Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MASALAH GENDER DALAM PANDANGAN AGAMA KRISTEN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama


Dosen Pengampu: Ridhwan MS, MM

Kelas 2B
Kelompok 4
1. Amelia Azahra P3.73.24.2.21.045
2. Amelia Inayati Hassari P3.73.24.2.21.046
3. Avrilia suselvi P3.73.24.2.21.051
4. Mayang Puspitasari P3.73.24.2.21.065
5. Nuryuliana Oktaviani P3.73.24.2.21.069
6. Sadzkia Rahmadhani P3.73.24.2.21.076
7. Sopia Theressa P3.73.24.2.21.082

PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN


POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Agama
dengan Makalah yang berjudul “Masalah Gender Dalam Pandangan Agama Kristen” Kemudian
kami sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah
ini, yaitu anggota kelompok penyusun makalah ini.

Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan, untuk itu kami sangat
mengharapkan masukan dan kritik dari pembaca sekalian agar pada akhirnya makalah ini dapat
menjadi acuan pembaca yang baik. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca. Demikian yang dapat kami sampaikan, jika ada kalimat yang
kurang berkenan di hati pembaca sekalian, kami mohon maaf dan kami sampaikan terimakasih atas
kritik dan saran pembaca.

Bekasi, 23 Agustus 2022

(Penyusun)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................................. iii
BAB I ............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................................. 3
1.3 Tujuan .................................................................................................................................... 3
BAB II ............................................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN .............................................................................................................................. 4
A. GENDER BERDASARKAN PANDANGAN UMUM ....................................................... 4
B. GENDER BERDASARKAN SIMONE DE BEAUVIOR ................................................... 4
a) Perbedaan Gender dengan Jenis Kelamin (Sex) .............................................................. 5
b) Peran Gender di Lingkungan Masyarakat........................................................................ 6
C. GENDER BERDASARKAN PANDANGAN UMAT KRISTEN ...................................... 7
a) Perspektif Alkitab tentang Kesetaraan Gender ............................................................... 9
b) Implikasinya bagi Pendidikan Agama Kristen .............................................................. 10
c) Implikasi Bagi Kehidupan Berkeluarga ........................................................................ 10
d) Implikasi Bagi Lingkungan Gereja ............................................................................... 12
BAB III .......................................................................................................................................... 13
PENUTUP ..................................................................................................................................... 13
I. Kesimpulan ............................................................................................................................ 13
II. Saran ..................................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. echols dan
Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak
antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women
Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya
membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal
dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan dan perkasa.

Dalam kitab kejadian(1 ayat 27-28) maka Allah Menciptakan manusia itu menurut
gambarNya, Menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakannya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah Berfirman kepada mereka :”
Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di
bumi.

Di dalam Alkitab pada Kejadian 1:27 “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-
Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
mereka“, di sini berarti bahwa Allah menciptakan manusia baik perempuan dan laki-laki
dengan derajat yang sama dan menurut gambar Allah, di samping itu juga menekankan bahwa
manusia itu sama hakekat dengan Sang Pencipta.

Hal ini berarti bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makluk yang mulia, kudus dan
berakal budi, sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan Allah, dan layak untuk menerima
mandat dari Allah untuk menjadi pemimpin dari segala ciptaan Allah. Dari ungkapan

1
“Segambar” dengan Allah ini yang berarti dimiliki tidak hanya laki-laki saja akan tetapi juga
perempuan, dan keduanya mempunyai status yang sama. Oleh karena itu tidak dibenarkan
adanya diskriminasi atau dominasi dalam bentuk apapun hanya dikarenakan perbedaan jenis
kelamin.

Jika demikian mengapa muncul diskriminasi atau dominasi antara perempuan dan laki-laki?
Kita lihat di Alkitab yaitu pada masa hidup Yesus, diskriminasi dan dominasi laki-laki atas
perempuan masih tetap berlangsung. Ketika Yesus mulai mengangkat tugas-Nya, Ia bersikap
menentang diskriminasi dan dominasi itu. Suatu ketika pemimpin-pemimpin Yahudi
menangkap seorang perempuan yang kedapatan berzinah lalu dibawa kepada Yesus. Mereka
minta supaya perempuan ini dihukum rajam sesuai aturan Yahudi. Tetapi Yesus tidak peduli
terhadap permintaan mereka. Pasalnya, mereka menangkap perempuan itu tapi tidak
menangkap laki-laki yang tidur dengan dia. Yesus berkata kepada mereka: “Barangsiapa yang
tidak berdosa hendaknya ia yang pertama kali merajam perempuan ini“. Tidak ada yang berani
melakukannya. Akhirnya Yesus menyuruh perempuan itu pulang dengan nasihat supaya tidak
berbuat dosa lagi (Yoh 8:2-11).

Dalam kekristenan ditunjukkan tentang identitas Allah sebagai yang maskulin dengan sebutan
“Bapa”. Sebagai agama yang berakar pada keYahudian, metafora ini tidak bertentangan
dengan konsep Ilahi keYahudiaan yaitu YHWH esa yang muncul sebagai pemenang dalam
pertempuran kosmik melawan dewa-dewi asing milik bangsa-bangsa Mediterania. Dimensi
keperkasaan Allah tidak mungkin dapat diakomodasi oleh feminitas karena perempuan
dianggap berfisik lemah. Oleh karena itu, maskulinitas dianggap lebih dekat dengan konsep
ini ketimbang feminitas. Dalam banyak diskursus sudah mulai digulirkan identitas Allah
sebagai “Ibu”. Dalam tradisi Yudeo-Kristen mengenai penciptaaan, Allah digambarkan
seperti seniman andal yang menciptakan segalanya dengan mengagumkan. Manusia
dipandang sebagai mahakarya Ilahi yang sempurna. Allah digambarkan sebagai ibu yang
mengandung alam semesta di dalam rahimNya. Ia yang menjaga kandungan, melahirkan, dan
menyusui “anak- anak”.

Gambaran ini memperlihatkan ketergantungan internal ciptaan kepada Sang Ibu karena segala
sesuatu berada di dalamNya.Allah sebagai Ibu tidak hanya berhenti pada tahap melahirkan

2
alam semesta, tetapi juga melakukan tahap selanjutnya yaitu memelihara. Layaknya orangtua
yang baik, Ia memenuhi semua kebutuhan anak-anak, khususnya makanan. Keingina Allah
untuk menjaga dan melanjutkan kehidupan ciptaanNya bukan karena didorong oleh sikap
altruisticsemata, melainkan kasih tak berbatas. Perasaan tersebut memungkinkan Allah
bertindak inklusif dengan memberi makan seluruh ciptaan, termasuk mereka yang lemah dan
rapuh. Dengan kata lain, kasih ilahi yang memelihara itu memuat nilai keadilan bagi seluruh
ciptaan. Inkarnasi: Allah menjadi Manusia dalam rupa Laki-laki. Salah satu sorotan dalam
kekristenan adalah bahwa Allah yang menjadi manusia dengan mengambil rupa laki-laki
yakni manusia Yesus. Perlukah identitas inkarnasi ini diubah?. Dalam argumentasinya
dikatakan bahwa sesungguhnya identitas ini tidak perlu diubah karena di dalam diri Yesus
sesungguhnya tidak ditemukan karakter dominasi maskulin. Sebaliknya Yesus mendengarkan
belas kasihan dan merintis kepemimpinan yang melayani. Bahkan kematianNya di kayu salib
menunjukkan pengosongan diri dari kekuasaan patriarkah demi menegakkan kemanusiaan
baru. Dalam surat Galatia, Paulus mengajarkan umat tentang baptisan yang mempersatukan
setiap orang berbeda identitas di dalam Kristus.
Umat sendiri telah diidentifikasi secara baru.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana masalah gender dalam pandangan umum, simone de beauver dan menurut
pandangan umat Kristen?
2. Apa perbedaan gender dan sex?
3. Bagaimana peran gender dalam lingkungan masyarakat?
4. Bagaimana perspektif alkitab tentang kesetaraan gender?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami kesetaraan gender dalam agama kristen.
Berbicara tentang kesetaraan gender, rasanya tidak tepat kalau tanpa menyinggung tentang
laki-laki, hal ini dikarenakan perempuanlah yang sering menjadi korban atau mengalami
kekerasan baik dalam rumah tangga, lingkungan budaya maupun dalam lingkungan organisasi
dan masyarakat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. GENDER BERDASARKAN PANDANGAN UMUM


Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan, maka dari itu gender berkaitan dengan
proses bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak (atau laku sejati)
sesuai dengan tata nilai yang terstruktur dalam masyarakat. Gender merupakan pembedaan
peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, perlu
dipahami bahwa di dalam kehidupan ini ada wilayah nature dan wilayah kulture. Kedua istilah
tersebut merupakan derivasi dari bahasa Inggris yang sekarang banyak dipakai masyarakat
Indonesia. Mengutip dari buku Psikologi Keluarga Islam oleh Dra. Hj. Mufidah bahwa Lips
mengartikan gender sebagai cultur expectation for women and men atau harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Secara umum tidak bisa dikatakan bahwa gender
itu tidak berlaku universal (umum). Artinya setiap masyarakat, pada waktu tertentu memiliki
sistem kebudayaan (culture system) tertentu yang berbeda dengan masyarakat lain dan waktu
yang lain. Sistem kebudayaan ini mencakup eleman deskriptif dan preskriptif. Pada umumnya
label maskulin dilekatkan pada laki-laki yang dipandang sebagai yang lebih kuat, lebih aktif
dan ditandai oleh kebutuhan yang besar akan pencapaian dominasi, otonami agresi.
Sebaliknya, label feminin dilekatkan pada perempuan yang dipandang sebagai lebih lemah,
kurang aktif dan lebih menaruh perhatian kepada keinginan untuk mengasuh dan mengalah.

B. GENDER BERDASARKAN SIMONE DE BEAUVIOR


Simone de Beauvior adalah seorang penulis Prancis yang lahir di Paris tahun 1908 dan
meninggal tahun 1986 di kota yang sama, adalah seorang Feminis yang cukup berpengaruh
setelah masa perang dunia dalam pemikirannya tentang hubungan jenis kelamin yang ditulis
dalam bukunya “Jenis Kelamin Lain. Adat dan Sexualitas Perempuan” (terjemahan dari
bahasa Prancis ke dalam bahasa Jerman “Das andere Gechlecht. Sitte und Sexus der Frau”
yang pertama kali terbit di Jerman tahun 1951). Dari judul bukunya nampak pemahaman
Simone bahwa jenis kelamin lain itu adalah Subyek, dia adalah absolut, dia adalah Yang Lain.

4
Buku ini menjadi inspirasi bagi para feminis dan gerakan perempuan di seluruh dunia
melawan Laki- laki.

Budaya patriarkat memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi


negatif terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan
dilekati dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan
adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri.Perempuan diciutkan semata dalam fungsi
biologisnya saja. Dengan cara demikian, tubuh bagi kaum perempuan tak lagi dapat menjadi
instrumen untuk melakukan transendensi sehingga perempuan tak dapat memperluas dimensi
subjektivitasnya kepada dunia dan lingkungan di sekitarnya. Tubuh yang sudah dilekati
nilainilaii patriarkat ini kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta diinternalisasikan
melalui mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial: keluarga, sekolah, masyarakat,
bahkan mungkin juga negara. Dalam kerangka penjelasan seperti inilah maka perempuan
kemudian diposisikan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex) dalam struktur masyarakat.
Akibatnya, perempuan tak dapat mengolah kebebasan dan identitas kediriannya dalam
kegiatankegiatan yang positif, konstruktif, dan aktual. Dalam situasi yang demikian ini, pola
relasi kaum laki-laki dan perempuan menjadi tak ramah lagi. Kaum laki-laki tak menghendaki
adanya ketegangan relasi subjek-objek, sebagaimana dijelaskan oleh filosof-filosof
eksistensial, dengan menyangkal subjektivitas perempuan dan menjadikannya sebagai
pengada lain yang absolut. Pada titik inilah pemikiran Beauvoir tentang etika ambiguitas
menjadi penting. Dengan etika ambiguitas, Beauvoir menolak sikap yang ingin mengelak dari
ketegangan relasi tersebut. Menurut Beauvoir, ketegangan antara “kebutuhan akan orang lain”
dan “kekhawatiran dikuasai orang lain” (diobjekkan) merupakan situasi yang harus diterima
apa adanya dan ditransendensikan ke dalam situasi yang lebih proporsional dan manusiawi.

a) Perbedaan Gender dengan Jenis Kelamin (Sex)


Gender berasal dari bahasa Inggris, secara etimologi yang artinya jenis kelamin. Namun,
dalam arti yang sesungguhnya pengertian gender berbeda dengan jenis kelamin (sex)
secara biologis. Gender menurut terminologi adalah suatu konsep kultural/budaya yang
berusaha untuk membuat perbedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di kehidupan masyarakat. Oleh karena

5
itu, gender dapat definisikan sebagai sebuah harapan masyarakat terhadap laki-laki dan
perempuan dalam menentukan karakteristiknya (Rokhmansyah, 2016). Perbedaan gender
dan jenis kelamin, yaitu: gender merupakan identitas yang didapat dalam proses
bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat. Konsep gender membedakan laki-laki dan
perempuan secara kultural/budaya, di mana laki-laki dianggap rasional, kuat, kekar, dan
pemberani, sementara perempuan emosional, cantik, lemah-lemut dan keibuan. Sifat-sifat
yang diberikan tersebut tidak permanen, bisa berbeda dan dapat dipertukarkan antara satu
sama lain. Sedangkan jenis kelamin merupakan identitas biologis yang bersifat alamiah
yang merupakan pemberian dari Tuhan

b) Peran Gender di Lingkungan Masyarakat


Peran gender dapat terbentuk melalui berbagai sistem nilai-nilai adat/budaya, pendidikan,
agama,politik, ekonomi, dan sebagainya. Peran gender bisa berubah dari waktu ke waktu,
situasi, kondisi, dan tempat yang berbeda (De Vries, 2006). Pada umumnya, ada 2 aliran
yang tersebar dimasyarakat luas tentang bagaimana cara memahami peran gender yaitu,
aliran nature dan nurture.

Aliran nature, dimana melihat perbedaan peran gender secara biologis. Misal, laki-laki
kuat, kekar/berotot, mempunyai penis, dan sebagainya dan perempuan mempunyai tubuh
yang lebih lemah, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Untuk itu, peran laki-laki dan
perempuan tidak dapat saling dipertukarkan. Sedangkan aliran nurture berpendapat, peran
gender itu dikonstruksi oleh masyarakat sosial dan dapat saling dipertukarkan oleh
keduanya, seperti mencari nafkah, menjadi pemimpin, menyelesaikan urusan domestik,
urusan publik, dan sebagainya (Remiswal, 2013). Jadi, dengan adanya perbedaan
pemahaman yang dimiliki masyarakat tentang gender tesebut, akan membedakan
bagaimana perlakuan masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan dalam menentukan
peran dan fungsinya. Selanjutnya, di dalam kebudayaan patriarkat, masyarakat
memposisikan kedudukan lakilaki lebih tinggi daripada perempuan. Dengan demikian,
laki-laki layak dan harus berada di ruang publik. Kegiatan yang diberikan pada laki-laki di
ruang publik berisikan aktivitas seperti keterlibatan di organisasi, struktural jabatan yang

6
berkaitan dengan fungsinya sebagai atasan, bawahan, atau anggota kelompok, menjadi
pemimpin, dan sebagainya

C. GENDER BERDASARKAN PANDANGAN UMAT KRISTEN


Di dalam alkitab pada Kejadian 1:27 "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambarNya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-
Nya mereka" disini berarti bahwa Allah menciptakan manusia baik perempuan dan laki-laki
dengan derajat yang sama dan menurut gambar Allah, disamping itu juga menekankan bahwa
manusia itu sama hakekat dengan Sang Pencipta. Hal tersebut berarti bahwa Allah
menciptakan manusia sebagai makluk yang mulia, kudus dan berakal budi, sehingga manusia
bisa berkomunikasi dengan Allah, dan layak untuk menerima mandat dari Allah untuk
menjadi pemimpin dari segala ciptaan Allah. Dari ungkapan "segambar" dengan Allah ini
yang berarti dimiliki tidak hanya lakilaki saja akan tetapi juga perempuan, dan keduanya
mempunyai status yang sama. Oleh karena itu tidak dibenarkanadanya diskriminasi atau
dominasi dalam bentuk apapun hanya dikarenakan perbedaan jenis kelamin

Jika demikian mengapa muncul diskriminasi atau dominasi antara perempuan dan laki-laki?
Alkitab mencatat bahwa hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempun itu terjadi
setelah manusia memakan buah yang dilarang oleh Allah (Kej. 3:12dst). Adam
mempersalahkan Hawa sebagai pembawa dosa, sedangkan Hawa mempersalahkan ular
sebagai penggoda. Tetapi akhirnya Allah menghukum Adam. Adam dihukum bukan hanya
karena Adam ikut-ikutan makan buah yang Allah larang, tetapi juga karena ketika Hawa
berdialog dengan ular sampai memetik buah, Adam ada bersama Hawa. Adam hadir di sana
tetapi ia bungkam. Dengan kata lain, perbuatan Hawa sebenarnya mendapat restu dari Adam.
Karena itu kesalahan ada pada kedua pihak. Itu berarti bahwa Adam dan kaum laki-laki tidak
bisa menghakimi Hawa dan kaumnya sebagai pembawa dosa. Dalam perkembangan
selanjutnya peran serta perempuan selalu dibatasi, sehingga hal ini yang menciptakan
dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dalam berbagai peran, perempuan selalu dibatasi.
Kita lihat di Alkitab yaitu pada masa hidup Yesus, diskriminasi dan dominasi laki-laki atas
perempuan masih tetap berlangsung. Ketika Yesus mulai mengangkat tugas-Nya, Ia bersikap

7
menentang diskriminasi dan dominasi itu. Suatu ketika pemimpinpemimpin agama Yahudi
menangkap seorang perempuan yang kedapatanberzinah lalu dibawa kepada Yesus. Mereka
minta supaya perempuan ini dihukum rajam sesuai aturan Yahudi. Tetapi
Yesus tidak peduli terhadap permintaan mereka. Pasalnya, mereka menangkap perempuan itu
tapi tidak menangkap laki-laki yang tidur dengan dia. Yesus berkata kepada mereka:
"Barangsiapa yang tidak berdosa hendaknya ia yang pertama kali merajam perempuan ini".
Tidak ada yang berani melakukannya. Akhirnya Yesus menyuruh perempuan itu pulang
dengan nasihat supaya tidak berbuat dosa lagi (Yoh 8:2-11).

Dalam kekristenan ditunjukkan tentang identitas Allah sebagai yang maskulin dengan sebutan
“Bapa”. Sebagai agama yang berakar pada keYahudian, metafora ini tidak bertentangan
dengan konsep Ilahi keYahudiaan yaitu YHWH esa yang muncul sebagai pemenang dalam
pertempuran kosmik melawan dewa-dewi asing milik bangsa-bangsa Mediterania. Dimensi
keperkasaan Allah tidak mungkin dapat diakomodasi oleh feminitas karena perempuan
dianggap berfisik lemah. Oleh karena itu, maskulinitas dianggap lebih dekat dengan konsep
ini ketimbang feminitas. Dalam banyak diskursus sudah mulai digulirkan identitas Allah
sebagai “Ibu”. Dalam tradisi Yudeo-Kristen mengenai penciptaaan, Allah digambarkan
seperti seniman andal yang menciptakan segalanya dengan mengagumkan. Manusia
dipandang sebagai mahakarya Ilahi yang sempurna. Allah digambarkan sebagai ibu yang
mengandung alam semesta di dalam rahimNya. Ia yang menjaga kandungan, melahirkan, dan
menyusui “anak- anak”.

Gambaran ini memperlihatkan ketergantungan internal ciptaan kepada Sang Ibu karena segala
sesuatu berada di dalamNya.Allah sebagai Ibu tidak hanya berhenti pada tahap melahirkan
alam semesta, tetapi juga melakukan tahap selanjutnya yaitu memelihara. Layaknya orangtua
yang baik, Ia memenuhi semua kebutuhan anak-anak, khususnya makanan. Keingina Allah
untuk menjaga dan melanjutkan kehidupan ciptaanNya bukan karena didorong oleh sikap
altruisticsemata, melainkan kasih tak berbatas. Perasaan tersebut memungkinkan Allah
bertindak inklusif dengan memberi makan seluruh ciptaan, termasuk mereka yang lemah dan
rapuh. Dengan kata lain, kasih ilahi yang memelihara itu memuat nilai keadilan bagi seluruh
ciptaan. Inkarnasi: Allah menjadi Manusia dalam rupa Laki-laki. Salah satu sorotan dalam

8
kekristenan adalah bahwa Allah yang menjadi manusia dengan mengambil rupa laki-laki
yakni manusia Yesus. Perlukah identitas inkarnasi ini diubah?. Dalam argumentasinya
dikatakan bahwa sesungguhnya identitas ini tidak perlu diubah karena di dalam diri Yesus
sesungguhnya tidak ditemukan karakter dominasi maskulin. Sebaliknya Yesus mendengarkan
belas kasihan dan merintis kepemimpinan yang melayani. Bahkan kematianNya di kayu salib
menunjukkan pengosongan diri dari kekuasaan patriarkah demi menegakkan kemanusiaan
baru. Dalam surat Galatia, Paulus mengajarkan umat tentang baptisan yang mempersatukan
setiap orang berbeda identitas di dalam Kristus. Umat sendiri telah diidentifikasi secara baru

a) Perspektif Alkitab tentang Kesetaraan Gender


Bila gender ditafsirkan menggunakan Alkitab Perjanjian Lama (PL) dengan melihat
siapa manusia yang lebih dulu diciptakan oleh Allah, maka itu adalah laki-laki (Adam),
kemudian Allah menciptakan perempuan (Hawa) untuk menjadi penolong laki-laki.
Dengan demikian, posisi laki-laki dinomorsatukan dan perempuan diperbantukan sebagai
nomor dua. Inilah tafsiran patriarkhal yang berabad-abad sudah lama menentukan paham
Kekristenan (Barth & Barth, 2017). Jones (2012) menjelaskan, berdasarkan fakta di dalam
Alkitab laki-laki adalah manusia pertama yang diciptakan, setelah itu Allah menciptakan
perempuan dari tulang rusuk laki-laki untuk menjadi penolong laki-laki. Walaupun
demikian, maksud Allah menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, bukan
berarti kedudukan perempuan lebih tinggi atau pun lebih rendah. Di dalam Kejadian 2:18
menjelaskan, Allah menciptakan perempuan sebagai penolong laki-laki yang
sepadan,artinya sepadan bahwa laki-laki dan perempuan sejajar dari segi penciptaan Allah.
Jadi,perempuan diciptakan Allah untuk laki-laki bukan sebagai budaknya, melainkan
sebagai permaisuri yang sepadan (dalam bahasa Ibrani kenegdo) yang menunjukkan
kepada kesesuaian dan kesamaan. Di dalam Kejadian 1:26-28 dapat dilihat bahwa, Allah
menciptakan manusia, yakni laki-laki dan perempuan secara sejajar. Allah memberkati
laki-laki dan perempuan serta memberikan hak dan peran yang sama untuk bertanggung
jawab mengurus segala ciptaan-Nya. Christoph Barth dan Marie-Claire Barth mengatakan,
Allah menciptakan manusia (bentuk tunggal), kemudian membuat mereka (bentuk
jamak). Dimana laki-laki disebut dengan kata sifat maskulin dan perempuan dengan
kata sifat feminim. Hal ini menunjukkan bahwa, tidak ada manusia lain yang diciptakan

9
Allah, selain dari jenis maskulin dan feminim. Baik maskulin dan feminim, keduanya
sama-sama merupakan manusia yang mencerminkan gambar Allah serta keduanya juga
diberkati dan diberikan kuasa yang sama oleh Allah di dunia ini (Barth & Barth, 2017).
Jadi, walaupun laki-laki dan perempuan diciptakan Allah dengan jenis yang berbeda
secara biologis dan memiliki karakteristiknya masing-masing, namun Allah tidak
membuat perlakuan yang berbeda terhadap keduanya, melainkan memberikan tugas dan
tanggungjawab yang setara/seimbang, serta memberkati kedua ciptaannya tersebut
Kejadian pasal 37-45

Seorang laki-laki yang bernama Yusuf. Dalam kisah tersebut menceritakan, Yusuf
mendapat perlakukan yang tidak baik dari saudara-saudaranya. Walaupun demikian,
Yusuf diberikan Allah karakteristik yang lemah lembut, penyabar, perhatian, penyayang,
dan mudah memaafkan terhadap perlakuan saudara-saudaranya. Karakteristik tersebut
seharusnya dimiliki oleh kaum perempuan, namun Yusuf juga memilikinya meskipun dia
laki-laki.

b) Implikasinya bagi Pendidikan Agama Kristen


Pendidikan agama Kristen (PAK) merupakan suatu pelayanan dalam bidang
pendidikan yang memberikan pondasi pengajaran iman Kristen bagi peserta didik
melalui keluarga, gereja, dan sekolah (Nainggolan & Zega, 2021). Seorang pendidik PAK
haruslah menjadikan dasar utama dalam setiap pengajarannya berdasarkan pengetahuan
Alkitab yang baik dan benar, khususnya dalam mengajarkan kesetaraan gender. Murfi
(2014) mengatakan, pendidikan agama tentang kesetaraan gender bertujuan untuk
memberikan perlakuan yang adil antara perempuan dan laki-laki dalam menentukan
perannya, sehingga laki-laki dan perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama
untuk memperoleh tugas, tanggung jawab, fungsi dan haknya dalam masyarakat. Oleh
karena itu, peran PAK dalam membangun kesetaraan gender sangatlah penting, baik dalam
kehidupan berkeluarga, lingkungan pendidikan (sekolah), maupun dalam lingkungan
gereja.

c) Implikasi Bagi Kehidupan Berkeluarga

10
Dalam membangun kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga, suami dan istri
harus saling bekerjasama dan tolong-menolong membangun kehidupan keluarga agar
menjadi lebih baik dari sisi keharmonisan keluarga, ekonomi keluarga, serta
pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak. Adapun beberapa cara dalam
membangun kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga, antara lain:

Pertama, dalam mengajarkan PAK keluarga tentang kesetaraan gender, orang tua perlu
memiliki pemahaman yang baik dalam me-mahami Alkitab, di mana para orang tua harus
paham tentang perbedaan jenis kelamin yang diciptakan oleh Allah dan perbedaan peran
gender yang terbentuk dalam budaya masyarakat. Dengan demikian, orang tua dapat
mengambil keputusan dalam menentukan perilakunya dalam kehidupan berumah
tangga, serta dapat mengajarkan kepada anakanaknya tentang kesetaraan gender yang
berdasarkan kebenaran Alkitab.

Kedua, dalam mengambil setiap keputusan di dalam keluarga sebaiknya tidak hanya di
dasarkan oleh keputusan dari suami saja. Namun, kepala keluarga (suami) perlu
mengajak istri dan anggota keluarga lainnya untuk sama-sama berunding mencari jalan
keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi oleh semua anggota keluarga, serta selalu
memberi kesempatan kepada istri dan anggota keluarga lainnya untuk mengemukakan
pendapat dan mempertimbangkan setiap pendapat yang telah disampaikan (Putri & Lestari,
2015).

Ketiga, dalam mengelolah keuangan sebaiknya suami tidak hanya berperan sebagai
pencari nafkah tunggal, melainkan istri juga dapat bekerja untuk menambah
penghasilan ekonomi keluarga, seperti banyak perempuan yang bekerja di kantor, di
pabrik, berjualan di pasar dan sebagainya, sehingga perempuan tidak hanya mengurusi
wilayah domestik saja seperti: mengurus rumah tangga, memasak, menyuci, menyapu,
dan sebagainya (Putri & Lestari, 2015).

Keempat, dalam mengasuh anak sebaiknya tidak hanya dibebankan kepada istri saja,
melainkan tugas dan tanggungjawab bersama (suami-istri). Untuk itu, kedua orang tua
harus bekerjasama atau pun saling bergantian untuk mengawasi serta memberikan nasihat
kepada anak-anaknya (Putri & Lestari, 2015). Kelima, dalam memberikan didikan dan
11
kasih sayang kepada anak orang tua harus berlaku adil baik perempuan maupun laki-laki
harus diberikan didikan dan kasih sayang yang adil tanpa melihat perbedaan jenis
kelamin.

d) Implikasi Bagi Lingkungan Gereja


Dalam lingkungan gereja, perempuan juga memiliki hak yang sama dalam melayani
Allah. Allah menciptakan jenis kelamin, sementara manusialah yang menciptakan
perbedaan gender bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki. Oleh sebab itu, lingkungan
gereja seharusnya dapat bersikap bijak dalam menyikapi hal tersebut, karena laki-laki dan
perempuan adalah makluk ciptaan Allah yang diciptakan setara dan sejajar serta sama-sama
telah diberkati
Allah. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan agar jemaat memiliki pemahaman
mengenai kesetaraan gender yang adil dalam lingkungan gereja, antara lain: Pertama,
membuat Pendalaman Alkitab (PA) dengan penafsiran yang baik dan benar dalam
memberikan pemahaman tentang kesetaraan gender, khususnya dalam memberikan
penafsiran kitab Perjanjian Lama tentang penciptaan laki-laki dan perempuan kedua,
memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk memajukan
pelayanan gereja, misalnya dalam membuat rapat kepengurusan gereja perlu melibatkan
kaum perempuan serta menghargai dan mempertimbangkan setiap pendapat mereka.
Ketiga, Memberikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam
mengaktualisasikan diri dalam segala bentuk kegiatan dan aktivitas pelayanan di gereja.
Keempat, Memberikan semi-nar kepada para jemaat dan orang-orang Kristen lainnya
tentang kesetaraan gender di kalangan Kristen, sehingga semakin banyak jemaat Kristen
yang mem-punyai pemahaman yang benar mengenai kesetaraan gender, baik di
lingkungan keluarga, masyarakat, dan gereja.

12
BAB III

PENUTUP

I. Kesimpulan
Di dalam alkitab pada Kejadian 1:27 "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka" disini berarti bahwa Allah menciptakan manusia baik perempuan
dan laki-laki dengan derajat yang sama dan menurut gambar Allah, disamping itu juga
menekankan bahwa manusia itu sama hakekat dengan Sang Pencipta. Hal tersebut berarti
bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makluk yang mulia, kudus dan berakal budi,
sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan Allah, dan layak untuk menerima mandat
dari Allah untuk menjadi pemimpin dari segala ciptaan Allah. Dari ungkapan "segambar"
dengan Allah ini yang berarti dimiliki tidak hanya laki-laki saja akan tetapi juga perempuan,
dan keduanya mempunyai status yang sama. Oleh karena itu tidak dibenarkanadanya
diskriminasi atau dominasi dalam bentuk apapun hanya dikarenakan perbedaan jenis
kelamin.

II. Saran
Semoga apa yang telah kami diskusikan dapat membuat kami semua memperhatikan
segala hal tanpa adanya diskriminasi dengan perbedan jenis kelamin, dan berlakunya
kesetaraan gender di lingkungan sekitar.

13
DAFTAR PUSTAKA

Von Braun, Christina, and Inge Stephan, eds. Gender@ Wissen: Ein Handbuch der Gender-
Theorien. Vol. 2584. utb, 2013.

Barnard, Malcolm. "Fashion Sebagai Komunikasi: Cara mengkomunikasikan identitas sosial,


seksual, kelas, dan gender." Yogyakarta: Jalasutra (2011).

Nauly, Meutia. "Konflik peran gender pada pria: teori dan pendekatan empirik." (2002).

https://www.researchgate.net/publication/357474895_Perspektif_Alkitab_Tentang_Keset

araan_Gender_dan_Implikasinya_Bagi_Pendidikan_Agama_Kristen

https://www.qureta.com/post/pandangan-agama-kristen-terhadap-gender-dan-seksualitas

14

Anda mungkin juga menyukai