Anda di halaman 1dari 28

Referat

CHOLANGITIS

Oleh :

Hendri Yudhistira (21360069)


Alfarizki Safutra (21360265)
Adelia Dinda Pratiwi (21360159)

Preseptor :
d r. Silman Hadori, Sp. Rad, MH.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

CHOLANGITIS

Penyaji, Pembimbing,

Penyusun dr. Silman Hadori, Sp. Rad, MH.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU


RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI RUMAH SAKIT
PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam,
ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang berkembang sebagai akibat dari sumbatan
dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi
saluran bilier dan pertumbuhan bakteri dalam empedu. Penyebab paling sering
obstruksi bilier adalah koledokolitiasis (Kimura, 2007).
Penyakit ini perlu diwaspadai karena insiden batu empedu di Asia
Tenggara cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien
berusia lanjut, yang biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain yang dapat
memperburuk kondisi dan mempersulit terapi. Prevalensi batu empedu di dunia
sekitar 20-35% dan resiko terjadinya kolangitis akut simtomatik dilaporkan sekitar
0.2%. Kolangitis akut dapat pula disebabkan adanya batu primer di saluran bilier,
keganasan dan striktur. Proporsi kasus didiagnosis sebagai berat sesuai dengan
kriteria penilaian keparahan pada Tokyo Guideline 2007 adalah 12,3% atau 23 dari
187 kasus kolangitis akut karena saluran batu empedu (Fauzi, 2011).
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis
bilier jinak, striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas.
Koledokolitiasis digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi barubaru
ini kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis
kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat (Kimura,
2013 ; Cameron, 1997).
Diagnosis secara klinis dapat ditegakan dengan trias Charcot, yaitu adanya
demam, ikterus dan nyeri perut kanan atas. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
meliputi pemeriksaan darah rutin, fungsi hati (aspartate transaminase & alinine
transaminase), alkali fosfatase, dan bilirubin serum, dan kultur bakteri dari sampel
darah. Studi pencitraan juga dapat membantu dalam menegakan diagnosis
kolangitis akut (Kimura, 2013).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran Cholangitis.
1.2.2 Tujuan Khusus
Untuk memperoleh gambaran Cholangitis bedasarkan pemeriksaan
radiologis.
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1 Bidang Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan
Penulisan ini bermanfaat sebagai referensi dan pengetahuan tambahan

di dalam sarana pendidikan.

1.3.2 Bidang Penelitian


1. Memberikan pengetahuan tambahan teori ilmiah mengenai cholangitis.

2. Memberikan pengetahuan tambahan gambaran radiologi mengenai

cholangitis.

1.3.3 Bidang Pelayanan


Hasil Penulisan ini dapat memberikan informasi tentang gambaran

radiologi cholangitis sehingga dapat mempersiapkan keluarga menghadapi

kemungkinan komplikasi yang akan terjadi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN PUSTAKA


1. DEFINISI
Kolangitis adalah infeksi bakteri dari saluran empedu yang terseumbat
baik secara parsial atau total, sumbatan biasanya disebabkan dari dalam lumen
saluran empedu misalnya batu koledokus atau dari luar lumen misalnya
karsinoma caput pankreas yang menekan duktus koledokus, atau dari dinding
saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau struktur saluran empedu
(Nurman, 1999 ; Dorland, 2011).
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran
empedu. Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari
kolangitis, sebagai trias, yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran
kanan atas, yang dikenal dengan ’’Charcot triad’’. Charcot mendalilkan
bahwa ’’empedu stagnan’’ karena obstruksi saluran empedu menyebabkan
perkembangan kolangitis (Fauzi, 2011).
Dari beberapa pendapat diatas Makmun Wicaksono menyimpulkan
bahwa cholangitis adalah infeksi akut oleh bacteri pada saluran empedu yang
diakibatkan kolonisasi atau perkembangan bacteri dalam saluran empedu, hal
tersebut dikarenakan ada stagnasi aliran garam empedu dari kantung empedu
akibat adanya sumbatan seperti kolelithiasis, striktur saluran empedu, sirosis
hati dan lain lain (Fauzi, 2011).
2. Anatomi

Gambar.1. Anatomi kandung empedu dan saluran bilier


(sumber: www.pennstatehershey.adam.com)

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir,


yang terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan
lobus kanan dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran
kandung empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan
kapasitas lebih kurang 30mL. Kandung empedu menempel pada hati oleh
jaringan ikat longgar , yang mengandung vena dan saluran limfatik yang
menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi
menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum, dan kolum
(Brunicardi et al, 2007).

Empedu yang dihasilkan hepatosit akan dieksresikan ke dalam


kanalikuli dan selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu yang
terletak di dalam hati yang secara perlahan akan membentuk saluran yang
lebih besar lagi. Saluran kecil ini memiliki epitel kubis yang bisa
mengembang secara bertahap bila saluran empedu membesar. Saluran
empedu intrahepatic secara perlahan menyatu membentuk saluran yang lebih
besar yang dapat menyalurkan empedu ke delapan segmen hati. Di dalam
segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk sebuah saluran
di anterior dan posterior yang kemudian bergabung membentuk duktus
hepatikus kanan. Pada beberapa orang, duktus hepatikus kanan berada ± 1cm
di luar hati. Duktus ini kemudian bergabung dengan 3 segmen dari segmen
hati kiri (duktus hepatikus kiri) menjadi duktus hepatikuskomunis. Empedu
yang dihasilkan hepatosit akan dieksresikan ke dalam kanalikuli dan
selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu yang terletak di
dalam hati yang secara perlahan akan membentuk saluran yang lebih besar
lagi. Saluran kecil ini memiliki epitel kubis yang bisa mengembang secara
bertahap bila saluran empedu membesar (Brunicardi et al, 2007).

Saluran empedu intrahepatic secara perlahan menyatu membentuk


saluran yang lebih besar yang dapat menyalurkan empedu ke delapan segmen
hati. Di dalam segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk
sebuah saluran di anterior dan posterior yang kemudian bergabung
membentuk duktus hepatikus kanan. Pada beberapa orang, duktus hepatikus
kanan berada ± 1cm di luar hati. Duktus ini kemudian bergabung dengan 3
segmen dari segmen hati kiri (duktus hepatikus kiri) menjadi duktus
hepatikus komunis (Brunicardi et al, 2007).

Setelah penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung empedu,


duktus hepatikus menjadi duktus koledokus. Pada beberapa keadaan, dinding
duktus koledokus menjadi besar dan lumennya melebar sampai mencapai
ampula. Biasnaya panjang duktus koledokus sekitar 7 cm dengan diameter
berkisar antara 4-12 mm. Kandung empedu menerima suplai darah terbesar
dari jalinan pembuluh darah cabang arteri hepatica kanan. Kandung empedu
dapat menampung ±50 ml cairan empedu dengan ukuran panjang 8-10 cm
dan terdiri dari fundus, korpus dan kolum. Lapisan mukosanya membentuk
cekungan kecil dekat dengan kolum yang disebut dengan kantong Hartman,
yang bisa menjadi tempat tertimbunnya batu empedu (Fauzi, 2011).
3. FISIOLOGI

Empedu berperan dalam membantu pencernaan dan absorpsi lemak,


ekskresi metabolit hati dan produk sisa seperti kolesterol, bilirubin dan logam
berat. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu
primer) dan kolangiosit yang terletak sepanjang duktulus empedu. Epitel
bilier berperan dalam menghasilkan 40% dari 600 ml produksi empedu setiap
hari (Kimura, 2013).
Asam-asam empedu dibentuk dari kolesteroldi dalam hepatosit,
diperbanyak pada struktur cncin hidroksilasi dan bersifat larut dalam air
akibat konjugasi dengan glisin, tarin dan sulfat. Asam empedu mempunyai
kegunaan seperti deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim
pancreas dan penyerapan lemak intralumial. Konugasi garam-garam empedu
selanjutnya di reabsorbsi oleh transfor aktif spesifik dalam ileum terminalis,
walaupun sekitar 20% empedu intestinal di konjugasi oleh bakteri ileum.
Empedu yang tidak di reabsorbsi akan memetabolisme bakteri dalam kolon
dan ± 50% akan di reabsorbsi Kembali (Kimura, 2013).

Bilirubin merupakan suatu pigmen kuning dengan sebuah struktur


tetrapirol yang tidak larut air berasal dari sel-sel darah yang telah hancur
(75%), katabolisme protein-protein hem lain (22%) dan inaktivasi
eritropoiesis sumsum tulang (3%). Bilirubin yang tidak terkonjugasi akan
ditransport ke dalam sirkulasi sebagai sebuah kompleks dengan albumin,
walaupun sejumlah kecil dialirkan ke dalam sirkulasi secara terpisah.
Bilirubin larut lemak akan di ubah menjadi larut air oleh hati melalui
beberapa langkah yang terdiri atas fase pengambilan spesifik, konjugasi dan
ekskresi (Kimura, 2007).

Sebenarnya bilirubin terkonjugasi tidak direabsorbsi dari duktus


biliarin atau usus melainkan pada kolon. Kolon dapan menkonjugasi bilirubin
dan mengkonversi menjadi tetrapirol larut air yang dikenal sebagai
urobilinogen. Kira-kira setengah dari urobilinogen akan di reabsorbsi dan di
sekresi oleh ginjal dan dikeluarkan bersama feses sebagai sterkobilin
(Kimura, 2007).

Peranan Traktus Biliaris

Sesaat setelah empedu diekskresi oleh hepatosit, empedu tersebut


akan mengalami modifikasi pada saat melalui saluran biliaris. Modifikasi
tersebut meliputi, penarikan air melalui proses osmosis paraseluler ke dalam
empedu, pemisahan glutation menjadi asam amino yang dapat di reabsorbsi
kembali (seperti glukosa dan beberapa asam organic), dan sekresi bikarbonat
dan ion-ion klorida secara aktif ke dalam empedu oleh mekanisme yang
ebrgantung pada regulator transmembran fibrosis sistik (Brunicardi et al,
2007).

Kandung Empedu

Kandung empedu mempunya peranan penting dalam pencernaan


lemak. Kandung empedu menampung ±50ml empedu yang dapat dibuat
kembali dalam merespons pencernaan makanan. Dalam keadaan puasa kira-
kira setengah dari empedu secara terus-menerus dialirkan ke dalam kandung
empedu, maka akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena
terjadinya proses reabsorbsi ion-ion natrium, kalsium, klorida dan bikarbonat,
diikuti oleh difua air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik. Kandung
empedu mampu menurunkan volumenya jika diisi empedu 80-90%
(Brunicardi et al, 2007).

Kontrol Motilitas dan Sekresi Bilier

Kandung empedu, saluran empedu ekstrahepatik dan sfinkter Oddi


merupakan struktur yang berperan penting pada pergerakan dan pengaliran
empedu. Hormon kolesistikin (CCK) merupakan stimulus fisiolois yang
paling potensial bagi kontraksi kandung empedu disamping adanya
komponen saraf otonom dan saraf parasimpatis lainnya yang dapat
menyebabkan relaksasi kandung empedu. Kadar CCK dapat meningkat
sebagai tanggapan terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat.
Efek utama hepatobilier pada hormone sekretin adalah meningkatkan sekresi
cairan dan elektrolit oleh epitelium biliaris (Brunicardi et al, 2007).

4. EPIDEMIOLOGI

Kolangitis merupakan infeksi pada duktus koledokus yang berpotensi


menyebabkan kesakitan dan kematian. Dilaporkan angka kematian sekitar 13-
88%. Kolangitis ini dapat ditemukan pada semua ras. Berdasarkan jenis
kelamin, dilaporkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak ada
yang dominan diantara keduanya. Berdasarkan usia dilaporkan terjadi pada
usia pertengahan sekitar 50-60 tahun (Fauzi, 2011).

5. ETIOLOGI

Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah: koledokolitiasis,


obstruksi struktur saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris.
Bagaimanapun berat penyebab obstruksi, kolangitis tidak akan terjadi tanpa
cairan empedu yang terinfeksi. Kasus obstruksi akibat keganasan hanya 25-
40% yang hasil kultur empedunya positif. Koledokolitiasis menjadi
penyebab tersering kolangitis. Dalam beberapa tahun terakhir dengan
semakin banyaknya pemakaian manipulasi saluran biliaris invasif seperti
kolangiografi, stent biliaris, untuk terapi. penyakit saluran biliaris telah
menyebabkan pergeseran penyebab kolangitis. Selain itu pemakaian jangka
panjang stent biliaris seringkali disertai obstruksi stent oleh cairan biliaris
yang kental dan debris biliaris yang menyebabkan kolangitis. Bakteri
memiliki akses ke saluran bilier melalui duodenum atau melalui darah dari
vena porta. Infeksi akan naik menuju duktus hepatikus menimbulkan infeksi.
Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier
vena hepatica dan saluran limfatik perihepatik yang akan menimbulkan
bakteremia (Brunicardi et al, 2007).
6. KLASIFIKASI

Klasifikasi Kolangitis (Wada et al, 2007) :


Kriteria Mild (Grade I) Moderate (Grade Severe (Grade
II) III)

Disfungsi Tidak Tidak Ya


organ
Respon
terhadap Ya Tidak Tidak

terapi

- Mild (Grade I) didefinisikan sebagai kolangitis yang dapat berespon


terhadap terapi
- Moderate (Grade II) didefinisikan sebagai kolangitis yang tidak dapat
berespon dengan pengobatan dan tidak menimbulkan disfungsi organ
- Severe (Grade III) didefinisikan kolangitis yang tidak dapat berespon
dengan pengobatan dan menimbulkan disfungsi organ seperti:
Kardiovaskuler: hipotensi
Saraf: penurunan kesadaran
Pernapasan: PaO2 < 300
Renal: Serum kreatinin > 2.0 mg/dl
Liver: PT-INR > 1.5
Hematology: Platelet count < 1000.000/ul

7. MANIFESTASI KLINIS

Walaupun gambaran klasik kolangitis terdiri dari trias, demam,


ikterus, dan nyeri abdomen kuadran kanan atas yang dikenal dengan trias
Charcot, namun semua elemen tersebut hanya ditemukan pada sekitar 50
persen kasus. Pasien dengan kolangitis supuratif tampak bukan saja dengan
adanya trias charcot tapi juga menunjukkan penurunan kesadaran dan
hipotensi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cameron, demam di
temukan pada lebih dari 90 persen kasus, ikterus pada 67 persen kasus dan
nyeri abdomen hanya pada 42 persen kasus (Soetikno, 2007).

Dua hal yang diperlukan untuk terjadinya kolangitis yaitu adanya


obstruksi aliran empedu dan adanya bakteri pada duktus koledokus. Pada
sebagian besar kasus, demam dan mengigil disertai dengan kolangitis
menandakan adanya bakteriemia. Biakan darah yang diambil saat masuk ke
rumah sakit untuk kolangitis akut adalah positif pada 40 sampai 50 persen
pasien. Pada hampir semua serial Escherichia coli dan Klebsiella
pneumoniae adalah organisme tersering yang didapatkan pada biakan
darah. Organisme lain yang dibiakan dari darah adalah spesies
Enterobacter, Bacteroides, dan Pseudomonas (Soetikno, 2007).

Dalam serial terakhir species Enterobacter dan Pseudomonas lebih


sering ditemukan, demikian juga isolat gram negatif dan spesies jamur dapat
dibiak dari empedu yang terinfeksi. Adapun organisme anaerobik yang paling
sering diisolasi adalah Bacteroides fragilis. Tetapi, anaerobik lebih jarang
ditemukan pada serial terakhir dibandingkan saat koledokolitiasis merupakan
etiologi kolangitis yang tersering (Soetikno, 2007).

8. PATOFISIOLOGI

Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan stasis


cairan empedu dan apabila berlangsung lama maka akan terjadi kolonisasi
bakteri dan pertumbuhan kuman yang berlebihan. Bakteri ini berasal dari flora
duodenum yang masuk melalui sfingter Oddi, dapat juga dari penyebaran
limfogen dari kandung empedu yang meradang akut (Nurman, 1999).
Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada kolangitis akut yang sering
dijumpai adalah bakteri gram (-) enterik E. Coli, Klebsiella, Streptococcus
faecalis dan bakteri anaerob. Bakteri seperti Proteus,Pseudomonas dan
Enterobacter enterococci juga tidak jarang ditemukan (Satapathy, 2011).
Kolangitis terjadi akibat kombinasi dari adanya hambatan dari aliran cairan
empedu yang berlangsung lama dan terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri.
Adanya tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat,
bakteri akan kembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran darah dan
dapat mengakibatkan sepsis (Nurman, 1999). Selain itu, beberapa dari efek
serius kolangitis dapatdisebabkan oleh endotoksemia yangdihasilkan oleh
produk pemecahan bakterigram negatif. Endotoksin diserap di ususlebih mudah
bila terdapat obstruksi bilier, karena ketiadaan garam empedu yangbiasanya
mengeluarkan endotoksin sehinggamencegah penyerapannya.
Selanjutnyakegagalan garam empedu mencapaiintestin dapat menyebabkan
perubahan flora usus. Selain itu fungsi sel-sel Kupferyang jelek dapat
menghambat kemampuanhati untuk mengekstraksi endotoksin daridarah
portal.Bilamana kolangitis tidak diobati, dapat timbul bakteremia sistemik yang
dapat menimbulkan abses hati (Satapathy, 2011).

9. DIAGNOSIS
 Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam,


hepatomegali, ikterus, gangguan kesadaran, sepsis, hipotensi dan takikardi
(Soetikno, 2007).
 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada


sebagian besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000.
Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan
bilirubin yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati
termasuk alkali fosfatase dan transaminase serum juga meningkat yang
menggambarkan proses kolestatik (Soetikno, 2007).
Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah
(Soetikno, 2007) :
 Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto
polos abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar
15% batu saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran
radioopak yang dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu
yang membesar hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara
dalam usus besar, di fleksura hepatika.
 Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang
menebal karena fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain.
Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi,
karena terhalang udara di dalam usus. Dengan ultrasonografi lumpur empedu
dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan gaya gravitasi.

Gambar. 2 Menunjukkan ultrasonografi dari duktus


intrahepatik yang mengalami dilatasi

 CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk
mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis
keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan
sekitar 70-90 persen.

Gambar 3. CT scan yang menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan dilatasi
duktus pankreatikus (panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin
 ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang
menggunakan lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro
intestinal. Endoscope Retrograde Cholangiopancreotography (ERCP) dapat
lebih akurat menentukan penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya
juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan mengeluarkan batu dan
melebarkan peyempitan.

Gambar.4 Menunjukkan endoscope Cholangiopancreotography (ERCP) dimana menunjukkan


duktus biliaris yang berdilatasi pada bagian tengah dan distal (dengan gambaran feeling
defect).

 Skintigrafi

Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati
dan kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas
dan spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk
melihat duktus empedu dan duktus sistikus, namun skintigrafi
bilier tidak dapat mengidentifikasi batu saluran empedu atau hanya dapat
memberikan informasi sesuai dengan letak anatominya. Agent yang
digunakan untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat asam iminodiasetik
dengan label 99m
Tc.
 Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier
melalui prinsip kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan
informasi yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama 12-16 jam
sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu
dibersihkan oleh hepar dan di ekskresi ke dalam empedu dan dikirim ke
kandung empedu.
 Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien
dengan kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk
menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi saluran empedu
sebelum terapi definitif. Jadi, kolangiografi jarang diperlukan pada awal
perjalanan kolangitis dan dengan demikian harus ditunda sampai
menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien yang datang dengan
kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap antibiotik saja. Pada kasus
tersebut, kolangiografi segera mungkin diperlukan untuk menegakkan
drainase biliaris. Kolangiografi retrograd endoskopik ataupun kolangiografi
transhepatik perkutan dapat digunakan untuk menentukan anatomi atau
patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis
pada sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik yang
tepat harus diberikan sebelum instrumentasi pada semua kasus.

10. DIAGNOSIS BANDING

 Kolesistitis akut

Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus

oleh batu yang terjebak di dalam kantong Hartmann. Pada keluhan utama dari
kolesistikus akut adalah nyeri perut di kuadran kanan atas, yang kadang-

kadang menjalar ke belakang di daerah skapula. Biasanya ditemukan riwayat

kolik dimasa lalu, yang pada mulanya sulit dibedakan dengan nyeri kolik

yang sekarang. Pada kolesistitis, nyeri menetap dan disertai tanda rangsang

peritoneal berupa nyeri tekan dan defans muskuler otot dinding perut.

Kadang-kadang empedu yang membesar dapat diraba. Pada sebagian

penderita, nyeri disertai mual dan muntah (Soetikno, 2007).

 Pankreatitis

Pankreatitis adalah radang pankreas yang kebanyakan bukan disebabkan oleh

infeksi bakteri atau virus, akan tetapi akibat autodigesti oleh enzim pankreas

yang keluar dari saluran pankreas. Biasanya serangan pankreatitis timbul

setelah makan kenyang atau setelah minum alkohol. Rasa nyeri perut timbul

tiba-tiba atau mulai secara perlahan. Nyeri dirasakan di daerah pertengahan

epigastrium dan biasanya menjalar menembus ke belakang. Rasa nyeri

berkurang bila pasien duduk membungkuk dan bertambah bila terlentang.

Muntah tanpa mual dulu sering dikeluhkan dan muntah tersebut sering terjadi

sewaktu lambung sudah kosong. Gambaran klinik tergantung pada berat dan

tingkat radang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perut tegang dan sakit

terutama bila ditekan. Kira-kira 90% disertai demam, takikardia, dan

leukositosis (Soetikno, 2007).

 Hepatitis

Hepatitis merupakan salah satu infeksi virus pada hepar yang terdiri
dari hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D dan hepatitis E. Hepatitis

B merupakan hepatitis yang paling sering terjadi. Keluhan utamanya yaitu

nyeri perut pada kuadran kanan atas sampai di ulu hati. Kadang disertai mual,

muntah dan demam. Sekitar 90% kasus hepatitis merupakan infeksi akut.

Sebagian menjadi sembuh dan sebagian lagi menjadi hepatitis fulminan yang

fatal (Soetikno, 2007).

11. PENATALAKSANAAN

Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal

adalah konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan

perlindungan antiobiok dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat diterapi

sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral. Dengan kolangitis supuratif dan

syok septik mungkin memerlukan terapi di unit perawatan insentif dengan

monitoring invasif dan dukungan vasopresor (Soetikno, 2007).

Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan

bakteriologi yang diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan

penicillin telah dianjurkan. Kombinasi ini adalah pilihan yang sangat baik

untuk melawan basil gram negatif yang sering ditemukan dan memberikan

antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan metronidazole atau

clindamycin memberikan perlindungan antibakterial terhadap anaerob

bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan antibiotik. Perlindungan

antibiotik jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia

(Fauzi, 2011).
Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan

antibiotik untuk terapi kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam

empedu. Secara teoritis antibiotik saluran biliaris yang ideal harus merupakan

antibiotik yang bukan saja mencakup organisme yang ditemukan dengan

infeksi saluran biliaris, tetapi juga yang dieksresikan dalam konsentrasi

tinggi ke dalam cairan empedu (Fauzi, 2011).

12. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat

tinggi (kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut (Soetikno, 2007) :

* Abses hati piogenik

Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati.

Abses ini pada anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi

apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran

empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik

menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan

akibat abses multiple.

* Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif

Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah

(25-40%). Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh

karena etiologi utama penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi

bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15%.

* Peritonitis sistem bilier

Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan


iritasi dan peritonitis. Jika empedu terkena infeksi, maka akan

menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko tinggi

yang sangat fatal.

* Kerusakan duktus empedu

Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan

kolesistektomi atau pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai

dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal adalah tidak

mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.

* Perdarahan

Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar

lainnya dapat mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan

operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk dikontrol.

* Kolangitis asendens dan infeksi lain

Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat

pada pembedahan sistem bilier yang merupakan anastomosis yang

dibentuk antara duktus empedu dan usus besar bagian asendens.

Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif

sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang

menyebabkan drainase tidak adekuat.

Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan

sistem bilier adalah abses subprenikus. Hal ini harus dijaga pada

pasien yang mengalami demam beberapa hari setelah operasi.


Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada

pasien yang diterapi dengan perkutaneus atau drainase endoskopik

adalah perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus) dan Sepsis.

13. Prognosis

Tergantung berbagai faktor antara lain :

* Pengenalan dan pengobatan diri

Pada kasus kolangitis dibutuhkan pengobatan antibiotik secara

dini dan diikuti dengan drainase yang tepat serta dekompresi traktus

biliaris.

* Respon terhadap terapi

Semakin baik respon penderita kolangitis terhadap terapi yang

diberikan (misalnya antibiotik) maka prognosisnya akan semakin baik.

Namun sebaliknya, respon yang jelek akan memperberat penyakit

tersebut.

* Kondisi Kesehatan Penderita

Sistem pertahanan tubuh penderita merupakan salah satu faktor

yang menentukan prognosis penyakit ini. Biasanya penderita yang baru

pertama kali mengalaminya dan berespon baik terhadap terapi yang

diberikan, prognosisnya akan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Astina, 2006. Analisis Citra Mrcp (Magnetic Resonance Cholangio


Pancreatography) Pada Duktus Pankreatikus Setelah Pemberian Minuman
Jeruk Kemasan (Doctoral Dissertation, Program Pascasarjana Undip).

Breyer, C.A. Bruguera, H.A. Gharabi, B.B. Goldberg, F.E.H. Tan, M.W.
Wachira FSW. 2002. Manual of Diagnostic Ultrasound. Palmer PES,
editor. California, USA: World Health Organization. 91-106 p.M

Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of


Surgery, Eight edition, New York ; McGraw-Hill, 2007, p : 1203-1213

Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta,


1997, hal : 476-479

Debas, MD. Gastrointestinal Surgery. Pathophysiology and Management.


Springer.2007,209-224

Dorland, Newman. 2011. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.

Erviani. 2006. Teknik pemeriksaan percutaneus transhepatic cholangiografi


(PTC) pada kasus obstruksi jaudice di instalasi radiologi RS dr Kariadi
Semarang(2006).Semarang:Prodi DIII T. Radiodiagnostik dan
Radioterapi Semarang POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

Fauzi A. Kolangitis Akut.Dalam:Rani A,Simadibrata M,Syam AF,Editor. Buku


ajar Gastroenterohepatologi. Edisi-1. InternaPublishing;2011:579-90.

Feldmen M, Friedman L, Bried L. Recurrent Pyogenic Cholangitis in:


Gastrointestinal and Liver Disease. Section VIII. Elsevier, Canada, 2006,
p.1-6

Gagola PC, Timban JF, Ali RH. Gambaran Ultrasonografi Batu Empedu Pada
Pria & Wanita Di Bagian Radiologi Fk Unsrat Blu Rsup Prof. Dr. Rd
Kandou Manado Periode Oktober 2012-Oktober 2014. e-CliniC.
2015;3(1).

Jong WD, Sjamsuhidajat. 2003. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC.

Kimura Y, Takada T, Karawada Y,Nimura Y, Hirata K, Sekiomto M,et al.


Defenitions, Pathophysiology,and epidemiology of acute cholangitis and
cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg.
2007;14:15-26

Kimura Y, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Dirk J. Gouma,et al. TG13
current terminology, etiology, and epidemiology of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci (2013) 20:8–23

Moch H. An overview of renal cell cancer: Pathology and genetics. Seminars in


Cancer Biology. 2013;23:3-9.

Norton, Basic Sciense and Clinical Evidence, fifth Edition, edited Jeffrey A
Norton, Springerl, USA, 2005, 421-22

Nurman, A. 1999. Kolangitis Akut Dipandang dari Sudut Penyakit Dalam. J.


Kedokteran Trisakti 18 (3): 1-7

Rosh. MD. Cholangitis. [online] 2010 [cited Januari]. Available From URL;
http://www.emedicine.com

Satapathy SK, Shifteh A, Kadam J, Friedman B,Cerulli M A, Yang SS. Acute


cholangitis secondary to biliary ascariasis, a case report. practical
gastroenterology march 2011:44-46

Shojamanesh,MD. Cholangitis. [online]2010 [cited November]. Available


From URL;http://www.emedicine.com

Soetikno, Rista D. 2007. Imaging Pada Ikterus Obstruksi. Bandung:


Bagian/UPF Radiologi FKUNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin.

Sudarmo, Pulunggano dan Irdam, Ade Indrawan. 2008. Pemeriksaan Radiografi


Polos Abdomen pada Kasus Gawat Darurat. Majalah Kedokteran
Indonesia Vol 58 (12) : 537-541

Swastiningrum EE. 2019. Evaluasi Teknik Pemeriksaan Ultrasonografi


Kandung Empedu Terhadap Perbedaan Gambaran Batu dan Polip Di
Rumah sakit Umum Daerah Cengkareng Jakarta.

Wada K, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y. Miura F, Yoshida M, Mayumi T,


Strasberg S, Pitt HA, Gadacz TR, Buchler MW, BelghitiJ, de Santibanes
E, Gouma DJ, Neuhaus H, Dervenis C, Fan ST, Chen MF, Ker CG,
Bornman PC, Hilvano SC, Kim SW, Liau KH, Kim MH. Diagnostic
criteria and severity assessment of acute cholangitis. Tokyo Guidelines. J
Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007; 14 (1) 52-8,.

WHO. Atlas teknik radiografi. Jakarta : EGC 1992

Anda mungkin juga menyukai