan 11
(Protokol ALL, 2018).
Dosis baku :
Pelarut : Aquadest
Stabilitas : 7 hari lemari es 2-8C dan 26 jam suhu kamar 20-25C
Sumber:
Cyclophosphamide_monograph_1June2013_formatted.pdf
e. Hidrasi
Pemberian hiperhidrasi pada kemoterapi awal seperti kondisi ALL dapat
mengakibatkan lisis sel dengan cepat bahkan sebelum kemoterapi lisis tumor spontan
dapat mengakibatkan permasalahan. Pemberian hiperhidrasi pada sebelum pengunaan
MTX melalui intravena menggunakan larutan D5 ½ NS pemberian (3 liter/hari
maksimal 5 liter/hari) untuk mencapai diuresis adekuat dan juga mencegah presipitasi
dalam ginjal. Pemberian hidrasi pra-MTX cairan D5 ¼ NS atau D5 ½ NS (sesuai
umur) 2000 ml/m2/hari + Bicnat 25 mEq/500 ml selama 12 jam. Hidrasi pasca-MTX
diberikan selama 24 jam kecuali dalam kondisi tertentu dapat diperpanjang (Protokol,
2018).
Pada kondisi ALL pasien memiliki sejumlah besar leukimia didalam tubuh.
Ketika pengobatan kemoterapi yang membunuh sel-sel leukimia, maka kemoterapi
akan membukan dan melepaskan isinya kedalam aliran darah. Hal tersebut dapat
menumpuk didalam ginjal apabila zat-zat tersebut tidak dieksresikan. Hal ini dapat
dicegah dengan pemberian hidrasi eksra (hiperhidrasi) selama pengobatan. (American
Cancer Society, 2021).
2. Mual muntah
a. Inj Ondansetron
Terapi dilanjutkan, obat kemoterapi yang diberikan pada pasien dalam kasus ini
masuk dalam kategori “moderate emetogenic”. Antiemesis untuk obat kemo dengan
kategori menengah ematogenik untuk anak adalah granisetron (2 mg atau 1 mg oral
atau 0,01 mg/kg IV), ondansetron (8 mg 2x1 atau 0,15 mg/kg IV) atau palonosetron
(0,5 mg oral atau 0,25 mg IV) + dexamethasone (8 mg oral/IV) (COG, 2021; Hasketh
et al., 2020; NCCN, 2017).
Ondansetron termasuk kelompok obat antagonis serotonin 5-HT 3 yang bekerja
dengan menghambat secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine berikatan pada
reseptornya yang ada di chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan di saluran cerna.
Ondansetron selektif dan kompetitif untuk mencegah mual dan muntah setelah
kemoterapi. Obat ini memblokir reseptor serotonin di chemoreceptor trigger zone
(CTZ) sehingga menekan stimulasi saraf vagus dari pusat muntah di medula
oblongata (Chen et al., 2011).
Monitoring efek samping :
Monitoring efektivitas : Monitoring efektivitas dengan mengamati mual muntah.
b. Inj Omeprazole
Hiperasiditas merupakan gangguan asam lambung dimana konsentrasi asam
lambung di dalam saluran cerna tinggi yang menyebabkan mual, rasa pahit dan nyeri
lambung. Bila sesudah muntah keluhan masih ada, berikan Proton Pump Inhibitor
seperti omeprazole 20 mg (Prtokol ALL, 2018). Pompa Proton Inhibitor (PPI)
biasanya dipakai sebagai terapi gastritis, sindrom Zolinger-Ellison dan hiperasiditas
gaster sekunder terhadap tumor sel mast. PPI mengurangi sekresi asam dengan jalan
menghambat enzim H+/K+-ATPase secara selektif dalam sel parietal. Kerjanya
panjang akibat akumulasi di sel-sel parietal. PPI diungkapkan tidak hanya dapat
menghambat enzim H+/K+-ATPase dalam sel parietal lambung, tetapi juga vakuolar
H+-ATPase (V-ATPase) diekspresikan secara berlebihan dalam sel tumor (Ikemura et
al., 2017).
Penambahan omeprazole ke ondansetron dalam pengelolaan mual dan muntah
akibat kemoterapi lebih efektif daripada (atau lebih unggul) dari ondansetron saja.
Kemoterapi menyebabkan gejala mual dan muntah yang berhubungan dengan
sindrom dyspepsia. Distensi yang terjadi di lambung merangsang reseptor tegang
yang akhirnya merangsang sekresi asam lambung oleh sel parietal. Omeprazol
merupakan golongan obat PPI. Golongan obat PPI digunakan untuk penekanan
sekresi asam lambung. mengurangi frekuensi asam lambung dan simptom GI yang
disebabkan kemoterapi. Kemoterapi juga mengakibatkan kerusakan pada mukus
gastrointestinal, peningkatan sekresi hormon gastrin dan menghambat prostaglandin,
pengosongan lambung yang tertunda menyebabkan distensi lambung,dan stres
(psikologis), yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan asam lambung
(Simbolon et al., 2018).
Saluran pencernaan terlibat dalam mekanisme CINV melalui impuls yang dibawa
ke pusat muntah perifer melalui saraf vagus dan simpatis. Sistem ini berkontribusi
terhadap sensasi otonom seperti distensi lambung, asam lambung, kecemasan,
depresi, dan nyeri. Peningkatan aktivitas otonom melawan stres memicu peningkatan
asam lambung, di mana saraf vagus merangsang sel parietal secara langsung atau
melalui efek antral gastrin dengan melepaskan peptida pelepas lambung (GRP),
asetilkolin yang terikat pada reseptor muskarinik M3, dan histamin. Pelepasan
serotonin dari sel enterokromafin akibat kemoterapi menyebabkan stimulasi pusat
muntah perifer dan dismotilitas otot lambung. Peningkatan sekresi asam lambung
secara langsung merangsang pusat muntah (Simbolon et al., 2018).
Selama kemoterapi, cedera sel di saluran pencerna n menyebabkan pelepasan
beberapa faktor inflamasi termasuk siklooksigenase-2 (COX-2), interleukin-6 (IL-6),
dan faktor nuklir kappa-B (NF-kB).2Hasil akhir dari jalur ini adalah kerusakan
jaringan dan potensi mukositis yang berlanjut di sepanjang saluran cerna. Peradangan
dan cedera sel dianggap sangat terlibat dalam CINV tertunda (Simbolon et al., 2018).
Dosis Omeprazol : 1mg/kg/day (Simbolon et al., 2018)
Monitoring efektivitas: Monitoring efektivitas dengan mengamati mual muntah.
3. Cancer pain/ Nyeri
Terapi dilanjutkan. Pasien kanker dengan skala nyeri moderate (skala nyeri 4-7)
hingga severe (skala nyeri ≥ 8), disarankan untuk menggunakan opioid seperti morpin
(IR 5-7,5 mg), oxycodone IR 5 mg, Hydrocodone 5 mg (+ PCT), hydromorphone 2 mg
PO ditambah dengan analgesic ringan seperti PCT dan NSAID serta adjuvant (NCCN,
2019). Pasien skala nyeri ≥ 8 disarankan untuk menambah adjuvant-spesifik terhadap
lokasi nyeri yang dirasakan. Pasien nyeri di lokasi saraf disarankan untuk menggunakan
adjuvant berupa antidepresan atau antikonvulsan. Antidepresan yang digunakan
umumnya TCA atau duloxetin atau venlafaxine. Antikonvulsan yang disarankan
umumnya gabapentin atau pregabalin (NCCN, 2019). Pada kasus ini pemberian terapi
cancer pain yaitu non opioid (paracetamol), opioid ringan hingga sedang (codein),
adjuvant (cholpromazine).
Parasetamol adalah analgesik non opioid yang umum tersedia untuk pengelolaan
ringan sampai nyeri sedang. Senyawa ini m emiliki mekanisme aksi perifer. Analgesik
non-opioid mungkin juga efektif dalam mengurangi nyeri yang disebabkan oleh distensi
mekanik periosteum, kompresi mekanis tendon, otot, atau subkutan jaringan dan
kompresi mekanis pleura atau peritoneum. Dosis paracetamol 500 – 1000mg tiap 4-6
jam. Monitoring efek samping yaitu toksisitas hati untuk pasien dengan kerusakan hati.
Maximal pemberian dosis tidak melebihi 6 g (WHO, 1996).
Codein merupakan golongan opioid. Codein merupakan adalah prodrug. Ini
dimetabolisme menjadi morfin di hati. Efek analgesik morfin disebabkan oleh aksinya
pada reseptor opioid. Morfin dimetabolisme di hati dan otak, metabolit yang dominan
adalah morfin-3-glukuronida dan morfin-6-glukuronida. Total produksi morfin-3-
glukuronida kira-kira 5 kali lebih tinggi daripada morfin-6-glukuronida (Straube et al.,
2018). Dosis oral 30-60 mg kodein dengan 300 mg parasetamol setiap 4-6 jam (MD
Aderneson, 2020). Monitoring efek samping : Sembelit adalah efek samping utama dan
dapat dicegah dengan penggunaan pencahar (misalnya, senna). Mual dan muntah juga
mungkin terjadi (WHO, 1986).
Penggunaan CPZ sebagai adjuvant memiliki efek sebagai anti emetic, anticemas
dan muscle relaxant yang dapat meredakan nyeri dan kaku otot akibat kejang otot atau
spastik otot. CPZ bukan analgesik dan tidak memberikan tambahan analgesik bila
dikombinasikan dengan obat opioid. CPZ memiliki efek anti ce mas dan mungkin
berguna dalam mengurangi kecemasan yang dapat memperburuk rasa sakit.
Monitoring efek samping : Hipotensi, penglihatan kabur, kering mulut, takikardia, retensi
urin, konstipasi, dan efek piramidal ekstra (WHO, 1986).
Interaksi CPZ dan Codein yaitu akan menurunkan tingkat atau efek kodein dengan
mempengaruhi metabolisme enzim hepatis CYP2D6 (Medscape) dan dapat
memperparah kondisi konstipasi (drug.com)
Monitoring efek samping CPZ dan Codein : : Monitoring efek samping terkait
dengan tanda-tanda konstipasi pada pasien. Apabila terjadi konstipasi pada pasien
maka dapat dilakukan pemberian terapi non farmakologi seperti memperbanyak
konsumsi buah buah dan sayur sayuran juga cukup air putih.
Monitoring efektivitas : Monitoring gejala klinis pasa pasien seperti nyeri yang
berkurang
Terapi sudah sesuai dan dapat dilanjutkan. Agen mukoaktif adalah kelas agen kimia yang
membantu pembersihan lendir dari saluran udara atas dan bawah, termasuk paru-paru,
bronkus, dan trakea. Mukoaktif agen telah menjadi obat pilihan untuk pengobatan
penyakit pernapasan dimana hipersekresi mukus merupakan komplikasi klinis. Tujuan
utama obat mukoaktif adalah untuk meningkatkan kemampuan untuk mengeluarkan
dahak dan/atau menurunkan hipersekresi mukus. Obat mukoaktif termasuk ekspektoran,
mukoregulator, mukolitik dan mukokinetik (Balsamo et al., 2010).
Pemberian ambroxol dan salbutamol merupakan pengobatan mukokinetik.
Tujuan utama obat mukokinetik adalah untuk meningkatkan kemampuan mengeluarkan
dahak dan/atau menurunkan hipersekresi mukus. Mayoritas agen mukokinetik (kadang-
kadang disebut sebagai promotor pembersihan batuk) meningkatkan pembersihan
mukosiliar dengan bekerja pada silia (Balsamo et al., 2010).
a. Salbutamol 2mg
Penggunaan agonis b2-adrenergik (SABA) untuk meningkatkan pembersihan
mukosiliar dan agonis b2-adrenergik dapat meningkatkan pembersihan mukosiliar
pada pasien dengan reversibilitas jalan napas (Balsamo et al., 2010). Dosis :
b. Ambroxol 15mg
Ambroxol dianggap merangsang surfaktan (kelengketan dahak/lendir) dan lender
sekresi, namun memperbaiki normalisasi viskositas pada lendir kental yang disekresi.
Manfaat umum menggunakan ambroxol untuk berbagai parameter, termasuk aktivitas
sekretolitik (mempromosikan pembersihan lendir), anti-inflamasi dan antioksidan
aktivitas dan memberikan efek anestesi lokal (Balsamo et al., 2010). Dosis :
Monitoring efektivitas : Adanya perbaikan gejala batuk setelah pemberian terapi
Monitoring efek samping yang mungkin terjadi seperti mual muntah dan gangguan
pada gastrointestinal
5. UDCA 350 mg
Asam ursodeoksikolat dilaporkan memberikan manfaat yang potensial pada
kolestasis yang disebabkan sepsis. Peran UDCA pada kolestasis akibat sepsis masih
belum banyak dilakukan penelitian. Asam ursodeoksikolik atau ursodeoxycholic acid
(UDCA) adalah asam empedu dihidroksi hidrofilik, yang dilaporkan berguna untuk
meningkatkan aliran empedu. Asam urdodeoksikolik bisa menurunkan bilirubin serum,
alanin aminotransferase (ALT/SGPT), aspartate aminotransferase (AST/SGOT), alkalin
phosphatase, dan gamma glutamil transpeptidase (GGT). Selain meningkatkan aliran
empedu, UDCA juga mampu mencegah apoptosis hepatosit, merubah komponen asam
empedu, dan mempunyai efek imunomodulator. Dosis 30mg/kg/day (Rina et al., 2014).
Monitoring efektivitas :
Melakukan pemantauan fungsi hati adanya perbaikan hasil data laboratorium
berupa (SGPT/SGOT) apabila hasil tidak menunjukkan perbaikan disarankan
untuk pemeriksaan lebih lanjut terkait data laboratorium berupa bilirubin, dan
alkaline phosphatase.
Monitoring efek samping yang mungkin terjadi Diare (BNF 73, 2017).
Plan disarankan melakukan pemeriksaan terkait bilirubin jika hasil SGOT/SGPT
tidak ada perubahan
Hesketh, Paul J., Mark G. Kris, Ethan Basch, Kari Bohlke, Sally Y. Barbour, Rebecca Anne
Clark-Snow, Michael A. Danso et al. "Antiemetics: ASCO guideline update."
Journal of Clinical Oncology 38, no. 24 (2020): 2782-2797.
Hoelzer, D., Bassan, R., Dombret, H., Fielding, A., Ribera, J. M., & Buske, C. (2016). Acute
lymphoblastic leukaemia in adult patients: ESMO Clinical Practice Guidelines for
diagnosis, treatment and follow-up. Annals of Oncology, 27, v69-v82.
Inaba, H., Greaves, M., & Mullighan, C. G. (2013). Acute lymphoblastic leukaemia. The Lancet,
381(9881), 1943-1955.
Kaczmarski, R., Mark., M., & O’Connor, D. (2021). Relapse in Acute Lymphoblastic Leukaemia
(ALL). Leukaemiacare.org.uk., United Kingdom (UK).
NCCN. (2019). Adult Cancer Pain, Version 3.2019. National Comprehensive Cancer Network.
NCCN. (2021). Acute Lymphoblastic Leukemia NCCN guidelines for patient. National
Comprehensive Cancer Network.