Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PSIKOLOGI PENDIDIKAN PESERTA DIDIK

“LANJUTAN PERMASALAHAN DAN PENANGANAN MASALAH PENYESUAIAN DIRI

PERSERTA DIDIK USIA SEKOLAH MENENGAH”

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah PSIKOLOGI PENDIDIKAN PERSERTA DIDIK

Dosen Pengampu : Dicky Surachman M.

Disusun Oleh :

1.Dimas Sudirmanto [0501219029]

2.Hendra Kurniawan [0501219021]

3.Sephia Lestari [0501219059]

4.Siti Nuraisyah [0501219043]

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NAHDATUL ULAMA CIREBON


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Lanjutan Permasalahan Dan Penaganan
Masalah Penyesuaiaan Diri Peserta Didik Usia Sekolah Mengah” tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah dalam rangka melengkapi tugas kelompok
mata kuliah Psikologi Peserta Didik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
Psikologis Peserta Didik.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, Maret 2022

Tim Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL.....................................................................................................................i

KATA PENGANTAR ..........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar belakang ................................................................................................1


1.2 Rumusan masalah............................................................................................1
1.3 Tujuan pembahasan.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3

2.1 Beberapa masalah peserta didik usia sekolah menengah...................................3

2.2 Permasalahan kesehatan anak usia sekolah........................................................4

2.3 Faktor penyebab perilaku agresi........................................................................4

2.4 Penanganan masalah remaja dengan cara mekanisme pertahan diri..................5

BAB III PENUTUPAN .........................................................................................6

3.1 Kesimpulan........................................................................................................6

2.1 Saran...................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................7
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa atau
mental individu. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan
dalam hidupnya, karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, baik dengan kehidupan
keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Tidak jarang pula ditemui
bahwa orang-orang mengalami stres dan depresi disebabkan oleh kegagalan mereka untuk
melakukan penyesuaian diri dengan kondisi penuh tekanan. Sesuai dengan pengertiannya, maka
tingkah laku manusia dapat dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan
lingkungan tempat individu hidup. Semua makhluk hidup secara alami dibekali kemampuan
untuk menolong dirinya sendiri dengan cara menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, agar
dapat bertahan hidup. Namun pada kenyataannya, banyak individu yang gagal dalam
penyesuaian diri karena individu belum tentu tahu apa yang dinamakan dengan proses
penyesuaian diri, selain itu individu tidak memiliki konsep penyesuaian diri dan tidak melakukan
penyesuaian diri dengan baik. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu dalam
menghadapi segala tatangan dan perubahan-perubahan yang akan terjadi nanti.

1.2 Rumusan Masalah


1. Sebutkan masalah dan karakteristrik penyesuaian diri remaja
2. Apa saja masalah penyesuaian diri di sekolah
3. Sebutkanbeberapa masalah peserta didik usia sekolah menengah
4. Upaya penanganan masalah penyesuaian diri remaja

1.3 Tujuan Masalah

1.mengetahui masalah dan karekteristik di sekolah menengah

2.memenuhi tugas mata kuliah psikologi

3. menambah wawasan tentang penyesuaian diri di sekolah menengah


BAB II

PEMBAHASAN

2.2 Beberpa masalah persta didik usia sekola menengah

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kondisi Peserta Didik. Biologis Lingkungan


cultural/ budaya Latar belakang pribadi individu Interaksinya. Permasalahan Remaja Usia
Sekolah Menengah Atas .Upaya untuk dapat mengubah sikap dan prilaku kekanak-kanakan
menjadi sikap dan prilaku dewasa, tidak semuanya dapat dicapai dengan mudah . Kesulitan
untuk menerima perubahan fisiknya . Perkembangan fungsi seks pada masa ini dapat
menimbulkan kebingungan remaja untuk memahaminya salah tingkah dan perilaku yang
menentang norma (bagi remaja laki-laki) serta berperilaku mengurung diri (bagi remaja
perempuan). Permasalahan Remaja Usia Sekolah Menengah Atas.Menilai dirinya cukup
mampu untuk mengatasi problema kehidupan. Permasalahan Remaja Usia Sekolah
Menengah Atas. Menilai dirinya cukup mampu untuk mengatasi problema kehidupan.
Masalah penyesuaian emosional.Penyesuaian sosial.Penyesuaian terhadap norma dan
perilaku. Masalah yang Timbul Pada Anak Kreatif 1. Pilihan karier yang tidak realistis .
Memiliki banyak alternatif dalam menentukan karier yang akan ditempuh dan bahkan
cenderung berubah-ubah.Jika tidak mendapatkan bimbingan secara baik dapat
mengarahkan diri kepada pilihan karier yang kurang tepat.Dapat menimbulkan frustasi jika
pilihannya tidak disadari oleh pemahaman yang cukup mengenai jenis karier yang akan
dipilihnya.

Masalah yang Timbul Pada Anak Kreatif ada 2. Hubungan dengan guru dan teman
sebaya.Cenderung kritis dan memiliki pendapatnya sendiri.Berani mengemukakan
ketidaksetujuannya terhadap pemikiran orang lain tidak mudah percaya.Memiliki keinginan
yang seringkali berbeda dengan teman-teman pada umumnya.Tidak begitu senang untuk
melekatkan diri kepada otoritas.

2.2 Permasalahan kesehatan anak usia sekolah

Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang
kesehatan yang saat ini terjadi di Negara Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan
derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan dalam meneruskan pembangunan bangsa.
Berdasarkan alasan tersebut, masalah kesehatan anak diprioritaskan dalam perencanaan
atau penataan pembangunan bangsa (Hidayat, 2009). Masalah gizi di Indonesia dan di
negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein
(KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah
Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar. Hasil dari
beberapa penelitian diketahui sebagian anak SD masih mengalami masalah gizi yang cukup
serius. Hasil pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABMS) tahun 1998
menunjukkan bahwa 37,8% anak SD yang baru masuk sekolah menderita Kurang Energi
Protein (KEP) dan menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1995
menunjukkan bahwa 47,3% anak usia sekolah menderita anemia, disamping menderita gizi
kurang diketahui pula bahwa di beberapa daerah perkotaan telah terjadi masalah gizi lebih
pada anak sekolah dasar dan Madrasah Ibtidayah. Hasil penelitian Husaini pada anak
sekolah dasar dan Madrasah Ibtidayah yang berasal dari keluarga ekonomi menengah 2
keatas di kota Bogor (1998) menunjukkan bahwa 10,3% anak laki-laki dan 11,4% anak
perempuan kelebihan berat badan (Depkes, 2005). Kelompok anak sekolah pada umumnya
mempunyai kondisi gizi yang lebih baik daripada kelompok balita, karena kelompok umur
sekolah mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh
pemerintah maupun oleh kelompok pihak swasta, meskipun demikian masih terdapat
berbagai kondisi gizi pada anak sekolah yang tidak memuaskan, misalnya berat badan yang
kurang dan anemia defisiensi besi (Sediaoetama,1993). Defisiensi zinc dan vitamin A banyak
dialami oleh anak sekolah (Gibney, et al., 2008). Fungsi dari zat gizi karbohidrat, protein dan
lemak adalah untuk menghasilkan energi yang diperlukan anak untuk melakukan kegiatan
dan aktivitas fisik. Kekurangan energi dan protein pada anak sekolah menyebabkan anak
menjadi lemah daya tahan tubuhnya dan terjadi penurunan konsentrasi belajar (Depkes,
2005). Fungsi dari Vitamin A, besi dan zinc juga berperan dalam membantu proses
pertumbuhan dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh anak (Almatsier, 2004). Defisiensi
zat besi pada anak dapat menyebabkan anemia, menghambat pertumbuhan, menurunkan
kemampuan fisik, dapat menurunkan konsentrasi belajar serta meningkatkan kejadian
penyakit infeksi (Hadi dan Siswati, 2003). Defisiensi zat besi juga dapat mengganggu
perkembangan mental dan motorik anak (Goyer, 1995). Defisiensi vitamin A pada anak
dapat menyebabkan menurunnya daya tahan anak terhadap penyakit infeksi sehingga anak
mudah sakit, selain itu vitamin A juga terkait dengan fungsi penglihatan (Depkes, 2005). 3
Defisiensi zinc pada anak dapat mengganggu pertumbuhan dan meningkatkan risiko diare
dan infeksi saluran nafas (Brown, et al.,1998). Ada beberapa bukti yang nyata bahwa
defisiensi zinc juga mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik dan perilaku anak
(Gibney, et al., 2008). Pada dasaranya sarapan pagi akan memberikan kontribusi penting
akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya proses
fisiologis didalam tubuh, selain itu sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap
digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula darah yang terjamin normal
maka gairah dan konsentrasi kerja bisa menjadi lebih baik, sehingga berdampak positif
untuk meningkatkan produktivitas. Sarapan pagi akan menyumbangkan energi, zat gizi
makro dan zat gizi mikro sekitar 25% dari total kebutuhan gizi dalam sehari ini adalah jumlah
yang cukup signifikan, selain itu jumlah kebutuhan zat gizi lainnya dapat dipenuhi oleh
makan siang, makan malam dan makanan selingan diantara dua waktu makan (Khomsan,
2004). Pada golongan anak sekolah, anak sudah lebih aktif untuk memilih makanan yang
disukai. Kebutuhan energi lebih besar karena mereka lebih banyak melakukan berbagai
aktivitas fisik, misalnya berolahraga, bermain atau membantu orang tua. Kebutuhan energi
pada golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun,
dikarenakan pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan. Mulai umur 10-
12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih
banyak melakukan aktifitas fisik, sehingga membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan
anak perempuan biasanya sudah mulai 4 haid, sehingga memerlukan protein dan zat besi
yang lebih banyak (Rumah Sakt Dr. Cipto Mangunkusumo dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia,
2008). Golongan anak sekolah biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktifitas di luar
rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Makan pagi atau sarapan pagi perlu
diperhatikan, untuk mencegah hipoglikemi dan agar anak lebih mudah untuk menerima
pelajaran (Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 2008).
Anak-anak yang berada pada tahap tumbuh kembang apabila energi dan zat gizi yang masuk
kedalam tubuh kurang, tentu akan dapat mempengaruhi proses tumbuhkembangnya, jika
tidak sarapan pagi bukan hanya energi saja yang kurang tetapi juga zat gizi lainnya, jika hal
ini terjadi berlarut-larut dan bahkan merupakan kebiasaan dengan sendirinya pertumbuhan
anak pun mungkin akan terganggu (Sitorus, 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Sibuea pada tahun 2002 di sebuah SD Negeri di Medan, sekitar 57,50% anak Indonesia tidak
sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah, ternyata dari SD yang diteliti diketahui
prevalensi anak SD yang mengalami status gizi kurang kalori (50%), kurang protein (55%)
dan kurang vitamin A (40%), hal ini menjadi perhatian penuh, sebab sarapan pagi akan
memberikan kontribusi penting akan pemenuhan beberapa zat-zat gizi yang diperlukan oleh
tubuh seperti energi, protein, lemak, vitamin dan mineral. Ketersediaan sarapan pagi yang
bermutu mampu meningkatkan kapasitas belajar sehingga lebih mudah menerima
pelajaran, selain itu juga berpengaruh pada status gizi. Menurut hasil survei pendahuluan
pada tahun 2011 yang telah dilakukan pada 128 siswa pada kelas V SD Negeri di Kelurahan
Trangsan, 5 Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo di 4 sekolah dasar, yaitu SDN I
Trangsan, SDN II Trangsan, SDN III Trangsan dan SDN IV Trangsan diperoleh data sebanyak
35 siswa atau sebesar 27,00% siswa tidak sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah.
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap siswa SD untuk mengetahui gambaran kontribusi energi, zat gizi makro
dan zat gizi mikro dari sarapan pagi terhadap angka kecukupan gizi anak pada siswa SD
Negeri di Kelurahan Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo.

2.3 Faktor penyebab perilaku agresi

Maraknya perilaku agresi di kalangan remaja, khususnya pelajar sekolah,


mengkhawatirkan banyak pihak. Sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan ramah
bagi siswa. Apa saja jenis perilaku agresi? Mengapa hal ini terjadi dan bagaimana
mengatasinya?

Berdasarkan kajian dari berbagai literatur, perilaku agresi dapat diartikan sebagai
tindakan yang diniatkan untuk menyakiti atau melukai orang lain, baik yang secara fisik,
verbal, maupun psikis (Taylor, Peplau & O’sears, 2009). Perilaku agresi indektik dengan
kekerasan, baik fisik maupun psikis.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Terdapat berbagai macam bentuk perilaku agresi yang dapat kita temui dalam
kehidupan sehari-hari, mulai dari mencaci maki, mengejek, membuat kerusuhan, dan segala
jenis perilaku yang mengarah kepada tindak kekerasan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia
atau KPAI mengungkap kasus tawuran di Indonesia pada tahun 2018 meningkat 1,1 persen
dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, angka kasus tawuran hanya 12,9 persen,
tapi tahun 2018 menjadi 14 persen.

Hana Nurul Faizah, mahasiswa angkatan 2013, lulus 2017. Sebagai pembimbing
akademik adalah Dr. Natris Indriyani. Saat ini sedang menempuh Studi Progam Magister
Psikologi (S2), Peminatan Pendidikan, di Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Hanna juga aktif di
Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Tangerang Selatan

Didorong oleh rasa kepedulian terhadap lingkungan dan keprihatinan terhadap


maraknya perilaku agresi remaja, Hana Nurul Faizah alumni Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, melakukan penelitian mengenai faktor penyebab perilaku agresi pada
remaja. Penelitian ini merupakan bagian dari skripsi sarjana psikologi d ibawah bimbingan
Dosen Luh Putu Sutta Haryanti, M.Psi.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jumlah


sampel 136 siswa SMP dan SMK di wilayah Jakarta dan Lampung, dengan rentang usia 13-18
tahun yang memenuhi kriteria sebagai pelaku agresi. Alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Aggression Questionnaire (AQ), The Short Revised Eysenck Personality
Questionnaire (EPQ-S), Coping Orientations to Problem Experienced (COPE) Scales dan Peer
Provocation Inventory.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 22,4% perilaku agresi pada remaja dipengaruhi
oleh variabel kepribadian, strategi coping, provokasi dan jenis kelamin.[Dua variabel ini
belum diulas hasilnya. Perlu diulas secara singkat. ] Dari berbagai faktor tersebut terdapat
dua faktor yang menjadi penyebab utama perilaku agresi, yaitu tipe kepribadian
neurotisme, dan provokasi fisik.

Lebih lanjut hasil penelitian tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat


neurotisme pada remaja, semakin tinggi perilaku agresinya. Hasil penelitian ini selaras
dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan remaja dengan kepribadian neurotisme
digambarkan sebagai orang yang sulit mengorganisir kecemasan, sulit dalam mengontrol
emosi, memiliki suasana hati yang mudah berubah-ubah dan memiliki kecenderungan untuk
mengalami perasaan yang negatif (Cervone & Pervin, 2011).
Selain neurotisme, provokasi fisik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perilaku agresi. Secara umum seseorang menunjukan respon agresi sesuai dengan jenis
provokasi yang diterimanya, misalnya seseorang yang mendapatkan provokasi fisik
(ditendang, dipukul, didorong) lebih mungkin membalas dalam bentuk agresi fisik (Dirks,
2014).

“Jadi seseorang yang kesulitan dalam mengatur emosinya, berpotensi menjadi


pelaku agresi. Masalah kecil dapat membuat ia mudah terprovokasi dan meluapkan
amarahnya secara berlebihan sehingga mendorongnya untuk melakukan tindakan menyakiti
atau mengintimidasi orang lain”, ucap Hana Nurul Faizah yang berhasil mempertahankan
skripsinya di depan dua dosen penguji, yaitu Dr. Netty Hartaty dan Dr. Rachmat Mulyono,
M.Psi

Selanjutnya, upaya apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir terjadinya perilaku
agresi ini? Menurut Hana peran semua pihak baik orang tua, maupun sekolah sangat
penting dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap para remaja, sehingga
mereka memiliki pemahaman bahwa dalam mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi
dapat diselesaikan dengan cara yang baik seperti melalui diskusi, musyawarah dan
menumbuhkan sikap saling empati.

Remaja dapat diarahkan untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan disekolah
seperti, pramuka, rohis, paskibra dan kegiatan yang sesuai dengan potensinya. Dengan
demikain mereka dapat membangun rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan tenggang rasa,
agar tidak berfokus pada perilaku yang negatif seperti agresi. Program layanan bimbingan
dan konseling yang ada di sekolah juga dapat dievaluasi kembali efektivitasnya, pihak
sekolah dapat mengembangkan program peer counseling bagi remaja sehingga mereka
dapat lebih nyaman dalam mengungkapkan pikiran dan emosinya.

Perilaku agresi dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun panjang, baik
untuk pelaku atupun korban serta berpotensi untuk diulangi seiring berjalannya waktu. Oleh
sebab itu, setiap dari kita memerlukan kepekaan terhadap orang-orang yang ada di sekitar
kita, sehingga menciptakan rasa empati dan kepedulian terhadap kondisi dan perasaan
orang lain. Sikap kita menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya, Perlakukanlah orang lain
sebagaimana diri kita ingin diperlakukan.Life would be meaningful, if we have a meaning for
others.

2.4 Penanganan masalah remaja dengan cara mekanisme pertahanan diri

Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) untuk


menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui
pemutarbalikan kenyataan. Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi
objektif bahaya dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah
itu. Jadi, mekanisme pertahanan diri merupakan bentuk penipuan diri.
Berikut ini beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa terjadi dan dilakukan oleh
sebagian besar individu, terutama para remaja yang sedang mengalami pergulatan yang
dasyat dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Dari mekanisme pertahanan diri
berikut, diantaranya dikemukakan oleh Freud, tetapi beberapa yang lain merupakan hasil
pengembangan ahli psikoanalisis lainnya.

a. Represi

Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustrasi, konflik


batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila
represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun
masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Jenis-jenis amnesia tertentu dapat
dipandang sebagai bukti akan adanya represi. Tetapi represi juga dapat terjadi dalam situasi
yang tidak terlalu menekan. Bahwa individu merepresikan mimpinya, karena mereka
membuat keinginan tidak sadar yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Sudah
menjadi umum banyak individu pada dasarnya menekankan aspek positif dari
kehidupannya. Beberapa bukti, misalnya:

1) Individu cenderung untuk tidak berlama-lama untuk mengenali sesuatu yang tidak
menyenangkan, dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan,

2) Berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat gambar kejadian yang menyesakkan dada,

3) Lebih sering mengkomunikasikan berita baik daripada berita buruk,

4) Lebih mudah mengingat hal-hal positif daripada yang negatif,

5) Lebih sering menekankan pada kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan
yang tidak membahagiakan.

b.Supresi

Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan


menjaga agar impuls-impuls dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin
dengan cara menahan perasaan itu secara pribadi tetapi mengingkarinya secara umum).
Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar dapat
menitik beratkan kepada tugas, ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas (supresi) tetapi
umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi)

c. Reaction Formation (Pembentukan Reaksi)


Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi adalah ketika dia berusaha
menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi
atau supresi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya.
Dengan cara ini individu tersebut dapat menghindarkan diri dari kecemasan yang
disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan.
Kebencian, misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang
penuh kasih sayang, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci,
dan permusuhan ditutupi dengan tindak kebaikan.

d. Fiksasi

Dalam menghadapi kehidupannya individu dihadapkan pada suatu situasi menekan


yang membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu
tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan
normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi
terfiksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan
kecemasan. Individu yang sangat tergantung dengan individu lain merupakan salah satu
contoh pertahan diri dengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri.
Pada remaja dimana terjadi perubahan yang drastis seringkali dihadapkan untuk melakukan
mekanisme ini.

e. Regresi

Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi
frustrasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang
menghadapi tekanan kembali lagi kepada metode perilaku yang khas bagi individu yang
berusia lebih muda. Ia memberikan respons seperti individu dengan usia yang lebih muda
(anak kecil). Misalnya anak yang baru memperoleh adik,akan memperlihatkan respons
mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak
pernah lagi dilakukannya. Regresi barangkali terjadi karena kelahiran adiknnya dianggap
sebagai sebagai krisis bagi dirinya sendiri. Dengan regresi (mundur) ini individu dapat lari
dari keadaan yang tidak menyenangkan dan kembali lagi pada keadaan sebelumnya yang
dirasakannya penuh dengan kasih sayang dan rasa aman, atau individu menggunakan
strategi regresi karena belum pernah belajar respons-respons yang lebih efektif terhadap
problem tersebut atau dia sedang mencoba mencari perhatian.

f. Menarik Diri

Reaksi ini merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu
menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya respons ini
disertai dengan depresi dan sikap apatis

g.Mengelak
Bila individu merasa diliputi oleh stres yang lama, kuat dan terus menerus, individu
cenderung untuk mencoba mengelak. Bisa saja secara fisik mereka mengelak atau mereka
akan menggunakan metode yang tidak langsung.

h. Denial (Menyangkal Kenyataan)

Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau menolak
adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya)
dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga
mengandung unsur penipuan diri.

i. Fantasi

Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa
mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak
menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan yang mengakibatkan frustrasi.
Individu yang seringkali melamun terlalu banyak kadang-kadang menemukan bahwa kreasi
lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Tetapi bila fantasi
ini dilakukan secara proporsional dan dalam pengendalian kesadaraan yang baik, maka
fantasi terlihat menjadi cara sehat untuk mengatasi stres, dengan begitu dengan berfantasi
tampaknya menjadi strategi yang cukup membantu.

j. Rasionalisasi

Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan


yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya
yang buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan
berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik, atau yang baik adalah yang buruk.

k. Intelektualisasi

Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi situasi


yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan cara analitik,
intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi
situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa
tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara
emosional. Dengan intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang
pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya
untuk meninjau permasalah secara obyektif.

l. Proyeksi

Individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam
memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan
itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk
mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya
sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.

Anda mungkin juga menyukai