Competitive Profile Matrix Dan Mckinsey Capacity Assessment Grid Sebagai Perangkat Analisis Manajemen Strategis
Competitive Profile Matrix Dan Mckinsey Capacity Assessment Grid Sebagai Perangkat Analisis Manajemen Strategis
PENDAHULUAN
Manajemen strategis mengacu pada aktifitas yang terdiri dari tiga tahap yaitu
perumusan (formulation), pelaksanaan (implementation), dan evaluasi (evaluation)
strategi. Untuk menciptakan suatu sistem manajemen strategis yang baik, dibutuhkan
perangkat analisis manajemen strategis. Perangkat tersebut dapat membantu
perencanaan strategi dalam mengidentifikasi, memilih dan mengevaluasi strategi.
Analisis dan pilihan strategi bertujuan untuk menentukan arah tindakan alternatif
terbaik bagi organisasi dalam rangka mencapai misi dan tuuannya. Proses ini
dimaksudkan untuk :
1. Visi organisasi
2. Misi Organisasi
4. Audit eksternal
5. Audit internal
Kerangka perumusan strategi terdiri dari tahap masukan (input stage), tahap
pencocokan (matching stage)dan tahap pemilihan/memutuskan strategi (decicision
stage). Tahap masukan bertujuan untuk menyediakan informasi masukan untuk
digunakan pada tahap pencocokan dan tahap pemilihan/memutuskan strategi. Pada
tahap pencocokkan terdapat upaya memadukan sumber daya dan keterampilan
internal dengan peluang dan resiko yang diciptakan oleh lingkungan eksternal. Tujuan
dari setiap perangkat dalam tahap pencocokan ini adalah untuk menghasilkan
strategi-strategi alternatif yang dapat dijalankan, bukan untuk memilih atau
menentukan strategi terbaik bagi organisasi. Sedangkan yang terakhir, pada tahap
pemilihan strategi, perusahaan memilih dari beragam strategi alternatif untuk
dijalankan.
Pada paper berikut ini akan disajikan penjelasan mengenai Competitive Profile
Matrix (CPM) dan McKinsey Capacity Assessment Grid sebagai dua diantara
perangkat analisis yang dapat dipakai di dunia manajemen strategis.
Salah satu faktor eksternal yang penting untuk diperhatikan adalah pesaing. Mengapa
demikian? Jawabannya adalah, dengan adanya pesaing maka sebuah perusahaan
dituntut untuk terus berupaya dan berpacu untuk mencapai dan mempertahankan
competitive advantage agar dapat menang dalam persaingan. Salah satu tools
manajemen strategis yang mampu membantu manajemen untuk menyelidiki dan
memetakan posisi pesaing utama dibandingkan dengan perusahaan adalah Matriks
Profil Kompetitif (Competitive Profile Matrix—CPM).
CPM adalah sebuah alat manajemen strategis yang penting untuk mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan pesaing utama dalam hubungannya dengan posisi strategis
perusahaan. Perangkat ini digunakan pada tahap masukan. CPM menunjukkan
gambaran yang jelas tentang titik kuat dan titik lemah relatif perusahaan terhadap
pesaing mereka. Penilaian CPM diukur berdasarkan faktor penentu keberhasilan,
dimana setiap faktor yang diukur dalam skala yang sama untuk setiap perusahaan,
namun dengan rating bervariasi sehingga memudahkan untuk dilakukan analisis
komparatif. Dalam CPM, analisa dilakukan secara keseluruhan, baik itu faktor
eksternal maupun faktor internal. Hal ini berbeda dengan penilaian kondisi internal
dan eksternal perusahaan melalui Internal Factor Evaluation (IFE) dan External
Factor Evaluation (EFE) dimana hanya masing-masing faktor internal dan eksternal
saja.
1. Rating/Peringkat
2. Respon perusahaan yang kurang terhadap critical success factor diwakili oleh
1. Hal ini menunjukkan bahwa faktor tersebut menjadi kelemahan utama
perusahaan.
3. Respon rata-rata terhadap critical success factor diwakili oleh 2. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor tersebut menjadi kelemahan minor perusahaan.
4. Respon diatas rata-rata terhadap critical success factor diwakili oleh 3. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor tersebut menjadi kekuatan minor perusahaan.
6. Weighted (bobot)
Bobot dalam CPM menunjukkan kepentingan relatif dari faktor untuk menjadi
penentu kesuksesan perusahaan dalam industri. Bobot berkisar dari 0,0 yang berarti
tidak penting dan 1,0 yang berarti penting. Jumlah dari semua bobot dari faktor-faktor
yang dianalisis harus sama dengan 1,0.
Nilai tertimbang adalah hasil yang dicapai setelah masing-masing bobot masing-
masing faktor denga peringkatnya.
Jumlah semua nilai tertimbang adalah sama dengan total nilai tertimbang. Nilai akhir
dari jumlah nilai tertimbang harus berada di antara rentang 1.0 (rendah) untuk 4.0
(tinggi). Rata-rata total nilai tertimbang untuk CPM adalah 2,5, dimana setiap
perusahaan dengan total nilai tertimbang berada di bawah 2,5 dapat dikatakan dalam
posisi yang lemah. Perusahaan dengan total nilai tertimbang lebih tinggi adalah 2,5
maka dianggap memiliki posisi yang kuat. Dimensi lain dalam CPM adalah
perusahaan dengan jumlah nilai tertimbang yang paling tinggi dianggap sebagai
pemenang di antara para pesaing. Namun meski demikian, angka-angka total nilai
tertimbang hanyalah menggambarkan kekuatan relatif perusahaan-perusahaan yang
dibandingkan, bukan dengan tujuan untuk mendapatkan angka tertentu tetapi lebih
kepada asimilasi dan evaluasi informasi dalam cara yang mempunyai arti yang dapat
membantu pengambilan keputusan.
Matriks CPM diatas adalah untuk perusahaan rokok dengan memfokuskan diri pada
PT HM. Sampoerna Tbk. Sebagai pesaingnya, disertakan pula beberapa perusahaan
yaitu PT Gudang Garam Internasional Tbk., PT Djarum Tbk., dan PT Bentoel
Internasional Investama Tbk. Seperti yang terdapat dalam tabel CPM, kualitas
produk merupakan faktor penentu keberhasilan yang paling penting bagi perusahaan
industri rokok dengan bobot penilaian sebesar 0,2. Kemudian faktor penting
berikutnya adalah iklan dan manajemen yang sama-sama diberi bobot 0,15.
Sedangkan untuk pangsa pasar, kapasitas produksi, dan kesetiaan pelanggan
menduduki posisi yang cukup penting dengan bobot masing-masing sebesar 0,1.
Selain faktor-faktor tersebut, masih terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan tetapi bukan termasuk dalam elemen yang cukup penting seperti akuisisi
perusahaan lain, persaingan harga, posisi keuangan dan tenaga kerja dengan bobot
masing-masing hanya sebesar 0,05 saja.
Dengan melihat CPM tersebut, Sampoerna, Gudang Garam dan Djarum mempunyai
posisi yang cukup berimbang dengan peringkat 3 yang diindikasikan dengan “baik”
untuk kualitas produk. Sedangkan Bentoel menjadi yang terburuk dalam hal kualitas
produk dengan hanya mendapat peringkat 1. Implikasinya, dalam faktor kualitas
produk, baik Sampoerna, Gudang Garam dan Djarum mempunyai posisi yang cukup
berimbang. Kemudian untuk iklan, Djarum adalah superior, seperti dibuktikan dengan
peringkat 4, sedangkan Sampoerna dan Gudang Garam menyusul di belakangnya
dengan peringkat 3 dan terakhir adalah Bentoel dengan peringkat 2. Sedangkan untuk
sisi manajemen, Sampoerna dan Gudang Garam menjadi yang terbaik dengan
mendapat peringkat 4 kemudian disusul oleh Djarum dengan peringkat 3 dan yang
terakhir adalah Bentoel dengan peringkat 2.
Selain 6 faktor tersebut masih terdapat 4 faktor lagi yang menjadi faktor penentu
keberhasilan industri rokok meskipun tidak memegang peranan yang begitu dominan.
Yang pertama adalah akuisisi perusahaan lain dimana Sampoerna berada dalam posisi
yang terkuat dengan peringkat 4. Bentoel lebih baik dalam hal ini dengan mendapat
peringkat 3. Sebaliknya dengan Gudang Garam dan Djarum menjadi yang terburuk
dengan hanya mendapat masing-masing peringkat 1. Berikutnya adalah faktor
persaingan harga dimana Bentoel menjadi yang terbaik dengan peringkat 4, Gudang
Garam dan Djarum menyusul berikutnya dengan peringkat 3 dan Sampoerna menjadi
yang terburuk dengan peringkat 1. Posisi keuangan perusahaan menjadi faktor
selanjutnya, peringkat 4 diberikan kepada Sampoerna untuk faktor ini. Djarum dan
Gudang Garam menyusul dengan peringkat 3 sedangkan Bentoel di posisi akhir
dengan peringkat 1. Faktor yang terakhir adalah tenaga kerja, dimana Djarum adalah
baik dibuktikan dengan peringkat 3 yang diberikan. Sampoerna dan Gudang Garam
dengan 2 dan Bentoel dengan 1.
Berdasarkan hasil perhitungan total nilai bobot tertimbang untuk perusahaan rokok,
Sampoerna menjadi yang paling baik dengan total nilai sebesar 3,25. Gudang Garam
dan Djarum sama-sama mempunyai total nilai yang tertimbang sebesar 3 dan hanya
sedikit tertinggal dari Sampoerna. Bentoel menjadi yang terburuk dengan hanya
mendapat total nilai 1,75. Namun meskipun demikian angka-angka tersebut hanyalah
menggambarkan kekuatan relatif dari keempat perusahaan tersebut, bukan dengan
tujuan untuk mendapatkan angka tertentu tetapi lebih kepada asimilasi dan evaluasi
informasi dalam cara yang mempunyai arti yang dapat membantu pengambilan
keputusan.
Dalam uraian sebelumnya, disampaikan bahwa fokus utama dari CPM bagi
perusahaan/organisasi yang berorientasi mencari keuntungan atau profit adalah untuk
mengetahui posisi strategis perusahaan/organisasi dibandingkan dengan pesaing
utama. Pesaing menjadi penting bagi perusahaan/organisasi profit karena pesaing
dapat mempengaruhi perolehan keuntungan mereka. Pertanyannya, apakah hal yang
sama berlaku bagi organisasi non-profit, misalnya organisasi pemerintahan, yang
orientasinya bukanlah profit melainkan public service (pelayanan publik)? Apakah
CPM merupakan tools manajemen strategis yang tepat dalam proses merumuskan
strategi organisasi non-profit?
Dengan memperhatikan sepuluh dimensi yang menjadi tolok ukur pelayanan publik
diatas, faktor-faktor yang menjadi penentu keberhasilan berasal dari faktor internal
organisasi/instansi itu sendiri. Apabila keseluruhan faktor diatas dijadikan critical
success factor dalam pembuatan CPM tentu bukan hal yang salah. Pemberiaan rating
dan bobot juga dapat dilakukan karena pasti terdapat prioritas dalam organisasi dalam
merespons atas masing-masing faktor tersebut. Dengan demikian, 4 dari 6 manfaat
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dapat terpenuhi yaitu antara lain:
Namun demikian, terkait dengan fokus CPM yaitu identifikasi pesaing utama, tidak
dapat berlaku dan diterapkan bagi instansi pemerintah. Hal ini terkait dengan fokus
dan karakteristik instansi pemerintah yang bukan pada persaingan. Instansi
pemerintah berfokus pada public service dengan karakteristik unik organisasi yang
bersumber pada tugas pokok dan fungsi masing-masing organisasi yang pasti berbeda
antara satu instansi dengan yang lainnya. Dengan kata lain, instansi pemerintah tidak
bersaing dengan instansi lainnya, sehingga dapat kami simpulkan bahwa penerapan
CPM dalam merumuskan rencana strategis instansi pemerintah pada dasarnya kurang
sesuai untuk dilakukan.
McKinsey Capacity Assessment Grid dapat digunakan oleh manajer, staf, anggota
dewan dari organisasi nirlaba maupun oleh penyumbang dana dari luar. Tujuan dari
penggunaan alat ini adalah :
McKinsey Capacity Assessment Grid digunakan sebagai alat pada tahap masukan.
Pertama-tama, perlu dijelaskan bahwa ada tujuh bidang area yang menyusun alat
pengukur kapasitas organisasional ini. Kemudian, masing-masing dari bidang area itu
disusun oleh unsur-unsur yang lebih kecil. Berikut adalah bidang area dari McKinsey
Capacity Assessment Grid :
1. Visi – kejelasan
2. Visi – ketegasan
1. Keseluruhan strategi
2. Sasaran/pencapaian kinerja
6. Model pembiayaan
1. Manajemen kinerja
Pengukuran kinerja
Monitoring
Perencanaan Strategis
Perencanaan operasional
Perencanaan SDM
Penggalangan dana
Penghasilan pendapatan
1. Penyusunan staff
Orientasi dampak
Pertimbangan keuangan
Pengalaman
3. Staff
4. Sukarelawan
1. Sistem
Perencanaan sistem
1. Infrastruktur
1. Dewan Pengurus
2. Desain organisasi
3. Koordinasi inter-fungsional
Pada mulanya, Survey Administrators menentukan pada titik waktu mana penilaian
dilaksanakan, apakah hari ini, awal tahun, atau mungkin tiga tahun lalu. Bisa jadi
dilakukan penilaian organisasi pada dua titik waktu yang berbeda dengan tujuan
untuk mengukur perubahan kapasitas organisasi.
McKinsey Capacity Assessment Grid bukanlah sebuah alat ilmiah, dan seharusnya
tidak digunakan sebagai suatu alat ilmiah. Sulit untuk mengukur kapasitas dan teks
penjelasan pada setiap skor yang diberikan pada formulir penilaian tidaklah
dimaksudkan sebagai sesuatu yang eksak. Penilaian dimaksudkan untuk menyediakan
suatu indikasi umum dari suatu level kapasitas organisasi, dalam rangka
mengidentifikasi area potensial untuk dilakukan peningkatan. Hasil dari penilaian
harus ditafsirkan dalam konteks pengembangan organisasi. Contohnya, nilai “2” pada
proses organisasi mungkin sudah cukup untuk suatu organisasi baru, sehingga area ini
tidak memerlukan perhatian khusus. Pada kenyataannya, banyak organisasi yang
tidak mendapatkan nilai “4” pada banyak elemen.
Alat ini hanya dimaksudkan sebagai starting point. Tiap organisasi harus
menyesuaikan isi formulirnya untuk mencapai kebutuhan masing-masing organisasi
yang ingin melakukan penilaian kapasitas.
Dari awalnya, McKinsey Capacity Assessment Grid memang dirancang sebagai alat
pengukuran kekuatan dan kelemahan guna mengidentifikasi capacity building
organisasi nirlaba. Metode McKinsey cukup mudah dimengerti dan bersifat
komprehensif. Walaupun dikembangkan untuk organisasi non profit, metodologinya
dapat diadopsi untuk digunakan pada bebagai jenis organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Terkait
Tinggalkan Balasan
Blog Stats
o 91,662 hits
Kalender
Februari 2010
S S R K J S M
« Nov Mar »
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
Februari 2010
S S R K J S M
22 23 24 25 26 27 28
Blogroll
o Blogspot gue…