Anda di halaman 1dari 28

Makalah Keperawatan NAPZA (HIV Human Immunodeficiency Virus)

(Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Napza)


Dosen Pengampu : Udi Wahyudi, M.Kep

Disusun oleh :

1. Mayang Kusnadi NIM. P17320318013


2. Khallara Tri Dianti NIM. P17320318014
3. Devina Agnesya Sanusi NIM. P17320318038

Tingkat : 3A

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BOGOR


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Makalah Keperawatan Napza
(HIV Human Immunideficiency Virus”.

Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing kami yaitu, Bapak Udi
Wahyudi M.Kep. Selaku dosen mata kuliah Keperawatan Napza, karena berkat bimbingannya
kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Juga kami ucapkan terima kasih kepada
rekan sejawat yang telah berkontribusi dalam menyelesaikan tugas ini.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Dan kesalahan itu sudah melekat pada diri kita
sendiri sebagai manusia. Begitupun juga dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan. Semoga ini bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.

Bogor, September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................i

DAFTAR ISI .....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...........................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................3

2.1 Pengertian HIV ..............................................................................3

2.2 Siklus Hidup HIV...........................................................................3

2.3 Patofisiologi HIV ..........................................................................5

2.4 Type HIV........................................................................................6

2.5 Klasifikasi HIV..............................................................................8

2.6 Efek terhadap sistem imun.............................................................9

2.7 Infeksi Oportunitis........................................................................16

2.8 Terapi untuk HIV.........................................................................18

BAB III PENUTUP ........................................................................................22

3.1 Kesimpulan.............................................................…22
3.2 Saran ..........................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita semua mungkin sudah banyak mendengar cerita-cerita yang menyeramkan
tentang HIV/AIDS. Penyebaran AIDS itu berlangsung secara cepat dan sampai sekarang
belum ada obat yang bisa menyembuhkan AIDS bahkan penyakit yang saat ini belum bisa
dicegah dengan vaksin.

Acquired Immune Deficiency Syindrom atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah
suatu penyakit yang disesabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Maka
dapat dikatakan HIV adalah virus yang menyeramkan dan merusak sel kekebalah tubuh
manusia sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan mudah terserang berbagai penyakit
antara lain TBC, diare, sakit kulit, dll. Kumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh
kita itulah yang disebut AIDS.

Maka, selama bertahun-tahun orang dapat terinfeksi HIV sebelum akhirnya mengidap
AIDS. HIV menginfeksi beberapa jenis sel darah putih, terutama sel CD4. Sel CD4 dan
makrofag memiliki fungsi penting dalam sistem kekebalan tubuh (Pinsky dan Douglas,
2009). Virus yang masuk ke dalam tubuh akan menghancurkan dan merusak sistem
kekebalan tubuh, sehingga orang yang terinfeksi akan mengalami defisiensi imun secara
bertahap.

Pengguna narkoba (NAPZA) suntikan dan alcohol adalah faktor besar dalam
penyebaran infeksi HIV. Penggunaan narkoba suntkan bertanggung jawab untuk sepertiga
infeksi HIV yang baru. Alat-alat yang dipakai secara bergantian untuk memakai narkoba
dapat membawa HIV. Oleh karena itu kami membahasnya dalam makalah kami yang
berjutud “Makalah Keperawatan Napza (HIV Human Immunodeficiency Virus)”

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Pengetian dati HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?


2. Bagaimana siklus hidup HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?
3. Bagaimana patofisiologi HIV pada Pengguna Napza ?
4. Apa saja type dari HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?
5. Apa saja klasifikasi HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?
6. Bagaimana efek terhadap sistem imun ?

1
7. Bagaimana kejadian Infeksi Oportunist

2
8. Apa saja terapi untuk HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :

1. Mengetahui Pengetian dati HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?


2. Mengetahui siklus hidup HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?
3. Mengetahui parofisiologi HIV pada Pengguna Napza ?
4. Mengetahui apa saja type dari HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?
5. Mengetahui apa Saja klasifikasi HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?
6. Mengetahui bagaimana efek terhadap sistem imun ?
7. Mengetahui bagaimana kejadian Infeksi Oportunistik ?
8. Mengetahui apa saja terapi untuk HIV (Human Immunodeficiency Virus) ?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV


Pengertian
HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA yang menggunakan
RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Golongan retrovirus terutama HIV
memiliki sifat khusus karena memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang
mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang
kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. HIV
dapat memfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus HIV
yang baru (Departemen Kesehatan RI, 2003).
HIV menginfeksi beberapa jenis sel darah putih, terutama sel CD4. Sel CD4
dan makrofag memiliki fungsi penting dalam sistem kekebalan tubuh (Pinsky dan
Douglas, 2009). Virus yang masuk ke dalam tubuh akan menghancurkan dan merusak
sistem kekebalan tubuh, sehingga orang yang terinfeksi akan mengalami defisiensi
imun secara bertahap (Anonim, 2013).

2.2 Siklus Hidup HIV

Menurut U.S. Department of Health and Human Services ketujuh tahapan


dalam siklus hidup virus HIV meliputi:

a. Pengikatan (penempelan)
Fase awal siklus hidup virus HIV diawali dengan masa inkubasi, ketika
virus belum aktif memperbanyak diri dan merusak sel dalam sistem imun. Pada
fase ini virus HIV akan menempel pada reseptor dan membentuk ikatan di
permukaan sel CD4. Berapa lama masa infeksi HIV mulai berlangsung pada fase
awal ini sebetulnya tidak lebih dari 30 menit. Tiga puluh menit adalah lama dari
masa hidup sel CD4.
b. Penggabungan
Setelah menempel pada reseptor di permukaan sel inang, virus kemudian
akan meleburkan diri. Selama masa inkubasi virus, amplop HIV dan membran sel
CD4 bergabung kemudian virus HIV pun masuk ke dalam sel CD4. Berapa lama

4
masa infeksi HIV di tahap ini biasanya berlangsung sampai virus melepaskan
material genetiknya seperti RNA ke dalam sel inang.
c. Reverse transcription
Masa infeksi virus HIV dalam fase penggabungan akan selesai setelah
mengikuti berapa lama proses reverse transcription. Fase reverse transcription
masih termasuk ke dalam masa inkubasi virus HIV. Di dalam sel CD4, HIV
melepas dan menggunakan transkriptase terbalik di mana enzim dari HIV
mengubah materi genetik yang disebut RNA HIV menjadi DNA HIV. Berapa
lama masa infeksi HIV yang melibatkan konversi dari RNA HIV menjadi DNA
HIV akan berakhir ketika menyebabkan HIV masuk ke dalam nukleus sel CD4
dan menggabungkannya dengan materi genetik sel, yang disebut sel DNA.
d. Penyatuan (integrasi)
Masa jendela HIV masih tetap berlangsung sampai terjadinya masa
integrasi. Berhentinya masa inkubasi virus HI di dalam nukleus sel CD4 ditandai
ketika HIV menghasilkan enzim yang disebut intergrase. Enzim ini
menggabungkan DNA viral menjadi DNA dari sel CD4 disebut provirus. Berapa
lama masa infeksi HIV pada fase provirus belum bisa ditentukan karena provirus
belum aktif memproduksi virus HIV baru selama dalam beberapa tahun ke depan.
e. Replikasi
Begitu bersatu dengan DNA sel CD4 dan mulai aktif bereplikasi, HIV
mulai menggunakan CD4 untuk menghasilkan rantai panjang protein HIV. Rantai
protein HIV merupakan blok pembangun untuk virus bereplikasi membentuk
virus HIV lainnya. Berapa lama masa infeksi HIV pada fase replikasi akan
berlangsung sampai tahap perakitan.
f. Perakitan
Berapa lama masa infeksi HIV pada fase perakitan ditentukan dengan
terputusnya rantai panjang protein HIV menjadi ukuran protein yang lebih kecil.
Berapa lama masa infeksi HIV selanjutnya memperlihatkan protein HIV yang
baru beserta RNA HIV berpindah ke permukaan sel dan merakit menjadi HIV
yang belum matang (tidak menular).
g. Bertunas

HIV yang baru dan belum matang menembus sel CD4. HIV yang baru
menghasilkan enzim HIV yang disebut protease. Protease berperan untuk

5
memecah rantai panjang protein yang membentuk virus yang belum matang.
Protein HIV yang lebih kecil berkombinasi untuk membentuk HIV yang matang.
Berapa lama masa infeksi HIV dalam periode bertunas ini berlangsung hingga
virus HIV yang baru bisa menginfeksi sel-sel lainnya.

2.3 Patofisiologi HIV

Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring
pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+
akan terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala
klinis pada AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu
gejala infeksi akut yang spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri
tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan
periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah
sel limfosit CD 4+ selama bertahun –tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS
akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai manifestasi klinis

6
lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi
keganasan (Kapita Selekta, 2014).

Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel –
sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4,
maka sistem imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya
fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto &
Made Ari, 2013).

Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat


tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun.
Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml
darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 – 300 per ml darah, 2 – 3 tahun
setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala – gejala infeksi (herpes
zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).

2.4 Type dari HIV

HIV dapat dibagi menjadi dua tipe, yakni tipe 1 dan tipe 2. HIV-1 dapat
ditemukan di seluruh dunia, sementara HIV-2 jarang ditemukan di tempat lain
selain di Afrika Barat. Kedua tipe virus ini ditularkan dengan cara yang sama dan
sama-sama dapat menyebabkan AIDS. Akan tetapi, tampaknya HIV-2 lebih sulit
menular dan infeksi HIV-2 jauh lebih lambat berubah menjadi AIDS
dibandingkan HIV-1.Virulensi dan viral load yang rendah dari HIV-2 menjadi
penyebab keadaan tersebut. HIV-2 memiliki setidaknya delapan subtipe, dimana
subtipe A dan B adalah yang tersering ditemukan.

Diduga HIV-1 berkembang dari Simian Immunodeficiency Virus (SIV)


yang menginfeksi simpanse (SIVcpz) sementara HIV-2 berkembang dari SIV
yang menginfeksi monyet sooty mangabey (SIVsmm).Untuk selanjutnya, akan
lebih banyak dibahas mengenai HIV-1.GRUP

HIV-1 dapat dibagi lagi menjadi empat grup, yakni M (main atau major),
N (new), O (outlier), dan P. Grup M adalah yang paling sering ditemukan di
antara semua grup yang tergabung dalam HIV-1. Grup O tampaknya hanya
ditemukan di Afrika Tengah-Barat. Grup N ditemukan pada tahun 1998 di

7
Kamerun, sementara grup P baru ditemukan pada tahun 2009 pada seorang wanita
Kamerun.

SUBTIPE (“clades”)

Hingga saat ini dalam grup M telah ditemukan beberapa subtipe, yakni
subtipe A, B, C, D, F, G, H, J, dan K. Berikut adalah persebaran utama berbagai
subtipe tersebut:

Subtipe A: Afrika Tengah dan Timur serta negara-negara Eropa Timur yang
dulunya bagian dari Uni Soviet.

Subtipe B: Eropa Tengah dan Barat, Amerika Utara, Australia, Amerika Selatan,
Karibia, dan beberapa negara Asia tenggara (Thailand dan Jepang), serta Afrika
Utara dan Timur Tengah.

Subtipe C: merupakan subtipe yang paling banyak menyebabkan infeksi di


seluruh dunia. Subtipe ini adalah yang paling dominan di negara-negara Afrika
Sub–Sahara, India, Nepal, dan Brazil.

Subtipe D: Afrika Utara dan Timur Tengah.

Subtipe E*: Thailand dan Afrika Tengah.

Subtipe F: Asia Tenggara dan Selatan, Brazil, dan Romania.

Subtipe G: Afrika Tengah dan Barat, Rusia, dan Gabon.

Subtipe H: Afrika Tengah.

Subtipe J: Amerika Tengah.

Subtipe K: Kongo dan Kamerun.

Setiap subtipe memiliki kecenderungan metode penularan masing-masing.


Sebagai contoh, subtipe B lebih mudah menular melalui hubungan homoseksual
dan darah, sedangkan penularan HIV-1 subtipe C dan E* lebih cenderung melalui
hubungan heteroseksual. Penularan virus dari ibu ke anak tampaknya lebih efektif
terjadi pada subtipe D dan C dibandingkan subtipe A.

Dua virus dari subtipe yang berbeda dapat bertemu dalam satu sel dan
mengadakan rekombinasi, suatu proses yang menyebabkan terjadinya

8
percampuran materi genetik kedua virus untuk menghasilkan suatu virus hybrid.
Biasanya virus hybrid ini tidak bertahan lama, tetapi virus yang berhasil bertahan
dan menginfeksi lebih dari satu orang digolongkan sebagai CRF (Circulating
Recombinant Forms). Setidaknya ada dua puluh CRF berhasil teridentifikasi.

2.5 Klasifikasi Klinis Infeksi HIV menurut WHO

Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV
terkonfirmasi menurut WHO:
1. Stadium 1 (asimtomatis)
a. Asimtomatis
b. Limfadenopati generalisata
2. Stadium 2 (ringan)
a. Penurunan berat badan < 10%
b. Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis,
ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular pruritik
c. Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir
d. Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media
3. Stadium 3 (lanjut)
a. Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas
b. Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan
c. Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan
d. Kandidiasis oral persisten
e. Oral hairy leukoplakia
f. Tuberculosis paru
g. Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi tulang/sendi,
meningitis, bakteremia
h. Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut
i. Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109/L) tanpa
sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang jelas
4. Stadium 4 (berat)
a. HIV wasting syndrome
b. Pneumonia akibat pneumocystis carinii
c. Pneumonia bakterial berat rekuren
d. Toksoplasmosis serebral

9
e. Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
f. Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
g. Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral
h. Leukoensefalopati multifocal progresif
i. Mikosis endemic diseminata
j. Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
k. Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru
l. Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren
m. Tuberculosis ekstrapulmonal
n. Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati
o. HIV, kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik,
karsinoma serviks invasive, leismaniasis atipik diseminata
Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis
(Kapita Selekta, 2014).

2.6 Efek Terhadap Sistem Imun

1. Infeksi primer atau sindrom akut

A. Fase Primer
Pada tahap ini, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi membentuk antibodi
untuk melawan virus HIV.

Pada banyak kasus, gejala pada tahap ini muncul 1-2 bulan setelah infeksi terjadi.
Penderita umumnya tidak menyadari telah terinfeksi HIV. Hal ini karena gejala
yang muncul mirip dengan gejala penyakit flu, serta dapat hilang dan kambuh
kembali. Perlu diketahui, pada tahap ini jumlah virus di aliran darah cukup tinggi.
Oleh karena itu, penyebaran infeksi lebih mudah terjadi pada tahap ini.

Gejala tahap infeksi akut bisa ringan hingga berat, dan dapat berlangsung hingga
beberapa minggu, yang meliputi:

 Demam hingga menggigil.
 Muncul ruam di kulit.
 Muntah.
 Nyeri pada sendi dan otot.
 Pembengkakan kelenjar getah bening.
 Sakit kepala.
 Sakit perut.

10
 Sakit tenggorokan dan sariawan.

2. Tanda dan Gejala Lanjut HIV

a. Gejala HIV stadium I

Stadium 1 adalah fase di mana gejala HIV awal sudah mulai hilang, disebut
sebagai infeksi HIV asimtomatik yang berarti penderita tidak menunjukkan gejala,
dan kalau pun ada gejalanya hanya berupa pembesaran kelenjar getah bening di
berbagai bagian tubuh penderita, misalnya leher, ketiak, dan lipatan paha.

Periode tanpa gejala dapat terjadi bertahun-tahun, bisa 5-10 tahun tergantung dari
daya tahan tubuh penderita. Rata-rata, para penderita HIV akan berada di stadium ini
selama 7 tahun.

b. Gejala HIV stadium II

Pada gejala HIV stadium ini, daya tahan tubuh ODHA umumnya sudah mulai
turun. Virus menunjukkan aktivitasnya pada daerah yang memiliki membran mukosa
kecil. Gejalanya beragam, tapi masih belum khas atau begitu spesifik.

Biasanya hal ini terjadi pada pasien yang memiliki gaya hidup tidak berisiko
tinggi dan masih belum mengetahui bahwa dirinya sudah terinfeksi. Akibatnya,
mereka tidak melakukan pemeriksaan darah dan otomatis tidak memperoleh
pengobatan dini untuk mencegah percepatan masuk ke stadium infeksi HIV
berikutnya.

Tanda dan gejala HIV dalam tahap ini berupa:

 Penurunan berat badan yang drastis tanpa sebab yang jelas. Penderita pun tidak
dalam diet atau pengobatan yang dapat menurunkan berat badan. Diperkirakan
penurannya terjadi kurang dari 10% berat badan sebelum terkena penyakit.
Padahal. 
 Infeksi saluran napas atas yang sering kambuh, seperti sinusitis, bronkitis radang
telinga tengah (otitis media), radang tenggorokan (faringitis).
 Herpes zoster yang berulang dalam 5 tahun
 Radang pada mulut dan stomatitis (sariawan) yang berulang.

11
 Gatal pada kulit (papular pruritic eruption)
 Dermatitis seboroik yang ditandai ketombe luas yang tiba-tiba muncul.
 Infeksi jamur pada kuku dan jari-jari.

c. Gejala HIV stadium III

Fase ini disebut fase simptomatik, yang sudah ditandai dengan adanya gejala-
gejala infeksi primer. Gejala yang timbul pada stadium III ini cukup khas sehingga
kita bisa mengarah pada dugaan diagnosis infeksi HIV/AIDS.

Penderita biasanya akan merasa lemah dan menghabiskan waktu 50% di tempat
tidur. Namun, diperlukan pemeriksaan darah untuk menegakkan diagnosis dengan
tepat. Rentang waktu dari  gejala HIV stadium III menuju AIDS rata-rata 3 tahun.

Gejala HIV pada stadium III antara lain:

 Penurunan berat badan lebih dari 10% dari perkiraan berat badan sebelumnya
tanpa penyebab yang jelas.
 Mencret-mencret (diare Kronis) yang tidak jelas penyebabnya dan sudah
berlangsung lebih dari 1 bulan.
 Demam yang terus menerus atau hilang timbul selama lebih dari 1 bulan yang
tidak jelas penyebabnya.
 Infeksi jamur di mulut (candidiasis oral).
 Oral hairy leukoplakia, munculnya bercak putih pada lidah yang permukaannya
kasar, tampak berombak, dan berbulu.
 Tuberkulosis paru yang terdiagnosis 2 tahun terakhir.
 Radang mulut akut nekrotik, gingivitis (radang gusi), periodontitis yang
berulang dan tidak kunjung sembuh.
 Hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan turunnya sel darah merah, sel darah
putih, dan trombosit.

12
d. Gejala stadium IV (AIDS)

Stadium IV penyakit HIV disebut juga stadium akhir AIDS. 

Biasanya gejala AIDS ditandai dengan kadar sel CD4 dalam tubuh penderita
terlampau rendah, yaitu di bawah angka 200 sel/mm3. Pada orang dewasa normal,
kadar sel CD4 idealnya berkisar antara 500 sel/mm3 sampai 1600 sel/mm3.

Tanda dan gejala AIDS pada stadium HIV akhir ini berupa munculnya
pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh. Pengidapnya juga dapat memunculkan
beberapa infeksi oportunistik.

Gejala AIDS atau gejala HIV tahap lanjut dapat meliputi:

 HIV wasting syndrome, di mana penderita menjadi kurus kering dan tidak
bertenaga.

 Pneumonia pneumocystis yang ditandai dengan batuk kering, sesak yang


progresif, demam, dan kelelahan berat. 

 Infeksi bakteri yang berat seperti infeksi paru (pneumonia, empyema,


pyomyositis), infeksi sendi dan tulang dan radang otak (meningitis).

 Infeksi herpes simplex kronis (lebih dari 1 bulan).

 Penyakit tuberkulosis di luar paru, misalnya tuberkulosis kelenjar.

 Candidiasis esofagus yaitu infeksi jamur di kerongkongan yang membuat


penderita sangat sulit untuk makan.

 Sarcoma Kaposi.

 Toxoplasmosis cerebral yaitu infeksi toksoplasma di otak yang dapat


menyebabkan abses atau borok otak.

 Encephalophaty HIV, keadaan di mana penderita sudah mengalami penurunan


dan perubahan tingkat kesadaran.

13
Khususnya pada wanita, gejala AIDS dapat pula berwujud sebagai:

 Pelvic Inflammatory Disease atau radang panggul. Peradangan ini menyerang


bagian reproduksi wanita seperti rahim, leher rahim, tuba fallopi, dan indung
telur. 

 Perubahan terhadap siklus haid, menjadi lebih sering atau bahkan jarang,
darah yang keluar sangat banyak, atau mengalami amenorrhea (tidak haid)
selama lebih dari 90 hari.

Selain mengalami berbagai gejala AIDS di atas, umumnya ODHA sudah sangat
lemah sehingga aktivitas sehari-hari mereka 50%-nya dilakukan di atas tempat tidur

B. Fase Laten

Setelah beberapa bulan, infeksi HIV memasuki tahap laten. Infeksi tahap laten dapat
berlangsung hingga beberapa tahun atau dekade. Pada tahap ini, virus HIV semakin
berkembang dan merusak kekebalan tubuh.

Gejala infeksi HIV pada tahap laten bervariasi. Beberapa penderita tidak merasakan
gejala apapun selama tahap ini. Akan tetapi, sebagian penderita lainnya mengalami
sejumlah gejala, seperti:

 Berat badan turun.


 Berkeringat di malam hari.
 Demam.
 Diare.
 Mual dan muntah.
 Herpes zoster.
 Pembengkakan kelenjar getah bening.
 Sakit kepala.
 Tubuh terasa lemah.

Infeksi tahap laten yang terlambat ditangani, akan membuat virus HIV semakin
berkembang. Kondisi ini membuat infeksi HIV memasuki tahap ketiga, yaitu AIDS.

14
3. Fase Infeksi Kronis (AIDS)

Ketika penderita memasuki tahap ini, sistem kekebalan tubuh sudah rusak parah,
sehingga membuat penderita lebih mudah terserang infeksi lain.

Gejala AIDS meliputi:

 Berat badan turun tanpa diketahui sebabnya.


 Berkeringat di malam hari.
 Bercak putih di lidah, mulut, kelamin, dan anus.
 Bintik ungu pada kulit yang tidak bisa hilang. Keluhan ini kemungkinan
menandakan adanya sarkoma Kaposi.
 Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari.
 Diare kronis.
 Gangguan saraf, seperti sulit berkonsentrasi atau hilang ingatan.
 Infeksi jamur di mulut, tenggorokan, atau vagina.
 Mudah memar atau berdarah tanpa sebab.
 Mudah marah dan depresi.
 Ruam atau bintik di kulit.
 Sesak napas.
 Tubuh selalu terasa lemah.

2.7 Infeksi Opotunistik

Infeksi oportunistik adalah infeksi akibat virus, bakteri, jamur, atau parasit yang


terjadi pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Infeksi oportunitistik
tidak menyerang orang yang sehat dan memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik.
Namun, jika terjadi pada orang dengan daya tahan tubuh yang sangat lemah, misalnya
penderita AIDS, infeksi ini bisa menyebabkan kematian.

Pada penderita AIDS, di mana jumlah sel darah putih yang disebut sel CD4 tidak
cukup untuk melawan kuman penyakit, infeksi dapat terjadi dengan mudah. Tanpa
pengobatan yang baik, melemahnya daya tahan tubuh dalam jangka panjang membuat
pengidap rentan terhadap risiko infeksi. Sebuah infeksi pada pengidap HIV disebut
sebagai infeksi oportunistik karena berbagai macam mikroba penyebabnya (bakteri,

15
jamur, parasit, dan virus lainnya) muncul mengambil kesempatan selagi daya tahan
tubuh sedang melemah.

Pasien yang mengalami infeksi oportunistik artinya kemungkinan besar stadium


infeksi HIV yang diderita sudah lanjut pada tahap akhir yaitu AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome).

1. Manifestasi Klinis

Berikut adalah beberapa infeksi oportunistik yang dapat terjadi pada pengidap
HIV/AIDS.

a) Candidiasis

Candidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida. Infeksi


candidiasis oportunistik termasuk cukup umum ditemukan pada pasien HIV dengan
jumlah CD4 antara 200-500 sel/mm3 sampel darah. Infeksi candidiasis dapat
memengaruhi kulit, kuku, dan selaput lendir di sekujur tubuh, terutama di mulut dan
vagina. Gejala paling jelas yang muncul akibat infeksi oportunis ini adalah bintik atau
bercak putih di lidah atau tenggorokan.

b) Infeksi paru (pneumocystis)

Infeksi oportunistik yang paling serius untuk penderita HIV/AIDS. Gejala dari
infeksi paru oportunis dapat meliputi batuk, demam, dan kesulitan bernapas. Namun,
infeksi dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain. Infeksi oportunistik oleh jamur
crytococcus neoformans, misalnya, dapat menyebar ke kulit, tulang, atau saluran
kemih. Terkadang pneumonia dapat menyebar ke otak, dan menyebabkan
pembengkakan otak (meningitis).

c) Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB/TBC) adalah infeksi paru oportunis yang disebabkan oleh


bakteri bernama Mycobacterium. Gejala TB dapat meliputi batuk, kelelahan,
penurunan berat badan, demam, dan berkeringat di malam hari.Pada kenyataannya,

16
hampir semua penderita HIV sudah memiliki bakteri TB dalam tubuhnya meski
belum tentu aktif.

TBC dapat menjadi komplikasi serius pada pengidap HIV/AIDS karena bakteri
TB dapat lebih cepat menjadi aktif dan sulit diobati pada ODHA dibanding pada
orang sehat.Infeksi oportunis berupa tuberkulosis juga dapat memengaruhi bagian
tubuh lainnya, seringkali kelenjar getah bening, otak, ginjal, atau tulang.

d) Herpes simplex

Herpes simplex virus (HSV) merupakan virus penyebab penyakit kelamin herpes.


Herpes ditandai dengan munculnya kutil kelamin dan sariawan di daerah mulut dan
bibir.

Setiap orang memang bisa terkena herpes, namun penderita HIV berpeluang lebih
besar untuk mengalami infeksi herpes oportunis dengan gejala yang lebih parah.

e) Salmonella septicemia

Salmonella adalah infeksi yang bisa didapat lewat konsumsi makanan yang
terkontaminasi bakteri Salmonella typhii (Salmonella tp). Infeksi salmonella dapat
menyebabkan gejala seperti mual, muntah-muntah, dan diare.

Pada pengidap HIV/AIDS, bahaya dari infeksi ini dapat berkembang menjadi
septikemia. Septikemia adalah kondisi darah yang keracunan bakteri dalam jumlah
besar. Ketika sudah sangat parah, bakteri salmonella dalam darah dapat menginfeksi
seluruh tubuh dalam satu waktu.

f) Toksoplasmosis

Toksoplasmosis adalah komplikasi HIV/AIDS yang disebabkan oleh parasit


bernama Toxoplasma gondii.

Toksoplasmosis bahaya bagi pengidap HIV dan AIDS karena sangat mudah
berkembang di dalam tubuh yang sistem kekebalannya lemah. Parasit tersebut dapat
menginfeksi tidak hanya mata dan paru pengidap HIV, tapi juga bahaya bagi jantung,

17
hati, hingga otak. Ketika infeksi parasit toxoplasma sudah mencapai otak,
toksoplasmosis dapat menyebabkan kejang.

g) Infeksi pencernaan

Seiring melemahnya sistem imun, sistem pencernaan juga dapat


terinfeksi. Beberapa contoh infeksi parasit yang dapat menjadi bahaya bagi pengidap
HIV/AIDS adalah cryptosporidiosis dan isosporiasis.

cryptosporidiosis dan isosporiasis sama-sama menyebabkan demam, muntah, dan


diare parah. Pada pengidap HIV/AIDS, komplikasi penyakit ini dapat sampai
menyebabkan berat badan turun drastis.

2. Perawatan infeksi oportunistik

Perawatan bergantung pada tipe infeksi oportunistik, tetapi biasanya


mengikutsertakan antibiotik yang berbeda.

a. Pencegahan Infeksi Oportunistik

Untuk mencegah infeksi oportunistik, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan,
yaitu:

 Terapkan gaya hidup sehat, termasuk melakukan seks yang aman.


Gunakan kondom saat berhubungan intim, untuk mencegah infeksi menular
seksual.
 Cuci dan masak makanan dengan baik. Pastikan kebersihan peralatan masak
yang digunakan untuk mengolah makanan.
 Hindari mengonsumsi susu, daging, dan telur yang mentah atau kurang matang.
 Gunakan sarung tangan untuk mengambil kotoran hewan peliharaan, dan
jauhkan kucing dari dalam ruangan agar tidak membawa kuman yang dapat
membahayakan Anda.
 Hindari berbagi penggunaan sikat gigi atau handuk dengan orang lain.
 Hindari menelan atau meminum air yang langsung berasal dari kolam, danau,
atau sungai.

18
 Ikuti program vaksinasi yang diwajibkan dan dianjurkan oleh pemerintah untuk
menjaga kekebalan tubuh.
 Bagi wanita, lakukan pemeriksaan panggul dan Pap smear untuk mendeteksi
kanker atau infeksi.

2.8 Terapi Untuk HIV

Terapi adalah “usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit”. Tidak
disebut ‘usaha medis’ dan juga tidak disebut menyembuhkan penyakit.

1. Terapi Antiretroviral
a) Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi terbaik bagi
pasien terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) hingga saat ini.
Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk menekan jumlah virus (viral
load), sehingga akan meningkatkan status imun pasien HIV dan mengurangi
kematian akibat infeksi oportunistik.

b) Saat ini ARV itu sendiri terbagi dalam dua lini. Lini ke-1 atau lini pertama
terdiri dari paduan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) yang
meliputi Zidovudin (AZT) atau Tenofovir (TDF) dengan Lamivudin (3TC)
atau Emtricitabin (FTC), serta non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
(NNRTI) meliputi Nevirapin (NVP) atau Efavirenz (EFV). Sementara itu,
paduan lini 2 terdiri dari NRTI, serta ritonavir-boosted protease inhibitor (PI)
yaitu Lopinavir/Ritonavir. Lini 1 itu sendiri terdiri dari kombinasi 2 NRTI dan
1 NNRTI, sedangkan lini 2 terdiri dari kombinasi 2 NRTI dan 1 PI.

c) Keberhasilan pengobatan pada pasien HIV dinilai dari tiga hal, yaitu
keberhasilan klinis, keberhasilan imunologis, dan keberhasilan virologis.

 Keberhasilan klinis adalah terjadinya perubahan klinis pasien HIV


seperti peningkatan berat badan atau perbaikan infeksi oportunistik
setelah pemberian ARV.

 Keberhasilan imunologis adalah terjadinya perubahan jumlah limfosit


CD4 menuju perbaikan, yaitu naik lebih tinggi dibandingkan awal

19
pengobatan setelah pemberian ARV.

 keberhasilan virologis adalah menurunnya jumlah virus dalam darah


setelah pemberian ARV. Target yang ingin dicapai dalam keberhasilan
virologis adalah tercapainya jumlah virus serendah mungkin atau di
bawah batas deteksi

 Kepatuhan dalam meminum ARV merupakan faktor terpenting dalam


menekan jumlah virus HIV dalam tubuh manusia. Penekanan jumlah
virus yang lama dan stabil bertujuan agar sistem imun tubuh tetap
terjaga tinggi. Dengan demikian, orang yang terinfeksi virus HIV akan
mendapatkan kualitas hidup yang baik dan juga mencegah terjadinya
kesakitan dan kematian
2. Terapi Informasi

Kita cenderung menganggap ‘terapi’ sebagai sesuatu yang fisik: pil, jamu,
pijat, akupunktur. Jarang kita dengar ‘informasi’ dianggap sebagai terapi. Terapi
informasi melatarbelakangi semua bentuk terapi lain. Tanpa informasi, bagaimana
kita dapat mengetahui tentang berbagai terapi yang ada?

a. Informasi adalah Terapi Pertama dan Utama.

Terapi informasi bukan sekadar pengetahuan. Kita ambil contoh seseorang


yang baru dites HIV dan hasilnya ternyata positif. Setelah lewat rasa terkejut
(shock), banyak pertanyaan akan muncul: Apa itu AIDS? Apa bedanya dengan
HIV? Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana penularannya? Apa
pengobatannya? Gejalanya apa? Orang yang baru ditentukan terinfeksi HIV
(serta keluarga dan sahabatnya) pertama akan merasa mati kutu.

b. Bukan obat, bukan pengobatan medis, tetapi jawaban terhadap pertanyaan kita.
Informasi, dengan bentuk dan bahasa yang dapat kita pahami dan pada waktu
kita perlukan. Informasi akan mengobati ketidakpahaman kita, depresi kita,
memulihkan dan menyelamatkan jiwa kita. Dan seperti halnya berbagai macam
terapi, terapi informasi adalah suatu perjalanan, sebuah proses yang akan
berlangsung secara terusmenerus.

20
c. Pertolongan pertama untuk mengobati ketakutan terhadap hal yang tak diketahui
adalah informasi yang jelas dan tepat. Bila kita mulai memahami apa artinya
menjadi HIV-positif, kita dapat mulai menerima penyakit ini, mengerti bahwa
itu bukan vonis mati, dan mulai merencanakan tanggapan kita sendiri—yaitu
kumpulan terapi lain—yang kita akan mengikutinya. Dengan perencanaan
begitu— dan tindakannya—rasa ketakutan kita akan berkurang dan stres yang
terkait dengannya akan mulai menurun juga. Jadi, informasi untuk membantu
kita jadi paham adalah terapi pertama yang kita perlukan

d. Informasi, Informed Consent, dan Perawatan

Apa maksud sebetulnya ‘informed consent’? Artinya adalah kita harus


mempunyai informasi yang cukup dan tepat untuk mengambil keputusan yang
baik. Ini sebetulnya tidak hanya diperlukan untuk tes HIV. Informed consent
seharusnya wajib untuk semua bentuk tindakan medis—bukan sekadar kita
bersedia dites atau menjalani pembedahan, tetapi juga apakah kita siap memakai
obat yang diresepkan oleh dokter. Apakah kita cukup tahu tentang efek terapi
penunjang 9 sampingnya, harganya, kesulitan untuk memakainya, dll., supaya kita
dapat dengan tenang hati memutuskan untuk menerima terapi ini. Terapi
informasi harus selalu mendahului terapi obat

e. Memahami, Mengingat dan Bertanya

Satu hal yang paling menyenangkan tentang terapi informasi adalah bahwa ini
adalah jenis terapi yang paling murah. Biasanya kita harus bayar dan kadang-
kadang membayar mahal—untuk terapi jenis lain. Tetapi sering kali informasi
tersedia gratis, bila kita tahu tempat mencarinya. Dan cara mencarinya juga dapat
menjadi lebih nyaman

3. Terapi Spiritual

Yaitu perbaikan kekebalan tubuh akibat keadaan psikis yang baik melalui jalur
saraf. konsep kedokteran modern mengenai pengobatan ialah dengan
mempertimbangkan aspek biopsikososial. Artinya pengobatan tidak hanya berusaha
untuk mengembalikan fungsi fisik seseorang tetapi juga fungsi psikis dan sosial.
Pendekatan ini menempatkan kembali pengobatan spiritual sebagai salah satu cara
pengobatan dalam upaya penyembuhan penderita.

21
a. Pengaruh Ketaatan Beragama pada Perjalanan Penyakit

Pengamatan yang dilakukan pada umumnya di bidang penyakit kanker dan AIDS.
Sebagian besar informasi menunjukkan bahwa ketaatan pada agama dapat merupakan
faktor positif dalam menghadapi penderitaan akibat penyakit kanker maupun AIDS.
Hasil positif yang ditunjukkan oleh pengaruh agama adalah berkurangnya depresi,
peningkatan mutu hidup, mengurangi ketakutan menghadapi kematian sampai
peningkatan daya tahan hidup. Dampak positif ini tidak dipengaruhi oleh jenis agama
yang dianut penderita. Dengan kata lain baik penganut agama Kristen, Katolik, Islam,
Hindu, Yahudi atau Budha memperoleh manfaat dari ketaatannya beragama dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa. Sudah tentu ini tidak berlaku bagi
semua orang

b. Macam-macam Pengobatan Spiritual


Di Indonesia pengobatan spiritual biasanya dikaitkan dengan agama.
c. Respons Relaksasi

Tehnik respons relaksasi yaitu suatu tehnik pengobatan untuk menghilangkan


nyeri, insomnia (tidak bisa tidur) atau kecemasan. Cara pengobatan ini merupakan
bagian pengobatan spiritual (diuraikan dalam buku Timeless Healing, The Power and
Biology of Belief). Pada tehnik ini pengobatan sangat fleksibel dapat dilakukan
dengan bimbingan mentor, bersama-sama atau sendiri. Tehnik ini merupakan upaya
untuk memusatkan perhatian pada suatu fokus 18 seri buku kecil dengan menyebut
berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu.
Tehnik pengobatan ini dapat dilakukan setengah jam dua kali sehari.

Langkah-langkah respons relaksasi ini dapat dilakukan sebagai berikut :

 Pilihlah kalimat spiritual yang akan digunakan.


 Duduklah dengan santai.
 Tutup mata.
 Kendurkan otot-otot.
 Bernapaslah secara alamiah. Mulai mengucapkan kalimat spiritual
yang dibaca secara berulang-ulang dan khidmat.
 Bila ada pikiran yang mengganggu, kembalilah fokuskan pikiran.
 Lakukan 10 sampai 20 menit.

22
 Untuk berhenti jangan langsung, duduklah dulu dan beristirahat. Buka
pikiran kembali. Barulah berdiri dan melakukan kegiatan kembali.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa HIV adalah retrovirus yang
termasuk golongan virus RNA yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa
informasi genetik. Golongan retrovirus terutama HIV memiliki sifat khusus karena
memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang mengubah informasi
genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian
diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. HIV dapat
memfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus HIV yang
baru (Departemen Kesehatan RI, 2003). Infeksi oportunistik adalah infeksi akibat
virus, bakteri, jamur, atau parasit yang terjadi pada orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang lemah. Infeksi oportunitistik tidak menyerang orang yang sehat dan
memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Namun, jika terjadi pada orang dengan
daya tahan tubuh yang sangat lemah, misalnya penderita AIDS, infeksi ini bisa
menyebabkan kematian.

3.2 saran

Penulis menyadari bahwa “Makalah Keperawatan Napza (HIV Humman


Imunodeficiency Virus” ini masih banyak yang perlu dikoreksi baik dalam hal
penulisan dan isi materi. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

23
DAFTAR PUSTAKA

http://www.jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/download/105/95,tanggal akses
16

Seri buku kecil hiv-aids. 2016. Spiritia.( http://spiritia.or.id/cdn/files/dokumen/terapi-


penunjang_5c34dbcf64936.pdf)
United Nations Programe on HIV/AIDS (UNAIDS) and World Health Organizations
(WHO). AIDS Epidemic Update. 2009.

24
25

Anda mungkin juga menyukai