Anda di halaman 1dari 2

Generasi Muda Indonesia Melawan Depresi

Masa-masa pandemi mungkin adalah masa-masa tersulit yang pernah dilalui oleh
generasi kita. Banyak sektor yang terkena dampak negatif oleh adanya pandemi ini, mulai
dari sektor kesehatan, perekonomian, pendidikan, pariwisata, dan masih banyak lagi. Tidak
sedikit pula orang yang terdampak oleh adanya pandemi Covid-19 ini banyak orang yang
harus terkena PHK, banyak orang yang harus terkapar di kamar rumah sakit, banyak pula
orang yang harus kehilangan nyawanya dikarenakan pandemi ini.
Tidak hanya dalam dunia pekerjaan saja, siswa-siswi yang masih harus menempuh
pendidikan juga terkena dampaknya. Pemerintah memberikan alternatif bagi siswa-siswi
untuk belajar di rumah melalui banyaknya media online yang ada, mulai dari google
classroom, zoom, google meet, dan lain sebagainya. Namun, tentu saja solusi ini tidak
sempurna. Setelah menjalani pembelajaran daring selama kurang lebih 2 tahun, terlihat
banyak sekali kekurangan dan ketidakefektifan dari pembelajaran daring ini.
Banyaknya tugas, tekanan, menjalani kegiatan sehari-hari yang seperti itu-itu saja.
Ditambah lagi mereka tidak bisa bersenda gurau dan menikmati momen-momen sekolah
mereka dengan teman-teman seperjuangannya membuat keadaan semakin buruk. Bila hal-hal
ini terus menumpuk kian harinya dibiarkan menumpuk, akan dapat menyebabkan seorang
pelajar menjadi mulai bosan dan malas untuk menjalani kehidupan mereka, dan lebih
parahnya lagi akan mengalami depresi.
Berdasarkan data Riskesdas (Riset kesehatan dasar) 2018, diperkirakan 6,2% remaja
atau kurang lebih 11 juta remaja terkena depresi. Tentunya jumlah itu sangat besar melihat
jumlah orang di Indonesia yang mengalami depresi hanya 15,6 juta jiwa. Hal ini menandakan
bahwa remaja di masa kini, atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Gen Z lebih rentan
terhadap depresi. Banyak faktor mengapa remaja jauh lebih rentan terhadap depresi ini. Mulai
dari mereka yang masih dalam usia untuk mencari jati diri mereka, pelajaran, dan tugas yang
membebani mereka, ekspektasi orang tua yang terlalu tinggi, masalah percintaan dan masih
banyak lagi. Kehadiran pandemi pun hanya memperkeruh keadaan, melihat bagaimana
pendidikan secara daring di Indonesia dilaksanakan.
Gejala - gejala depresi sangat mudah untuk dilihat. Menurut WHO, gejala-gejala
depresi sebagai berikut: pasien merasakan sedih, mudah marah, adanya kekosongan; pasien
juga akan merasa kehilangan minat untuk melaksanakan kegiatan sehari-harinya; konsentrasi
menurun; merasa bahwa dirinya tidak berguna; kehilangan harapan; susah tidur; nafsu makan
menurun; merasa lemas; dan munculnya pemikiran-pemikiran untuk melukai diri sendiri.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Eka
Viora, Sp.KJ., mengatakan di Indonesia terdapat kurang lebih 15,6 juta penduduk yang
terkena depresi dan hanya 8% yang mencari pengobatan ke profesional. "Banyaknya stigma
yang beredar terhadap depresi menghalangi para penderitanya mendapatkan dukungan yang
tepat," ujarnya saat dijumpai pada Press Conference Lundbeck Regional Symposium, Jakarta
Pusat, Sabtu (22/6/2019). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia akan
betapa bahayanya depresi masih rendah dan masyarakat butuh untuk mengubah pola pikir
serta pandangan mereka akan depresi. Kita tidak bisa menganggap ringan depresi, depresi
adalah masalah serius yang harus segera ditangani. Semakin lama pasien depresi terlarut
dalam kesedihannya dan tidak mencari pertolongan, akan semakin sulit pula bagi mereka
untuk keluar dari depresi itu dan yang paling parah adalah bila pasien atau orang-orang
disekitar pasien terlambat untuk mencari pertolongan, bisa saja pasien sudah mengakhiri
hidupnya sendiri.
Jadi, bagaimana cara kita untuk mencegah dan bahkan menangani depresi? Cara
mencegah depresi yang paling mudah adalah dengan mengisi hidup kita dengan kegiatan
yang menyenangkan dan bermanfaat, misalnya saja mengembangkan hobby kita, mengikuti
kegiatan-kegiatan organisasi, dan masih banyak lagi. Bisa juga dengan membagi tugas kita
secara merata sehingga kita tidak merasa tertekan dengan banyaknya tugas yang menumpuk.
Sementara itu, cara menangani depresi adalah kita harus mau mencari bantuan yang kita
butuhkan, baik dari teman-teman, guru BK, dan psikiater/psikolog. Kita harus membuang
jauh-jauh stigma bahwa orang yang pergi ke psikiater/psikolog adalah orang dengan
gangguan jiwa. Karena kita benar-benar membutuhkan pertolongan dari mereka
Tidak hanya itu, kita juga harus sadar dan peduli dengan orang-orang di sekitar kita.
Bila kita melihat ada teman yang sedang mengalami depresi, kita harus melakukan aksi. Pada
awalnya mungkin mereka akan menolak bantuan dari kita, namun kita tidak boleh menyerah
begitu saja. Kita harus bisa menjadi pendengar yang baik, menemani mereka di masa-masa
sulitnya, dan apabila diperlukan, kita juga bisa memberikan saran yang bisa membantu
meringankan tekanan mereka, bisa juga kita merekomendasikan psikiater/psikolog yang
terpercaya.
Tentunya, kita sebagai generasi muda Indonesia harus mampu menjaga mentalitas
bangsa. Kita tidak boleh hanya diam dan menerima keadaan. Kita harus mampu mengontrol
keadaan di sekitar kita supaya kita tidak merasakan tekanan yang terlalu berat untuk masa
depan kita, dan untuk masa depan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai