Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah PSIKOLOGI PENDIDIKAN PERSERTA DIDIK
Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Lanjutan Permasalahan Dan Penaganan
Masalah Penyesuaiaan Diri Peserta Didik Usia Sekolah Mengah” tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah dalam rangka melengkapi tugas kelompok
mata kuliah Psikologi Peserta Didik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
Psikologis Peserta Didik.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL.....................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
3.1 Kesimpulan........................................................................................................6
2.1 Saran...................................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................7
BAB I
PENDAHULUAN
Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa atau
mental individu. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan
dalam hidupnya, karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, baik dengan kehidupan
keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Tidak jarang pula ditemui
bahwa orang-orang mengalami stres dan depresi disebabkan oleh kegagalan mereka untuk
melakukan penyesuaian diri dengan kondisi penuh tekanan. Sesuai dengan pengertiannya, maka
tingkah laku manusia dapat dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan
lingkungan tempat individu hidup. Semua makhluk hidup secara alami dibekali kemampuan
untuk menolong dirinya sendiri dengan cara menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, agar
dapat bertahan hidup. Namun pada kenyataannya, banyak individu yang gagal dalam
penyesuaian diri karena individu belum tentu tahu apa yang dinamakan dengan proses
penyesuaian diri, selain itu individu tidak memiliki konsep penyesuaian diri dan tidak melakukan
penyesuaian diri dengan baik. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu dalam
menghadapi segala tatangan dan perubahan-perubahan yang akan terjadi nanti.
PEMBAHASAN
Masalah yang Timbul Pada Anak Kreatif ada 2. Hubungan dengan guru dan teman
sebaya.Cenderung kritis dan memiliki pendapatnya sendiri.Berani mengemukakan
ketidaksetujuannya terhadap pemikiran orang lain tidak mudah percaya.Memiliki keinginan
yang seringkali berbeda dengan teman-teman pada umumnya.Tidak begitu senang untuk
melekatkan diri kepada otoritas.
Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang
kesehatan yang saat ini terjadi di Negara Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan
derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan dalam meneruskan pembangunan bangsa.
Berdasarkan alasan tersebut, masalah kesehatan anak diprioritaskan dalam perencanaan
atau penataan pembangunan bangsa (Hidayat, 2009). Masalah gizi di Indonesia dan di
negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein
(KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah
Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar. Hasil dari
beberapa penelitian diketahui sebagian anak SD masih mengalami masalah gizi yang cukup
serius. Hasil pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABMS) tahun 1998
menunjukkan bahwa 37,8% anak SD yang baru masuk sekolah menderita Kurang Energi
Protein (KEP) dan menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1995
menunjukkan bahwa 47,3% anak usia sekolah menderita anemia, disamping menderita gizi
kurang diketahui pula bahwa di beberapa daerah perkotaan telah terjadi masalah gizi lebih
pada anak sekolah dasar dan Madrasah Ibtidayah. Hasil penelitian Husaini pada anak
sekolah dasar dan Madrasah Ibtidayah yang berasal dari keluarga ekonomi menengah 2
keatas di kota Bogor (1998) menunjukkan bahwa 10,3% anak laki-laki dan 11,4% anak
perempuan kelebihan berat badan (Depkes, 2005). Kelompok anak sekolah pada umumnya
mempunyai kondisi gizi yang lebih baik daripada kelompok balita, karena kelompok umur
sekolah mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh
pemerintah maupun oleh kelompok pihak swasta, meskipun demikian masih terdapat
berbagai kondisi gizi pada anak sekolah yang tidak memuaskan, misalnya berat badan yang
kurang dan anemia defisiensi besi (Sediaoetama,1993). Defisiensi zinc dan vitamin A banyak
dialami oleh anak sekolah (Gibney, et al., 2008). Fungsi dari zat gizi karbohidrat, protein dan
lemak adalah untuk menghasilkan energi yang diperlukan anak untuk melakukan kegiatan
dan aktivitas fisik. Kekurangan energi dan protein pada anak sekolah menyebabkan anak
menjadi lemah daya tahan tubuhnya dan terjadi penurunan konsentrasi belajar (Depkes,
2005). Fungsi dari Vitamin A, besi dan zinc juga berperan dalam membantu proses
pertumbuhan dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh anak (Almatsier, 2004). Defisiensi
zat besi pada anak dapat menyebabkan anemia, menghambat pertumbuhan, menurunkan
kemampuan fisik, dapat menurunkan konsentrasi belajar serta meningkatkan kejadian
penyakit infeksi (Hadi dan Siswati, 2003). Defisiensi zat besi juga dapat mengganggu
perkembangan mental dan motorik anak (Goyer, 1995). Defisiensi vitamin A pada anak
dapat menyebabkan menurunnya daya tahan anak terhadap penyakit infeksi sehingga anak
mudah sakit, selain itu vitamin A juga terkait dengan fungsi penglihatan (Depkes, 2005). 3
Defisiensi zinc pada anak dapat mengganggu pertumbuhan dan meningkatkan risiko diare
dan infeksi saluran nafas (Brown, et al.,1998). Ada beberapa bukti yang nyata bahwa
defisiensi zinc juga mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik dan perilaku anak
(Gibney, et al., 2008). Pada dasaranya sarapan pagi akan memberikan kontribusi penting
akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya proses
fisiologis didalam tubuh, selain itu sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap
digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula darah yang terjamin normal
maka gairah dan konsentrasi kerja bisa menjadi lebih baik, sehingga berdampak positif
untuk meningkatkan produktivitas. Sarapan pagi akan menyumbangkan energi, zat gizi
makro dan zat gizi mikro sekitar 25% dari total kebutuhan gizi dalam sehari ini adalah jumlah
yang cukup signifikan, selain itu jumlah kebutuhan zat gizi lainnya dapat dipenuhi oleh
makan siang, makan malam dan makanan selingan diantara dua waktu makan (Khomsan,
2004). Pada golongan anak sekolah, anak sudah lebih aktif untuk memilih makanan yang
disukai. Kebutuhan energi lebih besar karena mereka lebih banyak melakukan berbagai
aktivitas fisik, misalnya berolahraga, bermain atau membantu orang tua. Kebutuhan energi
pada golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun,
dikarenakan pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan. Mulai umur 10-
12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih
banyak melakukan aktifitas fisik, sehingga membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan
anak perempuan biasanya sudah mulai 4 haid, sehingga memerlukan protein dan zat besi
yang lebih banyak (Rumah Sakt Dr. Cipto Mangunkusumo dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia,
2008). Golongan anak sekolah biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktifitas di luar
rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Makan pagi atau sarapan pagi perlu
diperhatikan, untuk mencegah hipoglikemi dan agar anak lebih mudah untuk menerima
pelajaran (Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 2008).
Anak-anak yang berada pada tahap tumbuh kembang apabila energi dan zat gizi yang masuk
kedalam tubuh kurang, tentu akan dapat mempengaruhi proses tumbuhkembangnya, jika
tidak sarapan pagi bukan hanya energi saja yang kurang tetapi juga zat gizi lainnya, jika hal
ini terjadi berlarut-larut dan bahkan merupakan kebiasaan dengan sendirinya pertumbuhan
anak pun mungkin akan terganggu (Sitorus, 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Sibuea pada tahun 2002 di sebuah SD Negeri di Medan, sekitar 57,50% anak Indonesia tidak
sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah, ternyata dari SD yang diteliti diketahui
prevalensi anak SD yang mengalami status gizi kurang kalori (50%), kurang protein (55%)
dan kurang vitamin A (40%), hal ini menjadi perhatian penuh, sebab sarapan pagi akan
memberikan kontribusi penting akan pemenuhan beberapa zat-zat gizi yang diperlukan oleh
tubuh seperti energi, protein, lemak, vitamin dan mineral. Ketersediaan sarapan pagi yang
bermutu mampu meningkatkan kapasitas belajar sehingga lebih mudah menerima
pelajaran, selain itu juga berpengaruh pada status gizi. Menurut hasil survei pendahuluan
pada tahun 2011 yang telah dilakukan pada 128 siswa pada kelas V SD Negeri di Kelurahan
Trangsan, 5 Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo di 4 sekolah dasar, yaitu SDN I
Trangsan, SDN II Trangsan, SDN III Trangsan dan SDN IV Trangsan diperoleh data sebanyak
35 siswa atau sebesar 27,00% siswa tidak sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah.
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap siswa SD untuk mengetahui gambaran kontribusi energi, zat gizi makro
dan zat gizi mikro dari sarapan pagi terhadap angka kecukupan gizi anak pada siswa SD
Negeri di Kelurahan Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo.
Berdasarkan kajian dari berbagai literatur, perilaku agresi dapat diartikan sebagai
tindakan yang diniatkan untuk menyakiti atau melukai orang lain, baik yang secara fisik,
verbal, maupun psikis (Taylor, Peplau & O’sears, 2009). Perilaku agresi indektik dengan
kekerasan, baik fisik maupun psikis.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Terdapat berbagai macam bentuk perilaku agresi yang dapat kita temui dalam
kehidupan sehari-hari, mulai dari mencaci maki, mengejek, membuat kerusuhan, dan segala
jenis perilaku yang mengarah kepada tindak kekerasan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia
atau KPAI mengungkap kasus tawuran di Indonesia pada tahun 2018 meningkat 1,1 persen
dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, angka kasus tawuran hanya 12,9 persen,
tapi tahun 2018 menjadi 14 persen.
Hana Nurul Faizah, mahasiswa angkatan 2013, lulus 2017. Sebagai pembimbing
akademik adalah Dr. Natris Indriyani. Saat ini sedang menempuh Studi Progam Magister
Psikologi (S2), Peminatan Pendidikan, di Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Hanna juga aktif di
Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Tangerang Selatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 22,4% perilaku agresi pada remaja dipengaruhi
oleh variabel kepribadian, strategi coping, provokasi dan jenis kelamin.[Dua variabel ini
belum diulas hasilnya. Perlu diulas secara singkat. ] Dari berbagai faktor tersebut terdapat
dua faktor yang menjadi penyebab utama perilaku agresi, yaitu tipe kepribadian
neurotisme, dan provokasi fisik.
Selanjutnya, upaya apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir terjadinya perilaku
agresi ini? Menurut Hana peran semua pihak baik orang tua, maupun sekolah sangat
penting dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap para remaja, sehingga
mereka memiliki pemahaman bahwa dalam mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi
dapat diselesaikan dengan cara yang baik seperti melalui diskusi, musyawarah dan
menumbuhkan sikap saling empati.
Remaja dapat diarahkan untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan disekolah
seperti, pramuka, rohis, paskibra dan kegiatan yang sesuai dengan potensinya. Dengan
demikain mereka dapat membangun rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan tenggang rasa,
agar tidak berfokus pada perilaku yang negatif seperti agresi. Program layanan bimbingan
dan konseling yang ada di sekolah juga dapat dievaluasi kembali efektivitasnya, pihak
sekolah dapat mengembangkan program peer counseling bagi remaja sehingga mereka
dapat lebih nyaman dalam mengungkapkan pikiran dan emosinya.
Perilaku agresi dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun panjang, baik
untuk pelaku atupun korban serta berpotensi untuk diulangi seiring berjalannya waktu. Oleh
sebab itu, setiap dari kita memerlukan kepekaan terhadap orang-orang yang ada di sekitar
kita, sehingga menciptakan rasa empati dan kepedulian terhadap kondisi dan perasaan
orang lain. Sikap kita menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya, Perlakukanlah orang lain
sebagaimana diri kita ingin diperlakukan.Life would be meaningful, if we have a meaning for
others.
a. Represi
1) Individu cenderung untuk tidak berlama-lama untuk mengenali sesuatu yang tidak
menyenangkan, dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan,
2) Berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat gambar kejadian yang menyesakkan dada,
5) Lebih sering menekankan pada kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan
yang tidak membahagiakan.
b.Supresi
d. Fiksasi
e. Regresi
Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi
frustrasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang
menghadapi tekanan kembali lagi kepada metode perilaku yang khas bagi individu yang
berusia lebih muda. Ia memberikan respons seperti individu dengan usia yang lebih muda
(anak kecil). Misalnya anak yang baru memperoleh adik,akan memperlihatkan respons
mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak
pernah lagi dilakukannya. Regresi barangkali terjadi karena kelahiran adiknnya dianggap
sebagai sebagai krisis bagi dirinya sendiri. Dengan regresi (mundur) ini individu dapat lari
dari keadaan yang tidak menyenangkan dan kembali lagi pada keadaan sebelumnya yang
dirasakannya penuh dengan kasih sayang dan rasa aman, atau individu menggunakan
strategi regresi karena belum pernah belajar respons-respons yang lebih efektif terhadap
problem tersebut atau dia sedang mencoba mencari perhatian.
f. Menarik Diri
Reaksi ini merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu
menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya respons ini
disertai dengan depresi dan sikap apatis
g.Mengelak
Bila individu merasa diliputi oleh stres yang lama, kuat dan terus menerus, individu
cenderung untuk mencoba mengelak. Bisa saja secara fisik mereka mengelak atau mereka
akan menggunakan metode yang tidak langsung.
Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau menolak
adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya)
dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga
mengandung unsur penipuan diri.
i. Fantasi
Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa
mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak
menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan yang mengakibatkan frustrasi.
Individu yang seringkali melamun terlalu banyak kadang-kadang menemukan bahwa kreasi
lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Tetapi bila fantasi
ini dilakukan secara proporsional dan dalam pengendalian kesadaraan yang baik, maka
fantasi terlihat menjadi cara sehat untuk mengatasi stres, dengan begitu dengan berfantasi
tampaknya menjadi strategi yang cukup membantu.
j. Rasionalisasi
k. Intelektualisasi
l. Proyeksi
Individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam
memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan
itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk
mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya
sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.