Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

BIAYA SOSIAL DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN


LINGKUNGAN

Dosen Pengampu:
Tati Atmayanti, M.ec. Dev

Disusun Oleh Kelompok 5:


1. Ahmad Yaumul Mazid (180501106)
2. Ahmad Musyirul Khairi ( )
3. Baiq Saifatul Husnul Hasanah ( )
4. Septiana Tamara ( )
5. Emi Aprianti ( )

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Biaya Sosial Dan
Permasalahan Pengelolaan Lingkungan” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah

Analisis SDA Dan Lingkungan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah

wawasan tentang bagaimana bagaimana biaya social dan permasalahan pengelolaan

lingkungan bagi para pembaca dan juga pagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Tati Atmayanti, M.ec. Dev selaku dosen

mata kuliah Analisis SDA Dan Lingkungan yang telah memberikan tugas ini, sehingga dapat

menambah wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik

dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Mataram, 04 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

A. Biaya Sosal............................................................................................................ 3

B. Sistem Harga Dengan Kewajiban Membayar Kerusakan ..................................... 4

C. Sistem Penentuan Harga Dengan Tanpa Kewajiban Membayar Kerusakan Atau

Kerugian ................................................................................................................ 6

D. Perkiraan biaya Pencemaran ................................................................................. 7

E. Menentukan harga atau pungutan terhadap pencemaran ...................................... 8

F. Pengaturan biaya social di indonesia .................................................................. 11

G. Permasalahan Pengelolaan lingkungan ............................................................... 12

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 15

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan lingkungan hidup dalam menunjang
keberlangsungan hidup, baik sebagai tempat interaksi maupun sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, lingkungan hidup harus dijaga dan dikelola dengan
baik. Namun dalam proses pengelolaan lingkungan tersebut sering kali terjadi
permasalahan-permasalahan dan munculnya biaya sosial, yaitu biaya privat dan biaya
eksternalitas.
Eksternalitas terjadi ketika suatu kegiatan menimbulkan manfaat atau biaya bagi
kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut tanpa ada pembayaran sama sekali.
Biaya eksternalitas yang ditambah dengan biaya privat disebut sebagai biaya sosial. Biaya
sosial dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan langkah efektif untuk memecahkan
persoalan eksternalitas. Jadi, masalah yang kita hadapi dalam kaitannya dengan tindakan-
tindakan yang memiliki dampak yang merugikan bukannya hanya bagaimana membatasi
tindakan mereka yang menimbulkan kerugian tersebut. Apa yang harus diputuskan ialah
apakah manfaat dari pencegahan timbulnya kerugian itu lebih besar daripada kerugian yang
diderita siapa dan dimana saja sebagai akibat pencegahan tindakan yang menimbulkan
kerugian tersebut.
Pembicaraan awal mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap biaya sosial,
akhirnya dilimpahkan kepada pemerintah untuk mengaturnya secara legal. Di sisi lain ada
yang kita kenal dengan invisible hand yaitu pengaturan oleh tangan yang tidak tampak akan
membawa perekonomian ke arah efisiensi yang tinggi. Tetapi yang terakhir itu dapat
dimengerti bila dalam perekonomian terdapat biaya privat dan tidak ada biaya sosial.
Indonesia sebagai negara berkembang sedang digemborkan pembangunan dan
meningkatkan pemanfaatan lingkungan hidup. Hal ini tentu berdampak terhadap
kualitas dan kuantitas lingkungan. Sehingga sangat diperlukan pengelolaan
lingkungan yang baik. Dengan pengelolaan lingkungan yang baik maka tercapainya
keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
Untuk lebih lengkapnya penulis akan membahas biaya social dan permasalahan
pengelolaan lingkungan pada bab selanjutnya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan biaya social di Indonesia?
2. Bagaiman permasalahan pengelolaan lingkungan di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengaturan biaya social di Indonesia?
2. Mengetahui permasalahan pengelolaan lingkungan di Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biaya Sosial
Dalam proses pengelolaan lingkungan sering kali terjadi permasalahan-
permasalahan dan munculnya biaya sosial, yaitu biaya privat dan biaya eksternalitas.
Eksternalitas terjadi ketika suatu kegiatan menimbulkan manfaat atau biaya bagi kegiatan
atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut tanpa ada pembayaran sama sekali. Biaya
eksternalitas yang ditambah dengan biaya privat disebut sebagai biaya sosial. Biaya sosial
dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan langkah efektif untuk memecahkan
persoalan eksternalitas.1
Biaya sosial adalah biaya yang berhubungan akuntansi sosial meliputi: Biaya
lingkungan, biaya karyawan, biaya produk, dan biaya komunitas. Adanya biaya yang
dikeluarkan oleh perusahaan untuk komunitas melalui pelaksanaan kegiatan atau aktivitas
social mengindikasi tanggung jawab dan kepedulian sosial perusahaan terhadap
komunitasnya.2
Ada berbagai pendapat mengenai aktivitas-aktivitas yang dapat dikategorikan
sebagai aktivitas sosial yang menunjukkan bentuk keterlibatan sosial perusahaan terhadap
masyarakat. Kotler dan Lee (2005: 23) merumuskan aktivitas yang berkaitan dengan
tanggung jawab sosial dalam 6 kelompok kegiatan, yaitu:
1. Promotion, adalah aktivitas sosial yang dilakukan melalui persuasive communications
dalam rangka meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan isu sosial yang sedang berkembang.
2. Marketing, dilakukan melalui commitment perusahaan untuk menyumbangkan sebesar
persentase tertentu hasil penjualannya untuk kegiatan social.
3. Corporate Sosial Marketing, dilakukan dengan cara mendukung atau pengembangan
dan atau penerapan suatu behavior change dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan kesehatan masyarakat.

1
Wildatrias, (2019), “Biaya Sosial Dan Permasalahan Pengelolaan Lingkungan”, diakses dari
https://id.scribd.com/document pada tanggal 03 Maret 2021
2
Yunita, Anggraeni, (2013), “Biaya Sosial Sebagai Bagian Corporate Social Responsibility Dalam Sudut Pandang
Akuntansi”, diakses dari https://www.neliti.com/id/publications pada tanggal 03 Maret 2021

3
4. Corporate Philantropy, merujuk pada kegiatan yang diberikan langsung. 5.
Community Volunteering, merupakan bentuk aktivitas social yang diberikan
perusahaan dalam rangka memberikan dukungan bagi kesejahteraan masyarakat dan
lingkungan. Dukungan tersebut dapat diberikan berupa keahlian, talenta, ide, dan atau
fasilitas laboratorium.
5. Social Responsibility Business Practices, merupakan kegiatan penyesuaian dan
pelaksanaan praktik-praktik operasional usaha dan investasi yang mendukung
peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat dan melindungi atau menjaga lingkungan,
misalnya membangun fasilitas pengolahan limbah, memilih memilih supplier dan atau
kemasan yang ramah lingkungan, dan lain-lain.

Berbeda dengan Kotler dan Lee, Menurut the committee on Accounting for
Corporate Social of Nation Association of Accountants (Yuniarti, 2002) bentuk kegiatan
sosial perusahaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Keterlibatan komunitas (Community Involvement), mencakup aktivitas berbentuk
donasi atau bantuan untuk kegiatan rohani, olahraga, bantuan bagi pengusaha kecil,
pelayanan kesehatan masyarakat, bantuan penelitian dan sebagainya.
2. Sumberdaya manusia (Human Resources), meliputi program pendidikan dan pelatihan
karyawan, fasilitas keselamatan kerja, kesehatan, kerohanian, serta tunjangan
karyawan.
3. Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Fisik (Environmental and Physical Resources)
terdiri dari antara lain keterlibatan perusahaan dalam pengolahan limbah, program
penghijauan, pengendalian polusi, dan pelestarian lingkungan hidup.
4. Kontribusi produk atau jasa (Product or services contribution), mencakup keamanan
dan kualitas produk, kepuasan konsumen, dan sebagainya.3

B. Sistem Harga Dengan Kewajiban Membayar Kerusakan


Ronald Coase mulai mengajukan analisisnya dengan mengambil contoh yang
biasanya disetujui oleh para ekonom yaitu bahwa apabila terdapat perusahaan yang
menimbulkan kerusakan bagi orang lain diwajibkan melakukan pembayaran untuk

3
Yunita, Anggraeni, (2013), “Biaya Sosial Sebagai Bagian Corporate Social Responsibility Dalam Sudut Pandang
Akuntansi”,…

4
kerugian yang ditimbulkannya dan sistem harga bekerja secara sempurna. Contoh yang
diambil adalah kaitan antara perusahaan peternakan dan perkebunan sayur-mayur yang
bekerja berdampingan atau bertetangga, di mana sapi yang dipelihara peternak itu merusak
tanaman sayur-mayur milik petani tetangganya itu. Kemudian kita anggap bahwa tidak ada
pagar yang memisahkan kedua bidang tanah tempat usaha mereka itu sehingga
meningkatnya jumlah ternak sapi yang dipelihara peternak akan berarti
meningkatnya kerusakan tanaman sayuran petani.
Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah peternak akan menambah jumlah
ternaknya bila ia yang diwajibkan untuk membayar biaya kerusakan tanaman sayur.
Tentu peternak akan mempertimbangkan antara tambahan biaya termasuk tambahnya
kerusakan tanaman sayur dan tambahan manfaat yang akan diterimanya. Seperti biasanya
bila tambahan biaya akan lebih besar daripada tambahan manfaat (penerimaan), maka
peternak tersebut tidak akan menambah jumlah sapi ternaknya.
Jumlah Sapi (ekor) per Tambahan Manfaat per Tanaman yang rusak
tahun tambahan sapi (tons) (tons)
1 1
1
3 2
2
6 3
3
10 4
4

Dengan anggapan biaya untuk mendirikan pagar Rp 9,- per tahun dan harga
tanaman sayur Rp l,- per ton, maka pengusaha ternak itu akan bersedia untuk memelihara
4 ekor sapi atau lebih dan mendirikan pagar; karena biaya mendirikan pagar Rp 9,- dan
tidak membayar kerusakan tanaman sayur (yang berarti manfaat yang ia terima) sebesar
Rp lO,-. Dengan didirikannya pagar maka jumlah tambahan biaya karena harus membayar
kerusakan tanaman adalah nol, kecuali bila dengan bertambahnya jumlah sapi ternak akan
membutuhkan pagar yang lebih kuat. Namun bila petemak itu hanya memelihara 3 ekor
sapi, maka akan lebih menguntungkan untuk tidak memasang pagar, karena biaya
pendirian pagar Rp 9,- dan manfaat yang diperolehnya hanya Rp 6,-

5
Jadi bila ada kewajiban terhadap petemak sapi untuk membayar kerusakan yang
ditimbulkan oleh sapi ternaknya dan penentuan harga berjalan mulus, maka penurunan
nilai produksi di mana saja harus diperhitungkan dalam memperkirakan tambahan biaya
karena tambahnya jumlah sapi yang dipelihara. Semua biaya ini akan dibandingkan
dengan nilai tambahan produksi daging yang diperoleh dari meningkatnya jumlah ternak,
dan dengan anggapan adanya persaingan sempurna dalam industri peternakan sapi,
maka alokasi faktor produksi dalam sektor ini akan optimal. 4

C. Sistem Penentuan Harga Dengan Tanpa Kewajiban Membayar Kerusakan Atau


Kerugian
Sekarang kita ambil kasus walaupun penentuan harga juga berjalan mulus, tetapi
tidak ada kewajiban terhadap perusahaan yang menimbulkan kerusakan untuk melakukan
pembayaran. Sebagai akibatnya alokasi sumberdaya juga tidak berubah tetapi tetap seperti
jika ada kewajiban perusahaan penimbul kerugian membayar kerugian tersebut.
Kembali pada contoh antara petemak dan petani, kita akan melihat petani sayur
menderita rugi yang semakin besar dengan semakin banyaknya jumlah sapi yang
diternakkan. Dalam hal ini petani sayur dapat pula berusaha untuk menekan jumlah sapi
yang dipelihara peternak agar kerugian yang dideritanya berkurang. Tetapi sesungguhnya
petani tidak akan bersedia membayar untuk menghindari kerusakan tanaman apabila
peternak tidak mau melakukan pembayaran.
Sebagai misal maksimal jumlah pembayaran tahunan bersedia yang dibayar adalah
tidak dapat lebih dari Rp9,- yaitu biaya tahunan pendirian pagar. Petani akan bersedia
membayar sejumlah itu apabila hal tersebut tidak mengurangi penerimaannya sampai suatu
tingkat yang menyebabkan petani sayur membatalkan penanaman sayur. Dengan kata lain
dapat pula dianggap bahwa peternak akan menambah jumlah temak sapinya apabila petani
sayur setuju untuk melakukan pembayaran, karena dengan hal tersebut ia akan dapat
menerima penghasilan lebih banyak lagi. Akhirnya perlu dipahami bahwa apakah
perusahaan yang menimbulkan kerusakan diwajibkan untuk mengganti kerugian atau
tidak, tanpa adanya penegasan hak tidak akan ada transaksi pasar untuk mengalihkan
pembayaran ataupun untuk mengkompromikan-nya. Tetapi hasil akhimya yaitu nilai
produksi yang maksimum akan tidak tergantung pada posisi legal bila penentuan harga

4
Wildatrias, (2019), “Biaya Sosial Dan Permasalahan Pengelolaan Lingkungan”,…

6
dianggap bekerja tanpa biaya. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa tanpa biaya transaksi
pasar, keputusan hakim misalnya yang berkaitan dengan kewajiban membayar kerusakan
tidak akan ada pengaruhnya terhadap alokasi faktor produksi. Masalah ekonomi utama
dalam semua kasus kerugian karena adanya eksternalitas adalah tetap, yaitu bagaimana
memaksimumkan nilai produksi.5

D. Perkiraan Biaya Pencemaran

Dalam penentuan pengukuran biaya dan manfaat dari usaha penanggulangan


manfaat bisa diperkirakan secara langsung maupun tidak langsung. Misal, adanya udara
kotor karena asap pabrik sebesar $200/orang dalam 1 tahun. Biaya ini harus dimasukan
dalam manfaat yang timbul dari adanya pencegahan pencemaran. Biasanya biaya yang di
keluarkan perusahaan akan lebih murah dibanding kerugian yang diderita masyarakat.
Biaya pencemaran yang tidak dapat di ukur dengan mudah disebut intangible atau non
economic cost. Misal, pencemaran pada pelabuhan tanjung mas di semarang. Biaya
langsungnya berupa biaya pengalihan orang dan peralatan dari penangkapan ikan ke
kegiatan lain. Dan biaya tidak langsung berupa biaya hilangnya kesempatan rekreasi,
pengail ikan dan penelitian biologi laut. Sumber dana eksternal (modal asing) dapat
dimanfaatkan oleh negara sedang berkembang sebagai dasar untuk mempercepat investasi
dan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu cara menentukan pilihan dalam pencegahan pencemaran adalah dengan
melihat tingkat harga. Namun bila kita tidak mengetahui harga pasar untuk kerugian polusi
maka dapat ditempuh dengan menggunakan harga barang lain yaitu mengukur besarnya
nilai udara bersih dan nilai air bersih melihat ketersediaan membayar seseorang untuk
perumahan di daerah yang tidak tercemar. Setelah itu kita terapkan pola pengawasan atau
pencegahan pencemaran optimal. Misalnya dengan pengaturan langsung berupa larangan
pemerintah untuk melarang timbulnya pencemaran dan mengenakan hukum atas dasar
undang-undang bila di langgar.

Cara lain yaitu dengan pemberian subsidi terhadap penekanan jumlah pencemaran
atau mensubsidi pembelian alat-alat penanggulangan pencemaran. Apabila terjadi

5
Wildatrias, (2019), “Biaya Sosial Dan Permasalahan Pengelolaan Lingkungan”,…

7
pelanggaran maka beban pembayaran (ability to pay) sebaiknya didistribusikan secara
tepat sasaran. Seandainya terdapat perusahaan A dan B yang menghasilkan limbah sejenis
A dapat mengurangi pencemaran sebanyak 10% dengan biaya 10 juta dan B dapat
mengurangi pencemaran 10% dengan biaya 40 juta. Maka B mempunyai kemampuan
membayar lebih besar sehingga B saja yang mengurangi pencemaran 10% atau membayar
10 juta kepada A.

E. Menentukan Harga Atau Pungutan Terhadap Pencemaran

Tidak ada cara yang sederhana untuk menentukan harga pencemaran ini. Harga
yang ditentukan atas dasar mekanisme pengawasan akan berbeda dengan harga yang
ditentukan atas dasar mekanisme pasar. Atas dasar pengawasan, suatu perusahaan boleh
menghasilkan pencemaran asalkan ia membayar harga pungutan seperti yang ditentukan
oleh pemerintah yaitu sebesar nilai biaya sosial marginal dari pencemaran tersebut.
Dengan sistem ini keputusan perorangan atas dasar minat pribadi adalah yang paling
efisien. Apabila pencemaran itu terdiri dari beberapa komponen dan masing-masing
komponen memiliki biaya sosialnya sendiri, maka akan ditemukan harga yang berbeda-
beda untuk masing-masing komponen. Hal ini sesuai dengan teori efisiensi yang
menyatakan bahwa harga atau pungutan untuk suatu pencemaran harus sama dengan
biaya marginalnya.

Dengan demikian maka bahan-bahan yang sangat berbahaya harus dikenakan


harga yang sangat mahal, misalnya dinyatakan dalam jumlah tahun dalam penjara atau
dalam nilai rupiah yang sangat tinggi. Pada dasarnya harga harus berbeda-beda untuk
lokasi wilayah yang berbeda, untuk musim yang berbeda, maupun arah angin yang
berbeda, meskipun hal ini tidak mudah dilaksanakan.

Sekali harga atau pungutan telah ditentukan, para penghasil pencemaran akan
menyesuaikan dirinya terhadap harga-harga tersebut. Karena mereka bertindak atas dasar
kepentingannya pribadi, maka mereka akan mengurangi pencemaran dengan berbagai
cara sampai pada titik di mana pengurangan pencemaran lebih lanjut akan menyebabkan
biaya lebih tinggi daripada harga tersebut. Berhubung semua perusahaan menghadapi
harga yang sama untuk setiap jenis pencemaran yang sama, maka biaya penanggulangan
pencemaran akan sama di manapun juga. Apabila terdapat skala ekonomis dalam

8
hal penanggulangan pencemaran ini seperti halnya dalam penanggulangan limbah cair,
maka beberapa perusahaan yang bersangkutan akan dapat bekerja sama dalam
mendirikan fasilitas pengolahan untuk menanggulangi pencemaran tersebut. Memang
dalam kenyataannya ada pula lembaga atau perusahaan yang sanggup membeli limbah dari
perusahaan lain dan kemudian memprosesnya untuk kemudian dijual dalam bentuk barang
baru yang mahal harganya, seperti dalam kasus perusahaan yang mengolah sampah
menjadi pupuk kompos.

Adanya perusahaan yang sanggup membeli limbah itu tidak berarti lalu pemerintah
tidak diperlukan lagi. Pemerintah masih harus mengukur banyaknya volume pencemaran
dari berbagai sumber, memungut iuran, dan sebagainya. Jadi pemerintah sangat perlu
mengetahui banyaknya pencemaran yang dihasilkan oleh perusahaan. Selanjutnya bila kita
misalkan ada harga tertentu untuk pencemaran karena asap mobil, tetapi jelas kita tidak
dapat mengukur banyaknya pencemaran tersebut dari tiap-tiap mobil, menurut mereknya,
ukuran daya angkutnya, modelnya, tahun pembuatannya, maupun macam bahan bakarnya.
Apabila dapat diciptakan alat untuk mengurangi pencemaran mobil, maka setiap pemilik
mobil akan mencoba menggunakannya sampai pada titik di mana harga alat itu sama
dengan biaya yang harus dibayar seandainya tanpa memasang alat pencegah pencemaran.

Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa sistem harga dapat mengalokasikan
biaya-biaya sedemikian rupa sehinga siapa yang menghasilkan dan menggunakan barang
yang menyebabkan pencemaran, akan membayar biayanya (polluter pays principle). Yang
kita perlukan sekarang adalah suatu mekanisme untuk mengukur banyaknya pencemaran
yang dihasilkan oleh masing-masing perusahaan dan bagaimana pula cara mengumpulkan
pungutan iuran limbah itu. Setelah itu baru kita tentukan harganya. Harga yang mula-mula
dipilih didasarkan atas perkiraan dampak dari adanya pencemaran itu.

Kemudian kalau dirasakan bahwa penurunan dalam pencemaran masih kurang


berarti, maka pemerintah dapat menaikkan harga atau nilai iuran limbah tersebut yang
dapat disertai dengan perubahan teknologi maupun perubahan jumlah perusahaan. Dengan
cara demikian tampaknya pengenaan iuran limbah akan lebih dapat diterima daripada
penanggulangan langsung secara fisik.6

6
Wildatrias, (2019), “Biaya Sosial Dan Permasalahan Pengelolaan Lingkungan”,….

9
Estees dalam Harahap (2003:370) mengusulkan beberapa teknik pengukuran
manfaat dan biaya sosial yaitu:

1. Penilaian pengganti (Surrogate Valuation), menyatakan bahwa suatu nilai ganti


terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi dapat dipilih sebagai cara menghitung
kerugian saat nilai kerugian yang diinginkan tidak dapat dipenuhi secara langsung.

2. Teknik survey (Survey Techniques), merupakan pendekatan yang dilakukan


dengan cara menanyakan secara langsung kepada masyarakat apa yang sangat
berharga bagi mereka. Cara ini merupakan pendekatan survei yang tidak
menyenangkan, namun dalam kenyataannya memberikan informasi yang lebih
berharga dan lebih akurat dan sekaligus merupakan teknik yang mahal.

3. Biaya perbaikan dan pencegahan (Restoration or Avoidance Cost), merupakan


suatu cara untuk mengukur biaya sosial dengan memperkirakan pengeluaran uang
yang sesungguhnya untuk mencegah atau menghindari bahaya atau kerusakan
lingkungan.

4. Penilaian (Appraisal) oleh tim independen, merupakan penaksiran yang yang


dilakukan oleh pihak independen dalam menilai barang berwujud seperti
bangunan dan tanah. Teknik ini hampir sama dengan penilaian pengganti, hanya
disini menggunakan tenaga ahli sebagai pihak penaksir independen.

5. Putusan pengadilan (Court Decisions), merupakan cara untuk menilai atau


menghitung kerusakan atau biaya tertentu melalui putusan pengadilan. Penilaian
ini akurat dalam jumlah dan diidentifikasi dengan menggunakan biaya sosial yang
khusus.

6. Analisa (Analisys), pendekatan ini dilakukan melalui analisa ekonomi dan statistik
terhadap data yang ada menghasilkan dalam suatu nilai yang sah dan pengukuran
yang dapat dipercaya.

7. Biaya pengeluaran (Outlay Cost), merupakan teknik yang digunakan untuk


menilai program yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat, seperti kegiatan
pembaharuan urbanisasi, pertahanan militer, atau konstruksi jalan raya. Biaya

10
pengeluaran dilakukan dengan mencari hubungan kegiatan tersebut secara
langsung dan mengukur kegunaannya. 7

F. Pengaturan Biaya Sosial Di Indonesia

Pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengawas, penindak dan pengadil.


Dalam masalah biaya social pemerintah sudah mengaturnya dalam UU Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas, dan
UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Disana disebutkan bahwa
biaya social yang dikeluarkan perusahaan disebut dengan istilah Tanggung Jawab
Sosial Dan Lingkungan. TJSL adalah komitmen perseroan terbatas dan badan usaha
lainnya untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Besaran Dana TJSL perusahaan setiap tahunnya tidak diatur oleh pemerintah
pusat, hal tersebut diberikan wewenang kepada daerah untuk membuat Perda sendiri
untuk mengatur besarannya. Contohnya Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3
tahun 2013, disana diatur besarannya. Adapun Nusa Tenggara Barat dalam Perda Prov.
NTB pasal 9 Nomor 6 tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Perseroan 8 tidak diatur besarannya dan yang menentukan besarannya adalah
perusahaan itu sendiri.

TJSL ditujukan untuk penyelenggaraan kesejahteraan social, pemulihan fungsi


lingkungan hidup, peningkatan fungsi lingkungan hidup dan memacu pertumbuhan
ekonomi. Jika ada perusahaan yang tidak membayar TJSL maka akan dikenakan
sanksi.

7
Yunita, Anggraeni, (2013), “Biaya Sosial Sebagai Bagian Corporate Social Responsibility Dalam Sudut Pandang
Akuntansi”,…
8
https://jdih.ntbprov.go.id

11
Jika ada unsur pidana yang dilakukan perusahaan dengan melakukan
pencemaran dan merusak lingkungan maka hal itu diatur dalam UU Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

G. Permasalahan Pengelolaan Lingkungan

Indonesia sebagai negara berkembang sedang digemborkan pembangunan dan


meningkatkan pemanfaatan lingkungan hidup. Hal ini tentu berdampak terhadap
kualitas dan kuantitas lingkungan. Sehingga sangat diperlukan pengelolaan
lingkungan yang baik. Dengan pengelolaan lingkungan yang baik maka tercapainya
keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan.

Menurut Wikipedia, pengelolaan lingkunga hidup adalah usaha sadar untuk


memelihara dan atau melestarikan serta memperbaiki mutu lingkungan agar dapat
memenuhi kebutuhan manusia sebaik-baiknya. 9

Menurut pasal 4 UUPPLH perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup


meliputi unsur-unsur perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan dan penegakan hukum. 10

Jika kita lihat kondisi saat ini, pada musim hujan beberapa daerah di Indonesia
terjadi longsor dan banjir bandang yang memakan ribuan korban. Pada musim
kemarau terjadi kebakaran hutan dan kekeringan yang merenggut kenikmatan hidup
di beberapa daerah.

Permasalahan lingkungan yang terjadi bukan hanya itu saja, ada segudang
permasalahan yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah, perusahaan dan masyarakat
untuk mengatasinya. Permasalahan lingkungan lainnya dapat dirinci sebagai berikut:

1. Terus menerus menurunnya kondisi hutan di Indonesia.

2. Kerusakan Daerah Aliran Sugai (DAS).

3. Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity).

9
https://id.m.wikipedia,org
10
Takdir, Rahmadi, (2015), “Hukum Lingkungan Di Indonesia”, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 45

12
4. Meningkatnya pencemaran air.
5. Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar semakin menurun.
6. Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan
penyelundupan kayu.
7. Rendahnya kapasitas pengelola hutan. Sumber daya manusia, pendanaan, sarana dan
prasarana, kelelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan sangat terbatas
bila dibandingkan dengan cakupan luas kawasan yang harus dikelolanya.
8. Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan nonkayu dan jasa-jasa lingkungan.
9. Merebaknya pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak.
10. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal.
11. Tingginya tingkat pencemaran dan belum dilaksanakannya pengelolaan limbah
secara terpadu dan sistematis.
12. Adaptasi terhadap kebijakan perubahan iklim (climate change) dan pemanasan
global (global warming) belum dilaksanakan.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi di atas disebabkan karena lemahnya


pengelolaan lingkungan. Secara umum ada 5 permasalahan pengelolaan lingkungan di
Indonesia, yaitu kebijaksanaan, peraturan perundang-undangan, kelembagaan, peran
masyarakat dan data informasi lingkungan.11
1. Kebijaksanaan,
Isu kebijaksanaan pemerintah yang penting dari permasalahan sumber daya
alam dan lingkungan hidup adalah terletak kepada jenis-jenis tindakan pemerintah
yang lebih tepat yang dapat mengarah kepada pengurangan kerusakan lingkungan.
Salah satu contohnya adalah alih fungsi hutan Kalimantan dan Sumatra menjadi
lahan sawit. Tentu dengan banyaknya perusahaan yang beroperasi dapat
meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat sekitar. Akan tetapi dengan
terus berkurangnya kuantitas hutan akan sangat berdampak terhadap ekosistem dan
kondisi lingkungan.
2. Peraturan Perundang-undangan

11
Arbaningrum, Rizka, “Pengelolaan Lingkungan”, diakses dari https://ocw.upj.ac.id pada tanggal 03 April 2021

13
Peraturan yang ada dalam UUPPLH masih kurang jika kita tujukan untuk
pengelolaan lingkungan, karena rendahnya hukuman dan pengawasan. Izin
lingkungan juga saat ini dipermudah untuk keperluan bisnis.
3. Kelembagaan.
Pengawasan lingkungan hidup dan penindakan pelanggaran lingkungan hidup
masih sangat lemah. Hal ini dikarenakan kelembagaan yang masih kurang solid dan
masih banyaknya oknum apparat yang masih menerima suap sehingga penindakan
terhadap pelanggran kerusakan lingkungan hidup kualitasnya masih kurang.
Lembaga yang menjadi pengawas dan penindakan juga kekurangan personil,
anggaran dan peralatan sehingga menjadi tidak maksimal.
4. Peran masyarakat.
Jika masyarakat tidak peduli terhadap kelestarian alam demi mendapatkan
keuntungan maka pengelolaan lingkungan tidak akan pernah sukses. Kesadaran dan
peran masyarakatlah yang terpenting. Jika kebijaksanaan pemerintah, perundang-
undangan, kelembagaan lemah terhadap pengelolaan lingkungan akan tetapi peran
masyarakat sangat signifikan terhadap pengelolaan lingkungan maka hal ini bisa
dicapai.
5. Data informasi lingkungan.
Bagaimana rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi
maksilam jika data dan informasi terkait kerusakan lingkungan tidak tepat dan
kurang. Hal ini masih menjadi permasalahan hingga saat ini.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Biaya sosial adalah biaya yang berhubungan akuntansi sosial meliputi: Biaya
lingkungan, biaya karyawan, biaya produk, dan biaya komunitas. Adanya biaya yang
dikeluarkan oleh perusahaan untuk komunitas melalui pelaksanaan kegiatan atau
aktivitas social mengindikasi tanggung jawab dan kepedulian sosial perusahaan terhadap
komunitasnya.
Dalam masalah biaya social pemerintah sudah mengaturnya dalam UU Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan
Terbatas, dan UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Permasalahan-permasalahan lingkungan yang terjadi disebabkan karena
lemahnya pengelolaan lingkungan. Secara umum ada 5 permasalahan pengelolaan
lingkungan di Indonesia, yaitu kebijaksanaan, peraturan perundang-undangan,
kelembagaan, peran masyarakat dan data informasi lingkungan

15
Daftar Pustaka

Wildatrias, (2019). “Biaya Sosial Dan Permasalahan Pengelolaan Lingkungan”. diakses dari
https://id.scribd.com/document pada tanggal 03 Maret 2021.

Yunita, Anggraeni. (2013). “Biaya Sosial Sebagai Bagian Corporate Social Responsibility
Dalam Sudut Pandang Akuntansi”. diakses dari https://www.neliti.com/id/publications pada
tanggal 03 Maret 2021.

https://jdih.ntbprov.go.id.

https://id.m.wikipedia,org.

Takdir, Rahmadi. (2015). “Hukum Lingkungan Di Indonesia”. Jakarta: Rajawali Pers.

Arbaningrum. Rizka. “Pengelolaan Lingkungan”. diakses dari https://ocw.upj.ac.id pada tanggal


03 April 2021

16

Anda mungkin juga menyukai