Anda di halaman 1dari 8

[Makalah] Biaya Sosial Sebagai Jawaban Eksternalitas dalam Pengelolaan

Sumber Daya Alam

BAB I. PENDAHULUAN

Biaya sosial dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan langkah efektif untuk
memecahkan persoalan eksternalitas. Jadi, masalah yang kita hadapi dalam kaitannya dengan
tindakan tindakan yang memiliki dampak yang merugikan bukannya hanya bagaimana
membatasi tindakan mereka yang menimbulkan kerugian tersebut. Apa yang harus
diputuskan ialah apakah manfaat dari pencegahan timbulnya kerugian itu lebih besar dari
pada kerugian yang diderita siapa saja dan dimana saja sebagai akibat pencegahan tindakan
yang menimbulkan kerugian tersebut. Pembicaraan awal mengenai siapa yang bertanggung
jawab terhadap biaya sosial, akhirnya dilimpahkan kepada pemerintah untuk mengaturnya
secara legal. Disisi lain ada yang kita kenal dengan invisible hand yaitu pengaturan oleh
tangan yang tidak tampak akan membawa perekonomian kearah efisiensi yang tinggi. Tetapi
yang terakhir itu dapat dimengerti bila dalam perekonomian terdapat biaya privat dan tidak
ada biaya sosial. Dengan kata lain bila diantara biaya privat dan biaya sosial identik sifatnya.
Pada materi materi sebelumnya sudah terlihat bahwa permasalahan eksternalitas
selalu menemui jalan buntu. Atau kita tidak pernah menemukan solusi untuk menjawab
pertanggung jawaban atas kerugian. Maka pembahasan akan dimulai dari eksternalitas terjadi
jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat dan atau biaya bagi kegiatan atau pihak diluar
peaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas dalam biaya inilah yang disebut pula sebagai biaya
sosial. Yang menjadi masalah atau pertanyaan ialah siapa yang harus menanggung biaya
sosial tersebut. Apakah biaya tersebut harus ditanggung oleh pihak yang menimbulkan
korban atau biaya itu ditanggung oleh pihak yang dirugikan/ pemerintah. Untuk menjawab
pertanyaan ini beberapa ahli memberikan jawabannya. Misalkan ronaldcoase beliau
mengambl contoh kegiatan usaha yang menimbulkan dampak yang merugikan bagi pihak
lain contohnya adalah pabrik yang menimbulkan asap yang mengotori dan mengganggu
lingkungan hidup sekitar pabrik tersebut. Pada umumnya para ekonom menyetujui agar
pabrik yang menyebabkan polusi asap itulah yang harus dikenai kewajiban untuk mencegah
pencemaran itu atau ia diwajibkan membayar pajak sebesar kerugian yang ditimbulkannya
atau pabrik tersebut dipindahkan keluar daerah pemukiman. Namun coase menyatakan bahwa
upaya pemecahan masalah seperti disebut diatas itu kurang tepat. Sesungguhnya ada
hubungan timbale balik dalam penciptaan dampak yang sufatnya merugikan itu.
Apabila suatu perusahaan A menimbulkan pencemaran dan merugikan perusahaan B
maka biasanya kita cenderung menginginkan agar perusahaan yang merugikan perusahaan
lain itu (A) yang dikenai suatu beban atau semacam hukuman. Hal seperti ini sebenarnya
keliru,karena dengan mencegah terjadinya kerugian pada B sesungguhnya kita merugikan A.
masalahnya sekarang adalah bagaimana agar kerugian itu hendaknya tidak semakin serius,
sebagai contoh apabila terdapat sebuah perusahaan kontraktor yang mendirikan bangunan
untuk hotel maka mau tidak mau kontraktor tesebut membuat kebisingan atau menimbulkan
polusi suara. Yang jelas ini akan mengganggu seorang dokter yang praktek di dekat lokasi
bangunan tersebut dalam memberikan pengobatan kepada pasiennya. Untuk mengurangi
kerugian dokter tersebut ia akan membebankan kerugian atau korban yang harus dipikul
kepada si kontraktor. Yang menjadi masalah disini ialah apakah sungguh bermanfaat
membebankan kerugian atau membatasi kegiatan kontraktor tersebut yang berarti
memberikan kesempatan kepada dokter itu untuk bekerja lebih baik tetapi dengan
mengorbankan menurunnya produktivitas kontraktor.
Biaya eksternal ini juga timbul dengan adanya penebangan hutan, karea banyak
pengusaha hutan telah menebang tanpa memperhatikan aturan main yang ditetapkan
pemerintah sehingga membahayakan kelangsungan pembangunan berhubung dengan jumlah
kayu yang dipasok keindustri kayu dihawatirkan semakin turun jumlahnya. Jadi disamping
setiap kegiatan itu memiliki biaya yang sungguh-sungguh harus dibayar sendiri (internal
cosh), ternyata mereka juga menciptakan biaya yang harus dipikul orang lain (Eksternal
Cost). Oleh kaena itu, biaya lingkungan adalah riil atau nyata dan harus diperhitungka dalam
kegiatan pembangunan.

BAB I.I. Problematika Corporate Sosial Responsibility (CSR)


Betapa besar pengaruh dunia bisnisterhadap denyut nadi perikehidupan masyarakat
kian hari kian terasa. Kepada mereka terhampar harapan besar untuk mengalirnya produk
ataupun jasa yang kian berkualitas dan terciptanya lapangan kerja baru. Dengan kata lain
kehadiran mereka mengusung obsesi berupa kehidupan dan taraf hidup yang lebih baik bagi
banyak orang. David C. Kohen, Profesor Sekolah Bisnis Harvad, mengatakan dalam bukunya
When Corporation Rule the World yang dikutip oleh Harmanto Edy Djatmiko dalam majalah
SWA edisi 19 Desember 2005 bahwa dunia bisinis selama setengah abad terakhir telah
bertriwikrama menjadi institusi paling berkuasa di planet ini. Kekuasaan pelaku bisnis yg
begitu dominan tersebut mau tidak mau pasti mengandung risiko yg tidak kecil karena sepak
terjang mereka terutama perusahaan yang telah meraksasa akan member dampak signifikan
terhadap kualitas tidak saja manusia sebagai individu dan kelompok, juga terhadap
lingkungan alam di jagat raya ini. Fenomena inilah yang kemudian memunculkan diskursus
atau wacana tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility
(CSR), ada yang menyebutnya corporate citizenship, bahkan sekarang ini ada yang
menyebutnya sebagai corporate philanthropy.
Sepanjang yang dapat ditangkap kesan yang muncul tentang corporate social
responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan selama ini adalah berupa aksi-aksi bagi
sumbangan untuk kaum miskin, korban bencana alam, pemberantasan penyakit menular, atau
pendidikan anak kolong dan aktivitas lainnya yang mirip dengan itu. Sepertinya pelaku bisnis
melakukannya hanya sebagai kewajiban akibat tekanan pihak lain atau hanya sekadar basa-
basi dan apa yang dibuat itu untuk kepentingan publikasi karena ditampilkan di televisi yang
dilengkapi dengan iklan testemoni. Tampaknya praktik CSR itu ekspresi kepedulian yang
sengaja diumumkan. Jadi perusahaan melakukan CSR itu lebih banyak karena
kesungkanan ataupun basa-basi. Belum banyak pelaku bisnis yang memaknai CSR tersebut
sebagai sesuatu yang strategis sehingga tidak menempatkannya dalam jantung strategi
perusahaan. Masih banyak yang menganggapnya sebagai liabilitas daripada aset yang akan
menjadi daya dukung keunggulan dalam bersaing.
Begitu pentingnya CSR bagi perusahaan terutama yang sudah berkelas multinasional
ditegaskan oleh Craig Smith. Dia menawarkan pendekatan yang lebih anyar tentang CSR
berupa The New Corporate Philantropy. Menurutnya aktivitas CSR harus disikapi secara
strategis dengan melakukan aligment inisiatif CSR dengan strategi perusahaan
pembentukan budaya organisasi perumusan visi, misi, dan tujuan bisnis pengambilan isu
yang relevan dengan produk inti dan pasar inti, membangun identitas mereka bahkan
menggaet segmen pasar yang baru dan memporakporandakan pesaing. Michael Porter yang
mahaguru strategi itu juga memilik perspektif yang sama tentang CSR. Dia meyakinkan para
pelaku bisnis bahwa aktivitas CSR harus menjadi jantung strategi perusahaan dan ketika itu
dilakukan dengan sunguh sungguh akan menjadi sumber keunggulan bersaing yang sangat
powerpul. Selanjutnya Philip Kotler dan Nancy Lee dalam bukunya Corporate Social
Responsibility, Doing the Most Good for Your Company and Your Cause mengatakan bahwa
kegiatan CSR mestilah berada pada koridor strategi perusahaan yang diarahkan untuk meraih
bottom-line business goal, di antaranya mendongkrak penjualan dan segmen pasar;
membangun potitioning merek; menarik, memotivasi, serta membangun loyalitas pegawai
mengurangi biaya operasional sampai dengan membuat image korporat di pasar modal.
Kotler dan kawannya itu sejatinya ingin mengatakan bahwa CSR tidak lagi hanya sebagai
hiasan apalagi aktivitas yang termarginalkan, namun sudah merupakan nyawa perusahaan.
Tulisan ini antara lain ingin menguraikan perkembangan konsep tanggung jawab sosial
perusahaan dan betapa pentingnya para pelaku bisnis memahami tanggung jawab tersebut. Di
samping itu, akan diulas pula pendekatan, manajemen, serta manfaat CSR.

BAB II. ISI


- Contoh Kasus
Bahwa apabila terdapat perusahaan yag menimbulkan kerusakan bagi orang lain
diwajibkan melakukan pembayaran untuk kerugian yang ditimbulkannya dan sistem harga
bekerja secara sempurna. Contoh yang diambil adalah kaitan anatara perusahaaan peternakan
dan perkebunan sayur mayor yang bekerja berdampingan atau bertetangga dimana sapi yang
dipelihara peternak itu merusak tanaman sayur mayor milik petani tetangganya tersebut.
Kemudian kita anggap bahwa tidak ada pagar yang memisahkan kedua bidang tanah tempat
usaha mereka itu sehingga meningkatkan jumlah ternak sapi yang dipelihara peternakakan
berarti meningkatnya kerusakan tanaman sayuran petani. Yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah apakah peternak akan menambah jumlah ternaknya bila ia diwajibkanuntuk membayar
biaya kerusakan tanaman sayur untuk peternak akan mempertimbangkan antara tambahan
biaya termasuk bertambahnya kerusakan tanaman sayur dan tambahan manfaat yang akan
diterimanya.seperti biasanya bila tambahan biaya kan lebih besar dari pada tambahan
manfaat( penerimaan) maka peternak tersebut tidak akan menambah jumlah sapi ternaknya.

BAB II.I SISTEM PENENTUAN HARGA DENGAN TANPA KEWAJIBAN


MEMBAYAR KERUSAKAN ATAU KERUGIAN

Sekarang kita ambil kasus walaupun penentuan harga juga berjalan mulus, tetapi tidak
kewajiban terhadap perusahaan yang menimbulkan kerusakan untuk melakukan pembayaran.
Ssenagai akibatnya alokasi sumberdaya juga tidak berunah tetapi tetap seperti kalau ada
kewajiban perusaan penimbul kerugian membayar kerugian tersebut. Kembali pada contoh
antara peternak dan petani kita, akan melihat petani sayur menderita rugi yang semakin besar
dengan semakin banyanya jumlah sapi yang diternakan. Dan, hal ini petani suatu dapat pula
berusaha untuk menekan jumlah sapi yang dipelihara peternak agar kerugian yang
dideritanya berkurang. Dengan kata lain dapat pula dianggap bahwa peternak akan
menambah jumlah ternak sapinya apabila petani sayur setuju untuk melakukan pembayaran.
Akhirnya perlu dipahami bahwa apakah perusahaan yang menimbulkan kerusakan
diwajibkan untuk mengganti kerugian atau tidak tanpa adanya penegasan hak tidak akan ada
transaksi pasar untuk mengalihkan pembayaran ataupun untuk mengkompromikannya.
Sejauh ini pembicaraan kita telah menggunakan anggapan bahwa transaksi pasar tidak
memerlukan biaya. Ini jelas merupakan bahwa transaksi pasar tidak memerlukan biaya. Ini
jelas merupakan asumsi yang tidak realistis. Agar dapat terjadi transaksi pasar adalah perlu
untuk dengan siapa transaksi itu akan diadakan kemudian memberi tahu bahwa seseorang
akan melakukan pembicaraan, dilanjutkan dengan perundingan akan melakukan Dalam
bagian terdahulu telah dibicarakan tentang pengatur kembali hak penguasaan akan terjadi
buila hal itu akan membawa peningkatan dalam nilai produksi. Dengan dimasukkannya
biayatransaksi dalam analisis kita, maka jelaslah bahwa pengaturan kembali hak tersebut
hanya akan diusahakan bila kenaikan nilai produksi lebih tinggi daripada biaya yang
dikeluarkan untuk adanya transaksi dan pengaturan kembali hak.
Ada bentuk organisasi ekonomi lain yang memungkinkan untuk mencapai hasil yang
sama tetapi dengan biaya yang relative lebih rendah dibanding dengan yang dihasilkan oleh
mekanisme pasar. Alternatif tersebut adalah perusahaan yang seringkali bekerja secara
admministratif tanpa lewat suatu organisasi ekonomi. Ini tentunya tidak selalu berarti bahwa
biaya administrasi untuk mengorganisasikan suatu transaksi lewat suatu perusahaan selalu
lebih rendah daripada transaksi pasar. Bila kontrak itu sangat sulit untuk dibuat dan
melukiskan hal-hal yang disetujui dan tidak disetujui oleh berbagai pihak; misalnya mengenai
macam bau atau suara kontrak yang dibuat tentu cukup panjang dan meliputi dokumen-
dokumen yang sangat penting; dan kalau mungkin kontrak itu akan bersifat jangka panjang.
Demikian pula perusahaan bukannya merupakan satu-satunya jawaban terhadap
masalah tersebut. Biaya administrasi untuk mengorganisasikan transaksasi dalam suatu
perusaahaan akan tinggi pula, dan khususbbta apabila banyak macam kegiatan
yangdiusahakan di bawah pengawasan suatu organisasi tunggal. Sebagai misal adalah
timbuknya gangguan karena asap pabril yang mempengaruhikehidupan dan kegiatan banyak
orang, sehingga memecahkan masalah tersebut dalam suatu administrasi perusahaan
tunggal.pembicaraan mengenai dampak yang merugikan ini masih belum memadai, tetapi
paling tidak telah menjelaskan masalah yang berkaitan dengan bagaimana memilih cara
pengaturan yang tepat secara sosial dalam kaitannya dengan dampak kegiatan yang
merugikan masyarakat. Dalam kesimpulannya Ronald Coase menyatakan bahwa sebaliknya
campur tangan pemerintah dikurangi, tapi dalam batas mana sulit untuk ditentukan, karena
batas itu harus didasarkan pada pengamatan yang teliti terhadap hasil penyelesaian masalah
dengan berbagai cara

BAB II. II PERKIRAAN BIAYA PENCEMARAN

Dalam penentuan pengukuran biaya dan manfaat dari usaha penanggulangan manfaat
bisa diperkirakan secara langsung maupun tidak langsung. Misal, adanya udara kotor karena
asap pabrik sebesar $200/orang dalam 1 tahun. Biaya ini harus dimasukan dalam manfaat
yang timbul dari adanya pencegahan pencemaran. Biasanya biaya yang di keluarkan
perusahaan akan lebih murah dibanding kerugian yang di derita masyarakat. Biaya
pencemaran yang tidak dapat di ukur dengan mudah disebut intangible atau non economic
cost. Misal, pencemaran pada pelabuhan tanjung mas di semarang. Biaya langsungnya berupa
biaya pengalihan orang dan peralatan dari penangkapan ikan kekegiatan lain. Dan biaya tidak
langsung berupa biaya hilangnya kesempatan rekreasi, pengail ikan, penelitian biologi laut.
Salah satu cara menentukan pilihan dalam pencegahan pencemaran adalah dengan
melihat tingkat harga. Namun bila kita tidak mengetahui harga pasar untuk kerugian polusi
maka dapat ditempuh dengan menggunakan harga barang lain yaitu mengukur besarnya nilai
udara bersih dan nilai air bersih melihat ketersediaan membayar seseorang untuk perumahan
di daerah yang tidak tercemar. Stelah itu kita terapkan pola pengawasan atau pencegahan
pencemaran optimal. Misalnya dengan pengaturan langsung berupa larangan pemerintah
untuk melarang timbulnya pencemaran dan mengenakan hukum atas dasar undang-undang
bila di langgar. Namun kelemahannya apabila terdapat pemeriksaan petugas alat pencemaran
di manfaatkan tapi kalo tidak ada pemeriksaan alat pencemaran tidak dipakai. Cara lain yaitu
dengan pemberian subsidi terhadap penekanan jumlah pencemaran atau mensubsidi
pembelian alat-alat penanggulangan pencemaran. Apabila terjadi pelanggaran maka beban
pembayaran (ability to pay) sebaiknya di distribusikan secara tepat sasaran. Seandainya
terdapat perusahaan A dan B yang menghasilkan limbah sejenis. A dapat mengurangi
pencemaran sebanyak 10% dan Bdapat mengurangi pencemaran 10% dengan biaya 40 juta.
Maka B mempunyai kemampuan membayar lebih besar sehingga B saja yang mengurangi
pencemaran 10% atau membayar 10 juta kepada A.

BAB III. KESIMPULAN

Dalam hal hal tertentu pemerintah dapat dikatakan sebagai super perusahaan.
Karena ia dapat mempengaruhi penggunaan faktor produksi dengan keputusan keputusan
administratif. Lebih dari itu pemerintah dapat menghapus pasar secara keseluruhan.
Sedangkan perusahaan tidak mungkin dapat mengerjakan hal tersebut. Karena perusahaan
harus membuat persetujuan pasar dengan para pemilik faktor produksi yang digunakan oleh
perusahaan tadi. Dengan demikian nyata bahwa pemerintah memiliki kekuatan yang
memungkinkannya untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan dengan biaya lebih rendah
dari pada yang dikeluarkan oleh pihak swasta. Tetapi jangan lupa bahwa mesin organisasi
pemerintah tidak tanpa biaya. Melainkan juga sangat mahal biayanya. Seringkali pula
organisasi pemerintah mengambil keputusan yang tidak efisien karena adanya tekanan politik
dari golongan tertentu. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa campur tangan pemerintah
secara langsung tidak selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada bila pemecahan
masalah pencemaran itu diserahkan kepada mekanisme pasar atau perusahaan swasta.
Khususnya untuk pencemaran lingkungan karena asap pabrik, dapat diatasi dengan peraturan
administrasi pemerintah dan terlalu mahal jika diserahkan kepada swasta karena mencakup
terlalu banyak orang sekaligus resiko.
Tahap industrialisasi bukan berarti sektor pertanian di tinggalkan melainkan di
kembangkan terutama produksi pangan dan bahan mentah untuk menunjang pengembangan
industry. Dengan demikian pembangunan sebaiknya diusahakan tanpa merusak lingkungan
dan menglola SDA secara bijaksana dalam menopang pembangunan jangka panjang seperti
pada UU no 4 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup dan khusus
mencegah pencemaran dari kegiatan industri.
Pokok-pokok UU lingkungan hidup ialah:

1. Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan kelestarian kemampuan lingkungan yang


serasi dan seimbang guna pembangunan yang berkesinambungan.
2. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berkewajiban
memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi pencemaran.
3. Usaha mengembangkan lingkungan hidup tidak berlangsung dalam keadaan terisolasi
melainkan kepentingan hidup bangsa.

Selanjutnya dalam pasal 16 UULH dikemukakan bahwa perlindungan lingkungan


hidup di lakukan berdasar baku mutu lingkungan yang diatur UU. Penetapan baku mutu
lingkungan meliputi penetapan criteria kualitas lingkungan hidup maupun kualitas limbah.
Untuk itu telah terbit tentang AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan). Dalam
UULH terdapat sanksi perdata dan pidana. Sanksi perdata berkaitan dengan ganti rugi kepada
penderita serta berkewajiban bagi pembuat pencemaran untuk membayar biaya pemulihan
lingkungan. Sedangkan sanksi pidana meliputi denda Rp 100 juta atau penjara selama 10
tahun. Demikianlah uraian mengenai masalah biaya eksternalitas yang memerlukan perhatian
khusus dari pemerintah dan pihak perorangan.

BAB IV. DAFTAR PUSTAKA

Harsoprayitno Sugiharto. MSc. (2006). Biaya Sosial yang ditimbulkan


perusahaan dalam wujud corporate sosial responsibility (CSR). (online).
diakses pada tanggal 28 April 2011, dari
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/km%20ardana.pdf

Praytno Joko. (2011). Biaya sosial dalam pengelolaan sumber daya


alam. (online). diakses pada 28 April 2011 dari,
http://www.google.com/books?hl=id&lr=&id=b_nqP4VI3FwC&oi=fnd&pg=
PR5&dq=biaya+sosial+dalam+pengelolaan+sumber+daya+alam&ots=QyeQv
f0L6W&sig=_GydR6O_bV7w50l7BpFRk1Z6Tug#v=onepage&q=biaya%20s
osial%20dalam%20pengelolaan%20sumber%20daya%20alam&f=false

Suparmoko, M, Dr. MA. (1995). Ekonomi Sumberdaya Alam Dan


Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), Ed.2. BPFE: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai