Anda di halaman 1dari 112

MODUL PRAKTIKUM KEPERAWATAN DASAR

Penyusun :

TIM KEPERAWATAN DASAR

1
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS
STIKES BANYUWANGI
2021

2
VISI DAN MISI STIKES BANYUWANGI

Visi
Menjadi Institusi Pendidikan Tinggi di bidang Kesehatan yang menghasilkan
tenaga kesehatan berdaya saing global berlandaskan pada keimanan dan
ketaqwaan pada tahun 2025.

Misi:
1. Menyelenggarakan proses pendidikan akademik,profesi dan vokasi yang
berdaya saing global serta berorientasi pada pengembangan hard skill dan soft
skill
2. Melaksanakan penelitian di bidang kesehatan yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan serta berorientasi kepada kebutuhan
masyarakat.
3. Mengembangkan aktivitas pengabdian masyarakat yang berkontribusi dalam
pembangunan kesehatan dengan mengacu kepada hasil penelitian dan
kearifan lokal.
4. Menciptakan lulusan yang memiliki kemandirian, keimanan dan ketaqwaan.
5. Mengembangkan kerjasama institusional dalam negeri dan luar negeri sebagai
upaya optimalisasi kegiatan Tridarma.
6. Mengembangkan jiwa kewirausahaan dan wawasan kebangsaan kepada
seluruh akademika

VISI MISI PRODI PENDIDIKAN NERS

Visi :

3
Menjadi program studi pendidikan ners yang unggul di bidang keperawatan
holistik berbasis spiritual serta berdaya saing asia tahun 2025

Misi :
1. Menyelenggarakan pendidikan akademik dan ners dengan keunggulan
keperawatan holistik berlandaskan spiritual
2. Menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan
keunggulan keperawatan holistik berlandaskan spiritual
3. Mengoptimalkan kerjasama dalam negeri dan luar negeri sebagai optimalisasi
kegiatan tridharma perguruan tinggi

Tujuan:
1. Menghasilkan lulusan yang unggul pada keperawatan holistik berlandaskan
spiritual
2. Menghasilkan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang memiliki
keunggulan keperawatan holistik berlandaskan spiritual
3. Menghasilkan kerjasama dalam negeri dan luar negeri sebagai optimalisasi
kegiatan tridharma perguruan tinggi

4
PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin Segala puji dan syukur kami haturkan


kehadirat Allah Subhanallohu Wa Ta’aa atas Taufik dan Hidayahnya
sehingga kami bisa menyelesaikan penyusunan Modul Praktikum
Keperawatan Dasar. Modul ini kami susun sebagai pedoman bagi
mahasiswa keperawatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran mata
kuliah Keperawatan Dasar. Buku ini kami susun dengan menyesuaikan
tujuan praktik klinik yang harus dicapai oleh mahasiswa keperawatan
dengan mengacu kurikulum nasional yang dikeluarkan oleh Asosiasi
Institusi Pendidikan Tinggi Keperawatan.
Dalam penyusunan Modul Praktikum Keperawatan Dasar ini, kami
menyadari masih terdapat kekurangan oleh karena itu masih dibutuhkan
adanya kajian ilmiah kembali untuk dapat mengeksplorasi Modul Praktikum
Keperawatan Dasar. Kami mengucapkan Terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah ambil bagian dalam penyusunan
modul ini. Kiranya kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan guna penyusunan dan perbaikan modul ini dan karya kami
selanjutnya. Akhir kata, semoga modul ini bermanfaat bagi para pembaca.

Banyuwangi,

Penulis

5
DAFTAR ISI

Judul ...................................................................................................................................... 1
Visi-Misi ............................................................................................................................... 3
Prakata ................................................................................................................................. 4
Pendahuluan ..................................................................................................................... 6
Materi 1 ............................................................................................................................... 9
Materi 2 ............................................................................................................................... 18
Materi 3 ............................................................................................................................... 22
Materi 4 ............................................................................................................................... 27
Materi 6 ............................................................................................................................... 66
Materi 7 ............................................................................................................................... 69
Materi 8 ............................................................................................................................... 105
Materi 9 ............................................................................................................................... 134
Referensi ............................................................................................................................. 137

6
BAB I
PENDAHULUAN

A. Deskripsi Mata Kuliah


Mata kuliah ini membahas tentang konsep – konsep psikososial
dalam peraktik keperawatan yang mencakup konsep diri, kesehatan
spiritual, seksualitas, stres adaptasi, konsep kehilangan dan kematian.
Berduka konsep teoritis antropologi kesehatan yang mencakup
pembahasan terkait kebudayaan secara umum, kebudayaan rumah sakit,
etiologi penyakit ditinjau dari kebudayaan dan persepsi sehat saikt serta
respon sehat sakit berbasis budaya. Mata kuliah ini juga membahas tentang
konsep teoritis trasnkultural dalam keperawatan yang mencakup
perspektif transkultural dalam keperawatan, teori culture care Leininger,
pengkajian budaya dan aplikasi keperawatan transkultural pada berbagai
masalah kesehatan dan sepanjang daur kehidupan manusia.
B. Capaian Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menerapkan berbagai konsep psikososial dalam
praktik keperawatan yang mencakup konsep diri, kesehatan spiritual,
seksualitas, stres adaptasi, konsep kehilangan, kematian dan berduka.
2. Mahasiswa mampu menerapkan konsep teoritis antropologi kesehatan
dalam pemberian asuhan keperawatan yang peka budaya kepada pasien.
3. Mahasiswa mampu menerapkan konsep teoritis keperawatan
transkultural dalam pemberian asuhan keperawatan yang peka budaya
dalam pasien
C. Materi
1. Materi 1 Konsep diri
2. Materi 2 Kesehatan spiritual
3. Materi 3 Konsep seksualitas
4. Materi 4 Konsep stres adaptasi
5. Materi 5 Konsep kehilangan, kematian, dan berduka
6. Materi 6 Kebudayaan dalam antropologi kesehatan
7. Materi 7 Masyarakat rumah sakit dan kebudayaan
7
8. Materi 8 Etiologi penyakit
9. Materi 9 Persepsi sehat sakit
10. Materi 10 Peran dan perilaku pasien
11. Materi 10 Globalisasi & perspektif transkultural
12. Materi 11Diversity dalam masyarakat
13. Materi 12 Teori kulture care leininger
14. Materi 13 Pengkajian budaya
15. Materi 14 Aplikasi transcultural nursing sepanjang daur kehidupan
manusia
16. Materi 15 Aplikasi keperawatan transkultural dalam berbagai masalah
kesehatan

8
BAB II

Materi 1
Konsep diri

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu
memahami, menjelaskan dan menerapkan tentang konsep diri
B. Materi

KONSEP DIRI
1. Pengertian Konsep Diri Secara Umum
Secara umum, pengertian konsep diri adalah cara pandang dan sikap
seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri sangat erat hubungannya
dengan dimensi fisik, karakter individu, dan motivasi diri. Pandangan terhadap
diri sendiri mencakup berbagai kekuatan individual dan juga kelemahannya,
bahkan termasuk kegagalannya.
Konsep diri adalah inti dari kepribadian dalam diri seseorang. Inti
kepribadian individu punya peranan yang sangat penting dalam menentukan
dan mengarahkan perkembangan kepribadian serta perilaku seseorang di
tengah-tengah masyarakat. Secara sederhana, konsep diri adalah pandangan
atau penilaian seseorang pada dirinya sendiri. Seorang ahli di bidang psikologi
bernama Eastwood Atwater membagi konsep diri menjadi tiga bentuk, antara
lain;
 Body image, yaitu kesadaran seseorang melihat tubuh dan dirinya sendiri.
 Ideal self, yaitu harapan dan cita-cita seseorang tentang dirinya sendiri.
 Social self, yaitu bagaimana ia berpikir orang lain melihat dirinya.
Penilaian terhadap diri sendiri sangat berpengaruh pada berbagai aspek
kehidupan, mulai dari sosial hingga lingkungan pekerjaan sekalipun. Seseorang
memiliki penilaian negatif terhadap diri sendiri bila memandang dirinya tidak
berdaya, lemah, malang, gagal, tidak disukai, tidak kompeten dan sebagainya.
2. Komponen Konsep Diri

9
Konsep diri terdiri dari beberapa komponen, di antaranya:
a. Citra Tubuh
Citra tubuh atau gambaran diri adalah sikap individu terhadap dirinya
(fisik) baik disadari maupun tidak disadari. Komponen ini mencakup
persepsi masa lalu dan/atau sekarang mengenai ukuran dan bentuk tubuh
serta potensinya.
b. Ideal Diri
Ideal diri merupakan persepsi individu tentang bagaimana ia
seharusnya berperilaku berdasarkan standar pribadi dan terkait dengan
cita-cita. Pembentukan ideal diri mulai terjadi sejak masa anak-anak dan
dipengaruhi oleh orang-orang yang dekat dengan dirinya.
c. Harga Diri
Harga diri merupakan persepsi individu terhadap hasil yang dicapai
dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan
ideal dirinya. Komponen konsep diri yang satu ini mulai terbentuk sejak
kecil karena adanya penerimaan dan perhatian dari sekitarnya.
d. Peran Diri
Peran diri adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan kelompok sosial terkait dengan fungsi seseorang di dalam
masyarakat.
e. Identitas Diri
Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dimiliki oleh
seseorang dari hasil observasi dan penilaian dirinya, menyadari bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain. Komponen konsep diri ini mulai
terbentuk dan berkembang sejak masa kanak-kanak.
3. Jenis-Jenis Konsep Diri
Secara umum, self-concept dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Konsep Diri Positif
Orang yang memiliki konsep diri positif akan lebih mudah beradaptasi
dengan banyak situasi. Ia memandang hal-hal buruk memiliki hikmah dan
bukan sebagai akhir dari segalanya. Orang seperti ini biasanya lebih
percaya diri, optimis dan selalu berpikir ada yang bisa dipecahkan.

10
Ciri-ciri individu yang memiliki konsep diri positif adalah:
 Menganggap orang lain sama dengan dirinya
 Punya keyakinan mampu mengatasi bermacam masalah
 Bisa menerima pujian tanpa merasa malu
 Punya kesadaran bahwa orang lain punya perasaan, keinginan, dan
perilaku yang belum tentu diterima semua anggota masyarakat
 Keinginan dan kemampuan dalam memperbaiki diri sendiri
b. Konsep Diri Negatif
Orang-orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung lebih
pesimistik dan sulit melihat kesempatan dalam kesulitan. Bahkan, mereka
merasa kalah sebelum mencoba. Jika pun gagal, orang-orang seperti ini
akan menyalahkan keadaan, orang lain atau diri sendiri.
Ciri-ciri individu yang memiliki konsep diri negatif adalah:
 Merasa pesimis setiap kali menghadapi persaingan
 Sangat sensitif terhadap kritikan
 Responsi terhadap pujian
 Cenderung bersikap hiperkritis
 Punya perasaan tidak disenangi oleh orang lain
4. Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Masalah yang terjadi pada manusia sebagian besar berakar pada cara
pandangnya terhadap diri sendiri. Pemahaman ini kerap berakar dari pikiran
negatif baik pada diri sendiri, seperti merasa inferior, tidak berguna, tidak
cantik dan berbagai kritik pada diri sendiri yang justru membangun
problematika.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi self-concept seseorang selain pola
asuh orang tua, diantaranya:
a. Kegagalan
Disadari atau tidak, kegagalan yang terjadi secara terus menerus akan
memberikan pertanyaan besar pada kemampuan diri sendiri yang berujung
pada anggapan lemah dan tidak berguna.
b. Depresi
Ketika seseorang dilanda depresi, ia akan cenderung memikirkan hal

11
yang negatif.
c. Overthinking
Bersikap overthinking sangatlah tidak baik karena bisa mengarah ke
pikiran yang buruk, terlebih pada penilaian diri sendiri. Seseorang
cenderung menilai diri sendiri ke arah yang negatif sehingga berpikir
terlalu berlebihan harus segera dihentikan.

C. Evaluasi
1. Jelaskan tentang konsep diri?

12
BAB III

Materi 2
Kesehatan spiritual

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu
memahami, menjelaskan dan menerapkan tentang kesehatan spiritual
B. Materi

KESEHATAN SPIRITUAL

1. Konsep Kesehatan Spiritual+


Kesehatan (wellness) adalah suatu keseimbangan dimensi kebutuhan
manusia yang berbeda secara terus-menerus, spiritual, sosial, emosional,
intelektual, fisik, okupasional, dan lingkungan (Anspaugh., et al, 2000; Blais,
2006).
Kesehatan spiritual adalah kondisi yang dalam pandangan sufistik
disebut sebagai terbebasnya jiwa dari berbagai penyakit ruhaniah, seperti
syirik (polytheist), kufur (atheist), nifaq atau munafik (hypocrite),dan
fusuq(melanggar hukum). Kondisi spiritual yang sehat terlihat dari
hadirnya ikhlas (ridha dan senang menerima pengaturan Ilahi), tauhid
(meng-Esa-kan Allah) (Hendrawan, S., 2010). Spiritualitas adalah
pandangan pribadi dan perilaku yang mengekspresikan rasa keterkaitan ke
dimensi transcendental atau untuk sesuatu yang lebih besar dari diri
(Asy’arie.,et al, 2012).
a. Learnig to know
Kondisi ini mencakup belajar untuk tahu, merupakan instrumen
pembelajaran keterampilan yang menjadi satu kesatuan dan
mancakup arti dan akhir dari eksistensi manusia yang

13
memungkinkan individu untuk memperoleh manfaat dari
pembelajaran seumur hidup. Belajar untuk mengetahui dan
memahami, menemukan, mengerti, dan peduli dengan alam sekitar,
serta membantu manusia membedakan mana yang benar dan mana
yang salah.
b. Learning to do
Belajar untuk melakukan artinya menekankan seseorang untuk
berperilaku dengan baik dan benar dalam berbagai macam situasi
dan menekankan pembelajaran berdasarkan pengalaman atau
proses mengartikan sesuatu dengan pengalaman langsung.
Hubungan antara pengetahuan dan dunia nyata tergantung dari
kemampuan individu tersebut mengatur dan beradaptasi dengan
peraturan dalam berbagai situasi yang tidak terduga di kehidupan
nyata.
c. Learning to be
Belajar mengembangkanmind and body, intelegensi,
sensitivitas, aesthetic sense, tanggung jawab dan nilai spiritual
seseorang serta kesempurnaan personalitas seseorang. Bertujuan
untuk memenuhi kesempurnaan dan perkembangan seseorang
dengan cara yang holistik.
d. Learning to live together
Belajar untuk hidup bersama (manusia, makhluk hidup, dan alam
sekitar) dipandang perlu untuk mengembangkan pemahaman orang
lain, sejarah, tradisi, dan spiritualitas mereka.
Dikembangkannya spirit empathy, saling memahami, damai, dan
solidaritas sepanjang hidup mereka (UNESCO,2014).
2. Spiritualitas dalam keperawatan
Spiritualitas merupakan faktor penting yang membantu individu
mencapai keseimbangan yang diperlukan untuk memelihara kesehatan dan
kesejahteraan, serta untuk beradaptasi dengan penyakit. Peneliti
menunjukkan spiritualitas yang positif mempengaruhi dan meningkatkan
kesehatan, kualitas hidup, perilaku yang meningkatkan kesehatan, dan

14
kegiatan pencegahan penyakit (Aaron et al., 2003; Figueroaet al., 2006;
Gibson dan Hendricks, 2006; Grey et al.,2004; Grimsley, 2006; Poter &
Perry, 2011).
Asuhan keperawatan juga meliputi tindakan untuk menolong klien
menggunakan sumber daya spiritual selama mereka menentukan dan
menggali apa yang paling berarti dalam kehidupan mereka dan
menemukancara untuk beradaptasi dengan akibat yang ditimbulkan oleh
penyakit dan tekanan Kepercayaan dan keyakinan dalam diri seseorang
merupakan sumber daya yang paling kuat untuk proses penyembuhan.
Spiritualitas memberikan individu energi yang dibutuhkan untuk
menumbuhkan kesadaran diri dalam mengambil hikmah dan kepercayaan
terhadap kekuatan Tuhan. Energi yang berasal dari spiritualitas membantu
klien merasa sehat dan membantu membuat pilihan sepanjang kehidupan.
Kekuatan batiniah merupakan suatu sumber energi yang menanamkan
harapan, memberikan motivasi, dan mempromosikan harapan yang positif
pada kehidupan (Poter & Perry, 2011)
Penyakit atau trauma menciptakan suatu perjuangan yang tidak
diharapkan untuk menggabungkan dan beradaptasi dengan kenyataan baru
(misalnya kecacatan). Kekuatan spiritualitas klien mempengaruhi
bagaimana klien beradaptasi dengan penyakit yang tiba-tiba dan seberapa
cepat klien beralih kemasa pemulihan. Perawat menggunakan pengetahuan
kesejahteraan spiritual individu untuk memaksimalkan perasaan damai dan
penyembuhan dari dalam (Grant, 2004; Potter dan Perry, 2010).

3. Prosedur kesehatan spiritual


a. Pengkajian spiritual : bertujuan untuk mengidentifikasi keadaan rohani
seseorang dan kebutuhan spiritual khusus mereka. Pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan tidak ditentukan secara baku dan formal
untuk menghindari kesan mempermalukan dan menakuti klien. Untuk
mempermudah pengkajian ada dua pilihanalternative
setting pertanyaan pengkajian (Puchalski, 2013 dalam Wilson & Barber,
2015).

15
1) FICA
i. Faith and believe
Pertanyaan yang mengacu pada keyakinan dan
kepercayaan (agama) klien dan seberapa penting keyakinan
tersebut terhadap klien dalam menghadapi stressor dan
kehidupan klien menjadi lebih berarti.
ii. Importance
Keyakinan dan kepercayaan setiap klien berbeda, nilai
terhadap kehidupan, pengaruh terhadap perilaku sehari-
hari dalam menyikapi sehat dan sakit, serta peran
keyakinan dan kepercayaan dalam mendapatkan kembali
kesehatan klien.
iii. Community
Apakah klien termasuk dari bagian kesehatan spiritual di
komunitas tempat tinggal klien, seberapa jauh dukungan
yang diberikan terhadap klien serta adakah tokoh atau figur
tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan
spiritualitas klien.
iv. Address in care
Bagaimana penilaian klien terhadap kita sebagai pemberi
pelayanan kesehatan. Apakah klien menyukai kita atau
sebaliknya, serta apa yang klien harapkan untuk mengatasi
masalah ini dalam perawatan kesehatan.
2) HOPE
i. Sumber harapan, kenyamanan, kekuatan, dan sistem
dukungan
ii. Agama dan nilai agama tersebut bagi klien
iii. Spiritualitas personal dan aplikasi dalam kehidupan sehari-
hari serta dampak pada kesehatan. Bagaimana pengaruh
situasi saat ini dalam melakukan kegiatan spiritual klien serta
hubungan klien terhadap Tuhan.
b. Membuat rencana spiritual care : menggambarkan intervensi yang

16
direncanakan, dibangun untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan
kebutuhan seseorang.
1) Menawarkan satu persatu tindakan keperawatan spiritualitas
yang tersedia sesuai dengan keinginan dan kepercayaan klien.
Spritual hanya hal-hal yang berhubungan dengan agama,
spiritualitas bisa berasal dari hubungan teman dan saudara atau
seseorang yang sangat berarti bagi klien.
2) Klien bisa mengambil dalam ritual-ritual agama tertentu sesuai
dengan keyakinan dan kepercayaan klien. Beberapa orang
mungkin ingin menjelajahi agama yang berbeda untuk melihat
apa yang mungkin tepat untuk mereka.
3) Klien mungkin berpikir itu bisa membantu mereka untuk
menghabiskan waktu sendirian dalam doa atau meditasi. Untuk
ini mereka membutuhkan ruang yang tepat, waktu dan sumber
daya.
4) Klien bisa kontak lebih informal dengan komunitas iman mereka,
5) Ide-ide dari kegiatan non-religius bisa menginspirasi mereka
secara rohani dan membantu mereka utnuk menemukan makna
dan tujuan didalam pengalaman-pengalaman saat ini maupun
masa depan mereka.
c. Pelaksanaan : pelaksanaan perawatan yang dijelaskan dalam rencana
perawatan. Siapa, kapan, dan bagaimana akan tergantung pada keadaan
spiritual klien. Mengatasi rohani klien perlu dilakukan sesuai dengan
rencana perawatan yang telah dibuat sebelumnya, akan tetapi harus
disesuaikan dengan kondisi klien.
1) Jika orang memiliki spiritualitas tidak sehat, dan berisiko tidak
terkendali dan berperilaku merusak, tidak mungkin untuk
melakukan penilaian spiritual dan membuat rencana perawatan
spiritual sampai klien menjadi lebih tenang.
2) Klien yang mengalami kurang kesadaran spiritual, pendekatan
kreatif sangat diperlukan. Melibatkan latar belakang budaya dan
dan agama juga diperlukan dalam pelaksanaanspiritual care.

17
3) Klien yang tidak mengalami gangguan dalam spiritualitas penting
untuk menjaga keadaan tersebut. Dukungan harus ditawarkan
dengan orang yang tepat atau sesuai dengan keinginan klien.
Akan tetapi, seseorang dengan spiritulitas sehat mungkin tidak
selalu memiliki iman agama formal. Mereka mungkin ingin dapat
difasilitasi dengan
C. Evaluasi
1. Jelaskan tentang kesehatan spiritual!

18
BAB IV

Materi 3
Konsep seksualitas

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami,
menjelaskan dan menerapkan konsep seksualitas
B. Materi

KONSEP SEKSUALITAS

1. Pengertian Seksualitas
Seks merupakan kegiatan fisik, sedangkan seksualitas bersifat
total, multi-determined dan multi-dimensi. Oleh karena itu,
seksualitas bersifat holistik yang melibatkan aspek biopsikososial
kultural dan spiritual.
Identitas seksual adalah pengenalan dasar tentang seks diri
sendiri secara anatomis yang sangat berhubungan dengan kondisi
biologis, yaitu kondisi anatomis dan fisiologis, organ seks, hormon
dan otak dan saraf pusat. Seorang anak dapat menafsirkan secara
jelas perilaku orang lain yang sesuai dengan identitas seksualnya,
yang bagaimana seorang memutuskan untuk menafsirkan identitas
seksual untuk dirinya sendiri atau citra diri seksual (sexual self-
image) dan konsep diri.
Peran jender berhubungan dengan bagaimana identitas
jender seseorang diekspresikan secara sosial dalam perilaku jenis
seks yang sama atau berbeda. Identitas jender mulai berkembang
sejak usia 2 hingga 3 tahun yang dipengaruhi oleh faktor biologis
(embrionik dan sistem saraf pusat), anatomi genital dan pola orang
tua terhadap anak. Dengan demikian, sebenarnya peran jender
terbina melalui pengamatan.
19
Dalam hal ini dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya
seksualitas tidak terbatas hanya di tempat tidur atau bagian tubuh
saja, tetapi merupakan ekspresi kepribadian, perasaan fisik dan
simbolik tentang kemesraan, menghargai dan saling memperhatikan
secara timbal balik. Perilaku seksual seseorang sangat ditentukan
oleh berbagai kebutuhan, antara lain kebutuhan akan cinta dan kasih
sayang, rasa aman psikologis, serta harga diri sebagai wanita atau
pria. Pada kondisi dimana kesehatannya mengalami gangguan,
seseorang kemungkinan besar akan mengalami gangguan
pemenuhan kemenuhan kebutuhan seksualitasnya, yang dapat
ditampilkan melalui berbagai perilaku seksual.
Tinjauan Seksual Dari Beberapa Aspek
Makna seksual dapat ditinjau dari berbagai aspek, diantaranya:
a. Aspek Biologis
Aspek ini memandang dari segi biologi seperti pandangan
anatomi dan fisiologi dari sistem reproduksi (seksual), kemampuan
organ seks, dan adanya hormonal serta sistem saraf yang berfungsi
atau berhubungan dengan kebutuhan seksual.
b. Aspek Psikologis
Aspek ini merupakan pandangan terhadap identitas jenis
kelamin,sebuah perasaan dari diri sendiri terhadap kesadaran
identirasnya, serta memandang gambaran seksual atau bentuk
konsep diri yang lain
c. Aspek Sosial Budaya
Aspek ini merupakan pandangan terhadap identitas jenis
kelamin,sebuah perasaan dari diri sendiri terhadap kesadaran
identirasnya, serta memandang gambaran seksual atau bentuk
konsep diri yang lain
2. Perkembangan Seksualitas
Perkembangan seksualitas diawali dari masa pranatal dan bayi,
kanak-kanak, masa pubertas, masa dewasa muda dan pertengahan
umur, serta dewasa

20
a. Masa Pranatal dan Bayi
Pada masa ini komponen fisik atau biologis sudah mulai
berkembang. Berkembangnya organ seksual mampu merespon
rangsangan, seperti adanya ereksi penis pada laki-laki dan adanya
pelumas vagina pada wanita. Perilaku ini terjadi ketika mandi, bayi
merasakan adanya perasaan senang. Menurut Sigmund Freud,
tahap perkembangan psikoseksual pada masa ini adalah:
1) Tahap oral, terjadi pada umur 0-1 tahun. Kepuasaan,
kesenangan, atau kenikmatan dapat dicapai dengan cara
menghisap, menggigit, mengunyah, atau uk mendapat bersuara.
Anak memiliki ketergantungan sangat tinggi dan selalu minta
dilindungi untuk mendapat rasa aman. Masalah yang diperoleh
pada tahap ini adalah masalah menyapih dan makan.
2) Tahap anal, terjadi pada umur 1-3 tahun. Kepuasan pada tahap
ini terjadi pada saat pengeluaran feses. Anak mulai menunjukkan
keakuannya, sikapnya sangat narsistik (cinta terhadap diri
sendiri), dan egois. Anak juga mulai mempelajari struktur
tubuhnya. Pada tahap ini anak sudah dapat dilatih dalam hal
kebersihan.

b. Masa Kanak-Kanak
Masa ini dibagi dalam usia toddler, prasekolah, dan sekolah.
Perkembangan seksual pada masa ini diawali secara biologis atau
fisik, sedangkan perkembangan psikoseksual pada masa ini adalah:
1) Tahap oedipal/phalik, terjadi pada umur 3-5 tahun. Kepuasan
anak terletak pada rangsangan otoerotis, yaitu meraba-raba,
merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya. Anak
juga mulai menyukai lain jenis. Anak laki-laki cenderung suka
pada ibunya daripada ayahnya, sebaliknya anak perempuan
lebih suka pada ayahnya. Anak mulai dapat mengidentifikasikan
jenis kelamin dirinya, apakah laki-laki atau perempuan, belajar
malalui interaksi dengan figur orang tua, serta mulai

21
mengembangkan peran sesuai dengan jenis kelamin.
2) Tahap laten, terjadi pada umur 5-12 tahun. Kepuasan anak mulai
terintegrasi, mereka memasuki masa pubertas dan berhadapan
langsung pada tuntutan sosial, seperti suka hubungan dengan
kelompoknya atau teman sebaya, dorongan libido mulai mereda.
Pada masa sekolah ini, anak sudah banyak bertanya tentang hal
seksual melalui intetraksi dengan orang dewasa, membaca, atau
berfantasi.
c. Masa Pubertas
Pada masa ini sudah terjadi kematangan fisik dari aspek seksual
dan akan terjadi kematangan secara psikososial. Terjadinya
perubahan secara psikologis ini ditandai dengan adanya perubahan
citra tubuh (body image), perhatian yang cukup besar terhadap
perubahan fungsi tubuh, pemelajaran tentang perilaku, kondisi
sosial, dan perubahan lain, seperti perubahan berat badan, tinggi
badan, perkembangan otot, bulu di pubis, buah dada, atau
menstruasi bagi wanita. Tahap yang disebut Freud sebagai tahap
genital ini terjadi pada umur lebih dari 12 tahun. Kepuasaan anak
pada tahp ini akan kembali bangkit dan mengarah pada perasaan
cinta yang matang terhadap lawan jenis.
d. Masa Dewasa Muda Dan Pertengahan Umur
Pada masa ini sudah terjadi kematangan fisik dari aspek seksual
dan akan terjadi kematangan secara psikososial. Terjadinya
perubahan secara psikologis ini ditandai dengan adanya perubahan
citra tubuh (body image), perhatian yang cukup besar terhadap
perubahan fungsi tubuh, pemelajaran tentang perilaku, kondisi
sosial, dan perubahan lain, seperti perubahan berat badan, tinggi
badan, perkembangan otot, bulu di pubis, buah dada, atau
menstruasi bagi wanita. Tahap yang disebut Freud sebagai tahap
genital ini terjadi pada umur lebih dari 12 tahun. Kepuasaan anak
pada tahp ini akan kembali bangkit dan mengarah pada perasaan
cinta yang matang terhadap lawan jenis.

22
e. Masa Dewasa Tua
Perubahan yang terjadi pada tahap ini pada wanita di antaranya
adalah atropi pada vagina dan jaringan payudara, penurunan cairan
vagina, dan penurunan intensitas orgasme pada wanita ; sedangkan
pada pria akan mengalami penurunan jumlah sperma,
berkurangnya intensitas orgasme, terlambatnya pencapaian ereksi,
dan pembesaran kelenjar prostat.
C. Evaluasi
a. Bagaimana Konsep seksualitas?

23
BAB V

Materi 4
Konsep stres adaptasi

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan konsep stres adaptif
B. Materi

KONSEP STRES ADAPTASI


1. DEFINISI STRES
Stres adalah satu kondisi ketika individu berespons terhadap
perubahan dalam status keseimbangan normal (Kozier, 2011).
Stres adalah segala situasi di mana tuntutan non-spesifik
mengharuskan seorang individu berespon dan melakukan tindakan
(Selye, 1976 dalam Potter dan Perry, 2005).
Stressor adalah setiap kejadian atau stimulus yang menyebabkan
individu mengalami stres. Ketika seseorang menghadapi stressor,
responnya disebut sebagai strategi koping, respon koping, atau mekanisme
koping.
2. SUMBER STRES
Terdapat banyak sumber stres, yang secara luas dapat diklasifikasikan
sebagai stressor internal atau eksternal, atau stressor perkembangan atau
situasional.
a. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang, sebagai contoh,
demam, kondisi seperti kehamilan atau menopause, atau suatu
keadaan emosi seperti rasa bersalah, kanker atau perasaan depresi.
b. Stressor eksternal berasal dari luar individu, sebagai contoh
perpindahan ke kota lain, kematian anggota keluarga, atau tekanan
dari teman sebaya, perubahan bermakna dalam suhu lingkungan,
perubahan dalam peran keluarga atau sosial, atau tekanan dari
pasangan.
c. Stressor perkembangan terjadi pada waktu yang dapat diperkirakan
sepanjang hidup individu. Pada setiap tahap perkembangan, tugas
tertentu harus dicapai untuk mencegah atau mengurangi stres.
d. Stressor situasional tidak dapat diperkirakan dan dapat terjadi kapan
pun sepanjang hidup. Stres situasional dapat positif dan negatif.
Contoh
1) Kematian anggota keluarga
2) Pernikahan atau perceraian
3) Kelahiran anak
4) Pekerjaan baru
5) Penyakit
Sejauh mana pengaruh positif dan negatif peristiwa ini bergantung
pada tahap perkembangan individu. Sebagai contoh, kematian orang
tua dapat lebih menimbulkan stres bagi anak usia 12 tahun
dibandingkan pada orang yang berusia 40 tahun

3. MACAM –MACAM STRES


Ditinjau dari penyebab, maka stres dibagi menjadi tujuh macam, di
antaranya:
1) Stres fisik
Stres yang disebabkan karena keadaan fisik seperti karena temperatur
yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising, sinar matahari
atau karena tegangan arus listrik.
2) Stres kimiawi
Stres ini disebabkan karena zat kimiawi seperti obat-obatan, zat
beracun asam, basa, faktor hormon atau gas dan prinsipnya karena
pengaruh senyawa kimia.
3) Stres mikrobiologik
Stres ini disebabkan karena kuman seperti adanya virus, bakteri atau
parasit.
4) Stres fisiologik
Stres yang disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh
diantaranya gangguan dari struktur tubuh, fungsi jaringan, organ dan
lain-lain.
5) Stres proses pertumbuhan dan perkembangan
Stres yang disebabkan karena proses pertumbuhan dan perkembangan
seperti pada pubertas, perkawinan dan proses lanjut usia.
6) Stres psikis atau emosional
Stres yang disebabkan karena gangguan stimulus psikologis atau
ketidakmampuan kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri seperti
hubungan interpersonal, sosial budaya atau faktor keagamaan (Alimul,
2008).
4. TAHAPAN STRES
a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan
nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan
pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan
penglihatan menjadi tajam.
b. Stres Tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun
pagi tidak segar dan letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas
lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak
nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkung dan
punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.
c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi
tidak teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional,
insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomnia),
bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi
tubuh terganggu, dan mau jatuh pingsan.
d. Stres tahap keempat, tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak
mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit
dan menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu,
gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat
menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.
e. Stres tahap kelima, tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik
dan mental (physical dan psychological exhaustion), ketidakmampuan
menyelesaikan pekerjaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas ,
bingung dan panik.
f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-
tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar,
dingin, dan banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps.
5. REAKSI TUBUH TERHADAP STRES
Menurut seorang pelopor penelitian mengenai stres yang dilahirkan di
Austria, Hans Selye (1974, 1983), stres sebenarnya adalah kerusakan yang
dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan padanya.
Berapapun kejadian dari lingkungan atau stimulus yang menghasilkan
respon stres yang sama pada tubuh. Selye mengamati pasien yang memiliki
masalah yang berbeda-beda: kematian seseorang yang dekat, kehilangan
pekerjaan, ditangkap karena melakukan penggelapan. Tanpa
memperhatikan masalah seperti apa yang dihadapi oleh seorang pasien,
gejala yang serupa muncul: hilangnya nafsu makan, otot menjadi lemah,
dan menurunnya minat terhadap dunia.
Sindrom adaptasi umum (general adaptation syndrome/GAS) adalah
konsep yang dikemukakan oleh Selye yang menggambarkan efek umum
pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut.
GAS terdiri dari tiga tahap: peringatan, perlawanan, dan kelelahan.
Pertama, pada tahap peningkatan alarm, individu memasuki kondisi shock
yang bersifat sementara, suatu masa di mana pertahanan terhadap stres
ada di bawah normal. Individu mengenali keberadaan stres dan mencoba
menghilangkannya. Otot menjadi lemah, suhu tubuh menurun, dan tekanan
darah juga menurun. Kemudian tubuh mengalami apa yang disebut
countershock, di mana pertahanan terhadap stres mulai muncul; korteks
adrenal mulai membesar, dan pengeluaran hormon meningkat. Tahap
alarm berlangsung singkat. Tidak lama kemudian, individu bergerak
memasuki tahap perlawanan (resistence), di mana pertahanan terhadap
stres menjadi semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk
melawan stres. Pada tahap pertahanan, tubuh individu dipenuhi oleh
hormon stres; tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernapasan
semua meningkat. Bila semua upaya yang dilakukan untuk melawan stres
ternyata gagal dan stres tetap ada, individu pun memasuki tahap kelelahan
(exhausted), di mana kerusakan pada tubuh semakin meningkat, orang
yang bersangkutan mungkin akan jatuh pingsan di tahap kelelahan ini, dan
kerentanan terhadap penyakit pun meningkat.
Walupun demikian tidak semua stres itu buruk. Eustress adalah konsep
Selye yang menggambarkan sisi positif dari stres. Berkompetisi di suatu
kejuaraan atletik, menulis karangan, atau mengajar seseorang yang
membuat tubuh menghabiskan energi. Selye tidak mengatakan bahwa kita
harus menghindari semua pengalaman seperti ini dalam kehidupan kita,
namun ia menekankan bahwa kita harus meminimalkan kerusakan pada
tubuh kita.
Salah satu kritik utama terhadap pandangan Selye adalah bahwa
manusia tidak selalu bereaksi terhadap stres dengan cara yang sama
seperti yang ia kemukaka. Masih banyak lagi yang harus dipahami
mengenai stres pada manusia daripada sekedar mengetahui reaksi fisik
manusia terhadap stres. Kita juga perlu mengetahui kepribadian mereka,
susunan fisik mereka, persepsi mereka, dan konteks di mana stresor, atau
penyebab stres, muncul (Hobfoll, 1989).
1. KONSEP ADAPTASI (MEKANISME PENYESUAIAN DIRI)
a. Pengertian
Ada beberapa pengertian tentang mekanisme penyesuaian diri, antara
lain:
1) W.A. Gerungan (1996) menyebutkan bahwa “Penyesuaian diri
adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi
juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri)”.
Mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan sifatnya pasif
(autoplastis), misalnya seorang bidan desa harus dapat
menyesuaikan diri dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut
masyarakat desa tempat ia bertugas.
Sebaliknya, apabila individu berusaha untuk mengubah lingkungan
sesuai dengan keinginan diri, sifatnya adalah aktif (alloplastis),
misalnya seorang bidan desa ingin mengubah perilaku ibu-ibu di
desa untuk meneteki bayi sesuai manajemen laktasi.
2) Menurut Soeharto Heerdjan (1987), “Penyesuaian diri adalah usaha
atau perilaku yang tujuannya mengatasi kesulitan dan hambatan”.

Adaptasi merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh


karena belajar dari pengalaman dan mengatasi stres. Cara mengatasi
stres dapat berupa membatasi tempat terjadinya stres, mengurangi, atau
menetralisasi pengaruhnya.
Adaptasi adalah suatu cara penyesuaian yang berorientasi pada tugas
(task oriented).
b. Tujuan Adaptasi
1) Menhadapai tuntutan keadaan secara sadar
2) Menghadapi tuntutan keadaan secara realistik
3) Mengahdapi tuntutan keadaan secara objektif
4) Menhadapi tuntutan keadaan secara rasional

Cara yang ditempuh dapat bersifat terbuka maupun tertutup, antara


lain:
1) Menghadapi tuntutan secara frontal (terang-terangan)
2) Regresi (menarik diri) atau tidak mau tahu sama sekali
3) Kompromi (atau kesepakatan)

Contoh:
Seorang mahasiswa gagal dalam ujian akhir program, mungkin ia
akan bekerja keras (terang-terangan), regresi dengan keluar dari
pendidikan, serta mungkin mau mengulang lagi dengan berusaha
semampunya (kompromi)).
c. Jenis Adaptasi
1) Adaptasi fisiologik – bisa terjadi secara lokal atau umum
Contoh: Seseorang mampu mengatasi stres, tangannya tidak
berkeringat dan tidak gemetar, serta wajahnya tidak pucat.
2) Adaptasi psikologis – bisa terjadi secara:
a) Sadar: Individu mencoba memecahkan/menyesuaikan diri dengan
masalah.
b) Tidak sadar: Menggunakan mekanisme pertahanan diri (defence
mechanism).
c) Menggunakan gejala fisik (konversi) atau
psikofisiologik/psikosomatik
Apabila seseorang mengalami hambatan atau kesulitan dalam
beradaptasi, baik berupa tekanan, perubahan, maupun ketegangan
emosi dapat menimbulkan stres. Stres bisa terjadi apabila tuntutan
atau keinginan diri tidak terpenuhi.

C. Evaluasi
1. Bagaimana konsep stres adaptasi
BAB VI

Materi 5
Konsep kehilangan, kematian, dan berduka

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu:
1. Memahami dan menjelaskan konsep kehilangan
2. Memahami dan menjelaskan konsep kematian
3. Memahami dan menjelaskan konsep berduka
B. Materi
KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN, DAN BERDUKA
1. Definisi kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan.
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai
sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin
terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik,
diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa
kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi
sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam
rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami
suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau
pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah
dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu.
b. Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
1. Aktual atau nyata Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain,
misalnya amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Persepsi Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan,
misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan
perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.
c. Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:
 Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang
berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-
tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai.
Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan
yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa
dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.
 Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang
mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri
sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan
dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap,
sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang
misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
 Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau
bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang
dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan
kegunaan benda tersebut.
 Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat
dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu
periode atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka
akan memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
 Kehilangan kehidupan/ meninggal
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan
respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang
sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.
d. Rentang Respon Kehilangan
Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance
a. Fase denial
1) Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
2) Verbalisasi : itu tidak mungkin, saya tidak percaya itu terjadi.
3) Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah.
b. Fase anger / marah
1) Mulai sadar akan kenyataan
2) Marah diproyeksikan pada orang lain
3) Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
mengepal.
4) Perilaku agresif.
c. Fase bergaining / tawar- menawar.
Verbalisasi :kenapa harus terjadi pada saya ? kalau saja yang sakit
bukan saya seandainya saya hati-hati.
d. Fase depresi
1) Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
2) Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
e. Fase acceptance
1) Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
2) Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”,
“ yah, akhirnya saya harus operasi “

2. Definisi berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas,
sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal
pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari
berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
3. Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses
berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat
digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya
dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan
mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap
perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.

Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
 Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri,
duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan,
diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan
kelelahan.
 Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin
mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
 Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian
yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan
seseorang.
 Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.

C. Evaluasi
1. Bagaimana konsep kehilangan?
2. Bagaimana konsep kematian?
3. Bagaimana konsep berduka?
BAB VII

Materi 6
Kebudayaan dalam antropologi kesehatan

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali kebudayaan dalam antropologi kesehatan
B. Materi
Antropologi kesehatan merupakan subdisiplin baru dari ilmu
antropologi. Antropologi kesehatan muncul usai berakhirnya Perang Dunia
II. Pada waktu itu, banyak para ahli antropologi sosial budaya maupun
antropologi biologi yang semakin mendalami studi lintas budaya mengenai
sistem kesehatan. Para ahli antropologi sosial budaya mencoba memusatkan
perhatian pada pokok-pokok persoalan terkait sistem medis tradisional
(etnomedisin), masalah petugas-petugas kesehatan, dan profesionalitasnya.
Persoalan terkait hubungan petugas medis dan pasien, serta upaya
memperkenalkan pelayanan kesehatan barat kepada masyarakat tradisional
juga turut menjadi perhatian. Para ahli antropologi biologi pun
memperlihatkan ketertarikannya pada sistem budaya, tetapi pada pokok
pokok persoalan berbeda. Misalnya saja kaitan budaya dengan aspek
pertumbuhan dan perkembangan manusia, studi mengenai penyakit-
penyakit purba (paleopatologi), atau peranan penyakit dalam evolusi
manusia.
Foster dan Anderson (2009) percaya bahwa antropologi kesehatan
dapat didefinisikan sebagai aktivitas formal antropologi yang berhubungan
dengan kesehatan dan penyakit.
Untuk definisi kerja, antropologi kesehatan adalah istilah yang digunakan
oleh ahli-ahli antropologi untuk mendeskripsikan:

1. penelitian para ahli dengan tujuan yakni sebagai definisi komprehensif


dan interpretasi tentang hubungan timbal balik biobudaya. Baik antara
tingkah laku manusia di masa lalu dengan masa kini, ataupun antara
derajat kesehatan dan penyakit. Interpretasi tersebut dilakukan tanpa
mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan
tersebut;
2. partisipasi profesional para ahli dalam program-program yang bertujuan
memperbaiki derajat kesehatan. Hal tersebut dimulai melalui perumusan
pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosial-
budaya dengan kesehatan. Selain itu, dilakukan pula perumusan
perubahan tingkah laku sehat ke arah yang diyakini akan meningkatkan
kesehatan.
Jika kita tinjau dasar timbulnya antropologi kesehatan, Foster dan Anderson
(2009) menyatakan bahwa antropologi kesehatan berasal dari empat
sumber, yaitu:
1. Perhatian para ahli antropologi pada masalah-masalah evolusi, adaptasi,
perbandingan anatomi, enis-jenis ras, genetika dan serologi.
2. Ahli-ahli antropologi yang menaruh perhatian pada cara-cara pengobatan
di dalam masyarakat primitif.
3. Perubahan kebudayaan dan kepribadian pada akhir tahun 1930 yang
menimbulkan kerjasama ahli-ahli kesehatan jiwa dan ahli-ahli
antropologi.
4. Pergerakan kesehatan masyarakat secara internasional sesudah Perang
Dunia II.
Sebagai sebuah ilmu, pusat perhatian antropologi kesehatan terfokus pada
berbagai macam hal. Beberapa diantaranya, bagaimana manusia dari
bermacam-macam masyarakat memberikan tanggapannya terhadap keadaan
sakit, atau bagaimana faktor sosial dan budaya mempengaruhi insidensi
penyakit. Antropologi kesehatan pun berfokus pada peranan adaptasi
penyakit pada evolusi biologi dan kebudayaan manusia. Karena menaruh

perhatian pada kesehatan dan penyakit sebagai kategori kebudayaan dan


social serta membantu masalah kesehatan, antropologi kesehatan sering
disamakan dengan sosiologi kesehatan. Namun Foster dan Anderson (2009)
menjabarkan perbedaan antara kedua bidang ilmu tersebut, yakni:
1. Antropologi kesehatan melihat berbagai data dan hubungannya dengan
kebudayaan, sedangkan sosiologi kesehatan melihat dunia kesehatan
dalam hubungannya dengan sosial.
2. Antropologi kesehatan menaruh perhatian pada penelitian suku bangsa,
kepercayaan, praktik nilai yang ada di dalam masyarakat dalam
hubungannya dengan sehat dan sakit. Sementara itu, sosiologi kesehatan
meneliti perbedaan status, bahasa, tingkat endidikan, ekonomi dalam
hubungannya dengan sehat dan sakit. Misalnya, dalam hubungan dokter
dan pasien, sosiologi kesehatan akan fokus pada perbedaan status
peranan masing-masing. Berbeda, antropologi kesehatan yang lebih
menekankan pada proses komunikasi, persepsi dan perbedaan harapan
antara dokter dan pasien, karena perbedaan latar belakang kebudayaan
masing-masing.
Seiring zaman, proses perubahan yang terjadi tidak hanya menyangkut
budaya kesehatan individu atau personal. Kini, budaya kesehatan
masyarakat juga telah mengalami banyak perubahan jika dibandingkan
dengan masa lalu. Dulu, masyarakat memandang kesehatan lebih ke arah
paradigma sakit atau sembuh dari sakit. Namun seiring dengan
perkembangan zaman, masyarakat cenderung berparadigma sehat dalam
memaknai kesehatan. Penilaian individu terhadap status kesehatan pun
menjadi salah satu faktor penentu perilakunya, yaitu perilaku sakit jika
mereka merasa sakit dan perilaku sehat jika mereka menganggap diri
mereka sehat.
Perolehan informasi melalui studi etnografi dapat dijadikan dasar untuk
desain survei dan riset-riset pengembangan. Para perencana kesehatan
(petugas medis) juga dapat beragam memanfaatkan informasi penting yang
dikumpulkan ahli antiopologi, seperti:

1. Struktur ekonomi rumah tangga.


2. Hubungan pria dan wanita.
3. Dominasi dalam proses pengambilan keputusan.
4. Kepercayaan mengenai kesehatan dan penyakit.
5. Perilaku kesehatan masyarakat.
6. Model perkembangan keluarga.
7. Interaksi dalam masyarakat.
8. Perkembangan masyarakat.
9. Lembaga dan struktur sosial masyarakat.
10. Pembagian tugas masyarakat.
Dalam perkembangannya, teori keperawatan terbagi menjadi empat level
yaitu metha theory, grand theory, midle range theory dan practice theory.
Keempat teori tersebut disusun dari yang paling abstrak sampai paling
konkret.

C. Evaluasi
1. Bagaimana kebudayaan dalam antropologi kesehatan

BAB VIII

Materi 7
Masyarakat rumah sakit dan kebudayaan

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali masyarakat rumah sakit dan kebudayaan
B. Materi
A. Definisi masyarakat rumah sakit dan kebudayaan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit BAB I Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Sedangkan Masyarakat adalah sekumpulan manusia saling “bergaul”, atau
dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi” (Koentjaraningrat, 2009) Dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan masyarakat rumah sakit adalah
sekumpulan manusia yang saling berinteraksi didalam lingkungan rumah
sakit. Kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil yang
harus didapatkannya dengan belajar dan semua itu tersusun dalam
kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 2009). Kebudayaan rumah sakit
merupakan hasil belajar atau nilai yang tersusun dalam masyarakat rumah
sakit.
B. Konsep Masyarakat rumah sakit dan kebudayaan dalam keperawatan
a. Kebudayaan rumah sakit mencangkup beberapa hal yaitu :
a) Pasien
Kebudayaan RS perspektif pasien
1. Tidak enak, harus bayar, tidak gratis,

2. Etiologi : naturalistik, memerangi penyakit ke dokter, persolaistik,


disebabkan roh jahat, salah makan, kuman, dsb.
3. Di negara lain : lebih enak jadi pasien, dapat makan teratur,
diperhatikan, tempat rekreasi, dibayar asuransi
4. Persepsi sehat sakit : Publik pain, menyatakan sakit, menyembunyikan
sakit
b) Profesional
Kebudayaan RS perspektif professional
1. Ada kelainan sistem, organ, jaringan, sel, gangguan keseimbangan host,
agent, environment
2. Ketidak seimbangan bio,psiko, sosio, cultural, spiritual
3. Sehat kondisi yang dinamis dan holistik, produktivitas
4. Pelayanan profesional, SOP, standarisasi, butuh waktu, ilmu, teknologi,
perhatian, istirahat, pola makan, obat, adaptasi.
5. Butuh biaya, alat, obat, sarana dan prasarana, SDM, pengembangan
IPTEK
c) Birokrasi
Kebudayaan RS perspektif Birokrasi
1. Perlu pengaturan 6 M (man, money, material, market, machine,
methoda)
2. Perlu aturan yg jelas hak dan kewajiban
3. Perlu pengembangan IPTEK dan SDM
4. Perlu pemahaman budaya kerja, nilai, norma, hukum.
5. Perlu sosialisasi, pendidikan, pembelajaran, pemahaman, managemen /
pengaturan diri dan orang lain
b. Kebudayaan dalam keperawatan
Kebudayaan dalam keperawatan fokus memandang perbedaan dan
persamaan antara budaya keperawatan meliputi perspektif sehat, sakit yg
didasarkan pada nilai budaya kemanusiaan, kepercayaan dan tindakan yg
digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan manusia secara utuh
(Leininger, 2002)

c. Tujuan kebudayaan dalam keperawatan di rumah sakit


a) Untuk mengidentifikasi, menguji, memahami keperawatan dari aspek
budaya yg spesifik dari pasien dan perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan
b) Asumsi yang dikembangkan : Perilaku Caring yaitu memahami manusia
dengan sentuhan kasih sayang, empati, human caring dan tulus ikhlas.
c) Human caring diekpresikan dalam perasaan, ucapan, perbuatan yg
memandang manusia secara utuh dan memanusiakan manusia.
d. Konsep kebudayaan dalam keperawatan
a) Human caring keperawatan transkultur berfokus untuk kepentingan
kesehatan, penyembuhan, dan kesejahteraan individu, keluarga, kelompok,
dan lembaga.
b) Setiap budaya memiliki kepercayaan tertentu, nilai, dan pola kepedulian dan
penyembuhan yang perlu ditemukan, dipahami, dan digunakan dalam
merawat orang-orang dari budaya yang berbeda-beda atau mirip.
c) Pengetahuan dan kompetensi yang imperatif untuk memberikan makna,
kongruen, aman, dan menguntungkan praktek perawatan kesehatan. Ini
adalah hak asasi manusia yang kebudayaan memiliki nilai-nilai peduli
budaya mereka, kepercayaan, dan praktek-praktek dihormati dan merenung
dimasukkan ke dalam perawatan dan layanan kesehatan.
d) Budaya dan kesehatan perawatan berdasarkan kepercayaan dan
praktekpraktek kesehatan bervariasi di barat dan non-budaya barat dan
dapat berubah dari waktu ke waktu.
e) Komparatif pengalaman perawatan budaya, makna, nilai, dan pola budaya
perawatan sumber dasar pengetahuan keperawatan lintas untuk menuntun
keputusan menyusui.
f) Generic (emik, folk) dan profesional (etik) pengetahuan dan praktik
perawatan sering memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda
dasar yang perlu dinilai dan dipahami sebelum menggunakan informasi
dalam perawatan klien.

e. Konsep kebudayaan masyarakat rumah sakit


a) Budaya adalah norma, tidakan yg dipelajari yg memberi petunjuk berfikir,
bertindak dalam mengambil keputusan
b) Nilai budaya adalah keinginan yg dipertahankan pada waktu tertentu yg
mela ndasi keputusan
c) Perbedaan budaya dalam asuhan mengacu yg dibutuhkan berupa
menghargai nilai individu, kepercayaan, tindakan, kepekaan lingkungan
d) Etnosentris adalah persepsi yg dimiliki individu menganggap budayanya yg
terbaik
e) Etnis adalah berkaitan ras, klompok budaya, digolongkan menurut ciri,
kebiasaan, kelaziman.
f) Ras adalah perbedaan macam nanusia didasarkan karakteristik fisik,
piqmen, bentuk tubuh, wajah, bulu, ukuran tertentu.
g) Care adalah fenomena yg berhubungan bantuan, bimbingan perilaku pada
individu, klompok untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas
kehidupan
h) Caring adalah tindakan langsung dalam asuhan perawatan yg membimbing,
membantu, mengantisipasi kebutuhan
i) Cultural care : kemampuan kognitif, afektif, dalam menilai kepercayaan,
ekpresi yg digunakan dalam membantu pasien
j) Cultural imposition adalah Kecendrungan tenaga kesehatan memaksakan
praktik, nilai diatas budaya dan kepercayaan pada orang lain

C. Penerapan prinsip social budaya dalam praktik keperawatan di rumah


sakit
Menurut Henry ada 6 prinsip dasar :
 Penerimaan
 Komunikasi
 Individualisasi
 Partisipasi
 Kerahasiaan
 Kesadaran diri dari perawat
D. Penerapan social budaya dalam praktik keperawatan
a. Mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan
b. Mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan
kesehatan
c. Merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan
kesehatan.

C. Evaluasi
1. Jelaaskan hubungan antara masyarakat rumah sakit dan kebudayaan?
BAB IX

Materi 8
Etiologi penyakit

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali tentang etiologi penyakit
B. Materi
Etiologi adalah sebab dari suatu penyakit atau serangkaian peristiwa
yang menyebabkan sakitnya penderita. Definisi lain etiologi adalah penetapan
sebab dari fenomena meliputi identifikasi faktor-faktor yang menimbulkan
penyakit. Sebagai contoh pada penyakit TBC paru, maka Mycobacterium
tuberculosis ditetapkan sebagai etiologinya. Selanjutnya ditetapkan faktor
etiologi lain seperti faktor lingkungan, status gizi dan risiko tertular dari
penderita lain.
Dalam terminologi etiologi terjadi perdebatan penggunaan istilah antara
penyebab dan agen penyakit. Sebagai contoh dalam menerangkan penyakit
Tuberkulosis,dikatakan bahwa mycobacterium adalah agen penyebab
sedangkan penyebabnya adalah kemiskinan, malnutrisi dan lingkungan.
Kita akan maklumi dan pahami perbedaan kedua istilah tersebut ketika
diterapkan lebih jauh dalam memahami penyakit. Seperti diketahui bahwa
penyakit dapat disebabkan oleh multifaktor yaitu keterlibatan beberapa faktor
bersama sama untuk menjadi penyebab penyakit. Semisal penyakit TBC paru
bukan hanya disebabkan oleh agen infeksi yaitu bakteri yang bernama
mycobacterium tuberculosis tetapi juga faktor lingkungan yang buruk. Contoh
lain yaitu penyakit yang sebelumnya tidak diketahui penyebabnya saat ini telah
ditemukan bahwa terdapat faktor genetik yang menjadi penyebab penyakit
anemia sel sabit dan haenofilia.
Pembahasan tentang sebab penyakit juga menyangkut masalah
hubungan sebab. Diterangkan bahwa hubungan sebab dapat bersifat absolut
atau tidak absolut (eksklusif). Hal tersebut dapat dijelaskan dengan contoh
penyakit kanker paru sebagai berikut. Para perokok berat ternyata tidak selalu
menderita kanker paru sehingga bisa dikatakan bahwa merokok tidak dapat
katakan sebagai penyebab utama karena untuk menderita kanker paru
diperlukan faktor lain.

Para ahli telah menyimpulkan bahwa secara umum etiologi penyebab


sakit ialah:
1. Kelainan genetik.
2. Agen infeksi seperti bakteri, virus, parasit dan jamur.
3. Bahan kimia dan radiasi.
4. Trauma atau ruda paksa.
Penjelasan lain menyebutkan bahwa dalam terminologi penyebab,
penyakit dapat disebabkan oleh:
1. Faktor genetik.
2. Faktor lingkungan.
3. Multi faktor (kerja sama genetik dan lingkungan
C. Evaluasi
1. Jelaksan tentang etiologi penyakit?
BAB X

Materi 9
Persepsi sehat sakit

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali persepsi sehat sakit
B. Materi
KONSEP SEHAT DAN SAKIT
5. Konsep Sehat
Pepatah terkenal mengatakan “Mensana in Corporesano” yang artinya di
dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pernyataan tersebut
sudah sejak lama dikenal oleh banyak orang. Kebenaran bahwa dalam
tubuh sehat memang terdapat jiwa yang kuat, sehingga orang rutin
melakukan olah raga agar memiliki tubuh yang sehat dan bugar. Tubuh
yang sehat akan membuat kita dapat melakukan kegiatan seharI-hari
dengan baik, bersemangat, tidak mudah lelah, dan tidak mudah terserang
penyakit. Selain itu, di dalam tubuh yang sehat, terdapat psikis atau jiwa
yang sehat pula, selalu berprasangka baik, mampu mengelola setiap emosi
dengan baik pula. Semua tercermin dalam menjalani kehidupan ini,
seseorang melaluinya dengan tenang dan bahagia apapun kondisinya.
Upaya mencapai kedamaian dengan diri sendiri merupakan suatu
perjalanan panjang. Memiliki kondisi sehat adalah sebuah upaya. Hal itu
bisa dilakukan oleh individu sendiri maupun bantuan orang lain yang
memiliki kepedulian terhadap sesama. Keyakinan akan sehat timbul pada
setiap diri individu. Seseorang merasa dirinya sehat akan tampak dari raut
wajah dan semangatnya dalam menghadapi kehidupan dan setiap
permasalahan yang dihadapi. Raut wajah yang segar, tegar, dan kuat sering
kali ditampakkan badandiri seseorang yang merasa sehat. Keyakinan ini
sangat penting, sebagai bentuk prasangka baik terhadap diri atas karunia
Tuhan kepadanya.

Sehat adalah keadaan tubuh yang normal baik jasmani, rohani, dan
sosial, tidak terbatas dari suatu penyakit dan ketidakmampuan atau
kecacatan menurut WHO. UU No.36 tahun 2009, yang dimaksud kesehatan
dimana kondisi baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial dimana
setiap orang mampu hidup produktif baik sosial maupun ekonominya.
Ada pandangan bahwa tolok ukur yang digunakan untuk menetapkan
apakah seseorang sehat, haruslah berdasarkan kajian yang dilakukan oleh
profesional (Yuliandari, 2018: 20). Namun, ada juga pandangan bahwa
keyakinan sehat bergantung dari persepsi seseorang akan kondisi dirinya.
Berbicara tentang sehat yang berkaitan dengan kesehatan manusia
melibatkan dua aspek, yaitu aspek psikologi dan aspek psikososial. Karena
manusia adalah individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Konsep sehat
sangat berhubungan dengan sikap, nilai, perilaku yang berkembang. Sehat
merupakan tanggungjawab diri sendiri, sehingga pilihan akan makna sehat
yang sesungguhnya bergantung pada pandangan dan cara memperoleh
kesehatan setiap individu.
Menurut John Wayne (dalam Yuliandari, 2018: 24) bahwa ada 6
parameter kesehatan, yaitu : 1) fungsi fisik, orang sehat tidak mengalami
gangguan fisik, 2) kesehatan mental, dimana perasaan nyaman, mampu
mengontrol emosi diri, perilaku positif, 3) sosial well-being, hubungan
interpersonal aktif, 4) fungsi peran, tidak mengalami gangguan hubungan
dengan sesama, 5) persepsi umum pandangan diri tentang kesehatan
pribadi, 6) symtom-symtom, tidak ada gangguan fisiologi maupun
psikologi. Sehingga dari keenam parameter tersebut saling berkaitan.
Difinisi sehat yang di kemukakan oleh WHO:
a. Merekflesikan perhatian pada manusia.
b. Sehat dari sudut pandang lingkungan dari dalam dan luar.
c. Pemaknaan sehat sebagai pola hidup aktif berkarya dan berproduksi.

Dari beberapa pernyataan tentang keyakinan konsep sehat, maka dapat


penulis simpulkan bahwa konsep sehat adalah suatu keadaan/kondisi fisik
yang lengkap dan normal, dan kondisi mental serta sosial yang baik tanpa
gangguan yang berarti, sehingga akan menimbulkan kebahagian bagi diri
orang tersebut. orang sehat akan mampu menjalani aktivitas kehidupan
dengan baik
6. Pengertian Sakit
Kata penyakit dan sakit adalah dua kondisi yang berbeda, namun
penggunaannya sering tertukar. Kata sakit identik dengan sesuatu yang
tidak beres atau abnormal. Perlu kita bedakan orang yang sakit (gangguan
fisiologis/tubuh) dengan orang yang bermasalah. Penyakit adalah
merupakan istilah medis yang di gambarkan sebagai gangguan dalam
fungsi tubuh yang menghasilkan berkurangnya kapasitas. Penyakit terjadi
saat tubuh tidak seimbang serta keadaan yang tidak normal.
Menurut Hidayah (2014) sakit adalah suatu keadaan dimana emosional,
fisik, sosial, intelektual, perkembangan, atau seseorang terganggu atau
berkurang, bukan hanya kondisi terjadinya proses penyakit.
Secara umumnya dinyatakan terkena suatu penyakit apabila sudah
menimbulkan perubahan fungsi tubuh yang tidak semestinya dan keluhan
lain yang menyebabkan munculnya tanda atau gejala. Perwujudan penyakit
dapat meliputi hipofungsi (seperti konstipasi), hiperfungsi (seperti
peningkatan produksi lendir) atau peningkatan fungsi mekanis (seperti
kejang).
Ada dua jeins penyakit, yaitu kronis dan tidak kronis. Dikatakan kronis
bila gangguan kesehatan berlangsung lama, kebanyakan disebabkan oleh
gaya hidup yang tidak sehat. Apabila sudah terlanjur parah, bisa berujung
kematian. Biasanya menyerang usia produktif, yaitu diantara usia 25-50
tahun. Hipertensi, stroke , diabetes, kanker, bahkan penyakit jantung yang
rawan menyerang usia produktif di karenakan pola hidup yang tidak sehat,
seperti merokok, obesitas, kurang aktif bergerak, dan pengelolahan stress
yang buruk merupakan beberapa penyebab seseorang menderita penyakit
kronis di usia muda.

Dari beberapa definisi sakit di atas, maka dapat penulis simpulkan


bahwa sakit adalah suatu kondisi tidak nyaman, adanya ketidaknormalan
atau gangguan pada sistem metabolisme tubuh, gangguan pada pola pikir
atau perasaan yang tidak nyaman atau yang berkaitan dengan psikologi
seseorang, sehingga akan berpengaruh pada terganggunya proses
menjalani kehidupannya
Dari beberapa uaraian di atas, maka kita sangat perlu menjaga asupan
makanan dan minuman yang kita konsumsi, Tuhan menyediakan begitu
banyak makanan dan minuman yang berasala dari tanaman dan binatang
yang halal dan baik untuk menjaga tubuh kita tetap sehat. Pola dan gaya
hidup sehat dengan menjauhi makanan dan minuman yang berbahaya dan
rajin berolahraga menjadikan sistem kekebalan tubuh kita juga akan baik.
C. Evaluasi
1. Jelaskan tentang persepsi sehat sakit!
BAB XI

Materi 10
Peran dan perilaku pasien

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali tentang peran dan perilaku pasien
B. Materi
A. Pengkajian Transkultural
a. Pandangan social/budaya tentang penyakit
Dalam sosiologi terdapat perbedaan pandangan antara desease dan
illness. Menurut Conread dan Kern (1994) , disease adalah merupakan
gejala fisiologi yang mempengaruhi tubuh. Sedangkan illness adalah gejala
sosial yang menyertai atau mengelilingi disease. Masyarakat beranggapan
bahwa penyakit merupakan produk dari budaya (Geest).
b. Konstruksi social mengenai penyakit
Conread dan Kern (1994) menjelaskan bahwa penyakit merupakan
konstruksi budaya. Contohnya adalah perempuan sebagai mahluk lemah
dan tidak rasional yang terkungkung oleh faktor khas keperempuanan
sepertiorgan reproduksi dan keadaan jiwa mereka, kecendrungan untuk
mengkonstruksikan sindrom premenstruasi dan menopause sebagai
gangguan kesehatan yang memerlukan terapi khusus.
c. Persepsi sehat sakit
Persepsi masyarakat tentang kejadian penyakit berbeda antara
daerah yang satu dengan lainnya, karena tergantung dari kebudayaan yang
ada di masyarakat tersebut. Hal ini dapat turun dari satu generasi
kegenerasi berikutnya.
Contoh persepsi masyarakat tentang penyakit Malaria. Masyarakat
Papua; makanan pokoknya adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa
dan tidak jauh dari situ ada hutam lebat. Penduduk desa tersebut
beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum
setiap orang yang melanggar ketentuan. Pelanggaran dapat berupa
menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian dan lain-lain akan
diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil
dan muntah.

Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit tidak selalu
bersifat obyektif, karena itu petugas kesehatan harus berusaha semaksimal
mungkin menerapkan kriteria medis secara obyektif berdasarkan gejala
yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik individu.

B. Peran Pasien
Dalam kehidupan bermasyarakat, peran merupakan konsekuensi
dari status seseorang. Bila dalam masyarakat ada orang yang berstatus
sebagai perawat, dokter, bidan, atau pasien, maka terhadap individu-
individu tersebut diharapkan muncul perilaku yang sesuai dengan
statusnya masing-masing.
Peran dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang
diharapkan oleh individu sesuai dengan status sosialnya (Asmadi,
2008). Menurut Ralf Dahrendrof (dalam Veeger, 1993), peran dimaknai
sebagai satu pola tingkah laku, kepercayaan, nilai, sikap yang
diharapkan oleh masyarakat muncul dan menandai sifat dan tindakan si
pemegang status atau kedudukan sosial.
Peran pasien adalah :
1. Menjaga komunikasi yang baik dengan perawat dan
tenaga kesehatan yang lain.
2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab sebagai
pasien.
3. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah
sakit.
6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
atas setiap tindakan.
7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
1. Peranan sakit
Orang yang berpenyakit (Having a disease) dan orang yang sakit
(Having a illness) adalah dua hal yang berbeda. Berpenyakit adalah
suatu kondisi patologis yang objektif, sedangkan sakit adalah evaluasi
atau persepsi individu terhadap konsep sehat sakit.
Dua orang atau lebih secara patologis menderita suatu jenis
penyakit yang sama. Bias jadi orang kesatu merasa lebih sakit dari yang
lain, dan bahkan orang yang satunya lagi tidak merasakan sakit sama
sekali. Hal ini disebabkan karena evaluasi atau persepsi mereka yang
berbeda tentang sakit.

Orang yang berpenyakit belum tentu akan mengakibatkan


berubahnya peranan orang tersebut didalam masyarakat. Sedangkan
orang yang sakit akan menyebabkan perubahan peranannya didalam
masyarakat maupun didalam lingkungan keluarga. Jelasnya, orang yang
sakit memasuki posisi baru, dan posisi baru ini menurut suatu peranan
yang baru pula.
Peranan sakit menurut Sudibyo Supardi (2005), yaitu :
a) Sakit sebagai upaya untuk menghindari tekanan
Contoh : Sebuah keluarga miskin tinggal rumah sempit yang kumuh. Suatu hari
datang adik-adik suaminya ikut tinggal bersamanya untuk mencari pekerjaan.
Istri merasa wajib memberi makan dan tempat tidur yang layak bagi mereka.
Namun bersama dengan itu, sang istri merasakan keterbatasan uang dan ruang
gerak dan dituntut untuk lebih memperhatikan anaknya. Lalu kemudian ia
terbaring sakit dirumahnya. Atas anjuran saudara-saudaranya maka adik-adik
suaminya pindah dan istrinya sembuh kembali. Melalui peran sakit istri, maka
keluarga tersebut dapat terhindar dari ketegangan yang dapat merusak
keluarga.
b) Sakit sebagai upaya untuk mendapat perhatian
Masyarakat menekankan pentingnya orang sakit mendapat perhatian khusus,
tempat khusus, makanan khusus, dan sebagainya. Bagi orang yang merasa
kesepian atau tidak yakin atas penerimaan orang lain akan dirinya, maka salah
satu cara pelepasannya dilakukan dengan melalui peran sakit.

c) Sakit sebagai kesempatan untuk istirahat


Masyarakat menekankan pentingnya orang sakit mendapat perhatian khusus,
tempat khusus, makanan khusus, dan sebagainya. Bagi orang yang merasa
kesepian atau tidak yakin atas penerimaan orang lain akan dirinya, maka salah
satu cara pelepasannya dilakukan dengan melalui peran sakit
d) Sakit sebagai alasan kegagalan pribadi
Peran sakit juga digunakan sebagai alasan ketidakmampuan menyelesaikan
tugas yang harus dikerjakan, upaya menghindari tanggung jawab atau
pembenaran diri.
e) Sakit sebagai Penghapus dosa
Masyarakat tertentu percaya bahwa sakit merupakan akibat dari dosa yang
dilakukan sebelumnya. Sakit merupakan hukuman Tuhan untuk menghapus
dosa yang telah dibuat hamba-Nya. Melalui peran sakit, Tuhan memberi
kesempatan pada seseorang untuk menyesali dosa yang diperbuatnya.
f) Sakit untuk mendapatkan alat tukar
Contoh : Karyawan yang mendapat penggantian ongkos berobat, sering
mengumpulkan obat melalui peran sakit. Setelah mendapatkan sejumlah obat
berikut aturan pakainya, ia menyimpan obat tersebut untuk digunakan sebagai
alat tukar dengan berbagai keperluannya.

2. Faktor yang memengaruhi tingkah laku sakit, peranan sakit, peranan pasien
a. Internal
1) Presepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami.
Klien akan segera mencari pertolongan jika gejala tersebut dapat mengganggu
rutinitas kegiatan sehari-hari. Misalnya: Tukang Kayu yang menderita sakit
punggung, jika ia merasa hal tersebut bisa membahayakan dan mengancam
kehidupannya maka ia akan segera mencari bantuan. Akan tetapi persepsi
seperti itu dapat pula mempunyai akibat yang sebaliknya. Bisa saja orang yang
takut mengalami sakit yang serius, akan bereaksi dengan cara menyangkalnya
dan tidak mau mencari bantuan.
2) Asal atau jenis penyakit.
Pada penyakit akut dimana gejala relatif singkat dan berat serta mungkin
mengganggu fungsi pada seluruh dimensi yang ada, Maka klien bisanya akan
segera mencari pertolongan dan mematuhi program terapi yang diberikan.
Sedangkan pada penyakit kronik biasanya berlangsung lama (>6 bulan)
sehingga jelas dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada.
b. Eksternal
1) Gejala yang dapat dilihat.
Gejala yang terlihat dari suatu penyakit dapat mempengaruhi Citra Tubuh dan
Perilaku Sakit.
Misalnya: orang yang mengalami bibir kering dan pecah-pecah mungkin akan
lebih cepat mencari pertolongan dari pada orang dengan serak tenggorokan,
karena mungkin komentar orang lain terhadap gejala bibir pecah-pecah yang
dialaminya.
2) Ekonomi.
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap
terhadap gejala penyakit yang ia rasakan. Sehingga ia akan segera mencari
pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.
3) Kelompok social
Kelompok sosial klien akan membantu mengenali ancaman penyakit, atau
justru meyangkal potensi terjadinya suatu penyakit.
Misalnya: Ada 2 orang wanita, sebut saja Ny. A dan Ny.B berusia 35 tahun yang
berasal dari dua kelompok sosial yang berbeda telah menemukan adanya
benjolan pada Payudaranya saat melakukan SADARI. Kemudian mereka
mendiskusikannya dengan temannya masing- masing. Teman Ny. A mungkin
akan mendorong mencari pengobatan untuk menentukan apakah perlu
dibiopsi atau tidak; sedangkan teman Ny.B mungkin akan mengatakan itu
hanyalah benjolan biasa dan tidak perlu diperiksakan ke dokter.
4) Kemudahan akses terhadap sistem pelayanan
Dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat pelayanan medis lain sering
mempengaruhi kecepatan mereka dalam memasuki sistem pelayanan
kesehatan. Demikian pula beberapa klien enggan mencari pelayanan yang
kompleks dan besar dan mereka lebih suka untuk mengunjungi Puskesmas
yang tidak membutuhkan prosedur yang rumit.
5) Dukungan Sosial
Dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi atau perkumpulan yang
bersifat peningkatan kesehatan.
6) Latar belakang budaya
Latar belakang budaya dan etik mengajarkan sesorang bagaimana menjadi
sehat, mengenal penyakit, dan menjadi sakit. Dengan demikian perawat perlu
memahami latar belakang budaya yang dimiliki klien.

C. Perilaku Pasien

Perilaku manusia merupakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh manusia,


baik dilihat secara tidak langsung maupun langsung oleh pihak luar
(Notoatmodjo, 2010).

1. Perilaku sakit
Perilaku sakit (illness behaviour) mencakup respon seseorang terhadap sakit
dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan
gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya. Sedangkan perilaku
peran sakit (the sick role behaviour) dari segi sosiologi, orang sakit
( mempunyai peran yang mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban
sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh
orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarga), yang selanjutnya
disebut perilaku peran orang sakit (the sick role). Perilaku ini meliputi:
a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan
b. Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan atau
penyembuhan penyakit yang layak
c. Mengetahui hak dan kewajiban orang sakit
o Hak-hak orang sakit
 Bebas dari segala tanggung jawab sosial yang normal,
 Mengklaim bantuan atau perawatan kepada orang lain
o Kewajiban orang sakit
 Kewajiban untuk sembuh dari penyakitnya
 Mencari pengakuan, nasihat-nasihat, dan kerja sama
dengan para ahli (dalam hal ini petugas kesehatan) yang
ada didalam masyarakat.

Mechanics dalam Wolinsky (1980) melakukan pendekatan social untuk


mempelajari perilaku sakit. Pendekatan ini dihubungkan dengan teori konsep
diri, definisi situasi, efek dari anggota grup dalam kesehatan dan efek birokrasi.
Teori ini menekankan pada dua factor, yaitu :
a. Persepsi atau definisi individu tentang suatu situasi atau penyakit
b. Kemampuan individu untuk melawan serangan penyakit tersebut.
Suchman (1965) yang memberikan batasan perilaku sakit sebagai tindakan
untuk menghilangkan rasa tidak enak atau rasa sakit sebagai akibat dari
timbulnya gejala tertentu. Suchman menganalisa pola proses pencarian
pengobatan dari segi individu atau petugas kesehatan. Menurutnya, ada 5
macam reaksi dalam proses mencari pengobatan, antara lain:
a. Shopping, yaitu proses mencari alternatif sumber pengobatan guna
menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan
sesuai dengan harapan.
b. Fragmentation, yaitu proses pengobatan oleh beberapa fasilitas
kesehatan pada lokasi yang sama
c. Procrastination, yaitu proses penundaan pencarian pengobatan meskipun
gejala penyakitnya sudah dirasakan
d. Self medication, yaitu pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagi
macam ramuan atau obat-obatan yang dinilai tepat baginya
e. Discontinuity, yaitu penghentian proses pengobatan

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku


Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi perilaku
manusia yaitu : faktor predisposisi (predisposing factor), faktor
pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing factor)
(Notoatmodjo, 2003; Green, 2000).
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu:

a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi melalui
proses sensori khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari
pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004; Notoatmodjo,
2003). Tingkat pengetahuan mencakup di dalam domain kognitif yang
mempunyai enam tingkatan, yaitu :
1. Tahu ( know )
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya termasuk mengingat kembali (recall) terhadap suatu
spesifik dari seluruh beban yang dipelajari.

2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasi materi
tersebut secara benar.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek di dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya
satu sama yang lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi- formulasi yang ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi objek. Penilaian-penilaian itu,
didasarkan atas suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang tersedia.
7. Sikap
Sikap merupakan respon tertutup individu terhadap suatu
stimulus atau obyek, baik yang bersifat dari dalam maupun luar,
sehingga gejalanya tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut.
Sikap yang realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap
stimulus tertentu (Sunaryo,2004; Purwanto, 1999). Tingkatan respon
adalah menerima (receiving), merespon (responding), menghargai
(valuing) dan bertanggung jawab (responsible) (Sunaryo, 2004;
Purwanto, 1999 ).
8. Kepercayaan
Keyakinan seseorang terhadap satu hal tertentu akan
mempengaruhi perilaku individu dalam menghadapi suatu penyakit
yang mempengaruhi kesehatannya (Green, 2000).
9. Nilai-nilai
Norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang
(Green, 2000).
10. Persepsi
Persepsi merupakan proses pengorganisasian, terhadap suatu
rangsang yang diterima oleh individu sehingga merupakan sesuatu yang
mempunyai arti dan menyeluruh dalam diri individu. Individu yang
mempunyai persepsi yang baik tentang sesuatu cenderung akan
berperilaku sesuai dengan persepsi yang dimilikinya (Sunaryo, 2004;
Notoatmodjo, 2003).

Faktor-faktor pendukung (enabling factors)


Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini dapat
menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan perilaku dan
perubahan lingkungan yang baik (Green, 2000). Faktor pendukung (enabling
factor) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan
fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya
suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor
pemungkin (Khairudin, 2010).

Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors)


Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) merupakan penguat
terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau berperilaku.
Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik akan memotivasi, sebaliknya
hukuman dan pandangan negatif seseorang akan menjadi hambatan proses
terbentuknya perilaku.
D. Peran dan Perilaku perawat terhadap pasien
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional
yang mempunyai suatu paradigma atau model keperawatan yang
meliputi empat komponen yaitu : manusia, kesehatan, lingkungan dan
perawat itu sendiri.
Peran perawat dipengaruhi oleh keadaan sosial maupun dari luar
profesi keperawatan yang bersifat tetap (constant) (Kusnanto, 2003).
Friskarini dan Manalu (2009) menyatakan bahwa peran tenaga
kesehatan dalam memberikan informasi terkait kondisi pasien dan
pengobatannya sangat penting untuk memotivasi pasien untuk sembuh.
Peran perawat meliputi :
a. Peran Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan
keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian
pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan
sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa
direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan
tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat
perkembangannya. Peranan ini umumnya dilaksanakan oleh para
pelaksana keperawatan, baik itu dari puskesmas sampai dengan tingkat
rumah sakit.
b. Peran Perawat sebagai advokat klien
Peran ini dilakukan oleh perawat dalam membantu klien dan
keluarga dalam menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi
pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan
persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien,
juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi
tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya
sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
c. Peran Perawat sebagai Edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam
meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan
tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien
setelah dilakukan pendidikan kesehatan. Biasanya bila dalam
lingkungan rumah sakit diberikan sewaktu pasien akan pulang sehingga
diharapkan pasien dapat menjalankan pola hidup sehat dan juga
menjaga kesehatannya.
d. Peran Perawat sebagai koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan
serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien. Dalam rumah sakit ataupun tempat pelayanan
kesehatan lainnya dijalankan oleh perawat sruktural atau kepala
ruangan dan setingkatnya.
e. Peran Perawat sebagai kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain
dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan
bentuk pelayanan selanjutnya. Sehingga perawat tidak bisa menjalankan
peranan ini bila tidak bekerjasama dengan tenaga kesehatan yang
terkait.
f. Peran Perawat sebagai Konsultan
Peran ini sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau
tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan
atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan
keperawatan yang diberikan dan biasanya diberikan oleh para perawat
senior dalam suatu lahan pelayanan perawatan.

g. Peran Perawat sebagai Pembaharuan


Peran ini dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja
sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode
pemberian pelayanan keperawatan. Biasanya dilakukan oleh perawat
dalam level struktural. Adapun Perilaku perawat terhadap klien salah
satunya peduli (caring). Perilaku Peduli sangatlah penting untuk
keperawatan. Perilaku peduli juga sangat penting untuk tumbuh
kembang, memperbaiki dan meningkatkan kondisi atau cara hidup
manusia. Perilaku Peduli (caring) mengandung 3 hal yang tidak dapat
dipisahkan yaitu perhatian, tanggung jawab, dan dilakukan dengan
ikhlas. Perilaku peduli (Caring) juga merupakan sikap peduli,
menghormati dan menghargai orang lain, artinya memberi perhatian
dan mempelajari kesukaan seseorang dan bagaimana seseorang berfikir
dan bertindak. Memberikan asuhan secara sederhana tidak hanya
sebuah perasaan emosional atau tingkah laku sederhana, karena
perilaku peduli merupakan kepedulian untuk mencapai perawatan yang
lebih baik, perilaku peduli bertujuan dan berfungsi membangun
struktur sosial, pandangan hidup dan nilai kultur setiap orang yang
berbeda pada satu tempat, maka kinerja perawat khususnya pada
perilaku peduli menjadi sangat penting dalam mempengaruhi kualitas
pelayanan dan kepuasan pasien terutama di rumah sakit, dimana
kualitas pelayanan menjadi penentu citra institusi pelayanan yang
nantinya akan dapat meningkatkan kepuasan pasien dan mutu
pelayanan.
C. Evaluasi
1. Jelaskan tentang peran dan perilaku pasien

BAB XII

Materi 11
Respon sakit/nyeri pasien

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali tentang respon sakit/nyeri pasien
B. Materi
A. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.1,7 Nyeri bersifat
subjektif dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti budaya, pengalaman-
pengalaman nyeri sebelumnya, mood, kepercayaan, dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri.
B. Klasifikasi Nyeri
Nyeri berdasarkan durasi terbagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.
Nyeri berdasarkan patofisiologi terdiri dari nyeri fisiologis, nosiseptif dan
neuropatik.
 Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri dengan onset segera dan
memiliki durasi terbatas. Nyeri akut biasanya memiliki hubungan
temporal dan kausal dengan perlukaan seperti pembedahan, trauma
dan infeksi yang menyebabkan peradangan. Nyeri kronik umumnya
menetap lebih dari waktu penyembuhan suatu perlukaan (>3-6 bulan)
dan sering tidak memiliki penyebab yang jelas.
 Nyeri fisiologis merupakan rasa ketidaknyamanan non traumatic yang
segera dengan durasi yang sangat singkat. Nyeri fisiologis sebagai
penanda bagi individu terhadap adanya potensi stimulus lingkungan
yang berpotensi menyebabkan cedera, seperti objek yang panas dan
menginisisasi refleks menghindar yang mencegah atau meminimalisasi
kerusakan jaringan. Nyeri ini sifatnya sementara, hanya selama ada
rangsang nyeri dan dapat dilokalisir.
 Nyeri nosiseptif merupakan akibat adanya kerusakan sel setelah
operasi, trauma atau cedera yang berhubungan dengan penyakit. Nyeri
nosiseptif juga disebut dengan inflamasi karena inflamasi perifer dan
mediator inflamasi berperan penting dalan inisisasi serta
perkembangannya. Secara umum, intensitas nyeri nosiseptif sesuai
dengan besarnya kerusakan jaringan serta lepasnya mediator inflamasi.

 Nyeri neuropatik adalah nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi
patologi pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Nyeri neuropatik
sering dikatakan nyeri yang patologis karena tidak bertujuan atau tidak
jelas kerusakan organnya. Nyeri neuropatik bersifat terus menerus atau
episodik dan digambarkan dalam banyak gambaran seperti rasa
terbakar, tertusuk, shooting, seperti kejutan listrik, pukulan, remasan,
spasme atau dingin. Beberapa hal yang mungkin berpengaruh pada
terjadinya nyeri neuropatik yaitu sensitisasi perifer, timbulnya aktifitas
listrik ektopik secara spontan, sensitisasi sentral, reorganisasi struktur,
adanya proses disinhibisi sentral, dimana mekanisme inhibisi dari
sentral yang normal menghilang, serta terjadinya gangguan pada
koneksi neural, dimana serabut saraf membuat koneksi yang lebih luas
dari yang normal.5

C. Patofisiologi Nyeri
Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada
reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superficial kulit dan pada
beberapa jaringan di dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi, otot
rangka dan pulpa gigi. Zat-zat algesik yang mengaktifkan reseptor nyeri adalah
ion K, H, asam laktat, serotonin, bradikinin, histamin dan prostaglodin. Respon
terhadap stimulus untuk stimulus nyeri disebut nosiseptor yang merupakan
ujung-ujung saraf bebas tidak bermielin yang mampu mengubah berbagai
stimulus menjadi impuls saraf, yang diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi
nyeri. Badan-badan sel saraf tersebut terdapat pada ganglia radiks dorsalis,
atau saraf trigeminal pada ganglia trigeminal, dan badan-badan sel saraf
tersebut mengirimkan satu cabang serat saraf menuju ke perifer, serta cabang
lainnya menuju medula spinalis atau batang otak.
Nosiseptor diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu saraf-saraf tidak
bermielin dan berdiameter kecil yang mengkonduksikan impuls saraf dengan
lambat, yaitu serabut saraf C dan saraf-saraf bermielin berdiameter lebih besar
yang mengkonduksikan impuls-impuls saraf lebih cepat yaitu serabut saraf Aδ.
Impuls-impuls saraf yang dikonduksikan oleh serat nosiseptor Aδ
menghasilkan sensasi nyeri yang tajam dan cepat, sedangkan serat nosiseptor C
menghasilkan sensasi nyeri yang tumpul dan terlambat. Kebanyakan
nosiseptor beujung bebas yang mendeteksi adanya kerusakan jaringan.
Selama proses inflamasi, nosiseptor menjadi lebih peka dan
mengakibatkan nyeri yang terus menerus. Rangkaian proses yang menyertai
antara kerusakan jaringan sebagai sumber stimuli nyeri sampai dirasakannya
persepsi nyeri adalah suatu proses elektrofisiologik yang disebut sebagai
nosisepsi. Terdapat empat proses dalam nosisepsi, yakni : transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi.
1. Transduksi
Transduksi merupakan proses pengubahan stimuli nyeri
(noxious stimuli) menjadi suatu impuls listrik pada ujung-ujung saraf.7
Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang
berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor
ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus
yang datang seperti kerusakan jaringan atau trauma.8 Trauma tersebut
kemudian menghasilkan mediator- medator nyeri perifer sebagai hasil
dari respon humoral dan neural. Prostaglandin beserta ion H+ dan K+
berperan penting sebagai activator primer nosiseptor perifer serta
menginisiasi respon inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan
pembengkakan jaringan dan nyeri pada lokasi cedera.5
2. Transmisi
Transmisi merupakan serangkaian kejadian-kejadian neural
yang membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses
transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf
berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar. Saraf aferen
akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini
dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral
lateral dari thalamus menuju cortex serebral. Proses penyaluran impuls
melalui saraf sensoris setelah proses transduksi. Impuls ini akan
disalurkan oleh serabut Aδ fiber dan C fiber sebagai neuron pertama
dari perifer ke medula spinalis.7 Proses tersebut menyalurkan impuls
noxious dari nosiseptor primer menuju ke sel di dorsal horn medulla
spinalis.

3. Modulasi
Modulasi adalah proses yang mengacu kepada aktivitas neural
dalam upaya mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses
modulasi melibatkan sistem neural yang komplek. Impuls nyeri ketika
sampai di saraf pusat akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan
mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf
seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan
melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi
efektor.
d. Persepsi
Persepsi adalah proses yang subjective. Persepsi merupakan
hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai
dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatui perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri.7 Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan
proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi juga meliputi
cognition (pengenalan) dan memory (mengingat). Oleh karena itu,
faktor psikologis, emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul
sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut.
Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu
fenomena yang melibatkan multidimensional.

Beberapa traktus asenden berperan dalam mentransmisikan


impuls nosisepsi dari dorsal horn ke target supraspinal, yaitu traktus
spinomesencephalic, spinoreticular dan spinotalamikus, dimana traktus
spinotalamikus merupakan traktus yang utama untuk jalur persepsi.
Akson dari sel dorsal horn bersinaps dengan sel thalamus, yang
mengubah transmisi impuls nosiseptif langsung ke korteks
somatosensoris.

D. Respon Tubuh Terhadap Nyeri


Nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional
tentunya akan menimbulkan respon terhadap tubuh. Respon tubuh
terhadap nyeri merupakan terjadinya reaksi endokrin berupa mobilisasi
hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi imunologik, yang
secara umum disebut sebagai respon stres. Rangsang nosiseptif
menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya terjadi pelepasan
hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II, ADH,
ACTH, GH dan Glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormon
anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan
hiperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap insulin dan
proses glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein dan
lipolisis. Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif.
Aldosteron, kortisol, ADH menyebabkan terjadinya retensi NA dan air.
Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri
bertambah sehingga terjadilah siklus vitrousus.7 Sirkulus vitiosus
merupakan proses penurunan tekanan O2 di arteri pulmonalis (PaO2)
yang disertai peningkatan tekanan CO2 di arteri pulmonalis (PCO2) dan
penurunan pH akan merangsang sentra pernafasan sehingga terjadi
hiperventilasi.10 Respon nyeri memberikan efek terhadap organ dan
aktifitas. Berikut beberapa efek nyeri terhadap oragan dan aktifitas:
a. Efek nyeri terhadap kardiovaskular
Pelepasan katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan
aktifasi Angiostensin II akan mennimbulkan efek pada
kardiovaskular. Hormon- hormon ini mempunyai efek langsung
pada miokardium atau pembuluh darah dan meningkatkan
retensi Na dan air. Angiostensin II menimbulkan vasikontriksi.
Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan otot
jantung dan resistensi vaskular perifer, sehingga terjadilah
hipertensi. Takikardia serta disritmia dapat menimbulkan
iskemia miokard. Jika retensi Na dan air bertambah makan akan
timbul resiko gagal jantung.
b. Efek nyeri terhadap respirasi
Bertambahnya cairan ekstra seluler di paru-paru akan
menimbulkan kelainan ventilasi perfusi. Nyeri didaerah dada
atau abdomen akan menimbulkan peningkatan otot tonus di
daerah tersebut sehingga muncul risiko hipoventilasi, kesulitan
bernafass dalam mengeluarkan sputum, sehingga penderita
mudah hipoksia dan atelektasis.

c. Efek nyeri terhadap sistem oragan lain


Peningkatan aktifitas simpatis akibat nyeri menimbulkan
inhibisi fungsi saluran cerna. Gangguan pasase usus sering
terjadi pada penderita nyeri. Terhadap fungsi immunologik, nyeri
akan menimbulkan limfopenia, dan leukositosis sehingga
menyebabkan resistensi terhadap kuman patogen menurun.
d. Efek nyeri terhadap psikologi
Pasien yang menderita nyeri akut yang berat akan
mengalami gangguan kecemasan, rasa takut dan gangguan tidur.
Hal ini disebabkan karena ketidaknyamanan pasien dengan
kondisinya, dimana pasien menderita dengan rasa nyeri yang
dialaminya kemudian pasien juga tidak dapat beraktivitas.
Bertambahnya durasi dan intensitas nyeri, pasien dapat
mengalami gangguan depresi, kemudian pasien akan frustasi dan
mudah marah terhadap orang sekitar dan dirinya sendiri.
Kondisi pasien seperti cemas dan rasa takut akan membuat
pelepasan kortisol dan katekolamin, dimana hal tersebut akan
merugikan pasien karena dapat berdampak pada sistem organ
lainnya, gangguan sistem organ yang terjadi kemudian akan
membuat kondisi pasien bertambah buruk dan psikologi pasien
akan bertambah parah.
e. Efek nyeri terhadap mutu kehidupan
Nyeri menyebabkan pasien sangat menderita, tidak
mampu bergerak, susah tidur, tidak enak makan, cemas, gelisah,
putus asa tidak mampu bernafas dan batuk dengan tidak baik.
Keadaan seperti ini sangat mengganggu kehidupan pernderita
sehari-hari. Mutu kehidupannya sangat rendah, bahkan sampai
tidak mampu untuk hidup mandiri layaknya orang sehat.
Penatalaksanaan nyeri pada hakikatnya tidak tertuju pada
mengurangi rasa nyeri melainkan untuk menjangkau
peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga dapat kembali
menikmati kehidupannya. Sementara kualitas hidup pasien
menurun karena pasien tidak bisa beristirahat dan beraktivitas.
Nyeri memiliki konsekuensi fisiologis didalam tubuh. Berikut ini
merupakan konsekuensi fisiologis terhadap nyeri:
C. Evaluasi
1. Jelaskan tentang respon sakit/nyeri pasien?
BAB XIII

Materi 12
Globalisasi & perspektif transkultural

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali tentang globalisasi & perspektif transkultural
B. Materi
Office of Minority Health (OMH) (n.d) menggambarkan budaya sebagai ide-
ide, komunikasi, tindakan, kebiasaan, kepercayaan, nilai-nilai, adat istiadat dari
kelompok ras, etnik, agama, atau sosial. Budaya meliputi segala aspek
kehidupan di dalam manusia. Budaya menunjukkan cara pandang seseorang
dalam mengambil keputusan.
Keperawatan transkultural didefinisikan sebagai penelitian perbandingan
budaya untuk memahami persamaan (budaya universal) dan perbedaan
(budaya tertentu) di antara kelompok manusia. Tujuan keperawatan
transkultural adalah bentuk pelayanan yang sama secara budaya atau
pelayanan yang sesuai pada nilai kehidupan individu dan arti yang sebenarnya.
Mengetahui nilai-nilai pelayanan budaya klien, arti, kepercayaan, dan
praktiknya sebagai hubungan antara perawat dan pelayanan kesehatan
mewajibkan perawat untuk menerima aturan pelajar atau teman sekerja
dengan klien dan keluarganya dalam bentuk karakteristik arti dan keuntungan
dalam pelayanan.
Pelayanan kompeten secara budaya adalah kemampuan perawat
menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya yang
berbeda, serta membuat klien dan keluarganya mencapai pelayan yang penuh
arti dan suportif. Contohnya, perawat yang mengetahui tentang kebudayaan
kliennya, maka perawat memerlukan dukungan dalam menyesuaikan keadaan
klien. Klien juga membutuhkan informasi, perundingan, dan permintaan.
Kompetensi budaya adalah proses perkembangan kesadaran budaya,
pengetahuan, keterampilan, pertemuan, dan keinginan. Perawat harus bisa
mengintrospeksi tentang latar belakang dirinya. Perawat juga harus memiliki
pengetahuan yang merupakan perbandingan antar kelompok. Keterampilan
budaya termasuk pengkajian social maupun budaya yang mempengaruhi
pengobatan dan perawatan klien. Pertemuan sebagai mediapembelajaran.
Keinginan sebagai motivasi dan komitmen pelayanan.
Konflik budaya juga dapat muncul dalam proses keperawatan. Konflik
budaya yang muncul dapat berupa etnosentrisme, pemikiran bahwa cara hidup
yang dianut lebih baik dibandingkan dengan budaya lain. Hal ini menyebabkan
adanya pilihan untuk mengabaikan budaya dan menggunakkan nili-nili dan
gaya hidup mereka sebagai petunjuk dalam berhubungan dengan klien dan
menafsirkan tingkah laku mereka.
Globalisasi menyebabkan tuntutan asuhan keperawatan semakin besar.
Perpindahan penduduk dan pergeseran tuntutan keperawatan dapat terjadi.
Perawat yang tidak mampu menyesuaikan asuhan keperawatan terhadap
kondisi yang ada akan menyebabkan penurunan kualitas pada pelayanan
keperawatan. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan dibutuhkannnya
peningkatan terhadap profesi keperawatan. Peningkatan pengetahuan,
koordinasi antar profesi atau tenaga kerja kesehatan lain sangat diperlukan.
Perawat harus lebih aktif dalam menghadapi globalisasi terutama dalam
pelayanan kesehatan.
C. Evaluasi
Jelaskan tentang globalisasi & perspektif transkultural!
BAB XIV

Materi 13
Diversity dalam masyarakat

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali tentang diversity dalam masyarakat
B. Materi
A. Pengertian Diversity (Keragaman)
Keragaman berasal dari kata ragam yang menurut kamus besar bahasa
indonesia artinya tingkah laku, macam jenis, lagu musik langgan, warna
corak ragi, laras. Sehingga kergaman berarti perihal beraga-ragam berjenis-
jenis;perihal ragam hal jeniskergaman yang di maksud di sini suatu kondisi
dalam masyarakat dimana terdapat perbedaaa-perbedaan dalam berbagai
bidang, terutama suku bangsa dan ras, agama dan keyakinan,ideologi,adat
kesoponan serta situasi ekonomi.

B. Unsur-unsur Keragaman Dalam Masyarakat Indonesia


a. Suku Bangsa dan Ras
Suku bangsa yang menempati wilayah indonesia dari sabang
sampai merauke sangat beragam.sedangkan perbedaan ras muncul
karena adanya pengelompokkan besar manusia yang memiliki ciri-ciri
biologis lahiriyah yamg sama seperti rambut, warna kulit, ukuran tubuh,
mata, ukuran kepala dan lain sebagainya.
Di indonesia, terutama bagian barat mulai dari sulawesi adalah
termasuk ras mongoloid melayu muda. Kecuali batak dan toraja yang
termasuk mongoloid melayu tua sebelah timur indonesia termasuk ras
austroloid, termasuk bagian NTT. Sedangkan kelompokterbesar yang
tidak termasuk kelompok pribumi adalah golongan chinayang termasuk
atratic mongooid.

b. Agama dan Keyakinan


Agama mengandung arti ikatan yang harus di pegang dan di
patuhi manusia. Ikatan yang di maksud berasal dari kekuatan yang
lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaibyang tak dapat di
tangkap dengan panca indra. Namun mempunyai pengaruh besar yang
besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari .
Agama sebagai keyakinan memang sulit di ukur secara tepat dan
rinci.Hal ini pula yang barang kali menyulitkan para ahli untuk
memberikan definisi yang tepat tentang agama. Namun apapun
bentuknya kepercayaan yang di anggap sebagai agama, tampaknya
memang memilki ciri umum yang hampir sama, baik dalam agama pitif
maupun agama monoteisma. Menurut Robert H. Thouless, fakta
menunjukkan bahwa agama berpusat pada tuhan atau dewa-dewa
sebagai ukuran yang menentukan yang tak boleh di abaikan Masalah
agama tak akan mungkin dapat di pisahkan dari kehidupan
masyarakat. Dalam praktiknya fungsi agama dalam masyarakat antara
lain adalah :
1. Berfungsi edukatif: ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh
dan melarang
2. Berfungsi penyelamat
3. Berfungsi sebagai perdamaian
4. Berfungsi sebagai sosial kontrol
5. Berfungsi sebagai pemupuk ras dan solidaritas
6. Berfungsi tranformatif
7. Berfungsi kreatif
8. Berfungsi sublimatif
Pada dasarnya agama dan keyakinan merupkan usur penting
dalam keragaman bangsa indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya
agama yang di akui di indonesia.
c. Tata Krama
Tata krama yang di anggap sebagai dari bahasa jawa yang berarti “adat
sopan santun, basa basi” pada dasarnya ialah segala tindakan, prilaku, adat
istiadat, tegur sapa,ucap dan cakap sesuai kaidah atau norma tertentu. Tata
krama di bentuk dan di kembangkan oleh masyarakat yang terdiri dari
aturan-aturan yang kalo di patuhi di harapkan akan tercipta interaksi sosial
yang tertib dan efektif di dalam masyarakat yang bersangkutan. Indonesia
memiliki keragaman suku bangsa dimanadi setiap suku bangsa memiliki
adat tersendiri meskipun kerena adanya sosialisasi nila-nilai dan norma
secara turun menurun dan berkisenambungan dari generasi ke generasi
menyebabkan suatu masyarakat yang ada dalam suatuisuku bangsa yang
sama akan memiliki adat dan kesopanan yang relatif sama.
d. Kesenjangan Ekonomi
Bagi sebagian negara, perkonomian akan menjadi salah satu perhatian
yang harus di tingkatkan namun umumnya, masyarakat kita berada di
golongan tingkat ekonomi menengah kebawah. Hal ini tentu saja menjadi
sebuah pemicu adanya kesenjangan yang tak dapat di hindari lagi
e. Kesenjangan Sosial
Masyarakat indonesia merupakan masyarakat yang majemmuk dengan
bermacam tingkat pangkat, dan seterata sosial yang hierarkis.hal ini, dapat
terlihat dan di rasakan dengan jelas dengan adanya penggologan orang
berdasarkan kasta.Hal ini yang dapat menimbulkan kesenjangan sosialyang
tidak saja dapat menyakitkan, namun juga membahayakan bagi kerukunan
masyarakat.Tak hanya itu bahkan menjadi sebuah pemicu perang antara
etnis atau suku.
C. Pengaruh Keragaman dam Kehidupan Beragama, Bermasyarakat,
Bernegara, dan Kehidupan Global
Berdirinya negara indonesia di latar belakangi oleh masyarakat yang
demikian majemuk baik secara eknis, biogarfis.kultural, maupun religius.
Kita tidak dapat mengingkari prulalistik bangsa kita.sehingga kita perlu
memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan
kebudayaan beragama yang di anut oleh warga indonesia. Masalah suku
bangsa dan, kesatuan nasional di Indonesia telah menunjukkan kepada kita
bahwa suatu negara yang multi etnik memerlukan suatu kebudayaan
nasional untuk menistasikan peranan identitas nasional dan solidaritas
nasional di antara warganya. Gagasan tentang kebudayaan nasional yang
menyangkut kesadaran dan identitas suatu bangsa telah di rancang saat
bangsa kita belum merdeka.
Manusia secara kodrat diciptakan sebagai makhluk yang mengusung
nilai harmoni.Perbedaan yang mewujud baik secara fisik ataupun mental,
sebenarnya merupakan kehendak Tuhan yang seharusnya dijadikan sebagai
sebuah potensi untuk menciptakan sebuah kehidupan yang menjunjung
tinggi toleransi. Dikehidupan Sehari-Hari,Kebudayaan Suku Bangsa dan
kebudayaan agama,bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa
dan bernegara, mewarisi perilaku dan kegiatan kita.berbagai kebudayaan itu
beriringan, saling melengkapi. Bahkan mampu saling menyesuaikan dalam
kehidupan sehari-hari tetapi sering kali yang terjadi malah
sebaliknya.Perbedaa-perbedaan tersebut menciptkan ketegangan hubungan
antara anggota masyarakat. Hal ini di sebabkan oleh sifat dasar yang selalu
di miliki oleh masyarakat majemuk sebagai mana di jelaskan oleh Van de
Berghe:
a. Terjadinya sikmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali
memiliki kebudayaan yang berbeda.
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga
yang bersifat non komplenter
c. Kurang mengembangkan konsensuf di antar anggota masyarakat
tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
d. Secara relatif sering kali terjadi konflikdi antara kelompokyang satu
dengan yang lainnya.
e. Secara relatif integrasi tumbuh di atas paksaan yang saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi
f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang
lain

Realitas di atas harus di akui dengan sikap terbuka logis, dan dewasa
karena dengannya, kemajemukkan yang ada dapat di pertumpul. Jika
keterbukaan dan kedewasaan sikap dikesampingkan, besarkemungkinan
tercipta masalah-masalah menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa
seperti:
1. Disharmonisasi, adalah tidak adanya kesesuaian atas keragaman
antara manusia dengan dunia lingkungannya. Disharmonisasi di bawa
oleh virus paparoks yang ada dalam globalisasi. Paket globalisasi begitu
memikat masyarakat dunia dengan tawarannya akan keseragman global
untuk maju bersama dan komunikasi gaya hidup ,manusia yang bebas
dan harmonis dalam tatanan dunia, dengan menyampingkan keunikan
dan keberagaman indonesia sebagai pelaku utama.
2. Perilaku diskriminatif terdapat etnis atau kelompok masyarakat
tertentu akan muncul masalah yang lain, yaitu kesenjangan dalam
berbagai bidang yang tentu saja yang tidak mengentungkan bagi hidup
berbangsa dan bernegara.
3. Eksklusivme,realisis, bersumber dari superioritas, alasannya dapat
bermacam-macam antara lain; keyakinan bahwa secara koadrati
ras/sukunya ke kelompoknya lebih tinggi dari ras/suku/kelompok lain

Adanya beberapa hal yang dapat dilakukan memperkecil masalah


yang di akibatkan oleh pengaruh negatif dari keragaman, yaitu:
1. Semangat religius
2. Semangat nasionalisme
3. Semangat pluralisme
4. Semangat humanisme
5. Dialog antar umat beragama
6. Membangun suatu pola komikasi untuk interaksi maupun konfigurasi
hubungan antara agama,media massa, dan harmonisasi dunia.

Keterbukaan, kedewasaan sikap, pemikiran globalyang bersifat


inklusif, kesadaran kebesamaan dalam mengarungi sejarah, merupakan
modalyang menentukan bagi terujudnya sebuah bangsa yang di bhineka
tunggal ika.menyatu dalamkeragaman, dan beragam dalam kesatuan.Segala
bentuk kesenjangan di dekatkan, segala ke anekaragaman di pandang
sebagaikekayaan bangsa milik bersama. Sikap inilah yang perlu di
kembangkan dalampikir masyarakat untuk menuju indonesia raya merdeka.
D. Contoh Keberagaman dalam Keperawatan
Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada
praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar
belakang budayanya. Asuhan keperawatan ditunjukkan memandirikan
individu sesuai dengan budaya klien.
Proses keperawatan Transkultural Nursing
Model konseptual yang dikembangkan oleh leininger dalam menjelaskan
asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk
matahari terbit (sunrise model). Proses keperawatan inii digunakan oleh
perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah
klien. Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang
budaya klien (Giger and Dafithizar, 1995). Pengkajian dirancang
berdasarkan 7 komponen yang ada pada “sunrise model” yaitu :
a. Faktor teknologi (tecnological faktors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih
atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan
berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi
klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk
mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.

b. Faktor agama dan falsafah hidup (religios and philosophical factors)


Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang
amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motifasi yang
sangat kuat untuk menempatkan kebenaran diatas segalanya, bahkan
diatas kehidupan sendiri. Faktor agama yang hars dikaji oleh perawat
adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien
terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama
yang berdampak positif terhadap kesehatan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji fakor-faktor : nama lengkap,
nama panggilan, umur dan tampat tanggal lahir, jenis kelamin, status,
tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan
klien dengan kepala keluarga.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and live ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan
ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk.
Norma-norma budaya adalah suatu kaidah ia mempunyai sifat
penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang peru dikaji
pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala
keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang
dipantang dalam kondisi sakit, seperti sakit berkaitan dengan aktifitas
sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku ( political and legal
factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala
sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan
keperawatan lintas budaya (andrew and boyle, 1995). Yang perlu dikaji
pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara
pembayaran untuk klien yang dirawat.
f. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat dirumah sakit memanfaatkan sumber-sumber
material yang dimiliki untuk membiayai penyakitnya agar segara
sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya :
pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh
keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya
dari kantor atau patungan antar keluarga.
g. Faktor pendidikan (education factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-
bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatan.
Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: tingkat pendidikan klien,
jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif
mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
Prinsip-prinsip pengkajian budaya:
 Jangan menggunakan asumsi
 Jangan membuat streotip bisa terjadi konflik misalnya: orang
padang pelit, orang jawa halus
 Menerima dan memahami metode komunikasi
 Menghargai perbedaan individual
 Menghargai kebutuhan personal dari setiap individu
 Tidak boleh membeda-bedakan keyakinan klien
 Menyediakan ptivacy terkait kebutuhan pribadi
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respons klien sesuuai latar belakang
kebudayaannya yang dapat dicegah, dubah atau dikurangi melalui
intervensi keperawatan. Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering
ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu: gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan
interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidak
patuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang
diyakini.
3. Perencanaan dan pelaksaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan transkulturl
adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan.
Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan
pelaksaan adalah melaksakan tindakan yang sesuai dengan latar belakang
budaya klien (Giger and Dafithizar, 1995). Ada tiga pedoman yang
ditawarkan dalam keperawatan transkultural (andrew and boyle, 1995)
yaitu: mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien
tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila
budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya
klien bila budaya yang dimiliki klien bertantangan dengan kesehatan.
a. Cultural care preservation/maintenance/mempertahankan budaya
dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan
nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat
meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya
budaya berolahraga setiap pagi.
1) Identivikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang
poses kelahiran dan perawatan bayi
2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinteraksi dengan
klien
3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b. Cultural care accomodation/negatiation / Negosiasi budaya intervensi
dan implementsi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien berdaptasi terhadap budaya tertent yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat
memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai
pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan
sumber protein hewani yang lain.
1. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2. Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3. Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana
kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien
dan standar etik
c. Cultual care repartening/reconstruction/ restrukturisasi budaya klien
dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan.
Perawat berupaya merestrukrisasi gaya hidup klien yang biasanya
merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang
dianut.
1. Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang
diberikan dan melaksanakannya
2. Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok
3. Gunakan pihak ketiga bila perlu
4. Terjemahkan terminologi gejala pasien kedalam bahasa kesehatan
yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua
5. Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan
perawat dan klien harus mencoba memahami budaya masing-
masing melalui proses aktulturasi, yaitu proses mengidentifikasi
persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya
budaya-budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien
makan akan tumbul rasa tidak percaya sehingga hubungan
terapeutik antara perawat dan klien akan terganggu. Pemahaman
budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan
hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan
atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangan bertentangan
dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui
asuhan keperawatan yang ssuai dengan latar belakang buadaya klien.

C. Evaluasi
Jelaskan tentang diversity dalam masyarakat!
BAB XV

Materi 14
Teori Kulture Care Leininger

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali tentang teori kulture care leininger
B. Materi
Teori Kulture Care Leininger

1. Sejarah Teori “Culture Care”


Dr. Madeline Leininger, seorang perawat yang ahli antropologi,
mempunyai andil besar dalam meningkatkan riset dalam perawatan trans-
kultural dan dalam merangsang program-program studi yang erat kaitannya.
Ia adalah pelopor keperawatan transkultural dan seorang pemimpin dalam
mengembangkan keperawatan transkultural serta teori asuhan keperawatan
yang berfokus pada manusia. Leininger juga adalah seorang perawat
professional pertama yang meraih pendidikan doctor dalam ilmu
antropologi social dan budaya. Madeline Leininger lahir di Sutton, Nebraska,
dan memulai karir keperawatannya setelah tamat dari program diploma di
“St. Anthony’s School of Nursing” di Denver.
Pada tahun 1950 ia meraih gelar sarjana dalam ilmu biologi dari
“Benedictine College, Atchison Kansas” dengan peminatan pada studi filosofi
dan humanistik. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut ia bekerja
sebagai instruktur, staf perawatan dan kepela perawatan pada unit medikal
bedah sererta membuka sebuah unit perawatan psikiatri yang baru dimana
ia menjadi seorang direktur pelayanan keperawatan pada St. Joseph’s
Hospital di Omaha. Selama waktu ini ia melanjutkan pendidikan
keperawatannya di ”Creigthton University ” di Omaha. Tahun 1954
Leininger meraih gelar M.S.N. dalam keperawatan psikiatrik dari ” Chatolic
University of America” di Washington, D. C. Ia kemudian bekerja pada
”College of Health” di Univercity of Cincinnati, dimana ia menjadi lulusan
pertama (M. S. N ) pada program spesialis keperawatan psikiatrik anak . Ia
juga memimpin suatu program pendidikan keperawatan psikiatri di
universitas tersebut dan juga sebagai pimpinan dalam pusat terapi
perawatan psikiatri di rumah sakit milik universitas tersebut.
eininger bersama C. Hofling pada tahun 1960 menulis sebuah buku yang
diberi judul ” Basic Psiciatric Nursing Consept” yang dipublikasikan ke dalam
sebelas bahasa dan digunakan secara luas di seluruh dunia. Selama bekerja
pada unit perawatan anak di Cincinnati, Leininger menemukan bahwa
banyak staff yang kurang memahami mengenai faktor-faktor budaya yang
mempengaruhi perilaku anak-anak. Dimana diantara anak-anak ini memiliki
latar belakang kebudayaan yang berbeda. Ia mengobservasi perbedaan-
perbedaan yang terdapat dalam asuhan dan penanganan psikiatri pada
anak-anak tersebut. Terapi psikoanalisa dan terapi strategi lainnya
sepertinya tidak menyentuh anak-anak yang memiliki perbedaan latar
belakang budaya dan kebutuhan. Leininger melihat bahwa para perawat lain
juga tidak menampilkan suatu asuhan yang benar-benar adequat dalam
menolong anak tersebut, dan ia dihadapkan pada berbagai pertanyaan
mengenai perbedaan budaya diantara anak-anak tersebut dan hasil terapi
yang didapatkan. Ia juga menemukan hanya sedikit staff yang memiliki
perhatian dan pengetahuan mengenai faktor-faktor budaya dalam
mendiagnosa dan manangani klien.
konsep keperawatan transkultural, praktek dan prinsip teori. Bukunya
yang berjudul Nursing and anthropology : Two Words to Blend ; yang
merupakan buku pertama dalam keperawatan transkultural, menjadi dasar
untuk pengembangan bidang keperawatan transkultural, dan kebudayaan
yang mendasari perawatan kesehatan. Buku yang berikutnya, ”Transcultural
Nursing : Concepts, theories, research, and practise (1978 )” ,
mengidentifikasi konsep mayor, ide-ide teoritis, praktek dalam keperawatan
transkultural, bukti ini merupakan publikasi definitif pertama dalam praktek
perawatan treanskultural. Dalam tulisannya, dia menunjukkan bahwa
perawatan treanskultural dan anthropologi bersifat saling melengkapi satu
sama lain, menkipun berbeda. Teori dan kerangka konsepnya mengenai
Cultural care diversity and universalitydijelaskan dalam buku ini.
2. Pengertian
“Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya
pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang
perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat
dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan,
dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya
budaya atau keutuhan budayakepada manusia” (Leininger, 2002).
3. Asumsi Dasar
Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi
dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan
tindakankeperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang
dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh.
Perilaku Caring semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam
perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia
itu meninggal.
Human caring secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang
berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human
caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan
polanya bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.
4. Konsep dan Definisi Dalam Teori Leininger
Budaya (Kultur) adalah norma atau aturan tindakan dari anggota
kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir,
bertindak dan mengambil keputusan.
Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih
diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu
tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan.
Cultur care diversity (Perbedaan budaya dalam asuhan
keperawatan)merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan
keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan
yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai
budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap
lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali
lagi (Leininger, 1985).
Cultural care universality (Kesatuan perawatan kultural) mengacu
kepada suatu pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun
pemahaman yang paling dominan, pola-pola, nilai-nilai, gaya hidup atau
simbol-simbol yang dimanifestasikan diantara banyak kebudayaan serta
mereflesikan pemberian bantuan, dukungan, fasilitas atau memperoleh
suatu cara yang memungkinkan untuk menolong orang lain (Terminlogy
universality) tidak digunakan pada suatu cara yang absolut atau suatu
temuan statistik yang signifikan.
b) Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang
menganggap bahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki
oleh orang lain.
c) Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya
yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
d) Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada
mendiskreditkan asal muasal manusia.
e) Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan
metodologi pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk
mengembangkan kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap
individu, menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari lingkungan
dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik diantara
keduanya.
f) Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan,
dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya
kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial
untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
g) Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,
mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada
keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan
kondisi kehidupan manusia.
h) Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui
nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing,
mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau
kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan
bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian
dengan damai.
i) Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga
kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas
budaya orang lain karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat
lebih tinggi daripada kelompok lain.
5. Paradigma keperawatan transkultural
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan
transcultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-
konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan
latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan
yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrewand Boyle,
1995).

C. Evaluasi
Jelaskan tentang teori kulture care leininger!
BAB XVI

Materi 15
Pengkajian budaya

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali tentang pengkajian budaya teori kulture care leininger
B. Materi

Pengkajian Budaya
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang
budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang
berdasarkan 7 komponen yang ada pada "Sunrise Model" yaitu :

1. Faktor teknologi (tecnological factors)


Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau
mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan
berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien
tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
Permasalahan kesehatan saat ini.
2. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat
Realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat
kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas
kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah :
agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap
penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak
positif terhadap kesehatan.

3. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (krinship and social factors)


Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor :
Nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan
hubungan klien dengan kepala keluarga.

4. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh
penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya
adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada
penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan
jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan,
kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi
sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan
diri.

5. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu
yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas
budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah :
peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah
anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang
dirawat.

6. Faktor ekonomi (economical factors)


Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber
material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor
ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien,
sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari
sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan
antar anggota keluarga.

7. Faktor pendidikan (educational factors)

Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam


menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-bukti
ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi
terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu
dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta
kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman
sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
Prinsip-prinsip pengkajian budaya :

- Jangan menggunakan asumsi

- Jangan membuat streotip bisa terjadi konflik misal : orang padang pelit,
orang jawa halus

- Menerima dan memahami metode komunikasi

- Menghargai perbedaan individual

- Menghargai kebutuhan personal dari setiap individu

- Tidak boleh membeda-bedakan keyakinan klien

- Menyediakan privacy terkait kebutuhan pribadi

C. Evaluasi
Jelaskan tentang Pengkajian budaya !
BAB XVII

Materi 16
Aplikasi keperawatan transkultural dalam berbagai
masalah kesehatan pasien

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali tentang aplikasi keperawatan transkultural dalam
berbagai masalah kesehatan pasien

B. Materi
Definisi KeperawatanTranskultural
Pengertian Transkultural bila ditinjau dari makna kata , transkultural
berasal dari kata trans dan culture, trans berarti alur perpindahan, jalan lintas
atau penghubung. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; trans berarti
melintang , melintas , menembus , melalui. Culture berarti budaya . Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia kultur berarti; -kebudayaan , cara pemeliharaan ,
pembudidayaan. - Kepercayaan , nilai – nilai dan pola perilaku yang umum
berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan pada generasi berikutnya ,
sedangkan cultural berarti; sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan. Budaya
sendiri berarti : akal budi , hasil dan adat istiadat. Dan kebudayaan berarti hasil
kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia seperti kepercayaan ,
kesenian dan adat istiadat atau keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakan untuk menjadi pedoman tingkah lakunya. Jadi ,
transkultural dapat diartikan sebagai lintas budaya yang mempunyai efek bahwa
budaya yang satu mempengaruhi budaya yang lain atau juga pertemuan kedua
nilai – nilai budaya yang berbeda melalui proses interaksi sosial.
TransculturalNursing merupakan suatu area yang berkaitan dengan perbedaan
maupun kesamaan nilai– nilai budaya ( nilai budaya yang berbeda , ras , yang
mempengaruhi pada seorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan
kepada klien / pasien ) menurut Leininger ( 1991 ). Leininger beranggapan bahwa
sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam
penerapan asuhan keperawatan kepada klien.
Transkultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan
untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya
kepada manusia (Leininger, 2002).
Perilaku caring adalah bagian dari keperawatan yang membedakan,
mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan. Tindakan caring
adalah tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu
secara utuh. Perilaku ini seharusnya sudah tertanam di dalam diri manusia sejak
lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai individu
tersebut meninggal. Hal ini tetap ikut berkembang dengan seturut jalannya
perkembangan manusia tersebut.
Tujuan Penggunaan KeperawatanTranskultural
Menurut Leniger tujuan penggunaan keperawatan transkultural adalah
dalam pengembangan sains dan ilmu yang humanis sehingga tercipta praktek
keperawatan pada kebudayaan yang spesifik. Kebudayaan yang spesifik adalah
kebudayaan dengan nilai dan norma yang spesifik yang tidak dimiliki oleh
kelompok lain contohnya suku Osing, Tengger dan Dayak. Sedangkan, kebudayaan
yang universal adalah kebudayaan dengan nilai dan norma yang diyakini dan
dilakukan oleh hampir semua kebudayaan seperti budaya olahraga untuk
mempertahankan kesehatan.
Dengan adanya keperawatan transkultural dapat membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya.
Perawat juga dapat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya
lain yang lebih mendukung peningkatan status kesehatan. Misalnya, jika klien
yang sedang hamil mempunyai pantangan untuk makan makanan yang berbau
amis seperti akan, maka klien tersebut dapat mengganti ikan dengan sumber
protein nabati yang lain. Seluruh perencanaan dan implementasi keperawatan
dirancang sesuai latar belakang budaya sehingga budaya dipandang sebagai
rencana hidup yang lebih baik setiap saat. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Konsep Dalam KeperawatanTranskultural

Di dalam buku yang berjudul “Fundamentals of Nursing Concept and


Procedures” yang ditulis oleh Kazier Barabara ( 1983 ) mengatakan bahwa konsep
keperawatan adalah merupakan suatu bagian dari ilmu kesehatan dan seni
merawat yang meliputi pengetahuan. Konsep ini ingin memberikan penegasan
bahwa sifat seorang manusia yang menjadi target pelayanan dalam perawatan
adalah bersifat bio – psycho – social – spiritual . Oleh karenanya , tindakan
perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komperhensif sekaligus holistik.
Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang
nyata sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma , adat
istiadat menjadi acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain . Pola
kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat , selalu diulangi , membuat
manusia terikat dalam proses yang dijalaninya . Keberlangsungan terus – menerus
dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai – nilai yang
mempengaruhi pembentukan karakter , pola pikir , pola interaksi perilaku yang
kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi
keperawatan ( cultural nursing approach ).
Selain itu ada beberapa konsep lagi yang terkandung dalam transkultural nursing ;
a. Budaya
Adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan
dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil
keputusan.
b. Nilai budaya
Adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu
tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
c. Perbedaan budaya
Dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian
asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang
menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk
kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang
mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
d. Etnosentris
Diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain adalah persepsi yang
dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik.
e. Etnis
Berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
f. Ras
Adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan
asal muasal manusia.
g. Etnografi
Adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada penelitian
etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang
tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi
untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal
balik diantara keduanya.
h. Care
Adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk
memenuhi kebutuhan baik actual maupun potensial untuk meningkatkan
kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
i. Caring
Adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan
mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
j. Cultural Care
Berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,kepercayaan
dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau
memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk
mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup
dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
k. Cultural imposition
Berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan
kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya bahwa
ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain.
Paradigma Transkultural Nursing

Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai


cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep
sentral keperawatan (Andrew and Boyle, 1995), yaitu manusia, sehat, lingkungan
dan keperawatan.
1. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan
melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki kecenderungan
untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada
(Geiger and Davidhizar, 1995).
2. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat dan sakit. Kesehatan merupakan suatu
keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk
menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam
aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Andrew
and Boyle, 1995).
3. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai
suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi.
Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik
adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa,
pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang
hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjang tahun.
Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan
sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas.
Di dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan
yang berlaku di lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan
bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu
seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan.
4. Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang
budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan
budaya klien. Strategi yang digunakan dalam melaksanakan asuhan
keperawatan(Leininger, 1991) adalah :
 Strategi I, Perlindungan/mempertahankan budaya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai
dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat
meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya,misalnya budaya
berolah raga setiap pagi.
 Strategi II, Mengakomodasi/negoasiasi budaya.
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan
menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya
klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan
dapat diganti dengan sumber protein hewani.
 Strategi III, Mengubah/mengganti budaya klien
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan
status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang
biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Proses KeperawatanTranskultural
Teori yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan
keperawatan dalam konteks budaya menyatakan bahwa proses keperawatan ini
digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi
terhadap masalah klien (Andrew andBoyle, 1995). Pengelolaan asuhan
keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien. Pengkajian
dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada yaitu :
a. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors).
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat
realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat
kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan diatas
kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat
adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap
penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak
positif terhadap kesehatan.
b. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors). Perawat
pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama
panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe
keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien
dengan kepala keluarga.
c. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai
budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut
budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu
kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya
terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah :posisi dan jabatan yang
dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan,
makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan
dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
d. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors).
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu
yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas
budaya (Andrew andBoyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah :
peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah
anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang
dirawat.
e. Faktor ekonomi (economical factors). Klien yang dirawat di rumah sakit
memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai
sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh
perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan
yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi,
penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
f. Faktor pendidikan (educational factors) tentang pengalaman sakitnya
sehingga tidak terulang kembali. Latar belakang pendidikan klien adalah
pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat
ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya
didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat
belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat
pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar
secara aktif mandiri.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya
yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan.
(Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering
ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu :
1) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur.
2) Gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural.
3) Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai
yang diyakini.
3. Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu
proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu
proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan
tindakan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien (GigerandDavidhizar,
1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural
(Andrew andBoyle, 1995) yaitu :
1) Mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan,
2) Mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan
kesehatan dan
3) Merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan
dengan kesehatan.
(a) Cultural care preservation/maintenance 1) Identifikasi perbedaan
konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan dan
perawatan bayi 2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat
berinterkasi dengan klien 3) Mendiskusikan kesenjangan budaya
yang dimiliki klien dan perawat
(b) Cultural care accomodation/negotiation1) Gunakan bahasa yang
mudah dipahami oleh klien 2) Libatkan keluarga dalam perencanaan
perawatan 3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi
dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis,
pandangan klien dan standar etik.
(c) Cultural care repartening/reconstruction1) Beri kesempatan pada
klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya. 2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat
dirinya dari budaya kelompok 3) Gunakan pihak ketiga bila perlu. 4)
Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan
yang dapat dipahami oleh klien dan keluarga. 5) Berikan informasi
pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan.
Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masing-
masing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka.
Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak
percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan
menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
4. Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau
beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan
budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
Tren dan Isu Transkultural Nursing

Banyak hal dalam budaya Indonesia termasuk dalam cara mereka


mempercayai dan mengobati diri mereka untuk membuat hidup mereka mampu
menangani sakit yang mereka alami, sebagai contoh budaya Jawa, disini budaya
jawa yang sering kami ketahui cara dan adat yang mereka percayai untuk
mengobati diri saat sakit adalah dengan kerokan, kerokan bukan hal yang asing
bagi budaya jawa, lebih dari banyak orang jawa yang masih menggunakan
kerokan untuk mengobati sakit mereka sampai saat ini. Mereka mempercayai adat
dan budaya secara turun temurun. Mereka meyakini bahwa dengan kerokan dapat
mengeluarkan angin yang ada didalam tubuh, serta dapat menghilangkan nyeri
atau sakit badan yang dialami dan dengan hal tersebut dapat membantu
penyembuhan yang mungkin telah dirasakan sebelumnya, hal tersebut banyak
dilakukan oleh suku jawa. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan muncul
dan berada didalam rumah sakit, meski mereka telah mendapatkan penangan dari
tim kesehatan ada saja yang melakukan tradisi tersebut, Telah diketahui akibat
dari kerokan yaitu penyebabkan pori-pori kulit semakin melebar, lalu warna kulit
memerah menujukkan adanya pembuluh darah dibawah permukaan kulit pecah,
sehingga menambah arus darah kepermukaan kulit.
Ketika melakukan komunikasi untuk memberikan informasi tentang akibat
yang terjadi dari kerokan tidak membuat para klien atau pasien tidak berhenti
melakukan tradisi seperti hal tersebut karena itu telah menjadi kebiasaan yang
secara terus menerus dilakukan. Sehingga asuhan keperawat yang mungkin akan
diberikan kepada klien tidak dapat dilakukan karena adanya penolakan yang
terjadi terhadap anggapan akan hal tersebut. Disini kita tidak dapat mengkritik
keyakinan dan praktik budaya kesehatan tradisional yang dilakuakan. Budaya
merupakan factor yang dapat mempengaruhi asuhan keperawatan. Asuhan
keperawatan harus terus dilakukan bagaimana caranya menagani klien tanpa
menyinggung perasaan klien dan mengkritik tradisi yang telah ada yang mungkin
sulit untuk kita tentang dan ubah. Karena tujuan kita bukanlah untuk mengubah
atau mengkritik tradisi tersebut, namun bagaimana perawat mampu melakukan
semua tugasnya dalam memenuhi kebutuhan pasien.

C. Evaluasi
Bagaimana aplikasi keperawatan transkultural dalam berbagai masalah
kesehatan pasien?
BAB XVII

Materi 16
Aplikasi keperawatan transkultural dalam berbagai
masalah kesehatan pasien

D. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali tentang aplikasi keperawatan transkultural dalam
berbagai masalah kesehatan pasien

E. Materi
Definisi KeperawatanTranskultural
Pengertian Transkultural bila ditinjau dari makna kata , transkultural
berasal dari kata trans dan culture, trans berarti alur perpindahan, jalan lintas
atau penghubung. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; trans berarti
melintang , melintas , menembus , melalui. Culture berarti budaya . Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia kultur berarti; -kebudayaan , cara pemeliharaan ,
pembudidayaan. - Kepercayaan , nilai – nilai dan pola perilaku yang umum
berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan pada generasi berikutnya ,
sedangkan cultural berarti; sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan. Budaya
sendiri berarti : akal budi , hasil dan adat istiadat. Dan kebudayaan berarti hasil
kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia seperti kepercayaan ,
kesenian dan adat istiadat atau keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakan untuk menjadi pedoman tingkah lakunya. Jadi ,
transkultural dapat diartikan sebagai lintas budaya yang mempunyai efek bahwa
budaya yang satu mempengaruhi budaya yang lain atau juga pertemuan kedua
nilai – nilai budaya yang berbeda melalui proses interaksi sosial.
TransculturalNursing merupakan suatu area yang berkaitan dengan perbedaan
maupun kesamaan nilai– nilai budaya ( nilai budaya yang berbeda , ras , yang
mempengaruhi pada seorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan
kepada klien / pasien ) menurut Leininger ( 1991 ). Leininger beranggapan bahwa
sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam
penerapan asuhan keperawatan kepada klien.
Transkultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan
untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya
kepada manusia (Leininger, 2002).
Perilaku caring adalah bagian dari keperawatan yang membedakan,
mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan. Tindakan caring
adalah tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu
secara utuh. Perilaku ini seharusnya sudah tertanam di dalam diri manusia sejak
lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai individu
tersebut meninggal. Hal ini tetap ikut berkembang dengan seturut jalannya
perkembangan manusia tersebut.
Tujuan Penggunaan KeperawatanTranskultural
Menurut Leniger tujuan penggunaan keperawatan transkultural adalah
dalam pengembangan sains dan ilmu yang humanis sehingga tercipta praktek
keperawatan pada kebudayaan yang spesifik. Kebudayaan yang spesifik adalah
kebudayaan dengan nilai dan norma yang spesifik yang tidak dimiliki oleh
kelompok lain contohnya suku Osing, Tengger dan Dayak. Sedangkan, kebudayaan
yang universal adalah kebudayaan dengan nilai dan norma yang diyakini dan
dilakukan oleh hampir semua kebudayaan seperti budaya olahraga untuk
mempertahankan kesehatan.
Dengan adanya keperawatan transkultural dapat membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya.
Perawat juga dapat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya
lain yang lebih mendukung peningkatan status kesehatan. Misalnya, jika klien
yang sedang hamil mempunyai pantangan untuk makan makanan yang berbau
amis seperti akan, maka klien tersebut dapat mengganti ikan dengan sumber
protein nabati yang lain. Seluruh perencanaan dan implementasi keperawatan
dirancang sesuai latar belakang budaya sehingga budaya dipandang sebagai
rencana hidup yang lebih baik setiap saat. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Konsep Dalam KeperawatanTranskultural

Di dalam buku yang berjudul “Fundamentals of Nursing Concept and


Procedures” yang ditulis oleh Kazier Barabara ( 1983 ) mengatakan bahwa konsep
keperawatan adalah merupakan suatu bagian dari ilmu kesehatan dan seni
merawat yang meliputi pengetahuan. Konsep ini ingin memberikan penegasan
bahwa sifat seorang manusia yang menjadi target pelayanan dalam perawatan
adalah bersifat bio – psycho – social – spiritual . Oleh karenanya , tindakan
perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komperhensif sekaligus holistik.
Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang
nyata sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma , adat
istiadat menjadi acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain . Pola
kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat , selalu diulangi , membuat
manusia terikat dalam proses yang dijalaninya . Keberlangsungan terus – menerus
dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai – nilai yang
mempengaruhi pembentukan karakter , pola pikir , pola interaksi perilaku yang
kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi
keperawatan ( cultural nursing approach ).
Selain itu ada beberapa konsep lagi yang terkandung dalam transkultural nursing ;
l. Budaya
Adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan
dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil
keputusan.
m. Nilai budaya
Adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu
tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
n. Perbedaan budaya
Dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian
asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang
menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk
kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang
mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
o. Etnosentris
Diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain adalah persepsi yang
dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik.
p. Etnis
Berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
q. Ras
Adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan
asal muasal manusia.
r. Etnografi
Adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada penelitian
etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang
tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi
untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal
balik diantara keduanya.
s. Care
Adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk
memenuhi kebutuhan baik actual maupun potensial untuk meningkatkan
kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
t. Caring
Adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan
mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
u. Cultural Care
Berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,kepercayaan
dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau
memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk
mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup
dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
v. Cultural imposition
Berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan
kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya bahwa
ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain.
Paradigma Transkultural Nursing

Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai


cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep
sentral keperawatan (Andrew and Boyle, 1995), yaitu manusia, sehat, lingkungan
dan keperawatan.
5. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan
melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki kecenderungan
untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada
(Geiger and Davidhizar, 1995).
6. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat dan sakit. Kesehatan merupakan suatu
keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk
menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam
aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Andrew
and Boyle, 1995).
7. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai
suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi.
Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik
adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa,
pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang
hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjang tahun.
Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan
sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas.
Di dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan
yang berlaku di lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan
bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu
seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan.
8. Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang
budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan
budaya klien. Strategi yang digunakan dalam melaksanakan asuhan
keperawatan(Leininger, 1991) adalah :
 Strategi I, Perlindungan/mempertahankan budaya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai
dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat
meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya,misalnya budaya
berolah raga setiap pagi.
 Strategi II, Mengakomodasi/negoasiasi budaya.
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan
menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya
klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan
dapat diganti dengan sumber protein hewani.
 Strategi III, Mengubah/mengganti budaya klien
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan
status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang
biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Proses KeperawatanTranskultural
Teori yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan
keperawatan dalam konteks budaya menyatakan bahwa proses keperawatan ini
digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi
terhadap masalah klien (Andrew andBoyle, 1995). Pengelolaan asuhan
keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
5. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien. Pengkajian
dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada yaitu :
g. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors).
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat
realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat
kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan diatas
kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat
adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap
penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak
positif terhadap kesehatan.
h. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors). Perawat
pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama
panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe
keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien
dengan kepala keluarga.
i. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai
budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut
budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu
kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya
terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah :posisi dan jabatan yang
dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan,
makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan
dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
j. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors).
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu
yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas
budaya (Andrew andBoyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah :
peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah
anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang
dirawat.
k. Faktor ekonomi (economical factors). Klien yang dirawat di rumah sakit
memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai
sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh
perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan
yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi,
penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
l. Faktor pendidikan (educational factors) tentang pengalaman sakitnya
sehingga tidak terulang kembali. Latar belakang pendidikan klien adalah
pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat
ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya
didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat
belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat
pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar
secara aktif mandiri.
6. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya
yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan.
(Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering
ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu :
4) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur.
5) Gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural.
6) Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai
yang diyakini.
7. Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu
proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu
proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan
tindakan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien (GigerandDavidhizar,
1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural
(Andrew andBoyle, 1995) yaitu :
4) Mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan,
5) Mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan
kesehatan dan
6) Merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan
dengan kesehatan.
(d) Cultural care preservation/maintenance 1) Identifikasi perbedaan
konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan dan
perawatan bayi 2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat
berinterkasi dengan klien 3) Mendiskusikan kesenjangan budaya
yang dimiliki klien dan perawat
(e) Cultural care accomodation/negotiation1) Gunakan bahasa yang
mudah dipahami oleh klien 2) Libatkan keluarga dalam perencanaan
perawatan 3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi
dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis,
pandangan klien dan standar etik.
(f) Cultural care repartening/reconstruction1) Beri kesempatan pada
klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya. 2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat
dirinya dari budaya kelompok 3) Gunakan pihak ketiga bila perlu. 4)
Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan
yang dapat dipahami oleh klien dan keluarga. 5) Berikan informasi
pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan.
Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masing-
masing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka.
Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak
percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan
menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
8. Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau
beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan
budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
Tren dan Isu Transkultural Nursing

Banyak hal dalam budaya Indonesia termasuk dalam cara mereka


mempercayai dan mengobati diri mereka untuk membuat hidup mereka mampu
menangani sakit yang mereka alami, sebagai contoh budaya Jawa, disini budaya
jawa yang sering kami ketahui cara dan adat yang mereka percayai untuk
mengobati diri saat sakit adalah dengan kerokan, kerokan bukan hal yang asing
bagi budaya jawa, lebih dari banyak orang jawa yang masih menggunakan
kerokan untuk mengobati sakit mereka sampai saat ini. Mereka mempercayai adat
dan budaya secara turun temurun. Mereka meyakini bahwa dengan kerokan dapat
mengeluarkan angin yang ada didalam tubuh, serta dapat menghilangkan nyeri
atau sakit badan yang dialami dan dengan hal tersebut dapat membantu
penyembuhan yang mungkin telah dirasakan sebelumnya, hal tersebut banyak
dilakukan oleh suku jawa. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan muncul
dan berada didalam rumah sakit, meski mereka telah mendapatkan penangan dari
tim kesehatan ada saja yang melakukan tradisi tersebut, Telah diketahui akibat
dari kerokan yaitu penyebabkan pori-pori kulit semakin melebar, lalu warna kulit
memerah menujukkan adanya pembuluh darah dibawah permukaan kulit pecah,
sehingga menambah arus darah kepermukaan kulit.
Ketika melakukan komunikasi untuk memberikan informasi tentang akibat
yang terjadi dari kerokan tidak membuat para klien atau pasien tidak berhenti
melakukan tradisi seperti hal tersebut karena itu telah menjadi kebiasaan yang
secara terus menerus dilakukan. Sehingga asuhan keperawat yang mungkin akan
diberikan kepada klien tidak dapat dilakukan karena adanya penolakan yang
terjadi terhadap anggapan akan hal tersebut. Disini kita tidak dapat mengkritik
keyakinan dan praktik budaya kesehatan tradisional yang dilakuakan. Budaya
merupakan factor yang dapat mempengaruhi asuhan keperawatan. Asuhan
keperawatan harus terus dilakukan bagaimana caranya menagani klien tanpa
menyinggung perasaan klien dan mengkritik tradisi yang telah ada yang mungkin
sulit untuk kita tentang dan ubah. Karena tujuan kita bukanlah untuk mengubah
atau mengkritik tradisi tersebut, namun bagaimana perawat mampu melakukan
semua tugasnya dalam memenuhi kebutuhan pasien.

F. Evaluasi
Bagaimana aplikasi keperawatan transkultural dalam berbagai masalah
kesehatan pasien?
REFERENSI

Andrew,MM & Boyle, J.S (2008). Transcultural Concepts in nersing care. 5th ed.
Lippincott, USA

Foster, George M. and B.G Anderson (2006). Antropologi kesehatan. Terjemahan


Prianti Pakan Suryadarma & Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI Press

Leininger, MM & McFarland, MR. (2006). Culture Care Diversity and Universality:
A Worldwide Nursing Theory. 2th ed. Jones & Bartlett Publisher.

Sagar, P.(2012). Transcultural Nursing Theory and models: Aplication in nersing


education, practice and administration

Wagiyo, M.S., 2004. Cet.4. Teori Sosiologi Modern. Pusat penerbitan Universitas
Terbuka. Jakarta.

Soeryono Soekamto, 2012, Sosiologi sebagai Pengantar

Anda mungkin juga menyukai