Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang Masalah

Ilmu qira’at merupakan salah satu cabang dari disiplin ilmu al-Qur’an yang jarang diminati oleh
kebanyakan orang bahkan pondok pesantren yang berbasis tahfiz al-Qur’an sekali pun juga tidak
banyak yang menerapkan ilmu qira’at dalam lembaganya maupun pembelajarannya. Hal ini
dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan
kehidupan sehari-hari, tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya yang dapat dibilang
berhubungan dengan kehidupan manusia. Selain itu, ilmu qira’at juga cukup rumit untuk
dipelajari kecuali orang-orang yang benar-benar ingin mendalami al-Qur’an secara utuh tidak
hanya dari segi kandungan isi yang disampaikan tapi juga dari segi bacaannya.Istilah qira’at
yang biasa digunakan adalah cara pengucapan lafaz dari ayat-ayat al-Qur’an melalui jalur
penuturan tertentu. Jalur penuturan itu meskipun berbedabeda karena mengikuti mazhab (aliran)
para imam qira’at, tetapi semuanya mengacu kepada bacaan yang disandarkan kepada Rasulullah
saw. Dalam diskursus disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu qira’at menempati urutan pertama
karena ilmu tersebut erat kaitannya dengan aspek linguistik pelafalan ayat-ayat alQur’an,
sedangkan bahasa Arab pra-Islam telah dikenal sebagai bangsa yang memiliki pluralitas dialek.
Ilmu qira’at sendiri sudah ada sejak masa Nabi Muhammad saw. dan dikenalkan oleh beliau
sendiri, suatu praktik sunnah yang menunjukkan tata cara baca setiap ayat. Namun ilmu ini
mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-1 H, di mana cara baca mulai dipopulerkan
oleh ahli Qurra Pada masa tabi‘in khususnya pada paruh pertama abad ke-2 H, ilmu ini telah
berkembang menjadi kajian khusus di tangan para imam ahli Qurra seperti Nafi’ ibn ‘Abd al-
Rahman. Para ulama menyeleksi dan melakukan pengujian terhadap berbagai qira’at yang
beredar luas di masyarakat. Sehingga untuk memverifikasi sebuah qira’at para ulama
menetapkan tiga syarat sebagai berikut:
1. Harus memiliki sanad (mata rantai periwayatan) yang mutawatir, yaitu bacaan yang diterima
dari guru yang terpercaya, tanpa adanya cacat dan bersambung hingga Nabi Muhammad saw.
2. Harus bersesuaian dengan rasm ‘Usmani
3. Harus bersesuaian dengan kaidah tata bahasa Arab.
Sedangkan varian qira’atsendiri secara keseluruhan dikelompokkan menjadi enam macam;
Mutawatir, Masyhur, Ahad, Syaz, Maudu, dan Mudraj. Keempat macam yang terakhir tidak
boleh diamalkan bacaannya baik di dalam shalat maupun di luar shalat.Perbedaan qira’at ini
berkisar pada lahjah (dialek), tafkhim(penyahduan bacaan), tarqiq (pelembutan), harakah (tanda
baca), madd atau tull (panjang nada), qasr (pendek nada), tasydid(penebalan nada), takhfif
(penipisan nada), imalah (membaca vocal “a” ke “e”), ibdal(pergantian huruf), dan lain
sebagainya. Contoh perbedaan qira’at yang paling sering kita jumpai adalah bacaan imalah
dalam QS. Hud : 41. Pada beberapa lafaz al-Qur’an, sebagian orang Arab mengucapkan vocal 'e'
sebagai ganti dari 'a'. Misalnya, ucapan “wadduhe wallaili iza saje. Mawadda‘aka rabbuka wa
maqole”.Setelah dibukukannya al-Qur’an, maka mushaf alQur’an yang beredar luas di kalangan
umat Islam secara keseluruhan merujuk pada mushaf ‘usmani. Dengan dibukukannya al-Qur’an
pada masa khalifah ‘Usman dan diseragamkannya bacaan juga tulisan maka perbedaan bacaan
yang semula mendapat perhatian besar di kalangan para cendekiawan kini menjadi tidak lagi
diperhatikan. Sejak saat itu maka kelonggaran untuk membaca al-Qur’an dengan varian bacaan
sepertinya sudah berakhir. Namun,pemeliharaan terhadap varian qira’at masih tetap terjaga di
banyak lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia khususnya di pondok pesantren yang
berbasis al-Qur’an meskipun tidak semua pondok pesantren tersebut mengajarkan qira’ah sab‘ah.
Salah satu lembaga pendidikan berbasis al-Qur’andi Kabupaten Pati yang masih aktif
mengajarkan qira’ah sab‘ah hingga saat ini adalah Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an wa
Qira’at Sab’ah Miftahul Ulum yang terletak di Jl. Kauman Desa Talun Rt 02 Rw 02 Kecamatan
Kayen Kabupaten Pati. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengingat pesantren tersebut
merupakan satu-satunya pesantren di Pati bagian selatan tepatnya di Kecamatan Kayen yang
mengkaji qira>’ah sab‘ah dan karena ilmu ini merupakan ilmu yang dapat dibilang langka dan
tidak semua orang mampu memahami atau menguasainya. Pondok pesantren Tahfidzul Qur’an
wa Qira’at Sab’ah Miftahul Ulum Talun pertama kalinya dirintis oleh Ustadz Muhammad
Ircham al-Hafiz pada tahun 2014, yang merupakan pondok pesantren cabang dari Pondok
Pesantren Miftahul Ulum, selanjutnya disebut pondok pusat, yang saat ini diasuh oleh K.
Muhammad Agus Zuhurul Fuqohak bin KH. Rois Yahya bin KH. Dahlan. Sedangkan Pondok
Pesantren Miftahul Ulum pertama kalinya dirintis oleh KH. Dahlan pada tahun 1945,dimana
pada saat itu keadaan pesantren masih berbentuk pengajian dengan kondisi santri yang mengaji
berada di serambi Masjid Baitul Izzah tanpa ada tempat khusus atau pun sistematika
pembelajaran khusus lainnya. Seiring dengan banyaknya santri yang menimba ilmu, maka
dipinjamkankanlah rumah Bapak KH. Ya’qub yag berada di sebelah utara rumah KH. Dahlan
sebagai tempat mukimbagi para santri.Pada tanggal 17 Agustus 1954 mulailah didirikan
bangunan fisik dengan bantuan dari Depag Kecamatan Kayen atas usulan Bapak ‘Abbas seorang
petugas kepemerintahan waktu itu. Pondok tersebut berdiri di atas tanah wakaf milik KH. Dahlan
dengan ukuran 10×24 M².Seperti pondok pesantren salaf pada umumnya, pondok pesantren
Miftahul ‘Ulum Talun juga mengajarkan disiplin ilmu-ilmu keagamaan dengan sistem membaca
kitab kuning dengan makna gandul, sorogan, hafalan, dan musyawarah. Namun, pada tahun 2015
mulailah diterapkan kajian qira’ah sab‘ah, yaitu program khusus di bidang al-quran. Oleh karena
itu dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana latar belakang qira’ah sab‘ah
diajarakan, dipraktikkan, dan bagaimana paradigma santri terhadap qira’ah tersebut sehingga
mereka mau mempelajarinya.
Rumusan masalah
Qira’at adalah bentuk jamak dari qira’ah yang secara Bahasa berarti bacaan. Adapun pengertian
qira’ah secara istilah,al-zarqani mengemukakan definisinya sebagai berikut;
‘suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam
pengucapan al-qur’an serta sepakat-sepakat Riwayat dan jalur-jalur dari padanya, baik perbedaan
ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya.
Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qi-ra’at dimaksudkan menyangkut bacaan
ayat-ayat al-qur’an. Cara membaca al-qur’an berbeda dari satu imam dengan imam qira’ah yang
lainnya. Kedua,cara bacaan yang dianut dalam satu mazhab qira’ah didasarkan atas Riwayat dan
bukan atas qiyas atau ijtihad.ketiga, perbedaan antara qira’ah-qira’ah bisa terjadi dalam
mengucapkan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaan. Disamping itu, ibn jarir
membuat definisi, bahwa qira’at adalah ilmu pengetahuan tenta ng cara-cara menghafalkan
kalimat-kalimat al-qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.
Menurut al-mukri adalah seorang yang mengetahui qira’ah-qira’ah dan diriwayatkan kepada
orang lain secara lisan. Sekiranya ia hafal kitab al-taisir (kitab qira’ah) misalnya, ia belum dapat
meriwayatkan (yukri) isinya selama orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak
menyampaikan kepadanya secara lisan pula dengan periwayatan yang bersambung-sambung
(musasal). Sebab dalam masalah masalah qira’ah banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali
melalui pendengaran dan menyampaikan secara lisan. Al-qori,al-mubtadi ( qqri pemula) adalah
orang yang mulai melakukan personifikasi qira’ah hingga ia dapat mempersonifikasikan tiga
qira’ah. Al-muntahi(qari tingkat akhir) ialah orang yang mentransfer kebanyakan qira’ah atau
qira’ah yang termasyhur. Selanjutnya perlu diketahui bahwa al-qur’an yang tercetak belum dapat
dijadikan pegangan dalam masalah qira’ah sesuatu kenyataan bahwa banyak mushaf yang
dicetak dibelahan dunia islam setelah timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika Timur
misalnya qira’ah yang umum diikuti dikedua wilayah ini berbeda. Bahkan mushaf-mushaf yang
ditulis atas perintah khalifah utsman itu tidak bertitik dan berbaris. Karena itu ,mushaf-mushaf
ini dapat dibaca dengan berbagai qira’ah sebagai mana yang akan dipaparkan pada pembahasan
selanjutnya. Rasullullah SAW bersabda : ‘sesungguhnya Al-qur’an ini diturunkan atas tujuh
huruf (cara bacaan), maka bacalah (menurut) yang engkau anggap mudah’.(HR.Bukhari dan
muslim).
Macam-macam qira’at Al-qur’an
A. Macam-macam qiraat dilihat dari segi kuantitas
1. Qira’ah sab’ah ( qira’ah tujuh) kata sab’ah artikecilnya adalah imam-imam qiraat yang
tujuh. Mereka itu adalah Abdullah bin katsir ad-dari(w.120H),Nafi bin Abu Naim
(w.169H), Abdullah al-yashibi(q.118H),Abu Amar (w.154H), Yaqub (w.
205H),Hamziah(w.188H),Ashim binu Abi al-Najub al-Asadi.
2. Qiraat Asyrah (qiraat sepuluh) yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat yang telah
disebutkan diatas ditambah tiga qiraat sebagai berikut: Abu jafar ,nama lengkapnya Yazid
bin al-Qaqa al-Makhzumi al- Madani yaqub (117-205H). Lengkapnya Ya’qub tempat
sampah ishak bin Yazid bin Abdullah bin Abu ishaq al-Hadrani, Khallaf bi n hisyam
(w.229H)
3. Qiraat Arba’at Asyarh (qiraat empat belas)yang dimaksud qiraat sepuluh sebagaimana
mestinya yang telah disebutkan diatas ditambahi dengan empat qiraat lagi, yakni al-
Hasanah al-Bashri(w.110H),Muhammad bin Abdulrahman (w.23H),Yahya bin al-
Mubarak Al-yazidai dan Nahwi al-Baghdadi (w.202H),Abu al-Fajr Muhammad bin
Ahmad asy-syambudz(w.388H).
B. Macam-macam qiraat dilihat dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian jazari,berdasarkan kualitas qiraat tercapai dalam lima bagian
yaitu,
1. Qiraat Mutawatir
Yaitu yang disampaikan sekelompok orang dari awal sampai akhir sanad, yang tidak
mungkin bersepakat untuk melakukan dusta umumnya,qiraat yang ada masuk dalam
bagian ini.
2. Qiraat Masyhur
Yaitu qiraat yang memilki sanad sahih dengan Bahasa inggris arab dan tulisan
mushafutsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur
berbeda-beda, sebagai perawi misalnya meriwayatkan sebuah dari imam tujuh
tersebut,sementara yang lainnya tidak,dan qiraat semacam ini banyak digambarkan
dalam kitab-kitab qiraat.
3. Qiraat Ahad
Yaitu yang memiliki sanad sahih,tapi menyalahi tulisan mushaf Usmani dan Bahasa
inggris seorang arab ,tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibacakan sebagaimana
mestinya ke yng telah ditetapkan.
4. Qiraat syadz (menyimpang)
Yaitu qitraat yang sanadnya tidak sahih telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis
qiraat ini.
5. Qiraat maudhu (palsu),seperti qiraat al-khazzani
6. As-suyuthi kemudian menambah qiraat yang merupakan yaitu qiraat yang
menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisi panci pada bacaan dengan
tujuab ,umpamanya qiraat Abi Waqqash.
Kriteria dan ketentuan qiraat Al-qur’an
Untuk menangkal penyelawangan qiraat yang sudah muncul,para ulama membuat persyaratan-
persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Untuk membedakan antara yang benar dan qiraat
yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qiraat yang benar’yaitu:
a. Kesungguhan dengan satu ragam dari beberapa macamragam Bahasa arab .
Sama saja apakah ia ragam Bahasa arab yang fasih atau afshah(lebih fasih). Karena qiraat
adalah sunnah yang diikuti ,wajib untuk diterima dan jalan untuk mengarah kepadanya
adalah dengan menggunakan sanad, bukan rayu(akala atau rasio).
b. Qiraat tersebut sesuai dengan salah satu mushaf utsmani meskipun bersifat kemungkinan
(tidak secara pasti). Karena para syahadat rahiyaallahu anhum didalam penulisan mushaf
utsman mereka berijtihad dalam membuat rasm (bentuk tulisan atau khat)
c. Kiraat tersebut harus shahih sanadnya.
Karena qiraat itu sunnahyang diikuti ,yang didasarkan pada penukilan kebenaran dan
keshalihahan Riwayat kadang para ahli Bahasa arab mengingkari suatu qiraat di antara
macam-macam qiraat yang ada dengan alas an keluarnya qiraat tersebut dari aturan atau
kaidah Bahasa arab,atau karena lemahnya ia dari sisi Bahasa . namun para imam ahli
qira’at tidak mengindahkan dan memperhatikan pengingkaran tersebut (karena mereka
aku lebbih keshahihan sanad. Wallahu a’lam). Itulah patokan untuk sebuah qira’at
shahih. Maka jika ditanyakan ketiga hukum , pertama tebal,kecocokannya dengan b
arab,kedua tebal,kecocokannya dengan mushaf dan ketiga, tebal adalah shahihnya qira’at
tersebut ,makai a adalah qiraat yang shahih. Dan kapan saja hilang salah satu rukun atau
lebih dari rukun-rukun tersebut,maka Qira`at yang shahih,Dan awal dengan Qira`at Daif,
atau syadz batil. Dan termasuk hal yang mengharamkan adalah bahwa sebagai ahli
nahwu (ilmu tata b. arab) -setelah hal diatas- menylahkan qira’at shahih yang sesuai
dengan kaidah atauran diatas, hanya karena qiraat tersebut bertentangan dengan aturan
ilmu nahwu. Yang mereka susun yang dengannya mereka menghukumi kesyahihan
sebuah Bahasa. Padahal seharusnya kita menjadikan qira’at shahih sebagai hakim yang
menghukumi benar dan tidaknya sebuah kaidah dalam ilmu nahwu dan Bahasa, bukan
dengan menjadikan aturan Bahasa sebagai hakim adalah alqur’an ( yang menghakimi sah
dan tidaknya sebuah qiraat)karena al-qur’an adalah sumber pertama sebuah dan pokok
untuk pengambilan aturan.Kaidah Bahasa Al-Quran (dalam penempatannya)berdasarkan
kepada keabsahan pemukilan yang periwayatan yang menjadi saudara para imam Qurra;
dalam sisi Bahasa apapun.
Penutup
Qira’ah alqur’an adalah mushaf membaca al-qur’an dari para imam qura` yang masing-
masing memiliki perbedaan dalam pelafalan al-quran karim dan disandarkan pada sanad-
sanadnya sampai untuk Rasulullah gergaji perbedaan-pernedaan bacaan bacaan umat
muslim sesuai muzhab qiraah yang diikutinya,ini menunjukan diperkecil islam sangat
menghargai perbedaan, bahkan merupakan sebuah rahmat. Sebagaimana sabdah
Rasulullah dalam sebuah hadits,’perbedaan yang terjadi dalam uamatku adalah
rahmad’.dengan perbedaan dalam membaca qira’ah menimbulkan perbedaan dalam
mengistimbatkan hukum (dimana satu hukum dengan hukum lainnya saling
menguatkan). Ketika seorang mufassir mengawasi al-qur’an menurut mushaf yang
diikutinya, makai a melahirkan hukum yang berbeda dengan mushafir lain yang
mengambil (mengikuti) mazhab lain.

Anda mungkin juga menyukai