i
A. Konsep Dasar Partus Spontan
1. Definisi
Persalinan adalah proses pengeluaran janin yang cukup bulan, lahir
secara spontan dengan presentasi belakang kepala, disusul dengan
pengeluaran plasenta dan selaput ketuban dari ibu, tanpa komplikasi baik
ibu maupun janin (Ai Nurasiah, 2014).
Persalinan merupakan suatu proses pengeluaran hasil konsepsi
(janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup diluar
kandungan melalui jalan lahir dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan
sendiri). (Sulistyowati & Nugraheny, 2013).
Persalinan normal adalah proses pengeluaran bayi dengan usia
kehamilan cukup bulan, letak memanjang atau sejajar sumbu badan,
presentasi belakang kepala serta dengan tenaga ibu sendiri (Saifuddin,
2015).
Partus spontan adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada
kehamilan cukup bulan dengan ketentuan ibu atau tanpa anjuran atau obat-
obatan (Prawiraharjo, 2008).
2. Etiologi
Penyebab timbulnya persalinan sampai sekarang belum diketahui
secara pasti/jelas, namun beberapa teori menghubungkan dengan faktor
hormonal, struktur rahim, sirkulasi rahim, pengaruh tekanan pada syaraf dan
nutrisi (Hafifah, 2011).
a. Teori penurunan hormone
1-2 minggu sebelum partus dimulai, terjadi penurunan hormon
progesterone dan estrogen. Fungsi progesteron sebagai penenang otot-
otot polos rahim dan akan menyebabkan kekejangan pembuluh darah
sehingga timbul his bila progesteron menurun.
1
b. Teori plasenta menjadi tua
Turunnya kadar hormon estrogen dan progesteron menyebabkan
kekejangan pembuluh darah yang menimbulkan kontraksi rahim.
c. Teori distensi rahim
Rahim yang menjadi besar dan merenggang menyebabkan
iskemik otot-otot rahim sehingga mengganggu sirkulasi utero-plasenta.
d. Teori iritasi mekanik
Dibelakang servik terlihat ganglion servikale (fleksus
franterhauss). Bila ganglion ini digeser dan ditekan misalnya oleh
kepala janin akan timbul kontraksi uterus.
e. Induksi partus
Dapat pula ditimbulkan dengan jalan gagang laminaria yang
dimasukkan dalam kanalis servikalis dengan tujuan merangsang
pleksus frankenhauser, amniotomi pemecah ketuban, oksitosin drip
yaitu pemberian oksitosin menurut tetesan perinfus.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Hafifah (2011), tanda-tanda permulaan persalinan adalah
lightening atau settling atau dropping yang merupakan kepala turun
memasuki pintu atas panggul terutama pada primigravida. Perut kelihatan
lebih melebar, fundus uteri turun. Perasaan sering atau susah buang air
kencing karena kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin.
Perasaan sakit diperut dan dipinggang oleh adanya kontraksi-kontraksi
lemah di uterus (fase labor pain). Servik menjadi lembek, mulai mendatar
dan sekresinya bertambah bisa bercampur darah (bloody show).
Tanda-tanda impart lainnya menurut Setiawati (2013), yaitu :
a. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur
b. Keluar lendir dan bercampur darah yang lebih banyak, robekan kecil
pada bagian servik
c. Kadang-kadang ketuban pecah
d. Pada pemeriksaan dalam, servik mendatar
2
4. Tahapan Persalinan
Lamanya persalinan tertentu bagi primigravida dan multi gravida
Primigravida Multigravida
3
tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara reflek menimbulkan
rasa mengejan karena tekanan pada rectum sehingga merasa seperti BAB
dengan tanda anus membuka. Pada waktu his kepala janin mulai
kelihatan, vulva membuka dan perineum meregang. Dengan his
mengejan yang terpimpin akan lahir dan diikuti oleh seluruh badan janin.
Kala II pada primi 1,5-2 jam, pada multi 0.5 jam.
Mekanisme persalinan :
1) Engagement :
(a) Diameter biparietal melewati PAP
(b) Nullipara terjadi 2 minggu sebelum persalinan
(c) Multipara terjadi permulaan persalinan
(d) Kebanyakan kepala masuk PAP dengan sagitalis melintang
pada PAP Flexi ringan.
2) Descent (Turunnya Kepala)
Turunnya presentasi pada inlet disebabkan oleh 4 hal :
(a) Tekanan cairan ketuban
(b) Tekanan langsung oleh fundus uteri
(c) Kontraksi diafragma dan otot perut (Kalla II)
(d) Melurusnya badan janin akibat kontraksi uterus
3) Flexion
Majunya kepala mendapat tekanan dari servik, dinding panggul atau
dasar panggul, flexi (dagu lebih mendekati dada).
4) Rotation Internal
(a) Bagian terendah memutar kedepan kebawah symphisis
(b) Usaha untuk menyesuaikan posisi kepala dengan bentuk jalan
lahir (Bidang tengah dan PBP)
(c) Terjadi bersama dengan majunya kepala
(d) Rotasi muka belakang secara lengkap terjadi setelah kepala di
dasar panggul
5) Extension
Deflexi kepala, karena sumbu PBP mengarah kedepan dan atas
4
6) Rotation External
Setelah kepala lahir, kepala memutar kembali kearah panggul anak
untuk menghilangkan torsi leher akibat putaran paksi dalam. Ukuran
bahu menempatkan pada ukuran muka belakang dari PBP.
7) Expulsi
Bahu depan dibawah symphisis sebagai hypomoklin, lahir bahu
belakang, bahu depan, badan seluruhnya (Widia, 2015 : 128).
c. Kala III (Pengeluaran Plasenta)
Kala tiga persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir
dengan lahirnya plasenta. Setelah bayi lahir, kontraksi, rahim istirahat
sebentar, uterus teraba keras, plasenta menjadi tebal 2x sebelumnya.
Beberapa saat kemudian timbul his, dalam waktu 5-10 menit, seluruh
plasenta terlepas, terdorong kedalam vagina dan akan lahir secara
spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas symphisis / fundus uteri,
seluruh proses berlangsung 5-30 menit setelah bayi lahir. Pengeluaran
plasenta disertai dengan pengeluaran darah kira-kira 100-200 cc. Tanda-
tanda lepasnya plasenta : perubahan ukuran dan bentuk uterus, tali pusat
memanjang, semburan darah tiba-tiba.
Kala III terdiri dari 2 fase :
1) Fase pelepasan uri
Cara lepasnya uri ada beberapa cara :
(a) Schultze : lepasnya seperti kita menutup payung, cara ini paling
sering terjadi. Yang lepas duluan adalah bagian tengah lalu terjadi
retroplasental hematoma yang menolak uri mula-mula pada
bagian tengah kemudian seluruhnya. Menurut cara ini,
perdarahan tidak ada sebelum uri lahir.
(b) Duncan : lepasnya uri mulai dari pinggir, jadi pinggir uri lahir
duluan. Darah akan mengalir keluar antara selaput ketuban. Atau
serempak dari tengah dan pinggir plasenta
5
2) Fase pengeluaran uri
(a) Kutsner : dengan meletakkan tangan serta disertai tekanan
pada/diatas symphysis. Tali pusat ditegangkan maka bila tali pusat
masuk artinya belum lepas.
(b) Klien : sewaktu ada his, rahim kita dorong, bila tali pusat kembali
artinya belum lepas. Diam atau turun atinya lepas.
(c) Strassman : tegangkan tali pusat dan ketok pada fundus, bila tali
pusat bergetar artinya belum lepas. Tak bergetar artinya sudah
lepas (Kuswanti dkk, 2014 : 199).
d. Kala IV (Fase Pengawasan)
Kala empat persalinan dimulai setelah lahirnya plasenta dan
berakhir selama 2 jam. Kala IV dimaksudkan untuk melakukan observasi
karena perdarahan postpartum paling sering terjadi pada 2 jam pertama.
Observasi yang dilakukan antara lain :
1) Tingkat kesadaran ibu
2) Pemeriksaan TTV : tekanan darah, nadi, pernafasan
3) Kontraksi uterus
4) Terjadinya perdarahan
Perdarahan dianggap masih normal bila jumlahnya tidak melebihi
400-500 cc. Pengawasan selama 2 jam setelah bayi dan plasenta lahir,
mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan post
partum. Dengan menjaga kondisi kontraksi dan retraksi uterus yang kuat
dan terus-menerus. Tugas uterus ini dapat dibantu dengan obat-obatan
oksitosin. (Dewi Asri dkk, 2012 : 95).
5. Jenis-jenis Persalinan
Menurut Ai Nursiah, dkk (2014) ada jenis persalinan berdasarkan
bentuk persalinan :
a. Persalinan Spontan: bila seluruh persalinan berlangsung dengan kekuatan
ibu sendiri.
b. Persalinan Buatan: bila persalinan berlangsung dengan bantuan tenaga
dari luar.
c. Persalinan Anjuran: bila kekuatan yang diperlukan untuk persalinan
6
ditimbulkan dari luar dengan jalan pemberian rangsangan.
2. Etiologi
Menurut Manuaba (2013), penyebab ketuban pecah dini antara lain :
a. Servik inkompeten (penipisan servikx) yaitu kelainan pada servik uteri
dimana kanalis servikalis selalu terbuka.
b. Ketegangan uterus yang berlebihan, misalnya pada kehamilan ganda
dan hidroamnion karena adanya peningkatan tekanan pada kulit ketuban
di atas ostium uteri internum pada servik atau peningkatan intra uterin
secara mendadak.
7
c. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan
genetic.
d. Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase
laten.
1) Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi
2) Makin muda kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa
menimbulkan morbiditas janin
3) Komplikasi ketuban pecah dini makin meningkat
e. Kelainan letak janin dalam rahim, misalnya pada letak sunsang dan letak
lintang, karena tidak ada bagan terendah yang menutupi pintu atas
panggul yang dapat menghalangi tekanan terhadap membrane bagian
bawah. kemungkinan kesempitan panggul, perut gantung, sepalopelvik,
disproporsi.
f. Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
asenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan
terjadinya ketuban pecah dini.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Manuaba (2013) mekanifestasi klinis ketuban pecah dini,
antara lain:
a. Terjadi pembukaan prematur servik
b. Membran terkait dengan pembukaan terjadi :
1) Devaskularisasi
2) Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
3) Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban, makin berkurang
4) Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat denga infeksi yang
mengeluarkan enzim preteolitik dan kolagenase.
8
d. Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah
kering
e. Inspekulo : tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak
ada dan air ketuban sudah kering.
f. Kecemasan ibu meningkat.
4. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
9
periode latent = L, P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan
makin memanjang L.P-nya. Pada hakekatnya kulit ketuban yang
pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-
80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam
setelah kulit ketuban pecah.bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban
pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi
persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar (Manuaba, 2013)
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi
pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam
uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting
dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis
perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan
segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan :
tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi,
proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam. Beberapa
penulis menyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera
diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita
akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat
periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi
dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi
(Manuaba, 2013).
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang
sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses
persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang
kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan
ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin
kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan
mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan,
sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil
akhiri persalinan dengan seksio sesaria (Manuaba, 2013).
10
2) Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)
Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang
bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat
koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai
profilaksi Penderita perlu dirawat di rumah sakit,ditidurkan dalam
posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam
untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa
mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent
diberikan juga tujuan menunda proses persalinan (Manuaba, 2013).
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian
kortikosteroid pada penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah
agar tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau
melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda
infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang
umur kehamilan (Manuaba, 2013).
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai
berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat
menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak
ringan. Komplikasikomplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai
mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin
terjadi intoksikasi. Kegagalan dari induksi persalinan biasanya
diselesaikan dengan tindakan bedan sesar. Seperti halnya pada
pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan bedah sesar hendaknya
dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi
seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak,
gawat janin, partus tak maju, dll (Manuaba, 2013).
Selain komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat
tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat
menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan
pengawasan yang ketat. Sehingga dikatakan pengolahan konservatif
adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap
kemungkinan infeksi intrauterin (Manuaba, 2013).
11
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi
setiap hari, pem,eriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur
setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin, pemberian
antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6
jam. Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah
dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The
National Institutes of Health telah merekomendasikan penggunaan
kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu
yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason
2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4
dosis masingmasing 6 mg tiap 12 jam (Manuaba, 2013).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
12
2) Aktif
Bila didapatkan infeksi berat maka berikan antibiotik dosis
tinggi. Bila ditemukan tanda tanda inpartu, infeksi dan gawat janin
maka lakukan terminasi kehamilan.
a) Induksi atau akselerasi persalinan.
b) Lakukan seksiosesaria bila induksi atau akselerasi persalinan
mengalami kegagalan.
c) Lakukan seksio histerektomi bila tanda-tanda infeksi uterus
berat ditemukan. Hal-hal yang harus diperhatikan saat terjadi
pecah ketuban.
Yang harus segera dilakukan :
(1) Pakai pembalut tipe keluar banyak atau handuk yang
bersih.
(2) Tenangkan diri Jangan bergerak terlalu banyak pada saat
ini. Ambil nafas dan tenangkan diri.
Yang tidak boleh dilakukan :
(1) Tidak boleh berendam dalam bath tub, karena bayi ada
resiko terinfeksi kuman.
(2) Jangan bergerak mondar-mandir atau berlari ke sana
kemari, karena air ketuban akan terus keluar. Berbaringlah
dengan pinggang diganjal supaya lebih tinggi.
5. Komplikasi
Manuaba (2009), Komplikasi yang biasa terjadi pada KPD meliputi :
a. Mudah terjadinya infeksi intra uterin
b. Partus premature
c. Prolaps bagian janin terutama tali pusat
13
c. Resiko infeksi baik pada ibu maupun janin, dimana resiko infeksi
karena ketuban yang utuh merupakan barrier atau penghalang
terhadap masuknya penyebab infeksi
6. Diagnosa Banding
Diagnosa banding KPD menurut Achdiyat (2004) adalah kehamilan
dengan fistula vesiko-vaginal dan kehamilan dengan stress incontinence.
Menurut Caughey, Julian, Robinson, dan Errol (2008) diagnosa
banding dari kpd adalah urinary incontinence dan secret vagina yang belebih
14
d. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Dalam pengkajian ditemukan ibu hamil dengan usia kehamilan
antara 38-42 minggu disertai tanda-tanda menjelang persalinan
yaitu nyeri pada daerah pinggang menjalar ke perut, his makin
sering, teratur, kuat, adanya show (pengeluaran darah campur
lendir), kadang ketuban pecah dengan sendirinya. (Mitayani, 2009).
2) Riwayat penyakit sistemik
Untuk mengetahui apakah adanya penyakit jantung, hipertensi,
diabetes mellitus, TBC, hepatitis, penyakit kelamin, pembedahan
yang pernah dialami, dapat memperberat persalinan.
3) Riwayat penyakit keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada yang menderita
penyakit menular seperti TBC dan hepatitis, menurun seperti
jantung dan DM.
4) Riwayat Obstetri
Riwayat haid. Ditemukan amenorrhea (aterm 38-42 minggu),
prematur kurang dari 37 minggu.
5) Riwayat keturunan kembar
Untuk mengetahui ada tidaknya keturunan kembar dalam keluarga.
6) Riwayat operasi
Untuk mengetahui riwayat operasi yang pernah dijalani.
7) Riwayat perkawinan
Untuk mengetahui status perkawinan klien dan lamanya
perkawinan.
8) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
(a) Kehamilan : Untuk mengetahui berapa umur kehamilan ibu dan
hasil pemeriksaan kehamilan (Wiknjosastro, 2009)
(b) Persalinan : Spontan atau buatan, lahir aterm atau prematur, ada
perdarahan atau tidak, waktu persalinan ditolong oleh siapa,
dimana tempat melahirkan. (Wiknjosastro, 2009)
15
(c) Nifas : Untuk mengetahui hasil akhir persalinan (abortus, lahir
hidup, apakah dalam kesehatan yang baik) apakah terdapat
komplikasi atau intervensi pada masa nifas, dan apakah ibu
tersebut mengetahui penyebabnya.
9) Riwayat kehamilan sekarang
Riwayat kehamilan sekarang perlu dikaji untuk mengetahui apakah
ibu resti atau tidak, meliputi :
(a) Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)
Digunakan untuk mengetahui umur kehamilan (Wiknjosastro,
2009)
(b) Hari Perkiraan Lahir (HPL)
Untuk mengetahui perkiraan lahir (Wiknjosastro, 2009)
(c) Keluhan-keluhan
Untuk mengetahui apakah ada keluhan-keluhan pada trimester
I,II dan II (Wiknjosastro, 2009)
(d) Ante Natal Care (ANC)
Mengetahui riwayat ANC, teratur / tidak, tempat ANC, dan saat
kehamilan berapa
10) Riwayat keluarga berencana
Untuk mengetahui apakah sebelum kehamilan ini pernah
menggunakan alat kontrasepsi atau tidak, berapa lama penggunaan
nya (Nursalam, 2013)
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum
Untuk mengetahui keadaan umum baik, sedang, jelek (Prawirohardjo,
2010). Pada kasus persalinan normal keadaan umum pasien baik
(Nugroho, 2010).
b. Kesadaran
Untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien composmentis, apatis,
somnolen, delirium, semi koma dan koma. Pada kasus ibu bersalin
dengan persalinan normal kesadarannya composmentis (Rohani, 2011).
16
c. Tanda vital
1) Tekanan darah : Untuk mengetahui faktor resiko hipertensi dan
hipotensi. Batas normalnya 120/80 mmHg (Saifuddin, 2010)
2) Nadi : Untuk mengetahui nadi pasien yang dihitung dalam menit
(Saifuddin, 2010). Batas normalnya 69-100x/ menit (Taufan, 2014)
3) Respirasi : Untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien yang
dihitung dalam 1 menit (Saifuddin, 2010). Batas normalnya 1222x/
menit (Taufan, 2014)
4) Suhu : Untuk mengetahui suhu tubuh klien, memungkinkan febris/
infeksi dengan menggunakan skala derajat celcius. Suhu wanita saat
bersalin tidak lebih dari 38°C (Wiknjosastro, 2009). Suhu tubuh
pada ibu bersalin dengan persalinan normal 38°C (Taufan, 2014)
d. Head to toe
1) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang
terdapat adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan.
2) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tiroid,
karena adanya proses menerang yang salah.
3) Mata
Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva,
dan kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena
proses persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kuning.
4) Telinga
Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana
kebersihanya, adakah cairan yang keluar dari telinga.
5) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada pos partum kadang-
kadang kadang ditemukan pernapasan cuping hidung.
6) Dada
Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiperpigmentasi
areola mamae dan papila mamae.
17
7) Abdomen
Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa
nyeri.
8) Fundus uteri
3 jari dibawa pusat.
9) Genitalia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila
terdapat pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak
dalam kandungan menandakan adanya kelainan letak anak.
10) Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena ruptur.
11) Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk melihat kelainan-kelainan karena
membesarnya uterus, karena preeklamsia atau karena penyakit
jantung atau ginjal.
12) Muskuluskeletal
Pada klien post partum biasanya terjadi keterbatasan gerak karena
adanya luka episiotomi.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, konsentrasi, bau
dan PHnya.
1) Tes lakmus (tes nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi
biru ,menunjukkan adanya air ketuban (alkalis).
2) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas
objek dan dibiarkan kering, pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan gambaran daun pakis.
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban
yang sedikit (Manuaba, 2009)
18
4. Analisa Data
No. Masalah Penyebab Data
DS :
1. Terdapat air
ketuban yang
keluar (pecah)
2. Pasien tampak
khawatir dengan
kehamilannya
19
3. Defisit Pengetahuan Ketuban Pecah Dini (KPD) DS :
DO :
1. Pasien tampak
kebingungan
20
E. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Intervensi Keperawatan
No Tujuan (SLKI)
(SDKI) (SIKI)
Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
21
Edukasi
Kolaborasi
22
7) Merokok Kolaborasi
8) Status cairan tubuh
6. Ketidak adekuatan 1. Kolaborasi pemberian
pertahanan tubuh sekunder imunisasi, jika perlu
1) Penurunan
hemoglobin
2) Imununosupresi
3) Leukopenia
4) Supresi respon
inflamasi
5) Vaksinasi tidak
adekuat
23
Definisi: Dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi kemampuan
mengambil keputusan
Kondisi emosi dan pengalaman 1. Tingkat ansietas 3. Monitor tanda anxietas
subyektif individu terhadap menurun (verbal dan non verbal)
objek yang tidak jelas dan 2. Proses informasi
spesifik akibat antisipasi dipahami dengan Terapeutik
bahaya yang memungkinkan baik
individu melakukan tindakan 3. Tingkat 1. Ciptakan
untuk menghadapi ancaman. pengetahuan suasana terapeutik untuk
meningkat menumbuhkan
Penyebab kepercayaan
2. Temani pasien untuk
1. Ancaman terhadap mengurangi kecemasan ,
konsep diri jika memungkinkan
2. Ancaman terhadap 3. Pahami situasi yang
kematian membuat anxietas
3. Kurang terpapar informasi 4. Dengarkan dengan penuh
perhatian
5. Gunakan pedekatan yang
tenang dan meyakinkan
6. Motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
7. Diskusikan
perencanaan realistis
tentang peristiwa yang akan
datang.
Edukasi
1. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
2. Informasikan secara factual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien, jika
perlu
4. Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai
kebutuhan
5. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
6. Latih kegiatan pengalihan,
untuk mengurangi
ketegangan
7. Latih penggunaan
mekanisme pertahanan diri
yang tepat
8. Latih teknik relaksasi
24
Kolaborasi
Terapi Relaksasi
Observasi
1. Identifikasi penurunan
tingkat energy,
ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau gejala
lain yang menganggu
kemampuan kognitif
2. Identifikasi teknik relaksasi
yang pernah efektif
digunakan
3. Monitor respons terhadap
terapi relaksasi
Terapeutik
1. Ciptakan lingkungan
tenang dan tanpa gangguan
dengan pencahayaan dan
suhu ruang nyaman, jika
memungkinkan
2. Berikan informasi tertulis
tentang persiapan dan
prosedur teknik relaksasi
3. Gunakan nada suara lembut
dengan irama lambat dan
berirama
4. Gunakan relaksasi sebagai
strategi penunjang dengan
analgetik atau tindakan
medis lain, jika sesuai
Edukasi
1. Anjurkan mengambil
psosisi nyaman
2. Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi relaksasi
3. Demonstrasikan dan latih
teknik relaksasi (mis. napas
dalam, pereganganm atau
imajinasi
25
Daftar Pustaka
26