Anda di halaman 1dari 18

Pengkajian Spiritual, Kultural Pada Pasien

Dengan HIV AIDS Dan Long Term Care

Makalah

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata

Kuliah Keperawatan HIV AIDS

KELOMPOK VIII (Delapan)

Dhika Pramestika
Hanna Hervia Beauty Jannah
Novi Tri Hanggarini

UNIVERSITAS MH. THAMRIN

JAKARTA

1
2020
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah puja dan puji kepada Allah Swt. Pujian apapun yang datang kepada
kita, pasti penyebabnya karena Allah Swt menitipkan sesuatu kepada diri kita. Sehingga kita
tidak layak bersikap takabur terhadap pujian, melainkan menjadi bersyukur. Shalawat dan
salam tidak lupa saya haturkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah menghidupkan akal
manusia dengan pengetahuan, serta dialah yang membawa kita dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Andreas yang telah membimbing kami dalam
mata kuliah Keperawatan HIV AIDS sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang
berjudul Pengkajian Spiritual, Kultural Pada Pasien Dengan HIV AIDS Dan Long Term Care.
Kami takkan mampu berdiri raih semua mimpi tanpa keluarga kami, dan terimakash atas
dukungan teman-teman yang tidak pernah dan takkan pernah bosan menemani kami.
Demi kesempuraan makalah ini, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca karena
kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi para pembaca.

Bogor, April 2020


Penyusun

2
Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang................................................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................5
I.3.Tujuan.............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Aspek spiritual pada penderita HIV/AIDS.....................................................................6
II.2 Aspek kultural pada penderita HIV/AIDS.....................................................................11
II.3 Long term care bagi penderita HIV/AIDS.....................................................................13
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Kesimpulan..................................................................................................................17
III.2.Saran............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


HIV1/AIDS2 adalah penyakit (medical illiness) yang memerlukan pendekatan dari
segi bio-psiko-sosio-spiritual, dan bukan dari segi klinis semata. Penderita AIDS akan
mengalami krisis afektif pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan
pada masyarakat. Krisis tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan, serba
ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap penderita AIDS seringkali
bersifat deskriptif, dan resiko bunuh diri pada penderita cukup tinggi. Bahkan sering kali
mereka meminta tindakan euthanasia.
Dalam menangani kasus AIDS ini diperlukan pendekatan biopsikososiospiritual;
artinya melihat pasien tidak semata-mata dari segi organobiologik, psikologik/kejiwaan,
psiko-sosial tetapi juga aspek spritual/kerohanian. Pasien tidaklah dipandang sebagai individu
seorang diri, melainkan seseorang anggota dari sebuah keluarga, masyarakat dan lingkungan
sosialnya. Juga sebagai orang yang dalam keadaan tidak berdaya yang memerlukan
pemenuhan kebutuhan spiritual/kerohanian atau agama. Bagi penderita penyakit terminal
seperti HIV/AIDS, pemenuhan kebutuhan spiritual merupakan hal yang sangat penting.
Pendekatan spiritualitas bukan berarti mengubah kepercayaan masing-masing pasien
melainkan meningkatkan kekuatan spiritual mereka dalam menghadapi penyakitnya. Tujuan
pendekatan ini adalah membuat pasien dapat menerima kenyataan sepenuhnya dan dapat
melewati fase-fase terakhir dalam hidupnya dengan damai dan tenang, membuat dia merasa
kembali pada Tuhan, seperti manusia lainnya di mana tidak ada seorang pun yang dapat
mencegah datangnya kematian.
Perubahan yang terjadi di dalam diri dan di luar diri ODHA membuat mereka memiliki
persepsi yang negatif tentang dirinya dan mempengaruhi perkembangan konsep dirinya.
ODHA cenderung menunjukkan bentuk-bentuk reaksi sikap dan tingkah laku yang salah. Hal
ini disebabkan ketidakmampuan ODHA menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami.
Keadaan ini diperburuk dengan anggapan bahwa HIV merupakan penyakit yang belum ada
obatnya
Diskriminasi yang dialami ODHA membuat mereka menarik diri dari lingkungan
sekitar, serta stigmatisasi yang berkembang dalam masyarakat mengenai HIV/AIDS
4
merupakan suatu vonis mati bagi mereka sehingga membatasi ruang gerak dalam
menjalankan aktivitas mereka sebelumnya.
Permasalahan yang dihadapi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan hanya masalah medis
atau kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan sosial, politik, dan ekonomi (baba,
2005; Nurul Arifin, 2005). Banyak perubahan yang terjadi dalam diri individu setelah
terinfeksi HIV/AIDS. Perubahan fisik akibat gejala-gejala penyakit yang disebabkan
menurunnya sistem kekebalan tubuh pada diri ODHA mempengaruhi kehidupan pribadi,
sosial, belajar, karir dan bahkan kehidupan keluarga. Selain itu juga isu-isu stigma dan
diskriminasi yang dialami ODHA, baik dari keluarga, tetangga, dunia kerja, sekolah, dan
anggota masyarakat lainnya, semakin memperparah kondisi dirinya dan bahkan lebih sakit
daripada dampak penyakit yang dideritanya.

I.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana aspek spiritual pada penderita HIV/AIDS?
2. Bagaimana aspek kultural pada penderita HIV/AIDS?
3. Bagaimana long term care bagi penderita HIV/AIDS?

I.3 Tujuan
Tujuan Pembuatan Makalah Pengkajian Spiritual, Kultural Pada Pasien Dengan HIV AIDS
Dan Long Term Care sebagai berikut :
Mengetahui dan memahami bagaimana aspek spiritual pada penderita HIV/AIDS
Mengetahui dan memahami bagimana aspek kultural pada penderita HIV/AIDS
Mengetahui dan memahami cara perawatan jangka panjang bagi penderita HIV/AIDS

5
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Aspek Spiritual Pada Pasien HIV/AIDS


1. Pengertian Spiritual
Spiritualitas sangat sulit untuk didefinisikan. Kata-kata yang digunakan untuk
menjabarkan spritualitas termasuk makna, transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan
dan eksistensi. Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang
mendasar, penting, dan mampu menggerakan serta memimpin cara berfikir dan
bertingkah laku seseorang. Faran dkk menyatakan bahwa setiap individu akan memaknai
secara unik spiritualitas atau dimensi spiritual. Definisi Individual tentang spiritualitas
dipengaruhi oleh kultur, perkembangan, pengalaman hidup, dan ide-ide mereka sendiri
tentang hidup. Lebih lanjut Faran dkk mengemukakan definisi fungsional spiritualitas
yang merupakan komitmen tertinggi individu yang merupakan prinsip yang komprehensif
dari perintah atau nilai final yaitu argumen yang paling kuat yang diberikan untuk pilihan
yang dibuat dalam hidup kita.
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, spiritualitas merupakan bagian dari
kecerdasan manusia selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kedua
tokoh penggagas SQ (Spiritual Quotion) ini, menyebutkan SQ tidak ada hubungannya
dengan agama. Meskipun orang dapat mengekspresikan SQ melalui agama, tetapi
keberagamaan seseorang tidak menjamin tingginya SQ. SQ sendiri dimaknai sebagai
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibanding dengan yang lain.
Berbeda dengan pendapat di atas pendapat berikut ini menekankan pada spritualitas
yang berhubungan dengan adanya Tuhan. Mickley et al mendefinisikan spiritualitas
sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi ekstensial dan dimensia agama. Dimensi
ekstensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih
berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Hampir senada
Carson menyebutkan bahwa kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta

6
kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan
penuh rasa percaya dengan Tuhan.
Stoll menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi: dimensi vertikal
adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan
seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri,
dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara
dua dimensi tersebut.
Senada dengan pendapat ini, Hungelman et al menyebutkan spiritualitas sebagai
rasa keharmonisan saling kedekatan antara diri dengan orang lain, alam dan dengan
kehidupan yang tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai ketika seseorang menemukan
keseimbangan antara nilai, tujuan, sistem keyakinan mereka dengan hubungan mereka
dengan diri sendiri, dan dengan orang lain.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dimensi
spiritualitas adalah keharmonisan yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan
pemahaman tetang dirinya sendiri, hubungan dirinya dengan Tuhan dan hubungan dirinya
dengan sesama serta lingkungan. Definisi Spiritualitas inilah yang digunakan dalam
penelitian ini yang mana pengertian tersebut lebih mengikuti pendapat Stoll mengikuti
pendapat Stoll bahwa dimensi spiritualitas terdiri dari dimensi vertikal dan dimensi
horizontal.
2. Indikator Spiritualitas
Spiritualitas yang dimaknai secara beragam memberikan konsekuensi lahirnya
indikator atau aspek spiritualitas yang beragam pula. Menurut Burkhardt aspek
spiritualitas meliputi :
a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan.
b. Menemukan arti dan tujuan hidup.
c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri. d) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan
Yang Maha Tinggi.
Secara lebih rinci Patricia Potter dkk, menjelaskan bahwa spiritualitas meliputi
tujuh aspek yaitu:
a. Keyakinan dan makna hidup
Keyakinan dan makna berhubungan dengan filosofi hidup seseorang, perspektif
spiritualitasnya dan apakah padangan spiritualitasnya merupakan sebagian
bagian dari kehidupannya secara keseluruhan. Suatu pemahaman tentang
7
keyakinan dan makna mencerminkan sumber spritual seseorang memudahkan
dalam mengatasi kejadian traumatis atau menyulitkan.
b. Autoritas dan pembimbing
Autoritas dan pembimbing adalah suara dari dalam atau autoritas dari luar yang
mengarahkan seseorang untuk memilih dan menjalani keyakinannya. Autoritas
dapat berupa Tuhan Yang Maha Kuasa, Pemuka agama, keluarga, teman, diri
sendiri, atau kombinasi dari sumber-sumber tersebut.
c. Pengalaman dan emosi
Pengalaman dan emosi mencangkup tinjauan tentang pengalaman keagamaan
seseorang. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah mengetahui dampak
penyakit terhadap pengalaman dan emosi religius, dan berkaitan dengan ada
tidaknya sesuatu yang mengancam spiritualitas akibat penyakit yang diderita.
d. Persahabatan dan komunitas
Persahabatan adalah hubungan yang dimiliki seorang individu dengan orang lain
termasuk keluarga, sahabat, rekan kerja, tetangga, komunitas masyarakat,
komunitas gereja dan tetangga. Kepedulian dan perhatian dari sahabat dan
komunitas ini merupakan sumber harapan bagi klien.
e. Ritual dan ibadat
Kebiasaan ritual dan ibadat keagamaan memberikan klien struktur dan dukungan
selama masa sulit. Kebiasaan ritual dan ibadat agama tetap dijalankan secara
teratur atau ada perubahan akibat penyakit yang diderita.
f. Dorongan dan pertumbuhan
Dorongan dan pertumbuhan berkaitan dengan sumber yang memberikan nuansa
dorongan (harapan) pada masa lalu klien. Pengkajian mencangkup tinjauan
apakah klien membiarkan keyakinan lama terpendam dengan harapan bahwa
keyakinan baru akan muncul. Hal ini sangat penting karena kehilangan harapan
dapat menyebabkan keputusasaan.
g. Panggilan dan konsekuensi
Panggilan dan konsekuensi menunjukkan bagaimana individu mengekspresikan
spiritualitas mereka dalam rutinitas sehari-hari. Hal ini berbeda dengan
mempraktikkan ritual. Pengekspresikan spritualitas antara lain dengan
memperlihatkan penghargaan terhadap kehidupan dalam berbagai hal yang
mereka lakukan, hidup pada saat ini dan tidak merisaukan masa mendatang,
menghargai alam dan mengekspresikan cinta yang ditunjukkan kepada orang.

8
Dengan bahasa yang lebih sederhana, karakteristik
spiritualitas antara lain:
a. Hubungan dengan diri sendiri
1) Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya).
2) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan,
harmoni atau keselarasan diri).
b. Hubungan dengan alam.
1) Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa dan iklim.
2) Berkomunikasi dengan alam (bertanam, berjalan kaki), mengabadikan dan
melindungi alam.
c. Hubungan dengan orang lain
1) Harmonis : Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik;
mengasuh anak, orang tua dan orang sakit; dan menyakini kehidupan dan
kematian.
2) Tidak harmonis : Konflik dengan orang lain dan Resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan Ketuhanan
Agamis atau tidak agamis seperti: sembahyang/berdo’a/meditasi, perlengkapan
keagamaaan, bersatu dengan alam.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa para ahli sepakat bahwa
pada dasarnya aspek dalam spiritualitas meliputi hubungan manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sekitarnya.
Sedangkan indikator spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti
pendapat Patricia Potter yang menyebutkan bahwa spiritualitas dalam keperawatan
terdiri dari tujuh dimensi yaitu keyakinan dan makna hidup, autoritas atau
pembimbing, pengalaman dan emosi, persahabatan dan komunitas, ritual dan ibadah,
dorongan dan pertumbuhan, serta panggilan dan konsekuensi.
Disamping itu, indikator ini mampu menggambarkan pengertian dimensi
spiritualitas menurut Stoll yang digunakan sebagai focus kajian dalam penelitian ini.
3. Dimensi Spiritual dalam Praktek Konseling
Spiritualitas dalam ranah konseling menjadi kajian yang penting seiring adanya
kesadaran bahwa terapi selama ini kurang memberikan perhatian yang sempurna pada
manusia sebagai mahluk yang multidimensional. Kesadaran akan perlunya
9
pendekatan holistik dalam konseling menuntut manusia dipandang sebagai mahluk
yang utuh yaitu mahluk biologis, mahluk psikologis, mahluk sosiologis, mahluk
berbudaya dan mahluk spiritual atau religius. Hal ini berimplikasi pada landasan yang
menjadi dasar pelayanan konseling yang meliputi landasan historis, filosofis, social
budaya, psikologis, dan religius.
Seseorang yang membutuhkan konseling atau klien pada dasarnya adalah
individu yang mengalami kekurangan “psichological strenght” atau “daya psikologis”
yaitu suatu kekuatan yang diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dalam
keseluruhan hidupnya termasuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya.
Daya psikologis mempunyai tiga dimensi yaitu need fulfilment (pemenuhan
kebutuhan), intrapersonal competencies (kompetensi interpersonal), dan
interpersonal competencies (kompetensi intrapersonal).
Tugas konselor adalah tiga dimensi daya psikis ini, sehingga diharapkan klien
dapat meningkatkan psichological strenght. Namun seiring dengan kesadaran bahwa
manusia adalah mahluk spiritual atau religius, tentunya pelayanan konseling tidak
hanya memenuhi kebutuhan psichological strength klien semata, namun mampu
memenuhi kebutuhan spiritual/religius. Perhatian terhadap dimensi spiritual ini
semakin dikembangkan dengan adanya konsep “wellness” dalam konseling. Kondisi
“wellness” klien merupakan tujuan dari keseluruhan proses konseling.
Sementara menurut Ronaldson (2000), aspek spiritual ditekankan pada
penerimaan pasien terhadap sakit yang dideritanya, sehingga pasien HIV akan dapat
menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil hikmah.
Aspek spiritual yang perlu diberikan kepada pasien adalah:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan.
Harapan merupakan unsur yang penting dalam kehidupan seseorang. Seseorang
yang tidak memiliki harapan akan menjadi putus asa bahkan muncul keinginan
untuk bunuh diri. Harapan harus ditumbuhkan pada pasien agar ia memiliki
ketenangan dan keyakinan untuk terus berobat.
b. Pandai mengambil hikmah. Peran konselor dalam hal ini adalah mengingatkan
dan mengajarkan kepada pasien untuk selalu berpikir positif terhadap cobaan
yang dialaminya. Di balik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud
dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepda
Tuhan dengan jalan melakukan ibadah secara terus menerus, agar pasien
memperoleh ketenangan selama sakit.

10
c. Ketabahan hati. Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan
ketabahan hati dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai
kepribadian yang kuat akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu
tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada pasien HIV. Konselor dapat
menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata atau mengutip kitab
suci bahwa Tuhan tidak memberikan cobaan kepada umatNya, melebihi
kemampuannya (Al Baqarah, 2 : 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua
cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah yang sangat penting dalam
kehidupannya. Dimensi spiritual atau religiusitas dalam aktivitas konseling
menjadi cukup signifikan, karena konseling merupakan aktivitas yang fokus
pada upaya membantu (building relationship) individu atau klien dengan segala
potensi dan keunikannya untuk mencapai perkembangan yang optimal.
Sementara dimensi spiritual/religius berfungsi sebagai radar yang mengarahkan
pada suatu titik tentang realitas, bahwa terdapat aspek-aspek kompleks pada
diriindividu yang tak terjangkau untuk ditelusuri dan dijamah, serta
menyadarkan bahwa apek hidayah hanya datang dari Sang Penggenggam
kehidupan itu sendiri.

II.2 Aspek Kultural Pada Pasien HIV/AIDS


Perubahan sosial dialami setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan
sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara
berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional; perubahan dalam sikap
dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi makin komersial; perubahan tata cara kerja
sehari-hari yang makin ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang
makin tajam; Perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin
demokratis; perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan
efisien, dan lain-lainnya.
Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh tahapan perubahan nilai,
norma, dan tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan, yang juga dapat
disebut dengan perubahan nilai sosial. Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut
disebabkan oleh tindakan diskriminasi dari masyarakat umum terhadap penderita
HIV/AIDS, serta pengabaian nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri. Perilaku seksual
yang salah satunya dapat menjadi faktor utama tingginya penyebaran HIV/AIDS dari
11
bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya tradisional yang ternyata meluruskan jalan
bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi nampak, budaya tersebut
pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat.
Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan orangtua
menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka,
jika anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar negeri akan
meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak wanitanya menjadi
PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang kaya di kampungnya.
Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek budaya, dan budaya adat
seperti ini seharusnya dihapuskan.
Dalam catatan Departemen Kesehatan misalnya pada pertengahan tahrm 1995
terungkap kasus bahwa seorang anak sekolah berusia 18 tahun di Irian Jaya dinyatakan
meninggal karena AIDS. Ini manunjukkan betapa wabah AIDS ini sudah merambah usia
anak sekolah dan mencapai wilayah Indonesia paling timur juga. Kasus tersebut terjadi
bukan akibat transfusi darah atau jarum suntik namun tertular melalui hubugan seks yang
tidak aman, bisa jadi dari seorang pekerja seks komersial. Ada lagi beberapa laporan
tentang kasus kasus penyakit menular seksual yang terjadi pada remaja SMA Secara
retrospektif diperkirakan bahwa pemuda tersebut terinfeksi HIV di usia remaja yang
sangat dini (Kartono Muhamad 1998). Suatu penelitian pada layanan pemeriksaan
kehamilan di Jakarta dan Surabaya di tahum 1998 menunjukkan bahwa 23,3 % ibu rumah
tangga hamil yang datang ke klinik tidak menyadari bahwasanya mereka terkena penyakit
menular seksual. Tanpa perhatian serius masalah ini akan menjadi lebih berat lagi dengan
datangnya epidemi HIV.
Indonesia memiliki semua faktor yang akan membuat HIV mudah menyebar,
diantaranya:
1. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk yang besar dengan
status pendidikan relatif rendah.
2. Perekonomiannya tumbuh dan selalu diikuti oleh urbanisasi kaum mudanya ke
perkotaan sehingga terpisah dari orang tua dan masyarakat asalnya.
3. Masyarakat banyak yang tergiring oleh arus konsumerisme sebagai akibat iklan di
media yang sangat gencar.
Dalam konteks ilmu-ilmu sosial/ budaya sebenarnya satu-satunya cara untuk
mengurangi atau menganggulangi prevalensi HIV/AIDS adalah dengan mengubah
perilaku individu atau kelompok sasaran. Sebab kebanyakan program-program preventif
itu memfokuskan pada pengetahuan, sikap dan perilaku beresiko. Disamping itu cara lain
12
adalah dengan mengubah persepsi-persepsi masyarakat yang kurang tepat terhadap cara
penularan, kekebalan, perilau penderita dan lain-lain.
Persepsi-persepsi masyarakat yang tidak benar mengenai penyakit AIDS sering kali
menimbulkan tindakan penyembuhan yang tidak benar. Hal ini sering kali tercermin dari
adanya orang-orang awam yang menganjurkan olahraga, berdoa, dan lain-lain sebagai
metode dalam penyembuhan AIDS.
Pada konteks sosial, strategi utama dalam upaya pencegahan dan mengurangi
kemungkinan transmisi seksual dari HIV di kalangan remaja adalah dengan memberikan
kesamaan wewenang (power equality) dan akses informasi yang lebih baik (better acces
to information). Secara garis besar upaya tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut
1. Tidak melakukan kegiatan seks sebelum menikah terutama bagi remaja.
2. Setia pada pasangan yang dinikahinya, yakni bagi suami/istri untuk tidak berganti
ganti pasangan.
3. Menggunakan kondom apabila melakukan hubungan seksual
4. Mencegah penularan melalui kontak darah dan produk darah
5. Menyertakan semua sumber daya, baik nasional maupun internasional untuk
kegiatan-kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular seksual
termasuk HIV/AIDS
Adapun cara penanggulangan HIV/AIDS dalam konteks sosial-budaya adalah
dengan :
1. Mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, bersih dan teratur sesuai dengan
norma-norma dan budaya yang ada.
2. Mengubah persepsi dan kepercayaa yang salah tentang penyakit AIDS
3. Memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang bahaya AIDS dengan program
penyuluhan yang intensif dan berkesinambungan dengan menyertakan peran aktif
masyarakat
4. Memberikan dukungan sosial yang efektif dan efisien terhadap penderita, sehingga
penderita bisa hidup wajar dan tidak terisolasi serta tidak berbuat yang merugikan
orang lain, keluarganya, masyarakatnya dan dirinya sendiri.

II.3 Long Term Care Pada Pasien HIV/AIDS


Perawatan terbagi menjadi tempat perawatan berbasis keluarga, masyarakat,
puskesmas, dan rumah sakit

13
1. Keluarga: Anggota keluarga perlu peduli dan bekerja sama dengan relawan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan gizi, tata cara perawatan di rumah,
dan pemulasaran jenazah
2. Masyarakat: Dukungan social dari tetangga dan komunitas social
3. Puskesmas: Mendapatkan pelayanan kesehatan dasar dan pengobatan sederhana
4. Rumah sakit: Mendapatkan pelayanan rawat inap untuk perawatan infeksi
oportunistik (infeksi penyerta), pelayanan preventingnmother to child transmission
(PMTCT), dan pengobatan
Program ini dimulai sejak seseorang didiagnosis HIV dan setuju untuk didampingi
oleh relawan atau petugas lapangan (manager kasus) yang baisanya berasal dari lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Kegiatan ini meliputi:
1. Dukungan psikologis, spiritual, hokum dan HAM, serta dukungan sosio-ekonomi
a. Psikologis: Upaya manager kasus untuk mendampingi dan memberi dukungan
moral untuk meningkatkan rasa percaya diri klien serta pendampingan untuk
mendapatkan akses perawatan dan pengobatan di rumah sakit
b. Spiritual: Manager kasus bekerja sama dengan tokoh agama untuk memberi
nasihat dan dukungan melalui forum regular
c. Hokum dan HAM: Upaya untuk mengurangi diskriminasi dan stigma negative
dari keluarga dan masyarakat sekitar, menjaga kerahasiaan status klien dari
keluarga dan masyarakat selama klien belum sanggup untuk membuka diri,
serta mendampingi klien untuk pembelaan terhadap kasus hokum dan
pelanggaran HAM
d. Sosio-ekonomi: Upaya untuk mendapatkan dukungan dari swasta dan
pemerintah mengenai bantuan usaha ekonomi untuk peningkatan pendapatan
klien, kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan pemberdayaan klien,
dukungan finansial dari sumber yang memungkinkan terutama untuk biaya
pengobatan dan usaha ekonomi, usaha pencarian solusi untuk anak ODHA
yang yatim piatu

Dukungan pada penderita AIDS:

1. Mula-mula penderita membutuhkan kepercayaan, kasih saying dan dukungan


2. Mereka sangat membutuhkan informasi tentang masalah yang akan mereka hadapi
dan cara untuk mengatasinya

14
3. Memegang penderita AIDS adalah penentraman hati yang penting dan tidak
membahayakan
4. Komunikasi yang teratur, terutama secara personal (menjenguk atau menelpon),
adalah penting. Buatlah janji dahulu sebelum menjenguk karena AIDS
menyebabkan kelelahan dan penjenguk tidak selalu diharapkan
5. Komunikasi yang terbuka dan jujur adalah penting. Berbicara terbuka dan jujur
akan membantu penderita AIDS terbuka dengan anda. Bicarakan tentang
penyakitnya bila hal ini yang diinginkan. Banyak orang menyesali penyakitnya
dan merasa lebih baik bila ada seseorang yang dapat berbagi rasa
6. Pergilah ke luar bersama dan mengunjungi orang lain
7. Tawarkan bantuan pada suatu hal yang mungkin menyulitkan penderita
8. Bila anda berada di tempat lain, pertahankan hubungan dengan menulis surat atau
menelpon

Merawat penderita AIDS:

1. Perawatan di rumah sakit: Penderita AIDS yang sakit berat paling baik dirawat
oleh perawat yang telah berpengalaman. Pengobatan di rumah sakit ditunjukkan
pada penyakit yang timbul akibat AIDS. Belum pernah ditemukan penderita AIDS
dapat sembuh. Merawat penderita AIDS adalah aman. Kadang-kadang penjenguk
terlalu melelahkan penderita, tetapi dilain waktu, penjenguk memberi dukungan
dan penenteraman hati.tanyakan pada perawat kapan waktu terbaik untuk
menjenguk
2. Perawatan di rumah: orang yang merawat penderita AIDS perlu hati-hati dan
suportif. Orang yang merawat penderita AIDS membutuhkan tindakan sederhana
untuk memotong resiko infeksi. Merawat penderita AIDS bukan aktivitas beresiko
tinggi, hidup normal serumah tidak beresiko
Pencegahan di rumah:
1. Gunakan selalu sarung tangan untuk tugas-tugas di rumah bila diperlukan. Cuci
tangan setelah setiap tugas, walaupun sudah menggunakan sarung tangan
2. Cucilah sarung tangan dalam air dan detergen yang cukup panas
3. Gunakan kain pembersih lantai untuk dapur dan kamar mandi yang berbeda
4. Gunakan selalu plester atau pembalut kedap air pada luka atau luka sayat
5. Sikat gigi dan alat cukur jangan digunakan bergantian
6. Harus digunakan sarung tangan bila membersihkan tumpahan darah, muntahan dan
sebagainya, dan buang dalam kloset
15
7. Lantai atau permukaan yang tertumpah cairan seperti darah, muntahan dan
sebagainya sebaiknya diseka dengan larutan pengelantang; 1 bagian pengelantang
dan 9 bagian air
8. Pakaian yang kotor dan berdarah harus dicuci dengan air panas

Untuk mencegah penularan jasad renik pada penderita AIDS:

1. Bila masak, pastikan makanan telah dimasak dengan baik


2. Cuci tangan setelah memegang binatang kesayangan dan tempat sampah
3. Batasi kontak dengan penderita AIDS bila anda menderita flu berat, gangguan
lambung atau penyakit lain

Hubungan seks dan penderita AIDS

1. Penderita AIDS harus menghindari hubungan seks yang tidak aman


2. Jangan melakukan hubungan seks tanpa pelindung, gunakan selalu kondom
3. Beritahukan pasangan anda bahwa anda menginginkan hubungan seks yang aman
4. Anda dapat melakukan onani, pelukan dan pijatan
5. Gunakan kondom ekstra kuat bila melakukan hubungan seks lewat dubur
6. Gunakan selalu kondom seks melalui vagina
7. Jangan memakai alat kelamin buatan secara bergantian
8. Gunakan selalu pelindung yang aman, misalnya kondom untuk hubungan seks
lewat mulut

16
. BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus
lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri
bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar-benar bisa disembuhkan.
Dalam praktek pekerjaan sosial di bidang HIV-AIDS seorang pekerja sosial dapat
melaksanakan tugas dan peranannya, bagaimana menangani seorang klien yang berstatus HIV
positif, memberikan solusi dan mendekatkan pada sistem sumber yang ada sehingga tidak
terbelennggu dalam menghadapi penyakitnya dan termotivasi kembali dalam menjalani
hidupnya..

III.2 Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga sedikit uraian kami ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua. Kami sangat menyadari, bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu kami sangat mengharapkan adanya kritikan yang konstruktif
dan sistematis dari Dosen dan sahabat-sahabat pembaca, guna melahirkan sebuah perbaikan
dalam penyusunan makalah selanjutnya yang lebih baik. Terimakasih…

17
DAFTAR PUSTAKA

Dharma, Adji. 2005. AIDS and You. Jakarta : Arcan


Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga
DOC-20180309-WA0000.pdf, diakses pada 10 April 2020 pukul 20.05

18

Anda mungkin juga menyukai